Anda di halaman 1dari 15

HUBUNGAN ANTARA TINDAKAN HEMODIALISA DENGAN

TINGKAT KECEMASAN PASIEN

Disusun Oleh:
HARDLYANA KARYANI
NIM : G2A201582

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN 2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hemodialisa merupakan suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa
metabolisme berupa zat terlarut (solute) dan air yang berada dalam darah
melalui membrane semi permeabel atau disebut dialyzer (Thomas:2004
Price&Wilson,2005).
Tindakan Hemodialisa saat ini mengalami perkembangan yang cukup
pesat, namun masih banyak penderita mengalami masalah medis saat
menjalani Hemodialisa. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang
menjalani Hemodialisa adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah
umumnya menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi (UF) atau penarikan
cairan saat Hemodialisa, kecemasan terjadi pada 20-30% penderita klien
gagal ginjal kronik yang menjalani Hemodialisa reguler (Levey dkk,2007).
Kecemasan adalah kondisi kejiwaan yang penuh dengan
kekhawatiraan dan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi,baik berkaitan
dengan permasalahan yang terbatas maupun hal-hal yang aneh. Deskripsi
umum kecemasan yaitu "perasaan tertekan dan tidak tenang serta berpikiran
kacau dengan disertai banyak penyesalan". Hal ini sangat berpengaruh pada
tubuh, hingga tubuh dirasa menggigil menimbulkan banyak keringat, jantung
berdegup cepat, lambung terasa mual, tubuh terasa lemas, kemampuan
berproduktivitas berkurang hingga banyak manusia yang melarikan diri
kealam imajinasi sebagai bentuk terapi sementara (Musfir, 2005).
Data dari Indonesian Renal Registry, pada tahun 2011 terdapat 15.353
pasien yang baru akan menjalani hemodialisis dan 6.951 pasien yang tercatat
aktif menjalani hemodialisis, pada tahun 2012 terjadi peningkatan, pasien
yang baru akan menjalani hemodialisis berjumlah 19.621 dan pasien yang
aktif menjalani hemodialisis 9.161 orang. Kejadian ini meningkat berdasarkan
jumlah pasien yang baru dan lama tercatat lebih banyak karena jumlah unit
hemodialisis yang melaporkan pun meningkat (IRR,2016).
Menurut penelitian Wartilisna,dkk, 2015 terdapat hubungan
tindakan hemodialisa dengan tingkat kecemasan klien gagal ginjal kronik di
RSUP Prof Dr.R.D Kandou manado, Jumlah respon yang paling banyak
menjalani tindakan hemodialisa kronik 110 orang, Jumlah pasien dengan
tingkat kecemasan adalah tingkat kecemasan berat sebanyak 79 orang.
Jumlah penderita PGK (Penyakit Ginjal Kronis) di Indonesia yang
menjalani hemodialisis pada tahun 2002 adalah sebesar 2077 meningkat
menjadi 4344 pada tahun 2006, sedangkan di Jawa Tengah pada tahun
2006 terdapat 1219 penderita PGK yang menjalani tindakan Hemodialisis
(Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009). Sementara itu data dari Unit
Hemodialisis RSUD Kota Semarang pada bulan Juni 2012 terdapat 65
pasien PGK yang menjalani Hemodialisis.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka peneliti
tertarik untuk mengangkat hubungan antara tindakan hemodialisa dengan
tingkat kecemasan pasien.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah "Adakah hubungan antara tindakan hemodialisa
dengan tingkat kecemasan pasien".

