Anda di halaman 1dari 3

FITRIA PUTRI NIRWANA

TK 2-B
P17324219050
___________________________________________________________________________
Ada Uang, tapi Pasien Tidak Tertolong: Ujian bagi RS dan Sistem Jaminan Sosial
25/02/2019
Oleh Putu Eka Andayani

Baru-baru ini publik Indonesia dihebohkan dengan kasus meninggalnya seorang bayi di
Jakarta karena tidak ada RS yang dapat menampung untuk memberikan perawatan
intensif yang dibutuhkan. Banyak pihak di luar kesehatan mempertanyakan komitmen
para pelaku pelayanan kesehatan(tenaga kesehatan, RS) terhadap masyarakat. Bahkan
tidak sedikit pula yang menuduh dokter dan rumah sakit tidak berpihak pada masyarakat
miskin. Benarkah demikian?

Sebagaimana kita ketahui, DKI Jakarta termasuk yang gencar memasyarakatkan kartu
Jakarta Sehat. Kartu ini dapat dimiliki oleh seluruh penduduk ber-KTP DKI tanpa kecuali.
Niat pemerintah DKI sebenarnya baik, yaitu untuk membuka akses pelayanan kesehatan
yang seluas-luasnya bagi masyarakat. Namun membuat program jaminan kesehatan
tidak semudah mendata penduduk dan mengeluarkan kartu. Infrastruktur dan sistem
rujukan harus dibenahi pula.

Sebagaimana yang terjadi di banyak daerah yang menerapkan pelayanan kesehatan


gratis, angka kunjungan pasien di RS (khususnya RS pemeirntah) menjadi sangat tinggi.
Disatu sisi hal ini disebabkan karena masyarakat yang mengalami masalah kesehatan
dan tadinya tidak berani ke RS karena tidak memiliki uang yang cukup, kini berbondong-
bondong ke RS dengan berbekal kartu miskin atau kartu jaminan kesehatan. Disisi lain,
masyarakat dengan masalah kesehatan yang sebenarnya terlalu berat juga tidak mau
ketinggalan dalam memanfaatkan jaminan kesehatan ini untuk mendapatkan pelayanan
di RS. Akibatnya RS menjadi penuh sesak, antrian panjang, melebihi kapasitas, dan para
tenaganya mengalamioverload yang luar biasa. Oleh karena itu, penerapan sistem
jaminan kesehatan harus dibarengi pula dengan penambahan kapasitas pelayanan.
Kapasitas ini bukan hanya mengenai fasilitas fisik (jumlah TT, gedung, peralatan),
melainkan juga SDM (dokter, perawat, bahkan juga tenaga lain sesuai dengan rasio yang
wajar).

Selain kapasitas pelayanan, sistem rujukan juga harus dibenahi. RS harus dikembalikan
ke fungsinya semula yaitu untuk pelayanan sekunder dan tersier. Puskesmas, klinik dan
RS pratama dikuatkan untuk dapat melayani masyarakat yang kasusnya ringan. SDM-nya
haris dilatih dan ditambah sesuai dengan tuntutan mutu pelayanan yang dikehendaki
oleh pemerintah dan masyarakat.

Saat ini banyak puskesmas dan RS Pratama (Kelas D) merujuk pasien ke RS Kelas C bukan
dengan indikasi medis yang sesungguhnya, melainkan karena “indikasi” biaya. Artinya,
seorang pasien bisa dirujuk ke RS lain (umumnya ke RS Pemerintah) bukan karena
perujuk tidak mampu menangani, melainkan karena tarif pasien jaminan kesehatan
tidak sesuai (lebih rendah dari tarif untuk pasien umum). Contoh kasus Jampersal
(Jaminan Persalinan). Karena tarif Jampersal dianggap tidak sesuai dengan biaya yang
dikeluarkan, maka banyak RS (swasta) yang kemudian merujuk pasien ke RS Pemerintah
pada kelas di atasnya, meskipun secara klinis RS swasta tadi mampu menangani pasien
tersebut. Tentu saja ini tidak tepat dan harus dibenahi. Sebab jika tidak, maka
mekanisme jaminan ini tidak akan efektif untuk memberikan pelayanan yang bermutu
bagi masyarakat karena RS-RS pemerintah menjadi penuh dengan pasien rujukan yang
bukan indikasi medis.

