Anda di halaman 1dari 27

“SUAKA DIPLOMATIK DAN KETERWAKILAN NEGARA

DALAM ORGANISASI INTERNASIONAL ”

DISUSUN OLEH KELOMPOK 6:


M. Alfareza Rezwandy 04020200523
Muhammad Faerus Aulia Rahman 04020200525
Tasya Nabila 04020200577

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

2022
A. Suaka Diplomatik

Konvensi Wina 1961 tidak membuat ketentuan-ketentuan mengenai suaka, meskipun


Pasal 41 ayat (3) menyebutkan tentang “persetujuan khusus” yang dapat memberikan peluang
terhadap pengakuan secara bilateral, hal untuk memberikan suaka kepada pengungsi politik
di dalam lingkungan perwakilan asing. Perumusan dalam Pasal 41 ayat (3) tersebut dibuat
agar memungkinkan suaka diplomatik diberikan baik atas dasar instrumen yang ada maupun
hukum kebiasaan.

Suaka yang dalam bahasa asing disebut asylum , pada dasarnya merupakan suatu bentuk
perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara lain yang terancam
kehormatannya.1 Suaka adalah perlindungan yang diberikan oleh negara kepada warga
negara dari negara lain. Perlindungan yang bukan hanya semata-mata tempat pengungsian
sementara, di mana negara setempat bertindak aktif dalam memberi perlindungan. Suaka
diberikan kepada orang asing yang di negaranya merasa ketakutan akan disiksa karena alasan
ras, agama atau politik.2

Dalam hal suaka diplomatik, tempat suaka adalah tempat-tempat yang menjadi milik atau
yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan resmi negara pemberi suaka dan yang terdapat
atau kebetulan terdapat di wilayah negara lain, serta yang umumnya diakui sebagai tempat
yang tidak dapat dilanggar (inviolable), atau yang mempunyai kekebalan (immunity) dari
yurisdiksi kebetulan berada.

Tempat-tempat demikian adalah sebagai berikut:

1. Gedung dan pekarangan (premises) misi diplomatik atau konsuler.

2. Rumah dinas kepala misi diplomatik atau konsuler.

3. Gedung (dan pekarangan, kalau ada) (premises) yang disediakan oleh negara pemberi
suaka yang lain dari yang tersebut (a) dan (b) di atas, dala hal jumlah pencari suaka
melebihi daya tampung tempat-tempat tersebut (a) dan (b) di atas.
1
Lucia Ch.O Tahamata, “Suaka Diplomatik dalam Kajian Hukum Internasional”, Jurnal Sasi
Vol.17 No 2 Bulan April-Juni 2011, hal.2.
2
Abdul Aziz, Dhimmi dan Konsep kewarganegaraan, Perspektif Klasik dan Modern,
(Yogyakarta: Pt Lkis Pelangi Aksaea, 2015), hal.77.
4. Pangkalan atau kamp militer; dan

5. Kapal perang atau pesawat terbang militer.3

Menurut Sumaryo Suryokusumo, diplomasi adalah kegiatan politik dan merupakan


bagian dari kegiatan internasional yang saling berpengaruh dan kompleks, dengan melibatkan
pemerintah dan organisasi internasional untuk mencapai tujuan-tujuannya, melalui perwakilan
diplomatik, atau organ-organ lainnya. Tugas utama diplomasi adalah dapat memahami dan
bertindak dengan cepat dan cermat dalam memperjuangkan kepentingan negaranya, khususnya
di negara di mana ia ditempatkan.4 Istilah diploma berasal daari bahasa latin yunani yang dapat
diartikan sebagai surat kepercayaan. Perkataan diplomasi kemudian menjelma menjadi diplomat,
diplomasi, dan diplomatik.

Dalam perkembangan selanjutnya mengenai masalah suaka, majelis umum PBB dalam
sidangnya tanggal 14 Desember 1967 telah menyetujui suatu resolusi yang memberikan
rekomendasi bahwa dalam praktiknya negara-negara haruslah mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:

1. Jika seseorang meminta suaka, permintaan seharusnya tidak di tolak atau jika ia
memasuki wilayah negara itu, ia tidak perlu diusir tetapi jika suatu kelompok orang-orang
dalam jumlah besar meminta suaka, hal itu ditolak atas dasar keamanan nasional dari
rakyatnya.

2. Jika suatu negara merasa sukar untuk memberikan suaka, haruslah memperhatikan
langkah-langkah yang layak demi rasa persatuan internasional melalui peranan dari
negara-negara tertentu atau PBB.

3. Jika suatu negara memberikan suaka kepada kaum pelarian atau buronan, negara-
negara lainnya haruslah menghormatinya5.

3
Sulaiman Hamid, Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002, hal. 71
4
Syahmin, Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis, Jakarta : Rajawali, 2008, hal. 6.
5
Sulaiman Hamid, Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002, hal. 70
Dari praktek-praktek internasional dalam menghadapi masalah permintaan dan
pemberian suaka, kenyataannya lembaga atau asas suaka tersebut mempunyai
karakteristik atau prinsip- prinsip yang umum pada suaka yaitu sebagai berikut:

1. Suaka bukan sesuatu yang dapat di klaim oleh seseorang sebagai hak

2. Hak seseorang hanya terbatas pada mencari suaka dan, kalau memperolehnya,
menikmatinya

3. Pemberian atau penolakan suaka adalah hak negara- negara berdasarkan kedaulatannya

4. Pemberian suaka merupakan tindakan yang harus di terima sebagai tindakan damai dan
humaniter.

5. Sebagai lembaga yang bersifat humaniter, suaka tidak boleh ditundukkan pada asas
timbal balik6

6. Suaka mengandung prinsip penghormatan pada asas-asas sebagai berikut:

a. larangan pengusiran (non exspulsion)

b. larangan pengembalian paksa ke negara asal (non refoulement), termasuk penolakan di


perbatasan (rejection at the frontiars) dan c. non-ekstradisi pesuaka (asylee)

7. Bilamana suatu negara menghadapi kesulitan untuk memberikan suaka kepada


seseorang secara permanen atau untuk jangka waktu panjang, negara tersebut setidak-
tidaknya harus bersedia memberikan suaka kepada pencari suaka yang bersangkutan
untuk sementara waktu sampai ia memperoleh suaka di negara lain

8. Suaka tidak dapat diberikan dalam kasus-kasus tidak- tindak pidana non-politis dan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan asas-asas PBB, yang meliputi:

a. tindak pidana biasa

6
Ibid; hal.89
b. tindak pidana menentang perdamaian, tindak pidana perang (war crimes) dan tindak
pidana menentang kemanusiaan (crimes against humanity), sebagaimana dirumuskan
dalam instrumen-instrumen internasional yang bersangkutan.

9. Pemberian suaka mengandung ketentuan yang mewajibkan pesuaka untuk tunduk pada
hukum dan peraturan perundang-undangan negara pemberi suaka

10. Pesuaka tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat menentang negara
asalnya atau yang dapat mengakibatkan ketegangan-ketegangan antara negara pemberi
suaka dan negara asal pesuaka.7

Pada prakteknnya, ada semacam pengertian bahwa memberikan pengakuan atau


menjamin keamanan manusia yang terancam adalah hak setiap negara. Dengan demikian suaka
adalah hak Negara, dan buknan hak individu yang memintanya. Karena itu, penerima suaka pada
umumnya mengambil kewarganegaraan Negara pemberi suaka. Kalaupun tidak, orang itu tetap
mendapat fasilitas dan hak-hak yang samma dengan warga Negara di “negara baru” nya, kecuali
hak-hak politik, misalnya hak suara dalam pemihan umum.8

Dalam berbagai literature hukum Internasional, secara tegas dibedakan antara Antara
suaka teritorial (teritorial asylum) dan suaka diplomatik (diplomatik asylum atau extra territorial
asylum). Suaka territorial merupakan suatu bentuk suaka yang diberikan kepada sesorang yang
lari ke dalam wilayah suatu negara. Sebaliknya suaka diplomatik adalah suaka yang diberikan
kepada sesorang yang meminta perlindungan diwilayah perwakilan diplomatik negara asing.