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan
antara tindakan hemodialisa dengan tingkat kecemasan pasien.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan karakteristik responden.
b. Mendeskripsikan tingkat kecemasan pasien.
c. Menganalisa hubungan antara tindakan hemodialisa dengan tingkat
kecemasan pasien.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Untuk Institusi Pendidikan
Menambah dan memberikan sumbangan ilmiah dalam bidang
keperawatan medikal pada petugas kesehatan terutama kepada perawat
dalam menangani tingkat kecemasan pada pasien dengan tindakan
hemodialisa.
2. Manfaat Untuk Masyarakat
Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi dan
pengetahuan masyarakat agar dapat mengatasi tingkat kecemasan saat
dilakukan tindakan hemodialisa.
3. Manfaat Untuk Pengambilan Kebijakan
Sebagai bahan pertimbangan dan evaluasi bagi petugas kesehatan
dalam menangani pasien dengan cemas.

E. BIDANG ILMU
Penelitian ini termasuk kedalam Ilmu Keperawatan Medikal Bedah

F. KEASLIAN PENELITIAN
Menurut penelitian Wartilisna,dkk, 2015 terdapat hubungan tindakan
hemodialisa dengan tingkat kecemasan klien gagal ginjal kronik di RSUP
Prof Dr.R.D Kandou manado dengan nilai a = 0,05 dan p = 0,000 . Instrumen
penelitian menggunakan kuisioner HARS (Hamilton Anxiety Rating scale)
sebanyak 14 soal menggunakan uji statistik chi-square.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. HEMODIALISA
1. DEFINISI HEMODIALISA
Hemodialisa yaitu untuk menurunkan kadar ureum,kreatinin dan zat
toksik yang lainnya di dalam darah. Dalam penatalaksanaannya, selain
memerlukan terapi diet dan medikamentosa, pasien GGK juga
memerlukan terapi pengganti fungsi ginjal yang terdiri atas dialisis dan
transplantasi ginjal. Diantara kedua jenis terapi pengganti fungsi ginjal
tersebut, dialisis merupakan terapi yang umum digunakan karena
terbatasnya jumlah donor ginjal hidup di Indonesia. Menurut jenisnya,
dialisis dibedakan menjadi dua, yaitu Hemodiaisa dan peritoneal dialisis.
Sampai saat ini, Hemodialisa masih menjadi alternatif utama terapi
pengganti fungsi ginjal bagi pasien GGK karena dari segi biaya lebih
murah dan risiko terjadinya perdarahan lebih rendah jika dibandingkan
dengan dialisis peritoneal (Markum, 2006:588).
Tindakan Hemodialisa saat ini mengalami perkembangan yang cukup
pesat, namun masih banyak penderita mengalami masalah medis saat
menjalani Hemodialisa. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita
yang menjalani Hemodialisa adalah gangguan hemodinamik (Landry dan
Oliver, 2006). Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya
ultrafiltrasi (UF) atau penarikan cairan saat Hemodialisa.kecemasan
terjadi pada 20-30% penderita klien gagal ginjal kronik yang menjalani
Hemodialisa reguler (Tatsuya et al., 2004).
Hemodialisa merupakan suatu membran atau selaput semi
permiabel.Membran ini dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat
sampah. Proses ini disebut dialisis yaitu proses berpindahnya air atau zat,
bahan melalui membran semi permia-bel. Terapi hemodialisa merupakan
teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air,
natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui
membran semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada
ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Brunner
& Suddarth, 2005
Hemodialisis adalah mengendalikan ureum, kelebihan cairan dan
ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien gagal
ginjalkronik.Hemodialisis terbukti efektif mengeluarkan cairan,
elektrolit dan sisa metabolisme penyakit GGK tahap akhir atau
stadium 5. Jika tidak dilakukan terapi pengganti ginjal maka pasien
akan meninggal (Price & Lorraine, 2006).
Hemodialisis adalah suatu teknologi tingkat tinggi sebagai
pengganti fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa metabolisme atau
racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium,
kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat lainnya melalui
membran semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisis
pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis, dan ultra
filtrasi(Smeltzer & Bare, 2005).
Hemodialisa adalah suatu proses pembersihan darah dengan
menggunakan ginjal buatan (dialyzer), dari zat-zat yang
konsentrasinya bberlebihan di dalam tubuh. Zat-zat tersebut dapat
berupa zat yangbterlarut dalam darah, seperti toksin ureum dan kali
sium pelarutnya, yaitu air atau serum darah (Suwitra, 2006).
2. KATEGORI PASIEN DENGAN HEMODIALISA
Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu : hemodialisis
emergency atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Keadaan
akut tindakan dialisis dilakukan pada : Kegawatan ginjal dengan keadaan
klinis uremik berat, overhidrasi, oliguria (produksi urine <200 ml/12 jam),
anuria (produksi urine <50 ml/12 jam), hiperkalemia (terutama jika terjadi
perubahan EKG, biasanya K >6,5 mmol/I), asidosis berat (PH <7,1 atau
bikarbonat <12 meq/I), uremia (BUN >150 mg/dL), ensefalopati
uremikum, neuropati/miopati uremikum, perikarditis uremikum,
disnatremia berat (Na>160 atau <115 mmol/I), hipertermia, keracunan
akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin
hemodialisis, dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt, keadaan pasien yang
mempunyai GFR <15 ml/mnt tidak selalu sama, sehingga dialisis
dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari : 1) GFR <15
ml/mnt, tergantung gejala klinis, 2) gejala uremia meliputi: lethargi,
anoreksia, nausea dan muntah, 3) adanya malnutrisi atau hilangnya massa
otot, 4) hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan, 5)
komplikasi metabolik yang refrakter (Daugirdas et al., 2007).