Terkait dengan kasus Dera, Gubernur DKI, Jokowi, berencana untuk menambah
kapasitas kelas III dan perawatan intensif di RS. Namun menurut Kemenkes, dr. Nafsiah
Mboi, jika mengacu ke standar WHO jumlah TT di DKI sudah lebih dari cukup. Namun
mengapa masih banyak pasien, khususnya pasien kritis, yang tidak bisa tertampung?

Disatu sisi mungkin memang kapasitas TT RS di DKI sudah lebih dari cukup jika mengikuti
standar WHO. Namun jika dilihat secara lebih spesifik, untuk menampung kebutuhan
khusus jumlah ini masih kurang. Pelayanan intensif memang membutuhkan SDM khusus
dan peralatan serta ruangan yang didesain khusus. Oleh karenanya, tidak semua RS
mampu dan memiliki ijin untuk menyelenggarakan pelayanan intensif. Jika hanya RS
tertentu yang boleh menyediakan layanan intensif, maka mekanisme rujukan, sekali lagi,
harus dibenahi agar RS (Kelas C, B dan A) dimanfaatkan oleh pasien yang lebih
membutuhkan, misalnya pasien kritis. Perbaikan system rujukan ini juga akan
memeratakan beban layanan kesehatan di seluruh RS yang ada.

Kasus kematian bayi Dera ini sekaligus membuka mata seluruh pihak bahwa kita belum
siap dengan sistem jaminan kesehatan. Masih banyak sekali mekanisme, infrastruktur
hingga SDM yang harus ditata dan ditingkatkan kapasitasnya agar dapat menerapkan
Jaminan Kesehatan Semesta sesuai amanat UU tentang BPJS.

Tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga


kesehatan. Menurut Menteri Kesehatan, penelitian yang dilakukan oleh Kemenkes
menunjukkan bahwa tingginya angka kunjungan ke RS disebabkan karena tingginya
angka kesakitan penduduk. Angka kesakitan yang tinggi ini disebabkan karena kesadaran
penduduk untuk menjaga kebersihan dan menerapkan pola hidup sehat masih rendah.
Apalagi Jakarta akhir-akhir ini sering dilanda banjir yang menimbulkan berbagai
penyakit. Oleh karenanya, penanggulangan masalah kesehatan bukan semata tanggung
jawab sektor kesehatan itu sendiri, melainkan juga seluruh sektor juga memiliki
kontribusi terhadap derajat kesehatan masyarakat. Masalah kesehatan merupakan hilir
dari berbagai masalah lain, mulai dari kemampuan ekonomi untuk memenuhi
kecukupan gizi keluarga, kondisi keamanan di jalan raya dan tempat kerja, hingga
masalah gaya hidup yang dapat mempengaruhi kesehatan. Pelayanan kesehatan
menjadi muara dari berbagai ketidakseimbangan yang terjadi di aspek kehidupan yang
lain. Meskipun demikian, pelayanan kesehatan tetap harus memenuhi standar
kebutuhan masyarakat dan standar klinis yang telah menjadi best practices.

Jakarta merupakan etalase pelayanan kesehatan Indonesia bagi dunia. Jika Pemerintah
Indonesia ingin mengembangkan medical tourism, maka layanan kesehatan di DKI
Jakarta harus benar-benar baik. Jika layanan kesehatan di DKI Jakarta – ibukota RI – saja
buruk, apalagi layanan kesehatan di daerah.

Sumber : manajemenrumahsakit.net

Anda mungkin juga menyukai