Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan jiwa menurut Depkes RI adalah suatu perubahan


pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi
jiwa, sehingga dapat menimbulkan penderitaan pada individu dan
atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial (Departemen
Kesehatan RI, 2000).

Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan


gangguan utama dalam pikiran, emosi, perilaku yang terganggu.
Berbagai pemikiran tidak saling berhubungan secara logis. Persepsi
dan perhatian yang keliru, afek yang datar atau tidak sesuai dan
berbagai gangguan aktivitas motoric yang bizarre. Pasien skizofrenia
menarik diri dari orang lain dan kenyataan, sering kali masuk dalam
kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi (Davinson,
2010). Skizofrenia termasuk dalam salah satu gangguan mental yang
disebut psikosis. Pasien psikotik tidak dapat mengenali atau tidak
memiliki kontak dengan relaitas (Arif, 2006). Skizofrenia ditandai
oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran
persepsi serta afek yang tidak wajar (Maslim 2013).

Penyakit kejiwaan sampai saat ini masih menjadi


permasalahan baik di tingkat global maupun Indonesia. Berdasarkan
data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2022, terdapat 23
juta orang yang menderita penyakit kejiwaan, yakni skizofrenia atau
psikosis. Hasil Riset Kesehatan Dasar, (2018) didapatkan bahwa
prevalensi data skizofrenia di indonesia mencapai 6,7 % penderita.
Menurut Riskesdas tahun 2018 disebutkan bahwa estimasi angka
gangguan jiwa berat di Jawa Timur mencapai 0.19% dari jumlah
total penduduk Jawa Timur 39.872.395 (Proyeksi Penduduk
Indonesia 2010-2035, BPS (Diolah oleh Pusdatin Kemenkes RI)
pada tahun 2018 atau sekitar 75.758 orang, diketemukan atau datang
berobat sebanyak 87.264 kasus atau 115,19%, sehingga melebihi
estimasi sebagai indicator bahwa masyarakat dan petugas sudah
bersinegis terkait penanganan orang denganmasalah kejiwaan di
Jawa Timur. Pada tahun 2021 Surabaya menduduki peringkat
pertama dengan jumlah ODGJ berat sebanyak 5.545 (Profil
Kesehatan 2021, Dinkes Provinsi Jatim). Sedangkan jumlah pasien
di Ruang Rawat Inap Flamboyan RS Jiwa Menur Provinsi Jawa
Timur pada bulan Januari-Febuari rata-rata sebanyak 45 pasien
dengan 76% pasien dengan diagnose skizofrenia.

Gejala skizofrenia dibagi dalam dua gejala utama yaitu


gejala positif dan negatif. Gejala positif diantaranya
delusi,halusinasi,disorganisasi bicara, perilaku katatonik seperti
keadaan gaduh gelisah, kekacauan kognitif . Gejala negative yang
dialami klien skizofrenia diantaranya afek datar, tidak memiliki
kemauan, menarik diri atau isolasi sosial, ketidakmampuan merawat
diri, tidak mampu mengekspresikan perasaan,menurunnya motivasi,
harga diri rendah (Pardedeetal.,2020).

Harga diri adalah penilaian diri terhadap hal yang telah


dicapai dengan cara menganalisis sejauh mana ideal diri yang telah
dimiliki (Anggit&NiPAriani,2017), sedangkan harga diri rendah
merupakan perasaan negative terhadap diri sendiri yang dapat
menyebabkan kehilangan rasa percaya diri, pesimis dan tidak
berharga (Atmojo&Purbaningrum,2021). Harga diri rendah yang
dialami selama lebih dari tiga bulan disebut harga diri rendah
situasional, sedangkan harga diri rendah yang dialami lebih dari
enam bulan disebut harga diri rendah kronik. Hal tersebut harus
segera diatasi karena dampak dari seseorang yang memiliki harga
diri rendah dapat beresiko menarik diri dari lingkungan sosial, terjadi
halusinasi, beresiko memiliki perilaku kekerasan, hingga masalah
percobaan bunuh diri (Anggit&NiPAriani,2017).
Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien isolasi sosial
mengalami gangguan dalam berinteraksi dan mengalami perilaku
tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain disekitarnya, lebih
menyukai berdiam diri, mengurung diri, dan menghindar dari orang
lain (Yosep, Sutini, 2014).

Expressive writing therapy atau terapi menulis ekspresif


merupakan sebuah proses terapi dengan menggunakan metode
menulis ekspresif untuk mengungkapkan pengalaman emosional dan
mengurangi stress yang dirasakan individu sehingga dapat
membantu memperbaiki kesehatan fisik, menjernihkan pikiran,
memperbaiki perilaku dan menstabilkan emosi. Ekspresif emosional
merupakan ekspresi natural dari emosi yang sebenarnya (Amalia &
Meiyuntariningsih, 2020).
Expressive writing therapy merupakan salah satu intervensi
yang dapat digunakan untuk menurunkan stress. Expressive writing
dapat digunakan sebagai satu cara untuk mengetahui keadaan
individu dengan cara menulis. Expressive writing juga dapat
menggambarkan pengalaman hidup si penulis dalam masa lalu,
sekarang, atau kehidupan masa depan yang dibayangkan (Aldrich,
2010).

Penatalaksanaan umum pada seseorang dengan harga diri


rendah dan isolasi sosial terdiri dari farmakologis dan non-
farmakologis. Salah satu terapi yang memenuhi kriteria sebagai
terapi yang berfokus pada proses berpikir dan peristiwa problematis
adalah terapi menulis ekspresif. Terapi ini ditemukan oleh James W.
Pennebaker pada tahun 1997, dimana individu diminta untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaannya tentang peristiwa
kehidupan yang dialami melalui tulisan (Pennebaker,2018). Terapi
menulis ekspresif adalah terapi untuk mencurahkan segala pikiran
tentang kejadian traumatis yang pernah dialami atau impian yang
ingin dicapai pada masa depan ke dalam bentuk tulisan
(Purnamarinietal.,2016). Ketika menuliskan pengalaman emosional
akan menimbulkan pemahaman baru dan masalah tersebut dapat
lebih dikelola setelah dituliskan dikertas. Menulis pengalaman
emosional dapat menciptakan semacam struktur dan organisasi
dalam pikiran. Ketika menulis, proses berpikir seseorang mampu
membawa satu gagasan kesimpulan yang logis dan membuat lebih
sadar atas diri sendiri. Menulis juga dapat mendeteksi hal tidak sehat
dalam pikiran dan perilaku seseorang sehingga dapat mengambil
lebih banyak Kendali atas hidupnya dan membantu seseorang beralih
dari pola piker negative ke pola piker yang lebih positif, terutama
tentang diri sendiri (Robinson,2017). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh (Septianaetal.,2022) dengan judul Expressive Writing
Therapy For Clients With Low Self-Esteem, Hallucinations And
Post-Trauma Syndrome, menyimpulkan bahwa penerapan terapi
menulis ekspresif dapat menurunkan tanda dan gejala harga diri
rendah kronis. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
(Salsabhilla,2020) terapi menulis ekspresif dengan Latihan menulis
kejadian traumatis yang pernah dialami dan merefleksikannya
dengan kondisi di masa lalu,masa kini,dan masa depan dapat
menurunkan tanda dan gejala harga diri rendah. Hal ini disebabkan
karena terapi menulis ekspresif dapat mempengaruhi aspek kognitif,
emosional, sosial (Pennebaker,2018).

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan


penerapan terapi menulis ekspresif pada klien harga diri rendah
untuk mengeksplorasi aspek positif dan meningkatkan harga diri dan
meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya.
Terlebih lagi klien sulit percaya kepada orang-orang di
sekitarnya. Maka expressive writing adalah cara yang tepat
untuk klien menuangkan emosi dan perasan tanpa harus
menceritakannya secara langsung.
B. Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh penerapan expressive writing therapy


terhadap peningkatan diri dan interaksi sosial di Ruang Flamboyan RS Jiwa
Menur Provinsi Jawa Timur.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum

Melihat gambaran penerapan terapi menulis ekspresif pada klien


harga diri rendah dan isolasi sosial.

2. Tujuan Khusus

1. Melakukan intervensi keperawatan berdasarkan evidence based


practice nursing yaitu terapi menulis ekspresif pada klien harga
diri rendah dan isolasi sosial.
2. Mendeskripsikan respon klien dengan harga diri rendah dan
isolasi sosial sebelum dilakukan penerapan terapi menulis
ekspresif.
3. Mendeskripsikan respon klien dengan harga diri rendah dan
isolasi sosialsesudah dilakukan penerapan terapi menulis
ekspresif. Menganalisis perkembangan respon klien sebelum dan
sesudah dilakukan penerapan terapi menulis ekspresif.
D. Manfaat
1. Teoritis
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat
dalam penerapan intervensi terapi menulis ekspresif sebagai
salah satu terapi untuk mengatasi masalah harga diri rendah dan
isolasi sosial

2. Praktis
Hasil studi kasus dapat dijadikan sebagai ilmu pengetahuan
untuk melakukan penelitian keperawatan selanjutnya khususnya
penelitian dalam lingkup keperawatan jiwa.

