Resume Dam
Resume Dam
PARADIGMA HOLISTIK
Paradigma adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan
mempengaruhi dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku
(konatif).
Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang
diterapkan dalam memandang realitas dalam suatu komunitas, terutama dalam
konteks intelektual.
Paradigma dapat mempengaruhi cara seseorang berpikir, bersikap, dan
memecahkan masalah, serta turut mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan tindakan
dalam kehidupan sehari hari.
Beberapa contoh paradigma meliputi:
1. Paradigma positivistik: berfokus pada pengamatan dan pengukuran ilmiah
untuk mencari kebenaran objektif.
2. Paradigma konstruktivis: memahami realitas sosial sebagai hasil dari
interpresi makna yang diberikan oleh individu.
3. Paradigma kritis: mengkritisi tentang kekuasaan dan struktur sosial yang
ada dengan tujuan mencari keadilan sosial.
4. Paradigma postmodern: beton bahwa realitas sosial adalah kontruksi sosial
tanpa adanya kebenaran atau makna objektif.
Sedangkan Holistik mengacu pada pandangan yang melihat realitas sebagai suatu
kesatuan utuh, di mana sebagai elemen saling terkait dan tidak dapat di pisahkan.
Penganut paradigma Holistik cenderung melihat hubungan antara bagian-bagian
sistem dan bagaimana bagian-bagian tersebut berinteraksi untuk membentuk
keseluruhan. Dalam konteks pendidikan, paradigma holistik menekankan
pentingnya memahami siswa secaraa menyeluruh, termasuk aspek kognitif,
afektif, dan psikomotorik mereka. Paraadiga ini juga mencerminkan pandangan
yang lebih luas dan menyeluruh terhadap dunia, yang bertentangan dengan
pandangan reduksionis yang cenderung memecah-belah dan menganalisis secara
terpisah.
Paradigma holistik merupakan pandangan yang melihat realitas sebagai suatu
kesatuan utuh, di mana berbagai elemen saling terkait dan tidak dapat di pisahkan.
Paradigma ini bertentangan dengan pandangan reduksionis yang cenderung
memecah-belah dan menganalisis secara terpisah. Dalam konteks pendidikan,
paradigma holistik menekankan pentingnya memahami siswa secara menyeluruh,
termasuk aspek kognitif, afektif, dan psokomotorik mereka.
Penganut paradigma holistik memandang realitas sebagai suatu kesatuan utuh, di
mana berbagai elemen saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini berbeda
dengan paradigma Cartasian-Newtonian yang membagi realitas menjadi subjek
dan objek, serta anatara nilai dan fakta.
Paradigma holistik juga mencerminkan pandangan yang lebih luas da menyeluruh
terhadap dunia, yang bertantangan dengan pandangan reduksionis yang cenderung
memecah-belah dan menganalisis secara terpisah.
Paradigma holistik merupakan pandangan yang melihat realitas sebagai suatu
kesatuan utuh, di mana berbagai elemen saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Penganut paradigma holistik cenderung melihat hubungan anatara bagian-bagian
sistem dan bagaimana bagian-bagian tersebut birinteraksi untuk membentuk
keseluruhan. Dalam konteks pendidikan, paradigma holistik menekankan
pentingnya memahami siswa secara menyeluruh, termasuk aspek kognitif, afektif,
dan psikomotorik mereka. Paradigma ini juga mencerminkan pandangan yang
lebih luas dan menyeluruh terhadap dunia, yang bertentangan dengan pandangan
reduksionis yang cenderung memecah-belah dan menganalisis secara terpisah.
Beberapa karaktristik paradigma holistik meliputi:
1. Memperlukan alam raya sebagai sistem hidup yang karaktristik
2. Menganggap realitas sebagai suatu kesatuan utuh, dimana berbagai elemen
saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
3. Mencerminkan pandangan yang lebih luas dan menyeluruh terhadap
dunia, yang bertantangan dengan pandangan reduksionis yang cenderung
memecah-belah dan menganalisis secara terpisah.
4. Melihat realitas sebaai suatu kesatuan utuh di mana berbagai elemen saling
terkait dan tidak dapat dipisahkan
5. Menekankan pentingnya memahami siswa secara menyeluruh, termasuk
aspek kognitif, afektif, dan psokomotorik mereka.
6. Menganggap realitas sosial adalah kontruksi sosial dan tidak ada
kebenaran atau makna objektif.