Dibandingkan dengan suaka diplomatik, suaka teritorial tidak terlalu menimbulkan


persoalan, karena diberikan di wilayah teritorial suatu negara, keputusan suatu Negara untuk
memberikan atau menolak memberikan suaka bisa langsung dibuat oleh penguasa negara
tersebut. Persoalan menjadi lebih kompleks berkenaan dengan pemberian suaka diplomatik,
mengingat bahwa suaka diplomatik dilakukan di wilayah perwakilan asing yang secara de facto
terletak di wilayah negara lain. Selama ini yang muncul persoalan dan perdebatan
berkepanjangan, berkaitan dengan suaka diplomatik ini adalah permasalahan mengenai apakah

7
Sulaiman Hamid, Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002, hal.90.
8
Ibid; hal.98.
suatu perwakilan diplomatik bisa menjadi tempat suaka yang sama sekali tidak bisa diganggu
gugat ?

Mengenai hal ini ada dua pendapat yang muncul. Pendapat pertama mengatakan bahwa
perwakilan diplomatik merupakan perpanjangan d/ari wilayah negara yang mengirimkan wakil
diplomatik. Dengan demikian, suaka bisa diberikan baik di wilayah territorial maupun wilayah
perwakilan diplomatik negara itu. Jika kita mengikuti pandangan ini, maka perwakilan
diplomatik dianggap secara penuh berada dibawah yurisdiksi negara yang memiliki perwakilan
itu. Dengan kata lain, pewakilan diplomatik memiliki kekebalan mutlak terhadap yurisdiksi
negara tempat ia secara de facto berada (B.Sen, 1979).9

Pendapat yang kedua menyatakan, bahwa kekebalan yang dimiliki oleh suatu perwakilan
diplomatik tidaklah bersifat mutlak. Kekebalan-kekebalan yang dimiliki oleh suatu perwakilan
diplomatik tidaklah bersifat mutlak.Kekebalan-kekebalan yang dimiliki oleh perwakilan
diplomatik bukan karena wilayah perwakilan merupakan bagian dari wilayah negara yang
mengirimkan perwakilan, melainkan karena oleh negara tempat perwakilan itu berada, semata-
mata supaya perwakilan itu bisa menjalankan tugasnya secara baik.

Hukum Internasional tidak mengenal hak secara umum dari Kepala Perwakilan asing
untuk memberikan suaka di dalam gedung perwakilannya, karena jelas bahwa tindakan semacam
itu dapat menghalangi perundang-undangan setempat dengan berbuat sekehendaknya dan akan
melibatkan suatu pelanggaran kedaulatan negara tempat perwakilan asing tersebut berada
(Suryokusumo, 1995: 152)10

Hukum Internasional dalam pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomat ada 3 teori yaitu

1. Exterritoriality theory adalah;Seorang pejabat diplomatik dianggap tidak berada


dinegara penerima melainkan berada dalam negara pengirim, meskipun kenyataan ia
berada di wilayah negara penerima.

2. Reresentative character theory Dalam hukum Internasional dikenal suatu istilah Par im
parem habet imperium adalah suatu negara berdaulat tidak dapat melaksanakan

9
Lucia Ch.O Tahamata, “Suaka Diplomatik dalam Kajian Hukum Internasional”, Jurnal Sasi
Vol.17 No 2 Bulan April-Juni 2011, hal.84
10
Ibid; hal.85.
yuridiksinya terhadap negara berdaulat lainnya Jika seorang agen diplomatik dianggap
wakil negara maka setiap sikap tindakannya adalah merupakan tindakan negara yang
diwakili

3. Functional necessity theory11

Pemberian kekebalan dan keistimewaan kepada wakil – wakil diplomatik atas fungsi dari
wakil wakil diplomatik agar supaya wakil diplomatik dapat menjalankan fungsi dengan
baik.

Starke (1972:358-357) berpendapat bahwa hukum internasional modern pada umumnya


tidak mengakui hak dari kepala perwakilan untuk memberikan suaka dalam gedung kedutaan.
Pemberian tersebut agaknya dilarang oleh hukum Internasioal sebab akibat dapat membedakan
pelarian dari pelaksanaaan hukum dan keadilan oleh Negara territorial. Tiadanya hak umum
untuk memberikan suaka diplomatik ditegaskan oleh Mahkamah Internasional dalam asylum
case yang memberlakukan apa yang hukum Internasional regional dari negara-negara Amerika
Latin mengenai suaka.

Dalam keadaan tertentu , suaka dapat diberikan di dalam gedung kedutaan (legation premise),
yakni :

1. Sebagai tindakan yang bersifat sementara bagi individu yang secara fisik berada dalam
bahaya amukan massa, atau pelarian itu berada dalam bahaya karena terjadinya
perubahan politik secara mendadak, maka agaknya yang menjadi alas an pembenar
adalah bahwa dengan pemberian suaka, ancaman yang sifatnya mendesak dapat diredam
untuk sementara.

2. Suaka diplomatik diperbolehkan terdapat kebiasaan setempat yang bersifat mengikat,


yang sudah lama diakui

11
Lucia Ch.O Tahamata, “Suaka Diplomatik dalam Kajian Hukum Internasional”, Jurnal Sasi
Vol.17 No 2 Bulan April-Juni 2011, hal.85.
3. Karena adanya suatu perjanjian khusus (yang biasanya memperkenankan hak
pemberian suaka bagi pelaku kejahatan politik antara negara teritoriall (negara penerima)
dan negara pengirim.12

Sementara itu B. Sen berpendapat, bahwa masalah pemberian suaka dalam gedung
perwakilan diplomatik timbul karena berbagi keadaan. Ada kemungkinan pada waktu
pemberontakan atau perang saudara atau kudeta, para pemimpin dari golongan yang kalah atau
anggota-anggota pemerintah yang telah dipecat, dapat mencari perlindungan dalam gedung
perwakilan dilomatik yang terletak di ibu kota. Juga bisa terjadi bahwa seseorang dapat mencari
atau meminta perlindungan setelah melakukan pembunuhan yang bersifat politik (political
assassination) atau bahkan kejahatan biasa (common crime) (B. Sen 1979 : 356)

Negara-negara di kawasan Amerika Latin dan Karabia telah mengakui dan menghormati
lembaga suaka dalam hubungan antar mereka sudah sejak abad ke-19, sebagaimana terefleksikan
dalam Perjanjian Montevideo tentang Hukum Pidana Internasional, 1889, yang memuat
ketentuan yang mengakui dan menghormati prinsip lembaga suaka (Pasal 15-18). Prinsip
lembaga suaka terus menerus dikukuhkan oleh negara-negara di kawasan tersebut dengan
inkorporasinya ke dalam, dan kemudian dibuatnya secara khusus perjanjian regional yang
mengatur masalah suaka, seperti Persetujuan Caracas tentang Esktradisi, 1911 (Pasal 18),
Konvensi Havana tentang Suaka (Diplomatik), 1928, Konvensi Montevido tentang Suaka Politik,
1933, Deklarasi Bogota tentang Hak dan Kewajiban Manusia, 1984 (Pasal 27) Konvensi Caracas
tentang Suaka Diplomatik, 1954, Konvensi Caracas tentang Suaka Teritorial, 1954, Konvensi San
Jose tentang Hak Asasi Manusia, 1969 (Pasal 22), dan Konvensi Antar-Amerika tentang
Ekstradisi, Caracas, 1981 (Pasal 6).

Di Afrika, negara-negara kawasan ini mengukuhkan prinsip lembaga suaka dalam


instrumen yuridis regional, yakni Konvensi Organisasi Persatuan Afrika (OPA) yang mengatur
Aspek Spesifik Masalah Pengungsi di Afrika.