3. Rumah sakit
Hasil studi kasus dapat menjadi bahan informasi bagi rumah
sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan secara komprehensif
dan meningkatkan keterampilan tenaga Kesehatan dalam memberikan
terapi nonfarmakologi seperti terapi menulis ekspresif sebagai salah
satu terapi untuk mengatasi masalah harga diri rendah dan isolasi
sosial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Harga Diri Rendah
Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap diri sendiri
termasuk kehilangan rasa percaya diri, tidak berharga, tidak berguna,
tidak berdaya, pesimis, tidak ada harapan dan putus asa. (dep kes ri
2000). Gangguan harga diri adalah evaluasi diri dan perasaan tentang
diri atau kemampuan diri yang negatif yang dapat di ekspresikan
secara langsung maupun tidak langsung. Harga diri rendah adalah
evaluasi diri atau perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang
negatif dan dipertahankan dalam waktu yang lama. Harga diri rendah
adalah perasaan tidak berhaga, tidak bererti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiridan
kemampuan diri. Adanya perasaan hilangnya percaya diri, merasa
gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri.
(keliat,2001).

Branden (2001) mendefinisikan self-esteem sebagai cara pandang


individu terhadap dirinya,bagaimana seseorang menerima dirinya dan
menghargainya sebagai individu yang utuh. Nilai yang kita taruh atas
diri kita sendiri berdasar penilaian kita sejauh mana memenuhi harapan
diri. Harga diri yang tinggi murupakan nilai yang positif yang kita
lekatkan pada diri yang berakar dari penerimaan diri sendiri tanpa
syarat,walaupun
melakukan kesalahan,kekakalahan,dan kegagalan, tetapi tetap merasa
sebagai seseorang yang penting dan berharga (dariuszky,2004).

Centi paul (1993) menggambarkan self-esteem sebagai penilaian diri


terhadap sejauhmana self- image kita mencapai ideal self. Semakin lebar
jurang antara self image dengan ideal self, maka semakin rendah
penilaian terhadap diri dan menimbulkan penolakan diri (self rejection).
Menurut maslow (maramis,2004),self-esteem merupakan salah satu
kebutuhan dari setiap individu yang harus dipenuhi untuk mencapai
aktualisasi diri sebagai puncak kebutuhan individu.

Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap diri sendiri


termasuk kehilangan rasa percaya diri, tidak berharga, tidak berguna,
tidak berdaya, pesimis, tidak ada harapan dan putus asa. (dep kes ri
2000). Gangguan harga diri adalah evaluasi diri dan perasaan tentang
diri atau kemampuan diri yang negatif yang dapat di ekspresikan secara
langsung maupun tidak langsung. Harga diri rendah adalah evaluasi diri
atau perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif dan
dipertahankan dalam waktu yang lama.

Harga diri rendah adalah perasaan tidak berhaga, tidak bererti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap
diri sendiridan kemampuan diri. Adanya perasaan hilangnya percaya
diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal
diri.(keliat,2001).
Harga diri rendah adalah evaluasi diri atau persaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negatif dan di pertahankan dalam waktu yang
lama. Jadi harga diri rendah adalah suatu persaan negatif terhadap diri
sendiri, hilangnya kepercayaan diri dan gagal mencapai tujuan yang di
ekspresikanifat secara langsung maupun tidak langsung, peneurunan diri
ini dapat bersifat situasional maupun kronis attaupun menahun.

Tanda dan Gejala


Tanda yang menunjukan harga diri rendah menurut (Muhtin, 2015):
1. Persaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit,dan akibat
tindakanterhadap penyakit. Misalnya, malu dan sedih karena rambut
menjadi botak setelah menjalani terapi kemoterapi pada kanker.

2. Rasa bersalah terhadap diri sendir, misalnya ini tidak akan terjadi jika
saya kerumah sakit, menyalahkan atau mengejek dan menkritik diri
sendiri.

3. Merendahkan martabat, misalnya: saya tidak bisa, saya tidak mampu,


saya orang bodoh, dan tidak tau apa-apa.

4. Gangguan hubungan sosial seperti menarik diri klien tidak ingin


bertemu dengan orang lain, lebih suka menyendiri, percaya diri kurang,
klien sukar mengambil keputusan. Misalny, memilih alternatif tindakan
mencederai diri akibat harga diri rendah disertai harapan yang suram,
mungkin dengan mengakhiri hidupnya.

Sedangkan menurut Carpenito,L.J (2003:352) :


1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan
terhadap penyakit. Misalnya : malu dan sedih karena rambut menjadi
botak setelah mendapat terapi sinar pada kanker.

5. Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Mislanya: ini tidak akan terjadi jika
saya segera ke rumah sakit,mnyalahkan atau mengejek dan mengkritik
diri sendiri.

6. Merendahkan martabat. Misalnya: saya tidak bisa, saya tidak mampu,


saya orang bodoh dan tidak tau apa-apa.

7. Percaya diri kurang. Mislanya: klien sukar mengambil keputusan ,


misalnya tentang memilih alternatif tindakan.

8. Ekspresi malu atau merasa bersalah dan khawatir, menolak diri sendiri.

9. Perasaan tidak mampu

10. Pandangan hidup yang pesimistis


11. Tidak berani menatap lawan bicara

12. Lebih banyak menunuduk

13. Penolakan terhadap kemampuan diri

14. Kurang memperhatikan perawatan diri (kuku panjang dan kuku kotor,
rambut panjang, dan lusuh, gigi kuning, kulit kotor)

15. Data Obyektif:

a) Produktifitas menurun

b) Perilaku distruktif pada diri sendiri

c) Perilaku distruktif pada orang lain

d) Penyalahgunaan zat

e) Menarik diri dari hubungan sosial

f) Ekspresi wajah malu dan merasa bersalah

g) Menunujukan tanda depresi (Sukar tidur dan sukar makan)

h) Tampak mudah tersinggung/mudah marah

Etiologi
Harga diri sering disebabkan karena adanya koping individu yang tidak efektif akibat
adanya kurang umpan balik positif, kurangnya system pendukung kemunduran
perkembangan ego, pengulangan umpan balik yang negatif, difungsi system keluarga
serta terfiksasi pada tahap perkembangan awal (townsend, M.C. 1998:366). Menurut
Carpetino,koping individu tidak efektif adalah keadaan dimana seoran individu
mengalami atau beresiko mengalami suatu ketidakmampuan sumber- sumber (fisik,
psikologi, perilaku atau kognitif).

Harga diri rendah diakibatkan oleh rendahnya cita-cita seseorang. Hal ini
mengakibatkan berkurangnya tantangan dalam mencapai tujuan. Tantangan yang
rendah menyebabkan upaya yang rendah. Selanjutnya hal ini menyebabkan
penampilan seseorang yang tidak optimal. Seringkali penyebab terjadinya harga diri
rendah adalah pada masa kecil sering disalahkan, jaran di beri pujian atas
keberhasilannya. Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang di
hargai dan tidak diberi kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering
gagal disekolah, pekerjaan ataupun pergaulan. Harga diri rendah muncul saat
lingkungan cenderung mengucilkan dan menunut lebih dari kemampuannya.

1. Faktor predisposisi
a) Faktor biologis
1) Kerusakan lobus frontal

1) Kerusakan hipotalamus

2) Kerusakan system limbic

3) Kerusakan neurotransmitter

b) Faktor psikologis 1) Penolakan orang tua

2) Harapan orang tua tidak realistis

3) Orang tua yang tidak percaya pada anak

4) Tekananteman sebaya

5) Kurang reward system

6) Dampak penyakit kronis

c) Faktor sosial 1) Kemiskinan

2) Terisolasi dari ligkungan

3) Interaksi kurang baik dalam keluarga

d) Faktor cultural 1) Tuntutan peran

2) Perubahan kulturan

Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah penolakan orang tua
yang tidak realitis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggun jawab
personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis.

