Anda di halaman 1dari 2

Yang jadi permasalahan dan patut didiskusikan adalah:

Apakah dengan demikian kajian utama tentang konten yang didalamnya menyangkut kaidah-kaidah
jurnalistik: seperti –terutama– piramida terbalik, cover boh sides, dan objektivitas menjadi tidak
penting? Kalau tidak penting lagi, implikasi terburuk bisa menyebabkan siapa saja boleh jadi
wartawan/jurnalis asalkan disukai pemilik sehingga kompetensi semakin tidak berlaku!

Akibatnya, media tradisional akan menjadi seperti media kontemporer yang menjadi wadah citizen
jurnalism! Atau memang, sebagai “pendidik”, ilmuwan komunikasi harus mempelopori pendidikan
jurnalistik kepada para citizen jurnalist! Bagaimana proses dan prosedurnya?

Bisa saja demikian, dengan cara kerja sama Dewan Pers/PWI, tapi memakan waktu berapa lama?
Selama selang pendidikan dan pelatihan tersebut, apakah dibebaskan saja para jurnalis komunitas
tersebut beroperasi dengan tanpa pengetahuan jurnalistik yang memadai?Lantas, seberapa
signifikan Diklat tersebut?

Regulasi adalah peraturan yang mengikat media dalam menjalankan aktivitasnya di masyarakat.
Regulasi dapat berbentuk peraturan yang ditetapkan pemerintah (seperti Undang-Undang Pers); atau
kode etik yang ditetapkan oleh organisasi wartawan atau profesi (seperti Kode Etik Jurnalistik). Media
penyiaran terdiri atas radio dan televisi.

Media penyiaran dapat berbentuk:

(a) Lembaga Penyiaran Publik;

(b) Lembaga Penyiaran Swasta;

(c) Lembaga Penyiaran Komunitas;

(d) Lembaga Penyiaran Berlangganan yang memiliki karakteristik berbeda-beda

Kajian konten yang mengabaikan kaidah-kaidah jurnalistik dapat memiliki implikasi serius terhadap
kredibilitas media dan kebebasan pers. Oleh karena itu, peran ilmuwan komunikasi, pendidik, dan
lembaga jurnalistik dalam mempromosikan dan melindungi standar jurnalistik sangat penting untuk
menjaga integritas profesi jurnalistik.

Budaya kontemporer berkecenderungan pada kebaruan dan berorientasi ke masa depan, sementara
budaya tradisional adalah untuk konservasi dan mengarah ke masa lalu. Jika media tradisional
mengalami pergeseran menuju model yang lebih mendukung citizen journalism, peran ilmuwan
komunikasi sebagai pendidik dapat menjadi kunci dalam mempelopori pendidikan jurnalistik untuk
para citizen journalist. Prosesnya yaitu dengan mengadakan workshop, serta bisa juga membentuk
suatu komunitas untuk berdiskusi dan berkolaborasi, kemudian memberikan pemahaman tentang
etika dan tanggungjawab jurnalistik.
Pendidikan jurnalistik untuk citizen journalist merupakan langkah penting untuk menjaga kualitas dan
integritas informasi dalam era media digital. Kolaborasi antara ilmuwan komunikasi, pendidik,
lembaga jurnalistik, dan lembaga pengawas seperti Dewan Pers dapat membantu menciptakan
lingkungan media yang sehat dan berkualitas.

Proses kerja sama dengan Dewan Pers atau PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dalam melibatkan
citizen journalist dan memberikan pendidikan jurnalistik dapat memakan waktu yang bervariasi
tergantung pada berbagai faktor.

Kualitas program, keterlibatan peserta, serta peran dan dukungan Dewan Pers atau PWI dalam
memastikan penerapan standar jurnalistik dan kepatuhan adalah faktor penting dalam menilai
signifikansi diklat tersebut. Jika dilakukan dengan cermat dan efektif, diklat jurnalistik untuk citizen
journalist dapat memiliki dampak yang besar dalam meningkatkan kualitas berita yang dihasilkan,
meningkatkan etika jurnalistik, dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang
disajikan. Namun, penting untuk diingat bahwa pendidikan ini sebaiknya tidak bersifat sekali jalan,
melainkan sebuah proses berkelanjutan untuk mendukung pengembangan kompetensi jurnalistik.

Anda mungkin juga menyukai