Di Eropa, pentingnya penghormatan prinsip lembaga suaka beberapa kali ditandaskan


oleh negara-negara di kawasan tersebut, antara lain, dalam Resolusi 14 (1967) tentang Suaka bagi

12
Lucia Ch.O Tahamata, “Suaka Diplomatik dalam Kajian Hukum Internasional”, Jurnal Sasi
Vol.17 No 2 Bulan April-Juni 2011, hal.86.
orang-orang yang berada dalam bahaya persekusi, yang diterima oleh Komite Menteri-menteri
Dewan Eropa pada 1967 dan Deklarasi tentang Suaka Teritorial yang diterima oleh Komite
Menteri-menteri Dewan Eropa pada 1977.13

Di tingkat internasional, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Pasal 14), yang
diproklamasikan oleh Majelis Umum PBB pada 1948, merupakan instrumen internasional tertulis
utama sebagai sumber penerapan dan pembangunan lembaga suaka dalam hubungan antar
bangsa. Konvensi mengenai Status Pengungsi, 1951, walaupun merupakan instrumen yuridis
internasional yang mengatur masalah pengungsi, jadi bukan masalah suaka, dan bahkan sama
sekali tidak memuat istilah ”suaka” dalam batang tubuhnya, memuat prinsip lembaga suaka yang
justru paling fundamental, yakni prinsip tidak akan dikembalikannya seseorang ke negara tempat
ia mengalami persekusi atau menghadapi ancaman persekusi. Prinsip ini, yang terkenal dengan
sebutan prinsip ”non-refoulement” tercantum dalam Pasal 33 Konvensi 1951 tersebut. Selain
sebagai prinsip yang paling fundamental dalam lembaga suaka, prinsip “non-refoulement”
merupakan jantung sistem perlindungan internasional pengungsi menurut hukum pengungsi
internasional. Instrumen Internasional yang meskipun bukan merupakan instrumen yuridis, yang
menggariskan dan menendaskan prinsip-prinsip lembaga suaka adalah Deklarasi tentang Suaka
Teritorial, yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada 1967.

Selain dicantumkan atau diatur oleh berbagai instrumen internasional dan regional
tersebut di atas, baik yang bersifat yuridis maupun non yuridis, penganutan dan penghormatan
prinsip lembaga suaka juga refleksi dalam setiap perjanjian ekstradisi, baik bilateral maupun
regional, dengan senantiasa terdapatnya ketentuan dalam perjanjian tersebut yang menetapkan
tidak akan diekstradisikannya seseorang yang disangka atau dituduh melakukan tindak pidana
yang bukan tindak pidana biasa, yang sering disebut “tindak pidana politik”. Gambaran di atas
menunjukan telah diakui dan dihormatinya lembaga suaka oleh masyarakat bangsa-bangsa
sebagai aturan hukum kebiasaan internasional.14

13
Lucy Gerungan, “Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional”, Vol. XVIII/No.1/Januari-
April/2010, Hal 5.
14
Lucy Gerungan, “Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional”, Vol. XVIII/No.1/Januari-
April/2010, Hal 6.
Di Indonesia, lembaga suaka diakui untuk pertama kali pada 1956 dengan dikeluarkannya
Surat Edaran Perdana Menteri No. 11/P.M./1956 tentang ”Perlakuan Pelarian Politik” pada 2
September 1956. Pada 1998, atau 42 tahun kemudian, pengakuan lenbaga suaka dumantapkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Ketetapan no. XVII/MPR/1998 13 Nopember 1998
tentang Hak Asasi Manusia, yang mengakui hak seseorang guna ”mencari suaka untuk
memperoleh perlindungan politik dari negara lain”, sebagaimana tercantum dalam Pasal 24
Piagam Hak Asasi Manusia yang dilampirkan pada ketetapan tersebut. Setahun kemudian,
prinsip lembaga suaka yang digariskan oleh MPR tersebut dikukuhkan sebagai ketentuan yuridis
dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 28). Dengan
demikian, di tingkat nasional pun lembaga suaka telah memperoleh tumpuan yang kukuh, karena
telah diinkorporasikan dalam undang-undang. Pengakuan, penghormatan, dan perkembangan
lembaga suaka di tingkat internasional yang telah merupakan lembaga hukum kebiasaan
internasional serta pengakuan lembaga tersebut dalam peraturan perundang-undangan Indonesia
sendiri menunjukan makin meningkatnya kesadaran masyarakat bangsa-bangsa, termasuk
masyarakat Indonesia, akan pentingnya penghormatan prinsip lembaga suaka yang telah diterima
secara universal itu.

Sejak abad ke 15 praktek pemberian suaka di dalam gedung perwakilan dilomatik bagi
para pelarian politik serta buronan sudah lazim dilakukan, dan diakui bahwa sekali suaka
tersebut diberikan, maka pejabat setempat tidak dapat menjalankan yuridiksi terhadap orang-
orang yang meminta suaka dan dengan demikian tidak dapat menjatuhkan hukuman terhadap
mereka. Dasar pelaksanaan hak suaka diplomatik adalah bahwa gedung perwakilan menikmati
exterritoliality dan merupakan bagian dari wilayah negara asal wakil diplomatik itu. Terdapat
banyak contoh, bahwa suaka diplomatik sering diberikan oleh negara dimana gedung
perwakilannya dijadikan tempat meminta suaka. Praktek demikian ini berlngsung sampai abad
ke 19. Namun dalam waktu akhir-akhir ini, praktek negara- negara tidak lagi meneruskan hak
suaka dan banyak negara termasuk Amerika Serikat secara tegas menolak hak suaka dalam
hukum Internasional.

Pandangan modern mengenai inviolabilitet dari gedung perwakilan diplomatik cenderung


menunjukan, bahwa, gedung tersebut dianggap sebagai bagian dari wilayah negara tempat
gedung tersebut terletak dan bahwa gedung tadi tidak diganggu gugat semata-mata untuk
tujuantujuan yang diperlukan bagi berlangsungnya gedung perwakilan itu secara efektif. Teori
Exterritoriality dari gedung perwakilan diplomatik sudah tidak mendapat dukungan. Hak suaka
diplomatik tidak mempunyai dasar dalam hukum Internasional dan olehkarenanya tidak dapat
diakui . Namun demikian dapat dikemukakan juga, bahwa praktek pemberian suaka masih diakui
dibeberapa negara Amerika Latin, khusus negara peserta Konvensi Havana 1928 dan Konvensi
Montevideo 1933 mengenai suaka Politik. Walaupun Amerika Serikat adalah adalah peserta
Konvensi Havana, tetapi secara tegas tidak mengakui apa yang dinamakan hak suaka sebagai
bagian hokum Internasional dan tidak menerima ketentuan – ketentuan Konvensi tersebut yang
berkaitan dengan pemberian suaka.15

Contoh pemberian suaka misalnya, Konvensi caracas 1954 yang memberikan hak kepada
para pihak untuk memberikan suaka di wilayah Negara-negara pihak lainnya. Dalam tahun 1973,
misalnya, tatkala menjadi coup d’etet di Chile, lebih dari 1000 orang yang ada keterlibatan
dengan penggulingan pemerintahan Allende telah masuk di berbagai Kedaulatan Besar Asing
untuk meminta tempat perlindungan, 300 di antaranya berada di Kedaulatan Besar Mexico, 250
orang di Kedaulatan Besar Panama dan 100 orang berada di Kedaulatan Besar Venezuela. Dalam
bulan-bulan berikutnya kebanyakan dari mereka itu termasuk pejabat pemerintah sebelumnya
telah diizinkan untuk meninggalkan Chile dengan sepengetahuan rejim baru. Walaupun selama
ini Konvensi Caraces yang merupakan satu-satunya perjanjian yang mengakui pemberian suaka,
namun dalam praktiknya banyak Negara yang melakukannya atas dasar hukum kebiasaan.
Dalam tahun 1945, Kedaulatan Besar Inggris di Bucharest, Romania juga pernah memberikan
suaka kepada Jenderal Rodusce, kepala pemerintahan Romania. Demikian juga tahun 1956,
Kedaulatan Besar Yugoslavia di Budappest telah memberikan suaka kepada bekas Perdana
Menteri Imre Nagy, walaupun ia kemudian telah meninggalkan Kedaulatan Besar Yugoslavia
dengan jaminan dari Pemerintah Hongaria atas pemerintahan Kuasa Usaha Yugoslavia yang
akhirnya telah ditangkap, diadili dan dihukum.

