Anda di halaman 1dari 163

MODUL

GANGGUAN SARAF TEPI


GANGGUAN SARAF OTONOM
DAN
GANGGUAN PAUT SARAF- OTOT

PROGRAM STUDI NEUROLOGI


RSUP. Dr. Moh. Hoesin Palembang – Universitas Sriwijaya
2015
Editor
dr. Christianto Asnawi, SpS(K)
dr. H. Hasnawi Haddani, SpS

i
KATA SAMBUTAN
KETUA PROGRAM STUDI NEUROLOGI FK UNSRI

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Puji dan syukur kita pajatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karuniaNya, sehingga modul gangguan saraf tepi, gangguan saraf otonom, dan
gangguan paut saraf-otot ini dapat diselesaikan. Seperti diketahui peserta didik program
studi neurologi membutuhkan modul bahan ajar. Pembahasan materi pada bahan ajar ini
dilakukan dengan memaparkan landasan teori gangguan saraf tepi, gangguan saraf
otonom, dan gangguan paut saraf-otot terkait anatomi, fisiologi, patofisiologi dan
tinjauan klinis serta tatalaksana penyakit-penyakit yang berhubungan dengan gangguan
saraf tepi, gangguan saraf otonom, dan gangguan paut saraf-otot. Adanya modul ini
diharapkan dapat membantu para peserta didik Program Studi Neurologi FK Unsri untuk
dapat memenuhi capaian pembelajaran mata kuliah serta memenuhi kompetensi yang
telah ditetapkan oleh Kolegium Neurologi Indonesia.
Kami berterima kasih kepada para penyusun yang telah menyelesaikan modul ini
dengan cukup baik. Kami menyadari modul ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami
sangat mengharapkan saran untuk perbaikan modul edisi berikutnya. Mudah-mudahan
modul ini dapat memberikan sedikit manfaat khususnya bagi peserta didik Program Studi
Neurologi FK Unsri.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Palembang, Februari 2015

Dr. H. M. Hasnawi Haddani, SpS


Ketua Program Studi Neurologi FK Unsri.

ii
KATA SAMBUTAN
KETUA DEPARTEMEN NEUROLOGI RSUP DR. MOH. HOESIN
PALEMBANG

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah, SWT atas ridha, taufik dan hidayah-
Nya sehingga Program Studi Neurologi FK UNSRI – Departemen Neurologi RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang mampu menyelesaikan Modul Gangguan saraf tepi,
gangguan saraf otonom, dan gangguan paut saraf-otot. Pembuatan modul ini didasarkan
atas semangat perbaikan mutu pendidikan, serta memperhatikan kebutuhan para peserta
didik terhadap ilmu neurovaksuler demi mencapai kompetensi yang telah ditetapkan oleh
Kolegium Neurologi Indonesia. Dengan demikian modul Gangguan saraf tepi, gangguan
saraf otonom, dan gangguan paut saraf-otot ini diupayakan untuk selalu mengikuti
standar kompetensi dokter spesialis saraf dan perkembangan yang ada agar lulusan
Program Studi Neurologi FK Unsri – RSUP Dr. Mohammad Hoesin dapat memenuhi
capaian kompetensi dan mampu bersaing.

Kami menyampaikan terima kasih secara tulus dan penghargaan yang tinggi
kepada tim penyusun yang telah menyelesaikan tugasnya dengan penuh dedikasi.
Semoga seluruh upaya tim penyusun menjadi amal ibadah. Amin

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Palembang, Februari 2015

Dr. Achmad Junaidi, SpS, MARS


Ketua Departemen Neurologi RSUP Dr. Moh. Hoesin

iii
DAFTAR ISI

iv
1

1. KOMPETENSI
Setelah menyelesaikan modul gangguan saraf tepi, gangguan saraf otonom dan
gangguan paut saraf-otot ini, diharapkan para peserta didik memiliki kompetensi
menyeluruh dan terpadu tentang:
(1) Anatomi dan patologi saraf tepi, gambaran klinis dan pemeriksaan neuropati
demielinasi genetik dan aksonal, neurpati traumatic dan entrapment, pleksopati dan
mononeuropati multipleks, manajemen GBS dan neuropati paralisis berat lainnya,
manajemen umum paralisis neuromuskuler akut.
(2) Evaluasi hasil penatalaksanaan pasien dengan gangguan saraf tepi ( termasuk lesi
pleksus ).
(3) Patogenesis, patofisiologi dan kelainan molekuler neuropati perifer.
(4) Pola gejala dan tanda klinik neuropati perifer ( akut dan kronik ).
(5) Analisis diagnosis topis keluhan pasien dengan dasar neuroanatomi, pemeriksaan
fisik dan EMG yang benar.
(6) Penyebab yang mendasari terjadinya neuropati ( defisiensi, metabolic,
trauma/kompresi, keganasan , genetic, imunologik ).
(7) Perjalanan penyakit, sindroma prototip, gejala yang dominan ( motorik / sensorik )
dan identifikasi gejala – gejala atipikal, serta gejala lain yang menyertai.
(8) Pemeriksaan laboratorium, lumbal pungsi dan PA.
(9) Tatalaksana kasus gangguan saraf tepi yang meliputi penanganan kausa, pencegahan
komplikasi, fisioterapi, mengobati penyakit yang menyertai, menghentikan obat –
obatan yang bersifat neurotoksik, memperbaiki metabolisme, kompensasi malnutrisi,
memberikan obat yang membantu regenerasi saraf, dan imunoterapi sesuai indikasi.
(10) Indikasi intraoperative monitoring, dan interpretasi hasil pemeriksaan intraoperative
monitoring.
(11) Gambaran klinis dan pemeriksaan gangguan neuromuscular junction dan otot lurik
yang bersifat genetic dan didapat, termasuk gangguan yang bersifat periodik dan
gangguan metabolisme energy ( misalnya gangguan mitokondria ).
(12) Tatalaksana kardiorespirasi darurat pada pasien gangguan otot nafas.
(13) Evaluasi hasil penatalaksanaan pasien dengan gangguan otot.
2

(14) Anamnesis yang berkaitan dengan aspek genetik, pemeriksaan fisik, EMG, biopsi
otot, interpretasi pemeriksaan enzim CK dan LDH, tatalaksana terapi suportif dan
penyuluhan genetika dan program rehabilitasi pada kasus Distrofi muskular
progresif.
(15) Patogenesis, patofisiologi, kelainan molekuler, gejala dan tanda klinik, identifikasi
dan klasifikasi, manuver pemeriksaan untuk membantu diagnosis seperti uji
Wattenberg, Cogan Sign, Hering Sign, dan tes berhitung, uji tensilon atau uji
neostigmin / prostigmin, pemeriksaan EMG berupa uji Harvey – Masland,
pemeriksaan single fibre bila uji Harvey – Masland negative, diagnosis banding, dan
tatalaksana Mysatenia Gravis serta krisis myastenia / krisis kholinergik, indikasi
tindakan tindakan timektomi pada pasien dengan timoma, myasthenia umum dan
yang tidak berespon dengan terapi medikamentosa.

2. KETRAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki ketrampilan :
o Menjelaskan anatomi, struktur, dan fungsi saraf tepi, otonom dan paut
saraf otot
o Menjelaskan epidemiologi gangguan saraf tepi, gangguan saraf otonom dan
gangguan paut saraf- otot
o Menguasai patofisiologi dan patogenesis gangguan saraf tepi, gangguan
saraf otonom dan gangguan paut saraf-otot
o Mengidentifikasi gangguan saraf tepi, gangguan saraf otonom dan gangguan
paut saraf-otot
o Menegakan diagnosis klinis, topis, patologis dan etiologis serta penegakkan
diagnosis banding gangguan saraf tepi, gangguan saraf otonom dan gangguan
paut saraf-otot berdasarkan gejala klinis
o Menguasai pemeriksaan penunjang neurofisiologi klinik, khususnya
elektroneuromiografi (ENMG)
o Menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang
3

o Mengelola penderita dengan gangguan saraf tepi, gangguan saraf otonom dan
gangguan paut saraf-otot akut (misal miasthenia gravis, guillain barre syndrome,
dsb) pada keadaan emergensi dan cara pemasangan intubasi sesuai indikasi
o Memberikan terapi komprehensif pada gangguan saraf tepi, gangguan saraf
otonom dan gangguan paut saraf-otot
o Mengobati komplikasi yang timbul
o Memberikan nutrisi oral dan parenteral sesuai dengan kebutuhan pasien
o Mempertimbangkan dan menganjurkan tindakan operasi sesuai dengan indikasi,
misalnya pada Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
o Menilai impairment, aktivitas harian, dan handicap pasien dengan gangguan saraf
tepi, gangguan saraf otonom dan gangguan paut saraf-otot serta melakukan
neurorestorasi dan neuro-rehabilitasi sesuai kebutuhan

3. GAMBARAN UMUM
Pelatihan dengan modul ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan praktik
ketrampilan dalam hal manajemen gangguan saraf tepi, gangguan saraf otonom dan
gangguan paut saraf-otot secara komprehensif dengan memperhatikan azas cost-
effectiveness dan evidence based medicine, melalui pendekatan pembelajaran berbasis
kasus (case-based learning). Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh
peserta didik adalah sebagai berikut :

4. RANGKUMAN
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara:
• Anamnesis
• Pemeriksaan fisik / neurologik
• Diagnosis banding
• Diagnosis (klinik, topik, etiologik, patologi-anatomik)
• Pemeriksaan penunjang (Lab, ENMG, Evoked Potensial, SSEP)
• Manajemen Komprehensif
(Preventif-primer&sekunder, Kuratif –medikamentosa&operatif,Rehabilitatif)
• Prognosis
4

• Sistem rujukan
b. Penilaian kompetensi
Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan (dengan daftar tilik)

5. TUJUAN PEMBELAJARAN
* Mengidentifikasi gejala klinis gangguan saraf tepi, gangguan saraf otonom dan
gangguan paut saraf-otot
* Menegakkan diagnosa klinis, diagnosa topis, diagnosa patologis dan diagnosa etiologis
* Menegakkan diagnosa banding
* Menganalisa dan melakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi
* Membuat surat konsultasi ke departemen lainnya sesuai dengan indikasi
* Menginterpretasi dan merangkum semua hasil pemeriksaan (kemampuan pendekatan
diagnostik) untuk penegakkan diagnosa yang tepat
* Membuat keputusan diagnostik yang benar sebagai dasar untuk pemberian terapi yang
tepat
* Memahami keterbatasan pengetahuan seseorang
* Memperhatikan dan mempertimbangkan analisis risiko dan biaya yang ditanggung oleh
Pasien
* Menganalisa prognosis baik quo vitam, fungsionam dan sanasionam
* Merencanakan program neuro rehabilitasi
* Melakukan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) untuk pasien dan keluarganya
dalam rangka rehabilitatif dan preventif

Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi
pada dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki
professional behavior yang ditunjukkan dengan :
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
5

f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance

Tujuan-1: Mengidentifikasi gejala klinis gangguan saraf tepi, gangguan saraf otonom
dan gangguan paut saraf-otot
• Menggunakan ceramah, diskusi interaktif, contoh kasus
• Peserta didik mengidentifikasi gejala dan tanda klinik gangguan neurologi pada
kasus gangguan saraf tepi, gangguan saraf otonom dan gangguan paut saraf otot
untuk memperkuat penegakan diagnosis, diagnosis banding, pemberian terapi dan
prognosis
• Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik
Tujuan-2: Menegakkan diagnosa klinis, diagnosa topis, diagnosa patologis dan diagnosa
etiologis dan menegakkan diagnosa banding
• Peserta didik melakukan pemeriksaan fisik umum dan neurologik (mulai dari
anamnesa sampai selesai semua pemeriksaan klinis)
• Peserta didik menganalisa seluruh hasil pemeriksaan fisik umum dan neurologik
• Peserta didik menegakkan diagnosa klinis, diagnosa topis, diagnosa patologis dan
diagnosa etiologis
• Peserta didik juga menegakkan diagnosa banding
• Pembimbing memberi feedback kepada peserta didik
Tujuan-3: Melakukan pemeriksaanpenunjang dan konsultasi ke sub bagian / bagian lain
sesuai indikasi
• Peserta didik menganalisa seluruh hasil pemeriksaan fisik umum dan neurologik
Sehingga peserta didik dapat menentukan pemeriksaan penunjang dan konsultasi
ke departemen lainnya yang diperlukan pasien sesuai indikasinya
• Peserta didik dapat menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang dan hasil
konsultasi
• Pembimbing memberi umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik.
Tujuan-4: Menunjukkan kemampuan dalam pendekatan diagnostik
• Peserta didik dapat menjelaskan gejala klinik dan diagnosis pasien
6

• Peserta didik dapat menjelaskan dan merangkum pemeriksaan yang diperlukan


pasien sesuai indikasinya
• Peserta didik membuat diagnosis yang lebih tepat dan diagnosis banding
berdasarkan hasil pemeriksaan
• Pembimbing memberi feedback kepada peserta didik
Tujuan-5: Membuat keputusan diagnostik dan terapetik yang tepat
• Peserta didik menjelaskan alasan keputusan diagnostik dan diagnostik banding
yang dibuat berdasarkan hasil rangkuman anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
• Peserta didik menjelaskan alasan anjuran pemberian terapi yang berkaitan dengan
diagnosis
• Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik
Tujuan-7: Memahami keterbatasan pengetahuan seseorang
• Peserta didik menjelaskan alasan untuk membuat rujukan kepada departemen lain
• Peserta didik mengiterpretasi hasil rujukan
• Peserta didik mengambil keputusan diagnostik, pemeriksaan anjuran tambahan,
terapetik dan prognosis setelah mempertimbangkan jawaban rujukan
• Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik
Tujuan-8: Memerhatikan dan mempertimbangkan analisis risiko dan biaya yang
ditanggung oleh pasien
• Peserta didik menjelaskan alasan pemeriksaan penunjang
• Peserta didik menjelaskan pemberian terapi sesuai dengan guideline dan
evidence-based medicine
• Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik
Tujuan-9 : Menganalisa prognosis baik quo ad vitam, ad fungsionam dan ad
sanasionam
• Peserta didik dapat menetapkan prognosis pasien quo ad vitam, ad fungsionam
dan ad sanasionam
• Peserta didik dapat menjelaskan alasan pemilihan semua prognosis
• Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik
7

Tujuan 10 : Merencanakan program neuro rehabilitasi seta melakukan Komunikasi,


Informasi dan Edukasi (KIE) untuk pasien dan keluarganya
dalam rangka rehabilitatif dan preventif
• Peserta didik dapat merencanakan program neuro rehabilitasi serta KIE untuk
pasien dan keluarga
• Peserta didik dapat menjelaskan alasan program neurorehabilitasi serta KIE
pasien dan keluarga
• Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik

6. PENUNTUN BELAJAR

PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR INFORMED CHOICE

Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:

1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)

2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal

3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien

T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)
8

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

II. INFORMED CHOICE


1. Sapa dengan hormat pasien anda

2. Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara

3. Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah
sudah mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan
• Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan
dilakukan
• Jika sudah, nilai kemali apakah penjelasannya benar dan lengkap
4. Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan
penatalaksanaan untuk kelainan yang ada
5. Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap
pasien, termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan
bahasa yang mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti)
6. Minta pasien untuk menentukan salah satu pengobatan dan tindakan yang
menurut pasien adalah paling tepat, setelah mendapat penjelasan yang obyetif
dan benar dari operator/dokter
7. Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan cara
pengobatan yang menjadi pilihannya pada status pasien atau formulir yang
telah disediakan
9

7. MATERI BAKU
SARAF TEPI

i. Epidemiologi Penyakit Saraf Tepi


1. Alwi Shahab
Penyakit saraf TEPI merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek
dan diagnosa dibuat berdasarkan gambaran klinis dan biasanya juga dibantu dengan
pemeriksaan neurofisiologis. Beberapa penyakit saraf perifer yang sering dijumpai adalah
Sindroma Guillain Barre (SGB), Neuropati, Miastenia Gravis dan Nyeri Punggung
Bawah.
Penyakit AFP (Acute Flaccid Paralysis / Parese yang Akut dan Layuh) sindrom
Guillain Barre (SGB) dengan berbagai variannya menempati tempat teratas dan
merupakan penyakit yang paling banyak diteliti selama 40 tahun terakhir. Insidensi SGB
diluar negeri adalah antara 0,6-1,9 per 100.000 penduduk, dan angka di Jakarta adalah
sekitar 1 – 1,6 per 100.000 penduduk. Sehingga bila diperkirakan untuk penduduk
Indonesia, maka akan dijumpai sekitar 300.000 kasus setahun dengan 2 puncak yaitu
pada permulaan dan akhir musim hujan yaitu sekitar Maret-April dan Oktober-Desember.
Penyakit saraf perifer lain yang paling banyak ditemukan adalah neuropati.
Prevalensi sekitar 3 – 7% dari populasi, dimana 43,7% dari angka tersebut adalah
penderita diabetes. Dinegara yang maju, peranan faktor metabolik pada neuropati
menunjukkan angka yang lebih tinggi, misalnya di Jepang 16,6% dan USA 13,2%,
sedangkan di Indonesia walaupun belum ada angka pasti berkisar antara 3,9%.
Sebaliknya faktor defisiensi merupakan penyebab yang terbanyak di Indonesia yaitu
21,8% sedangkan di jepang 10,9% dan di USA 3,8%.
Miastenia Gravis merupakan penyakit saraf perifer yang lain,yang menyerang
paut saraf-otot. Penyakit ini bisa menyerang otot-otot mata terlebih dahulu dan kadang-
kadang berlanjut dan mengenai otot menelan, mengunyah, berbicara dan 12-16% diantara
pasien MG akan mengalami kelumpuhan otot pernafasan sehingga memerlukan
perawatan di ICU karena mengalami suatu krisis miastenia. Insidensinya adalah 1-3 per
100.000 penduduk, sehingga dalam setahun di Indonesia bisa dijumpai 2000 – 6000
10

penderita. Penelitian di Hongkong menunjukkan rata-rata usia penderita MG adalah 36,7


tahun yang merupakan usia produktif.
Nyeri punggung bawah / Low Back Pain (LBP) adalah penyakit yang sangat
sering dijumpai sehari-hari. Insidensi penyakit ini adalah 5% per tahun dan prevalensinya
adalah 60-90%. Diperkirakan sekitar 80% dari semua orang mempunyai pengalaman
minimal sekali episode nyeri pinggang dalam hidup mereka dengan point prevalence
berkisar antara 15 sampai 39%. Di Eropa dan USA, lifetime prevalence NP adalah antara
60% dan 90%, dan sekitar 25% orang dewasa melaporkan pengalaman nyeri pinggang
dalam 1 tahun. Di Malang, Indonesia dilaporkan prevalensi seumur hidup LBP antara
59,3 – 62,4% dan prevalensi tahunan antara 20,9 – 31,2% dan point prevalence adalah
antara 19,9 – 20,4%.

ii. Kegawatdaruratan Neuromuskular


2. Christanto Asnawi
Pendahuluan
Kelemahan akut yang diakibatkan oleh suatu gangguan neuromuskular dapat
terjadi pada seseorang karena terjadinya disfungsi pada kornu anterior, saraf perifer, paut
saraf – otot (neuromuscular junction), atau otot (tabel I ). Walaupun mula-mula penyebab
gangguan neuromuskular belum dapat ditegakkan dengan tepat, dan juga diagnosa pasti
ditegakkan, penting diperhatikan fungsi-fungsi vital pasien seperti fungsi kardiopulmonal
dan bila perlu memberikan tindakan-tindakan suportif untuk menyelamatkan hidup.
Setelah fungsi kardiopulmonal dan bila perlu memberikan tindakan-tindakan suportif
untuk menyelamatkan hidup. Setelah fungai kardiopulmonal stabil, harus dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan lokasinya pada salah satu dari 4
area tersebut diatas dan menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan kelemahan yang
disebabkan oleh disfungsi di sentral yaitu di susunan saraf ( KHS / NCV = nerve
conduction velocity), biopsi otot atau saraf dapat dilakukan agar dapat dibuat suatu
diagnosis yang pasti sehingga dapat diberikan pengobatan yang lebih optimal.
Umumnya kegawatdaruratan neuromuskular berkembang sebagai suatu problema
sekunder pada pasien yang diketahui mempunyai suatu penyakit neuromuskular atau
sistemik ( Tabel 2 ). Hal ini penting sekali untuk mengantisispasi terjadinya komplikasi
11

sehingga pengobatan dapat dilakukan secara berkesinambungan untuk mencegah


terjadinya suatu krisis yang tiba-tiba, malahan juga termasuk tindakan-tindakan untuk
menunjang kehidupan, bila kelemahan yang terjadi ireversibel.