3. PERSIAPAN PASIEN DENGAN HEMODIALISA


Hemodialisis regular dikatakan cukup apabila dilakukan teratur,
berkesinambungan, selama 9-12 jam setiap minggu. Kondisi pasien stabil dan tidak
merasakan keluhan sama sekali, nafsu makan baik, tidak merasa sesak, tidak lemas
dan dapat melakukan aktifitas sehari-hari (Suwitra, 2010). Berdasarkan konsensus
Pernefri (2003) menyatakan target ideal untuk pasien yang menjalani HD 2x/minggu
dengan lama HD antara 4 – 5 jam diberikan target URR 65%.
National Cooperative Dialysis Study (NCDS), merupakan penelitian pertama yang
menilai AHD. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa ureum merupakan pertanda
yang memadai untuk penilaian AHD dan tingkat bersihan ureum dapat dipakai untuk
prediksi keluaran (outcome) dari penderita.Lowrie dkk(1981) dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa blood urea-nitrogen (BUN) yang tinggi menyebabkan
meningkatnya morbiditas.
Model kinetik ureum (MKU) adalah cara yang paling baik untuk menilai AHD. MKU
adalah tehnis matematika untuk mensimulasikan kinetik ureum pada penderita HD
dengan menghitung semua faktor yang mempengaruhi pemasukan, pengeluaran dan
metabolisme urea. Faktor ini meliputi volume distribusi urea, urea generation rate,
klirens dializer (Kd), dialyzer ultrafiltration rate, jadwal dan lama HD, residual
klirensi urea, resistensi terhadap metabolisme ureum. Dalam pengukurannya
memerlukan:
1. Pemeriksaan BUN sebelum dan sesudah HD dari HD pertama, pemeriksaan BUN
sebelum HD dari HD kedua dari jadwal HD 3 kali seminggu.