Beberapa tahun yang lalu lima orang pemuda timor-timur masuk ke kantor kedutaan besar asing
di Jakata untuk meminta suaka. Mereka mengaku sebagai clendestein (suatu gerakaan bawah
tanah) anti integrasi timor-timur kedalam wilayah Republik Indonesia (RI) yang merasa

15
Lucia Ch.O Tahamata, “Suaka Diplomatik dalam Kajian Hukum Internasional”, Jurnal Sasi
Vol.17 No 2 Bulan April-Juni 2011, hal.86
terancam keselamatannya. Sementara itu pemerintah RI menyatakan bahwa kelima pemuda
timor-timur tersebut bukan clendestein, melainkan anggota Gerakan Pengacau Keamanan
(GPK), sehingga mereka dianggap bukan sebagai political refugee (pelarian politik), tetapi
sebagai pelaku tindak pidana biasa yang tidak diberikan suaka.

Meskipun pencarian dan pemberian suaka umum sudah dipraktekkan oleh negara-negara
dalam jangka waktu yang lama, isu ini tetap mengalami inamika, baik dalam praktek maupun
dalam Internasional.16

Berdasarkan praktek diatas maka tampak bahwa hak suaka dalam gedung perwakilan
dilomatik tidak ada dalam Hukum Internasional, tetapi dalam waktu yang bersamaan kepala
perwakilan Diplomatik tidak berkewajiban mencegah seorang pelarian memasuki dan berlindung
di dalam gedung perwakilan. Tempat perlindungan sementara dapat diberikan kepada pelarian-
pelarian (refuges) jika mereka berada dalam bahaya atau untuk menyelamatkan mereka dari
amukan massa atau permusuhan. Seorang yang telah mendapat perlindungan harus diserahkan
kepada para pejabat setempat jika ia meminta berdasarkan tujuan kejahatan atau adanya surat
perintah penangkapan yang telah dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.17

Menurut UNHCR, seorang pencari suaka adalah seseorang yang menyebut dirinya
sebagai pengungsi, namun permintaan mereka akan perlindungan belum selesai
dipertimbangkan.Seorang pencari suaka yang meminta pelindungan (RSD), yang dimulai sejak
tahap pendaftaran atau registrasi pencari suaka.18 UNHCR telah berdiri di Indonesia sejaak tahun
1979 , Pada awal berdirinya, aktivitas UNHCR berfokus pada penanganan kedatangan kapal
pengungsi Vietnam dalam jumlah besar, seperti yang termaktub dalam comprehensive plan of
action (CPA), sebuah rencana aksi yang dicetuskan pada 14 juni1989 oleeh Negara-negara
anggota yang mengikuti konferensi internsional tentang pengungsi indo-china.

16
Lucia Ch.O Tahamata, “Suaka Diplomatik dalam Kajian Hukum Internasional”, Jurnal Sasi
Vol.17 No 2 Bulan April-Juni 2011, hal.84
17
Ibid; hal.87
18
Iin Karita Sakharina dan Kadarudin, Hukum Pengungsi Intenasional(Perbedaan Istilah
Pencari Suaka, Pengungsi Internasional, dan Pengungsi dalam Negeri),(Yogyakarta:CV Budi
Utama, 2017), hal. 24.
Tugas UNHCR adalah melakukan penentuan satus pengungsi atau refugee status
determination (RSD) dan juga memberikan solusi permanen untuk para pencari suaka yang telah
mendapat status pengungsi yang terdri dari:

1.Pemulangan sukarela (rrepatriation)

2.Penempatan di negara ketiga (resettlement)

3.Integral local

Saat ini UNHCR di Indonesia berkantor pusat di Jakarta dan memiliki perwakilan di
medan, tanjung pinang, makassaar, kupang dan Pontianak. Pengungsi dan pencari suaka di
perkotaan sering kali ditempatkan di daerah mereka tidak dapat mengakses infastruktur yang
dibuat oleh komisi tinggi PBB untuk pengungsi (UNHCR) untuk mengatasi krisis besar, namun
tetap memiliki masalah perlindungan yang memaksa mereka meninggalkan negara mereka untuk
menghindari penganiayaan. 19

Pencari suaka, yang transit atau tinggal sementara di Indonesia datang dari seluruh
penjuru dunia. Sejak tahun 2008, tindakan penganiayaan dan kekerasan yang terus menerus di
Negara asal mereka, serta keterbatasan ketersediaan negara-negara lain dalam menawarkan
solusi permanen, telah menigkatkan jumlah pencari suaka dan pengungsi yang signifikan di
Indonesia. Di perkirakan tahun 2008 hanya ada 400 pencari suaka dan pengungsi di Indonesia,
namun pada Mei 2015, UNHCR melaporkan ada lebih 13.000 pencari suaka dan pengungsi yang
terdaftar di Indonesia.

Dalam hukum internasional dikenal adanya perbedaan istilah pesuaka dan juga pengungsi.
Walaupun banyak yang menyamakan antara pesuaka dengan pengungsi karena sama- sama
dalam konteks mencari perlindungan. Pesuaka adalah orang yang mencari suaka atau
perlindungan, biasanya orang tersebut meminta perlindungan kepada pemerintah negara lain atau
keluar wilayah negaranya karena berbagai sebab yang terjadi pada dirinya, dan mengakibatkan
mereka merasa tidak aman dan terancam jiwanya. Begitu pula dengan pengungsi, dimana
diartikan sebagai orang yang keluar dari wilayah negaranya atau asalnya dan pergi mencari

19
Rosnawati, “Perlindungan Terhadap Pengungsi/Pencari Suaka di Indonesia (Sebagai Negara
Transit) Menurut Konvensi 1951 dan Protokol 1967”, Kanun jurnal ilmu hukum No.67,Tahun
XVII (Desember,2015), Hal. 458.
perlindungan ke wilayah negara lain, demi untuk menyelamatkan jiwa dan raganya karena
sedang terancam din negaranya, biasanya karena terjadi perang atau konflik yang
berkepanjangan sehingga memutuskan untuk pergi mencari perlindungan ke wilayah negara lain
dengan cara mengungsi.

B. Keterwakilan Negara Dalam Organisasi Internasional

Negara yang sudah diakui kedaulatannya mempunyai personalitas hukum sehingga dapat
melaksanakan kegiatan-kegiatan internasionalnya, negara-negara ini diberi beberapa hak
sebagai suatu anggota aktif masyarakat internasional yang salah satu hak nya adalah ‘Hak
Legasi’ yang mencakup dua aspek yaitu hak legasi aktif yang merupakan hak bagi suatu
negara untuk mengirim wakil-wakilnya ke negara lain dan hak legasi pasif yaitu hak bagi
negara untuk menerima utusan-utusan dari negara asing.

Dalam buku Hukum Internasional, Sri Setianingsih menyebutkan bahwa Pada Abad 16
dan 17 dalam pergaulan masyarakat, negara sudah dikenal semacam misi-misi konsuler dan
diplomatik dalam arti yang sangat umum seperti yang sekarang dikenal. Praktik dan
kebiasaan itu kemudian oleh para pakar hukum, seperti Gentilis, Grotius sampai kepada
Bynkershoek dan Vattel telah dirumuskan dalam sejumlah peraturan yang lambat laun
menjadi norma-norma dalam hukum diplomatik dan konsuler. Bahkan beberapa peraturan di
antaranya sudah mulai diundangkan sebagai hukum nasional seperti yang terjadi di Inggris di
mana telah ditetapkan undang-undang tentang kekebalan dan keistimewaan melalui Queen
Ann tahun 1708.20Telah terdapat sumber-sumber hukum Internasional sesudahnya yang
berhasil diterima dan disepakati, dokumen tersebut merupakan sumber hukum internasional
dalam Hukum Diplomatik yang tidak hanya diratifikasi dan diakui oleh Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan negara-negara berdaulat dan beradab lainnya.