Tabel 1.
Penyebab kelemahan yang akut pada penderita yang sebelumnya sehat
Sel kornu anterior :
Poliomelitis / enterovirus yang lain
Motor Neuron Disease (MND) (subakut)
Saraf perifer :
AIDP (sindroma Guillain-Barre)
Paralisis oleh gigitan serangga
Difteri
Intoksikasi logam berat
Paut saraf-otot
Miastenia gravis
Miastenia yang disebabkan oleh obat-obatan
Eaton Lambert (myasthenic) syndrome (ELS)
Botulism
Keracunan organofosfat
Otot
Polimiositis
Paralisis periodik (PP)
Miopati toksik
Mioglobinuri / rabdomiolisis
Neuroleptic Maligamentumnant Syndrom (NMS)
12

Kelemahan Akut Akibat Gangguan Saraf Perifer :


Acute Inflamatory Demyelinating Polyneuropathy ( AIDP, atau Guillan Barre
Syndrome/ GBS) mengenai kira-kira 0, 75 – 2,00% per 100 100.000 penduduk setahun.
(Ropper, 1992). Semua golongan umur di berbagai daerah geografis rentan terhadap
terjadinya serangan sistem imun pada selaput myelin perifer yang tidak bersifat
keturunan (non-familial) ini. Telah disebutkan adanya suatu autoreactive limfosit T yang
spesifik untuk myelin antigen dan antibodi, dan juga untuk berbagai macam glikoprotein
dan glikolipid. (Hartung et al, 1995). Biasanya ada suatu infeksi pada saluran nafas atau
gastrointestinal yang mendahuluinya, juga bisa berupa imunisasi, kehamilan, atau
pembedahan pada bulan sebelum terjadinya AIDP yang menjadi pencetus terjadinya
penyakit ini. Salah satu infeksi utama yang sering menyebabkan AIDP adalah
campylobacater jejuni, dan pada beberapa pasien ini bisa didefiniskan sebagai suatu
subgroup yang berbeda secara klinis dan merupakan suatu bentuk AIDP yang lebih berat.
Yang khas pada AIDP adalah, bahwa gejala dimulai dengan parestesi bagian
distal diikuti dengan terjadinya paresis yang subakut, yang relatif simetris yang mengenai
otot-otot bagian distal maupun proksimal. Kelemahan bulbar dan ataksia atau disfungsi
otot-otot pernafasan bisa lebih menonjol, dan dapat terjadi juga gangguan otonom seperti
aritmia jantung dan tekanan darah fluktuatif. Seringkali, mula-mula pasien mengeluh
nyeri pada otot-otot disertai ”cramps”, dan dapat terjadi suatu iritasi radiks yang
terdeteksi dengan suatu tes mengangkat tungkai secara lurus. Paresis n facialis bisa
terjadi pada 50% pasien. Derajat kelemahan bervariasi yang melibatkan ekstremitas dan
otot-otot yang dipersarafi saraf kranial, dan juga terjadi hiporefleksi atau arefleksi
(tabel 3).
Beberapa varian dari AIDP yang jarang telah dilaporkan dan melibatkan
kelemahan brakhial-serikal-pharingeal, paraparesis, ptosis yang berat tanpa
pftalmoparesis, dan nyeri yang akut dan berat di tulang belakang. Suatu kategori kecil
dari kasus AIDP simptomatik bisa saja muncul pada suatu penyakit sistemik seperti
systemic Lupus Erythematosus (SLE), penyakit Hodgkin, sarkoidosis, atau infeksi dengan
Human Immunodeficieency Virus (HIV).
Bila ada kecurigaan adanya AIDP perlu dilakukan pemeriksaan fungsi lumbal
untuk melihat peningkatan protein cairan likuor yang tanpa disertai pleositosis. Walaupun
13

disosiasi sito-albuminik ini merupakan suatu tanda khas pada AIDP, namun kadang-
kadang ditemukan hasil likuor yang normal pada 72 – 96 jam pertama dari penyakit ini.
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS = Nerve Conduction Velocity/ NCV) dan juga
termasuk EMG sangat bernilai dalam mengkonfirmasi diagnosa AIDP. Tanda-tanda
demielinisasi terlihat dari masa laten yang memenjang, penururnan kecepatan hantar
saraf, blok hantar saraf (conduction block) tau dispersi temporal, dan gelombang F (F-
wave) yang hilang atau memanjang.
Kelainan hantar saraf paling dini tampak setelah 3 sampai 10 hari dan terjadi F-wave
yang melambat karena terkenanya radiks, diikuti kemudian oleh adanya tempat-tempat
yang cenderung terkena kompresi yang menyebabkan terjadinya suatu blok hantar saraf
(conduction block) dan lalu mengenai badan sarafnya sendiri yang terlihat dari adanya
penurunan kecepatan hantar saraf yang menunjukkan adanya suatu demielinisasi.
Perjalanan penyakit AIDP pada kira-kira 95% kasus adalah monofasik dengan
kelemahan yang progresif selama 4 -6 minggu, diikuti suatu penyembuhan motorik yang
datar (plateau in strenght), lalu perlahan-lahan mengalami perbaikan. Derajat kelemahan
sangat bervariasi, dimana sekitar ¼ dari jumlah pasien mmerlukan dukungan ventilator.
Ventilator seharusnya digunakan bila kapasitas vital menurun kurang dari 8000 mL.
Karena sistem otonom umumnya terkena, maka harus waspada terhadap terjadinya
aritmia dan hipotensinya. Pragnosis untuk penyembuhan sangat baik, lebih dari 90%
pasien mengalami perbaikan tanpa meninggalkan defisit yang bermakna, Nmun pada 3 –
5% pasien bisa berkembang menjadi khronis (CIDP = Chronic Inflamatory
Demyelinating Polyneuropathy) atau gejala-gejala berulang (CRPN = Chronic Reccurent
Polyneuropathy). Alat untuk menentukan prognosa yang paling bermakna dari perbaikan
yang terjadi adalah dengan mengukur degenerasi aksonal yang ditunjukkan dengan
adanya Low Amplitude Coumpound Motor Amplitude Potential (CMAPs) pada
pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS = NCV)
Adalah penting sekali untuk mengobservasi pasien secara teliti untuk melihat
progresivitas penyakitnya. Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai
derajat disfungsi otot-otot pernafasan harus mendapatkan terapi aktif dengan
plasmaferesis atau imunoglobulin secara intravena (IVIg). Plasmaferesis menggunakan
suatu plasma exchange lebih kurang 20 L (200 – 250 mL/ kg selama beberapa hari)
14

secara bermakna menurunkan lama dan beratnya disability pada AIDP, namun beberapa
penyelidikan terbaru juga memperlihatkan keuntungan dari IVIg. Suatu tim The Dutch
Guillan-Barre Study Group mengemukakan pengobatan dengan IVIg (0,4/kg selama 5
hari) sama atau malahan lebih superior dibandingkan plasma exchange. IVIg merupakan
pengobatan lini pertama yang lebih praktis yang tidak diragukan lagi kemanjurannya
dengan komplikasi yang rendah, dan mudah digunakan, namun sangat mahal biayanya.
Plasma exchange memerlukan tenaga yang terlatih dan peralatan yang tidak selalu dapat
tersedia dengan biaya yang juga mahal, namun lebih murah sdari IVIg. Tidak ada studi
tentang keuntungan mengabulkan penggunaan IVIg dan plasma exchange sehingga hanya
salah satu saja terapi yang direkomendasikan.
Penyakit yang secara klinis menyerupai AIDP, namun terjadi lebih banyak karena
degenerasi akson daripada demielinisasi dan banyak ditemukan di cina utara dan juga
secara sporadis di seluruh dunia adalah Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) yang
merupakan suatu penyakit non-inflamasi dengan degenerasi akson yang selektif pada
radiks mototrik dan saraf perifer tanpa terjadinya demielinisasi. Kebanyakn kasus
didaului oleh adanya suatu infeksi C. Jejuni, dan biasanya KHS/NCV tak dapat diukur.

Tabel 2:
Keadaan emergensi pada penderita penyakit neuromuskuler yang diketahui:
Kegagalan respiratorik atau disfungsi bulber
Gangguan neuromuskuler yang resersibel :
Miastemia gravis
AIDP
Polimiositis
Gagguan neuromuskuler yang ireversibel :
Motor Neuron Disease (MND)
Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Spinal muscular atrophies (SMA)
Distrofi muskuler
Duchenne’s/ Becker’s (X-linked)
Miotonik
15

Gelang bahu/ gelang panggul


Defisiensi asam maltase
Defisiensi karnitin
Komplikasi pada jantung :
Gangguan konduksi
Distrofi miotonik
Polimiositis
Sindroma Kearns-Sayre
Sindroma lain dengan oftalmoplegi eksternal yang progresif
Distrofi muskuler Emery-Dreyfuss
Disfungsi otonomik
AIDP
Gangguan elektrolit
Paralis periodik

Penderita AMAN pada umumnya mempunyai suatu prognosa yang buruk dibandingkan
dengan pasien-pasien AIDP, dan lebih banyak penderita AMAN mengalami
penyembuhan yang tidak lengkap dan tidak banyak perbaikan yang terjadi dengan
plasma exchange dan IVIg
Suatu keadaan yang menyerupai AIDP, tapi berkembang menjadi pasien-pasien
yang dirawat di ICU, adalah critical illness polyneuropathy yang merupakan suatu
polineuropati yang terjadi setelah suatu penyakit yang berat. Polineuropati jenis ini
seharusnya dipertimbangkan pada penderita yang mengalami kelemahan otot-otot secara
umum setelah menderita suatu penyakit kritis.
Sindroma ini berkembang lebih sering pada 70% penderita yang menggunakan ventilator
dengan sepsis dan kegagalan multiorgan dan menjadi perhatian bila pasien sulit lepas dari
ventilator.
Secara klinis penderita mengalami auatu paralis yang flaccid ecara umum yang berat,
disertai refleks yang menurun dimana otot-otot bulbar tidak terkena.

Tabel 3
16

Pertimbangan adanya emergensi pada AIDP :


Klinik :
Arefleksia/ atau refleks yang menurun sekali
Kelemahan yang relatif simetris dan progresif
Pemeriksaan straight leg raising yang positif
Gangguan sensorik obyektif yang minimal
Infeksi yang terjadi sebelumnya atau imunisasi
Laboratoris:
CSF dengan peningkatan potein disertai sel kurang dari 10 (mononuklear)
(disosiasi sito-albuminik)
EMG dengan F-wave yang memanjang,
KHS/NCV yang menurun atau
Adanya conduction block
Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap HIV
Penatalaksanaan :
Rawat di rumah sakit
Pertimbangkan plasmaferesis atau pemberian IVIg
Evaluasi fungsi pernafasan secara berkala dan serial, adakan ventilasi bila perlu
Monitor Aritmia kardial dan hipotensi
Tetapkan progresivitas penyakit
Berikan dorongan/support yang adekwat dengan
Perawatan kulit dan respiratory
Infeksi yang rekuren harus diobati

Beratnya penyakit yang mendasarinya yang juga seringkali disertai dengan suatu
ensefalopati dan juga pemakaian obat-obatan non depolarizing neuromuscular blocking
agents dan pemakaian ventilator menyebabkan gejala-gejala dini dari penyakit ini sukar
dikenali dan baru diketahui setelah ada kesukaran untuk mencabut ventilator (Gutmann
& Gutmann, 1999)
Pemeriksaan cairan likuor adalah penting. EMG menunjukkan adanya suatu polineuropati
aksonal dengan penurunan atau hilangnya aksi potensial otot-otot (CMAP) dengan
17

disertai fibrilasi dan suatu penurunan jumlah potensial motor unit (Foley & Ringel,
1999) :
Umumnya terdapat suatu aksonopati yang distal dengan degenerasi distal dari akson
motorik dan sensorik tanpa adanya inflamasi.
Penyebab terjadinya degerasi aksonal berhubungan dengan kurangnya otoregulasi
vaskuler dan meningkatnya permeabilitas mikrovaskuler sehingga terjadi suatu oedema
endoneurial dan oklusi kapiler (Bolton et al, 1984 & 1993)
Outcom pada penderita critical illness polyneuropathy dalam jangka waktu yang panjang
adalah baik.

Nilai perkiraan positif yang sangat penting adalah keberhasilan pengobatan penyakit
kritis yang mendahului, karena kematian biasanya disebabkan oleh komplikasi yang
berhubungan dengan penyakit kritis tersebut dan bukan disebabkan oleh
polineuropatinya.
Dengan keberhasilan pengobatan penyakit kritis yang mendahuluinya dengan dukungan
perawatan, termasuk dukungan nutrisis dan menghindari terjadinya neuropati kompresi,
penderita akan membaik secara gradual dalam beberapa bulan.
Gangguan saraf perifer lain yang membutuhkan penangan yang cepat adalah
kelemahan akut yang biasanya dapat terdeteksi dengan anamnesis riwayat penyakit yang
teliti dan pemeriksaan fisik.
Tick paralysis (yang disebabkan oleh gigitan serangga) bisa menunjukkan
gambaran klinis yang mirip AIDP dan dapat dibedakan dengan adanya riwayat bekerja di
suatu daerah hutan kayu dan penemuan suatu serangga (tick) , biasanya pada scalp
penderita. Perbaikan terjadi dengan cepat setelah serangganya disingkirkan.
Porphyria, yang menghasilkan kelemahan motorik progresif, juga dihubungkan
dengan cramp abdominal yang berat, kejang, gejala-gejala psikiatri, dan peningkatan
eksresi asam alfa amino-levulenat dan porfobilinogen.
Diphteria (Corynebacterium Diphtheriae ) diawali dengan suatu ISPA, dan suatu
pseudomembran tampak ditenggorokan. Suatu neuropati simetris berkembang 1 – 2
minggu kemudian.
18

Disfungsi saraf kranialis umumnya bisa terjadin, termasuk kelemahan palatum, gangguan
akomodasi visual, dan pupil dilatasi. Sindroma ini reversibel dengan pemberian antibiotik
yang tepat.
Arsen dan timah bisa menghasilkan suatu neuropati motorik yang predominan,
namun progresivitas dari gejala dan tanda-tanda intoksikasi kronik adalah lambat.
Pada intoksikasi logam berat yang akut, ensefalopati dan gejala sistemik yang
lain dapat dijumpai. Bila ada kecurigaan adanya intoksikasi logam berat seharusnya
dilakukan pemeriksaan secara cepat kadar serum logam berat dan arsen yang diambil dari
rambut atau kuku.
Suatu gangguan kornu anterior yaitu polio menghasilkan onset kelemahan
secara cepat yang sering asimetris atau melibatkan hanya salah satu ekstremitas. Sebagai
tambahan terdapat tanda-tanda rangsang meningeal dan pleositos pada cairan likuor yang
membedakannya denagn AIDP. Dengan meratanya imunisasi pada polio di negara-negara
berkembang, penyakit ini saat ini lebih jarang terjadi.
Di USA sejak 1985 hampir semua penyakit polio yang terjadi disebabkan oleh karena
vaksin oralnya sendiri dengan risiko 1 per 2,4 juta dosis.

Kelemahan akut akibat gangguan paut saraf-otot (Neuromuscular Junction) :

Myasthenia gravis adalah suatu gangguan pada paut saraf –otot (neuromuscular
junction) yang biasanya menyebabkan suatu kelemahan yang subakut dan fluktuatif tanpa
gejala-gejala gangguan sensorik.
Terdapat antibodi terhadap reseptor asetilkholin( Acethylcholine receptor Antibody =
AchR Ab ) yang menyebabkan terjadinya kesalahan transmisi pada paut saraf-otot
(neuromuscular junction) karena mencengah Asetilkholin untuk menstimulasi otot-otot
untuk berkontraksi
Peningkatan titer AchR Ab terlihat pada 90% penderita dengan Myasthenia gravis yang
umum (generalized) tapi dalam evaluasi kasus-kasus kegawatdaruratan kegunaannya
terbatas karena waktu dan hasil pemeriksaan yang lama.
Diagnosa dapat ditegakkan dengan suatu stimulasi repetitif dengan frekwensi 3 /
detik pada suatu saraf motorik, dimana suatu respon dekremental dengan penurunan
19

amplitudo CMAP yang melebihi 10% adalah positif. Kekuatan (dan amplitudo CMAP)
seharusnya mengalami perbaikan yang cepat dengan pemberian edrofonium (tensilon)
iv. (endrofonium adalah suatu inhibitor asetilkholinesterase yang secara transient
membuat lebih banyak Asetilkholinesterase tersedia untuk menstimulasi reseptor post-
sinaps)
Umumnya gejala Myasthenia gravis adalah penglihatan ganda (diplopia) disertai
ptosis selain disfungsi okular , yang terjadi pada lebih banyak dari 80% pada penderita
yang menderita yang menderita myasthenia gravis, dapat terjadi juga gangguan
mengunyah, berbicara dan menelan dan kelemahan otot-otot leher dan otot-otot
proksimal.
Jarang terjadi disfungsi bulbar yang bisa menyebabkan suatu dyspnoe atau suatu
pneumonia aspirasi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita usia 15 – 30 tahun dan
pria > 40 tahun
Bisa ditegakkan diagnosa bila kelemahan dapat ditimbulkan dengan terjadinya
fatique. Pada pemeriksan penderita dengan gejala-gejala okular, pasien disuruh melihat
ke atas terus selama 1 menit. (persistent upward gaze) dan harus diobservasi akan
trjadinya ptosis progresif.

Tabel 4.
Pertimbangan emergency pada miastenia gravis
Klinis :
Kelemahan yang fluktuatif, ptosis atau diplopia
Gejala-gejala yang bilateral
Gangguan bulber (disfagia/disartri) dengan respons pupil yang normal
Kelemahan proksimal lebih dari distal
Aktivitas yang terus menerus akan memperberat gejala
Refleks dan sensibilitas normal
Laboratories :
Tes tensilon (edrofonium) yang positif
Penurunan amplitudo (decrement) pada stimulasi repetititf
AchR Ab yang positif
20

Penatalaksanaan akut :
Monitoring fungsi pernafasan dan menelan
Periksa dan obati infeksi, hipokalemia dan gangguan pada tiroid
Pertimbangkan plasmafereis atau pemberian IVIg
Bila tidak ada perbaikan dengan tensilon, hentikan pemberian inhibitor
kholinesterase

Bila keluhan penderita adalah kelemahan ekstremitas setelah kecapaian (fatique),


suatu pemeriksaan berulang dengan melipat lutut atau lengan terhadap tahanan akan
menyebabkan kelemahan lebih tampak lagi. Tidak seperti AIDP atau AMAN, refleks
tetap ada pada pasien dengan Myasthenia gravis. (Tabel 4).
Tes tensilon adalah pemeriksaan tambahan pada evaluasi kasus-kasus emergency,
tapi interpretasi secara subjektif dari suatu respon yang ringan sampai sedang dapat
mengarah ke suatu misdiagnosis. Setelah pemberian suatu dosis 2 mg tensilon,
diobservasi efek kholinergik yang tidak dikehendaki (takhikardi, sinkop) disususl dengan
pemberian 8 mg untuk mengobservasi perbaikan klinis.
Beberapa obat-obatan dapat menimbulkan gejala-gejala miastenik pada individu
yang normal. Gejala sekunder D-penicillamine (yang juga meningkatkan titer AchR Ab)
dan aminoglikosid akan berubah bila salah satu dari obat-obatan tersebut dihentikan.
Obat-obatan tertentu juga dapat mempererat gejala-gejala myasthenia gravis (Tabel 5)
Magnesium sulfat pada wanita miastenik dengan pre-eklamsi atau ekslamsi
terutama bisa mengganggu karena obat ini mendepresi pelepasan Ach di presinaps dan
bisa mengakibatkan perburukan klinis yang mendadak.
Tabel 5 Obat-obatan yang memperburuk mistenia gravis
Antibiotika : Antikonvulsan : Obat-obatan
Neomisin Fenition kardiovaskuler:
Streptomisin Trimetadon Lidokain
Kanamisin Obat-obatan psikotropik Kinin
Gentamisin Garam litium Kuinidin
Tobramisin Khlorpromasin Prokainamid
Polimiksin B Hormon : Propanolol
21

Kolistin Kortikosteroid(pd permulaan) Oksprenolol


Oksi tetrasiklin ACTH
Lincomisin Hormon tiroid
Klindamisin Obat-obatan lain : Obat-obatan
Garam magnesium antireumatik :
Narkotika d-penisilamin
Barbiturat khloroquin
Penatalaksanaaan myasthenia gravis pada penderita yang baru didiagnosa sebagai
myasthenia gravis tergantung pada beratnya gejala-gejalanya.
Evaluasi segera harus dilakukan terhadap fungsi paru-paru dan menilai resiko terjadinya
aspirasi bila fungsi menelan terganggu. Pengobatan dapat dimulai dengan pemberian
piridostigmin (Mestinon) dosis rendah, 30 – 60 mg setiap 4 jam, dimana terjadi
perbaikan simptomatik, sambil mengevaluasi secara keseluruhan.
Suatu evaluasi yang lengkap termasuk stimulasi saraf berulang (repetitive nerve
stimulation), mengukur AchR Ab, suatu CT scan dada untuk mengevaluasi adanya suatu
timoma dan persiapan timektomi dan juga tes fungsi tiroid.
Timektomi selalu diindikasikan pada pasien dengan suspek timoma dan memberikan
keuntungan / benefit pada semua penderita mistenia yang sedang dan berat. Timektomi
sebaiknya dipertimbangkan hanya pada penderita dimana gejala-gejala telah stabil dan
sebaiknya tidak dilakukan sebagai suatu prosedur emergency
Imunosupresan dengan prednison atau azatioprin, atau dua-duanya, efektif
pada penyakit autoimun ini, dimulai dengan dosis rendah, secara alternating, peningkatan
dosis prednison perlahan-perlahan akan meminimalkan perburukan yang mungkin terjadi
pada 10 hari pertama akibat efek steroid induced blockade. Azathioprin lebih baik
diberikan pada penderita yang berespons tidak lengkap terhadap kortikosteroid, efek
samping steroid, atau terdapat suatu kontraindikasi terhadap penggunaan steroid.
Karena efektivitas imunosupresan dan timektomi, banyak penderita akhirnya tidak perlu
melanjutkan terapi dengan pyridostigmin.
Hal penghentian obat piridostigmin ini penting, karena pada pemberian yang etrlalu lama
dengan dosis tinggi, pyridostigmin bisa menurunkan pengaturan reseptor di post-sinaps
22

(down regulation), yang membuat inhibisi asetilkholinesterase oleh pyridostigmin tidak


efektif lagi.
Plasmaferesis, IVIg dan imunoadsorbsi dari plasma memberi hasil perbaikan yang
cepat dengan keuntungan yang menetap selama beberapa minggu atau bulan. Penggunaan
plasmaferesis atau IVIg pada krisis miastenia atau persiapan operasi adalah
menguntungkan.
Krisis miastenia merupakan suatu keadaan dimana terjadi keadaan klinis yang
memburuk sebagai akibat penyakitnya sendiri atau adanya suatu keadaan akut yang
mempresipitasi seperti suatu infeksi yang interkuren, hipokalemia, penyakit tiroid, atau
pemberian obat-obatan yang menyebabkan terjadinya neuromuscular blocking ( tabel 4-
5). Krisis miastenia yang terjadi pada penderita yang diketahui menderita penyakit
miastenia ditandai dengan adanya kelemahan yang akut dan progresif yang jika tidak
diobati , menghasilkan suatu kuadriparesis, disfungsi bulbar, kemungkinan aspirasi dan
kegaagalan ventilasi. Sebelum ditemukanya terapi imunosupresan, krisis kholinergik
sekunder sebagai akibat dari overdosis pemberian inhibitor kholinesesterase dan juga
depolarisasi dari motor end plate merupakan penjelasan yang lain mengapa terjadi
perburukan tersebut. Dengan adanya pilihan pengobatan yang beragam akhir-akhir ini,
krisis kholinergik dan efek samping muskarinik lainnya, seperti diare, kejang perut,
keringat dan salivasi berlebihan, dapat diminimalkan dengan penggunaan inhibitor
kholinesterase yang lebih bijaksana. Bila pasien diberikan atropin untuk meredakan efek
samping muskarinik, kelemahan yang bertambah mungkin merupakan tanda-tanda satu-
satunya adanya ekses kholinergik. Respon terhadap edrofonium iv bisa menolong
membedakan apakah satu kelemahan pasien bersifat miastenik atau kholinergik.
Pada krisis miastenik, gejala-gejala akan tetap tidak berubah dan pada krisi kholinergik
gejala-gejala menjadi lebih buruk, karena kelemahan diakibatkan oleh kelebihan
kholinergik.
Plasma exchange (55mL/kg/hr selama 5 hari) adalah pilihan terapi untuk
pengobatan kelemahan yang membahayakan hidup. Perbaikan biasanya tampak pada
pemberian ke-3 dan seharusnya menetap dalam 2-4 minggu.
23

Suatu studi terbatas menduga bahwa IVIg kurang menguntungkan dalam pengobatan
krisis mistenik dibandingkan dengan plasmaferesis, namun penyelidikan –penyelidikan
yang lebih banyak dibutuhkan untuk menjelaskan isu tersebut.
Dosis tinggi kortikosteroid (prednison 40-60 mg/hr) atau Azatioprine (2-4 mg/kg/hr) atau
dua-duanya diberikan setelah plasma exchange akan melindungi pasien dari suatu krisis
yang berulang bila efek perbaikan dari plasma exchange mulai berkurang.
Suatu gangguan neuromaskuler yang lain yang menyebabkan kelelahan dan bisa
menyerupai myasthenia gravis adalah Eaton-Lambert Syndrome (ELS), yang terjadi
pada 3-5% penderita small cell carcinoma dari paru-paru dan jarang pada penderita
dengan gangguan autoimun yang lain. Kelemahan proksimal pada otot gelang panggul
dan bahu disertai penurunan refleks ditemukan pada lebih dari 90% kasus. Keterlibatan
bulbar yang ringan, lebih sering ptosis, dan disfungsi otonom ditemukan pada 2/3 pasien.
Gejala klinis eaton-Lambert Syndrome (ELS) adalah kelemahan yang fluktuatif
dan progresif secara perlahan-lahan. Secara paradoks, maka kekuatan justru bisa
mengalami perbaikan sementara setelah kontraksi otot yang berulang-ulang. Perbaikan
setelah pemberian tensilon tidak begitu jelas dan AchR Ab tidak dapat dideteksi.
Terjadinya pembesaran CMAP lebih dari 40% setelah kontraksi volunter maksimal
selama 15 detik atau setelah stimulasi repetitip dengan frekwensi 50/detik konsisten
dengan diagnosa ELS.
Terapi awal pada ELS termasuk identifikasi dan pengobatan keganasan yang
menyertai atau gangguan autoimun (bila ada). Zat-zat kholinergik, seperti guanidine
hyrokholid atau 3-4 diaminopiridin, yang memudahkan pelepasan Ach, dan
kortikosteroid efektif mengurangi gejala-gejala.
Gejala dari Botulism secara superfisial bisa menyerupai myasthenia gravis.
Bagaimanapun onset biasanya mendadak dan progresif secara cepat disertai gejala-gejala
gastrointestinal. Toksin botulinum mempengaruhi pelepasan Ach dari membran
presinaptik. Bila dosis toksin rendah, akan terjadi suatu kelemahan yang ringan dan
disfagia.
Kebanyakan penderita botulism menderita kelemahan, pandangan yang kabur,
nausea dan vomitus dalam 18-36 jam setelah terkena toksin. Reaksi pipil yang
menghilang membantu membedakan botulismus dari gangguan paut saraf-otot
24

(neuromascular junction) yang lain. Bantuan ventilator untuk otot-otot pernafasan sering
kali diperlukan. Serum dan feses seharusnya diperiksa untuk menemukan toksin
botulinum dan C. Botulinum. Sebagai tambahan makanan yang dicurigai sebagai
penyebab seharusnya juga diperiksa.
Pada stimulasi repetitif dengan frekwensi 3/detik, tampak suatu penurunan amplitudo
(decrement) CMAP, sedangkan adanya fasilitasi respons motorik denagn stimulasi
dengan frekwensi cepat 50/detik mendukung suatu diagnosis botulism.
Bila dicurigai suatu botulism, iv infus 2 vial trivalent (ABE) antitoksin botulism
(10.000 IU dari setiap vial ) harus diberikan segera.
Diperlukan kewaspadaan terhadap suatu kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis
karena derivat antitoksin ini berasal dari serum kuda. Antitoksin tidak menetralisir toksin
yang mengikat reseptor tapi efektif sebagai antidote terhadap toksin sebelum ia mengikat
reseptor tersebut; dengan demikian gejala-gejala klinis mungkin tidak mengalami
perbaiakn segera.
Katartik dan enema bisa menurunkan level toksin, gastric lavage dan emetika sebaiknya
diberikan, juga harus dihindari terjadinya aspirasi karena kelemahan bulbar.