2. Berat badan sebelum HD dan sesudah HD dari HD pertama.

3. Lama HD sebenarnya dari HD pertama.

4. Klirens efektif dari dializer (bukan klirens in-vitro dari tabel).

Meskipun cara ini direkomendasikan oleh National Kidney Foundation Dialysis


Outcome Quality initiative (NKF-DOQI), akan tetapi cara perhitungannya kompleks
sehingga diperlukan ketepatan pengukuran volume distribusi, klirens efektif dializer
dan waktu HD. Akibatnya cara ini tidak dapat dipergunakan disetiap unit HD. Selain
dari MKU ada cara lain yang lebih praktis dan dapat digunakan secara rutin, yaitu:
1. Rumus logaritma natural Kt/V

Dalam menggunakan rumus ini diasumsikan bahwa konsep yang dipakai adalah
model single-pool urea kinetic. Cara ini merupakan penyederhanaan dari perhitungan
MKU, dimana Kt merupakan jumlah bersihan urea dari plasma dan V merupakan
volume distribusi dari urea. K dalam satuan L/menit, diperhitungkan dari KoA
dializer serta kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat, t adalah waktu
tindakan HD dalam satuan menit, sedangkan V dalam satuan liter. Rumus yang
dianjurkan oleh NKF-DOQI adalah generasi kedua yang dikemukakan oleh
Daugirdas.
Kt/V=-Ln(R-0,008xt)+(4-3,5xR)xUF/W
Dimana :
a. Ln adalah logaritma natural.

b. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialysis

c. t adalah lama waktu dialisis dalam jam.

d. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.

e. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kg.

2. Ureum Reduction Ratio (URR)

Cara lain untuk mengukur AHD adalah dengan mengukur URR Rumus yang
dianjurkan oleh Lowrie adalah sebagai berikut:
RRU (%) = 100 x (1-Ct/Co)
Ct adalah BUN sesudah-HD dan Co adalah BUN sebelum-HD. Cara ini paling
sederhana dan paling praktis digunakan untuk pengukuran AHD.Banyak dipakai
untuk kepentingan epidemiologi, dan merupakan prediktor terbaik untuk mortalitas
penderita NKF-DOQI memakai batasan bahwa HD harus dilakukan dengan
URR≥65%. Owen dkk (1993) dalam penelitiannya menggunakan URR untuk
mengukur dosis dialysis menunjukkan bahwa penderita yang menerima URR ≥60%
memiliki mortalitas yang lebih rendah dari yang menerima URR ≥50%.
Untuk melakukan perhitungan dosis adekuasi dilakukan pengambilan sampel darah
untuk pemeriksaan BUN. Ketepatan waktu pengambilan merupakan hal yang sangat
penting. BUN sebelum HD dan BUN sesudah HD untuk perhitungan URR diambil
pada jadwal yang sama.
a. Pengambilan sampel BUN sebelum HD.

Jika penderita dengan AV-fistula atau graft, sample diambil dari jalur arteri sebelum
dihubungkan dengan blood-line. Harus dipastikan tidak terdapat cairan lain dalam
jarum arteri tersebut. Jangan mengambil sampel jika HD sudah berjalan.
b. Pengambilan sampel BUN sesudah HD.

Pengaruh resirkulasi akses-vaskuler dan resirkulasi kardiopulmonal serta pengaruh


teori double-pool sangat menentukan saat yang paling tepat pengambilan sampel
untuk pemeriksaan BUN sesudah HD. Jika menganut teori double-pool maka saat
paling tepat pengambilan sample setelah 30-60 menit pasca-HD, dimana telah terjadi
equilibrium. Tetapi secara praktis hal ini sukar karena penderita selesai HD harus
menunggu cukup lama. Geddes CCdkk (2000) dalam penelitiannya setelah 4 menit
berhentinya aliran dialisat tidak ada perbedaan konsentrasi ureum antara sampel dari
arteri dan vena.
Cara yang dianjurkan adalah sebagai berikut :

1. Setelah waktu HD berakhir hentikan pompa dialisat, turunkan UF sampai 50


ml/jam atau matikan.

2. Turunkan kecepatan pompa aliran darah sampai 50-100 ml/menit selama 15 detik

3. Ambil sampel darah dari jalur aliran arteri.

4. Hentikan pompa darah dan kembali pada prosedur penghentian HD.

5. Cara lain menghentikan pompa aliran darah setelah dilambatkan 50 ml/menit


selama 15 detik.