4. Faktor presipitasi

1. Situasional

Adalah kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan/ betuk tubuh, kegagalan atau
produktivitas yang menurun. Secara umum gangguan konsep diri harga diri rendah ini
dapat terjadi secara situasional atau kronik. Secara situasional misalnya karea trauma
yang muncul tiba tiba misalnya harus dioprasi, kecelakaan perkosaan atau dipenjara
termasuk dirawat dirumah sakit bisa menyebabkan harga diri, harga diri rendah
disebabkan karena penyakit fisik tau pemasangan alat bantu yang membuat klien
tidak nyaman.
Penyebab lainnya adalah harapan fungsi tubuh yang tidak tercapai serta perlakuan
petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan keluarga. Harga diri rendah
kronik biasanaya dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum di rawat klien sudah
memiliki pikiran negatif dan peningkatan saat dirawat. Dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal.
2.1.5 Proses terjadinya harga diri rendah
Harga diri rendah merupakan penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh
dengan menganalisa seberapa baik prelaku seseorang sesuai dengan ideal diri. Harga
diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa
syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan,dan kegagalan, tetapi merasa
sebagai orang yang penting dan berharga. Gangguan harga diri dapat terjadi secara :

5. Maturasional a) Bayi/ usia bermain/ pra sekolah berhubungan dengan kurang


stimulasi atau kedekatan, perpisahan dengan orang tua, evaluasi dari orang tua,
tidak adekuat dukungan orang tua, ketidak mampuan mempercayai orang
terdekat.

b) Usia sekolah ; berhubungan dengan kegagalan mencapai tingkat atau peringkat


objektif, kehilangan kelompok sebaya, umpan balik negative berulang.

c) Remaja pada usia remaja penyebab harga diri rendah, jenis kelamin, gangguan
hubungan teman sebagai perubahan dalam penampilan, masalah- masalah
pelajaran kehilangan orang terdekat.

d) Usia sebaya ; berhubungan dengan perubahan yang berkaitan dengan penuaan.

e) Lansia ; berhubungan dengan kehilangan ( orang, financial, pnsiun)

6. Kronik

Yaitu terjadi trauma yang tiba tiba, missal harus dioprasi, kecelakaan, dicerai suami,
putus sekolah, putus hubungan kerja. Pada pasien yang dirawat dapat terjadi harga
diri rendah karena privasi yang kurang diperhatikan seperi pemeriksaan fisik yang
sembarangan, pemasangan atau yang tidak sopan, harapan akan struktur, bentuk dan
fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/sakit/penyakit, perlakuan petugas,
yang tidak menghargai.
Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan maturasi adalah :
Yaitu perasaan negative terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu sebelum
sakit/dirawat. Pasien mempunyai cara berpikir yang negative. Kejadian sakit dan
dirawat akan menambah persepsi negative terhadap dirinya. Kondisi ini
mengakibatkanrespons yang maladaptive, kondisi ini dapat ditemukan pada pasien
gangguan fisik yang kronis atau pada pasien gangguan jiwa.
2.1.6 Etiologi menurut Nanda Nic-Noc
Beberapa faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep-diri seseorang
IV. Faktor predisposisi
Adanya beberapa faktor predisposisi yang menyebabkan harga diri rendah yaitu :
7. Perkembangan individu yang meliputi:
a) Adanya penolakan dari orang tua, sehingga anak merasa tidak dicintai kemudian
dampaknya anak gagal mencintai dirinya dan akan gagal pula untuk mencintai orang
lain
b) Kurangnya pujian dan kurangnya pengakuan dari orang orang tuanya atau orang
tua yang penting/ dekat dengan individu yang bersangkutan.
c) Sikap orang tua over protecting, anak merasa tidak berguna, orang tua atau orang
terdekat sering mengkritik serta sering mengkritik serta merevidasikan individu.
d) Anak menjadi frustasi, putus asa merasa tidak berguna dan merasa rendah diri.
8. Ideal diri
a) Individu selalu dituntut untuk berhasil
b) Tidak mempunyai hak untuk gagal dan berbuat salah
c) Anak dapat menghakimi dirinya sendiri dan hilangnya rasa percaya diri
9. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi atau stresor pencetus dari munculnya harga diri rendah mungkin
ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal seperti :
a) Gangguan fisik dan mental salah satu anggota keluarga sehingga keluarga merasa
malu dan rendah diri
b) Pengalaman traumatik berulang seperti penganiayaan seksual dan pikologis atau
menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupan, aniaya fisik, kecelakaan, bencana
alam dan perampokan. Respon terhadap trauma pada umumnya akan mengubah arti
trauma tersebut dan kopingnya adalah represi dan denial.
10. Perilaku
a) Dalam melakukan pengkajian, perawat dapat memulai dengan mengobservasi
penampilan klien, misalnya kebersihan, dandanan, pakaian. Kemudian perawat
mendiskusikannya dengan klien untuk mendapatkan pandangan klien tentang
gambaran dirinya. Gangguan prilaku pada gangguan konsep diri dapat dibagi sebagai
berikut :
b) Perilaku berhubungan dengan harga diri rendah. Harga diri yang rendah
merupakan masalah bagi banyak orang dan diexpresikan melalui tingkat kecemasan
yang sedang sampai berat. Umunya disertai oleh evaluasi diri yang negatif membenci
diri sendiri dan menolak diri sendiri.
2. Isolasi Sosial

Isolasi Sosial 2.1.1


Definisi Isolasi Sosial Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seseorang
individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien isolasi sosial mengalami
gangguan dalam berinteraksi dan mengalami perilaku tidak ingin
berkomunikasi dengan orang lain disekitarnya, lebih menyukai berdiam diri,
mengurung diri, dan menghindar dari orang lain (Yosep, Sutini, 2014).

Menarik diri merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan


kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain
(Townsend M.C. dalam Muhith A, 2015). Sedangkan, penarikan diri atau
withdrawal merupakan suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian
ataupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat
bersifat sementara atau menetap (Depkes RI, dalam Muhith A, 2015). Jadi
menarik diri adalah keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam
membina hubungan dan menghindari interaksi dengan orang lain secara
langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap.

2.1.2 Etiologi Gangguan ini terjadi akibat adanya faktor predisposisi dan
faktor presipitasi. Kegagalan pada gangguan ini akan menumbulkan
ketidakpercayaan pada individu, menimbulkan ras pesimis, ragu, takut salah,
tidak percaya pada orang lain dan merasa tertekan. Keadaan yang seperti ini
akan menimbulkan dampak seseorang tidak ingin untuk berkomunikasi
dengan orang lain, suka menyendiri, lebih suka berdiam diri dan tidak
mementingkan kegiatan sehari-hari (Direja, 2011).

a. Faktor predisposisi Menurut Stuart G.W & Lararia, M.T, (2011) ada
beberapa faktor predisposisi penyebab isolasi sosial, meliputi : 1) Faktor
perkembangan Sistem keluarga yang terganggu dapat berperan dalam
perkembangan respon sosial maladaptif. Beberapa orang percaya bahwa
individu yang mengalami masalah ini adalah orang yang tidak berhasil
memisahkan dirinya dari orang tua. Norma keluarga mungkin tidak
mendukung hubungan dengan pihak diluar keluarga.

2) Faktor sosiokultural Isolasi sosial merupakan faktor utama dalam


gangguan hubungan. Hal ini akibat dari transiensi; norma yang tidak
mendukung pendekatan terhadap orang lain atau tidak menghargai anggota
masyarakat yang kurang produktif, seperti lanjut usia (lansia), orang cacat,
dan penderita penyakit kronis. Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi
norma, perilaku, dan sistem nilai yang berbeda dari yang dimiliki budaya
mayoritas. Harapan yang tidak realistis terhadap hubungan merupakan faktor
lain yang berkaitan dengan gangguan ini. 3) Faktor biologis Faktor genetik
dapat berperan dalam respons sosial maladaptif. Bukti terdahulu
menunjukkan keterlibatan neurotransmiter dalam perkembangan gangguan
ini, namun tetap diperlukan penelitian lebih lanjut. 4) Faktor presipitasi
Menurut direja, (2011) ada beberapa faktor presipitasi isolasi sosial, meliputi
sebagai berikut: a) Faktor eksternal Contohnya adalah stressor sosial budaya,
yaitu stress yang ditinggalkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga. b)
Faktor intrnal Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress yang terjadi
akibat ansietas atau kecemasan yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan
dengan keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini
dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak
terpenuhnya kebutuhan individu.