Kelemahan akut akibat gangguan pada otot :


Miopati inflamasi (polimiositis dan dermatomiositis) dapat menghasilkan
kelemahan yang nonfluktuatif secara akut dan subakut. Biasanya kelemahan lebih banyak
di proksimal, termasuk otot-otot leher, berkembang dalam beberapa minggu sampai
bulan, dan bisa berhubungan dengan disfagia, mialgia, artralgia dan kemerahan pada
kulit. Kadangkala kelemahan tidak begitu dominan, dimana nyeri otot lebih utama.
Gejala yang khas dari kelemahan proksimal adalah kesukaran dari duduk hendak berdiri
dari kursi, kesulitan menaiki anak tangga dan mengangkat tangan di atas kepala, dan
suatu gaya berjalan bergoyang. Cretinine phosphokinase (CPK) meningkat pada 2/3
penderita, dan EMG menunjukkan adanya aktivitas spontan yang akut dengan gambaran
motor unit dengan amplitudo kecil-kecil dan polifasik, dan pada biopsi otot terlihat
adanya inflamasi (Tabel 6)
25

Terapi awal biasanya dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi (prednison 50-
100 mg). Pada beberapa penderita yang berat penyakitnya, diperlukan pemberian
makanan secara parenteral, monitoring jantung, dan kadangkala alat bantu pernafasan.
Follow-up klinis yang ketat mengenai derajat kelemahannya dan peningkatan CPK
diperlukan untuk menentukan lama dan besarnya dosis steroid yang diberikan.
Pasien yang intoleran atau refrakter terhadap steroid lebih baik menggunakan
imunosupresan yang lain seperti azathioprine, siklofosfamid dan metotreksat.
Tabel 6 Pertimbangan emergency pada polimiositis
Klinis:
Kelemahan yang proksimal dan non-fluktuatif
Rash atau penyakit jaringan ikat yang berhubungan
Muscle tenderness
Refleks seringkali masih ada
Laboratoris :
Peningkatan CK
EMG dan biopsi yang abnormal
Penatalaksanaan :
Evaluasi penyakit autoimun yang berhubungan dan maligamentumnancy
Terapi imunosupresif
Follow-up klinis dan laboratoris yang ketat
Bila berfluktuasi maka lakukan evaluasi kardiologis dan pernafasan

Paralisis Periodik (PP) adalah suatu sindroma klinis dengan kelemahan akut
yang mencolok pada anak dan dewasa muda. Penyakit yang berat dapat dimulai pada
masa anak-anak, sedangkan kasus-kasus yang ringan seringkali mulai pada dekade
ketiga. Mula-mula serangan jarang terjadi, namun dengan berjalannya waktu serangan-
serangan terjadi lebih sering, malahan bisa tiap hari.
Penderita mengalami kelemahan bagian proksimal ekstremitas yang cepat dan progresif,
tapi otot-otot kranial dan pernafasan biasanya terhindar dari kelemahan.
26

Serangan dapat menyebabkan kelemahan yang asimetris dengan derajat kelemahan yang
berbeda pada beberapa golongan otot saja sampai pada suatu kelumpuhan umum.
Kelemahan biasanya menghilang dalam beberapa jam, namun defisit yang permanen bisa
terjadi pada penderita yang sering mendapatkan serangan.
Tingkat kesadaran umumnya normal (tabel 7)
Diagnosa yang cepat umumnya menunjukkan adanya suatu gangguan pada serum
kalium (K) dan perbaikan klinis sesuai dengan kadar K yang kembali normal.
Bentuk lain hiperkalemia dan hipokalemia sering terjadi, dan hipokalemia
paling sering terjadi dan biasanya berhubungan dengan tireotoksikosis.
Patofisiologi dari keadaan-keadaan ini belum begitu jelas, namun agaknya disebabkan
oleh pergeseran intraseluler dari kalium dan kemungkinan juga fosfat yang disebabkan
oleh perubahan pada aktivitas pompa Na/K adenosine-trifosfatase atau voltage gated
calcium channels.
Hipokalemia yang berat bisa emnyebabkan kelemahan pada orang normal, namun
kelemahan yang terjadi tak pernah separah penderita yang memang menderita penyakit
hipokalemi sebelumnya.
Pada PP dengan hipokalemi primer, biasanya serangan dapat terjadi setelah makan
karbohidrat yang banyak atau exercise, bila ada riwayat dalam keluarga adanya serangan-
serangan serupa.
Pada biopsi otot sering ditemukan vakuola sentral selama suatu serangan yang spontan
atau setelah pemberian infus glukosa dan insulin (yang mempresipitasi kelemahan).
Pada hiperkalemi biasanya serangan lebih pendek (beberapa menit sampai jam) dan bisa
dihambat dengan pemberian glukosa. Infus dengan kalium akan memperberat kelemahan
dan pada EMG seringkali terlihat adanya miotoni.
Serangan akut pada PP hipokalemi primer dan PP tireotoksik (hipokalemi)
berespon terhadap pemberian kalium secara oral Kalaium iv tidak direkomendasikan,
karena dapat menghasilkan hiperkalemia yang membahayakan hidup (life threatening).
Terapi profilaksis dengan azetasolamid dosis rendah efektif dalam mencegah serangan
berulang dari PP hipokalemia primer, sedangkan propanolol terlihat lebih efektif pada PP
tireotoksik.
27

Pengobatan terhadap PP hiperkalemia barangkali tidak perlu, bila penderita dapat


menghilangkan kelemahan dengan memakan glukosa.
Seperti juga pada polineuropati maka pada miopati juga bisa terjadi suatu critical
illness myopathy yang juga seringkali tidak terdeteksi keberadaannya karena secara klinis
mirip dengan critical illness polineuropathy.
Dalam kepustakaan disebutkan dengan berbagai nama yang berbeda-beda antara lain
miopati akut, miopati kwadriplegia akut, critical care myopathy, acute necrotizing
myopathy, miopati akut disertai kehilangan selektif filamen miosin.
Biasanya dimulai dengan adanya suatu gangguan pernafasan yang akut seperti acute
respiratory distress syndrome, pneumania atau asma berat yang berhubungan dengan
pemakaian iv, steroid dengan dosis tinggi, non depolarizing blocking agents dan
aminoglikosida, juga tranmsplantasi hati dan paru, kegagalan hepar (hepatic failure) dan
asidosis.
Bahwa seringkali terjadi critical illnes polinueropathy dan myopathy secara
berbarengan membuat penegakan diagnosa semakin sulit.
Terdapatnya sensory nerve action potentials (SNAP) yang normal dengan CMAP
yang kecil-kecil menunjukkan adanya critical illness myopathy, namun perlu disebutkan
bahwa SNAP yang kecil atau hilang, yang menunjukkan adanya suatu neuropati, tidak
mengesampingkan diagnosa critical illness myopathy
Kecepatan hantar saraf yang lambat disertai conduction block tidak konsisten
keberadaannya baik pada critical illness polineuropathy maupun myopati.
Motor unit potensials yang kecil, polifasik dengan duration yang pendek dengan suatu
interference pattern walaupun ada kelemahan otot, menunjukkan bahwa ada suatu
miopati. Fibrilasi bisa ada, namun bisa juga tidak ada pada pemeriksaan EMG dan juga
kadar CK seringkali normal, sehingga sukar membedakan miopati dengan neuropati.
Dengan demikian maka biopsi otot memang sangat diperlukan dan menentukan.
Prognosa critical illnesss myopathy tergantung dari penyakit yang mendasarinya dan
umur penderita. Pada penderita yang masih muda dengan status asthmaticus
penyembuhan yang senpurna terjadi dalam 2-3 bulan. (Gutmann & Gutmann,1999)
28

Tabel 7 Pertimbangan emergency pada paralisis periodik


Klinis:
Onset yang cepat dengan kelemahan paroksismal dan tanpa disertai nyeri
Otot-otot kranial dan pernafasan masih baik
Tidak ada gangguan sensibilitas
Biasanya terjadi sebelum umur 30 tahun dan ada riwayat dalam keluarga
Laboratoris:
Gangguan serum kalian (K+)
Bila K+ rendah, periksa fungsi tiroid
Bila K+ tinggi: cari apa ada obat-obatan yang menyebabkan CK normal
Penatalaksanaan:
Pemberian oral atau iv glukosa bila K tinggi
Pemberian oral K bila K rendah
Monitoring jantung sampai kalium normal
Tes provokasi setelah episode akut berlalu untuk menetapkan diagnosa

Mioglobinuri dan Rabdomiolisis:


Nekrosis otot akut (rabdomiolisis) menyebabkan perlepasan mioglobin kedalam
sirkulasi, protein dengan berat molekul yang kecil ini secara cepat di filtrasi glomerulus
ginjal dan menghasilkan urine yang coklat kemerahan bila konsentrasi mencapai 1 mg
/mL atau lebih. Dengan menggunakan dipsticks kedalam urine yang biasanya dipakai
untuk memeriksa adanya darah (Hemastix), juga dapat digunakan untuk mendeteksi
adanya mioglobin. Mioglobinuri harus dicurigai bila dipsticks urine adalah heme positif
dan sedimen urine yang mengandung beberapa sel darah merah atau pigmentasi granuler
yang gelap.
Serum dan urine sebaiknya diperiksa untuk melihat adanya mioglobin. Semua penderita
pigmentasi granuler yang gelap.
Komplikasi utama dari mioglobinuri adalah gagal ginjal yang akut (acute renal
failure/ ARF) sebagai akibat dari nekrosis tubular. Kegagalan respirasi juga dapat terjadi
bila kelemahan otot-otot berat, dan dapat pula terjadi suatu aritmia jantung sekunder yang
fatal sebagai akibat dari hiperkalemia atau hipokalemia. Karena bisa terjadi komplikasi-
29

komplikasi yang fatal ini, maka adalah penting sekali untuk segera menegakkan diagnosa
sehingga dapat diberikan terapi yang sesuai (Tabel 8)
Gejala rabdomiolisis antara lain adalah nyeri dan bengkak pada ekstremitas,
kelemahan, nyeri kepala, mausea dan vomitus. Jika berat, penderita bisa kolaps dan
koma. Urine menjadi gelap sampai 24 jam setelah suatu episode. Otot-otot anggota gerak
yang besar sering kali terkena, sedangkan otot-otot kranial dan pernafasan jarang terlibat.
Otot terasa seperti ”adonana’ ((doughy) saat dipalpasi.
Latihan berat yang tak lazim dilakukan dan dehidrasi (dikenal dengan ”march
myoglobimuria” pada latihan ketentaraan) bisa menghasilkan rabdomiolisis.
Mioglobuinuri juga bisa terjadi setelah suatu kecelakaan (major crush injuries) atau
setelah kerusakan otot langsung pada konvulsi atau setelah kena shok listrik yang berat
atau bila dalam keadaan tidak sadar badan menekan pada suatu ekstremitas.
Iskemia, berbagai toksin, obat-obatan, dan infeksi virus juga dapat menyebabkan
mioglobinuri (Tabel 9)

Tabel 8 Pertimbangan emergency pada rabdomiolisis dan mioglobinuri


Klinis :
Kelemahan akut dari otot-otot yang bengkak dan nyeri
Sebelumnya telah melakukan latihan yang berat
Iskemia otot.
Terkena mitoksin
Ada riwayat urine yang berwarna gelap
Ada riwayat kramp bila melakukan latihan
Laboratories :
Urine : heme positif tapi tak ada eritosit dalam sedimen
Periksa terhadap adanya mioglobin
Serum : CK, K, Ca. P
Kreatinin, BUN
Tentukan adanya mioglobin
Periksa adanya toksin : mikotoksin
Periksa kemungkinan adanya dic (dissemination intravascular coagulation)
30

Pengobatan :
Hidrasi yang agresif
Elektrolit yang abnormal dikoreksi
Monitoring terhadap gagal ginjal dan aritmia jantung
Hilangkan bila ada mikotoksin

Defisiensi enzim yang spesifik yang dibutuhkan untuk metabolisme glikogen atau
lipid secara berulang-berulang dapat menyebabkan mioglobinuri yang dipresipitasi oleh
exercise, dan yang paling sering adalah penyakit Mc Ardle.
Mioglobinuri juga bisa terjadi pada penderita miopati inflamasi dan distrofi
muskuler dan penyakit neuromuskuler khronis yang lain setelah kelakuan psikiatrik yang
hebat dan seringkali pula obat-obatan neuroleptik menjadi penyebabnya.
Akhir-akhir ini juga terdapat kasus rabdomiolisis yang dihubungkan dengan
pemakaian obat-obatan derivat statian antara lain Baycol atau Lipobay yang telah ditarik
dari pasaran. Baycol/Lipobay ditarik setelah dihubungkan dengan insidens terjadinya
rabdomiolisis yang lebih tinggi dibandingkan dengan statin yang lain yang telah berada di
pasaran. Penemuan dari Bayer corporation adalah bahwa beebrapa orang yang memakan
Lipobay/ Baycol mengalami rabdomiolisis, suatu keadaan yang membahayakan jiwa
yang menyebabkan pemecahan otot yang hebat dan isi sel otot masuk kedalam aliran
darah. Hal ini akhirnya dapat menyebabkan suatu gagal ginjal dan kematian FDA telah
melaporkan adanya 31 kematian di USA yang berhubungan dengan pemakaian
Baycol/Lipobay akibat rabdomiolisis.
Gejala yang timbul adalah nyeri otot, terutama di bagian punggung bawah dan betis
disertai kelemahan dan nyeri, urine yang gelap, nausea, muntah disertai panas.
Rabdomiolisi yang fatal paling sering dilaporkan bila dipakai
 Pada dosis tinggi
 Pada pasien-pasien tua
 Bila digunakan bersamaan dengan fibrat (gemfibrozil/lopid)/ suatu obat penurun
kholesterol yang lain.
31

Tabel 9 Penyebab mioglobinuri


Setelah melakukan pekerjaan yang Infeksi
berat : Influenza
Kejang yang lama Legionella pneumoniae
Pekerjaan yang sangat berat (gerak jalan Pneumonia pneumokok
yang dipaksakan)
Aktivitas berlebihan pada keadaan
psikiatrik
Adanya penyakit otot yang menyertai
Trauma/ iskemia : Neuromuskuler :
Crush injuries miositis/ dermatomiositis
Koma dgn kompresi otot hipertemia maligamentumnan
Shock miopati dgn hipertermi maligamentumnan
Prosedur pembedahan central core disease
Shock listrik atau petir sindroma miotonia
Okulasi arteril distrofi Duchenne
Compartment syndrome Neuroleptic Maligamentumnant Syndrome
Toksik : Miopati lipid :
Alkohol defisiensi karnitin palmitil transferase
Heroin Glycogen storage disorder :
Amfetamin defisiensi asam maltase
Kokain defisiensi miofosforilase (peny Mc Ardle)

Lovastatin defisiensi fosfofruktokinase


defisiensi fosfogliserat kinase
Klofibrat
defisiensi fosfogliserat mutase
Barbitural
defisiensi laktat dehidrogenase
Suksinilkholin
Amfoterisin B
Khlorokuin
Vinkristin
Likoris (glikorisat)
Toksin tetanus
Racun ular .
32

Etiologi dari neuroleptic malignant syndromr (NMS) belum diketahui dengan pasti,
namun disangka adanya hubungan dengan mekanisme domapinergik.
NMS merupakan suatu gangguan yang bisa berakibat fatal dengan gejala perubahan status
mental, rigiditas otot, hipertemia disertai disfungsi otonom dan terjadi pada 0,2% penderita yang
mendapatkan obat-obatan neuroleptik. Faktor risiko untuk NMS adalah organic brain syndrome,
ganggaun pada mood, dehidrasi, agitasi, kecapaian, dan pemberian neuroleptik yang cepat atau
secara parental.
Terapi NMS adalah pemberian cairan, penurunan suhu, monitoring jantung, pernafasan dan
fungsi ginjal. Walaupun ada yang mengatakan bahwa pemberian bromokriptin dan dantrolen
dapat berguna, namun belum ada uji klinik yang prospektif dan terkontrol yang menyatakan
demikian.
Semua penderita rabdomiolisis seharusnya dimonitor untuk mendeteksi adanya kegagalan
ginjal dan aritmia jantung. Hidrasi yang agresif, alkalinisasi urine, dan pembersihan beberapa
obat toksik perlu dilakukan . Pemeriksaan serial CKs, kreatinin, BUN (blood urea nitrogen), dan
elektrolit, termasuk kalsium dan fosfor perlu dilakukan. Dialisis diperlukan jika kegagalan ginjal
progresif.
Hipokalsemia akibat hiperfosfatemi dari pemecahan sel (cellular breakdown) seringkali terjadi
pada permulaan rabdomiolisis akibat gagal ginjal. Bila urine telah mengalir kembali, maka dapat
terjadi hiperkalsemia. Dengan demikian kalsium hanya diberikan pada komplikasi yag
membahayakan hidup pada fase oligamentumuri.
Hiperkalemia akibat celluler brekdown dan disfungsi ginjal biasa terjadi dan membutuhkan terapi
dengan natrium bicarbonat, infus glukosa-insulin, resin atau dialisis.

Komplikasi Paru-paru karena Gangguan Neuromuskular :

Pasien-pasien dengan penyakit neuromuskular mempunyai risiko mendapatkan


komplikasi paru-paru yang membahayakan hidup pada setiap tingkatan penyakitnya, apakah saat
sadar atau sedang tidur. Dokter yang tidak waspada dan tidak mengenal gejala-gejala non-spesifik
dari respiratory distress akan terperanjat dan tidak siap bila seorang pasien dengan suatu
”kelemahan yang ringan ” tiba-tiba berkembang menjadi suatu kegagalan respirasi (respiratory
failure). Meskipun beberapa penderita gangguan neuromuskular dengan kegagalan respirasi akan
mengalami tanda-tanda klinis dari respiratory distress, termasuk retraksi interkostal dan
suprasternal, pernafasan cuping hidung, sianosis, namun ada juga penderita-penderita yang lain,
dimana kelemahannya menutupi gejala-gejala tersebut, hanya tampak confused, agitasi, atau
33

penurunan kesadaran (drowsy) atau mungkin mengeluh sakit kepala. Denga gejala-gejala yang
non-spesifik ini, semua pasien dengan kelemahan akut seharusnya dimonitor di ICU dengan
analisis gas darah serial dan tes fungsi paru. Suatu team medis medis dan keperawatan yang siap
mengantisipasi intubasi tracheal bila terjadi suatu kasus emergency.
Penderita dengan penyakit neuromuscular progresif yang koma, seperti penyakit cornu
anterior ( Amyotropic Lateral Sclerosis/ ALS, Spinal Muscular Atrophies/ SMA) dan
miopati dengan kelaianan genetik (Duchene, Becker, miopati pada gelang bahu dan panggul
dan distrofi otot miotonik ) sering meninggal aikibat kegagalan otot-otot respirasi. Pada
kelemahan diafragma dan otot-otot interkostal dan otot-otot pendukung fungsi respirasi
dibutuhkan ventilator. Disfungsi bulbar menyebabkan sukar batuk dan meningkatkan resiko
terjadinya pneuomonia karena aspirasi. Selain itu, gerakan ekstrimitas pasien yang terbatas dapat
menyebabkan deep venous thrombosis (DVT) dan emboli paru.
Pneumonia seringkali tak terlihat pada pasien dengan kelumpuhan dan yang menggunakan kursi
roda. Pada penderita-penderita demikian, ini yang mempunyai reserve pulmonair yang hanya
sedikit, maka suatu infeksi saluran pernafasan yang menyebabkan kesukaran bernafas menjadi
suatu emergency.
Imunisasi terhadap influenza dan pneuomokokus sebagai profilaksis dianjurkan untuk semua
pasien-pasein ini.
Kegagalan pernafasan telah dilaporkan pada berbagai penyakit neuromuskular seperti
distrofi miotonik, miopati kongenital, miopati okular, defisensi acid maltase dan
poliomeielitis, dimana sebetulnya kelemahan tidak begitu berat untuk menyebabkan kegagalan
perbafasan tersebut. Respons ventilator yang berkurang terhadap tekanan oksigen yang berkurang
atau peninggian tekanan CO2 yang meninggi dianggap sebagai penyebabnya sehingga sebetulnya
kekuatan otot untuk berbafas masih ada, namun repons khemoreseptor sentral yang kurang.
Hiporespons terhadap hipoksemi atau hiperkapnia menerangkan mengapa pada penderita
penyakit neuromuskuler terjadi kegagalan pernafasan pada anestesi umum atau sebagai akibat
dari obat-obatan yang menekan pernafasan.
Pada semua penderita penyalit neuromuskuler harus diantisipasi akan terjadinya
komplikasi respiaratoir dan harus ditindaklanjuti untuk mengembalikannya pada keadaan-
keadaan yang reversibel. Rontgen paru-paru harus dibuat untuk menyingkirkan adanya infiltrat
paru dan suatu EKG/ elektrokardiogram perlu dibuat untuk mengevaluasi adanya cor-pulmonale
dan aritmia kardial. Bila terjadi ekgagalan pernafasan yang diakibatkan oleh eklemahan otot
pernafasan adalah ireversibel, maka penggunaan ventilator perlu dipertimbangkan dengan
pembicaraan terlebih dahulu dengan penderita maupun keluarganya mengenai pembiayaannnya.
34

Komplikasi jantung karena gangguan neuromuskular:

Komplikasi jantung pada penyakit neuromuskular etrmasuk congestive heart failure dan
disfungsi pada sistim konduksi, disritmia atau blok jantung. Disfungsi jantung sebagai akibat
ketidaksabilan otonom pada AIDP, gangguan kalium pada periodic paralisys dan inflamasi
miokard pada miopati inflamasi sudah dijelaskan dibagian depan.
Lebih dari 2/3 dari pasien dengan myotonic dystrophy (MYD) mempunyai gambaran
EKG yang abnormal, termasuk blok pada induksi dan aritmia.
Kegagalan jantung tidak terlihat dari akhir penyakit ini, tatapi terjadinya sinkop dan kematian
mendadak merupakan gambaran adanya suatu blok jantung yang komplit atau takhikardi
ventrikuler. Perlu dipertimbangkan penggunaan suatu pacemaker bila terdapat gangguan
konduksi yang progresif pada EKG serial, dan juga pada simus bradikardi yang simptomatik.
Obat-obatan yang umumnya digunakan pada otot-otot myotonia (quinin, prokainamit, fenitoin)
bisa menekan konduksi jantung dan sebaiknya dihindari pada pasien dengan interval konduksi
yang memnjang pada gambaran EKG –nya.
Keterlibatan miokard dapat terjadi pada Duchenne’s Muscular Dystropy(DMD) tapi
biasanya tidak terdeteksi hingga stadium lanjut. Takhiaritmia umumnya terjadi dan kematian
mendadak pernah dilaporkan, namun congestive heart failure biasanya tidak terjadi, mungkin
karena aktivitas pada penderita-penderita ini terbatas sekali.
Digitalis dapat digunakan dengan keberhasilan terbatas pada pengobatan takhiaritmia dan gagal
jantung pada DMD.
Cor-pulmonale kadang-kadang dapat terjadi pada stadium akhir pada berbagai penyakit
neuromuskuler yang progersivitasnya lambat (spinal muscular atrophies, distrofi) sebagai akibat
dari hipoksia khronik yang tak terdeteksi.
Oleh sebab itu, maka oksigen per-nasal harus diberikan bila terjadi hipoksia.
Beberapa gangguan yang menimbulkan oftalmolfegi eksternal yang progresif terutama sindroma
Kearns-Sayre terjadi kematian karena blok jantung yang komplit, maka pemasangan pace maker
dapat emmpertahankan hidup.