6. Klem pada jalur arteri dan vena, sampel diambil dari jalur arteri

Faktor-faktor Pendukung Adekuasi


Sebelum HD dilaksanakan perlu dibuat suatu peresepan (prescription) dosis
HD tersebutdan selanjutnya membandingkannya dengan hasil HD yang telah
dilakukan untuk menilai adekuatnya suatu tindakan HD. Peresepan hemodialisis
bersifat individual, karena setiap penderita HD berbeda dalam hal berat badan,
volume distribusi ureum, jenis dializer yang dipakai, kecepatan aliran darah (QB),
kecepatan aliran dialisat (QD), jenis dialisat, lama waktu HD(t) dan ultrafiltrasi yang
dilakukan.
1. Akses Vaskuler

Vascular access adalah istilah yang berasal dari bahasa inggris yang berarti jalan
untuk memudahkan mengeluarkan darah dari pembuluhnya untuk keperluan tertentu,
dalam kasus gagal ginjal terminal adalah untuk proses hemodialisis. Alasan
Pemasangan
Vaskular Akses Pemasangan Vaskular diharapkan dapat memudahkan dokter dan
perawat untuk melakukan akses atau penusukan sehingga lebih mudah dan
mengurangi resiko dari penusukan yang dilakukan pada tempat lain seperti area
femoral. Ada 2 tipe tusukan vaskuler yaitu tusukan vaskuler sementara dan permanen.
a. Akses vaskuler Permanen

Belding H. Scribner dkk. Pertama kali menggunakan akses vaskular permanen


berbentuk external arteriovenous (AV) shunt. Kelemahan tehnik ini sering
menimbulkan masalah; infeksi, ruptur akibat trauma dan sering menggangu aktifitas
sehari-hari.Cimino dan Brescia (1966) menganjurkan tehnik baru yaitu internal
arteriovenous (AV) shunt. Konsep fistula yangpertama kali dikembangkan yaitu side
to side anastomosis dengan diameter antara 6-8mm (Sukandar,2006).

b. Akses Vaskuler Sementara


Metoda ini melalui dua pembuluh darah vena yaitu vena femoral dan vena interna
jugular.Hampir semua pasien di Indonesia untuk inisiasi hemodialisa melalui akses
vena femoralis dengan jarum khusus. Kerugian dari metoda ini, pasien kurang
nyaman karena tidak boleh bergerak selama proses dialisis berjalan dan kemungkinan
perdarahan bila salah sasaran tusukan (arteri femoral).
Akses vaskular melalui vena jugular interna dengan menggunakan silastic twin
catheter atau double lumen catheter (CDL) merupakan metoda yang cukup
memuaskan dan nyaman untuk pasien. Tehnik ini dapat digunakan beberapa minggu
hingga akses vaskular permanen siap untuk digunakan (Sukandar,2006).
4. TINDAKAN HEMODIALISA
Dializer
Dializer adalah tempat dimana proses HD berlangsung sehingga terjadi
pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Material membran dializer
dapat terbuat dari Sellulose, Sellulose yang disubstitusi, Cellulosynthetic, Synthetic.
Spesifikasi dializer yang dinyatakan dengan Koeffisient ultrafiltrasi (Kuf) disebut
jugadengan permiabilitas air. Besarnya permiabilitas membran dializer terhadap air
bervariasi tergantung besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah jumlah cairan
(ml/jam) yang berpindah melewati membran per mmHg perbedaan tekanan (pressure
gradient) atau perbedaan TMP yang melewati membran.
Dializer ada yang terdiri dari high efficiency dan high flux.Dializer high efificiency
adalah dializer yang mempunyai luas permukaan membran yang besar. Dializer high
flux adalah dializer yang mempunyai pori-pori besar yang dapat melewatkan molekul
yang besar, dan mempunyai permiabilitas terhadap air yang tinggi.
Ada 3 tipe dializer yang siap pakai, steril dan bersifat disposible yaitu bentuk hollow-
fiber (capillary) dializer, parallel flat dializer dan coil dializer. Setiap dializer
mempunyai karakteristik tersendiri untuk menjamin efektifitas dan menjaga
keselamatan penderita.

