Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KEBIJAKAN PUBLIK

“PELAKSANAAN PILKADA SERENTAK TAHUN 2024”

Dosen Pengampu:
H.Yusran Fahmi, S.IP., M.AP

Disusun Oleh:
Hinderi Hidayani 212308489

ADMINISTRASI PUBLIK
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI (STIA)
AMUNTAI
2023
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan................................................................................ 2
C. Manfaat Penulisan.............................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah dan Perkembangan Pilkada di Indonesia............................... 4
B. Latar Belakang Pilkada Serentak 2024............................................... 8
C. Muatan Aturan Umum Pilkada Serentak 2024................................... 11
D. Efekivitas dan Efisiensi Pilkada Serentak 2024................................. 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................... 14
B. Saran................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah “Negara hukum” demikian bunyi pasal 1 ayat (3).

UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebagai Negara

hukum (Rechtsstaat) yang menjunjung tinggi nilai-nilai norma hukum

berdasarkan Undang-undang dan bukan merupakan Negara berdasarkan

kekuasaan semata (Machtsstaat) Indonesia memiliki norma hukum tertinggi yakni

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai

induk peraturanperaturan perundang-undangan. Untuk itu adanya kebijakan yang

tertuang dalam bentuk perundang-undangan tidak boleh menyalahi norma hukum

tersebut.1

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilukada)

langsung serentak merupakan instrumen penting dan strategis untuk membangun

pemerintahan daerah yang demokratis. Pemilukada langsung serentak mendorong

rakyat/pemilih untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah (gubernur

dan wakil gubernur, serta bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota)

secara demokratis.

Pemiilihan kepala daerah sebagai mekanisme pemilihan kepala daerah dan

wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat di daerah telah dijalankan sejak

berlakunya Pasal 24 ayat (5) Undang-ndang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah. menyatakan: “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana

1
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung

oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.”.

Pasal 56 ayat (1) menyatakan: “Kepala daerah dan wakil kepala daerah

dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis

berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Sementara itu,

pemilukada langsung serentak dijalankan semenjak berlakunya Pasal 3 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2016 tentang Pemilukada yang menyatakan: “Pemilihan dilaksanakan setiap lima

(5) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.” Pasal 201 ayat (1) sampai dengan ayat (7) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2015 yang kemudian diamandemen dengan Pasal 201 ayat (1) sampai

dengan ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilukada,

mengatur perihal pemilukada langsung serentak tahun 2015, 2017, 2018, 2020,

dan pemilukada serentak nasional tahun 2024.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menyelidiki, menganalisis, dan

memahami secara mendalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Serentak tahun 2024 di Indonesia. Melalui eksplorasi mendalam terhadap pilkada

serentak 2024 tujuan utama makalah ini adalah memberikan wawasan yang

komprehensif tentang sejarah, aturan, efektivitas dan efisiensi pilkada serentak

2024.

2
C. Manfaat Penulisan

1. Bagi Penulis

Penulisan makalah ini memberikan manfaat bagi penulis dalam

pengembangan pemahaman dan keahlian analisis terkait pelaksanaan Pilkada

Serentak tahun 2024. Proses penelitian dan penulisan akan memperdalam

wawasan penulis terhadap aspek-aspek hukum, politik, dan sosial yang terkait

dengan Pilkada Serentak, serta meningkatkan keterampilan penelitian dan

penulisan.

2. Bagi Pihak Lain

Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi yang berharga.

Pembaca dapat memperoleh wawasan luas mengenai berbagai jenis tulisan atau

karangan dan mampu memahami kegunaan masing-masing jenis dalam berbagai

konteks.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah dan Perkembangan Pilkada di Indonesia

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan sarana pelaksanaan

kedaulatan rakyat di daerah. Ini merupakan perkembangan dalam sistem

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Dalam pemerintahan Indonesia,

salah satu prinsip yang dikenal adalah prinsip otonomi, yang artinya adanya

keleluasaan bagi Pemerintah Daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Pilkada

merupakan sarana untuk memilih kepala daerah dan wakil-wakil rakyat di DPRD,

dimana mereka dipilih langsung oleh masyarakat di daerahnya. Dengan demikian,

legitimasi kedudukan Kepala Daerah dan Anggota DPRD menjadilebih

representatif, bila Pilkada ini dilaksanakan secara demokratis dan sesuai dengan

prosedur yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pemilihan sistem pilkada merupakan perjalanan politik panjang yang

diwarnai tarik-menarik antara kepentingan elit politik dan kehendak publik,

kepentingan pusat dan daerah atau bahkan antara kepentingan nasional dan

internasional.