Ringkasan :
Kelemahan akut yang diakibatkan oleh suatu gangguan neuromuskular dapat terjadi
karena disfungsi pada kornu anterior, saraf perifer, paut saraf- otot (neuromuscular
junction), atau otot. Sebelum penyebab dan diagnosa ganggaun neuromuscular belum
dapat ditegakkan dengan tepat, penting diperhatikan fungsi-fungso vital pasien dan
35

tindakan-tindakan suportif untuk menyelamatkan hidup. Setelah fungsi kardiopulmonal


stabil, harus dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan
lokasinya gangguan neuromuskular tersebut dan menyingkirkan kemungkinan-
kemungkinan kelemahan yang disebabkan oleh disfungsi disentral yaitu di susunan saraf
pusat. Pemeriksaan serum, likuor, EMG (elektromiografi), kecepatan hantar saraf
(KHS/NCV=nerve conduction velocity), biopsi otot atau saraf dapat dilakukan agar dapat
dibuat suatu diagnosis yang pasti sehingga dapat diberikan pengobatan yang lebih
optimal.
Umumnya kegawatdarutan neuromuskular berkembang sebagai suatu problema
sekunder pada pasien yang diketahui mempunyai suatu penyakit neuromuskular atau
sistemik. Hal ini penting sekali untuk mengantipasi terjadinya komplikasi sehingga
pengobatan dapat dilakukan secara berkesinambungan untuk mencegah terjadinya suatu
krisis yang tiba-tiba, termasuk tindakan-tindakan untuk menunjang kehidupan, bila
kelemahan yang terjadi mendadak dan ireversibel.
36

iii. Krisis Miastenia


3. HAR Toyo
Pendahuluan :
Krisis Miastenia (KM) terjadi bila kelemahan yang dijumpai pada miastenia gravis
bertambah sedemikian rupa sehingga perlu dilakukan intubasi untuk memberikan bantuan
ventilator atau melakukan proteksi jalan nafas agar tetap lancer. Pada perjalanan
penyakitnya, yaitu biasanya dalam 2-3 tahun setelah diagnosa ditegakkan, maka 12 –
16% pasien miastenia gravis (MG) mengalami suatu krisis miastenia.
KM terjadi bila kelemahan miastenik mempengaruhi otot-otot pernafasan sehingga
pernafasan terganggu dan merupakan keadaan yang membahayakan ; dalam keadaan ini
volume udara didalam paru-paru menurun, dan ini dikenal sebagai atelektasis. Pasien
dengan KM memderita suatu kegagalan pernafasan sehingga memerlukan intubasi dan
ventilasi secara mekanis. Krisis dapat terjadi karena infeksi (40%) atau secara spontan
(30%). Klausa lain dari km adalah aspirasi, kehamilan, obat-obatan dan operasi. Kira-kira
seperempat penderita KM dapat lepas dari ventilator dalam seminggu, 50% dalam 2
minggu 75% dalam sebulan. Kira-kira sepertiga pasien KM akan mengalami suatu krisis
yang kedua.
Kemungkinan terjadinya krisis miastenia terutama pada pasien yang dalam riwayat
penyakitnya pernah krisis sebelumnya, ada kelemahan orofaringeal, atau timoma. Ada
beberapa pencetus / trigger antara lain infeksi, aspirasi, stress emosional dan fisik, dan
perubahan pengobatan.
Penatalaksanaan KM dapat dilakukan dengan lebih baik, bila dilakukan dengan
suatu pendekatan tang terencana dengan baik, sehingga dapat menolong pasien MG
dengan baik melalui krisis miastenia-nya dalam waktu yang sependek mungkin, sehingga
mencegah terjadinya disabilitas yang permanent.
Penatalaksanaan pasien dalam krisis miastenia termasuk :
1. konfirmasi diagnosa Miastenia Gravis (MG),
2. mencari pencetus / trigger yang secara potensial dapat diobati dan
3. menentukan apakah pasien memerlukan intubasi atau pembatasan menelan.
37

Konfirmasi diagnosa

Pasien dalam KM dibagi dua, yaitu : yang sudah di diagnosa MG dan yang belum.
Pemikiran para klinisi mengenai penyebabnya ama untuk kedua golongan ini, karena
beberapa hal :
* diagnosa yang dibuat sebelumnya adalah salah.
* kegagalan pernafasan yang subakut yang menyerupai KM dapat terjadi oleh karena :
 Miopati sekunder e.c. gangguan elektrolit atau defisiensi asam maltase
 Neuropati seperti pada Guillain Barre dan motor neuron disease (MND)
 Penyakit pada paut saraf-otot yang lain (neuromuscular junction) seperti
botulisme, toksisitas yang disebabkan oleh organofosfat, overdosis inhibitor
asetilkholinesterase dan sindroma Lamber Eaton dan lesi sentral termasuk
kompresi servikal atau batang otak karena suatu massa yang mengekspansi.

Berdasarkan riwayat penyakit pasien dan penemuan dalam pemeriksaan fisik, maka
seseorang ahli saraf dapat melokalisasi problema-nya dan menganjurkan berbagai tes
tambahan untuk menunjang diagnosa.

Gejala klinis Krisis Miastenia (KM) :


Kelemahan otot disebabkan oleh kekurangan jumlah Asetilkholin (Ach).
* Pada pemeriksaan tes tensilon akan terjadi perbaikan langsung pada
kontraksi otot.
* Gejala – gejala utama adalah :
 Denyut nadi yang cepat
 Hilangnya refleks batuk dan menelan
 Respons positif terhadap tes Tensilon
Pasien yang akan memasuki KM menunjukan gangguan bulber dan kelemahan
eksremitas bagian proksimal yang berat. Ini seringkali juga disertai ptosis yang jelas,
kelemahan rahang dan kegagalan pernafasan diafragmatik. Juga kelemahan akan lebih
jelas pada tes-tes yang diulang-ulang. Tes yang biasa dipakai adalah ”pump handle tes”
dimana si pemeriksa secara berulang-ulang menekan lengan pasien yang dalam keadaan
38

abduksi kedada pasien, dimana pasien harus bisa melawan secara aktif. Pada pasien yang
lebih berat, maka rahang juga lemah dana agak menggantung. Suatu tes yang
karakteristik adalah menyuruh pasien melihat keatas dan memfiksasi kesuatu obyek,
Dimana setelah itu akan terjadi penurunan kelopak mata secara bertahap sampai menutup
sama sekali. Otot-otot mata ekstraokuler bisa melemah dalam abduksi dan aduksi
sehingga bisa menyebabkan suatu paralisis aduksi bilateral dengan kelemahan abduksi
yang ringan yang menyerupai suatu oftalmoplegi yang internuklear (INO)
Keraguan dengan adanya suatu lesi primer dibatang otak bisa terjadi. Kelemahan
bulber masih menjadi salah satu gejala utama, karena akan menyebabkan kegagalan
untuk menjaga jalan nafas pernafasan bagian atas (airway), karene pasien tidak bisa
menelan sekresi air liur dengan baik. Pada pasien yang tidak begitu berat akan tampak
disartri bila disuruh membaca suatu kalimat tertentu.
Bila saliva harus disedot secara berkala, merupakan indikasi bahwa terdapat suatu
kelemahan nasofaringeal dan bulber yang jelas. Kelemahan otot muka secara bilateral
biasanya menyebabkan suatu tarikan muka seperti sedang geram sehingga tidak dapat
memonyongkan bibir atau bersiul. Tarikan muka geram tersebut biasanya menetap,
karena fungsi m levator labii superior masih baik, namun ada kelemahan dari m
zygomaticus dan buccinator.
Suatu suara yang serak dan berbunyi gemeretak menjadi khas dan biasanya akan
tersedak oleh cairan sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya aspirasi. Kelemahan
otot pernafasan mempunyai karaketristik yang seharusnya gampang dikenal , namun
seringkali tak terdeteksi. Bila ASTRUP normal dan saturasi oksigen normal, belum
berarti bahwa pasien sudah tidak dalam keadaan bahaya lagi, karena berlainan dengan
sindron Guillain Barre atau penyakit neuromuskuler lainnya, kegagalan pernafasan pada
KM sangat sukar dinilai. Kegagalan pernafasan pada KM tidak bisa berdasarkan pada
kapasitas vital, tekanan inspiratoir dan ekspiratoir saja, karena ada fluktuasi yang besar
selama sehari, bahkan dalam satu jam. Keputusan untuk melakukan intubasi makanya
menjadi sangat sukar dan seringkali menyebabkan frustasi. Kegagalan pernafasan harus
dideteksi secara dini bila pasien sesak pada setiap perubahan posisi; yang paling jelas
adalah bila pasien harus terlentang, namun juga hanya dengan membuka baju pada
pemeriksaan auskultasibisa akan terjadi frekwensi pernapasan yang meninggi. Suara
39

pasien yang berbunyi gemertak juga akan seperti stakato dan pasien harus berhenti
berbicara berkali-kali untuk mengatakan suatu kalimat. Biasanya ada takhikardia dan
takhipnoe yang ringan. Alis biasanya agak berkeringat dan basah. Dan bila diperhatikan
dengan seksama, akan terlihat m accessories dipakai pada kontraksi. Pernapasan
Paradoksal, suatu fenomen yang terjadi bila pasien pada inspirasi ada suatu gerakan
kearah dalam (inward movement) dari abdomen merupakan fenomen yang akan terjadi
pada fase lambat dari suatu penyakit neuromuskuler yang sudah lama dan terjadi karena
diafragma gagal berkontraksi sehingga menyebabkan gerakan dada keluar, namun karena
tekanan negative dari pleura akan terjadi suatu tarikan kedalam dari abdomen.
Pemeriksaan neurologist juga harus termasuk meng-ases beratnya kelemahan bulber,
kelemahan ekstremitas atas, mengangkat kapala dan juga fungsi otot-otot pernafasan dan
kontraksi diafragma. Juga harus dicari semua pencetus / trigger yang bisa berpengaruh.

Trigger / Pencetus :

Beberapa kejadian sewaktu-waktu berhubungan dengan terjadinya krisis (KM) sehingga


bisa merupakan pencetus / trigger. Infeksi berhubungan dengan 30-40% krisis, dan yang
paling sering adalah infeksi jalan pernafasan ats yang disebabkan virus, bronchitis, dan
pneumonia bacterial.
Aspirasi pneumoni berhubungan dengan 10% krisis dan juga ada hubungan dengan
stress fisik, seperti trauma dan fisik, seperti trauma atau operasi, termasuk timektomi dan
perubahan dalam pengobatan, termasuk pengobatan yang harus dihindari dan perubahan
dosis inhibitor AChE dan pemakaian baru atau tapering dari obat-obatan kortikosteroid.
Pada 30-40% krisis tidak dapat ditemukan pencetus / trigger.
Obat-obatan yang dapat menambah kelemahan pada MG dan menyebabkan krisis
miastenia (KM) adalah sbb :
Obat-obatan Anti-aritmia
Kuinidin
Procainamid hidrohhlorid (Procanbid, Pronestly)
Antibiotika
Aminoglikosid
40

Derivate kuinin termasuk kuinolon


Obat-obatan Anti-hipertensif
Penghambat Beta
Penghambat saluran kalsium (Calcium channel blockers)
Obat-obatan yang mengandung Magnesium
Magnesium sulfat dan sitrat

Neuromuscular blocking agents


Suksinilkholin khlorida (Anectine, Quelicin)
Derivate kurare
Kortikosteroid yang sebelumnya dipakai dalam dosis tinggi.

Trigger-trigger lain yang non spesifik adalah :


* infeksi dan influensa (virus)
* aktivitas fisik
* Stres seperti keadaan emosional yang tinggi
* kehamilan
* Operasi dengan anestesi umum (terutama yang menggunakan
nondepolarizing muscle relaxants)
* hipotiroid
* Sewaktu, selama atau setelah siklus haid
* Perubahan suhu yang terlalu dingin atau terlalu panas.
Untuk mencari pencetus / trigger harus diperiksa dengan teliti sistem-sistem organ
dengan memperhatikan adanya febris, menggigil, batuk, sakit dada, disfagia, regurgitasi
cairan dihidung dan disuri. Harus dibuat riwayat penyakit yang teliti dengan menelusuri
apakah ada trauma, operasi dan pemakaian obat-obatan.
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan memeriksa suhu, telinga, hidung dan tenggorokan,
auskultasi dada dan pemeriksaan abdomen.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan memeriksa leukosit dengan diferensial dan
pengukuran elektrolit, pewarnaan dengan Gram dan kultur sputum dan analisa urin
berikut juga rontgen dada ; juga kultur darah diperlukan bila ada panas.
41

Fungsi respiratorik : kriteria untuk intubasi dan ekstubasi pada penyakit-penyakit


neurologis, biasanya diperuntukan untuk pasien dengan kelemahan yang menetap, seperti
pada stroke dan trauma. Karena kelemahan pada penyakit paut saraf-otot (neuromuscular
junction) berfluktuasi, maka tidak bisa dipergunakan suatu parameter yang tunggal untuk
menetapkan, kapan pasien penderita MG memerlukan bantuanpernafasan. Kegelisahan
pada pasien disertai takhkardia dan takhipnoe bisa merupakan tanda-tanda pertama dari
”kelaparan” udara (air hunger).
Beberapa penyelidik mengemukakan, bahwa angka kapasitas vital kurang dari 15 mL/kg,
tidal volume kurang dari 5 mL/kg, negative inspiratory force kurang dari 20 cm H2O,
atau positive expiratory force kurang dari 40 cm H2O merupakan indikasi untuk
dilakukannya intubasi. Penyelidik lain, yang melihat secara antara angka-angka pembatas
ini dengan intubasi yang setelah itu dilakukan pada pasien MG.
Saturasi oksigen dan pengukuran analisa gas darah arterial biasanya dianggap tidak ideal
untuk menentukan keputusan, apakah diperlukan intubasi pada populasi pasien dengan
MG, karena nilai dari angka-angka tersebut berubahnya lambat dalam siklus
dekompensasi.
Semua pasien MG dengan status respiretorik yang diragukan sebaliknya dirawat dalam
intensive care unit (ICU) , dimana dapat diukur anxiety rate, nadi, pernafasan, vital
capacity, tidal volume, negative inspiratory force, dan positive expiratory force setiap 2 -
4 jam. Bila keadaan memburuk, maka dapat dilakukan intubasi dini yang konservatif
dengan segera.
Evaluasi dari weaning dimulai, bila pasien telah bebas dari trigger yang menyebabkan
krisis, telah nyaman dan secara obyektif telah menjadi kuat pada pemeriksaan. Vital
capacity harus sudah menjadi lebih dari 10 mL/kg, negative inspiratry force lebih dari 20
cm H2O dan positive expiratory force lebih dari 40 cm H2O. Selama proses weaning,
anksietas pasien, nadi dan pernafasan dan tidal volume harus dicatat secara periodik dan
sering. Apakah sudah siap untuk ekstubasi dilihat dari sudut respiratorik, tergantung dari
performance pasien selama weaning.
42

Menelan : Pada penatalaksanaan pasien MG dengan fungsi menelan yang memburuk,


harus dibuat 2 keputusan :
1. Kapan merestriksi diet dan
2. Kapan melakukan intubasi untuk memproteksi jalan nafas.
Dalam menentukan keputusan tentang sistem respiratorik ini, maka keputusan –
keputusan itu menjadi lebih sukar karena adanya sifat dinamis dari kelemahan pasien.
Harus selalu ditanyakan tentang kesukaran menelan yang belum lama terjadi, salah
menelan, batuk setelah makan dan regurgitasi nasal.
Selain itu suatu tes disamping tempat tidur yang dilakukan secara sederhana namun
efektif dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk menghirup 3 oz air lalu memantau
apakah ada batuk atau keselek. Bila ada riwayat penyakit atau pada tes ini dianggap
sugestif ada disfagia, maka pemasukan makanan secara oral (oral intake) harus
dihentikan. Penentuan apakah pasien memerlukan intubasi atau airway protection dibantu
dengan melihat apakah ada suara yang basah, dengan gurgling atau stridor.

Aritmia kardial : pada pasien KM terdapat suatu insidens tinggi dari aritmia (11-14%)
selama dirawat dirumah sakit untuk KM. Aritmia yang terjadi bervariasi dari benigne
(seperti atrial fibrillation) sampai ventricular fibrillation yang fatal dan asystole.
Kebanyakan pasien telah menderita suatu penyakit jantung sebelumnya atau telah
mendapatkan piridostigmin bromid i.v. (Regonol); walaupun demikian semua pasien
yang dirawat dengan KM sebaiknya selalu harus dimonitor jantungnya secara kontinu.
Penatalaksanaan : selain memberikan terapi dan perawatan suportif, disertai dengan
menghilangkan trigger, maka dalam penatalaksanaan dari KM, harus termasuk
pengobatan underlying MG, dimana peranan ahli saraf sangat menentukan.
Beberapa terapi yang bisa dipakai antara lain adalah inhibitor AChE, plasma excharge,
imunoglobulin i.v. (IVIg), dan obat-obat imunosupresif termasuk kortikosteroid.

Menghilangkan trigger : bila ada bukti adanya infeksi, harus diberikan antibiotika
dengan pemilihan yang selektif dimana aminoglikosid dan kuinolon harus dihindari,
karena dapat memperburuk kelemahan pada pasien MG : risiko terjadinya superinfeksi
dengan Clostridium difficile, yang berhubungan dengan memanjangkan krisis, selalu
43

harus menjadi pemikiran pada penentuan jenis antibiotika yang akan diberikan. Juga
obat-obtan lain yang bisa men-tigger krisis harus dihindari dan dihentikan.

Supportive care : dalam melakukan intubasi beberapa ahli menganjurkan dipakainya


cara nasotrakheal, dan bukan cara orotrakheal, karena yang pertama lebih enak dipakai
sehingga jarang terjadi displacement Dan dianjurkan memakai suatu cuff yang empuk
dan bertekanan rendah (soft, low-pressure cuff).
Biasanya tidak diperlukan trakheostomi, karena lamanya intubasi biasanya kurang dari 2
minggu.
Bila diperlukan suatu respirator, maka biasanya dimulai dengan suatu synchronized
intermittent mandatory ventilation (Mayer, 1997). Tidal volume yang besar sampai 10
mL/kg, disertai dengan suatu tekanan (pressure support) 5 – 15 cmH2O dan positive end-
expiratory pressure 5 – 15 cm H2O, akan membatasi terjadinya atelektasis, bila peak
airway pressures bila dipertahankan dibawah 40 cm H2O. Supplementasi oksigen
dianjurkan, bila kadar oksigen dalam arteri (arterial blood oxygen levels) jatuh dibawah
70 – 80 mm Hg. Inspired gas humidity harus sekitar 80 % pada 370 C.
Pada pasien dengan retensi karbon secara khronik (yang terlihat dengan meningginya
kadar serum karbonat) maka PCO2 harus dipertahankan diatas 45 mmHg untuk
menghindari alkalosis dan bicarbonate wasting, yang akan membuat weaning lebih sukar
lagi.
Harus dilakukan pengukuran tekanan darah (cuff pressure) secara sereingkali dan juga,
tube placement dan analisa gas darah dianjurkan.
Penyedotan secara aseptik (aseptic suctioning) juga harus dilakukan secara berulang.
Percobaan weaning harus selalu dilakukan pagi dini hari. Mula-mula pasien dilepas pada
suatu nilai tetap pada pressure support mode. Bila ini dapat ditoleransi untuk beberapa
jam, maka pressure support diturunkan dengan 1 – 2 cm H2O setiap hari. Bila hasil dari
beberapa kali percobaan menandakan adanya kelelahan, maka pasien dikembalikan lagi
pada level ventilatory support yang sebelumnya.
Dalam hal nutrisi, maka intake kalori harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya
balans energi yang negatif, yang akan menggangu weaning. Pada pasien yang tidak bisa
menelan, maka feeding tubes, harus dipasang secara dini dan pemberian makanan
44

diberikan sesuai yang diperlukan. Karena tube yang kecil (small-bore tubes), yang
berakhir di duodenum akan memperkecil risiko aspirasi, maka kebanyakan ahli lebih
senderung menggunakan ini daripada yang besar (large-bore tubes), yang berakhir di
lambung.
Selain tindakan-tindakan yang telah disebut tadi, maka terapi hipokalemi dan
hipofofatemia, yang akan memperburuk kelemahan, harus dilakukan secara agresif.
Anemia dapat juga menambah kelemahan dan beberapa ahli menganjurkan dilakukannya
transfusi bila hematokrit menurun dibawah 30%. Profilaksis untuk mencegah terjadinya
deep vein thrombosis, seperti pemberian Na-heparin secara subkutan atau penggunaan
pneumatic compression boots dianjurkan.