Durasi Hemodialisa
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan frekuensi 2
kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15 jam/minggu dengan QB 200–
300 mL/menit.
Hemodialisa regeluer dikatakan cukup bila dilaksanakan secara teratur,
berkesinambungan, selama 9-12 jam setiap minggu (Suwitra, 2010).
4. Anti Koagulasi

Selama dilakukan tindakan hemodialisa, diperlukan pemberian antikoagulasi


agar tidak terjadi pembekuan darah didalam sirkuit ekstrakorporeal sehingga akan
mempengaruhi kecepatan aliran darah (blood flow) yang melewati dializer
(PERNEFRI,2003).
Dializer bersifat thrombogenic dan memerlukan anti koagulan, baik untuk pasien
maupun untuk sirkuit darah (extracorporeal). Heparinisasi yang tidak adekuat dapat
menyebabkan pembentukan thrombus yang dapat mengurangi luas permukaan
dialyzer disertai penurunanclearance dan ultrafiltration (Sukandar,2006).

5. Larutan Dialisat
a. Dialisat Asetat

Dialisat asetat telah dipakai sebagai dialisat standard untuk mengoreksi


asidosis uremikum dan mengimbangi kehilangan bikarbonat secara difusi selama HD.
Dialisat asetat tersedia dalam bentuk konsentrat yang cair dan relatif stabil.
Dibandingkan dengan dialisat bikarbonat, maka dialisat asetat efek sampingnya lebih
banyak. Efek samping yang sering seperti mual, muntah, kepala sakit, otot kejang,
hipotensi, gangguan hemodinamik, hipoksemia, koreksi asidosis menjadi terganggu,
intoleransi glukosa, meningkatkan pelepasan sitokin.
b. Dialisat Bikarbonat

Dialisat bikarbonat terdiri dari 2 komponen konsentratyaitu larutan asam dan


larutan bikarbonat. Kalsium dan magnesium tidak termasuk dalam konsentrat
bikarbonat oleh karena konsentrasi yang tinggi dari kalsium, magnesium dan
bikarbonat dapat membentuk kalsium dan magnesium karbonat.
Konsentrasi bikarbonat yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan
alkalosis metabolik yang akut. Namun dialisat bikarbonat bersifat lebih fisiologis
walaupun relatif tidak stabil. Biaya untuk sekali HD bila menggunakan dialisat
bikarbonat relatif lebih mahal dibanding dengan dialisat asetat
6. Mesin Hemodialisa
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa. Mesin HD
terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan dialisat dan sistem monitor.
Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari tempat tusukan vaskuler kepada
dializer. Kecepatan (QB) dapat diatur biasanya antara 200-300 ml/menit. Untuk
pengendalian ultrafiltrasi diperlukan tekanan negatif.Lokasi pompa darah biasanya
terletak antara monitor tekanan arteri dan monitor larutan dialisat. Sistem monitoring
setiap mesin HD sangat penting untuk menjamin efektifitas proses dialisis dan
keselamatan penderita.