Di Indonesia, sejarah politik lokal hampir setua umur penjajahan kolonial,

desentralisasi kekuasaan, dan administrasi pemerintahan itu sendiri. Bahkan

apabila kita menelusuri jauh ke belakang, ke jaman kerajaan yang pernah berdiri

dengan megahnya di seantero nusantara, para bangsawan mempergunakan politik

lokal untuk memperluas wilayah dan kekuasaannya. Sehingga politik lokal dapat

dikatakan bukanlah barang baru dalam sejarah pembentukan karakter bangsa dan

4
negara hingga saat ini. . Sejarah politik lokal terbagi dalam beberapa tahapan

masa, yaitu:

1. Masa Pemerintahan Belanda dan Jepang

Masa pemerintahan Belanda di awal penjajahan Indonesia ditandai oleh

aturan konservatif yang menerapkan sentralisasi kekuasaan di Hindia Belanda.

Pada tahun 1903, terjadi sedikit desentralisasi dengan diberikannya wewenang

terbatas kepada elit Eropa di Hindia Belanda untuk mendirikan pemerintahan

sendiri. Undang-undang Decentralisatiewet 1903, yang dikeluarkan oleh Belanda,

tidak memberikan dasar yang kuat untuk otonomi daerah.

Pada tahun 1922, muncul Undang-undang tentang desentralisasi, membuka

jalan bagi lahirnya provinsi-provinsi baru dengan otonomi administratif yang

cukup besar. Namun, pemberian otonomi ini lebih sebagai benteng penangkal

nasionalisme daripada untuk pertumbuhan demokratisasi lokal. Pemberian

kewenangan otonomi administratif menciptakan kekacauan karena perbedaan

antara elit kolonial dan pribumi.

Pada tahun 1931, pemberontakan komunis di Jawa Barat dan Sumatera

Barat memaksa kolonial Belanda untuk mengambil kembali kewenangan otonomi

lokal ke pusat (sentralisasi). Sistem pemerintahan kolonial ditandai oleh

pemerintahan tidak langsung, penerapan aturan double standard, hukum Eropa

konservatif untuk elit Eropa, dan hukum adat untuk pribumi.

Pada masa pemerintahan Jepang, terdapat tiga undang-undang yang

mengatur penyelenggaraan pemerintahan, yaitu osamu sirei 1942/27. Jepang

membagi daerah menjadi karesidenan, syuu, ken, dan si, dengan kepala daerah

5
yang ditunjuk oleh pemerintah Jepang. Pemerintahan Jepang memberikan struktur

baru namun tetap otoriter.

2. Masa Era Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Belanda berusaha merebut

kembali kekuasaannya di Indonesia, memandang negeri ini sebagai koloninya. Di

bawah tekanan dunia internasional, Belanda dipaksa untuk membantu merancang

tata administrasi pemerintahan Indonesia yang masih baru. Misi perundingan

antara pemerintah Indonesia dan Belanda dilakukan di bawah pengawasan

Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan Inggris sebagai fasilitator.

Pada bulan September 1946, pertemuan di Linggarjati antara perwakilan

Indonesia dan Belanda diadakan dengan tujuan mencapai kesepakatan. Belanda

memaksa menerapkan sistem negara federal di Indonesia. Sejak kemerdekaan,

regulasi mengenai pemerintahan daerah diatur melalui serangkaian undang-

undang, termasuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang

No. 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, pemilihan kepala

daerah dilakukan oleh pemerintah pusat. Namun, Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1948 menetapkan bahwa Kepala Daerah Propinsi diangkat oleh Presiden

dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD, dengan DPRD berhak mengusulkan

pemberhentian seorang kepala daerah kepada pemerintah pusat. Meskipun

6
demikian, dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 hingga Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1974, mekanisme pemilihan kepala daerah tidak mengalami

perubahan yang signifikan.

