Anda di halaman 1dari 21

Nama : Tiara Veranda

Utusan : PC IMM BONE

PARADIGMA HOLISTIK
Paradigma adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan
mempengaruhi dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku
(konatif).
Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang
diterapkan dalam memandang realitas dalam suatu komunitas, terutama dalam
konteks intelektual.
Paradigma dapat mempengaruhi cara seseorang berpikir, bersikap, dan
memecahkan masalah, serta turut mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan tindakan
dalam kehidupan sehari hari.
Beberapa contoh paradigma meliputi:
1. Paradigma positivistik: berfokus pada pengamatan dan pengukuran ilmiah
untuk mencari kebenaran objektif.
2. Paradigma konstruktivis: memahami realitas sosial sebagai hasil dari
interpresi makna yang diberikan oleh individu.
3. Paradigma kritis: mengkritisi tentang kekuasaan dan struktur sosial yang
ada dengan tujuan mencari keadilan sosial.
4. Paradigma postmodern: beton bahwa realitas sosial adalah kontruksi sosial
tanpa adanya kebenaran atau makna objektif.
Sedangkan Holistik mengacu pada pandangan yang melihat realitas sebagai suatu
kesatuan utuh, di mana sebagai elemen saling terkait dan tidak dapat di pisahkan.
Penganut paradigma Holistik cenderung melihat hubungan antara bagian-bagian
sistem dan bagaimana bagian-bagian tersebut berinteraksi untuk membentuk
keseluruhan. Dalam konteks pendidikan, paradigma holistik menekankan
pentingnya memahami siswa secaraa menyeluruh, termasuk aspek kognitif,
afektif, dan psikomotorik mereka. Paraadiga ini juga mencerminkan pandangan
yang lebih luas dan menyeluruh terhadap dunia, yang bertentangan dengan
pandangan reduksionis yang cenderung memecah-belah dan menganalisis secara
terpisah.
Paradigma holistik merupakan pandangan yang melihat realitas sebagai suatu
kesatuan utuh, di mana berbagai elemen saling terkait dan tidak dapat di pisahkan.
Paradigma ini bertentangan dengan pandangan reduksionis yang cenderung
memecah-belah dan menganalisis secara terpisah. Dalam konteks pendidikan,
paradigma holistik menekankan pentingnya memahami siswa secara menyeluruh,
termasuk aspek kognitif, afektif, dan psokomotorik mereka.
Penganut paradigma holistik memandang realitas sebagai suatu kesatuan utuh, di
mana berbagai elemen saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini berbeda
dengan paradigma Cartasian-Newtonian yang membagi realitas menjadi subjek
dan objek, serta anatara nilai dan fakta.
Paradigma holistik juga mencerminkan pandangan yang lebih luas da menyeluruh
terhadap dunia, yang bertantangan dengan pandangan reduksionis yang cenderung
memecah-belah dan menganalisis secara terpisah.
Paradigma holistik merupakan pandangan yang melihat realitas sebagai suatu
kesatuan utuh, di mana berbagai elemen saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Penganut paradigma holistik cenderung melihat hubungan anatara bagian-bagian
sistem dan bagaimana bagian-bagian tersebut birinteraksi untuk membentuk
keseluruhan. Dalam konteks pendidikan, paradigma holistik menekankan
pentingnya memahami siswa secara menyeluruh, termasuk aspek kognitif, afektif,
dan psikomotorik mereka. Paradigma ini juga mencerminkan pandangan yang
lebih luas dan menyeluruh terhadap dunia, yang bertentangan dengan pandangan
reduksionis yang cenderung memecah-belah dan menganalisis secara terpisah.
Beberapa karaktristik paradigma holistik meliputi:
1. Memperlukan alam raya sebagai sistem hidup yang karaktristik
2. Menganggap realitas sebagai suatu kesatuan utuh, dimana berbagai elemen
saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
3. Mencerminkan pandangan yang lebih luas dan menyeluruh terhadap
dunia, yang bertantangan dengan pandangan reduksionis yang cenderung
memecah-belah dan menganalisis secara terpisah.
4. Melihat realitas sebaai suatu kesatuan utuh di mana berbagai elemen saling
terkait dan tidak dapat dipisahkan
5. Menekankan pentingnya memahami siswa secara menyeluruh, termasuk
aspek kognitif, afektif, dan psokomotorik mereka.
6. Menganggap realitas sosial adalah kontruksi sosial dan tidak ada
kebenaran atau makna objektif.

Pemateri: Asratilla
EPISTEMOLOGI ISLAM
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas cara pengetahuan,
kepercayaan, dan pasti dalam konteks tradisi Islam. Mengkaji sumber dan metode
pengetahuan, serta hubungan antara pengetahuan dan tindakan dalam tradisi
Islam.
Beberapa aspek penting dalam Epistemologi Islam meliputI:
1. Asas-asas Epistemologi Islam: Artikel ini membahas tinjauan Muslim
tentang membaca dan perannya dalam kehidupan intelektual dan praktis
manusia

2. Ibn Khaldun: Artikel ini mengkaji tinjauan Epistemologi Islam menurut


Ibn Khaldun, seorang filsuf Muslim terkenal

3. Reformasi Pendidikan: Artikel ini mengkaji aspek epistemologi Islam


sebagai langkah awal dalam reformasi pendidikan, mengcontohkan
pengembangan sistem pendidikan yang menjadi kehargaan dan berbasis
nilai-nilai

4. Filsafat Pengetahuan Islam: Buku ini, ditulis oleh Miska Muhammad


Amien, merupakan presentasi literer dramat musik tentang Epistemologi
Islam

5. Teori Ilmu dalam al-Qur'an: Buku ini, ditulis oleh Syed Muhamad
Dawilah al-Edrus, berfokus pada teori ilmu dalam al-Qur'an

6. Epistemologi Islam penting untuk memahami aspek intelektual dan


pendidikan dalam tradisi Islam, karena menyediakan dasar untuk
pengembangan sistem pendidikan yang menjadi kehargaan dan berbasis
nilai-nilai.