2.4. Pemantauan Selama Dialisis

a. Koagulasi
Secara visual, darah dalam sirkuit ekstrakorporeal berwarna sangat tua, dalam dializer
terlihat garis-garis merah, dalam drip chamber terlihat busa dan pembentukan bekuan
darah (PERNEFRI,2003). b. Tekanan Darah
Hipertensi biasanya dipengaruhi oleh renin ataupun beberapa faktor lain yang belum
diketahui, pada penderita ini tekanan darah dapat meningkat selama dialisis,
walaupun cairan dihilangkan. Pada beberapa penderita pada waktu HD dapat terjadi
hipotensi intradialisis, penderita ini perlu penghentian medikasi tekanan darah pada
hari dialisis. Tekanan darah dan denyut nadi diukur tiap 30 sampai 60 menit. Keluhan
pusing ataupun perasaan lemah menunjukkan hipotensi. Gejala-gejala hipotensi dapat
tidak kentara, dan kadang asimtomatis sampai tekanan darah jatuh ketingkat yang
membahayakan.
c. Suhu
Demam yang timbul sebelum dialisis merupakan temuan yang serius perlu dicari
penyebabnya. Manifestasi infeksi pada penderita dialisis sering tidak kentara.
Kenaikan suhu sekitar 0,5 derajat selama dialisis adalah normal
d. Daerah Akses Vaskuler
Daerah akses vaskuler harus dipastikan dari tanda-tanda infeksi sebelum dialisis.
2.5. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut konsensus PERNEFRI (2003), pemeriksaan laboratoriumuntuk evaluasi
jangka panjang pada penderita dialisis, yaitu:

a. Setiap pasien baru dilakukan penilaian yang meliputi pemeriksaan fisik lengkap
dan penunjang sebagai berikut: Darah perifer lengkap, Elektrolit darah (Na, K, Cl,
Ca, P), HBs Ag, Anti HCV, Viral marker (HIV), Foto dada dan EKG.
b. Bila tidak ada indikasi khusus, maka dilakukan pemeriksaan sesuai jadwal berikut:
1. Na, K, Ca,P, Ureum, Kreatinin (setiap 3 bulan)

2. Serum Iron (SI), (TIBC), ferritin.

3. HBs Ag, anti HCV, AGD, EKG (setiap 6 bulan)

4. Echocardiografi (setiap 3 tahun) c. Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan


adalah:

1. Mg (khusus untuk aritmia) dan PTH setiap tahun.

2. Radiologi, densitometer tulang dan HIV pada keadaan khusus.

2.6. Komplikasi Hemodialisa


Menurut sukandar (2006) komplikasi selama prosedur HD dapat berhubungan dengan
tehnik dan non tehnik, tindakan monitoring selama proses HD sangatlah diperlukan.
Komplikasi terapi dialisisi sendiri dapat mencakup hal-hal berikut;
a. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan

b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara
memasuki sistem vaskuler pasien.

c. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah diluar tubuh.

d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.

e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan


muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadi lebih besar jika
terdapat gejala uremia yang berat.

f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel.

g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

1.
2. KOMPLIKASI HEMODIALISA
B. KECEMASAN
1. PENGERTIAN KECEMASAN
2. ETIOLOGI KECEMASAN
3. MANIFESTASI KECEMASAN
4. CARA MENGATASI KECEMASAN
C. HUBUNGAN TINDAKAN HEMODIALISA DENGAN
KECEMASAN
D. KERANGKA TEORI
E. KERANGKA KONSEP
F. VARIABEL PENELITIAN
G. HIPOTESIS

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Indonesian Renal Registry. 5th report of Indonesian renal registry.Diakses pada
tanggal 19 September 2016, tersedia online di
http://www.pernefri-inasn.org/Laporan/5th%20Annual%20Report%20Of
%20IRR%202012.pdf

Musfir, 2005. Konseling Terapi. Jakarta: Gema Insani Press.

Price,S.A&Wilson,L.MC.2005.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit Edisi 6 Vol.2.Alih bahasa oleh Brahm U.Pendit.Jakarta:EGC.

Levey,dkk.2007.Gagal Ginjal Kronik Diagnosis dan Terapi kedokteran Penyakit


Dalam buku 1.Jakarta:Salemba Medika.

Wartilisna,dkk, 2015.Hubungan tindakan hemodialisa dengan tingkat kecemasan


klien gagal ginjal kronik di RSUP Prof Dr.R.D Kandou
manado.Manado:Universitas Sam Ratulangi.

Anda mungkin juga menyukai