Diagnosa diferensial :
Suatu krisis miastenik (KM) harus dibedakan dengan krisis-krisis lain pada MG: Suatu
Krisis kholinergik lebih susah lagi terdeteksi , namun biasanya khas dengan adanya
salivasi yang berlebihan, sekresi bronkhus yang kental dan diare. Fasikulasi yang jelas
pada otot-otot mata dan otot pundak proksimal dapat terlihat paralel dengan kelemahan
otot yang bermakna.
Suatu krisi kholinergik pada MG biasanya disebabkan karena pengurangan berat penyakit
yang spontan karena blokade ganglionik nikotinik, karena kelebihan pemberian obat
(overmedication) dalam klinik, sehingga harus dibedakan dari KM, dan penambahan
mestinon secara gradual tidak akan memperbaiki kelemahan otot, malahan menambah
efek-efek samping lebih banyak lagi. Obat-obatan sebaiknya dihentikan dengan segera.
Gejala-gejalanya krisis kholinergik dapat disingkat sebagai berikut :
o Respons negatif terhadap tes Tensilon
o Nausea dan muntah
o Bradikardia dan hypotensi
o Fasikulasi
o Diplopia
o Diare dan kramp abdominal
Suatu jenis krisis ketiga pada MG adalah yang terjadinya setelah timektomi, namun
biasanya disebabkan karena fungsi pernafasan yang kurang baik (poor baseline
45

respiratory function), aspirasi dan kadang-kadang memburuknya kegagalan diafragma,


karena kerusakan intraoperatif dari phrenicus. Kebanyakan gangguan pernafasan setelah
timektomi dapat diatasi dengan satu kali plasmaferesis sebelum operasi timektomi
dilakukan atau infuse IVIg.
Krisis lain adalah brittle : yang berhubungan dengan gangguan bulber yang berat dan
seringkali dijumpai pada pasien dengan timoma dengan keadaan krisis miastenik dan
kholinergik yang bergantian.

Diagnosa diferensial dengan penyakit-penyakit lainnya adalah :


Sindroma miastenik (Lambert_Eaton) :
* adanya small cell hug cancer (+/-50%)
* antibody saluran kalsium (Calcium channel antibodies)
* pada pemeriksaan EMG : stimulasi repetitif terlihat amplitudo menurun
(decrement) pada 3 Hz dan pembesaran amplitudo (increment) pada 10 Hz.
Sindroma Guillain-Barre (Bulber atau varian Miller-Fisher)
* Arefleksia
* protein CFS meninggi dengan sel normal
* Conduction block pada pemeriksaan EMG/NCV
* Parestesia
Botulism
Mulut kering, pupil tidak bereaksi dan tanda-tanda ileus.

Tes diagnostik yang esensial :


o IV Tensilon (edrofonium khlorid) 2 – 10 mg setelah 0.5 mg atropin sulfate
o EMG / Electromiografi : stimulasi repetitif (penurunan amplitudo melebihi 10%
dari CMAP {compound motor action potential} antara respon pertama dan ke-
empat.
o Single fibre EMG bila memungkinkan
o CT sken thoraks untuk mencari timoma
o Pemeriksaan Acetylcholine receptor blocking antibodies dalam serum
o Thyroid antibodies
46

o Tiroksin, T3, TSH

Tes Tensilon :
Kelemahan yang disebabkanoleh suatu transmisi neuromuskuler yang abnormal, akan
membaik setelah pemberian edrofonium khlorid (Tensilon) secara intravena. Tes
Tensilon dianggap positif, bila terlihat perubahan yang dramatis, yaitu perbaikan fungsi
otot, yang dilihat sendiri oleh si kelemahan otot mata atau bicara nasal. Kekuatan motorik
setelah tes tensilon juga akan membaik pada motor neuron disease dan pada lesi n
oculomotorius.
Bila akan melakukan tes tensilon harus dipilih beberapa fungsi otot saja untuk di evaluasi
dan diamati derajat kelemahannya pada otot-otot ini untuk beberapa menit lamanya,
sebelum memberikan tensilon. Dosis tensilon terbaik, bervariasi diantara pasien dan tidak
dapat ditentukan sebelumnya. Pemberian 10 mg dalam dosis terbagi direkomenadasikan.
Setelah suatu suntikan inisial 2 mg, maka respons pada otot-otot tertentu dimonitor
selama 60 detik. Setelah itu diberikan suntikan 3 dan 5 mg. Bila terlihat perbaikan yang
pasti dalam 60 detik, setelah dosis yang manapun, maka tidak diperlukan pemberian
suntikan tambahan lagi.
Dosis total pada anak adalah 0.15mg/kg. Harus disediakan suatu kantong AMBU bila
memberikan tensilon, karena beberapa orang sangat hipersensitif pada pemberian tensilon
, walaupun dosis sangat kecil. Pemburukan dari kelemahan setelah pemberian tensilon
(“paradoxical response”) juga merupakan suatu indikasi, bahwa terdapat suatu gangguan
neurotransmisi.
Bradikardia bisa merupakn suatu efek samping, terutama pada pasien manula. Suatu
syringe berisi sulfas atropin, yang bila perlu digunakan, harus selalu tersedia bila
menyuntikan tensilon.
Pemberian tensilon secara buta, nilainya dipertanyakan dan tidak perlu dilakukan, bila
endpoint-nya telah ditentukan dengan baik seperti hilangnya ptosis. Beberapa pasien
yang tidak berespons terhadap tensilon, bisa ada respons terhadap neostigmin yang
mempunyaiwaktu kerja yang lebih lama dan ini terutama berguna pada anak dan bayi,
yang responsnya terhadap tensilon terlalu pendek untuk dapat diobservasi. Pada beberapa
pasien, suatu percobaan pemberian piridostigmin per oral untuk beberapa hari dapat
47

menunjukkan perbaikan yang tidak bisa dilihat pada pemberian suatu dosis tunggal
tensilon atau neostigmin.

STIMULASI REPETITIF (EMG) :


Pemeriksaan elekrodiagnostik diperlukan untuk menunjukkan adanya transmisi
neuromuskuler yang abnormal dan untuk menyingkirkan penyakit-penyakit lain dari
motor unit yang menyerupai atau ikut menyumbang adanya gejala klinis tersebut.
Pemeriksaan-pemeriksaan demikian juga akan berguna untuk mengukur derajat
gangguannya dan menunjukkan adanya perubahan, bila penyakit memburuk.
Pemeriksaan elektrodiagnostk yang paling sering digunakan pada gangguan transmisi
neuromuskuler adalah stimulasi repetitif dari suatu saraf motorik (repetitive nerve
stimulation / RNS) , sewaktu merekam compound muscle action potentials (CMAP) dari
suatu otot yang dipersarafi oleh saraf tersebut. Hasilnya adalah abnormal bila secara
progresif lebih sedikit serabut otot yang ber-respons terhadap stimulasi saraf selama suatu
rentetan stimulus ( a train of stimuli), sehingga menghasilkan suatu dekremen (=
penurunan amplitudo) pada CMAP. Walaupun tehnik langsungnya dan kelihatannya
sederhana, Namur bukannya tanpa kesukaran untuk yang tidak berpengalaman.
Kebanyakan kesalahan terjadi karena bergeraknya elektrode perekam, variasi dari
intensitas stimulus dan kurangnya pemanasan dari otot yang akan diperiksa.

Tehnik merekam :
Elektrode kulit / tempel dipakai sebagai electrode perekam, sehingga akan terjadi statu
defleksi inicial yang tajam yang negatif (arahnya menuju keatas) pada stimulasi saraf
secara supramaksimal, sehingga menunjukkan, bahwa elekrode aktif berada diatas motor
point dari otot. Elekrode referens harus ditempatkan disuatu titik distal, dimanan aktivitas
listrik otot paling sedikit. Elektrode jarumjangan digunakan untuk merekam respons tu,
karena tidak dapat dipertahankan pada statu posisi yang constan selama perangsangan
saraf. Sendi-sendi harus di-imobilisasi dengan fiksasi yang benar agar artefak gerakan
bisa dihindari.
Suhu otot :
48

Respons dekremen (pengecilan aplitudo) pada MG berkurang bila ototnya dalam


keadaan dingin. Bila kelainannya ringan, maka tidak akan terlihat statu dekremen, kecuali
ototnya dipanaskan terlebih dahulu. Otot-otot tangan dan kaki harus dipanaskan terlebih
dahulu sampai tercapai suhu minimal 34 C untuk menghasilkan statu sensitivitas
diagnostik yang maksimal. Pendinginan bukan merupakan factor yang besar pada otot
proksimal, sehingga tidak perlu dipanaskan terlebih dahulu sebelum dilakukan.
Tehnik stimulasi :
Stimulasi dari statu saraf motorik biasanya dialakukan dengan elektrode kulit / tempel.
Stimulasi juga bisa dilakukan dengan elektrode jarum yang mendeteksi saraf (near-nerve
leedle electodes), dimana digunakan implas stimulasi dengan durasi yang lebih pendek
dan intensitas yang lebih rendah, sehingga tidak begitu menyebabkan nyeri bila electrode
jarum ditempatkan dengan sempurna. Agar supaya mendapatkan respons maksimal,
sepanjang tes dilakukan, maka intensitas stimulus harus 10 – 25 % lebih besar daripada
yang diperlukan untuk mengaktivitasi semua serabut otot. Statu respons dekremental
pada MG paling baik diperhatikan dengan frekwensi stimulus antara 3-5 Hz. Dekremen
akan bertambah, bila frekwensi stimulus ditingkatkan sampai 10 Hz. Pada frekwensi
stimulus lebih dari ini, maka besarnya CMAP bisa membesar selama stimulasi (=
potensisasi ) dan artefak karena bergerak lazim terlihat.
Inkremen (= pembesaran amplitudo ) sampai 50 % hádala biasa dan telah dilaporkan
pada otot normal dengan frekwensi stimulus 10 – 50 Hz.
Potensisasi dapat terjadi, dari penambahan jumlah serabut otot yang dia aktivasi
(=fasilitasi) atau karena penambahan amplitude atau sumasi dari aksi potencial dari
serabut otot yang individual ( = pseudos-fasilitasi ). Fasilitasi terjadi bila 2 atau lebih aksi
potencial saraf terjadi dalam statu periode yang pendek, sehingga menghasilkan statu
penambahan transient dari asetilkholin (ACh) yang dilepaskan dari statu saraf motorik.
Setiap kali terjadi statu depolarisasi saraf, maka kalsium akan dilepaskan kedalam
ruangan periterminal (periterminal space), sehingga akan meningkatkan konsentrasi
kalsium local dalam waktu yang pendek. Bila saraf mengalami depolarisasi selama period
itu, maka kalsium yang meningkat akan meninggikan jumlah ACh yang dilepaskan. Bila
ada gangguan transmisi neuromuskuler, maka perlepasan ACh yang lebih besar ini dapat
memperbaiki transmisi sinaptiksebentar saja, sehingga menghasilkan statu fasilitasi.
49

Pseudofasilitasi dihubungkan dengan adanya sinkhronisasi yang bertambah dari aksi


potencial serabut otot yang bertambah, atau karena hiperpolarisasi membran serabut otot,
karena meningkanya verja pompa Na-K (increased sodium-potassium pumping). Pada
otot normal, pseudofasilitasi bisa meningkatkan amplitudo CMAP samapai 50% dengan
frekwensi stimulus samapai 50 Hz dan hal ini dapt menutupi (masking) respons (true
facilitation).
Tehnik mengukur :
Besarnya CMAP dapat diukur dengan mengukur amplitudo atau area dari puncak negatif
dari CMAP. CMAP harus dilihat dengan statu fastoscilloscope sweep speed (50-100
msec sweep duration) selama stimulasi repetitif untuk mendeteksi artefak tehnis. Bila
electrode stimulasi bergerak maka otot menghasilkan pattern yang ireguler dari
perubahan besarnya CMAP selama rentetan stimulus (trains of stimuli) dan pattern ini
tidak sesuai dengan pattern pada MG.
Pada MG, maka pattern yang khas hádala adanya dekremen yang progresif dari respons
kedua sampai ke-empat atau kelim, lalu sedikit balik kembali ke besarnya semula. (ada 4
pattern yang khas yang berbeda).
Perubahan besarnya CMAP dihitung dan dikalkulasi sebagai presentase perubahan
amplitudo (atau area) antara respons pertama dan respons yang lain, biasnya respons
yang ke empat atau relima dalam statu rentetn stimulus (train).
Statu stimulus dengan frekwensi 3-5 Hz dapat menghasilkan statu dekremen samapai 8%
pada otot yang normal. Statu dekremen yang melebihi 10% biasanya adalah abnormal.
Observasi dari hal-hal berikut dapat membantu membedakan dekremen yang benar dari
yang artefaktual dari besarnya CMAP.

1. Reprodusibilitasi. Dekremen harus sama, bila stimulus diulang estela statu periode
istirahat.

2. Bentuk Sampul / Envelop : Perubahan selama statu rentetan stimulus ( train of


stimuli ) harus sesuai dengan pattern dari statu penyakit, tanpa adanya variasi yang
mendadak atau ireguler antara respons yang berurutan.
50

3. Activation cycle : Perubahan yang disebabkan oleh aktivasi harus mempunyai


pattern yang bisa diterima (aceptable pattern).

4. Respons terhadap tensilon : Pemberian Tensilon secara iv biasanya mengurangi


atau menghilangkan dekremen yang disebakan oleh transmisi neuromuskuler yang
abnormal. Pada beberapa kasus statu respons paradoksal terhadap edrofonium dapat
dilihat, dimana statu dekremen memburuk atau hanya timbal estela pemberian
tensilon. Kedua respons menunjukkan adanya gangguan pada transmisi.

5. Aktivasi : Statu periode aktivasi diikuti oleh 2 fase yang berurutan. Selama fase
yang pertama yaitu fasilitasi, setiap impuls saraf melepaskan Ach yang lebih
banyak daripada sebelum aktivasi, sedangkan selama fase yang kedua yaitu
postactivation exhaustion lebih sedikit ACh dilepaskan oleh setia implas saraf.
Exhaustion maksimum 2-5 menit setelah terakhir di-aktivasi. Saraf diaktivasi
dengan statu stimulasi saraf dengan frekwensi tinggi (20-50) Hz atau dengan
mengkontraksi otot secara maksimal selama 10 – 30 detik dan yang terakhir ini
tidak begitu menyebabkan nyeri. Untuk menunjukkan adanya fasilitasi seperti
LEMS ; maka aktivasi volunter selama 10 detik biasanya sudah optimal, sedangkan
statu periode aktivasi yang lebih lama (30-120 detik) diperlukan untuk
menghasilkan kelelahan / exhaustion pada MG. Statu rentetan stimulus dengan
frekwensi yang rendah diberikan selama 10 detik setelah akhir aktivasi untuk
menunjukkan adanya fasilitasi dan dengan interval sampai 10 menit setelahnya
untuk menunjukkan adanya postactivation exhaustion.

6. Pemilihan otot : RNS (repetitive neve stimulation) lebih sering ditemukan


abnormal pada otot-otot proksimal atau otot muka. Untuk mendapatkan maximum
diagnostic yield, diperlukan pemeriksaan beberapa otot, termasuk yang terkena
klinis.
51

Otot-otot tangan paling enak untuk diperiksa dan perekaman dapat dilakukan dari m
hypothenar atau m interosseus dorsalis I dan stimulasi dilakukan dari n ulnaris di
pergelangan tangan atau juga bisa pada otot thenar dengan stimulasi n medianus. Juga
bisa dilakukan stimulasi n musculocutancus di axilla dan merekam di m bíceps. Saraf ini
dapat distimulasi dengan electrode kulit / tempel dengan menekan kencang pada batas
posterior dari kepala yang pendek dari m bíceps dalam jarak 1 inci pada pinggir inferior
dari lipatan axilia. Stimulasi yang demikian tidak mengenakan, terutama bila lama atau
bila digunakan rentetan frekwensi yang tinggi. Suatu elektrode stimulasi jarum dapat
dimasukkan dekat saraf akan mengurangi discomfort dan agaknya tidak akan pindah
bergerak selama stimulasi dan aktivasi.
Pemeriksaan m deltoid dapat dilakukan dengan menempatkan electrode aktif di pusat otot
dan referens pada akromion. Stimulasi dilakukan pada titik Erb’s dengan statu electrode
permukaan yang ditekan dengan kencang dibelakan clavicula. Stimulasi dengan cara ini
tidak mengenakan, karena stimulasi otot-otot lain tidak bisa dihindari.
Muskulus trapezius merupakan otot dibahu yang paling mudah diperiksa dan pasien
diperiksa sambil dudukdi cursi dengan lengan yang menggantung lupus ke bawah.
Electrode aktif ditempatkan diatas trapezius pada sudut antara leher dan bahu dan
electrode referens diletakkan di akromion. N spinalis accesorius distumulasi pada batas
posterior dari m sternocleidomastoideus dibelakang telinga. Saraf berjalan superficial
pada titik ini dan dapat distimulasi secara maksimal dengan intensitas yang rendah, yang
mengurangi discomfort dan menghindari stimulasi dari otot-otot lain.
Otot-otot muka dapat diperiksa dengan menempatkan electrode aktif dinasalis dan
electrode referens lateral dari mata. Secara alternatif bisa diperiksa m orbicularis inferior
dengan menempatkan referens pada hidung. N facialis distimulasi di bawah telinga.
Namun gerakan artefak seringkali membatasi interpretasi respons dari otot-otot facialis
dan banyak pasien tidak bisa tahan terhadap stimulasi di tempat itu.

Metode untuk memperjelas atau memprovokasi suatu respons dekremen :


Bila tidak terlihat dekremen sebelum atau setelah aktivasi, maka abnormalitas yang
ringan pada MG dapat terdeteksi selama exhaustion period, yang terjadi setelah stimulasi
saraf yang lama dengan frekwensi rendah. ( 3Hz selama 4-5 menit ). Menghasilkan
52

iskemia pada otot yang diperiksa selama periode stimulasi yang lama disusul exhaustion
dapat memperbesar sinsitivitas tehnik ini lebih lanjut.
Untuk menntukan ini maka suatu manset tekanan darah dipasang melingkari lengan atas
dan dipasang diatas tekanan sistolik dan suatu saraf yang distal distimulasi. Pada pasien
dengan MG yang mempunyai hasil RNS yang normal pada otot-otot tangan, maka tes ini
menunjukkan sensitivitas yang sedikit lebih tinggi daripada RNS pada trapezius, namun
60% dibandingkan sensitivitas SFEMG ( single-fiber electromyography ) dari otot
tangan.

EMG
Transmisi neuromuskuler yang abnormal dapat terlihat pada pemeriksaan EMG dan
terlihat sebagai variabilitasi dalam bentuk atau amplitudo dari MUAP (motor unit action
potentials). MUAP yang tidak stabil juga terlihat pada penyakit denervasi, terutama pada
MND (motor neuron disease), sehinga tidak spesifik untuk MG. Bila terlihat tanpa bukti
lain dari penyakit neuronal, maka suatu MUAP yang tidak stabil harus diperiksa terhadap
kemungkinan adanya MG atau penyakit lain dengan gangguan transmisi neuromuskuler.

Single-fiber ENG (SFEMG) adalah suatu tes elektrodiagnostik yang paling sensitif
untuk mendeteksi suatu kelainan neuromuskuler. SFEMG memperlihatkan jitter yang
bertambah pada suatu ekstreminas atau otot muka pada hampir semua pasien MG.
Karena sensitivitasnya, maka SFEMG juga memperlihatkan jitter yang abnormal pada
penyakit saraf dan otot yang lain, sehingga hasilnya harus di-interpretasikan bersamaan
dengan klinis.

Penatalaksanaan krisis miastenia yang akut :


Pemakaian ventilator :
Krisis yang paling sering ditemukan adalah krisis miastenia (KM), sehingga adalah
sangat penting untuk segera menata fungsi respiratorik neuromuskuler. Jarang sekali
intubasi endotrakheal dapat dihindari dengan fisioterapi atau spirometri, dan tindakan-
tindakan ini lebih penting sewaktumelakukan weaning untuk melepas dari ventilator.
Kadangkala pasien memberikan respons yang dramatis setelah mendapatkan
53

plasmaferesis, sihingga bisa menghindari pemberian support ventilasi. Indikasi intubasi


endotrakheal masih belum pasti dan berubah-ubah, namun dianjurkan suatu intubasi low-
threshold. Ketidak mampuan untuk menelan dan batuk yang mengeluarkan dahak akan
menyababkan atelektasis, shunting, hipoksemia, lalu menjadi lelah dan akhirnya bisa
terjadi aspirasi.
Biasanya pada pasien dengan KM harus dibuat foto rontgen dan biasanya sudah ada
atelektasis atau permulaan infiltrat. Hipoksemi bisa terjadi dengan nilai PO2 sekitar 40
dengan infiltrat lobus kanan bawah. Adanya infiltrat dan paru sangat penting diketahui,
karena banyaknya pemakian kortikosteroid pada pengobatan inisial KM.

Karena bila ada infiltrat, pemakaian kortikosteroid bisa membahayakan, maka harus
dimulai dengan suatu regimen antibiotika yang harus mengandung antara lain imipenem,
tikarsilin atau sefalosporin generasi terakhir.
Pemeriksaan serial kapasitas vital perlu dilakukan setiap 3 jam pada pasien KM, namun
seringkali pembacaannya agak sukar, karena juga ada kelemahan bulber yang bermakna
pula dan juga adanyafluktuasi yang besar selama sehari. Kapasitas vital bisa berkisar
antara15-25 mL/kg pada pasien yang mulai masuk KM.
Walaupun demikian, suatu penurunan kapasitas vital yang melebihi 50% merupakan
suatu indikasi untuk intubasi dan ventilasi mekanis. Pasien dengan kelemahan bulber,
hipoksemi, tes fungsi paru yang marginal dan gejala klinis kelelahan, dahi yang berpeluh
basah, takhikardia dan takhipnoe pada setiap perubahan posisi harus di-intubasi secara
efektif. Pasien harus mendapatkan intermittent mandatory ventilation (IMV). Dengan
standard mode ventilasi mekanis, maka FIO2 dapat dipasang sekitar 0,5 dan frekwensi
pernafasan kira-kira 8 – 10 per menit dengan volume tidal yang besar sekitar 10 to 15
mL/kg, dan PEEP sampai 5 cm H2O. Dengan setting ventilator seperti ini, maka
kebanyakan pasien dengan KM harus merasa lebih enak di bantu dengan ventilator ini.
Trakheostomi harus ditunda, karena adanya kemungkinan pasien dilepas dari ventilator
dalam 2 minggu setelah terapi spesifik. Namun trakhoestomi harus dipertimbangkan, bila
pasien tetap tak ada kemajuan pada kelemahan bulber yang menetap dan terjadi aspirasi
yang berulang.
54

Pengobatan :
Inhibitor AChE :
Edrofonium (Tensilon) memblok kerja dari asetilkholinesterase, sehingga
memperpanjang efek asetilkholin dan menghasilkan perbaikan kelemahan. Suntikan
edrofonium akan dengan cepat menghasilkan perbaikan pada kebanyakan pasien
penderita MG. Tensilon ini biasanya digunakan untuk tes mendiagnosa MG. Suatu obat
lain neostigmin juga dapat dipakai, namun sekarang obat ini sukar didapatkan lagi.
Peridostigmin (Mestinon) adalah obat yang biasanya dipakai. Seperti juga edofonium,
maka piridostigmin memblok asetilkholinesterase. Kerja obat lebih lama dan diberikan
per oral dan toleransi lebih baik. Kombinasi dari kehilangan responsif terhadap obat dan
progresivitas penyakit dapat menyebabkan kehilangan efek piridostigmin pada dosis-
dosis yang bisa di tolerir oleh pasien.
Infus priridostigmin i.v. 1-2 mg/jam telah dipakai pada pasien selama krisis. Berrouschot
(1997) mengemukakan hasil suatu studi retrospektif yang kecil, dimana pasien dengan
infus piridostigmin i.v menunjukkan hasil yang sama dengan plasma excharge. Namun
harus diingat, bahwa beberapa pasien mengalami aritmia kardial yang bermakna dan
kadang-kadang fatal sewaktu menerima infus piridostigmin i.v.
Inhibitor AchE juga bisa menyebabkan sekresi yang berlebihan, yang akan menghalangi
pemberian makanan (feeding) atau endotracheal tubes, dan menyebabkan penyumbatan
oleh mukus dan menyebabkan atelektasis.
Overdosis dengan inhibitor AchE juga bisa menyebabkan bertambahnya kelemahan dan
juga menyebabkan sukarnya menilai respons pasien terhadap terapi lain dan beberapa
ahli juga mengemukakan bahwa suatu periode withdrawal dapat meninggikan sensitivitas
pasien terhadap obat ini.