Islam,Ilmu (Filsafat dibawa Islam)


 Teologi (proses menjadikan islam itu ilmu) Proses menjadikan Islam
sebagai ilmu melibatkan konsep islamisasi ilmu, di mana pandangan Islam
tentang ilmu dibahas untuk mendefinisikan langkah pertama menuju
proses islamisasi itu sendiri
 . Dalam Islam, ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu kebutuhan
dalam mencapai kesejahteraan hidup, dan Islam memandangnya sebagai
bagian dari pelaksanaan kewajiban yang berakal

 . Pengertian ilmu dalam Islam merujuk pada pengetahuan yang diberikan


oleh Allah Ta'ala, dan menuntut ilmu dianggap sebagai kewajiban dalam
agama Islam

 . Proses pembelajaran ilmu dalam Islam dirasai oleh semua manusia, dan
hanya merekalah yang akan merealisasikan proses tersebut

Asas penting dalam Epistemologi Islam yaitu:


1. Khabar Shadiq
Khabar secara etimologi berarti berita. Secara terminologi khabar berarti
berita yang mengabarkan tentang sesuatu kejadian, yang ditransfer dan
dibicarakan melalui perkataan, tulisan, atau gambaran dari kejadian-
kejadian yang baru. Shadiq secara etimologi berarti benar. Dilihat dari
makna terminologisnya, shadiq berarti suatu fakta yang sesuai dengan
realita. Menurut al-Attas, khabar shadiq haruslah didasari oleh sifat-sifat
dasar ilmiah atau agama, yang mana diriwayatkan oleh otoritas agama
yang otentik, bukan diriwayatkan oleh sembarang orang. Namun, bila
dilihat dari otoritasnya, khabar sadiq ini terbagi menjadi dua yaitu:
A. Otoritas mutlak (absolute authority) yang terdiri dari otoritas
ketuhanan, yaitu al-Qur’an dan otoritas kenabian, yaitu hadis
Rasulullah SAW.
B. Otoritas nisbi (relative authority) yang terdiri dari kesepakatan
alim ulama (tawatur) dan khabar yang berasal dari orang terpecaya
secara umum.

Khabar Shadiq menjadikan ilmu pengetahuan dalam Islam muncul,


tumbuh, dan berkembang hingga saat ini. Lalu apakah yang menjadikan
Khabar Shadiq mampu mengembangkan ilmu pengetahuan hingga saat
ini? Jawabannya adalah karena perannya sebagai metode transmisi ilmu
inilah, al-Qur’an dan al-Hadis menjadi terjaga keasliannya hingga saat ini,
dan tidak terjadi perubahan sedikit pun. Khabar Sadiq (true report)
merupakan hal yang vital meskipun dinafikan oleh peradaban barat, tradisi
transmisi khabar shadiq lah yang menjadikan Al-Qur’an dan Hadits tetap
otentik.
Akibat ketidakpercayaan Barat terhadap hal yang bersifat metafisik
mengantarkan peradaban ini pada ideology sekularisme. Arthur Jeffery
misalnya, menganggap bahwa sejarah kodifikasi alQur’an adalah fiktif
sehingga meragukan keabsahan mushaf Utsmani. Hal inilah yang
membedakan epistemologi islam dan barat.
2. Panca Indera
3. Akal
4. Intuisi
Intuisi merupakan kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan
secara langsung tanpa dilakukan observasi atau penalaran terlebih dahulu.
Dalam Islam, kedudukan intuisi tertinggi adalah dalam bentuk wahyu
sebagaimana yang dialami oleh para anb. Sedangkan manusia biasa
lainnya hanya dapat mengambil bentuk inspirasi (ilham) dan lintasan
pikiran (flashes).
Di kalangan muslim, Sebagian besar menerima intuisi, dan Sebagian kecil
menolak. Dan sebaliknya, di kalangan Barat Sebagian besar menolak
intusi dan Sebagian kecil menerimanya. Intuisi ini pada dasarnya datang
dari Allah SWT yang dapat disampaikan secara langsung atau melalui
perantara malaikat. Apabila pesan ini disampaikan kepada nabi maka
dapat disebut dengan wahyu dan jika disampaikan kepada wali maka
disebut dengan intuisi. Hal ini dikarenakan intuisi adalah penguatan dan
penjelasan dari wahyu.

· Asas epistemologi Barat yaitu:


1. Rasionalisme. Dalam pendekatan ini menekankan akal budi
(rasio) sebagai sumber utama pengetahuan.
2. Empirisme. Pendekatan ini merupakan doktrib bahwa seluruh
pengetahuan juga harus berdasarkan pengalaman inderawi.
3. Skeptisisme. Paham ini memandang segala sesuatu selalu tidak
pasti atau selalu ragu dan curiga terhadap pengetahuan

Pemateri: Aksi Hamza


FILSAFAT ISLAM

Para ahli mengakui bahwa bangsa Arab pada abad 8-12 tampil ke depan (maju)
karena dua hal: pertama, karena pengaruh sinar al-Qur’an yang memberi
semangat terhadap kegiatan keilmuan, kedua, karena pergumulannya dengan
bangsa asing (Yunani), sehingga ilmu pengetahuan atau filsafat mereka dapat
diserap, serta terjadinya akulturasi budaya antar mereka (Ghallab: 121). Agama
Islam selalu menyeru dan mendorong umatnya untuk senantiasa mencari dan
menggali ilmu. Oleh karena itu ilmuwan pun mendapatka perlakuan yang lebih
dari Islam, yang berupa kehormatan dan kemuliaan. al-Qur’an dan as-Sunnah
mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mengembangkan ilmu serta
menempatkan mereka pada posisi yang luhur Beberapa ayat petama yang
diwahyukan Muhammad s.a.w. menandaskan pentingnya membaca, menulis dan
belajar-mengajar. Allah menyeru: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah
dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya
(QS. Al-Alaq: 1-5). Sebagian ahli tafsir berpendapat, Al-Razi misalnya, bahwa
yang dimaksud dengan “iqra” dalam ayat pertama itu berarti “belajar” dan “iqra”
yan kedua berarti “mengajar”. Atau yang pertama berarti “bacalah dalam
shalatmu” dan yang kedua berarti “bacalah di luar shalatmu” (Binti Syathi’,
1968:20. Bandingkan dengan Jawad Maghniyah 1968: 587, Abdul Halim
Mahmud, 1979:55-56). Zamakhsyari berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan
“qalam” adalah “tulisan”. Karena tanpa tulisan semua ilmu tidak dapat
dikodifikasikan, seandainya tidak ada tulisan maka tidaklah tegak persoalan
agama dan dunia (Mahmud, 1979:23 lihat juga Abu Hayan, tt.: 492). Dan tentang
penciptaan alam, al-Qur’an menjelaskan bahwa Malaikat pun diperintahkan untuk
sujud kepada Adam setelah Adam diajarkan nama-nama: “Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya
kepada Malikat dan berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu,
jika kamu memang orang-orang yang benar’. Mereka menjawab: ‘Maha suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada
kami; Engkau Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah: 31-
32).