3. Masa Orde Baru (Era Reformasi)

Sejak tahun 1999, Indonesia mengalami era desentralisasi yang sebenarnya

dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah. Era ini membuka peluang politik lokal untuk mencapai

kemandirian daerah, memberikan otonomi kepada daerah dalam mengelola

pemerintahannya. Presiden Habibie mengambil langkah-langkah strategis seperti

memberikan kebebasan pers, mendirikan partai politik, pemilu bebas, dan

memberikan referendum kepada Timor Timur.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengatur pemilihan kepala daerah

secara tidak langsung oleh DPRD, menegaskan asas desentralisasi. DPRD

berperan sejajar dengan Pemerintah Daerah dan memiliki kekuasaan dalam

rekrutmen kepala daerah. Pemerintah pusat hanya menetapkan dan melantik

kepala daerah berdasarkan hasil pemilihan oleh DPRD setempat. Selama periode

ini, kepala daerah dipilih sepenuhnya oleh DPRD, tanpa campur tangan

Pemerintah Pusat.

Perubahan signifikan dalam pemilihan kepala daerah terjadi pada era reformasi, di

mana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memperbolehkan calon independen

bersaing dengan calon dari partai politik. Meskipun demikian, masih terjadi

penyalahgunaan kekuasaan dan politik uang di tingkat DPRD. Pemerintahan

Megawati Soekarnoputri melahirkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

7
tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

sebagai respons terhadap masalah-masalah desentralisasi.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dikenal dengan kebijakan

desentralisasi melalui pemekaran, menciptakan unit administratif baru di provinsi

dan distrik yang telah ada sebelumnya. Mahkamah Konstitusi menyetujui judicial

review terhadap Undang-Undang 32 Tahun 2004, memperbolehkan calon

independen bersaing dalam pemilihan kepala daerah. Meski demikian, proses

pemilihan masih dipengaruhi oleh kekuatan partai politik dan uang. Dinamika

politik lokal semakin kuat, terlihat dari pelaksanaan pilkada serentak di seluruh

Indonesia pada tahun 2008.

Proses desentralisasi di Indonesia membawa dampak pada partisipasi aktif

masyarakat lokal dalam kehidupan sosial dan politik mereka. Pertanyaan muncul

sejauh mana proses demokratisasi lokal memberikan manfaat bagi pembelajaran

politik masyarakat, tidak hanya sebatas menyuarakan kepentingan tetapi juga

terlibat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.

B. Latar Belakang Pilkada Serentak 2024

Latar belakang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 dapat

dipahami melalui pergeseran atau transformasi demokratisasi dalam sistem

ketatanegaraan dan politik Indonesia. Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun

1945, sebagai bagian dari perkembangan tersebut, menempatkan kedaulatan di

tangan rakyat, menciptakan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pelaksanaan Pilkada serentak menjadi agenda politik nasional yang

strategis, melibatkan aspek pemerintahan dan kemasyarakatan dengan

8
konsekuensi yang luas bagi masa depan sistem politik Indonesia. Bukan hanya

mengenai keserentakan pencalonan, dinamika kampanye, dan pelantikan, tetapi

juga sejalan dengan dinamika di daerah dalam rangka pencapaian sasaran

pembangunan yang diusung oleh Pusat.

Konstruksi politik di dalam operasinya sistem presidensial, yang tidak

terpencar secara terpisah di tingkat lokal, menjadi hasil dari latar belakang politik

kepala daerah yang beragam, terutama dengan pemerintahan koalisi di Pusat.

Semua ini menciptakan sintesa besar dalam pembahasan demokrasi Pilkada

sebagai agenda nasional, mengakomodasi berbagai aspek penting dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis.

Pemilihan Umum (pemilu) merupakan konsekuensi logis dari negara

demokrasi, dan demokrasi adalah cara aman untuk mempertahankan kontrol atas

negara hukum. Pada Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Demokratis

berarti kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar. Demokrasi, negara hukum, dan negara kesejahteraan menjadi

dasar filosofis dari penyelenggaraan pemilu. Menurut Satjipto Rahardjo, Pemilu

yang demokratis ialah lembaga yang mereproduksi kontrak sosial baru antara

rakyat dengan pemimpin pemerintahan.