Oleh karena alasan ini maka kebanyakan ahli menganjurkan menghentikan pemberian
inhibitor AchE pada pasien dengan KM dan memberikannya kembali secara oral, bila
pasien menjadi lebih kuat dan akan dilakukan ekstubasi (Oosterhuis 1997 Mayer 1997,
1998, Rieder 1995). Sebaiknya dimulai kembali dengan dosis rendah dan ditingkatkan
sampai dosis yang jelas memberikan suatu kemajuan (benefit).
55

Pemberian mestinon pada KM masih selalu diperdebatkan. Bila pasien mempunyai


sekresi pulmoner yang kental, kramp abdominal, diare dan banyak berkeringat, maka
mestinon harus dihentikan selama kira-kira 2 minggu atau lebih cepat bila infiltrat
pulmoner telah hilang, penghentian secara total dari mestinon akan melemahkan pasien
dan menunjukkan bahwa gejala-gejala kholinegik adalah hasil dari pemberian mestinon
yang tinggi sebelumnya.
Banyak pasien merasakan bahwa bertambahnya kelemahan setelah suatu libur mestinon
(Mestinon Holiday) sangat tidak mengenakan, sehingga sebaiknya hanya dihentikan, bila
ada gejala kholinergik yang bermakna dan terdapat infeksi pada paru. Pada pasien-pasien
lain, maka sebaiknya pemberian mestinon tetap pada dosis semula, diikuti peningkatan
dosis yang bertahap dengan pertambahan 30 mg. Dosis maksimal mestinon belum
ditentukan dengan pasti, namun pasien yang memakai 120 mg mestinon secara oral setiap
3 jam (kecuali pada malam hari, supaya tidur cukup) mungkin merupakan dosis
maksimal. Adalah meragukan, bahwa dosis yang lebih besar dapat memberikan
perbaikan. Harus pula disadari bahwa efek maksimal dari prednison juga baru tercapai
setelah 6 minggu pemberian.

Plasma exchange / plasmaferesis adalah imunoterapi yang paling sering digunakan


untuk KM atau pada pasien-pasien MG yang sangat lemah sebelum dilakukan timektomi.
Pada prosedur ini maka plasma di ambil dan diganti dengan plasma yang telah
dimurnikan dari oto-antibodi dan dapat menghasilkan perbaikan sementara pada gejala-
gejala, namun adalah terlalu mahal untuk pengobatan jangka panjang.
Dikatakan, bahwa plasma excharge memberikan kemajuan yang cepat dan segera pada
75% pasien MG dengan kelemahan yang berat, walaupun sebenarnya belumpernah
ditunjukkan, bahwa akan memperpendek lamanya waktu KM dan/atau morbiditas
maupun mortalitas yang berhubungan dengannya. Biasanya 2 – 3 liter plasma diangkat 3
kali seminggu sampai terlihat kemajuan yang bermakna.
Tanda-tanda kemajuan biasanya terlihat pada plasma excharge ke 3 atau 4 dan
kebanyakan pasien memerlukan total 5 -6 kali plasma excharge. Kemajuan terlihat
trasient dan hanya bertahan selama beberapa minggu, kecuali bila plasma excharge
dilanjutkan atau mulai diberikan bentuk lain imunosupresi seperti kortikosteroid.
56

Setelah ventilator dipasang, maka plasmaferesis bisa dimulai, dan dianjurkan pemberian
5 kali untuk 2 hari yang berturut-turut, lalu diikuti dengan 3 x pada hari yang selang
seling. Kortikosteroid sampai dosis (60 mg/hari) harus mulai diberikan dan di lanjutkan
selama paling sedikit 4 minggu.
Efek dari plasmaferesis biasanya lebih cepat dan sudah dapat terlihat dalam minggu
pertama. Bila tidak terlihat perubahan yang jelas pada plasmaferesis, maka dapat
diberikan IVIg (imunoglobulin intervena) dengan dosis 0.4 g/kg selama 5 hari berturut-
turut. Ada beberapa pasien yang tidak ada respons dengan plasmaferesis bereaksi sangat
baik terhadap IVIg.

Komplikasi yang terjadi akibat prosedur ini adalah :


1. hipotensi, yang dapat di obati dengan infus volume expander.
2. paresthesia yang bisa diobati dengan suplementasi kalsium. Bila tak ada
akses perifer, maka komplikasi lain sebagai akibat central line
placement bisa terjadi, seperti trombosis, pneumotoraks dan infeksi dan
harus diperhitungkan dalam risk-benefit.

Plasma excharge / plasmaferesis sebaiknya digunakan sebagai first-line therapy pada


semua pasien dengan KM, kecuali bila ada hipotensi yang berat atau infeksi atau
merupakan kasus yang tidak bagus untuk peripheral central line placement.

IVIg (Intravenous immunoglobulins) :


Pemakaian IVIg juga dapat memulihkan kekuatan motorik pada pasien MG. Gajdos
(1997) mengemukakan bahwa IVIg sama efektifnya dengan plasma excharge pada
pengobatan pasien dalam KM, namun mayer (1998) mengemukakan bahwa tidak ada
perbaikan pada pemberian IVIg, namun ada respons dengan plasma excharge.
Dengan pemberian IVIg dengan dosis 2g/kg bb selama 2 – 5 hari, maka diharapkan ada
perbaikan dalam 1 minggu.
Pendapat lain adalah bahwa keuntungannya pemberian IVIg adalah : tidak memerlukan
alat yang khusus dan dosisnya pada MG biasanya kecil, hanya 400 mg per kg/hari selama
5 hari berturut-turut.
57

Seperti juga pada plasmaferesis, maka perbaikan biasanya transient dan bertahan selama
beberapa minggu sampai beberapa bulan, kecuali bila dilanjutkan atau diberikan bentuk
lain imunosupresi.
Efek samping yang dijumpai antara lain adalah: nyeri kepala, mengigil, febris dan bisa
dikurangi dengan premedikasi asetaminofen dan difenhidramin khlorid. Jarang sekali
timbul efek samping yang lebih berat, misalnya gagal ginjal dan bisa terjadi anafilaksis
terhadap komponen IgA. Dianjurkan mengukur fungsi ginjal dan kadar IgA, dan
pemberian tes dosis ringan dahulu sebelum infus yang sebenarnya dan memonitor fungsi
ginjal selama pengobatan. Dan biasanya IVIg diberikan pada pasien-pasien yang tak
cocok dengan plasmaferesis.

Kortikosteroid :
Kostikosteroid adalah suatu bentuk imunosupresi yang kuat untuk pasien MG. Regimen
yang memulai dengan 60 – 100 mg prednison sehari menghasilkan remisi yang komplit
pada 30% pasien dan perbaikan pada 45%. Namun perbaikan baru akan optimal setelah
beberapa minggu. Selain itu, 30% pasien mengalami eksaserbasi gejala-gejalanya pada
beberapa hari pada awal terapi dimulai, sehingga para ahli biasanya menyimpan
kortikosteroid samapi pasien mulai bereaksi terhadap plasmaferesis atau IVIg. Biasanya
pemberian plasmaferesis atau IVIg diteruskan, sambil mulai memberikan prednison
dengan dosis 1 mg/kg/hari dan dilanjutkan sebagai terapi jangka panjang, akhirnya
digantikan dengan pemberian selang-seling (alternate-day schedule), lalu diturunkan
(tapering off) ke suatu dosis yang kecil. Pasien yang keluar dari krisis, harus diobservasi
secara hati-hati selama beberapa hari dalam suatu setting inpatient, setelah kortikosteroid
dimulai untuk mengantisipasi bila kelemahan memburuk.

Kortikosteroid biasanya merupakan kontra-indikasi pada pasien MG yang menderita


diabetes yang berat, ada infeksi yang sedang berjalan, atau ada osteoporosis yang berat.
Tuberculosis juga sebaiknya harus disingkirkan trlebih dahulu sebelum memulai terapi
dengan kortikosteroid atau bentuk imunosupresi khronik yang lain.
58

Walaupun ada kemungkinan perburukan gejala pada awal pemberian kortikosteroid,


namunlebih baik menghadapi hal ini pada fase dini penyakitnya, dimana bisa dilakukan
tindakan-tindakan yang adekwat.
Harus diketahaui, bahwa bila kortikosteroid diberikan pada pasien yang baru membaik
dari krisis inisial, dapat menyebabkan pasien harus di intubasi ulang lagi.
Bila terjadi perburukan yang besar pada pemberian kortikosteroid, harus dipertimbangkan
plasmaferesis ulang lagi. Kostikosteroid harus dikurangi dengan 10 mg setiap 3 minggu
setelah 1 bulan atau dirubah selang-seling sehari, di ikuti dengan pengurangan yang
bertahap ( gradual tapering ).

Imunosupresan lain : Azatioprin sodium (Imuran), siklosporin (Neoral, Sandimmune,


SangCya) dan bentuk lain dari imunosupresan jangka panjang telah dipakai untuk
mengobati MG, yang tidak berespons terhadap, atau yang mempunyai toleransi rendah
terhadap pemberian prednison dengan dosis rendah dengan pemberian selang-seling.
Hasil dari pengobatan ini biasanya tak terlihat untuk beberapa minggu samapi beberapa
bulan dan biasanya golongan ini bukan merupakan bagian penting dari pengobatan pada
KM : Memang bisa digunakan untuk menggantikan prednison, bila kortikiosteroid
merupakan suatu kontradikasi.

Timektomi : merupakan opsi lain yang penting untuk beberapa pasien MG dan
sebaiknya dilakukan setelah mencoba mengurangi kelemahan pasien terlebih dahulu.
Timektomi sebetulnya direkomendasikan untuk semua pasien yang mempunyai timoma
dan juga dianggap sebagai pengobatan inisial yang baik pada penderita MG dengan
kelemahan umum yang usianya kurang dari 60 tahun, walaupun tidak mempunyai
timoma. Hal ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam penatalaksanaan jangka panjang.
Kadang-kadang pun timektomi bisa dianjurkan pada pasien yang usianya lebih dari 60
tahun. Kira-kira 30% pasien MG yang menjalani timektomi akan mengalami remisi klinis
dan 50% yang lain akan mengalami sedikit perbaikan, namun harus diingat bahwa
perbaikan memerlukan waktu lama dari beberapa bulan sampai beberapa tahun. Operasi
timektomi memerlukan perawatan di rumah sakit selama beberapa hari dan suatu periode
penyembuhan selama beberapa minggu.
59

Pasien yang memburuk MG setelah postoperatif bisa diberikan plasmaferesis dan dosis
mestinon yang ditambah. Nyeri postoperatif akibat pembukaan thoraks setelah timektomi
harus diatasi dengan baik dan kerusakan pada n phrenicus, walaupun jarang, dapat diatasi
dengan pemakaian pacer.
Pada fase postoperatif perlu diberikan perawatan pulmoner yang agresif, bersamaan
dengan pompa analgesik untuk mengurangi nyeri (patient-controlled analgesic pumps) .
Morfin secara epidural bisa diperlukan pasien dengan nyeri postoperatif yang bermakna.
Adanya problema pernafasan setelah operasi juga bisa menandakan adanya pembentukan
suatu pneumothoraks.

Pasien yang tidak bisa menelan setelah operasi harus di ubah pengobatannya ke
neostigmin bromid secara i.v. Dosis 60 mg mestinon oral adalah setara dengan 2 mg iv.
Pengobatan alternatif dengan pemberian Nestigmin metilsulfat (Prostigmin) 0.5 mg
secara iv dapat dipertimbangkan pula.

Komplikasi : Terdapat 4 jenis komplikasi yang berhubungan dengan perawatan yang


lama pada krisis miastenia (KM) yaitu : Atelektasis, infeksi dengan C difficile, anemia
yang bermakna dan penyakit jantung yang kongestif . Bila komplikasi bertambah berat,
perlu diobati secara dini dan progresif.

Penatalaksanaan jangka panjang :


Pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang dramatis setelah penatalaksanaan KM
yang baik, mungkin harus diobati dengan imunosupresan lain, a.l. siklosporin A dengan
dosis inisial 5 mg/kg dibagi dalam 2 dosis. Namun banyak pasien menghentikan
pemakaian siklosporin, karena efek sampingnya, terutama hipertensi dan nefrotoksisitas.
Pengalaman baru dengan obat imunosupresif lain yaitu micofenolat mofetil (CellCept),
memuaskan dengan kejadian neutropeni yang jarang dan hampir tak ada hipertensi. Obat-
obat lain sebagai alternatif untuk jang panjang adalah azathioprin 2 mg/kg/hari, yang
seringkali dikombinasi dengan kortikosteroid.
60

Timektomi masih merupakan tindakan yang penting pada pasien dengan MG dan
beberapa penyelidik berpendapat bahwaperjalanan penyakit MG tidak bisa dirubah secara
dramatis tanpa tindakan ini dilakukan. Timektomi dilakukan secara trans-sternal.
Namun maih diperlukan uji klinik yang baik yang dilakukan secara acak untuk
membuktikan efek jangka panjangnya, sebab beberapa penyelidik lain mengemukakan
pula bahwa ada remisi spontan pada MG, malahan juga remisi jangka panjang yang
permanen.
Sebaiknya dilakukan timektomi trans-sternal dan pengangkatan timus menghasilkan
remisi permanen samapi 40%, yang diawali sejak 6 bulan. Rekurensi timoma dengan cara
ini sangat jarang terjadi dan rekurensi terjadi karena transformasi menjadi suatu timoma
yang maligamentumnan juga sangat jarang.
Penatalaksanaan secara preoperatif memerlukan kewaspadaan terhadap pemakaian
anestesi umum dan juga tidak boleh diberikan inhibitor antikholinesterase pada pagi hari
operasi.
Pemakaian relaksan otot (nondepolarizing muscle relaxants) harus dihindari dan harus
digunkan atrakurium karena lebih bisa di ramalkan eliminasinya.
Penatalaksanaan pernafasan secara jangka panjang harus dilakukan pada pasien yang
berat penyakitnya, yang tidak ada respons terhadap pemakaian obat-obatan imunosupresif
yang multipel.
Kadang-kadang perlu dilakukan trakheostomi dan pernafasan bisa ditunjang dengan alat
(BIPAD), yang bisa memberikan hidup yang lumayan nyaman dan bisa berguna untuk
weaning pula.

Prognosis : rerata hospitalisasi dari krisi miastenia (KM) adalah 1 bulan. Biasanya
setengahnya dijalankan di ICU dan intubasi 25% pasien sudah bisa di ekstubasi pada hari
rawat ke 7, 50 % pada hari ke 13 dan 75% pada hari ke 31. Faktor risiko untuk intubasi
yang lama termasuk pasien yang berumur lebih dari 50 tahun, sewaktu pre-intubasi kadar
karbon dioksid melebihi 30 mg/dL, dan vital capacity tertinggi adalah kurang dari 25
mL/kg selama minggu pertama dilakukan intubasi.
Thomas (1997) mengemukakan bahwa 73 episode krisis, risikonya terjadinya intubasi
yang lama (> 2 minggu) adalah 10%, bila tidak dijumpai factor-factor risiko diatas, dan
61

20% pada yang mempunyai 1 faktor risiko dan 50% bila ada 2 faktor risiko dan 90% bila
dijumpai 3 faktor risiko.
Lamanya intubasi adalah suatu prediktor yang penting dari keluaran fungsional
(functional outcome) setelah keluar dari krisis. 77% pasien yang diintubasi selama lebih
dari 2 minggu, mempunyai suatu ketergantungan fungsional setelah keluar dari rumah
sakit dibandingkan dengan 36% pasien yang di intubasi kurang dari 2 minggu.
Kira-kira seperempat penderita KM dapat lepas dari ventilator dalam seminggu, 50%
dalam 2 minggu, 75% dalam sebulan. Kira-kira sepertiga pasien KM akan mengalami
suatu krisi yang kedua.
Angka kematian selama dirawat unuk krisis miastenia (KM) telah menurun dari sekitar
50% pada awal 1960-an menjadi antara 3-6 % saat ini. Dengan angka kejadian krisis
miastenia (KM) yang stabil selama 30 tahun terakhir ini, maka penurunan angka
mortalitas mencerminkan kemajuan dalam penatalaksanaan (assessment and
management) di ICU. Dengan support ventilasi yang baik, maka prognosis KM adalah
baik dengan angka kematian sekitar 5%

Kesimpulan :
KM atau kegagalan pernafasan yang memerlukan intubasi dan ventilasi secara mekanis,
dapat disebabkan oleh infeksi, aspirasi, stress fisik maupun emosional dan perubahan
dalam pengobatan. Walaupun tidak ada suatu faktor yang tunggal yang menentukan
diperlukannya respiratory support, namun semua pasien dengan status pernafasan yang
dipertanyakan (questionable repiratory status) harus dirawat di ICU. Penatalaksanaan
KM termasuk pengobatan MG yang mendasarinya, sehingga seorang ahli saraf harus
selalu ikut dalam mengambil keputusan dalam perawatan pasien.
Belum ada rekomendasi yang seragam mengenai terapi krisis miastenik (KM).
Pengenalan diri adanya kegagalan pernafasan, pemakaian kortikosteroid yang dini,
plasmaferesis atau pemberian IVIg akan memberikan perbaikan perjalanan penyakit.
Pengobatan jangka panjang dengan obat-obatan imunosupresif yang lebih baru,
kadangkala diperlukan pada kasus-kasus yang berat.
62

iv. Neuropati Diabetika & Penatalaksanaannya


4. Billy Indra Gunawan
Pendahuluan :
Neuropati diabetika merupakan suatu gangguan yang mengenai saraf, yang disebabkan
oleh diabetes. Bila menderita diabetes lama, maka terjadi kerusakan pada saraf diseluruh
badan. Neuropati menyebabkan kesemutan dan kadang-kadang nyeri dan kelemahan
ditangan, lengan, kaki, tungkai dan juga bisa terjadi sindroma terowongan karpal. Juga
bisa terjadi gangguan pada system organ, termasuk traktus digestivus,jantung dan organ
seks. Penderita dibetes bisa mengalami gangguan pada saraf pada setiap waktu, namun
risiko akan menjadi lebih besar, bila menderita diebeteslebih lama.
Sekitar 50% 1 (60-70%) penderita diabetes enderita suatu bentuk neuropati, namun tidak
semuanya mempunyai gejala. Persentase tertinggi neuropati diabetika terjadi pada
penderita yang telah menderita diabetes lebih dari 25 tahun.
Neuropati diabetika juga lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan gula darah tidak
terkontrol, kadar lipid darah yang tinggi, tekanan darah tinggi, berat badan berlebihan dan
yang berumur lebih dari 40 tahun.
Harus diingat, bahwa gangguan saraf perifer yang berat pada diabetes
merupakanpenyebab yang ikut banyak menentukan dilakukannya amputasi pada
eksremitas inferior.

Definisi neuropati diabetika (Medline NLM definition of Diabetic Neuropathies) :


merupakan suatu gangguan pada saraf perifer, otonom dan sarf cranial yang ada
hubungannya dengan diabetes militus. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh kerusakan
mikrovaskuler yang disebabkan oleh diabetes yang meliputi pembuluh darah yang kecil-
kecil yang memperdarahi saraf (vasa nervorum). Keadaan yang relative biasanya terjadi
pada neuropati diabetika adalah parese N.II, monoreuopati multipleks, amiotrofi
diabetika, painful neuropathy, neuropati otonom dan neuropati torako-abdominal.
Definisi paling sederhana dari neuropati diabetika yang dipakai untuk praktek sehari-hari
disetujui pada suatu International Consensus Meeting for the Outpatient Management of
Neuropathy dan disebutkan sebagai “ adanya gejala atau tanda dari disfungsi saraf perifer
pada penderita diabetes, setelah eksklusi penyebab-penyebab yang lain ”.
63

Neuropati diabetika dibagi dalam berbagai sindrom, dimana setiap jenis mempunyai
suatu pattern tertentu dari saraf perifer yang terkena dan seringkali terjadi sindrom yang
multiple dan overlapping dari gejala-gejala sindrom yang berlainan. Secara histories
neuropati dianggap sebagai suatu akibat daripada penyebab dari diabetes (Marchal de
Calvi’s 1864 observations).

Patofisiologi :
Dasar patofisiologi penyebab neuropati pada diabetes belum dimengerti seluruhnya dan
terdapat banyak hipotesis, dan pada saat ini dianggap suatu proses yang multifaktorial/
kombinasi dari berbagai faktor. Berikut ini beberapa teori yang banyak diterima yaitu :
• Teori Metabolik
• Teori Gangguan saraf tepi, gangguan saraf otonom, dan gangguan paut saraf-
otot / Vaskuler (iskemik-hipoxix)
• Teori Oto-imun
• Teori perubahan support neurotropik (Altered neurotrophic support theory)
• Teori laminin
• Gangguan mekanis
• Faktor keturunan (inherited traits)
• Faktor cara hidup (lifestyles).
• Gangguan pada proses perubahan asam lemak esensial (essential fatty aci /
EFA) menjadi asam gama-linoleik (gamma-linolenic acid (GLA).

Teori Metabolik : teori ni mengemukakan, bahwa hiperglikemia menyebabkan kadar


glucose intraseluler yang meningkat, sehingga terjadi kejenuhan (saturation) dari jalur
glikolitik yang biasanya digunakan (normally used glyclytic pathway). Glukosa yang
berlebihan di alirkan ke jalur poliol (polyol pathway) dan diubah menjadi sorbitol dan
fruktosa oleh enzim aldose reduktase dan sorbitor dehidrogenase. Penumpukan dari
sorbitol dan fruktosa menyebabkan mengurangnya mioinositol dalam saraf, menurunnya
aktivitas membrane Na+/K+-ATPase, terganggunya transport akson dan penghancuran
struktur saraf (structural breakdown of the nerve) sehingga menyebabkan menurunnya
64

kecepatan hantar saraf. Dengan ini jelas bagaiman inhibitor aldose reduktase bekerja dan
memperbaiki kecepatan hantar saraf.
Teori Neovaskuler / Vaskuler (iskemik-hipoxik) : menurut teori ini, maka terjadi
iskemia endoneurial karena meningginya resistensi endoneurial-vaskuler terhadap darah
yang hiperglikemik. Berbagai factor metabolic termasuk pembentukkan dari produk akhir
glikosilasi yang lanjut (formation of advanced glycosylation end products) juga
memegang peranan sampai terjadi kerusakan kapiler dan meng-inhibisi transport aksonal
dan aktivitas Na+/K+-ATPase sehingga akhirnya terjadi degenerasi akson. Semua ini juga
terjadi karena kerusakan pada pembuluh darah, yang membawa oksigen dan nutrient ke
saraf.
Teori Auto-imun : Anggapan, bahwa neuropati auto-imun merupakan mekanisme yang
menyebabkan terjadinya neuropati diabetika, karena menyebabkan inflamasi pada saraf
selalu menarik perhatian. Neuropati oto-imun bisa terjadi karena perubahan imunogenik
dasi sel endotel kapiler. Hal ini juga yang dapat menerangkan, mengapa penggunaan
imunoglobulin intravena (IVIg) bisa berhasil untuk mengobati neuropati diabetika. *
Teori Perubahan Support Neurotropik (Altered neurotophic support theory) :
faktor neurotopik penting untuk mempertahankan, pembentukan dan regeneasi dari
elemen-elemen yang resposif dari sitem saraf. Nerve growth factor (NGF) merupakan
yang telah paling banyak diselidiki. Protein ini memperbaiki survival dari factor-faktor
simpatetik dan small fiber, yang berasal dari neural crest di system saraf perifer. Pada
hewan yang menderita diabetes, baik produksi dan transport dari NGF terganggu Anti-
oksidan dapat dipakai untuk meningkatkan efek NGF.
Teori laminin : laminin adalah suatu glikoprotein heteromerik, kurariform yang besar
dan terdiri dari suatu rantai alfa yang besar dan 2 rantai beta yang lebih kecil, yaitu beta 1
dan beta 2. Laminin memperbaiki ekstensi neurit dengan jalan kultur neuron. Bila terjadi
kekurangan ekspresi dari gen laminin beta 2 dapat terjadi neuropati diabetika.
Gangguan mekanis pada saraf : seperti sindrom terowongan karpal
Faktor keturunan (inherited traits) yang membuat saraf lebih rentan
Faktor cara hidup (lifestyles) seperti merokok dan alcohol.
Staging : terdapat beberapa skor klinis nerologis untuk meng-ases tingkatan dari
polineuropati diabetika, termasuk Neuropathy Impairment Scale (NIS), Vibration
65

Detection Threshold (VDT), Code Detction Scale (CDT) dan Heel Pain (HP), namun
secara umum biasanya dipakai staging.
Ada beberapa tingkat staging neuropati diabetika sbb :
• NO - > tak ada neuropathy
• N1a - > neuropati asimptomatik yang dideteksi dengan abnormalitas KHS
paling sedikit di 2 saraf
• N1b - > N1a + pemeriksaan neurologist yang abnormal
• N2a - > Simptomatik neuropati diabetika yang ringan dengan gejala sensorik,
motorik atau otonom dan pasien masih bisa berjalan diatas tumit.
• N2b - > neuropati diabetika yang simptomatik yang berat (seperti pada N2a,
namun pasien tidak mampu untuk berjalan diatas tumit)
• N3 - > polineuropati diabetika yang menyebabkan cacat (disabling).