2.1.3 Tanda dan Gejala Menurut Townsend, M.C, 1998 (dalam Muhith, A.
2015), tanda dan gejala isolasi sosial meliputi :
a. Kurang spontan. b. Apatis (acuh tak acuh terhadap lingkungan). c.
Ekspresi wajah kurang berseri (ekspresi sedih). d. Afek tumpul e. Tidak
merawat dan memperhatikan kebersihan diri f. Tidak ada atau kurang
terhadap komunikasi verbal. g. Menolak berhubungan dengan orang lain. h.
Mengisolasi diri (menyendiri) i. Kurang sadar dengan lingkungan sekitarnya.
j. Asupan makan dan minuman terganggu. k. Aktivitas menurun. l. Rendah
diri. Jadi perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya
rendah, sehingga timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain.
Bila tidak dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan
perubahan sensori: halusinasi dan resiko mencederai diri, orang lain, dan
lingkungan sekitarnya. Perilaku yang tertutup dengan orang lain juga bisa
menyebabkan intoleransi aktivitas yang akhirnya bisa mempengaruhi
terhadap ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara mandiri.
3. Expressive Writing Therapy
Expressive writing therapy atau terapi menulis ekspresif merupakan sebuah
proses terapi dengan menggunakan metode menulis ekspresif untuk mengungkapkan
pengalaman emosional dan mengurangi stress yang dirasakan individu sehingga dapat
membantu memperbaiki kesehatan fisik, menjernihkan pikiran, memperbaiki perilaku
dan menstabilkan emosi. Ekspresif emosional merupakan ekspresi natural dari emosi
yang sebenarnya (Amalia & Meiyuntariningsih, 2020).
Expressive writing adalah suatu metode dimana individu didorong untuk
menceritakan masalah-masalah, perasaan-perasaan dan mood yang dihadapinya dalam
bentuk tulisan sehingga individu tersebut dapat mengeluarkan emosi-emosi yang
terpendam dalam dirinya. Menurut Adler dan Rodman menyebutkan bahwa ada dua
faktor yang dapat menimbulkan kecemasan, yaitu peristiwa negatif pada masa lalu &
pikiran yang tidak logis, dari faktor tersebut salah satunya adalah peristiwa negatif
pada masa lalu yang kemudian bisa diberi terapi dalam bentuk perlakuan expressive
writing (Dona, 2016).
Expressive writing therapy merupakan salah satu intervensi yang dapat
digunakan untuk menurunkan stress. Expressive writing dapat digunakan sebagai satu
cara untuk mengetahui keadaan individu dengan cara menulis. Expressive writing
juga dapat menggambarkan pengalaman hidup si penulis dalam masa lalu, sekarang,
atau kehidupan masa depan yang dibayangkan (Aldrich, 2010).
Hynes dan Thompson (dalam Purnamarini, 2016) mengelompokkan terapi
menulis menjadi 4 tahapan yakni:
1. Recognation / Initial writing, bertujuan untuk memfokuskan pikiran, merelaksasi,
membuka imajinasi dan menghapuskan pikiran negatif yang dapat muncul pada diri
klien, serta konsentrasi klien atau mengevaluasi keadaan emosi. Pertama, klien
diberikan peluang untuk menulis secara bebas frase, kata-kata atau mengatakan hal
lain yang keluar dalam pikiran tanpa arahan dan perencanaan. Selain menulis, sesi ini
juga dapat dimulai dengan pemanasan, menggambar bentuk sederhana, gerakan ice
breaking sederhana, atau mendengarkan sebuah instrumen. Tahap ini berjalan selama
20 menit.
2. Examination/writing exercise, tahap ini untuk mengetahui lebih
dalam reaksi klien terhadap suatu situasi tertentu, diawali dengan
peristiwa emosional yang umum hingga pengalaman utama yang
mengusik klien, misalnya ketika kehilangan pekerjaan, kecemasan
ketika menghadapi suatu peristiwa atau didiagnosis mengalami suatu
penyakit. Pelaksanaan terapi menulis dilakukan pada tahap ini. Tidak
ada instruksi yang baku pada tahap ini, sehingga instruksi yang
disampaikan dapat disesuaikan dengan usia dan juga pemahaman
klien. Tahap ini berlangsung sekitar 20 menit. Pada sesi ini, menulis
yang dilakukan klien sudah terarah. Dalam sesi ini bukan hanya
penggalian tentang masa lalu klien, tetapi juga untuk menghadapi
situasi yang sedang maupun situasi di masa depan yang akan
dihadapi.
3. Juxtaposition/Feedback, pada tingkatan ini, klien diarahkan untuk
mendapatkan persepsi baru dalam memperhatikan sebuah
permasalahan, sehingga mampu memberikan gagasan baru terhadap
sikap, perilaku, pemahaman dan penilaian yang lebih dalam dirinya.
Hal utama tahap ini yaitu melihat bagaimana perasaan klien pada
waktu menulis ekspresif, setelah menulis dan saat membaca kembali
tulisan tersebut.
4. Application to the self, pada tahap terakhir ini klien diarahkan untuk
mengaplikasikan ilmu barunya ke dalam dunia nyata. Konselor atau
terapis mendukung klien mengorganisasikan apa yang sudah
dipelajari selama sesi menulis dengan merenungkan kembali apa saja
yang perlu diperbaiki atau diubah dan yang harus dipertahankan.
Terapi menulis ini bisa digunakan baik secara individual atau
kelompok, menurut White & Murray (2017). Manfaat yang
didapatkan saat menerapkan cara ini adalah : 1) Seseorang menjadi
lebih mudah dalam meluapkan emosi dengan cermat,
2) Seseorang bisa melepaskan masalah dari dalam diri, 3) Seseorang
mampu menurunkan gejala-gejala negatif akibat timbulnya masalah
cemas (pusing, sakit perut dll), 4) Menguatkan pemberdayaan diri.
B. Expressive Writing Therapy
Menurut Pennebaker (2002) menyatakan bahwa terpenuhiya semua kebutuhan
dasar seseorang, akan menunjukkan dorongan kuat untuk pengakuan diri dimana
menulis merupakan suatu bentuk dasar dari pengakuan diri. Menulis ekspresif
sebagai faktor yang menghasilkan efek teraupetik dalam pengungkapan emosi
(Siswanto, 2003). Berdasarkan hasil eksperimen Pennebaker (2002) menyatakan
bahwa menulis ekspresif merupakan suatu bentuk pengungkapan diri, dengan cara
bebas berekspresi sesuai dengan cara setiap individu. Dengan teknik menulis
ekspresif, seseorang dapat mengeluarkan emosi negatif seperti perasaan sedih,
kecewa, marah dan berduka ke dalam tulisan dan akan memberikan pengaruh
pada diri dimulai dari merubah sikap, meningkatkan kreativitas, mengaktifkan
memori, memperbaiki kinerja dan kepuasaan hidup serta meningkatkan kekebalan
tubuh agar terhindar dari psikosomatik. Klein dan Boas (2001) menyatakan bahwa
melalui menulis ekspresif dapat mengatasi kecemasan dan mengurangi
kecenderungan seseorang memikirkan hal yang dikhawatirkan. 2. Pendekatan
dalam terapi menulis ekspresif Baikie dan Wilhelm (2014) menyatakan penjelasan
teori menulis ekspresif di bedakan melalui dua pendekatan antara lain : a.
Pendekatan Psikoanalisis Komalasari (2011) menyatakan bahwa Pendekatan
psikoanalisis adalah segala perilaku manusia yang bersumber pada dorongan di
dalam alam ketidaksadaran. Sigmund Freud menjelasakan bahwa konflik yang
tidak terpecahkan, represi, dan kecemasan berjalan bersamaan dimana konflik dan
kesakitan tidak dapat diselesaikan pada tahap kesadaran karena ditekan dan
dilupakan pada tahap ketidaksadaran. Sehingga untuk menyelesaikan masalah
dapat dilakukan dengan membuka konflik awal (Komalasari, 2011). Berdasarkan
penjelasan tersebut, pada penelitian ini lebih memfokuskan pada pendekatan
psikoanalisia yang didasarkan pada dua teori yaitu :
1) Emotional Catharis Emotional Catharis yakni melepaskan perasaan
negatif. Smyth (1998) menyatakan bahwa "Furthermore expressive writing
results in immediate increase in negative affect rather than immediate
relief of emotional tension, and the obtained health benefits are unrelated
to the amount of negative emotion or distress either expressed or reported
just after writing (Smyth, 1998)". Menurut Smyth (1998) secara langsung
hasil dari menulis ekspresif akan memberikan pengaruh negatif
dibandingakan pada meringankan ketegangan emosional dan manfaat
kesehatan yang didapatkan tidak dari berhubungan dengan seberapa
banyak emosi negatif dan distres, baik yang tersurat maupun yang
dilaporkan setelah menulis. 2) Emotional inhibition and confrontation.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Riordan dan dikutip oleh
Qonitatin (2011) dan Siswanto (2003) teori Emotional inhibition and
confrontation menjelaskan bahwa represi pikiran, perasaan atau perilaku
seseorang, khususnya pada hal - hal traumatis atau menyusahkan yang
merupakan suatu bentuk kerja fisiologis dan psikologis (Qonitatin, 2011).
Seseorang akan memperoleh keuntungan baik fisik dan psikologis setelah
pengungkapan suatu rahasia (Qonitatin, 2011). Melalui menulis ekspresif
akan mendorong upaya untuk memikirkan ulang seluruh peristiwa dalam
menghadapi trauma dan membantu mengatasi trauma (Pennebaker, 2013).
2) b. Pendekatan Behavior Pendekatan ini didasarkan bahwa tingkah laku
dapat dipelajari, tingkah laku lama dapat diganti dengan tingkah laku baru
dan manusia mempunyai potensi berperilaku baik atau buruk, tepat atau
salah. Manusia juga dipandang sebagai individu yang melakukan releksi
atas tingkah lakunya sendiri, serta mengatur dan mengontrol perilakunya,
dapat mempelajari tingka laku baru atau mampu mempengaruhi perilaku
orang lain ( Walker dan Shea, 2011). Baikie dan Wilhelm (2014)
menyatakan bahwa terdapat beberapa teori yang terkait dengan menulis
ekspresif dan termasuk ke dalam pendekatan behavioral diantaranya: 1)
Cognitive Processing Menurut Harber dan Pennebaker (1992) Cognitive
Processing merupakan salah satu mekanisme potensial yang menunjukkan
bahwa menulis ekspresif dapat mengatur dan menyusun memori traumatis,
sehingga dapat lebih adaptif terhadap permasalahan yang dihadapi, baik
dengan diri sendiri maupun oraang lain. Menulis ekspresif memberikan
manfaat yang diperoleh yakni dapat meningkatkan kapasitas ingatan, yang
mencerminkan peningkatan proses kognitif (Klein dan Boals, 2001). 2)