Pemateri: Asratilla
EPISTEMOLOGI ISLAM
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas cara pengetahuan,
kepercayaan, dan pasti dalam konteks tradisi Islam. Mengkaji sumber dan metode
pengetahuan, serta hubungan antara pengetahuan dan tindakan dalam tradisi
Islam.
Beberapa aspek penting dalam Epistemologi Islam meliputI:
1. Asas-asas Epistemologi Islam: Artikel ini membahas tinjauan Muslim
tentang membaca dan perannya dalam kehidupan intelektual dan praktis
manusia
5. Teori Ilmu dalam al-Qur'an: Buku ini, ditulis oleh Syed Muhamad
Dawilah al-Edrus, berfokus pada teori ilmu dalam al-Qur'an
. Proses pembelajaran ilmu dalam Islam dirasai oleh semua manusia, dan
hanya merekalah yang akan merealisasikan proses tersebut
Para ahli mengakui bahwa bangsa Arab pada abad 8-12 tampil ke depan (maju)
karena dua hal: pertama, karena pengaruh sinar al-Qur’an yang memberi
semangat terhadap kegiatan keilmuan, kedua, karena pergumulannya dengan
bangsa asing (Yunani), sehingga ilmu pengetahuan atau filsafat mereka dapat
diserap, serta terjadinya akulturasi budaya antar mereka (Ghallab: 121). Agama
Islam selalu menyeru dan mendorong umatnya untuk senantiasa mencari dan
menggali ilmu. Oleh karena itu ilmuwan pun mendapatka perlakuan yang lebih
dari Islam, yang berupa kehormatan dan kemuliaan. al-Qur’an dan as-Sunnah
mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mengembangkan ilmu serta
menempatkan mereka pada posisi yang luhur Beberapa ayat petama yang
diwahyukan Muhammad s.a.w. menandaskan pentingnya membaca, menulis dan
belajar-mengajar. Allah menyeru: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah
dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya
(QS. Al-Alaq: 1-5). Sebagian ahli tafsir berpendapat, Al-Razi misalnya, bahwa
yang dimaksud dengan “iqra” dalam ayat pertama itu berarti “belajar” dan “iqra”
yan kedua berarti “mengajar”. Atau yang pertama berarti “bacalah dalam
shalatmu” dan yang kedua berarti “bacalah di luar shalatmu” (Binti Syathi’,
1968:20. Bandingkan dengan Jawad Maghniyah 1968: 587, Abdul Halim
Mahmud, 1979:55-56). Zamakhsyari berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan
“qalam” adalah “tulisan”. Karena tanpa tulisan semua ilmu tidak dapat
dikodifikasikan, seandainya tidak ada tulisan maka tidaklah tegak persoalan
agama dan dunia (Mahmud, 1979:23 lihat juga Abu Hayan, tt.: 492). Dan tentang
penciptaan alam, al-Qur’an menjelaskan bahwa Malaikat pun diperintahkan untuk
sujud kepada Adam setelah Adam diajarkan nama-nama: “Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya
kepada Malikat dan berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu,
jika kamu memang orang-orang yang benar’. Mereka menjawab: ‘Maha suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada
kami; Engkau Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah: 31-
32).
Setelah khalifah Islam yang ketiga, Usman bin Affan terbunuh, terjadi perpecahan
dan pertentangan di kalangan umat Islam. Perpecahan dan pertentagan tersebut
pada mulanya adalah karena persoalan politik. Tetapi kemudian merembet ke
bidang agama dan bidang-bidang lain. Untuk membela dan mempertahankan
pendapat-pendapat mereka serta untuk menyerang pendapat lawan-lawannya,
mereka berusaha menggunakan logika dan khazanah ilmu pengetahuan di masa
lalu, terutama logika Yunani dan Persi, sampai akhirnya mereka dapat berkenalan
dan mendalami pemikiran-pemikiran yang berasal dari kedua negeri tersebut.
Kemudian mereka membentuk filsafat sendiri, yang dikenal dengan nama filsafat
Islam.
Zaman selalu berkembang, dan Islam adalah agama yang sesuai dengan segala
perkembangan. Tetapi hal itu bergantung kepada pemahaman umatnya. Karena itu
setiap zaman berkembang, menghendaki pula perkembangan pemikiran umat
Islam terhadap agamanya. Pengembangan pemikiran tersebut berlangsung di
dalam filsafat.