Physical :
• Neuropati diabetika biasanya dimualai sebagai suatu disfungsi umum serabut
saraf perifer yang asimptomatik. Biasanya disfungsi dini yang paling serig
ditemukan adalah kecepatan hantar saraf yang abnormal atau penurunan
respons denyut jantung terhadap nafas dalam atau terhadap tes valsalva.
o Tanda klinis pertama yang biasanya timbul bersamaan dengan
menurunnya kecepatan hantar saraf adalah menurunnya / hilangnya refleks
tumit atau menurunnya / hilangnya sensasi vibrasi pada jari-jari kaki.
o Bla penyakit berlanjut, akan timbul rasa nyeri dengan derajat yang
berbeda-beda, gangguan sensorik pada jari-jari kaki, kaki dan tungkai
distal, gangguan refleks fisiologis disertai kelemahan otot-otot kecil dan
kaki.
• Diperlukan 5 kriteria untuk menetapkan diagnosa polinerupati diabetika :
o Pasien menderita diabetes mellitus berdasarkan criteria National Diabetes
Data Group
o Diabetes mellitus telah menyebabkan hiperglikemia khronis untuk waktu
yang lama.
66

o Pasien terutama menderita polineuropati yang predominan distal


sensorimotorik pada ekstremitas bawah
o Retinopati diabetika atau nefropati hamper sama dengan polineuropati
o Kausa lain dari polineuropati sensorimotorik bisa disingkirkan.
Pada DM tipe 1 (IDDM), polineuropati distal biasanya terjadi setelah hiperglikemia
khronis untuk waktu yang lama. Sebaliknya pada DM tipe 2 (NIDDM), terjadinya
setelah beberapa tahun adanya kontrol gula darah yang kurang baik dan kadang-kadang
malahan neuropati diabetika sudah ditemukan pada waktu ditegakkan diagnosa DM.
• Karena neuropati diabetika bisa timbul dalam berbagai bentuk gejala sensorik
motorik dan otonom, harus dibuat suatu daftar yang terstruktur untuk
anamnesia.
o Gejala sensorik bisa merupakan gejala negatif atau positif, difus atau
lokal.
Gejala sensorik yang negatif adalah rasa tebal, tak merasa (deadness)
gangguan berupa sarung tangan / kaus kaki, seperti berjalan diatas tongkat
jangkauan (stilts) dan kehilangan keseimbangan terutama bila mata ditutup
dan luka-luka yang tidak terasa sakit.
Gejala yang positif adalah rasa seperti terbakar, nyeri yang menusuk, rasa
yang seperti kesetrum (electric shocklike feelings), rsa kencang dan
hipersensitif terhadap raba halus.
o Gejala motorik dapat menyebabkan kelemahan yang distal, proksimal
atau fokal. Gejala motorik distal termasuk gangguan koordinasi halus dari
otot-otot tangan, tak dapat membuka kaleng atau memutar kunci,
memukul2 kaki dan lecetnya jari kaki. Gejala kelemahan proksimal adalah
gangguan menaiki tangga, kesukaran bangun dari posisi duduk atau
berbaring, jatuh karena lemasnya lutut dan kesukaran mengangkat lengan
diatas pundak.
o Gejala otonom dapat berupa gangguan sudomotorik (kulit kering,
keringat yang kurang, keringat yang berlebihan pada area tertentu),
gangguan pupil (gangguan adaptasi pada keadaan gelap, sensitive terhadap
cahaya yang terang), gangguan kardiovakuler (kepala terasa enteng pada
67

posisi tertentu, pingsan), gangguan pada miksio (urgency, inkontinensia,


menetes), gastrointestinal (diare nocturnal, konstipasi, memuntahkan
makanan yang telah dimakan) dan gangguan seksual (impotensi dalam
ereksi dan gangguan ejakulasi pada pria dan tak bisa mencapai klimaks
seksual pada wanita).
• Klasifikasi neuropati diabetika yang diterima secara umum adalah
pembagian luas dalam neuropati yang simetris dan asimetris. Gejala biasanya
dapat timbul pada setiap derajat gangguan neuropati atau malahan tidak timbul
sama sekali. Terjadinya gejala tergantung dari lamanya terkena hiperglikemi
(total hyperglycemic exposure) dan lain-lain factor risiko. Pemeriksaan yang
teliti diperlukan untuk menetapkan diagnosa karena pada 5-10% pasien terjadi
gejala-gejala, yang bukan disebabkan oleh polineuropati diabetika.

Klasifikasi neuropati diabetika :


Neuropati diabetika dapat diklasifikasi sebagai neuropati perifer, otonom,
proksimaldan fokal dan setiap tipe mengenai bagian badan yang berlainan dengan cara
yang berbeda pula.
* neuropati perifer menyebabkan nyeri atau kehilangan rasa pada jari-jari kaki, kaki,
tungkai, tangan dan lengan.
* neuropati otonom menyebabkan perubahan pada pencernaan, usus, fungsi kandung
kemih, respons seksual dan perspirasi. Juga dapat mempengaruhi saraf-saraf yang
mengurus jantung dan tekanan darah, saluran pencernaan, traktus urinarius, organ seks,
kelenjar keringat dan mata.
Neuropati otonom juga bisa menyebabkan tidak sadarnya adanya suatu hipoglikemia
(hypoglycemia unawareness of low blood sugar), dimana penderita tidak lagi bisa
merasakan tanda-tanda akan terjadinya hipoglikemia.
* Neuropati proksimal menyebabkan nyeri dipaha, panggul atau pada bokong dan bisa
menyebabkan kelemahan pada tungkai.
* Neuropati fokal menyebabkan kelemahan mendadak dari satu saraf atau kumpulan
saraf yang menyebabkan kelemahan otot atau rasa nyeri dan setiap saraf di badan dapat
68

terkena dan bisa mengenai mata, otot muka, telinga, pelvis, panggul bawah, paha dan
abdomen.
Neuropati perifer :
Jenis neuropati ini merusak saraf di lengan dan tungkai, dimana kaki dan tungkai
biasanya lebih dulu terkena daripada tangan dan lengan ; Pada banyak penderita diabetes
dapat ditemukan gejala neuropati pada pemeriksaan, akan tetapi penderita tidak
merasakannya sama sekali.
Gejala-gejala biasanya dirasakan lebih berat pada malam hari. Neuropati perifer juga bisa
menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks, terutama releks tumit yeng
menyebabkan perubahan cara jalan (gait/walking) dan juga bisa terjadi deformitas pada
kaki seperti hammertoes dan koliaps dari midfoot. Bisa terlihat luka-luka pada kaki
(blister/sores) yang terjadi pada daerah yang kurang rasa, karena kerusakan yang
disebabkan oleh tekanan (pressure injuries) Bila tidak diobati dengan segera, maka bisa
terjadi infeksi sampai ke tulang dan bisa harus dilakukan amputasi. Berbagai penyelidik
berpendapat, bahwa kurang lebih setengah jumlah amputasi bisa dicegah, bila problema-
problema itu dapat di antisipasi secara dini dan diobati pada waktunya.
Neuropati otonom :
Jenis neuropati ini mengenai saraf yang mengontrol jantung, mengurus tekanan darah dan
mengatur kadar gula darah. Juga mengenai organ dalam yang menyebabkan gangguan
pada pencernaa, pernafasan, miksio, respons seksual dan penglihatan. Selain itu sistem
yang memperbaiki kadar gula ke normal setelah terjai suatu episode hipoglikemia bisa
terkena, sehingga terjadi hilangnya tanda-tanda peringatan terjadinya hipoglikemia
seperti keringat dingin dan palpitai (hypoglycemia unawareness of low blood sugar).
• Tidak sadarnya adanya suatu hipoglikemia (hypoglycemis unawareness of low
blood sugar) : biasanya akan terjadi gejala-gejala seperti gemetar, bila gula darah
menurun sampai dibawah 70 mg%, sedangkan pada neuropati otonom hal ini
tidak terjadi sehingga hipoglikemi sukar dideteksi. Namun ada beberapa problema
lain yang bisa menyebabkan ini, sehingga hal ini tidak selalu berarti adanya
kerusakan saraf.
• Jantung dan sistem sirkulatoir adalah bagian dari sistem kardiovaskuler, yang
mengontrol sirkulasi darah. Kerusakan pada saraf di system kardiovaskuler
69

menggangu kemampuan badan untuk mengatur tekanan darah dan enyut jantung
sehingga tekanan darah dapat turun dengan mendadak setelah duduk atau berdiri
dan menyebabkan penderita merasakan kepala yang enteng atau malahan pingsan.
Kerusakan pada saraf yang mengatur denyut jantung dapat menyebabkan denyut
yang tetap tinggi ( tidak naik dan turun ) sebagai respons terhadap fungsi badan
yang normal dan pada latihan / exercise.
• Sistem pencernaan : Kerusakan saraf pada saluran pencernaan biasanya
menyebabkan konstipasi. Selain itu bisa juga menyebabkan pengosongan
lambung yang terlalu lambat sehingga bisa menyebabkan gastroparesis.
Gastroparesis yang berat menyebabkan nausea dan muntah yang persisten,
bertahak dan tidak nafsu makan. Gastropareis juga bisa menyebabkanfluktuasi
gula darah, yang disebabkan oleh pencernaan makanan yang abnormal.
Kerusakan pada oesophagus juga bisa menyebabkan kesukaran menelan,
sedangkan kerusakan pada usus menyebabkan konstipasi bergantian dengan diare
yang sering dan tal terkontrol terutama pada malam hari dan problema-problema
ini dapat menyebakan turunnya berat badan.
• Traktus urinarius dan organ seks : Neuropati otonom seringkali mempengaruhi
organ-organ yang mengontrol miksio dan fungsi seksual. Kerusakan saraf
menghalangi pengosongan sempurna dari kandung kemih, sehingga bakteri dapat
tumbuh dalam kandung kemih dan ginjal sehingga dapat menyebabkan infeksi
pada traktus urinarius. Bila saraf yang mengurus kandung kemih terganggu dapat
terjadi inkontinensia urin karena tidak merasakan kapan kandung kemih penuh
atau tidak bisa mengontrol otot-otot yang melepaskan urin. Neuropati juga akan
mengurangi respons seksual pada pria dan wanita, walaupun sex drive tidak
berubah. Penderita pria bisa mengalami gangguan ereksi atau bisa mencapai
klimaks seksual tanpa ejakulasi dan penderita wanita mengalami kesukaran
lubrikasi, arousal dan orgasme.
• Kelenjar keringat : Neuropati otonom dapat mengenai saraf-saraf yang
mengurus keringat. Kerusakan saraf mencegah bekerjanya kelenjar keringat
dengan baik, sehingga badan tak dapat mengatur suhu dengan baik dan ini bisa
menyebabkan keringatan yang banyak pada malam hari atau sewaktu makan.
70

• Mata :
Neuropati otonom juga bisa menyebabkan gangguan pada pupil sehingga menjadi
kurang responsive terhadap cahaya dan mengalami penglihatan yang kurang jelas
bila cahaya dinyalakan dalam kamar yang gelap atau mengalami kesukaran
mengemudikan kendaraan pada malam hari. 1
Neuropati proksimal :
Neuropati proksimal seringkali juga disebut pleksus neuropati lumbosakral, neuropati
femoral atau amiotrofi diabetika, yang dimulai dengan nyeri dip aha, panggul, bokong
atau tungkai, biasanya pada satu sisi badan. Neuropati tipe ini lebih sering terjadi pada
diabetes tipe 2 dan pada lansia.
Bisa terjadi kelemahan pada tungkai, yang bermanifestasi dalam kesukaran bangun dari
posisi duduk ke posisi berdiri tanpa pertolongan orang lain. Biasanya diperlukan
pengobatan untuk kelemahan dan nyerinya, dan lamanya periode penyembuhan (recovery
period) tergantung dari tipe kerusakan saraf yang terjadi.
Neuropati fokal :
Kadang-kadang neuropati diabetika timbulnya mendadak dan mengenai saraf perifer
terutama di kepal, torso atau tungkai.
Neuropati fokal bisa menyebabkan :
* gangguan memfokuskan mata
* melihat dobel (double vision)
* nyeri dibelakang satu mata
* Bell’s palsy
* Nyeri hebat di punggung bawah atau pelvis
* Nyeri di bagian depan paha
* Nyeri di dada, perut atau samping badan
* Nyeri di sebelah luar atau sebelah dalam kaki
* Nyeri dada atau abdominal yang sering disalah diagnosa sebagai suatu penyakit
jantung, serangan jantung atau appendicitis.

Neuropati fokal biasanya menimbulkan nyeri dan tidak dapat diramalkan kapan
terjadinya dan biasanya terjadi pada lansia, namun biasanya akan membaik sendiri
71

setelah beberapa minggu / bulan dan tidak menyebabkan kerusakan dalam waktu yang
lama.
Pada penderita diabetes biasanya juga terjadi kompresi saraf (entrapment syndromes)
antara lain sindrom terowongan karpal yang seringkali terjadi dan menyebabkan rasa
tebal dan tingling di tangan dan kadang-kadang disertai kelemahan atau nyeri. Bisa
terjadi entrapment saraf lain yang menyebabkan nyeri di sebelah luar atau dalam bagian
kaki.
Pembagian lain dari Mount Sinai of Medicine adalah sbb: Polineuropati yang simetris
mengenai saraf yang multiple, secara difus dan simetris dan dibagi dalam :
* polineuropati yang distal simetris
* neuropati serabut kecil (Small-fiber neuropathy)
* neuropati serabut besar (Large-fiber neuropathy)
* neuropati diabetika otonom
* Diabetic neuropathic cachexia.
Neuropati yang asimetrik termasuk mononeuropati kranial yang tersendiri ataupun yang
multipel, misalnya neuropati n medianus pada pergelangan tangan (median neuropathy of
the wrist [MNW]), neuropati ulnaris di siku (ulnar neuropathy of the elbow [UNE]),
monoradikulopati yang tersendiri ataupun multipel, radikulopleksoneuropati lumbosakral
dibetika (diabeic lumbosacral radiculoplexoneuropathy [DLSRPN]), amiotrofi diabetika,
radikuloneuropati torakolumbal diabetika (diabetic thoracolumbar radiculoneuropathy
[DTLRN]), dan otonomia diabetika. Sindrom-sindrom ini dapat dibedakan dari bentuk
polineuropati diabetika distal yang khas yang lain dari :
1. timbulnya secara akut atau subakut
2. perjalanan penyakitnya monofasik
3. hubungannya lebh banyak dengan diabetes tipe 2 (NIDDM) daripada tipe 1 (IDDM)
4. beberapa ada hubungan dengan adanya angitis inflamatoir dan iskemia seperti
DLSRPN
5. mempunyai hubungan yang lebih lemah dengan hiperglikemi (total hyperglycemic
exposure) dibandingkan dengan neuropati yang simetris.

Neuropati yang asimetris yang ditemukan pada DM antara lain adalah :


72

o Mononeuropati kranial
o Mononeuropati somatik
o Poliradikulopati diabetika
o Neuropati torakoabdominal
o Radikulopleksopati lumbosakral
o Neuropati akut dengan nyeri (Acute painful neuropathy / diabetic cachexia)
o Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP)

Gejala-gejala :
Gejala-gejala tergantung dari tipe neuropati dan saraf mana yang terkena. Beberapa
penderita malahan tiak mempunyai gejala sama sekali, dan sebagian lain menderita rasa
tebal, tingling, dan kadang-kadang nyeri pada kaki merupakan gejala yang pertma kali
timbul. Bisa terjadi keluhan nyeri dan rasa tebal secara bersamaan.
Biasanya mula-mula gejala hanya ringan, dan karena kerusakan pada saraf terjadi selama
beberapa tahun, maka seringkali kasus-kasus yang ringan tidak terdeteksi untuk waktu
yang lama. Gejala bisa meliputi sistem saraf sensorik maupun motorik dan juga pada
sistem saraf otonom. Pada beberapa kasus, timbulnya nyeri bisa mendadak dan hebat,
terutama bila menderita neuropati fokal.
Gejala-gejalanya adalah sbb :
* Gejala neuropati perifer anatara lain adalah :
- rasa tebal atau kurang merasakan nyeri dan /atau suhu
- Rasa seperti geli / tingling, seperti terbakar atau seperti ditusuk-tusuk.
- Nyeri yang tajam atau kramp dan nyeri terasa di jari kaki, kaki, tungkai,
tangan, lengan dan jari tangan.
- Rasa berlebihan terhadap sentuhan
- Kehilangan keseimbangan dan koordinasi
- Kelemahan
- Mengecilnya otot-otot kaki atau tangan.
dan biasanya gejala-gejala ini dirasakan lebih berat pada malam hari
* Gangguan pencernaan, nausea atau muntah
* Diare atau konstipasi
73

* Rasa mabuk atau mau pingsan (dizznes / faintness) yang disebabkan oleh
menurunnya tekanan darah postural.
* Gangguan miksio
* Disfungsi erektil (impotensi) atau mengeringnya vagina
* Kelemahan.
Selain itu bisa terjadi beberapa gejala yang bukan merupakan gejala neuropati, namun
sering menyertainya yaitu :
* penurunan berat badan &
* depresi

Mencegah timbulnya neuropati diabetika :


Cara terbaik mencegah timbulnya neuropati diabetika adlah dengan jalan mengatur kadar
gula darah pada level normal dan dengan mempertahankan kadar gula darqh pada level
yang aman akan melindungi terjadinya kerusakan saraf di seluruh badan.

Diagnosa :
Neuropati di diagnosa berdasarkan gejalanya dan pemeriksaan fisik, dimana harus di
periksa tekanan darah, denyut jantung, kekuatan otot, refleks, dan sensitivitas terhadap
posisi, vibrasi suhu dan raba halus.
Juga dapat dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lain untuk membantu menentukan tipe
dan seberapa beratnya kerusakan saraf yang terjadi :
* pemeriksaan kaki yang komprehensif : dngan cara memeriksa kulit, sirkulasi dan
sensasi dengan menggunakan monofilamen nilon ; bila ada gangguan kehilangan sensasi
protektif akan ada risiko terjadinya luka pada kaki yang sukar sembuh.
* Juga perlu diperiksa pemeriksaan refleks dan vibrasi yang lebih sensitif dari rasa raba /
tekanan.

Pemeriksaan penunjang :
* Pemeriksaan Laboratorium :
74

Harus diperiksa laboratorium dan menyingkirkan kausa-kausa lain dari neuropati,


Semua hasil-hasil harus normal kecuali gula darah dan HbA1c pada diabetes yang
tidak terkontrol dengan baik atau yang belum diketahui (undiagnosed diabetes).
* Eritrosit * leokosit & diff
* Elektrolit
* Gula darah puasa dan HbA1c (glycosylated hemoglobin) : HbA1c bisa tinggi,
walaupun belum ada korelasi yang berlangsung anatara beratnya peninggian
HbA1c dengan beratnya neuropati diabetika.
* Vitamin B-12 dan kadar asam folat.
* Thyroid-stimulating hormone dan tiroksin.
* LED (Erythrocyte sedimentation rate)
* Pemeriksaan Imajing :
* MRI servikal, torakal dan / atau lumbal untuk menyingkirkan kausa sekunder dari
neuropati.
* CT mielogram adalah suatu pemerikasaan alternative untuk menyingkirkan lesi
kompresi dan keadaan patologis lain di kanalis spinalis pada radikulopleksopati
lumbosakral dan neuropati torakoabdominal.
* Imajing otak biasanya Mri, digunakan untuk menyingkirkan aneurisma intracranial,
lesi kompresi dan infark pada kelumpuhan n okulomotorius.
* Pemeriksaan elektrofisiologis :
∗ Pemeriksaan elektrofisiologis dari fungsi saraf perifer adalah yang paling
sensitive, dapat dipercaya dan dapat di-ulang (reproducible), yang juga ada
korelasinya dengan penemuan morfologis pada biopsy saraf. Wlaupun bisa
ditentukan dan menjumlah disfungsi saraf secara kwntitatif, kelainan yang
ditimbulkan tidak khas untuk diabetes, namun untuk neuropati pada
umumnya.
∗ Beberapa skor, yang mengkombinasikan nilai klinis, kwntitatif, sensorik dan
elektrofisiologis, seringkali digunakan pada penyelidikan perjalanan penyakit
dan efektivitas. Contohnya adalah Neuropathy Impairment Score in the Lower
Limbs +7 dan Michigan Diabetic Neuropathy Score. Pada yang terakhir,
mula-mula pasien diperiksa dengan suatu kwestioner sederhana dan
75

pemeriksaan klinis dan skor yang abnormal, di-ases lebih lanjut dengan
pemeriksaan neurologist yang lebih teliti dan pemeriksaan elektrofisiologis.
∗ Elektromiografi (EMG) dan Kecepatan Hantar Saraf (KHS/NCV) :
− KHS motorik di montor dengan amplitude dari CMAP (Componed
muscle action potentials) atau diukur kecepatan hantar saraf motorik-nya.
Kelainanan hantaran saraf menggambarkan kehilangan serabut saraf yang
bermielin yang berdiameter besar dan biasanya tungkai lebih terkena
daripada lengan. Hal ini mencerminkan degenerasi serabut saraf
berdiamater besar, yang tergantung dari panjangnya saraf.
− KHS motorik tak boleh menurun lebih dari 50% dibandingkan dengan
rerata normal ( normal mean ) ; bila menurun lebih banyak lagi, harus
dicarikausa lain ; juga tak boleh ada counduction block.
− Kelainan pada kecepatan hantar sensorimotorik dapat ditemukan pada
pasien diabetes, walaupun secara klinis belumada gejala polineuropati
distal simetris. Abnormalitas kecepatan hantar saraf umumnya ditemukan
di saraf-saraf sensorik (n suralis, n peroneus dan n medianus).
− Sensory nerve action potentials (SNAP) menunjukkan amplitudo yang
menurun, atau tidak ada respons sama sekali / menurunnya kecepatan
ditemukan di n peroneus.
Respons lambat (F waves, H refleks n tibialis) memanjang atau tidak
timbul.
Secara umum ini menggambarkan perubahan patologis primer dari suatu
degenerasi aksonal.
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) memeriksa transmisi elektris
melalui saraf dan penurunan KHS menandakan adanya kerusakan pada
saraf, dan dengan pemeriksaan KHS dapat diperiksa berbagai sara di
tungkai dan lengan.