Penyelenggaraan pilkada serentak yang dilaksanakan secara bertahap

dimulai pada 2015, kemudian tahap kedua akan dilaksanakan pada 15 Februari

2017 untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada semester kedua

2016 dan yang berakhir pada 2017. Selanjutnya, secara bertahap gelombang

9
ketiga direncanakan Juni 2018, berikutnya tahun 2020, 2022, dan 2023 hingga

pilkada serentak nasional pada tahun 2027 yang meliputi seluruh wilayah

Indonesia. Namun, draf Revisi Undang-undang Pemilu dan Pilkada terkait

pelaksanaan pilkada serentak yang dinormalisasi dan diadakan pada 2022 atau

2023, menuai pro dan kontra di tengah masyarakat dan elite partai politik, yang

mana draf tersebut berisi tentang aturan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun

2016 tentang Pilkada, Pilkada 2022 dan 2023 akan dilakukan serentak pada 2024

sudah masuk dalam program Legislasi Nasional.

Di tahun 2020 ini Indonesia memang akan melaksanakan pesta demokrasi

yaitu dengan pemilihan umum kepala daerah secara serentak. Pemilihan Umum

Kepala Daerah Serentak artinya Pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara

langsung oleh penduduk daerah administrative setempat yang memenuhi syarat,

yang dilakukan secara bersamaan di daerah-daerah yang ada di Indonesia.

Pemilihan kepala daerah dilakukan sekaligus bersama wakil kepala daerahnya,

yang mana mencakup Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi, Bupati dan

Wakil Bupati untuk kabupaten, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota untuk kota.

Ada 270 wilayah di Indonesia akan menggelar Pilkada 2020. Pilkada serentak

2020 ini merupakan Pilkada serentak gelombang keempat yang dilakukan untuk

kepala daerah hasil pemilihanDesember 2015. Ada 270 daerah yang

melaksanakan pilkada serentak 2020, rinciannya adalah 9 provinsi, 224

kabupaten, dan 37 kota. Pilkada Serentak 2020 seharusnya diikuti 269 daerah,

namun menjadi 270 karena Pilkada Kota Makassar diulang pelaksanaannya.

10
Pilkada serentak merupakan upaya untuk menciptakan local accountability,

political equity dan local responsiveness. Dengan begitu, demokratisasi di tingkat

lokal terkait erat dengan tingkat partisipasi, dan relasi kuasa yang dibangun atas

dasar pelaksanaan azas kedaulatan rakyat. Selain itu, hasil pilkada juga harus

mampu menghantarkan masyarakat pada kondisi sosial, politik dan ekonomi yang

lebih baik. Pilkada yang baik akan melahirkan pemerintahan yang baik. Pilkada

yang diselenggarakan secara lebih profesional, demokratis, akan memberikan

dampak nyata terhadap perubahan politik. Meskipun demikian, dalam praktiknya

Pilkada melahirkan berbagai konflik yang di antaranya dipicu oleh masalah

administrasi data pemilih, netralitas penyelenggara Pemilu, serta kurangnya

kepatuhan peserta pilkada dan partai politik terhadap peraturan yang berlaku.

Pilkada serentak sebagai agenda politik nasional menuju demokratisasi dapat

berjalan secara substansi dan tidak sekedar ritual prosedur semata

C. Muatan Aturan Umum Pilkada Serentak 2024

Menurut Ketua KPU, Ilham Saputra, usulan mengenai Pilkada serentak

2024 didasarkan pada beberapa hal mendasar, terutama UU Nomor 10 Tahun

2016 tentang Pilkada. KPU menjelaskan bahwa revisi UU Nomor 7 Tahun 2017

tentang pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan menetapkan

bahwa Pemilu akan diselenggarakan serentak pada tahun 2024. KPU menegaskan

ketaatan dan kepatuhannya pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,

khususnya Pasal 167 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 dan Pasal 201 ayat (8)

UU Nomor 10 Tahun 2016. Pasal-pasal tersebut secara prinsip mengatur bahwa

pemilu dan Pilkada serentak nasional akan dilaksanakan pada tahun 2024.