Keempat karya tersebut diterjemahkan oleh Ishaq bin Hunayn dan semuanya
tercatat dalam buku Al-Fihris karya Ibnu Nadim dan Tarikh al-Hukama’ karya
Al-Qafti;
1. Timaeus, buku mengenai fisika yang diterjemahkan oleh Hunayn bin Ishaq
dengan ulasan Plutarchus. (Yahya bin Bitrik juga menterjemahkan karya
tersebut);
2. Phado, karya tentang jiwa dan keabadian sesudah mati dan Phaedrus
karya tentang cinta, keduanya merupakan disiplin psikologi;
3. Politicus, karya tentang ilmu politik yang diterjemahkan oleh Hunayn bin
Ishaq dan Law (undang-undang) yang diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi;
Kemudian pada abad ke-10 muncul dua penterjemah terkemuka: Yahya bin ‘Adi
dan gurunya, Abu Bisyr Matta yang memiliki kontribusi besar dalam
menterjemahkan karya-karya Aristoteles, khususnya mengenai logika. Matta
misalnya dianggap berjasa atas terjemahan karya logika Aristoteles: Categories,
Hermeunetica, Analytica Priora, Analytica Posteriora dan sebuah komentar
tentang Isagoge Porphyry, pengantar pengantar Analytica dan a Treatise on
Conditional Syllogism (Majid Fakhry, 1983:16). Hampir semua sejarawan (baik
Timur maupun Barat) sepakat, bahwa umat Islam memiliki peran besar dalam
memberikan kontribusinya terhadap dunia Barat/Eropa pada abad pertengahan,
baik di bidang sosial-budaya maupun ilmu pengetahuan. Berkembangnya ilmu
pengetahuan Barat sekarang yang dapat melahirkan teknologi yang sangat canggih
(sophisticated), tak lain adalah berkat ilmu pengetahuan yang telah berkembang
selama kurang lebih tiga belas abad silam di tangan pekar-pakar Muslim
kenamaan. Jika orang Yunani adalah “bapak metode ilmiah”, simpul H.G Wells,
maka, orang Muslim adalah “bapak angkat”-nya. Dalam perspektif sejarah, dunia
modern sekarang ini mendapatkan sinarnya lewat orang Muslim, bukan lewat
orang latin (Jujun, 1990:13). Baik Roger Bacon –yang dianggap sebagai pencetus
metode eksperimen di Barat –tak lain adalah hanya seorang yang telah
mentransfer karya-karya kaum Muslimin, Seperti Ibn Sina dan Ibn Haitsam (lihat
juga Madkur, 1986: 114). Sepert yang telah kita lihat, bahwa kebudayaan dan
peradaban Muslim masuk ke wilayah Eropa malalui dua cara: studi orang Barat ke
Andalusia, dan melalui kontak perdagangan dan penterjemahan. Sebagaimana
pengakuan Phillip K. Hitti (1970: 170), bahwa ilmu pengetahuan Islam dalam
banyak hal merembes ke alam pikiran orang-orang Barat. Hal ini dapat dilihat
dalam sejarah Spanyol Islam yang menunjukkan salah satu perkembangan yang
terbaik di Eropa pada abad pertengahan. Antara pertengahan abad ke-8 dan
permulaan abad ke-13 bangsa Arab merupakan pendukung utama suluh
kebudayaan dan peradaban di seluruh dunia, serta pengantar munculnya
renaissace di Eropa Barat. Hitti lantas menunjuk para penulis kenamaan Islam,
misalnya: Ibn Hazm (994-1064) seorang penulis produkltif (kurang lebih 400
buah karyanya) mengenai: sejarah, teologi, hadits, ilmu mantiq dan puisi, Ibn
Zaidun (1003-1071) seorang penyair utama bangsa Arab, Ibn al-Khatib (w. 1371)
dan Ibn Khaldun (1332-1406) seorang pakar sejarah (ilmu sosial), Ibn al-Awwan
penulis risalah mengenai biologi yang sangat bagus, Ibn al-Baitar ahli media dan
Ibn Thufail (w. 1185) dengan karya populernya Hay bin Yaqqdhan, yang oleh
banyak penulis dianggap mengilhami Danile Defol dengan karyanya Robinson
Crusoe (lihat Hitti,1970:170-185). Spanyol memang merupakan pusat ilmu
pengetahuan dan peradaban saat itu, dimana banyak para mahasiswa Eropa yang
belajar di Universitas-universitas di sana, Cordova, Sevilla, Malaga dan Granada.