1. Faktor Perpecahan di Kalangan Umat Islam (intern)

Setelah khalifah Islam yang ketiga, Usman bin Affan terbunuh, terjadi perpecahan
dan pertentangan di kalangan umat Islam. Perpecahan dan pertentagan tersebut
pada mulanya adalah karena persoalan politik. Tetapi kemudian merembet ke
bidang agama dan bidang-bidang lain. Untuk membela dan mempertahankan
pendapat-pendapat mereka serta untuk menyerang pendapat lawan-lawannya,
mereka berusaha menggunakan logika dan khazanah ilmu pengetahuan di masa
lalu, terutama logika Yunani dan Persi, sampai akhirnya mereka dapat berkenalan
dan mendalami pemikiran-pemikiran yang berasal dari kedua negeri tersebut.
Kemudian mereka membentuk filsafat sendiri, yang dikenal dengan nama filsafat
Islam.

2. Faktor Dakwah Islam

Islam menghendaki agar umatnya menyampaikan ajaran Islam kepada sesama


manusia. Agar orang-orang yang diajak masuk Islam itu dapat menerima Islam
secara rasional, maka Islam harus disampaikan kepada mereka dengan dalil-dalil
yang rasional pula. Untuk keperluan itu diperlukan filsafat.

3. Faktor Menghadapi Tantangan Zaman (ekstern)

Zaman selalu berkembang, dan Islam adalah agama yang sesuai dengan segala
perkembangan. Tetapi hal itu bergantung kepada pemahaman umatnya. Karena itu
setiap zaman berkembang, menghendaki pula perkembangan pemikiran umat
Islam terhadap agamanya. Pengembangan pemikiran tersebut berlangsung di
dalam filsafat.

4. Faktor Pengaruh Kebudayaan Lain


Setelah daerah kekuasaan meluas ke berbagai wilayah, umat Islam berjumpa
dengan bermacam-macam kebudayaan. Mereka menjadi tertarik, lalu
mempelajarinya dan akhirnya terjadi sentuhan budaya diantara mereka. Hal ini
banyak sekali ditemukan dalam beberapa teori filsafat Islam, misalnya “teori
emanasi” dari Al-Farabi.

Pertumbuhan Filsafat Islam


Filsafat, sebagaimana telah dijelaskan di muka berasal dari Keldania (sekarang
Irak), kemudian pindah ke Mesir, lalu ke Yunani, Suryani, dan akhirnya sampai
ke negeri Arab. Filsafat pindah ke negeri Arab setelah datangnya Islam. Setelah
kaum muslimin membentuk suatu negara raksasa yang membentang dari
penghujung negeri Cina di timur, sampai ke penghujung semenanjung Andalusia
di Barat. Mereka telah menerima dan memegang panji-panji peradaban dunia,
mendalami berbagai disiplin ilmu dan seni, serta merenungkan dasar-dasarnya.
Watak ajaran Islam adalah terbuka, oleh sebab itu sesuai dengan perkembangan
dan perluasan wilayah Islam itu sendiri, maka ajaran Islam tidak bisa lepas dari
pergumulan dengan budaya dan pengetahuan bangsa lain serta berkembang
semakin luas dan menyangkut berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat.
Pergumulan antara bangsa satu dengan bangsa lain di dunia hampir tak bisa
dihindari sama sekali. Implikasi dari semua ini adalah, tidak adanya kemurnian
budaya satu pun di dunia ini. Dan biasanya negara besarlah yang memiliki
pengaruh dan bersifat hegemonik. Hanya, Islam memiliki originalitas dan
otentisitas ajaran. Oleh sebab itu ketika Islam bersinggungan dengan budaya
Yunani, Persi, Cina atau yang lainnya, maka tidak otomatis Islam di Yunanikan,
diPersikan, diCinakan dst. Islam datang pada permulaan abad ke-7 M, kemudian
berkembang sampai ke seluruh Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol pada
akhir abad tersebut. Pada wilayah ini peradaban yang sudah ada tetap
dikembangkan dan disemangati oleh karakteristik ajaran Islam (baca: islamisasi).
Karena sesuai dengan watak ajaran Islam itu sendiri, yaitu memberikan
kesempatan kepada pemeluknya untuk menyerap ide-ide dari banyak sumber
(Khuz al-hikmata walau fi ayyi wi’ain kana, Uthlub al-‘ilma walau bis-Shin).
Kontak dengan wilayah baru itu menyebabkan umat Islam menyerap ilmu
pengetahuan yang berasal dari Yunani dan juga Cina. Mereka mentransfer ilmu-
ilmu tersebut dalam paradigma baru dan kemudian berkembang sehingga menjadi
bagian dari peradaban Islam . Setelah diintegrasikan ke dalam struktur dasar yang
berasal dari wahyu Tuhan. Warisan Yunani itu sendiri untuk sebagian besar
merupakan campuran pandangan-pandangan kuno di sekitar laut Tengah yang
disistemasikan dan di susun dalam bentuk dialektika oleh orang-orang Yunani.
Dari Aleksandria warisan itu dibawa ke Antioch, kemudian ke Nisibis dan Edessa
oleh orang Kristen Monofisit dan Nestorian hingga sampai Persia (melalui
penterjemahan). Baghdad adalah sebuah kota yang merupakan pusat studi ilmu
pengetahuan yang populer saat itu. Di kota ini berdiri lembaga ilmu pengetahuan
yang bernama Bait al-Hikmah. Pusat studi yang pada mulanya lahir di Yunani
berpindah ke Iskandariyah dan selanjutnya ke Antioch dan berakhir ke kota Haran
pada zaman khalifah al-Must’dhid (892-902). Pusat studi tersebut berpindah dari
Haran ke Baghdad. Di antara guru besar filsafat yang mengajar di Baghdad saat
itu antara lain: Quwairi, guru Abu Basyar Matta dan Yuhanna Ibn Hilan, guru al-
Farabi. Dari sinilah kemudian bermunculan para filosuf Muslim dari al-Kindi
hingga al-Ghazali dst. Sebenarnya kaum muslimin pada masa permulaan Islam
tidak bermaksud untuk menukilkan filsafat secara langsung, dengan asumsi yang
demikian itu belum dianggap penting, bahkan mereka tidak bermaksud
menukilkan ilmu asing. Bilamana ada ilmu-ilmu asing yang telah merembes ke
Arab (Islam), hal itu karena adanya hubungan bangsa Arab dengan bangsa-
bangsa sekitarnya. Hubungan itu telah terjadi pada masa Jahiliyah walau hanya
dalam batas tertentu. Sehubungan dengan perpindahan ilmu asing ke Arab pada
permulaan Islam, ada suatu cerita yang menarik. Konon pada zaman Rasulullah
sudah ada dokter yaitu, Al-Haris Ibn Kildah as Saqafi. Ia dikenal sebagai dokter
Arab. Diriwayatkan dari Sa’ad Ibn Abi Waqas, bahwa ia pernah sakit dan
Rasulullah datang menjenguknya, lalu Rasulullah berkata (kepada Sa’ad):
“Datanglah kamu kepada Haris Ibn Kildah, ia adalah seorang yang
mempraktikkan ilmu kedokteran”. Sebenarnya saat itu pengetahuan Al-Haris di
bidang kedokteran masih sedikit, ia belum menguasai pokok-pokok ilmu
kedokteran dan cabang-cabangnya secara ilmiah, karena hal itu memerlukan
pengetahuan bahasa Suryani. Perpindahan ilmu kedokteran dari Yunani ke
Jundishapur, serta penerjemahan buku-buku kedokteran ke bahasa Suryani adalah
setelah dibangunnya Iskandariyah, kota yang menjadi pusat peradaban Yunani.
Pada masa kejayaan Iskandariyah ini banyak ilmuawan yang bermunculan di sana.
Mereka itu antara lain: Archimedes, Ptolemy, Galen, Euclid dan lain-lain. Mereka
telah meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan, seperti ilmu geometri, astronomi
dan kedokteran. Iskandariyah selanjutnya menjadi mercusuar ilmu pengetahuan
sampai pada abad ke-6 Masehi. Di sana lahir para ilmuwan generasi kedua yang
menyusun kembali, memperbaiki dan menyiapkan buku-buku para ilmuwan
generasi sebelumnya untuk diajarkan kepada generasi selanjutnya. Dari generasi
kedua inilah orang-orang Arab menukilkan berbagai cabang ilmu pengetahuan
dan filsafat. Demikianlah halnya, sehingga dapat dikatakan bahwa pindahnya
filsafat ke Arab adalah setelah Iskandariyah dibangun dan menjadi pusat ilmu
pengetahuan, dimana orang-orang Arab menerjemahkan berbagai cabang ilmu
pengetahuan dan filsafat baik dari bahasa Yunani maupun dari bahasa Suryani
kedalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-buku filsafat yang dilakukan orang-
orang Arab pada mulanya bukanlah bertujuan untuk mempelajari filsafat.
Kecenderungan bangsa Arab kala itu pada ilmu pengetahuan bukan pada filsafat.
Akan tetapi karena buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab tersebut
kebanyakan karya dari para Filosof Yunani, yang mencampuradukkan antara
filafat dan ilmu pengetahuan, maka orang-orang Arab yang mempelajari ilmu
pengetahuan terdorong pula untuk mengenal filsafat, mempelajari aliran-
alirannya, riwayat hidup para filosof dan pendapat-pendapat mereka mengenai
hubungan ilmu pengetahuan dan filsafat. Karena pindahnya filsafat ke negeri Arab
tersebut adalah setelah datangnya Islam di negeri ini, maka akhirnya filsafat yang
pindah ke negeri Arab tersebut lebih dikenal dengan istilah filsafat Islam.