Repeated Exposure Baikie dan Wilhelm (2014) mengatakan bahwa "The
effectiveness of prolonged exposure as treatment for post traumatic
stress”. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa efektivitas
pengungkapan dalam waktu lama terletak pada fungsi sebagai pengobatan
stres pasca trauma.
3) Lepore (1997) menyatakan bahwa dengan menulis tentang kenangan
traumatis secara berulang dapat menghilangkan respon negatif, dengan
menulis ekspresif akan terjadi pengungkapan emosi negatif secara
berulang. 3. Tujuan menulis ekspresif Pennebaker dan Chung (2007)
menjelaskan beberapa tujuan menulis ekspresif yaitu: a. Membantu
menyalurkan ide, perasaan, harapan subjek ke dalam suatu media yang
bertahan lama dan membuatnya merasa aman. b. Membantu subjek
memberikan respon yang sesuai dengan stimulusnya sehingga subjek tidak
membuang waktu dan energi untuk menekan perasaanya. c. Membantu
subjek mengurangi tekanan yang dirasakannya sehingga membantu
mengatasi kecemasan. 4. Manfaat menulis ekspresif Menurut Pennebaker
dan Chung (2007) menyatakan bahwa menulis ekspresif memiliki
beberapa manfaat, diantaranya : a. Merubah sikap dan perilaku,
meningkatkan kreatifitas, memori, motivasi, dan berbagai hubungan antara
kesehatan dan perilaku. b. Membantu mengurangi penggunaan obat-
obatan yang mengandung bahan kimia. c. Mengurangi intensitas untuk
pergi ke dokter, terapi maupun konseling. d. Hubungan sosial semakin
baik dengan masyarakat.
4) 5. Prosedur terapi menulis ekspresif
5) Prosedur terapi menulis ekspresif yakni menggunakan media buku, jurnal
atau buku pribadi dan blog. Berdasarkan beberapa penelitian terdapat
perbedaan dalam penggunaan durasi menulis, karena setiap kasus memiliki
tingkat kedalaman masalah yang berbeda, sehingga diperlukan cara dan
durasi yang berbeda. Proses terapi menulis dibutuhkan waktu kurang lebih
10 hingga 30 menit selama 3 atau 5 hari dalam proses menulis ekspresif
dimana subjek diminta untuk masuk ke dalam ruangan dan diminta untuk
menulis mengenai bagaimana subjek menggunakan waktunya sehari-hari
hingga pengalaman dalam kehidupanya, tentang perasaan kepada orang
disekitarnya, tentang masa lalu, masa sekarang, dan impiannya hingga
konflik pribadi yang dialami (Rahmawati, 2014) Pennebaker (2007)
memberikan langkah sederhana dalam menulis ekspresif agar lebih
maksimal yakni sebagai berikut : a. Waktu Pergunakan waktu selama 20
menit per hari selama minimal 3 hari. b. Topik Pilihlah topik yang bersifat
pribadi, penting dan menjadi permasalaan saat ini dalam diri anda. c. Tulis
secara terus menerus Tulislah apa yang ingin anda tulis dan ekspresikan
diri anda melalui tulisan tanpa memikirkan aturan penelitian maupun tata
Bahasa d. Tulis hanya untuk diri anda Semua yang anda tulis hanya untuk
diri anda sendiri. Jangan ragu dan malu untuk menuliskan hal yang besifat
pribadi karena hanya anda saja yang akan mengetahui apa yang anda tulis.
e. Ketahui batasan anda Ketika anda sudah menuliskan perasaan anda,
tetapi kemudian anda merasakan semakin terpuruk, maka berhentilah f.
Harapkan sesuatu Setelah selesai menulis ekspresif anda akan merasakan
perasaan sedih atau terpuruk tetapi satu hingga dua jam perasaan tersebut
akan hilang dan anda akan merasa lebih baik.
1. Pengertian dan Etiologi Expressive Writing Therapy
Expressive Writing Therapy merupakan salah satu bentuk terapi
yang digunakan untuk menurunkan kecenderungan depresi. Expressive
Writing Therapy yaitu membicarakan atau menuliskan pengalaman yang
untuk mendapatkan wawasan dan cara penyelesaian dari trauma (Breuer,
1985; Freud,1966, dalam Pennebaker, 2002).
Wright (dalam Bolton, 2004) mendefinisikan expressive writing
therapy atau terapi menulis sebagai proses menulis yang merupakan
ekspresi dan refleksi individu dan dilakukan dengan keinginan sendiri atau
bimbingan terapis atau peneliti. Secara umum expressive writing
therapy bertujuan untuk meningkatkan pemahaman bagi diri sendiri
maupun orang lain, meningkatkan kreatifitas, ekspresi diri dan harga diri,
memperkuat kemampuan komunikasi dan interpersonal, mengekspresikan
emosi yang berlebihan (katarsis) dan menurunkan ketegangan serta
meningkatkan kemampuan komunikasi dan interpersonal, serta
meningkatkan kemampuan dalam mengatasi masalah dan fungsi adaptif
individu (Gorelick, dalam Malchiodi, 2007).
Bolton (2011) juga menyatakan bahwa expressive writing
therapy membantu individu untuk memahami dirinya sendiri dengan lebih
baik, dan dapat menghadapi depresi, distress, kecemasan, addicts
(kecanduan), ketakutan terhadap penyakit, kehilangan dan perubahan
dalam kehidupannya (Bolton, 2011).
Adams (2013) dalam bukunya yang berjudul “It’s easy to write :
Expressive Writing Series. Expressive Writing Foundations of Practice”,
menulis merupakan waktu untuk memanjakan diri sendiri. Dimana hal
ini dapat membantu untuk mengenal diri, sehingga mampu me-reduksi
beban
pikiran atau stress. Selain itu, pada penelitian yang dilakukan Smyth (1998),
expressive writing therapy sebagai salah satu terapi untuk „menikmati‟
waktu bagi diri sendiri bagi para pasien. Hasil dari penelitian tersebut
dapat mengurangi gejala dari penyakit para pasien, mulai dari
meningkatnya kekebalan imun, berkurangnya kunjungan untuk
mengeluhkan rasa sakit, menurunnya tekanan darah tinggi, dan
mengingkatnya antibodi khususnya pada penderita hepatitis B, dan
peningkatan psikologis (keinginan untuk sembuh).
Awal mula perkembangan terapi melalui tulisan adalah dimulai dari prakek
klinis di mana menulis merupakan salah satu bentuk terapi penyembuhan
pasien atau klien. Beberapa psikiater, psikolog dan konselor dari berbagai
aliran, misalnya psikologi dalam atau psikoanalisis serta rasional emotif
menerapkan terapi menulis terhadap kliennya. Menurut Riordan (1996)
pada abad ke 18 setelah Masehi, klinis medis menemukan bahwa proses
menulis mmampu meredakan ketegangan pasien dan memberi lebih
banyak infosmasi mengenai permasalahan yang dialami si pasien. Goldorn
Allport, psikolog dari aliran trait axiety adalah orang yang pertama kali
menulis mengenai berbagai keuntungan dalam menerapkan menulis
sebagai salah satu bentuk terapi pada klien.
Menulis bisa menjadi salah satu teknik bimbingan, media konseling, dan
juga teknik dalam ppsikoterapi. Di Barat, telah
expressive, writing therapeutic, writing cripthotherapy dan dikaitkan
dengan narrative therapy (White dan Murray, 1996).
Fenomena berkembangnya konseling melalui tulisan juga cukup pesat,
karena secara teknis termasuk fleksibel maupun mampu mengikuti
perkembangan teknologi.
2. Sejarah Expressive Writing Therapy
Breuer dan Freud (1895/1966, dalam Pennebaker 1986) menyatakan
bahwa gejala histeris menghilang di saat seseorang mengungkapkan
pengalamannya secara detail. Tesser, Leone, dan Clary (1978, dalam
Pennebaker, 1986) mengemukakan bahwa terapi berbicara tidak
mengurangi fobia pada pelajar. Pennebaker (1986) melakukan percobaan
terapi menulis untuk mengurangi stress dan mengevaluasi aspek-aspek
efektif mengurangi stress pada subjek penelitiannya. Terapi tersebut
bernama expressive writing.
Terapi menulis memiliki berbagai tipe. Tipe expressive yang banyak dipakai
peneliti peneliti (Mackenzie, Wiprzycka, Hasher, & Goldstein, 2008; Dalton
dan Glenwick, 2009; Smyth, Hockmeyer & Tulloch, 2010) dan telah diuji
cobakan pada berbagai penelitian ialah
expressive writing therapy milik James W. Pennebaker. James W.
Pennebaker adalah Profesor Liberal Arts dan Ketua Departemen di
Departemen Psikologi di University of Texas di Austin, di mana ia
menerima gelar Ph.D. pada tahun 1977. Ia telah mengajar di fakultas
Psikologi di University of Virginia, Southern Methodist University, dan sejak
tahun 1997, Universitas Texas. Pennebaker dan murid-muridnya yang
mengeksplorasi hubungan antara pengalaman traumatis, menulis
ekspresif, menggunakan bahasa alami, dan kesehatan fisik dan mental.
Studinya menemukan bahwa kesehatan fisik dan prestasi kerja dapat
meningkatkan dengan menulis sederhana dan atau latihan berbicara.
Penelitiannya terbaru berfokus pada sifat bahasa dan emosi di dunia nyata.
Orang-orang menggunakan kata-kata yang kuat menjadi refleksi
kepribadian mereka dan dunia sosial. Penulis atau editor 8 buku dan lebih
dari 200 artikel, Pennebaker telah menerima berbagai
penghargaan (Pennebaker, nd). Selama ini expressive writing therapy selalu
dikaitkan dengan keuntungan terhadap kesehatan, nilai-nilai mata
pelajaran, meningkatnya sistem imun terhadap mahasiswa (Pennebaker
dan Beall, 1986; Dalton dan Glenwick, 2009) dan meningkatkan pemikiran
positif serta rasa optimis pada caregiver manula yang mengalami stress
sejak lama (Mackenzie, Wiprzycka, Hasher, & Goldstein, 2008).
Menurut penelitian Smyth, Hockmeyer, dan Tulloch (2010), expressive
writing
therapy juga memiliki pengaruh positif dalam menurunkan respon
fisiologis penderita PTSD (Post Traumatic Syndrome Disorder). Pennebaker
(2002) mengatakan bahwa menulis tidak hanya memberikan
Expressive writing therapy dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan
(Frisina, Borod, & Lepore, 2004; Pennebaker, 2004; Smyth, 1998). Dalam
prosesnya, menulis mengurangi kecenderungan seseorang merenungkan
hal yang dikhawatirkannya karena memungkinkan individu untuk menguji
kembali situasi yang dialaminya sehingga keinginan untuk memikirkan
kekhawatirannya menurun (Klein and Boas, 2001).
Pennebaker (1999) berasumsi bahwa mengingat kembali
pengalaman masa lalu membuat seseorang memroses kembali dan
mengorganisasikan pikiran serta perasaannya. Proses tersebut diasumsikan