Paus Sylvester II adalah orang nomor satu gereja yang datang ke Cordova untuk
belajar matematika dan astronomi. Dia pulalah yang mengintrodusir angka Arab
(ghubar) yang digunakan di Spanyol ke dunia Barat. Pada saat itu umat Islam juga
tampil sebagai pedagang-pedagang besar dalam lalu lintas perdagangan
internasional, sehingga peradaban dan kebudayaannya mengelaborasi dari Asia
hingga Eropa (lihat Nouruzzaman, 1986: 96). Transmisi ilmu pengetahuan Eropa
melalui penterjemahan dilakukan dengan gencar sekali. Penterjemahan buku-buku
bahasa Arab ke bahasa latin telah ditemui sejak abad ke-9. Di perpustakaan
Tripoli diketemukan dua buah manuskrip yang tercatat dalam sejarah pada abad-
10 berbahasa Latin yang berasal dari bahasa Arab. Usaha besar-besaran untuk
menterjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin terjadi pada
abad 12-13, yang berpusat di Cordova. Meski setelah kota tersebut jatuh ke tangan
umat Kristiani (1085) dan tidak pernah lepas dari cengkeramannya, situasinya
tetap tidak berubah, peradaban dan kebudayaan Muslim tetap bersinar. Hingga
dua abad kemudian penduduk Toledo masih menggunakan bahasa Arab sebagai
bahasa ilmu pengetahuan dan juga bahasa resmi (Nouruzzaman, 1986: 99,
Madkur, 1986:126). Gerakan penterjemahan ini disemangati oleh Alfonso yang
mendapat julukan “Si Bijak” raja Castilla (1252-1284). Ia juga seorang pakar
berbagai disiplin ilmu, termasuk yang menulis karya Cronica General yang salah
satu babnya berisi sejarah hidup Rasulullah, begitu juga dengan penterjemahan
buku Kalilah wa Dimnah. Toledo memiliki para penterjemah terkemuka dan
profesional. penterjemahan mula-mula dilakukan dari bahasa Arab ke bahasa
Ibrani, atau ke bahasa Castilla, baru kemudian ke bahasa Latin. Ini berbeda
dengan orang-orang yang menterjemahkan pertama-tama dari bahasa Yunani ke
bahasa Syiria. Meski begitu ada juga orang-orang yang Latin yang mampu
menterjemahkan langsung dari bahasa Arab ke bahasa Latin, sebagaimana juga
ada orang Arab yang mampu menterjemahkan langsung dari bahasa Yunani ke
bahasa Arab (lihat Nouruzzaman, 1986:102 dan Ibrahim Madkur, 1986:129). Di
antara para pakar luar Spanyol yang pernah bekerja sebagai penterjemah di
Toledo tercatat nama-nama seperti: Gerard dari cremona (Itali) meninggal tahun
1187, Michael Scott, Inggris (m. 1236) dan Robert dari Chester (Inggris). Tidak
diragukan lagi bahwa filsafat Kristen telah dipengaruhi oleh filsafat Islam sejak
abad ke-12, ketika orang-orang Latin mengadakan kontak dengan orang-orang
Arab melalui Sicilia dan Andalusia dan terjemahan buku-buku. Pengaruh tersebut
begitu kuat pada abad ke-13 dan bergema selama dua abad sesudahnya hingga era
renaissace. Kita hampir tidak menemukan tokoh terkemuka abad 13 yang tidak
mempunyai hubungan dengan Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Jika Siger dari Brabant (m.
1282) adalah seorang pendukung bersemangat Ibn Rusyd, maka Roger Bacon
lebih mendukung Ibn Sina, sementara filsafat St. Thomas Aquinas telah
menggabungkan filsafat Ibn Sina dan Ibn Rusyd (Madkur, 1986:139,140).
Demikianlah karya-karya Muslim telah banyak diterjemahkan, mulai dari Ibnu
Thufail, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al-Khawarizmi dan seterusnya. Toledo memang
jembatan bagi dunia Barat dalam mencerdaskan bangsa dan perasaan seni.