Perkembangan Filsafat Islam


Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab
belum mempunyai filsafat. Akan tetapi dengan mengatakan bahwa filsafat tidak
terdapat pada bangsa Arab pada permulaan Islam, bukan berarti mereka tidak
menghiraukan filsafat. Setelah filsafat meninggalkan Yunani, ia dikembangkan
oleh orang Islam, sehingga filsafat tersebut menjadi bagian terpenting dari
kebudayaan Islam. Beratus tahun filsafat itu lepas dari bangsa Yunani, selama itu
pula filsafat dibangun oleh orang Islam. Pada saat pertama kali filsafat itu pindah
ke dalam masyarakat Islam belum kelihatan bahwa filsafat tersebut merupakan
bagian dari peradaban. Ia baru kelihatan peranannya dalam peradaban Islam pada
abad ke-9 Masehi, yaitu di masa pemerintahan Abassiyah. Filsafat muncul dalam
gelanggang pemerintahan Islam. Rupanya sebelum itu filsafat merupakan sesuatu
yang belum matang di kalangan kaum muslimin. Dari abad ke-9 sampai abad ke-
12 filsafat berkembang dengan suburnya dalam khazanah ilmu pengetahuann dan
masyarakat Islam. Masa ini adalah masa perkembangan filsafat yang tiada taranya
dalam dunia Islam. Dunia Islam telah melahirkan ahli-ahli filsafat Islam yang
banyak jumlahnya, bahkan ada yang sampai diberi julukan sebagai “guru kedua”
filsafat, yaitu Al-Farabi. Guru pertamanya adalah Aristoteles, dan sampai saat ini
belum ada guru ketiganya. Demikianlah halnya, filsafat mengalami perkembangan
yang pesat di dunia Islam yaitu pada masa pemerintahan Abbasiyah. Akan tetapi
pada abad ke- 12 secara tiba-tiba perkembangan filsafat Islam terhenti, karena
mendapat serangan dari ahli-ahli agama. Banyak ahli-ahli filsafat dihukum
sebagai orang-orang mulhid (atheis), akibatnya pada akhir abad ke-12
menghilanglah filsafat dari kebudayaan Islam. Buku-buku filsafat betapapun besar
dan tinggi nilainya, dibakar dalam perunggunan di musim dingin dan akhirnya
pada abad ke 14. Tidak seorangpun lagi dalam dunia Islam yang berani
mempelajari filsafat, apalagi menamakan dirinya sebagai filosuf. Sebab dengan
demikian akan menyebabkan dia dihukumi sebagai orang mulhid. Sejak itulah
perkembangan filsafat di dunia Islam menjadi tertinggal. Sementara dunia Barat
yang pada mulanya mempelajari filsafat dari orang-orang Islam mengalami
kemajuan yang amat pesat sampai saat ini. Demikianlah, filsafat Islam telah
mengalami perkembangan yang pesat dalam kurun waktu yang sangat lama, akan
tetapi setelah mendapat serangan dari ahli-ahli agama, filsafat Islam menjadi
mandek. Kemandekan filsafat Islam inilah yang dianggap oleh sebagian kalangan,
yang menyebabkan tertinggalnya umat Islam saat ini dari negara-negara Barat.