memengaruhi kemampuan subjek untuk mengontrol dan memrediksi
hidupnya. Pennebaker (1999) juga menyatakan bahwa keadaan fisik dan
psikis seseorang menjadi lebih baik ketika mengungkapkan emosinya
melalui kata-kata. Expressive Writing Therapy merupakan kegiatan menulis
kejadian yang sangat emosional tanpa memerhatikan tata Bahasa
(Pennebaker, 1997).
Metode expressive writing therapy dikembangkan peneliti-peneliti lain
berdasarkan tujuannya. King (2001) mengembangkan teknik
expressive writing therapy dengan menginstruksikan subjek menuliskan
tujuan hidup mereka. Teknik ini berpengaruh positif terhadap keadaan
fisik dan psikologis subjek. Lepore dan Greenberg (2002)
orang lain. Hasil penelitian menyatakan bahwa teknik kini berpengaruh
positif terhadap suasana hati, kesehatan fisik, dan fungsi sosial. Schutte
(2010) bereksperimen dengan menginstruksikan subjek menuliskan
pengalaman kepemimpinan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa efikasi
diri karyawan meningkat.
3. Perkembangan Expressive Writing Therapy
Pennebaker (1997) mengungkapkan beberapa temuan penting terkait
expressive writing therapy. Menulis pengalaman emosional
lebih memberikan pengaruh terhadap kondisi biologis, suasana hati, dan
kognitif subjek dibanding merekam cerita atau menceritakannya
kepada terapis. Expressive writing therapy memiliki dua jenis topik, yaitu
topik secara umum dan spesifik. Topik secara umum memberikan
pengaruh yang luas terhadap subjek. Topik spesifik memberikan pengaruh
yang lebih kuat terhadap tema penulisan. Expressive writing
therapy dilaksanakan selama 1 sampai 5 hari dalam satu minggu. Lama
penulisan berkisar antara 15 sampai 30 menit dalam satu sesi. Peneliti
tidak memberikan umpan balik terhadap hasil tulisan subjek. Setiap tulisan
dijaga kerahasiaannya.
Perbedaan karakteristik atau kepribadian subjek tidak memengaruhi hasil
teknik expressive writing therapy. Budaya, tingkat pendidikan, dan
Kesimpulannya expressive writing therapy adalah terapi yang berkembang
dari penanggulangan kecemasan emosi yang dialami para pasien atau
klien yang kemudian dari menulis mendapat beberapa infomasi yang
membantu dalam meredakan dan mengurangi kecemasan maupun
perasaan depresif para pasien, serta expressive writing therapy sendiri
merupakan proses yang merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan
emosi, ekspresi dan refleksi individu baik dilakukan atas keinginan sendiri
maupun sugesti atau dorongan dari orang lain.
4. Karakteristik Expressive Writing Therapy
Karakteristik Expressive Writing Therapy yaitu partisipan
menulis pengalaman traumatis dalam hidupnya. Waktu pelaksanaannya 3 -
4 hari berturut-turut atau sesuai dengan tujuan penelitian dengan durasi
5-20 menit setiap kali menulis, tidak ada umpan balik yang diberikan,
partisipan bebas menuliskan pengalaman traumatis yang mereka alami,
dan efek langsung yang dirasakan oleh sebagian besar partisipan ketika
mengingat langsung pengalaman traumatisnya, antara lain menangis atau
sangat marah (Slatcher & Pennebaker, 2005).
Pennebaker (2002) menunjukkan syarat tulisan yang bermanfaat bagi
penulisnya antara lain:
a. Semakin banyak menggunakan kata-kata yang beremosi positif seperti
bahagia, cinta, baik, tertawa.
b. Kata-kata dengan kandungan emosi negative yang sedang (tidak
banyak atau terlalu sedikit) seperti marah, terluka, buruk.
c. Menggunakan lebih banyak kata-kata kognitif pada hari terakhir, seperti
pemikiran kausal (sebab-akibat, alasan) dan wawasan/ refleksi diri
(memahami, menyadari, mengetahui).
d. Membangun kisah yang jelas, koheren, dan terorganisir dengan
baik pada hari terakhir melakukan expressive writing therapy.
5. Proses Expressive Writing Therapy
Menulis mampu mengeluarkan emosi, merekonstruksi ingatan, dan
menyadarkan seseorang akan suatu peristiwa (Niederhoffer
dan Pennebaker, 2002). Pennebaker (1999) menyatakan tiga proses
expressive
writing therapy dalam meningkatkan kesehatan seseorang. Pertama,
menulis membantu seseorang mengekspresikan dirinya. Kesehatan
seseorang meningkat ketika mampu mengungkapkan pengalamannya ke
dalam kata-kata. Kedua, menuliskan pengalaman emosional
menyebabkan seseorang sadar akan kesehatannya dan berusaha
mengubah kebiasaan buruk. Ketiga, menulis membuat seseorang
mengubah emosi dan imajinasinya menjadi kata-kata. Proses tersebut
menjadikan seseorang mampu mengorgaisasikan dan memikirkan kembali
pengalaman dimasa lalu. Pengintegrasikan pikiran dan perasaan
mudah membentuk cerita yang masuk akal. Orang-orang yang menuliskan
ceritanya lebih mampu untuk berefleksi, terbuka, dan bijaksana.
Kathleen Adams (1999) mengemukakan berbagai istilah terkait dengan
proses dalam terapi menulis, yaitu antara lain:
a. Journal therapy (terapi jurnal) yaitu katarsis dan refleksi
secara mendalam dan penuh tujuan sebagai tujuan terapeutik melalui
proses atau intregasi dalam menulis. Istilah jurnal dan diary
sering disamakan, padahal terdapat perbedaan dari jurnal dan diary
yaitu jurnal lebih bersifat curahan perasaan yang terdalam lebih fokus
dan lebih reflektif sementara diary bersifat lebih dangkal dan
merupakan catatan perasaan terhadap peistiwa dan kegiatan yang
dilakukan sehari-hari;
b. Therapeuthic writing (terapi menulis) adalah partisipasi terus menerus
dan mengobservasi perjalanan hidup yang telah dialami, trauma, hikmah,
pertanyaan, kekecewaan, rasa senang untuk mendorong timbulnya
pemahaman, insight, penerimaan dan pertumbuhan diri;
c. Chatartic writing (menulis katarsis) berfokus pada ekspresi kesadaran
afeksi yang tinggi dan eksternalisasi perasaan dalam bahasa dan tulisan;
d. Reflective writing adalah meningkatkan pengamatan diri,
meningkatkan kesadaran adanya ketidaksinambungan pikiran dengan
tubuh, internal dengan eksternal, pikiran dengan perasaan atau harapan
dengan hasil.
Seseorang yang melakukan expressive writing therapy akan
belajar menyatukan isi pikirannya, mengingat peristiwa traumatis yang
pernah dialami untuk dihadirkan kembali ke dalam pikiran, memilih hal-hal
yang ingin disampaikan melalui tulisan, dan melatih emos agar terbiasa
mengahadapi kembali peristiwa yang awalnya dianggap traumatis
(Pennebeker, 2002). Semakin sering menulis, diharapkan orang yang
bersangkutan akan memperoleh gambaran tentang peristiwa traumatisnya
secara menyeluruh sehingga semakin memahami peristiwa tersebut,
berpikir luas dan integratif, mampu melakukan refleksi diri, dan akhirnya
memandang peristiwa traumatis tersebut dari sudut pandang yang
berbeda sehingga mampu menemukan penyelesaiannya (Pennebeker,
2002).
Memahami sebab-sebab suatu peristiwa yang megganggu bersama
dengan sikap refleksi diri merupakan prasyarat utama untuk memperoleh
peningkatan kesehatan (Pennebeker, 2002). Individu yang telah mampu
memahami apa yang telah terjadi padanya akhirnya menyadari bahwa
tidak semua yan terjadi adalah murni dari kesalahannya, sehingga ia akan
mampu melihat dirinya secara lebih produktif dan positif. Hal tersebut
juga dapat meningkat konsep diri individu, dimana konsep diri ini
diketahui sangat berpengaruh terhadap penurunan kecenderungan
depresi. Dari yang telah dijabarkan di atas dapat disimpulkan
bahwa karakteristik expressive writing therapy di antaranya terapi
dilakukan sedikitnya 3-4 hari berturut-turut dengan durasi waktu 5-20
menit per-sesi, selain itu koresponden diharap mampu menuliskan cerita
atau tulisan yang runtut, baik serta mengandung kata-kata dengan unsur
emosi yang mampu menggambarkan perasaan koresponden.
6. Tujuan Expressive Writing Therapy
Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah partisipan secara bebas bisa
mengekspresikan perasaannya, meningkatkan kepercayaan diri,
meningkatkan kemampuan merefleksi diri, meningkatkan keterampilan
menulis, membuat partisipan menjadi lebih terbuka, spontan dan
menerima diri apa adanya (Pennebaker, 1997).
Seseorang yang melakukan expressive writing akan belajar menyatukan isi
pikirannya, mengingat peristiwa traumatis yang pernah dialami untuk
dihadirkan kembali ke dalam pikiran, memilih hal-hal yang ingin
disampaikan melalui tulisan, dan melatih emosi agar terbiasa menghadapi
kembali peristiwa yang awalnya dianggap traumatis. Semakin sering
menulis, diharapkan orang yang bersangkutan akan memperoleh
gambaran tentang peristiwa traumatisnya secara menyeluruh
sehingga semakin memahami peristiwa tersebut, berpikir luas dan
integratif, mampu melakukan reflkesi diri, dan akhirnya memandang
peristiwa traumatis tersebut dari sudut pandang yang berbeda sehingga
mampu menemukan penyelesaiannya (Pennebaker, 2002).
expressive writing therapy ini menjadi salah satu alternative sebagai jalan
untuk mengungkapkan perasaannya lebih maksimal dan bebas.
Melatih keterampilan menulis, agar terbiasa menyelesaikan masalah
dengan menulis dan sebagai latihan untuk melatih kognitif dan
komunikasi dalam menyampaikan maupun menyelesaikan masalah.
Lepore dan Greenberg (2002) mengungkapkan bahwa expressive writing
therapy memberikan beberapa pengaruh. Pasien menjadi mampu
mengurangi kunjungannya ke rumah sakit (Pennebaker & Beall, 1986;
Pennebeaker et al., 1990; Greenberg et al., 1996) dan gejala penyakit
menjadi berkurang (Pennebaker & Beall, 1986; Greenberg & Stone, 1992).
Suasana hati subjek menjadi lebih baik dan gejala stress terhadap
pengalaman traumatik berkurang (Donnelly & Murray, 1991; Lange et al.,
2000). Kinerja dan fungsi fisik subjek menjadi lebih baik (Spera et al., 1994;
Cameron & Nicholls, 1998; Smyth et al., 1999).
BAB III