Pada tanggal 2 Maret sampai 14 April 1961 diadakan Konferensi PBB di Wina dan
berhasil mengesahkan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik yang terdiri dari
53 pasal, yang memuat aturan-aturan penting sebagai sumber hukum dalam penyelenggaraan

20
Sri Setianingssih, Wahyuningsih. Hukum Internasional, Tangerang Selatan: Universitas
Terbuka, 2014
hubungan diplomatik permanen antar negara. Selain Konvensi ini, pada saat yang sama
diadopsi dua Protokol Pilihan (Optional Protocol), pertama Protokol Pilihan mengenai
Perolehan Kewarganegaraan (Optional Protocol concerning Acquisition of Nationality) dan
kedua, Protokol Pilihan mengenai Keharusan untuk Menyelesaikan Sengketa (Optional
Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes). Konvensi Wina 1961 dan
kedua protokolnya dinyatakan sudah berlaku sejak tanggal 24 April 1964. Dengan berlakunya
Konvensi Wina 1961, maka Konvensi ini akan menjadi sumber hukum untuk pengiriman,
penerimaan misi diplomatik; prinsip-prinsip yang berlaku seperti prinsip `mutual consent’,
prinsip `normal and reasonable’ dalam pembentukan perwakilan diplomatik; kekebalan dan
keistimewaan misi diplomatik; kekebalan dan keistimewaan yang dijamin Konvensi kepada
para diplomat dan staf lainnya, serta kepada anggota keluarga para diplomat dan staf
pelayanan yang bekerja pada mereka; apa kewajiban pada diplomat saat menjalankan tugas
di negara penerima, bagaimana pengaturan tentang konsep `inviolability (tidak diganggu-
gugatnya perwakilan asing), kapan ketentuan tentang persona grata dan persona non grata
dapat diberlakukan serta apa saja fungsi misi diplomatik.21

Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler terdiri dari 73 pasal yang memuat
acuan tentang cara pembukaan hubungan konsuler termasuk tugas konsul; ketentuan
pemberian kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada perwakilan konsuler;
ketentuan-ketentuan tentang konsul kehormatan dan hak kekebalan dan keistimewaannya;
ketentuan-ketentuan umum tentang pelaksanaan tugas-tugas konsuler oleh perwakilan
diplomatik dan ketentuan penutup.

Konvensi ini juga disebut Konvensi New York 1963 mengenai Misi Khusus. Sesuai
dengan mukadimahnya, Konvensi mengenai Misi Khusus merupakan pelengkap Konvensi
Wina 1961 dan 1963 dan dimaksudkan untuk memberi sumbangan bagi pengembangan
hubungan baik semua negara, apapun sistem perundang-undangan maupun sistem sosialnya.
Konvensi New York 1969 dan Protokol Pilihannya mengenai Kewajiban untuk
Menyelesaikan Sengketa sudah berlaku sejak 21 Juni 1985.

21
Syahmin AK, Penerapan Prinsip Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik (Analisis
Terhadap Kasus Penangkapan dan Penahanan Diplomat Asing di Indonesia), Hukum dan
Pembangunan, April 1997.
Berkaitan dengan tugas Perwakilan Diplomatik sebagai perwakilan negara berdaulat
maka mengutip Sri Setianingsih dalam bukunya tugas perwakilan diplomatik adalah menjadi
bentuk konkrit personifikasi dari Negara, rakyat, bangsa dan kepala negaranya. Fungsi para
diplomat adalah untuk mewakili negaranya dan sebagai saluran komunikasi resmi antara
negara-negara pengirim dengan negara-negara penerima. Tugas suatu perwakilan diplomatik
menurut Konvensi Wina 1961 mencakup:

1. Mewakili negaranya di negara penerima.

Dalam kaitannya pada tugas pertama ini bertolak dari Konvensi Wina 1961 yang
mengatur bahwa perwakilan diplomatik berfungsi mewakili negara pengirim di negara
penerima dan bertindak sebagai saluran untuk melakukan hubungan resmi antara kedua
negara. Para wakil negara tersebut adalah wakil resmi dari pemerintahnya. Dengan surat
kepercayaan (credential) yang telah diserahkan kepada kepala negara dari negara
penerima pada saat kedatangannya di negara penerima, menunjukkan secara jelas
posisinya atas nama kepala negaranya (negara pengirim) kepada kepala negara dari
negara penerima.

Secara fundamental Dr. Umar Suryadi Bakry dalam bukunya Dasar-Dasar Hubungan
Internasional menyebutkan hakikat diplomasi adalah kegiatan berkomunikasi di antara
para diplomat profesional yang mewakili negaranya masing-masing, di mana pada
umumnya kegiatan itu dilakukan untuk memperjuangkan kepen-tingan nasional
negaranya masing-masing. Diplomasi dapat pula mem-bahas isu-isu penciptaan
perdamaian (peace-making), perdagangan, perang, ekonomi, budaya, lingkungan, dan
HAM. Perjanjian-perjanjian internasional biasanya juga dinegosiasikan oleh para
diplomat sebelum disahkan dalam forum lebih tinggi (misalnya KTT atau pertemuan
tingkat menteri). Dalam arti informal dan sosial, diplomasi adalah pekerjaan yang penuh
kebijaksanaan untuk mendapatkan keuntungan strategis atau menemukan solusi yang
dapat diterima secara timbal balik atas suatu tantangan bersama, dengan menggunakan
seperangkat ungkapan pernyataan yang sopan dan tidak konfrontatif.22

22
Dr. Umar Suryadi Bakry, Dasar-Dasar Hubungan Internasional, Penerbit Kencana,
Jakarta,2017.
Perlindungan kepentingan negara pengirim di negara penerima dan kepentingan warga
negaranya, dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum internasional.

Tugas untuk perlindungan kepentingan-kepentingan negara pengirim, baik kepentingan


politik, kepentingan yang terkait perdagangan, di negara penerima, dipercayakan kepada
misi diplomatik. Kepentingan suatu negara dalam hubungan dengan negara-negara lain
sangat bervariasi, dapat mengenai masalah teritorial, penerbangan, bea masuk,
pertahanan, investasi dan fasilitas-fasilitas untuk warga negaranya. Untuk itu, wakil
diplomatik harus melakukan langkah-langkah yang mungkin untuk melihat adanya
manfaat-manfaat di negara penerima yang dapat diperoleh oleh negaranya. Selain itu juga
bagaimana negaranya dapat memperoleh kepercayaan dari negara penerima, atau produk-
produk dari negaranya diperbolehkan masuk ke negara penerima, atau warga negaranya
mendapat izin bertempat tinggal,menjalankan perdagangan, menanam uangnya di negara
penerima.

Secara fundamental Dr. Umar Suryadi Bakry dalam bukunya Dasar-Dasar Hubungan
Internasional menyebutkan dalam kegiatan rutin hukum internasional dalam saling
ketergantungan ekonomi, sosial, dan teknis, serta berbagai institusi internasional
fungsional yang mengatur itu semua. Semua itu mensyaratkan adanya kesadaran sosial
internasional, sebiah sentimen komunitas di seluruh dunia, persepektif dari Martin Wight
dalam hal ini menekankan pentingnya peranan hukum internasional dalam ‘masyarakat
internasional’ tak ubahnya seperti masyarakat lain yang memiliki sistem aturan yang
menetapkan hak dan kewajiban bagi anggota-anggotanya, sehingga pengaturan hukum
internasional dalam hubungan antar negara tidak lepas dari pengaturan atas aktifitas yang
dimaksud untuk perlindungan kepentingan negara pengirim di negara penerima dan
kepentingan warga negaranya, dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum
internasional.