Gerakan Keilmuan Islam dan Pengaruhnya Terhadap Renaissance


Wahyu pertama yang turun (Q.S. Al-’Alaq :1-5) itu --dan sejumlah hadis Nabi--
memiliki implikasi besar terhadap perkembangan keilmuan pada masa-masa
berikutnya. Sebagaimana yang dicatat oleh Ahmad Amin (1969:141) bahwa pada
awal timbulnya Islam, barulah tujuh belas orang suku Quraisy yang pandai baca-
tulis. Nabi juga menganjurkan para pengikutnya untuk belajar membaca dan
menulis. Aisyah, isterinya pun belajar membaca. Anak angkatnya, Zaid bin
Haritsah disuruh pula belajar tulisan Ibrani dan Suryani. Para tawanan perang
dibebaskan setelah mereka dapat mengajar sepuluh orang muslim untuk membaca
dan menulis (meski Nabi sendiri ummi, tetapi ke-ummi-an beliau sangat beralasan
untuk menolak anggapan, bahwa al-Qur’an itu ciptaannya). Beberapa wahyu
(nash) penting mengenai ilmu telah menjadikan alasan bagi dukungan dan respon
Islam terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban. Oleh sebab itu, tak heran jika
tradisi keilmuan dalam Islam lantas begitu subur dan semarak pada masa-masa
berikutnya. Demikianlah, gerakan melek huruf untuk pertama kalinya dilakukan
Islam dalam rangka pengamalan ilmu pengetahuan. Jika pada mulanya aktivitas
keilmuan itu hanya telaah agama yang lebih khusus, maka pada periode
berikutnya menjadi berkembang secara menyeluruh dan dalam skop yang lebih
luas. Jika pada umumnya kajian keislaman hanya terpusat pada al-Qur’an, al-
Hadits, Kalam, Fiqh serta ilmu gramatika bahasa (nahwu, sharaf, balaghah), maka
pada periode berikutnya, setelah kemenangan Islam ke berbagai wilayah, kajian
itu berkembang dalam berbagai disiplin ilmu: filsafat, kedokteran, astronomi,
fisika dan ilmu-ilmu sosial. Kenyataan ini bisa dibuktikan pada masa
kegemilangannya, antara abad 8-15 Masehi, dari dinasti Abbasiyah (750-1258)
hingga jatuhnya Granada (1492). Perluasan wilayah Islam dimulai sejak khalifah
Abu Bakar As-Shiddiq hingga dinasti ‘Abbasiyah. Berturut-turut jatuh ke tangan
Islam adalah, wilayah: Damsyik (629), seluruh Syam dan Irak (673), Mesir hingga
Maroko (645), Persi (646), Samarkand (680) dan seluruh Andalusia (719). Satu
abad kemudian (setelah hijrah), negara Islam telah membentang dari teluk
Biskaya di sebelah barat hingga Turkestan (Tiongkok) dan India yang melebihi
imperium Romawi pada puncak kejayaannya (Poeradisastro, 1986: 8). Bahwa
jauh sebelum umat Islam menaklukkan wilayah Timur Dekat, Syria merupakan
tempat bertemunya dua negara “super power” waktu itu, Roma dan Persia. Bangsa
Syria memang memiliki peran penting dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan
peradaban Yunani ke Timur dan Barat, terutama kaum Monofisit¯ dan
Nestorian¯. Hanya saat itu ilmu pengetahuan (seperti kedokteran) tetap
merupakan pengetahuan sekuler dan dengan demikian kedudukannya lebih rendah
daripada pengobatan spiritual yang merupakan hak istimewa para pendeta ((lihat
C.A. Qadir, 1989:34-35). Sebagaimana kata De Boer (1961:13), bahwa
berdasarkan peraturan mazhab Nisibi, mulai tahun 590, kitab-kitab suci dilarang
dibaca dalam satu ruangan dengan buku-buku mengenai profesi keduniaan
(sekuler). Di pusat-pusat ilmu pengetahuan, seperti di Antokiah, Ephesus dan
Iskandariah, penterjemahan buku-buku Yunani ke dalam berbagai bahasa,
terutama bahasa Syria (Suryani) tetap dilakukan dan tetap memiliki pengaruh
yang besar, bahkan setelah pusat-pusat kota itu ditaklukkan oleh umat Islam.
Ketika pemikiran-pemikiran Yunani itu merasuk pada umat Kristiani dan
mewarnai pemikiran tokoh gereja, Nestorius, Uskup Constantinopel, maka serta
merta mendapat tantangan keras dari kaum konservatif dan ortodoks, sehingga
pada tahun 481, ajaran-ajarannya dilarang oleh gereja. Tetapi meski begitu,
Nestorius dan sebagian pengikutnya tetap tidak mau tunduk dan malah melarikan
diri ke Syria. Di sinilah ia mengembangkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani
itu dan bahkan mendirikan sekolah-sekolah serta tetap aktif menterjemah. Karya-
karya Yunani yang diterjemahkan antara lain mnengenai filsafat dan logika (C.A
Qadir, 1989:35). Perluasan wilayah Islam ke berbagai penjuru telah membawa
konsekuensi bahwa Islam harus berhadapan dengan berbagai pluralitas bangsa dan
“globalisasi“ dunia saat itu: ras, bahasa, tradisi, budaya, agama dan bangsa itu
sendiri. Islam harus berhadapan dengan agama yang beragam: Yahudi, Kristen,
Zoroaster, Manes, Hindu dan seterusnya, dengan aneka budayanya: Yunani,
Romawi, Mesir (Qibti dan Nubia) dan Persi. Heteroginitas dan globalisasi itu
menuntut umat Islam untuk senantiasa mampu menampilkan ajaran-ajarannya
dalam bentuk yang kosmopolit dan egaliter. Di sinilah kemudian umat Islam juga
mulai mempelajari karya-karya Yunani untuk kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Suryani, suatu bahasa yang masih serumpun dengan bahasa Arab. Upaya
ini terus berlanjut hingga masa kegemilangannya pada masa dinasti Abbasiyah.
Pada abad ini (abad 7), terdapat dua pusat ilmu pengetahuan: di Haran dan
Jundishapur. Tsabit bin Qurra’ dan anaknya, Sinan bin Tsabit, serta kedua
cucunya, Tsabit dan Ibrahim adalah produk-produk pendidikan lembaga
Aleksandria (Haran) ini, yang ahli dalam bidang matematika dan astronomi.
Sementara di Jundishapur, Khosru Anusirwan (521-579) mendirikan lembaga
studi filsafat dan kedokteran. Karena letaknya yang dekat dengan Baghdad, maka
dengan mudah lembaga tersebut berpengaruh terhadap umat Islam di sana (C.A
Qadir, 1989: 36, Watt, 1987: 56). Oleh karena Jundhisapur berdekatan dengan
Baghdad, maka hubungan politis orang-orang Persia dengan khalifah Abbasiyah
sangat erat, yang memiliki dampak positif bagi umat Islam di sana. Sejak awal
Jundishapur telah menyumbangkan tabib-tabib istana, seperti halnya sejumlah
keluarga Nestorian, Bakhtisyu yang mengabdi kepada khalifah dengan penuh
hormat. Mereka juga banyak membantu pembangunan: rumah sakit dan
observatorium di Baghdad dengan mengikuti pola Jundishapur selama
pemerinyahan Harun Al-Rasyid (789-809) dan penerusnya Al-Makmun (813-833)
(Majid Fakhry, 1983: 4, Watt: 56). Satu hal yang perlu dicatat, bahwa ketika
bangsa Arab menaklukkan negeri-negeri di Asia Barat dan Timur dekat, mereka
tidak mengganggu urusan bahasa dan kebudayaan bangsa yang mereka taklukkan
tersebut. Itulah sebabnya, di bagian awal sejarah Islam, sebelum dinasti
Mu’awiyyah memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi,
bahasa Persi dan Yunani tetap dipergunakan pada waktu itu, hingga secara resmi
diganti dengan bahasa Arab. Oleh sebab itu karya Yunani yang masih ada
sebagian berbahasa Persi dan sebagian lain tetap berbahasa Yunani (lihat C.A
Qadir, 1989: 37). Ilmu pengetahuan yang pertama kali diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab pada masa dinasti Umayyah di bawah pemerintahan Marwan bin
Hakam (684-685) adalah ilmu kedokteran. Ketika itu seorang dokter bernama
Masarjaweh menerjemahkan buku yang ditulis oleh seorang pendeta bernama
Ahran bin A’yun dari bahasa asli Suryani ke dalam bahasa Arab. Buku tersebut
masih tersimpan baik di pertustakaan hingga pemerintahan Umar bin Abdul Aziz
(718-720). Kemudian buku itu dipindahkannya ke mushalla dengan maksud agar
dapat dimanfaatkan oleh umum. Sebagian riwayat menyebutkan, bahwa orang
yang pertama kali menterjemahkan itu adalah Khalid bin Yazid Al-Umawi (w.
678) dan buku yang diterjemah adalah ilmu kimia (Shun’ah) yang tekenal saat itu
(Al-Ahwani, 1962: 31). Segera setelah penobatan khalifah Abbasiyah,
dilakukanlah penerjemahan karya-karya ilmiah dan filsafat Yunani ke dalam
bahasa Arab secara serius. Dimasa kekuasaan Harun Al-Rasyid telah banyak
diterjemahkan karya mengenai astronomi, satu diantaranya adalah Siddhanta --
sebuah risalah India yang diterjemahkan oleh Muhammad Ibrahim Al-Fazari (w.
806). Sebuah karya astronomi lainnya adalah Quadripartitus karya Ptolemy dan
karya-karya lain mengenai astrologi. Selain bernilai ilmiah, karya-karya
terjemahan itu mempunyai nilai praktis. Yahya bin Bitriq misalnya telah
menterjemahkan Timaeus, karya Plato dan De Anima, Analytica Priori dan Secret
of Secret-nya Aristoteles. Saat itu tidak hanya khalifah dan wazir-wazir saja yang
menaruh perhatian terhadap para filosof dan ilmuwan, melainkan juga masyarakat
biasa. Misalnya keluarga Banu Musa, seorang hartawan terpandang telah
menyumbangkan banyak uangnya untuk keperluan terjemahan tersebut. Ia
mengutus orang-orang pergi ke Byzantium untuk membeli naskah-naskah Yunani
dan mengupah para penterjemah dengan harga tinggi. Beberapa karya selain
astrologi dan matematika yang diusahakan adalah karya mengenai atom (the
Treatise on the Atom) dan karya mengenai kekekalan dunia ( Treatise on the
Eternity of the World), dua risalah yang bernilai filosofis (C.A Qadir, 1989:39).
Nampaknya Baghdad tidak ingin ketinggalan dengan tradisi Aleksandria dan
Jundishapur, maka dibangunlah Lembaga Ilmu Pengetahuan (Bait al-Hikmah)
tahun 830 oleh Al-Ma’mun (813-833) sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan dan
filsafat yang sarat dengan fasilitasnya: ada perpustakaan, laboratorium
penterjemahan dan observatorium bintang. Penterjemah penting di Bait al-
Hikmah ini adalah Hunayn bin Ishaq (w. 873) seorang Kristen Haran dan murid
Hasawaih, seorang yang berjasa besar dalam menterjemah karya-karya medis
klasik, ia sendiri juga sebagai dokter pribadi Harun Al-Rasyid. Di samping
Hunayn, terdapat penterjemah lain, seperti Qusta bin Laqa (seorang Kristen juga)
dan Tsabit bin Qurra’ (w. 901) dari kalangan penyembah bintang-bintang
(Sabi’ah) yang bersama murid-muridnya menterjemahkan karya astronomi (lihat
pula C.A Qadir, 1989:40). Seperti yang diidentifikasi oleh Ahmad Hanafi
(1982:66-73), bahwa karya-karya Plato dan Aristoteles yang diterjemahkan itu
adalah:

1. Theatetus, Cratylus, Sophistes, Permanides.

Keempat karya tersebut diterjemahkan oleh Ishaq bin Hunayn dan semuanya
tercatat dalam buku Al-Fihris karya Ibnu Nadim dan Tarikh al-Hukama’ karya
Al-Qafti;

1. Timaeus, buku mengenai fisika yang diterjemahkan oleh Hunayn bin Ishaq
dengan ulasan Plutarchus. (Yahya bin Bitrik juga menterjemahkan karya
tersebut);
2. Phado, karya tentang jiwa dan keabadian sesudah mati dan Phaedrus
karya tentang cinta, keduanya merupakan disiplin psikologi;
3. Politicus, karya tentang ilmu politik yang diterjemahkan oleh Hunayn bin
Ishaq dan Law (undang-undang) yang diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi;

Sedangkan karya-karya Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, seperti:

1. Categorie (Al-Maqalat) berisi tentang sepuluh macam ke yang


diterjemahkan oleh Ibn al-Muqaffa’, lantas diterjemahkan lagi oleh Ishaq
bin Hunayn dan selanjutnya diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi dengan
ulasannya dari Iskandar Aphrodisis;
2. Interpretation yang dunia Arab Islam dikenal dengan nama Pori-
Armenias, berisi keterangan mengenai bahasa: proposisi dan bagian-
bagiannya. Karya tersebut semula diterjemahkan oleh Ibn al-Muqaffa’ (ke
dalam bahasa Persi kuno) kemudian disalin ke dalam bahasa Arab oleh
Ishaq bin Hunain;
3. Analytica Priaora (uraian pertama) ysng membahas tentang metode
keilmuan. Diterjemahkan oleh Mattius bin Yunus ke dalam bahasa
Suryani. Kemudian diterjemahkan lagi oleh Ishaq bin Hunayn;
4. Analytica Posteriora (uraian kedua) diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi
dan Abu Utsman al-Damsyiqi;
5. Sophistic Elenchi (kesalahan-kesalahan Sofistik) disalin ke dalam bahasa
Arab oleh Ishaq bin Hunayn dengan judul Al-Hikmah al-Muwawwahah
(filsafat yang menipu);
6. De Caelo (langit) diterjemahkan oleh Petrick, kemudian diringkas oleh
Naicholas Damascus;
7. Anima (jiwa) diterjemahkan oleh Ishaq bin Hunayn (semula diterjemahkan
oleh Yahya bin Bitrik, pen.);
8. Ethica Nicomachaes yang berisi tentang pembagian ilmu etika menurut
Aristoteles.