E. Metode Kerja
Metode kerja yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode deskriptif
adalah metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set
kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu peristiwa pada masa sekarang (Nazir,
2011). Tujuan meteode ini untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena.
Expressive writing therapy mempunyai 4 tahapan kinerja yaitu : Recognation / initial
writing, Examination / writing exercise, Juxtaposition / feedback, dan Application to
the self.
Intervensi dilakukan selama 5 minggu di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Subjek
penelitian adalah pasien dengan diagnose keperawatan harga diri rendah dan isolasi sosial yang
di rawat di RSJ Menur pada bulan Juni 2023.

Subjek Penelitian
Subjek penelitian berjumlah 7 orang, merupakan pasien dengan diagnose keperawatan harga
diri rendah dan isolasi sosial yang di rawat di RSJ Menur pada bulan Juni 2023.

F. Kriteria Inklusi dan Ekslusi


1. Kriteria Inklusi :
a. Pasien rawat inap di Ruang Flamboyan pada bulan Mei & Juni 2023
b. Pasien dengan diagnose keperawatan harga diri rendah dan isolasi sosial
c. Pasien kooperatif / tidak gaduh gelisah
d. Pasien yang mampu membaca dan menulis
e. Pasien belum pernah mengikuti intervensi expressive writing therapy dan bersedia
mengikuti proses intervensi

2. Kriteria Ekslusi :
a. Pasien gaduh gelisah
b. Pasien tidak mampu membaca dan menulis
c. Pasien dengan gangguan retardasi mental
d. Pasien yang mengalami dimensia

Instrumen penelitian
Menggunakan kuesioner penelitian tingkat harga diri rendah dan tingkat interaksi sosial.

Prosedur Penelitian
penelitian ini adalah ada pengaruh Penelitian dibagi ke dalam dua
pemberian expressive writing therapy tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.

1. Tahap persiapan
a. Melakukan screaning subjek sesuai kriteria
b. Penyusunan Modul
c. Penyusunan SPO
d. Melakukan pre-test melalui kuesioner
2. Tahap pelaksanaan

a. Experimen dilakukan dalam 4 sesi sesuai dengan terori expressive writing therapy, setiap sesi
berlangsung dalam waktu 45-90 menit.

b. Melakukan post-test melalui kuesioner 2 hari setelah rangkaian experiment selesai dilakukan
BAB IV
G. Hasil
Sebelum Pemberian Setelah Pemberian Terapi
Terapi
Menanyakan keadaan dan Pasien dapat mengungkapkan perasaannya melalui tulisan.
perasaan pasien secara
verbal.
Pasien pasif, banyak Pasien menjadi mau mengungkapkan apa yang dirasakan,
menyendiri, diam saat lebih aktif, mulai mau berinteraksi.
ditanya.

Sulit mengevaluasi Lebih mudah menganalisa perasaan pasien.


perasaan pasien.
H. Analisa
a) Bulan Mei

Pasien yang mengikuti expressive writing therapy pada bulan Mei 2023 di Ruang Flamboya
sebanyak 7 orang. Setelah dilakukan intervensi terdapat peningkatan harga diri sebanyak 57%
dan interaksi sosial pada pasien sebanyak 71%.

b) Bulan Juni

Pasien yang mengikuti expressive writing therapy pada bulan Juni 2023 di Ruang Flamboya
sebanyak 7 orang. Setelah dilakukan intervensi terdapat peningkatan harga diri dan interaksi
sosial pada pasien sebanyak 71%.
BAB V
Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikan terhadap tingkat
tingkat harga diri rendah dan interaksi setelah perlakuan expressive writing therapy.
Pada bulan Mei terdpat peningkatan harga diri sebanyak 57% dan peningkatan interaksi sosial sebanyak
23%. Pada Bulan Juni terdsapat peningkatan harga diri rendah sebanyak 71% dan peningkatan interaksi
sosial sebanyak 71%.