11
Pilkada serentak nasional tahun 2024, sebagaimana diamanatkan dalam

Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016, akan melibatkan 33 Provinsi, 415

Kabupaten, dan 93 Kota, total 541 daerah otonom. Kewenangan terkait

pembentukan dan perubahan Undang-Undang (UU) berada pada DPR bersama

Pemerintah, sementara KPU sebagai penyelenggara pemilu fokus pada tugas dan

kewenangannya sesuai peraturan perundang-undangan. KPU hanya dapat

memberikan masukan dan pengalaman seputar pemilu dan Pilkada kepada

Kementerian Dalam Negeri sebagai perwakilan Pemerintah dan DPR sebagai

perwakilan legislatif. Seluruh proses dilaksanakan melalui koordinasi Tim Kerja

yang terdiri dari DPR, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP. Kesepakatan Tim

Kerja Bersama menetapkan bahwa Pemilu dan Pilkada tetap diselenggarakan pada

tahun 2024 sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 10 Tahun

2016.

D. Efektivitas dan Efisiensi Pilkada Serentak 2024

Penyelenggaraan pemilu serentak pada tahun 2019, memiliki dampak

positif terhadap peningkatan partisipasi warga. Berdasarkan hasil data yang dirilis

oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), partipasi pemilih pada pemilu serentak

2019, yakni mencapai 81,97% pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Sementara itu, partisipasi pemilih mencapai 81,67% pada Pemilihan Legislatif.

Pada pemilu-pemilu sebelumya, partisipasi pemilih dalam pemilu tahun 2014

hanya mencapai 70% untuk Pemilihan Presiden dan 75% dalam Pemilihan

Legislatif. Dari data tersebut, dapat dilihat bahwasanya penyelenggaraan pemilu

serentak memberikan pengaruh yang positif dalam meningkatkan partisipasi

12
masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Penigkatan partisipasi pemilih tidak

lepas pula dari problematika yang ditumbulkannya.

Partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum yang diselenggarakan

untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),

Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagaimana diatur pada

Pasal 22E ayat (2) dan Pasal 18 Ayat 4 UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945 merupakan perwujudan demokratisasi sekaligus menjadi indikator

keberhasilan implementasi sistem demokrasi yang ada di Indonesia.

Dalam implementasi Pilkada Serentak 2024, penerapan teknologi dan

inovasi memegang peranan sentral dalam meningkatkan efisiensi proses

pemilihan kepala daerah. Penggunaan sistem informasi pemilu dan aplikasi

pemantauan tidak hanya mempercepat, tetapi juga menyederhanakan berbagai

tahapan pemilihan, mulai dari pendaftaran calon hingga penghitungan suara.

Keberhasilan teknologi ini terletak pada kemampuannya mengurangi potensi

kesalahan manusia melalui validasi otomatis dan pemeriksaan data, serta

meminimalkan pemborosan sumber daya, baik waktu maupun keuangan. Efisiensi

operasional secara menyeluruh tercapai melalui otomatisasi proses manual yang

cenderung memakan waktu. Selain itu, aplikasi pemantauan memungkinkan

pemangku kepentingan untuk memantau jalannya pemilihan secara real-time,

meningkatkan respons terhadap permasalahan yang muncul, dan memperkuat

pengawasan terhadap keberlangsungan seluruh proses pemilihan. Penerapan

teknologi juga berperan dalam meningkatkan keamanan dan integritas proses

13
pemilihan dengan memanfaatkan solusi keamanan informasi seperti enkripsi data.