Kemudian pada abad ke-10 muncul dua penterjemah terkemuka: Yahya bin ‘Adi
dan gurunya, Abu Bisyr Matta yang memiliki kontribusi besar dalam
menterjemahkan karya-karya Aristoteles, khususnya mengenai logika. Matta
misalnya dianggap berjasa atas terjemahan karya logika Aristoteles: Categories,
Hermeunetica, Analytica Priora, Analytica Posteriora dan sebuah komentar
tentang Isagoge Porphyry, pengantar pengantar Analytica dan a Treatise on
Conditional Syllogism (Majid Fakhry, 1983:16). Hampir semua sejarawan (baik
Timur maupun Barat) sepakat, bahwa umat Islam memiliki peran besar dalam
memberikan kontribusinya terhadap dunia Barat/Eropa pada abad pertengahan,
baik di bidang sosial-budaya maupun ilmu pengetahuan. Berkembangnya ilmu
pengetahuan Barat sekarang yang dapat melahirkan teknologi yang sangat canggih
(sophisticated), tak lain adalah berkat ilmu pengetahuan yang telah berkembang
selama kurang lebih tiga belas abad silam di tangan pekar-pakar Muslim
kenamaan. Jika orang Yunani adalah “bapak metode ilmiah”, simpul H.G Wells,
maka, orang Muslim adalah “bapak angkat”-nya. Dalam perspektif sejarah, dunia
modern sekarang ini mendapatkan sinarnya lewat orang Muslim, bukan lewat
orang latin (Jujun, 1990:13). Baik Roger Bacon –yang dianggap sebagai pencetus
metode eksperimen di Barat –tak lain adalah hanya seorang yang telah
mentransfer karya-karya kaum Muslimin, Seperti Ibn Sina dan Ibn Haitsam (lihat
juga Madkur, 1986: 114). Sepert yang telah kita lihat, bahwa kebudayaan dan
peradaban Muslim masuk ke wilayah Eropa malalui dua cara: studi orang Barat ke
Andalusia, dan melalui kontak perdagangan dan penterjemahan. Sebagaimana
pengakuan Phillip K. Hitti (1970: 170), bahwa ilmu pengetahuan Islam dalam
banyak hal merembes ke alam pikiran orang-orang Barat. Hal ini dapat dilihat
dalam sejarah Spanyol Islam yang menunjukkan salah satu perkembangan yang
terbaik di Eropa pada abad pertengahan. Antara pertengahan abad ke-8 dan
permulaan abad ke-13 bangsa Arab merupakan pendukung utama suluh
kebudayaan dan peradaban di seluruh dunia, serta pengantar munculnya
renaissace di Eropa Barat. Hitti lantas menunjuk para penulis kenamaan Islam,
misalnya: Ibn Hazm (994-1064) seorang penulis produkltif (kurang lebih 400
buah karyanya) mengenai: sejarah, teologi, hadits, ilmu mantiq dan puisi, Ibn
Zaidun (1003-1071) seorang penyair utama bangsa Arab, Ibn al-Khatib (w. 1371)
dan Ibn Khaldun (1332-1406) seorang pakar sejarah (ilmu sosial), Ibn al-Awwan
penulis risalah mengenai biologi yang sangat bagus, Ibn al-Baitar ahli media dan
Ibn Thufail (w. 1185) dengan karya populernya Hay bin Yaqqdhan, yang oleh
banyak penulis dianggap mengilhami Danile Defol dengan karyanya Robinson
Crusoe (lihat Hitti,1970:170-185). Spanyol memang merupakan pusat ilmu
pengetahuan dan peradaban saat itu, dimana banyak para mahasiswa Eropa yang
belajar di Universitas-universitas di sana, Cordova, Sevilla, Malaga dan Granada.
Paus Sylvester II adalah orang nomor satu gereja yang datang ke Cordova untuk
belajar matematika dan astronomi. Dia pulalah yang mengintrodusir angka Arab
(ghubar) yang digunakan di Spanyol ke dunia Barat. Pada saat itu umat Islam juga
tampil sebagai pedagang-pedagang besar dalam lalu lintas perdagangan
internasional, sehingga peradaban dan kebudayaannya mengelaborasi dari Asia
hingga Eropa (lihat Nouruzzaman, 1986: 96). Transmisi ilmu pengetahuan Eropa
melalui penterjemahan dilakukan dengan gencar sekali. Penterjemahan buku-buku
bahasa Arab ke bahasa latin telah ditemui sejak abad ke-9. Di perpustakaan
Tripoli diketemukan dua buah manuskrip yang tercatat dalam sejarah pada abad-
10 berbahasa Latin yang berasal dari bahasa Arab. Usaha besar-besaran untuk
menterjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin terjadi pada
abad 12-13, yang berpusat di Cordova. Meski setelah kota tersebut jatuh ke tangan
umat Kristiani (1085) dan tidak pernah lepas dari cengkeramannya, situasinya
tetap tidak berubah, peradaban dan kebudayaan Muslim tetap bersinar. Hingga
dua abad kemudian penduduk Toledo masih menggunakan bahasa Arab sebagai
bahasa ilmu pengetahuan dan juga bahasa resmi (Nouruzzaman, 1986: 99,
Madkur, 1986:126). Gerakan penterjemahan ini disemangati oleh Alfonso yang
mendapat julukan “Si Bijak” raja Castilla (1252-1284). Ia juga seorang pakar
berbagai disiplin ilmu, termasuk yang menulis karya Cronica General yang salah
satu babnya berisi sejarah hidup Rasulullah, begitu juga dengan penterjemahan
buku Kalilah wa Dimnah. Toledo memiliki para penterjemah terkemuka dan
profesional. penterjemahan mula-mula dilakukan dari bahasa Arab ke bahasa
Ibrani, atau ke bahasa Castilla, baru kemudian ke bahasa Latin. Ini berbeda
dengan orang-orang yang menterjemahkan pertama-tama dari bahasa Yunani ke
bahasa Syiria. Meski begitu ada juga orang-orang yang Latin yang mampu
menterjemahkan langsung dari bahasa Arab ke bahasa Latin, sebagaimana juga
ada orang Arab yang mampu menterjemahkan langsung dari bahasa Yunani ke