2. Melakukan negosiasi dengan pemerintah negara penerima.

Mr. Lansing Sekretaris Negara dari Pemerintah Amerika Serikat menyatakan bahwa
kepentingan antar negara dewasa ini melalui perwakilan diplomatik lebih banyak
berkaitan dengan perdagangan, finansial, dan masalah industrial. B. Sen menyatakan
bahwa fungsi misi diplomatik adalah untuk mewakili negara pengirim, melindungi
kepentingan-kepentingan negaranya dan warga negaranya, melakukan negosiasi dengan
pemerintah negara penerima, melaporkan semua masalah yang penting kepada negaranya
dan meningkatkan hubungan bersahabat di antara kedua negara. Misi diplomatik juga
harus berusaha mengembangkan kerja sama yang bermanfaat bagi negaranya (negara
pengirim) di bidang perdagangan, keuangan, ekonomi, perburuhan, penelitian ilmiah dan
pertahanan, sesuai perintah yang diterima dari negaranya (negara pengirim). Dalam
melaksanakan semua fungsi diplomatik tersebut, Kepala Perwakilan diplomatik akan
dibantu oleh anggota staf diplomatik dan para atase, misalnya atase perdagangan,
perburuhan, pertahanan.

Dalam melaksanakan fungsi negosiasi, misalnya saat pemerintah negaranya berkehendak


untuk membuat perjanjian dengan pemerintah negara penerima, apakah perjanjian
persahabatan, perdagangan, mutual assistance, ekstradisi, sering kali diawali dengan
negosiasi-negosiasi, yaitu mengadakan preliminary sounding dan exploratory talks, yang
dilakukan oleh para diplomat.

Sementara negosiasi yang nyata mengenai materi perjanjiannya akan dipercayakan


kepada suatu misi khusus, terutama apabila menyangkut masalah-masalah bersifat teknis,
misalnya perjanjian di bidang standarisasi makanan dan minuman, maka tim kerjanya
adalah dari departemen teknis. Dalam kasus di mana pemerintah suatu negara tidak
menghormati kekebalan dan keistimewaan warga negaranya di negara penerima, juga
jika warga negaranya di negara penerima diperlakukan semena-mena, semua adalah tugas
perwakilan diplomatik untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah negara penerima.

Dr. Umar Suryadi Bakry dalam bukunya Dasar-Dasar Hubungan Internasional


menyebutkan negosiasi berkaitan dengan komunikasi dengan pihak lain. Dalam konteks
hubungan internasional, Oxford Dictionary memberi arti diplomasi sebagai manajemen
hubungan internasional dengan cara negosiasi. Diplomasi dapat pula diartikan sebagai
profesi, aktivitas, atau keterampilan mengelola hubungan inter-nasional, biasanya melalui
perwakilan suatu negara di luar negeri. 23

Ernest Satow mendefinisikan diplomasi sebagai penerapan dari kecerdas-an dan


kebijaksanaan untuk melaksanakan hubungan-hubungan resmi antarpemerintah dari
negara-negara berdaulat.

a. Memperoleh semua kepastian dengan cara yang sah tentang keadaan dan
perkembangan di negara penerima dan melaporkannya kepada negara pengirim.

Pelaksanaan tugas ini berkaitan dengan tugas perlindungan terhadap warga negaranya
masing-masing secara meluas, pada umumnya menyangkut masalah imigrasi,
perdagangan, tempat tinggal, pariwisata, perlindungan terhadap warga negaranya yang
menderita kekerasan atas badan, jiwa dan hartanya di negara penerima. Dalam upaya
memberi perlindungan terhadap warga negaranya dan menjamin warga negaranya
dapat masuk di negara lain diperlukan langkah-langkah untuk menjamin kepastian
dengan cara yang sah, kadang kala negara-negara membuat suatu perjanjian
persahabatan atau perjanjian lain yang dapat menjamin hak warga negaranya untuk
masuk di negara penerima. Sebagai contoh, banyak warga Negara Indonesia yang
bekerja sebagai TKI di Malaysia, maka jika para TKI tersebut menghadapi masalah
maka adalah tugas perwakilan diplomatik RI di Malaysia untuk memberikan bantuan.
Contoh lain, warga negara warga negara dari negara-negara yang tergabung dalam
Persemakmuran Inggris, sampai sekarang, diperbolehkan masuk dan bertempat tinggal
di Inggris untuk waktu yang tidak dibatasi. Selain itu, perwakilan diplomatik juga
dapat menjalankan fungsi-fungsi konsuler, misalnya dalam pembuatan akta-akta
notaris. Tugas notariatan ini mencakup pencatatan kelahiran, kematian dan perkawinan,
menyelenggarakan pencatatan kewarganegaraan, otentikasi surat-surat penting,
legalisasi dokumen-dokumen penting yang akan dipergunakan untuk urusan litigasi di
negara lain harus disahkan oleh kantor perwakilan negaranya, mengeluarkan paspor
dan visa.

23
Dr. Umar Suryadi Bakry, Dasar-Dasar Hubungan Internasional, Penerbit Kencana,
Jakarta,2017
Berkaitan dengan pelaporan perkembangan negara penerima untuk dilaporkan kepada
pemerintahnya, tugas ini harus dilakukan dengan cara yang tidak melanggar hukum
dan sah yang bila dilanggar dan dilakukan dengan cara bertentangan dengan hukum
maka bisa dikenakan deklarasi persona non grata.

Persona Non Grata berkaitan dengan diterima atau tidaknya perwakilan dari negara
pengirim oleh negara penerima. Negara penerima mempunyai hak untuk menolak
menerima seorang wakil diplomatik dari negara pengirim dan menyatakan persona
non grata, bahkan setelah kedatangannya di Negara penerima. Di lain pihak, seperti
diatur dalam Pasal 4 (1) Konvensi Wina 1961, bahwa negara pengirim harus
memperoleh kepastian bahwa calon duta besar yang diusulkan negara pengirim harus
telah memperoleh agrement atau agreation dari negara penerima. Jika calon duta besar
dari negara pengirim tersebut telah memperoleh agrbnent dari negara penerima, hal itu
dinyatakan sebagai persona grata.

Lebih lanjut Syahmin AK menyebutkan bahwa prakteknya setiap diplomat harus


mengikuti situasi dan kondisi dalam negeri negara penerima, dengan memperhatikan
berbagai berita, dan meneliti kebenaran berita itu melalui pembicaraan dengan para
pejabat pemerintah. Laporan hasil penemuannya itu dikirimkan kepada pemerintah
negara pengirim melalui fasilitas yang diizinkan oleh negara penerima. Lazimnya
melalui diplomatic bag atau kantong diplomatik. Boleh juga menggunakan jasa kurir
diplomatik dan pemberitaan dalam sandi (kode). Hanya pemasangan dari penggunaan
alat komunikasi radio atau wireless transmitter saja memerlukan izin khusus dari
negara penerima. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan cara yang sah di sini dalam
rangka melaporkan hasil pengamatan dan pembicaraan dengan para pejabat mengenai
situasi dan kondisi yang penting melalui fasilitas yang diizinkan oleh negara
penerima.24

b. Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim  dan negara penerima


serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan.

24
Syahmin AK, Penerapan Prinsip Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik (Analisis
Terhadap Kasus Penangkapan dan Penahanan Diplomat Asing di Indonesia), Hukum dan
Pembangunan, April 1997
Pada tingkat universal, kerja sama antarnegara di bidang politik, sosial, ekonomi,
kebudayaan, keamanan serta bidang-bidang lainnya sangat diperlukan dalam rangka
meningkatkan kemajuan bagi masing-masing Negara. Hubungan kerja sama antar
negara tersebut juga dilakukan seiring dengan prinsip-prinsip dan tujuan dari Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa baik mengenai persamaan kedaulatan negara-negara,
pemeliharaan perdamaian dan keamanan nasional (Pasal 1 dan 2 Piagam PBB).
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Pasal 1 ayat (3) menyatakan antara lain bahwa
motivasi untuk melakukan hubungan antar negara dapat dilakukan dengan membina
kerja sama antarnegara, yang meliputi berbagai aspek seperti politik, ekonomi, sosial,
budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan keamanan.