Sehingga, teknologi yang tepat bukan hanya memberikan efisiensi operasional,

tetapi juga mendukung terwujudnya pemilihan kepala daerah yang transparan,

akurat, dan aman.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pilkada Serentak 2024 mencerminkan transformasi demokratisasi dalam

sistem ketatanegaraan dan politik Indonesia. Amandemen Undang-Undang Dasar

Tahun 1945 menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, dengan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar sebagai norma hukum tertinggi. Pelaksanaan Pilkada

serentak menjadi agenda politik nasional yang strategis, tidak hanya terkait

keserentakan pencalonan, kampanye, dan pelantikan, tetapi juga sejalan dengan

dinamika pembangunan di daerah yang diusung oleh Pusat. Pemilihan Kepala

Daerah (Pilkada) Serentak 2024 merupakan bagian integral dari perjalanan

demokratisasi Indonesia. Aturan umum yang mendasari Pilkada Serentak ini,

terutama UU Nomor 10 Tahun 2016, menetapkan pelaksanaan Pemilu serentak

pada tahun 2024. KPU, sebagai penyelenggara pemilu, menegaskan ketaatannya

pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengkoordinasikan semua

proses dengan lembaga terkait, dan menjalankan tugas sesuai kewenangannya.

Efektivitas dan efisiensi Pilkada Serentak 2024 menjadi fokus utama untuk

memastikan keberhasilan penyelenggaraan. Pengalaman dari pemilu serentak

sebelumnya, khususnya pada tahun 2019, menunjukkan peningkatan signifikan

dalam partisipasi pemilih, mencapai 81,97% pada pemilihan Presiden dan Wakil

14
Presiden serta 81,67% pada Pemilihan Legislatif. Peningkatan ini sejalan dengan

tujuan demokratisasi dan indikator keberhasilan implementasi sistem demokrasi di

Indonesia.

Penerapan teknologi dan inovasi dalam Pilkada Serentak 2024 menjadi

kunci dalam meningkatkan efisiensi operasional. Sistem informasi pemilu dan

aplikasi pemantauan memberikan dampak positif dengan mempercepat,

menyederhanakan, dan mengurangi potensi kesalahan dalam berbagai tahapan

pemilihan. Keberhasilan teknologi ini tercermin dalam transparansi, keamanan,

dan integritas seluruh proses pemilihan kepala daerah.

B. Saran

Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi Pilkada Serentak

2024, beberapa saran dapat dipertimbangkan.

1. Pemanfaatan teknologi dan inovasi dalam sistem informasi pemilu serta

aplikasi pemantauan perlu terus dikembangkan dengan melibatkan ahli

teknologi informasi.

2. Koordinasi antarlembaga, seperti KPU, Kementerian Dalam Negeri, Bawaslu,

DKPP, dan DPR, perlu diperkuat melalui pertukaran informasi efektif dan

pertemuan rutin.

3. Peningkatan transparansi selama proses Pilkada Serentak, termasuk akses

terhadap informasi melalui portal resmi dan media sosial, dapat

meningkatkan keterlibatan dan kepercayaan masyarakat.

15
4. Evaluasi pasca-pemilihan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi area

perbaikan dan mengumpulkan masukan dari berbagai pihak, menciptakan

dasar yang kuat untuk penyelenggaraan pemilihan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Ichlasul. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana


Yogya, 1996.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi 1, Cetakan 6,
Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Arifulloh, Achmad. Pelaksanaan Pilkada Serentak Yang Demokratis, Damai dan
Bermartabat,” DalamJurnal Pembaharuan Hukum, Volume II, No. 2,
(Mei- Agustus, 2015).
Budhiati, Ida. “Quo Vadis Demokrasi Prosedural dan Pemilu: Sebuah Refleksi
Teoritis,” Dalam Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, No. 2, (2013).
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet ke-4, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2010.
Cipto, Handoyo Hestu. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi
Manusia, Cet. Ke-1, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 2003.
Djazuli, Ahmad. Fiqh Siyasah‚ Implimentasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-
rambu Syari’ah, Cet Ke-5, Jakarta: Kencana, 2013.
M. Sofian, “Penerapan Ambang Batas Sengketa Hasil Pilkada Pada Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PHP.BUP-XV/2017,”Media of Law and
Sharia, vol. 1, no. 3, 2020, doi: 10.18196/mls.v1i3.9193.
S. Rizaldi, S. Suhartono, S. Hadi, and T. Michael, “State Relationship with Private
Legal Entities on Oil and Natural Gas Management in Indonesia,” Journal
of International Trade, Logistics and Law, vol. 9, no. 1, pp. 10–14, May
2023, Accessed: Jun. 04, 2023.

16
17

Anda mungkin juga menyukai