Sementara menurut Abdus Salam (1983:9), Toledo dan Salerno merupakan awal
penciptaan sains di dunia Barat. Di sana sebuah pelita dinyalakan cemerlang. Di
sinilah maka ketika George Sarton - seorang pakar sejarah sains - membagi daur
era penciptaan sains, Islam tampil progresif. George Sarton membagi prestasi
sains ke dalam beberapa era, dimana setiap era berjangka waktu sekitar setengah
abad, dengan separoh abad diasosiasikan seorang tokoh utama: Pertama, tahun
450 sampai 400 S.M adalah era Plato, yang lantas diikuti oleh oleh Aristoteles,
Euklides dan Archimedes; Kedua, dari tahun 600 sampai tahun 700 M adalah era
China dengan tokoh utamanya Hsiian Tsang dan I Ching; Ketiga, dari tahun 750-
1100 M, 350 tahun secara kesinambungan adalah Jabir, Khawarizmi, Razi,
Mas’udi, Wafa’, Biruni, Ibn Sina, Ibn Haitsam dan Umar Khayam, mereka adalah
bangsa Arab, Turki, Afghan dan Persia dari persemakmuran Islam. Baru sesudah
tahun 1100 ini muncul nama-nama Barat untuk pertama kalinya: Gerardo dari
Cremona dan Roger Bacon, tetapi kehormatan ini masih harus dibagi selama 250
tahun berikutnya dengan nama-nama Ibn Rusyd, Nasiruddin, Thusi, Ibn Nafis,
para ahli yang mendahului Harvey dalam pengembangan ‘teori perkembangan
darah’. Ya, kalaulah tidak karena persinggungan dengan dunia Islam niscaya
bangsa Barat tak akan semaju seperti sekarang. Filsafat Islam, meskipun
mengalami gerhana pada abad ke-5 H/11 M di Persia dan negeri-negeri Islam
timur lainnya akibat serangan Syahrastani, Al-Ghazali, dan Fakhruddin Al-Razi,
tidaklah sekadar hijrah ke Spanyol dan menikmati musim semi yang singkat di
tangan Ibn Bajah, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd dan akhirnya mati mengering di
ujung Barat dunia Islam. Filsafat Ibn Sina dihidupkan kembali oleh Nashiruddin
Thusi dan kelompoknya di abad ke-7 H/13 M, sementara dua generasi
sebelumnya suatu perspektif intelektual yang baru mulai diperkenalkan oleh
Syuhrawardi yang menamainya mazhab Pencerahan (isyraq). Lebih lanjut, “sains
mistisisme” atau ‘irfan (gnosis) terumuskan kira-kira pada waktu yang bersamaan
oleh Ibn ‘Arabi dan segera mulai berinteraksi dengan cara yang sangat kreatif
dengan tradisi filsafat Islam maupun dengan teologi atau kalam yang saat itu telah
menjadi semakin “filosofis” (S.H Nashr dalam Yazdi,1994: 8). Hasil dari semua
perkawinan-silang ini adalah beberapa kegiatan filsafat yang ekstensif di Persia
yang ditandai oleh tokoh-tokoh seperti Quthbuddin Syirasi, Dabiran Katibi,
Atsiruddin Abhari, Ibn Turkah Isfahani, keluarga Dasytaki serta tokoh-tokoh lain
yang sedikit sekali dikenal di dunia Barat. Masa pendekatan dan pencampuran ini,
yang berlangsung selama kira-kira tiga abad, mencapai kulminasinya dengan
Mazhab Isfahan yang di bangun oleh Mir Damad pada abad ke10 H/16 M dan
mencapai titik puncaknya pada Mulla Sadra, muridnya. Meskipun terjadi pasang
surut pada masa akhir periode Safawi dan pengrusakan sebagian besar kota
Isfahan akibat sebuan bangsa Afghan pada abad ke-12 H/18 M, namun obor
filsafat Islam yang menyala kembali di tangan Mulla Sadra terus berlanjut hingga
masa dinasti Qajar ketika sekali lagi Isfahan, di bawah Mullah ‘Ali Nuri menjadi
pusat besar filsafat ini, sementara Teheran juga mulai muncul sebagai pusat
kegiatan filsafat sejak abad ke-13 H/19 M hingga seterusnya. Selama masa ini
sejumlah filosof penting seperti Hajji Mullah Hadi Sabziwari dan Mullah ‘Ali
Zunuri muncul di atas gelanggang dan menulis makalah-makalah penting yang
dibaca kalangan-kalangan tradisional Persia hingga sekarang. Mereka juga
melatih banyak siswa yang mengemban tradisi yang hidup dari mazhab ini dengan
menekankan pengajaran secara lisan dan tulisan hingg masa dinasti Pahlevi dan
dunia semasanya (Nashr, dalam Yazdi, 1984:8).