Tugas untuk meningkatkan hubungan persahabatan ini merupakkan hal prinsipal


dalam melaksanakan tugas-tugas yang telah disebutkan diatas dan menjadi prinsip-
prinsip dasar yang perlu di sublimasi dalam motivasi negara-negara yang melakukan
hubungan berkaitan dengan hak legasi berkaitan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu
pengetahuan, teknologi, dan keamanan, motivasi itu juga harus sesuai dengan tujuan-
tujuan dan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB, untuk membina kerja sama
internasional dalam memecahkan masalah-masalah internasional di bidang ekonomi,
sosial, kebudayaan, atau yang bersifat kemanusiaan dan dalam usaha-usaha
memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan
kebebasan yang mendasar bagi umat manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin,
bahasa, atau agama.

Lebih lanjut Syahmin AK menyebutkan berkaitan dengan fungsi ke-5 ini, yaitu
sebagai hal yang penting juga diperhatikan terutama dipandang dari segi politik
internasional, karena menyangkut cita-cita pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional. Dalam hubungan ini, kegiatan Spionase, Pencurian dokumen negara,
dan mencampuri urusan dalam negeri Negara lain adalah melanggar hukum
internasional. Di samping itu, jelas merupakan tindak pidana dalam suasana hukum
nasional. Kembali kepada pengertian kekebalan diplomatik, masih terdapat satu
pengertian klasik dalam teori hukum international Publik yang berasal dari satu
putusan pengadilan Inggeris, yaitu perkara Dickinson vs Del Solar 1931. Dalam
perkara ini Robert Edmud Dickinson, yang bertindak sebagai penggugat untuk
meminta ganti kerugian kepada tergugat Emilio Del Solar Sekretaris I Kedutaan Besar
Peru untuk London, sehubungan dengan luka yang dideritanya disebabkan oleh
kelalaian mengendarai mobil yang harus dipertanggung-jawabkan Del Solar.
Alasannya ialah Del Solar dianggap tunduk pada yurisdiksi pengadilan Inggris, karena
ada nota resmi dari Duta Besar Peru di London. bahwa dalam kasus ini Del Solar
melepaskan (waiver) kekebalan dari keistimewaan diplomatiknya. Meskipun perkara
ini bersifat perdata, namun terdapat satu pernyataan dalam keputusan pengadilan
London yang dalam penafsirannya tentang kekebalan diplomatik, ternyata
berpengaruh pada doktrin internasional. Pernyataan pengadilan itu berbunyi:
“kelonggaran diplamatik tidak memberikan kekebalan terhadap tanggungjawab hukum,
melainkan hanya memberikan pembebasan dari yurisdiksi pengadilan setempat’ .
Dalam hubungan ini, diketahui ada salah seorang pakar hukum internasional Inggris
yang mendukung pernyataan pengadilan Inggeris di atas, yaitu Max Sorenson, dengan
mengatakan: „... diplomats are not above the law in force in the receiving State ” (”
para diplomat tidaklah berdiri di atas hukum yang berlaku di negara penerima .... “).

Dengan demikian berdasarkan pendapat yang berdasarkan sumber hukum


Internasional diatas kami simpulkan bahwa diplomat tetap memiliki kewajiban untuk
menghormati hukum setempat (negara penerima), terlepas dari adanya kekebalan dan
keistimewaan dari tugas perwakilan diplomat yang tidak dimiliki perwakilan lainnya.
Dengan strategisnya tugas dari perwakilan diplomatik sebagaimana disebutkan diatas
yang bahkan dapat melaksanakan tugas dari perwakilan lainnya dalam kondisi tertentu,
maka terdapat keistimewaan dari tugas Perwakilan Diplomatik yang tidak dimiliki
perwakilan lainnya, adapun mengutip pernyataan dalam usaha memahami dan
menelaah tentang status diplomatik sebagaimana dikemukakan oleh Syahmin AK,
yang berbunyi sebagai berikut :

Menelaah tentang status diplomatik, pertama-tama yang segera muncul adalah


persoalan kekebalan diplomatik. Akan tetapi, hendaknya jangan dulu pengertian ini
dianggap sebagai privileges yang bersifat absolut dalam arti melekat mutlak pada
pribadi sang diplomat, hanya karena ia mempunyai status diplomatik yang diakui oleh
pemerintah Indonesia. Yang tepat adalah kekebalan diplomatik itu mempunyai sifat
fungsional. Artinya, setiap diplomat menikmati kekebalan demi kelancaran
pelaksanaan fungsi perwakilan diplomatik negaranya secara efisien di negara penerima.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa maksud dan tujuan pemberian -kekebalan
dan keistimewaan diplomatik itu bukan untuk keuntungan pribadi, melainkan untuk
menjamin pelaksanaan fungsi perwakilan diplomatik secara efisien.

Jumlah orang Indonesia yang bekerja di organisasi internasional masih kurang.


Padahal Indonesia mempunyai banyak tenaga ahli yang bisa mewakili kepentingan
Indonesia di lembaga internasional. Duta Besar RI untuk Wina yang juga menjabat
sebagai Ketua Dewan Guberbur International Atomic Energy Agency (IAEA)
Darmansjah Djumala mengatakan terdapat sekitar 240 organisasi internasional yang
ada di dunia, misalnya saja PBB, UNESCO, UNICEF, IAEA, dan sebagainya.

Beberapa organisasi itu jumlah pegawainya ada yang mencapai 46.700 orang. Dari
jumlah itu hanya 94 orang yang berasal dari Indonesia atau hanya 0,2 persen. "Selama
ini Indonesia mengalami situasi yang disebut underpresented atau terlalu sedikitnya
perwakilan yang bekerja untuk organisasi-organisasi Internasional," katanya saat
menjadi pembicara dalam Workshop on Working at IAEA and Other UN Organization
yang diadakan di ITB belum lama ini seperti yang dilansir dalam situs resmi ITB,
Sabtu 10 Oktober 2018. Situasi itu, kata Darmansjah, patut disayangkan.

Sebab Indonesia mempunya sumber daya manusia yang besar, termasuk banyak
tenaga ahli. Ia menjelaskan, bekerja di organisasi internasional mempunyai arti
penting bagi politik luar negeri Indonesia. Adanya orang Indonesia di beragai
organisasi internasional itu akan merepresentasikan kepentingan Indonesia di dunia
internasional. "Kepentingan-kepentingan Indonesia akan lebih terwakili dan dapat
diakomodasi oleh dunia internasional apabila suara-suara tersebut gencar
diperdengarkan," katanya. Selain itu, citra Indonesia di mata dunia juga turut terangkat.
Menurut Darmasjah, partisipasi Indonesia akan membuat negara lain menaruh hormat.
Indonesia juga akan mendapat informasi yang jelas terkait kebijakan organisasi
internasional ini.25

Menurut Darmansjah, rendahnya keterwakilan Indonesia ini akibat ketidaktahuan


masyarakat, terutama kalangan akademisi dan tenaga professional. Hadir pada
lokakarya itu, perwakilan Divisi Sumber Daya Manusia IAEA, organisasi
internasional yang fokus pada membuka peluang penggunaan nuklir sebagai sumber
energi ataupun untuk kepentingan militer secara damai di seluruh dunia. Ia
mengatakan, IAEA tak hanya menerima tenaga profesional yang memiliki gelar S1
dan S2. IAEA juga membuka kesempatan bagi mahasiswa S1 lewat program magang.
Organisasi internasional ini tak hanya memberi kesempatan bagi satu ilmu saja,
kesempatan juga terbuka bagi mereka dari bidang ekonomi, keuangan, hubungan
masyarakat, dan teknologi informasi.