bahasa Arab (lihat Nouruzzaman, 1986:102 dan Ibrahim Madkur, 1986:129). Di
antara para pakar luar Spanyol yang pernah bekerja sebagai penterjemah di
Toledo tercatat nama-nama seperti: Gerard dari cremona (Itali) meninggal tahun
1187, Michael Scott, Inggris (m. 1236) dan Robert dari Chester (Inggris). Tidak
diragukan lagi bahwa filsafat Kristen telah dipengaruhi oleh filsafat Islam sejak
abad ke-12, ketika orang-orang Latin mengadakan kontak dengan orang-orang
Arab melalui Sicilia dan Andalusia dan terjemahan buku-buku. Pengaruh tersebut
begitu kuat pada abad ke-13 dan bergema selama dua abad sesudahnya hingga era
renaissace. Kita hampir tidak menemukan tokoh terkemuka abad 13 yang tidak
mempunyai hubungan dengan Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Jika Siger dari Brabant (m.
1282) adalah seorang pendukung bersemangat Ibn Rusyd, maka Roger Bacon
lebih mendukung Ibn Sina, sementara filsafat St. Thomas Aquinas telah
menggabungkan filsafat Ibn Sina dan Ibn Rusyd (Madkur, 1986:139,140).
Demikianlah karya-karya Muslim telah banyak diterjemahkan, mulai dari Ibnu
Thufail, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al-Khawarizmi dan seterusnya. Toledo memang
jembatan bagi dunia Barat dalam mencerdaskan bangsa dan perasaan seni.
Sementara menurut Abdus Salam (1983:9), Toledo dan Salerno merupakan awal
penciptaan sains di dunia Barat. Di sana sebuah pelita dinyalakan cemerlang. Di
sinilah maka ketika George Sarton - seorang pakar sejarah sains - membagi daur
era penciptaan sains, Islam tampil progresif. George Sarton membagi prestasi
sains ke dalam beberapa era, dimana setiap era berjangka waktu sekitar setengah
abad, dengan separoh abad diasosiasikan seorang tokoh utama: Pertama, tahun
450 sampai 400 S.M adalah era Plato, yang lantas diikuti oleh oleh Aristoteles,
Euklides dan Archimedes; Kedua, dari tahun 600 sampai tahun 700 M adalah era
China dengan tokoh utamanya Hsiian Tsang dan I Ching; Ketiga, dari tahun 750-
1100 M, 350 tahun secara kesinambungan adalah Jabir, Khawarizmi, Razi,
Mas’udi, Wafa’, Biruni, Ibn Sina, Ibn Haitsam dan Umar Khayam, mereka adalah
bangsa Arab, Turki, Afghan dan Persia dari persemakmuran Islam. Baru sesudah
tahun 1100 ini muncul nama-nama Barat untuk pertama kalinya: Gerardo dari
Cremona dan Roger Bacon, tetapi kehormatan ini masih harus dibagi selama 250
tahun berikutnya dengan nama-nama Ibn Rusyd, Nasiruddin, Thusi, Ibn Nafis,
para ahli yang mendahului Harvey dalam pengembangan ‘teori perkembangan
darah’. Ya, kalaulah tidak karena persinggungan dengan dunia Islam niscaya
bangsa Barat tak akan semaju seperti sekarang. Filsafat Islam, meskipun
mengalami gerhana pada abad ke-5 H/11 M di Persia dan negeri-negeri Islam
timur lainnya akibat serangan Syahrastani, Al-Ghazali, dan Fakhruddin Al-Razi,
tidaklah sekadar hijrah ke Spanyol dan menikmati musim semi yang singkat di
tangan Ibn Bajah, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd dan akhirnya mati mengering di
ujung Barat dunia Islam. Filsafat Ibn Sina dihidupkan kembali oleh Nashiruddin
Thusi dan kelompoknya di abad ke-7 H/13 M, sementara dua generasi
sebelumnya suatu perspektif intelektual yang baru mulai diperkenalkan oleh
Syuhrawardi yang menamainya mazhab Pencerahan (isyraq). Lebih lanjut, “sains
mistisisme” atau ‘irfan (gnosis) terumuskan kira-kira pada waktu yang bersamaan
oleh Ibn ‘Arabi dan segera mulai berinteraksi dengan cara yang sangat kreatif
dengan tradisi filsafat Islam maupun dengan teologi atau kalam yang saat itu telah
menjadi semakin “filosofis” (S.H Nashr dalam Yazdi,1994: 8). Hasil dari semua
perkawinan-silang ini adalah beberapa kegiatan filsafat yang ekstensif di Persia
yang ditandai oleh tokoh-tokoh seperti Quthbuddin Syirasi, Dabiran Katibi,
Atsiruddin Abhari, Ibn Turkah Isfahani, keluarga Dasytaki serta tokoh-tokoh lain
yang sedikit sekali dikenal di dunia Barat. Masa pendekatan dan pencampuran ini,
yang berlangsung selama kira-kira tiga abad, mencapai kulminasinya dengan
Mazhab Isfahan yang di bangun oleh Mir Damad pada abad ke10 H/16 M dan
mencapai titik puncaknya pada Mulla Sadra, muridnya. Meskipun terjadi pasang
surut pada masa akhir periode Safawi dan pengrusakan sebagian besar kota
Isfahan akibat sebuan bangsa Afghan pada abad ke-12 H/18 M, namun obor
filsafat Islam yang menyala kembali di tangan Mulla Sadra terus berlanjut hingga
masa dinasti Qajar ketika sekali lagi Isfahan, di bawah Mullah ‘Ali Nuri menjadi
pusat besar filsafat ini, sementara Teheran juga mulai muncul sebagai pusat
kegiatan filsafat sejak abad ke-13 H/19 M hingga seterusnya. Selama masa ini
sejumlah filosof penting seperti Hajji Mullah Hadi Sabziwari dan Mullah ‘Ali
Zunuri muncul di atas gelanggang dan menulis makalah-makalah penting yang
dibaca kalangan-kalangan tradisional Persia hingga sekarang. Mereka juga
melatih banyak siswa yang mengemban tradisi yang hidup dari mazhab ini dengan
menekankan pengajaran secara lisan dan tulisan hingg masa dinasti Pahlevi dan
dunia semasanya (Nashr, dalam Yazdi, 1984:8).

Anda mungkin juga menyukai