Saran

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa expressive writing therapy dapat digunakan sebagai terapi
alternatif bagi permasalahan psikologis yang mempengaruhi kondisi fisiologis, kognitif, dan emosional
individu. Meski demikian masih sedikit peneliti yang menggunakan model expressive writing therapy
dalam penelitian. Oleh karena itu peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan replikasi pada subjek
atau permasalahan yang berbeda.
I. Daftar Pustaka
Aldrich, T. G. (2010). Expressive Writing: A Technique for Improving
Communication in Individuals with Autism and Related Disorders.
Dissertations, Theses and Capstone Projects.
Amalia, R. & Meiyuntariningsih, T. (2020). Expressive writing Therapy dan
Kemampuan Pengungkapan Emosi Pasien Skizofrenia Hebefrenik. Jurnal
Penelitian Psikologi. 11(2), 76-83
Dona, F. A. (2016). Konsep Kecemasan (Anxiety) Pada Lanjut Usia (Lansia).
Konselor,
93-99.
Nazir, Moh.(2011). Metode Penelitian Cetakan 6. Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia
Purnamarini, D. P. (2016). Pengaruh Terapi Expressive Wiriting Terhadap Penurunan
Kecemasan Saat Ujian. Bimbingan Konseling, 36-42.
White, V. E., & Murray, M. A. (2002). Passing Notes: The Use Of Therapeutic Letter
Writing In Counseling Adolescents. Journal of Mental Health Counseling, 24,
166 –176
Lampiran :
Bulan Mei
Pre-test
Harga diri
Nama Kode Responden Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q10 Skor Kriteria
1. Sulastri P1 2 2 3 2 2 3 3 3 3 3 26 Cukup
2. Ari P2 2 2 3 2 3 2 2 3 3 3 25 Cukup
3. Aruna P3 3 3 1 3 2 3 3 3 3 3 27 Cukup
4. Wahita P4 1 3 1 1 2 2 1 1 1 1 14 Kurang
5. Rahmania P5 3 2 3 2 2 3 1 3 3 2 24 Cukup
6. Siva P6 1 3 1 1 2 2 1 1 2 2 16 Kurang
7. Nuke P7 2 1 2 1 1 1 2 2 2 3 17 Kurang

Interaksi Sosial
No. Nama Kode Responden Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q10 Q11 Q12 Q13 Q14 Q15 Q16 Q17 Q18 Q19 Q20 Q21 Q22 Q23 Q24 Q25 Skor Kriteria
1. Sulastri P1 1 2 3 2 3 2 2 2 2 2 3 2 3 3 3 3 2 3 2 2 1 1 1 3 3 56 Cukup
2. Ari P2 1 2 2 2 3 3 1 2 3 2 3 2 2 1 3 2 2 3 2 3 2 3 3 1 1 54 Cukup
3. Aruna P3 2 2 3 2 2 3 4 3 4 2 2 4 3 3 3 3 3 3 3 3 1 3 1 4 2 68 Cukup
4. Wahita P4 2 2 2 2 1 2 2 1 2 1 2 3 3 2 1 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 49 Kurang
5. Rahmania P5 2 3 2 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 3 3 3 2 3 3 4 1 4 4 2 4 71 Cukup
6. Siva P6 2 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 2 3 3 47 Kurang
7. Nuke P7 1 1 1 2 3 3 2 3 1 1 1 3 1 3 3 2 1 1 2 3 2 1 3 4 3 51 Cukup
Post test

Harga diri
No. Nama Kode Responden Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q10 Skor Kriteria
1. Sulastri P1 3 4 3 2 3 3 4 4 4 4 34 Tinggi
2. Ari P2 2 2 4 2 4 3 2 3 4 3 29 Cukup
3. Aruna P3 4 4 1 4 3 4 4 4 3 3 34 Tinggi
4. Wahita P4 2 3 1 1 2 3 1 1 1 2 17 Kurang
5. Rahmania P5 4 4 3 4 2 3 1 3 4 2 30 Cukup
6. Siva P6 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 31 Tinggi
7. Nuke P7 3 3 3 3 3 3 3 3 2 4 30 Cukup

Interaksi Sosial
No. Nama Kode Responden Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q10 Q11 Q12 Q13 Q14 Q15 Q16 Q17 Q18 Q19 Q20 Q21 Q22 Q23 Q24 Q25 Skor Kriteria
1. Sulastri P1 3 3 3 2 3 2 3 3 3 2 3 2 4 3 3 3 2 3 3 3 2 2 2 3 3 68 Cukup
2. Ari P2 1 2 3 3 3 3 2 2 3 2 3 2 2 2 3 2 2 4 2 3 2 3 3 1 1 59 Cukup
3. Aruna P3 2 2 4 4 2 4 4 4 4 2 2 4 4 4 4 3 3 3 3 3 1 3 2 4 2 77 Baik
4. Wahita P4 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 2 2 3 2 4 4 4 4 84 Baik
5. Rahmania P5 2 4 2 4 4 4 4 2 4 4 2 4 4 4 4 4 2 4 3 4 1 4 4 2 4 84 Baik
6. Siva P6 3 3 3 4 4 3 3 3 4 4 3 3 4 4 4 3 2 3 3 3 1 3 4 4 4 82 Baik
7. Nuke P7 3 4 3 4 3 3 4 4 4 3 3 4 3 3 4 3 3 3 4 3 3 3 3 4 3 84 Baik
Bulan Juni
Pre-test
Harga diri
Nama Kode Responden Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q10 Skor Kriteria
1. Lani P1 3 2 2 1 3 2 3 1 2 3 22 CUKUP
2. Irma P2 3 3 3 2 2 1 4 1 1 4 24 CUKUP
3. Dwi Maslikah P3 2 1 2 1 1 1 2 2 3 3 18 KURANG
4. Doktoriana P4 4 2 2 2 2 3 2 3 2 1 23 CUKUP
5. Astri P5 3 3 2 2 3 2 1 2 2 1 21 CUKUP
6. Deni K. P6 1 1 1 1 2 3 3 3 2 3 20 KURANG
7. Bastiana P7 1 2 2 3 2 1 2 3 2 1 19 KURANG

Interaksi Sosial
No. Nama Kode Responden Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q10 Q11 Q12 Q13 Q14 Q15 Q16 Q17 Q18 Q19 Q20 Q21 Q22 Q23 Q24 Q25 Skor Kriteria
1. Lani P1 2 3 4 3 4 3 1 1 4 2 3 1 3 2 1 1 2 1 2 2 1 3 2 3 1 55 CUKUP
2. Irma P2 3 3 3 4 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 4 54 CUKUP
3. Dwi Maslikah P3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 2 2 2 2 1 1 1 2 2 2 2 2 50 KURANG
4. Doktoriana P4 2 2 2 3 3 1 1 1 2 3 1 1 1 1 1 3 4 4 2 2 2 2 2 3 3 52 CUKUP
5. Astri P5 2 3 3 2 2 3 2 1 1 1 3 3 1 2 3 1 2 2 2 1 1 1 2 2 3 49 KURANG
6. Deni K. P6 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 1 2 1 2 1 1 1 3 3 48 KURANG
7. Bastiana P7 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 1 1 1 1 1 2 3 2 3 2 2 2 2 3 50 KURANG
Post-test

Harga diri
No. Nama Kode Responden Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q10 Skor Kriteria
1. Lani P1 3 4 4 3 3 3 3 4 3 3 33 TINGGI
2. Irma P2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 40 TINGGI
3. Dwi Maslikah P3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 40 TINGGI
4. Doktoriana P4 3 4 3 3 3 3 2 3 3 3 30 CUKUP
5. Astri P5 3 3 4 3 3 3 3 2 3 3 30 CUKUP
6. Deni K. P6 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 31 TINGGI
7. Bastiana P7 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 30 CUKUP

Interaksi Sosial
No. Nama Kode Responden Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q10 Q11 Q12 Q13 Q14 Q15 Q16 Q17 Q18 Q19 Q20 Q21 Q22 Q23 Q24 Q25 Skor Kriteria
1. Lani P1 2 3 4 3 4 3 3 3 4 2 4 3 3 3 4 3 2 1 2 3 1 3 3 3 1 70 CUKUP
2. Irma P2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 3 4 4 4 4 97 BAIK
3. Dwi Maslikah P3 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 3 4 4 4 4 3 4 3 3 4 3 2 4 4 4 91 BAIK
4. Doktoriana P4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 2 3 3 3 3 3 3 74 CUKUP
5. Astri P5 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 2 2 3 3 3 3 3 3 71 CUKUP
6. Deni K. P6 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 2 3 3 3 3 3 4 73 CUKUP
7. Bastiana P7 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 78 BAIK

Anda mungkin juga menyukai