C. Organisasi Internasional

Organisasi internasional memiliki peran sebagai wadah untuk menggalang kerjasama dan
mencegah intensitas konflik untuk sesama anggota. Selain itu, organisasi internasional juga
merupakan sarana untuk perundingan dan menghasilkan keputusan yang disepakati bersama dan
saling menguntungkan pihak yang terlibat. Organisasi internasional juga berperan sebagai
lembaga yang mandiri dalam melaksanakan kegiatan seperti kegiatan sosial, kemanusaian dan
bantuan Dalam organisasi internasional negara memiliki peran dalam masalah politik, ekonomi
dan sosial. Dalam isu sosial, organisasi internasional berperan untuk mengamankan dan
memelihara kondisi kerja yang adil dan manusiawi bagi laki-laki, perempuan dan anak-anak di
wilayah anggota organisasi. Selain itu organisasi internasional berperan untuk mempromosikan
dan membantu organisasi Palang Merah yang bertujuan untuk peningkatan kesehatan,
pencegahan penyair dan pengurangan penderitaan di seluruh dunia.

1. Definisi Organisasi Internasional

25
Syahmin AK, Penerapan Prinsip Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik (Analisis
Terhadap Kasus Penangkapan dan Penahanan Diplomat Asing di Indonesia), Hukum dan
Pembangunan, April 1997
Organisasi internasional merupakan organisasi yang dibentuk dan dianggotai lebih dari
satu negara yang dibuat dengan sukarela dengan dasar kesamaan, tujuannya untuk
menciptakan perdamaian dunia dalam tata hubungan internasional.

Organisasi internasional umumnya memiliki negara sebagai anggota, namun seringkali


entitas lain juga dapat mengajukan keanggotaan. Keduanya membuat hukum
internasional dan diatur.

2. Jenis-jenis organisasi internasional:

a. International Governmental Organizations (IGOs)

b. International Nongovernmental Organizations (INGOs or NGOs)

c. Korporasi Multinasional

d. Organisasi Nonprofit

e. Organisasi Internasional Lainnya

Organisasi internasional dapat didefinisikan, sesuai dengan Komisi Hukum Internasional


sebagai organisasi yang didirikan oleh perjanjian atau instrumen lain yang diatur oleh hukum
internasional dan memiliki kepribadian hukum internasionalnya sendiri. Menurut Quincy Wright,
organisasi internasional adalah seni menciptakan dan mengatur organisasi umum dan regional
yang terdiri dari negara-negara merdeka untuk memfasilitasi kerjasama dalam maksud dan
tujuan yang sama.

Organisasi internasional lahir dari kebutuhan akan kerja sama. Seiring dengan
perkembangan sosial, ketergantungan dengan yang lain semakin meningkat, hal ini berlaku
dalam masyarakat domestik dan juga masyarakat internasional. Masalah umum yang
membutuhkan tindakan bersama ini pertama kali dirasakan di bidang non-politik. Awalnya
organisasi internasional dibentuk untuk memenuhi kebutuhan kerjasama selama revolusi industri.

Organisasi internasional memiliki peran sebagai wadah untuk menggalang kerjasama dan
mencegah intensitas konflik untuk sesama anggota. Selain itu, organisasi internasional juga
merupakan sarana untuk perundingan dan menghasilkan keputusan yang disepakati bersama dan
saling menguntungkan pihak yang terlibat. Organisasi internasional juga berperan sebagai
lembaga yang mandiri dalam melaksanakan kegiatan seperti kegiatan sosial, kemanusaian dan
bantuan pelestarian lingkungan.Organisasi internasional memiliki peran dalam masalah politik,
ekonomi dan sosial. Dalam isu sosial, organisasi internasional berperan untuk mengamankan dan
memelihara kondisi kerja yang adil dan manusiawi bagi laki-laki, perempuan dan anak-anak di
wilayah anggota organisasi. Selain itu organisasi internasional berperan untuk mempromosikan
dan membantu organisasi Palang Merah yang bertujuan untuk peningkatan kesehatan,
pencegahan penyair dan pengurangan penderitaan di seluruh dunia. Grameds dapat mempelajari
berbagai organisasi internasioanl serta bentuk aturan, norma budaya maupun sosial lainnya yang
berhubungan pada buku Rezim & Organisasi Internasional oleh Citra Hennida.

3. Sejarah organisasi internasional

Awal proses dari pembentukan organisasi internasional berawal dari abad ke-19.
Inovasi yang terkait dengan kebangkitan industrialisasi, komunikasi dan metode
transportasi mendorong pembentukan badan-badan bertujuan khusus yang dulunya
disebut serikat internasional publik. Serikat tersebut dirancang untuk memfasilitasi
kerjasama pemerintah dalam menangani masalah ekonomi dan sosial. Serikat yang
paling terkenal diantaranya Telegraphic Union (1985) dan Universal Postal Union
(1874). Kedua organisasi tersebut adalah organisasi yang bertahan menjadi badan
khusus dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dalam bidang politik, upaya untuk melembagakan kekuatan besar Eropa dilakukan di
Kongres Wina pada tahun 1815. Pada saat itu pemerintahan Eropa menggagaskan
bahwa keluarga negara-negara Eropa merupakan entitas yang terorganisir. Akhirnya,
konsep ini diperluas oleh Konferensi Den Haag pada tahun 1899 dan 1907. Pada
Konferensi Den Haag, negara-negara kecil ekstra-Eropa juga diizinkan untuk ikut
dalam berpartisipasi musyawarah politik. Menjelang akhir abad ke-19, Pan AMerican
Union dan konfederasi antara Amerika mulai dibentuk konferensi-konferensi ini
memperkuat Doktrin Monroe dan pernyataan Simon Bolivar dengan memberikan
gagasan bahwa negara bagian belahan barat merupakan sub kelompok berbeda dalam
sistem multi-negara bagian yang lebih besar. Pada awal abad ke-19 ini memberikan
sebagian besar dasar-dasar bagi perkembangan organisasi internasional sejak perang
dunia I.

Perbedaan-perbedaan yang muncul antara badan-badan politik dan nonpolitik, antara


negara besar dan negara-negara kecil, antara organisasi regional dan non regional
selama periode tersebut sangat signifikan dalam perjalanan organisasi internasional
selanjutnya. Pada periode ini, pola dasar struktur dan prosedur organisasi
dikembangkan. Pada periode ini juga perluasan konsepsi organisasi internasional
untuk memasukan entitas lain di luar sistem negara Eropa telah dimulai.

Anda mungkin juga menyukai

  • Imigrasi
    Imigrasi
    Dokumen4 halaman
    Imigrasi
    Nabila Radiyah
    Belum ada peringkat
  • KLP 4
    KLP 4
    Dokumen6 halaman
    KLP 4
    Nabila Radiyah
    Belum ada peringkat
  • Jeje
    Jeje
    Dokumen20 halaman
    Jeje
    Nabila Radiyah
    Belum ada peringkat
  • Lusi
    Lusi
    Dokumen25 halaman
    Lusi
    Nabila Radiyah
    Belum ada peringkat
  • MPH: Nabila Radiyah
    MPH: Nabila Radiyah
    Dokumen22 halaman
    MPH: Nabila Radiyah
    Nabila Radiyah
    Belum ada peringkat
  • BPK Put
    BPK Put
    Dokumen7 halaman
    BPK Put
    Nabila Radiyah
    Belum ada peringkat
  • HK Udara
    HK Udara
    Dokumen17 halaman
    HK Udara
    Nabila Radiyah
    Belum ada peringkat
  • Diplomatik Delitha Puspitha
    Diplomatik Delitha Puspitha
    Dokumen7 halaman
    Diplomatik Delitha Puspitha
    Nabila Radiyah
    Belum ada peringkat