∗ Elektromigrafi (EMG) menunjukkan bagaimana respons otot terhadap signal


elektris yang di transmisi oleh saraf dan ini dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan KHS. Pemeriksaan EMG pada otot-otot distal pada ekstremitas
76

bawah menunjukkan adanya denervasi dalam bentuk PSW (positive sharp


waves) dan fibrilasi (spontaneous discharges). Perubahan re-inervasi seperti
unit potensial yang mempunyai amplitudo tinggi, duration yang panjang dan
polifasis mencerminkan adanya suatu gangguan yang khronis. Kelaianan pada
otot-otot paraspinal dengan pemeriksaan dengan jarum menunjukkan
spontaneous discharges, yang ditemukan secara bilateral dan menunjukkan
adanya suatu poliradikulopati.

∗ Quantitative sensory testing (QST) menggunakan suatu repons terhadap


stimuli seperti tekanan, vibrasi dan suhu untuk memeriksa aa tidaknya
neuropati. QST ini makin sering digunakan untuk mengenal kehilangan
sensasi dan iritabilitas pada saraf yang berlebihan.

∗ Variabilitas denyut jantung : menunjukkan respons jantung terhadap nafas


dalam dan juga terhadap perubahan tekanan darah dan postur.

∗ USG / Ultasound menggunakan gelombang suaru untuk menimbulkan image


dari organ dalam misalnya kandung kemih sehingga bisa menunjukkan
bagaimana fungsi organ-organ tersebut berfungsi setelah pengosongan.

∗ Biopsi kulit / saraf terutama untuk research. Biopsi saraf suralis pada saat ini
jarang dilakukan lagi, karena dianggap prosedur uyang invasive dan tidak
mengenakan dan mahal dan ada problema untuk reproducibility dari tindakan
tersebut dan juga karena tidak ada patokan untuk prediksi dari abnormalitas
yang ditemulan. Pada saat ini ada hal-hal baru dalam bidang ini yaitu Skin
punch biopsy dan immunohistochemical staining dari saraf perifer, namun
belum diketahui dengan pasti hasilnya.
77

Penatalaksanaan :

Terapi medikamentosa : harus dibedakan anata terapi simptomatik danyang bisa


merubah progrevitas (lambat) dari neuropati dengan atau tanpa mempengaruhi gejala-
gejala.

Kontrol glikemik :
Langkah pertama adalah menurunkan gula darah ke level yang normal untuk mencegah
terjadinya kerusakan saraf lebih lanjut; diperlukan monitoring gula darah, pengaturan
diet, exercise dan obat-obat anti-diabetika oral atau suntikan untuk mengontrol kadar gula
darah. Walaupun gejala-gejala mula-mula bisa memburuk pada waktu gula darah
diturunkan, namun lama kelamaan dengan berjalannnya waktu, penurunan gula darah ke
level yang normal akan membantu mengurangi gejala neuropati. Perlu ditekankan pula,
bahwa control gula darah yang baik akan membantu mencegah terjadinya kerusakan-
kerusakan yang lebih lanjut dan memperlambat progresi dari gejala-gejala neurologist.
Peubahan gula darah yang naik turun dengan perubahan yang cepat dari hipoglikemia ke
hiperglikemia dianggap dapat memperburuk dan menyebabkan nyeri neuropatik.
Sehingga stabilitas daripada nilai sebenarnya dari control glikemik lebih penting untuk
menghilangkan nyeri neuropatik. Kontrol gula darah yang ketat bisa menurunkan risiko
neuropati dngan 60% dalam 5 tahun.
Penatalaksanaan lebih lanjut tergantung dari tipe kerusakan saraf dan gejala-gejalanya.

Terapi medikamentosa untuk menghambat progresivitas (memperlambat)


neuropati atau memacu regenerasi saraf dengan atau tanpa memperngaruhi gejala-
gejala dengan maksud menurunkan morbiditas dan menghindari komplikasi.

Inhibitor aldose-reduktase (altesrtin, sorbinil, tolrestat) ; walaupun telah ada sejak 30


tahun lamanya, namun hanya beberapa saja yang pada saat ini ada dipasaran dan hanya di
beberapa negara saja. Golongan obat ini memlok rate-limiting enzyme di jalur poliol
neuropati daripada memberikan symptomatic relief.
78

Asam alfa lipoik : (aLA) adalah suatu ko-enzim yang esensial untuk produksi energi
dan merupakan suatu anti-oksigen yang kuat yang me-recycle vitamin C, E dan juga anti-
oksidan enzimatik yang penting yaitu : glutation, yang juga anti-hiperglikemik (seperti
juga exercise fisik) sehingga dapat menurunkan glukosa sampai 50% bila diberikan
dalam dosis 1200 mg iv per hari yang kebetulan juga merupakan dosis maksimal sebelum
timbul efek samping
Suatu keuntungan lain bila memakai aLA adalah bahwa ia juga menurunkan glycosylated
hemoglobin melalui penurunan level gula darah.
Ziegler et al (1995) 6telah membuat sautu uji klinis multisenter dengan control placebo
pada 382 pasien NIDDM dan neuropati simptomatik dan melaporkan pengurangan gejala
simptomatik secara sementara dan sebuah uji klinik lain pada neuropati otonom juga ada
efek obat ini untuk memperngaruhi perjalanan disfungsi otonom.
Asam gama linolenic (GLA / Gamma-linolenic acid) : Tahap pertama dari
metabolisme asan lemak esensial asam linolenik terganggu pada diabetes dan gangguan
ini dapat di bypass dengan pemberian GLA. Beberapa uji klinik menunjukkan perbaikan
klinis dan elektrofisiologis pada fungsi saraf perifer bila pasien neuropati diberikan GLA
dan beberapa uji klinik sedang berjalan, memberikan hasil yang menjanjikan bila GLA
dikombinasikan dengan obat-obat lain.
Nerve growth factor : defisiensi NGF endogen, yang berguna untuk serabut sensorik
dan otonom dan pemberian NGF eksogen dapat berguna pada neuropati diabetika. Pada
saat ini sedang dilakukan uji klinik dengan NGF parental.
Metilkobalamin : merupakan satu2nya derivate aktif dari vitamin B12 yang mempunyai
efek merangsang proteosintesis sel2 Schwann dan dengan jalan transmetilasi dapat
menyebabkan mlelogenesis dan regenerasi akson saraf dan memperbaiki transmisi sinaps.

Penanggulangan rasa nyeri :


Untuk menghilangkan rasa nyeri, rasa seperti terbakar dan rasa tebal, dapat digunakan
aspirin atau obat anti inflamasi non steroid misalnya ibuprofen.
Pemakaian NSAID pada penderita penyakit ginjal harus sangat hati-hati.
Dapat digunakan suatu cream topical/patch yang mengandung kapsaisin terutama untuk
nyeri yang lebih terlokalisasi.
79

Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin, imipramin atau nortriplin atau.


Antidepresan trisiklik ini masih merupakan obat first-line untuk menghilangkan nyeri
neuropatik dan efektivitasnya yang telah di buktikan dengan uji klinik berhubungan
dengan kadar obat dlam plasma. Onset hilangnya nyeri secara simptomatik lebih cepat
daripada efek anti-depresan-nya.
Obat anti konvulsan seperti karbamasepin, gabapentin, phenitoin dan lamotrigin dapat
dipertimbangkan untuk menghilangkan nyeri neuropatik dan gejala parestesi pada
neuropati.
Kodein bisa juga diberikan untuk jangka waktu yang pendek untuk menghilangkan nyeri
yang hebat.
Meksiletin yang biasanya digunakan untuk mengatur denyut jantung dikatakan juga
efektif.
Terdapat berbagai cara non-medikamentosa untuk menghilangkan nyeri seperti TENS
(trancutaneous electronic nerve stimulation), yang menggunakan listrik untuk memblok
signal nyeri, dan dapat pula digunakan hypnosis dan latihan relaksasi, biofeedback dan
akupuntur. Berjalan secara teratur atau memakai kaus kaki elastic (elastic stocking) dapat
pula mengurangi nyeri di tungkai.
Terapi secara tradisional dengan akupuntur dikatakan dapat memberikan hasil yang baik
pada nyeri neuropatik .

Pengobatan untuk disfungsi otonom :

Untuk mengobati disfungsi ereksi pada pria harus disingkirkan dulu apakah ada penyebab
hormonal.
Ada beberapa metode untuk mengobati disfungsi ereksi yang disebabkan oleh neuropati,
seperti obat-obatan, menggunakan alat vakum atau menyuntikkan obat kedalam penis,
yang bekerja sebagai vasodilator atau suntikan prostaglandin sebelum seks karena akan
meninggikan aliran darah ke dalam penis. Dapat pula digunakan suatu ring konstriktor
atau penile sling.
80

Sampai saat ini terapi untuk impotensi dalam ereksi, karena penyebab yang non-vaskuler
dan non-psikologik adalah pemberian injeksi intrakorpal dari zat-zat vasoaktif seperti
papaverin. Juga sildenafil secara oral telah dipakai untuk disfungsi ereksi dengan
berbagai kausa, termasuk diabetes. Sildenafil adalah suatu inhibitor yang poten dan
kompetetif dari enzim V cyclic guanosine monophosphate-specific phosphodiesterase,
yang merupakan predominan suatu isoenzim dalam korpus kavernosa manusia.
Beberapa pelumas vagina dapat berguna pada wanita bila neuropati telah menyebabkan
keringnya vagina dan untuk mengobati problema arousal dan orgasme kadang-kadang
perlu di konsulkan ke ginekolog.
Glikopirolat merupakan suatu zat anti-muskarinik, yang bila dioles secara topical di
daerah tertentu, dapat menyebabkan pengurangan keringatan bila sedang makan.

Gangguan pada traktus urinarius :


Bila ada infksi pada tractus urinarius harus diberikan antibiotika dan meminum banyak
cairan akan mencegah terjadinya infeksi yang berulang. Penderita dengan inkontinensia
harus mencoba untuk miksio pada waktu yang sering, misalnya setiap 3 jam, karena tidak
bisa merasakan dan memberitahukan kapan kandung kemih penuh.

Gangguan gastrointestinal :
Untuk menghilangkan gejala ringan gangguan pencernaan akibat gastroparesis
(gastroparesis-indigestion), bertahak, nausea atau muntah, dianjurkan makan dengan
porsi yang kecil dan sering dan menghindari lemak / fat dan makan lebih sedikit serat /
fiber. Bila gejala lebih berat, dapat diberikan eritromisin untuk memacu pncernaan,
metoklopramid untuk mengurangi rasa enek dan obat-obat lain yang bisa mengatur
pencernaan atau mengurangi sekresi asamlambung.
Untuk menanggulangi diare dan gangguan lain pada usus, kadang-kadang perlu diberikan
antibiotikas seperti tetrasiklin atau oabt-obatan lain yang memadai.

Rasa mabuk dan lemah :


Duduk dan berdiri secara perlahan-lahan dapat mengurangi ras enteng di kepala, rasa
mabuk dan pingsan yang berhubungan dengan gangguan pada tekanan darah dan
81

sirkulasi. Meninggikan letak kepala ditempat tidur dan memakai kaus kaki elastis (elastic
stockings) juga bisa menolong. Beberapa pasien meraa lebih enak bila diberikan diet
garam tinggi dan hormone yang menahan sekresi garam (salt-retaining hormones)

Perawatan kaki : Penderita neuropati harus memerhatikan dan merawat kakinya dengan
seksama. Saraf yang menuju kaki adalah saraf yang terpanjang diseluruh badan dan
merupakan saraf yang paling sering terkena neuropati. Hilangnya persaan di kaki berarti,
bahwa bila ada lecet dan luka, tidak akan diketahui dan dapat menjadi suatu ulkus atau
mengalami infeksi. Problema dalam sirkulasi darah juga akan meningkatkan risiko
terjadinya ulkus pada kaki.
Lebih dari setengah jumlah amputasi ekstremitas bawah di USA trjadi pada penderita
diabetes (86000/tahun) dan diperkirakan bahwa setengah dari jumlah yang telah
diamputasi itu dapat dicegah bila dilakukan perawatan kaki yang benar dan hati-hati yaitu
dengan cara-caranya sbb:

• Kaki harus dibersihkan setiap hari dengan menggunakan air panas dan sabun yang
lembut. Harus dihindari pembasahan kaki yang berlebihan dan harus
menggunakan handuk yang lunak dan kaki di keringkan secara hati-hati terutama
diantara jari-jari kaki.
• Kaki dan jari kaki harus diperiksa setiap hari dengan mencari adanya lecet, luka
potong, kemerahan, pembengkakan dan terjadinya kalkus dsb. Diperlukancermin
atau bantuan orang lain untuk memeriksa telapak kaki.
• Pembasuhan kaki dengan lotion, namun harus dicegah jangan digunakan antara
jari kaki.
• Setelah mandi (bath / shower) pengerasan kulit dan kalkus harus di gosok dengan
batu asah.
• Bila perlu : pemotongan kuku kai setiap minggu dan dibentuk sesuai dengan jari
kai dan pinggirnya dihaluskan dengan kikir.
• Harus selalu memakai sepatu atau sandal untuk melindungi kaki jangan sampai
lecet dan kulit harus dicegah jangan sampai terjadi iritasi, dengan jalan memakai
kaos kaki yang tebal, lunak dan tak ada jahitannya.
82

• Pemakaian sepatu yang cocok dan harus diperhatikan bagian dalamnya agar
supaya tidak ada ujung-ujungnya yang tajam dan dapat melukai kaki.
• Bila perlu harus ke dokter spesialis kaki = podiatrist.

Pengobatan secara nutrisional :


Tujuannya dari pengobatan nutrisional adalah :
* Merubahnya karakteristik lipid dari sel darah sehingga lebih deformabel.
* Meng-induksi angiogenesis (meregenerasi kapiler, sehingga menghilangkan
konsekwensi hipoksia neural yang terus-menerus)
* Memacu pertumbuhan saraf baru (Encourage nerve growth)
* Menambah kapasitas transportasi oksigen secara menyeluruh (overall oxygen-
delivery capacity)
Telah diketahui sejak lama bahwa perubahan asam lemak esensial (essential fatty acid /
EFA) menjadi asam gama-linoleik (gamma-linolenic acid (GLA) terganggu pada
penderita diabetes, yang disebabkan oleh karena deficit produksi enzim delta 6-
desaturase. Pada kasusu yang lebih berat, metabolisme EFA terganggu pada 2 tempat
yaitu juga ada gangguan pada enzim delta-5-desaturase, pada rangkaian konversi yang
lebih awah. Dengan demikian akan terjadi kekurangan GLA dan metabolit-nya yaitu
prostasiklin dan prostaglandin. Neuropati diabetika merupakan suatu penyakit yang
progresif yang bisa disebabkan oleh efek dari defisiensi khronik dari protasiklin dan
prostaglandin, yang merupakan sentrum dari patogenesis neuropati diabetika. Prostasiklin
(PGI2) adalah duatu molekul protektif dengan fungsi fisiologis yang multiple dan yang
penting untuk sintesa PGI2 adalah suatu enzim siklooksigenase (COX).
Terdapat 2 bentuk COX yaitu COX1 yang memproduksi prostasiklin dan prostaglandin
yang bersifat anti-inflamasi dan COX2 yang memproduksi tromboksan A2 (TxA2) dan
beberapa prostaglandin yang menyebabkan inflamasi.
Tujuan pemberian analgetika adalah mengurangi nyeri dan inflamasi dengan jalan
menghentikan produksi prostaglandin yang menyebabkan efek itu. Analgetika yang ideal
adalah menginhibisi COX2, namun meninggalkan COX1 tetap utuh. Namun kebanyakan
“pain killer” merusak COX1 dan COX2 sehingga dengan dmikian menghentikan
produksi prostasiklin yang sangat diperlukan dannjuga prostaglandin yang anti-inflamasi.
83

Dengan demikian pemakaian analgetika tanpa batas dan tanpa pemikiran yang baik justru
menyebabkan suatu gangguan yang tidak disengaja pada jalur konversi GLA ke PGI2,
yang berguna untuk menghilangkan rasa nyeri, sehingga dengan demikian akan
menyebabkan neuropati-nya lebih buruk dengan menimbulkan suatu defisiensi
prostasiklin.
Namun dengan pemikiran yang matang, penggunaan “pain killer” dapat diatasi dengan
pengetahuan yang cukup mengenai sifat analgetika tsb.
Aspirin, naproksen, indometasin, piroksikam dan acetaminophen mencoba memblok
produksi, prostaglandin yang menyebabkan nyeri, namun semuanya kecuali aspirin
memblok semua yang dihasilkan oleh COX, termasuk prostasiklin.
Dari semua analgetika yang dipakai, maka aspirin meng-inhibisi prostasiklin paling
sedikit (3-4 jam) dan piroksikam yang terbanyak (3-4 hari).
Namun hal ini dapat diatur sehingga menguntungkan, karena dengan memakan satu
aspirin setiap 3 hari memaksimalkan produksi prostasiklin, dan mengurangi produksi
COX2 prostanoid TxA2, yang menyebabkan hipertensi dan mempunyai peranan
terjadinya suatu penyakit vaskuler. Karena TxA2 ( suatu metabolit EFA yang ikut
diproduksi dengan prostasiklin ) bekernya antagonistic dengan prostasiklin dalam
kebanyakan efeknya, maka dengan demikian criteria produksi maksimal PGI2 (relative
terhadap TxA2) terpenuhi.
Selain aspirin setiap 3 hari, maka bila diperlukan penanggulangan nyeri, dianjurkan
untuk memakai obat-obat non-siklooksigenase inhibotor misalnya tramadol untuk
nyeri yang berat atau yang ideal inhibitor COX2 seperti nimesulid, vioxx atau selekosib
dan juga bisa dipakai indubufen atau sulindak / clinoril.
Bila mengingini obat yang lebih lunak dapat dicoba kurkumin (ekstrak tumerik)
Perlu ditekankan disini agar tidak menggunakan parasetamol / acetaminophen.
Karena kadar prostasiklin / prostaglandin sangat rendah pada penderita diabetes, maka
eritrositnya rapuh dan tidak bisa berlekuk-lekuk (unable to be deformed). Akibatnya
adalah, bahwa dengan demikian eritrosit yang mentransportasi oksigen ini tidak bisa
masuk ke pembuluh darah kapiler yang diameternya kecil dan tidak bisa di desak masuk
kedalamnya (not able to be “squeezed” into them). Dengan demikian, bila pembuluh
darah mikro di dalam saraf tesebut tidak dapat menerima oksigen, maka sel saraf akan
84

mati. Hal itu terjadi pada neuropati, dimana hasilnya adalah suatu hipoksia endoneurial
yang merupakan penyebab yang sudah jelas dari neuropati diabetika. Gejala dini dari
proses ini mencakup berbagai derajat iritasi sampai nyeri, terutama pada ekstremitas,
sedangkan gejala yang lebih berat termasuk gastroparesis dan impotensi.
Bila metabolisme EFA terganggu dan suplementasi GLA juga tidak akan menyebabkan
produksi dari zat-zat yang diperlukan dalam jumlah yang cukup (GLA dan metabolit-nya
yaitu prostasiklin dan prostaglandin), maka dapat ditambahkan pentoksifilin. Walaupun
pentoksifilin dan GLA mempunyai efek ganda, namun sebaiknya dimulai dengan
menggunakannya secara bersamaan, dimana pentosifilin mempunyai efek yang lebih
segera, sedangkan GLA lebih lambat, namun GLA, walaupu kerjanya lebih lambat,
mempunyai spectrum yang lebih luas dalam menanggulangi dfisiensi asam lemak
esensial yang diderita pasien diabetes. Pentoksifilin harus digunakan secara hati-hati dan
bijaksana dan sebaiknya dihentikan setelah GLA sudah cukup efeknya, yaitu dalam 2-3
bulan dan dalam jangka panjang maka tentu lebih baik untuk memproduksi prostasiklin
secara alamiah dengan memakan GLA.
GLA mempunyai spectrum efek yang lebih luas dan lebih alamiah, namun GLA dan
pentoksifilin menanggulangi neuropati diabetika melalui perlepasan prostasiklin.
Bila tidak ada persediaan dari kedua zat tersebut, maka ada obat-obatan lain yang
meninggikan GLA yaitu :
• ACE-inhibitors (ie: kaptopril, lisinopril, perindopril and ramipril)
• EPA (asam eikosapentaenoik – dari minyak ikan)
• Ekstrak Gingkgo Biloba (standardized, ie:EGB 761)
• Vitamin C
• Vanadium
ACE-inhibitors menurunkan tekanan darah, melalui efek perlepasan prostasiklin dan
juga dipakai pada penderita diabetes untuk prevensi terjadinya gangguan pada ginjal dan
jantung.
Ginkgo Biloba (EGB) dapat juga digunakan sebagai substitusi pentoksifilin atau
ditambahkan pada pentoksifilin karena juga dapat memproduksi prostasiklin dan juga
mempunyai efek tambahan sebagai anti oksidan yang kuat yang efektif untuk mencegah
retinopati dan mengobati degenerasi makuler.
85

Vanadium adalah insulin mimetic yang dapat menekanTNFa-induced insulin resistance


secara sempurna dan menyebabkan perlepasan prostasiklin.
Antioksidan :
Penderita diabetes menderita stress oksidatif yang bermakna, sehingga dapat
menyebabkan komplikasi pada diabetes, yaitu neuropati, gagguan kardiovaskuler dan
renal. Kahler et al (1993) mengemukakan bahwa DM adalah suatu penyakit yang
berhubungan dengan radikal bebas (free radical-associated disease) dan pemakaian anti-
oksidan 600mg asam tioctan, vitamin E 1200m atau selenium 100mcg dapat
menyebabkan regresi dari komplikasi diabetes.
Ziegler (1997) menunjukkan bahwa asam alfa-lipoik 200 mg 4 kali sehari per oral
selama 4 bulan mengurangi secara bemakna gejala-gejala neuropati otonom kardial pada
penderita NIDDM.
Garrett (1997) mengemukakan bahwa asam tioktat lebih unggul daripada nerve growth
factor dalam menginduksi support neurotopik.
Rudich (1999) menunjukkan bahwa sel yang diberikan asam alfa lipoik dilindungi
terhadap resistensi insulin yang diakibatkan oleh stress oksidatif (oxidative stress-induced
insulin resistance).
Androne (2000) menyimpulkan bahwa terapi antioksidan dengan asam lipoik
memperbaiki dan memprevensi neuropati diabetika.
Badan mempunyai 4 mekanisme defensive terhadap stress oksidatif yaitu satu yang
non-enzimatik dan 3 yang enzimatik yaitu Superokside dismutase (SOD), glutathione
peroksidase (GSH) dan katalase.
Curcio (1995) menunjukkan, bahwa SOD dan GSH mencegah hyperglycemia-induced
free radical cell damage dan dapat membantumengurangi komplikasi vaskuler pada
diabetes.

Vitamin E.
Vitamin E mempunyai efek sinergistis denganGLA, sehingga melindungi prostasiklin
dan mengencerkan darah. Pada tekanan hiperglikemi, maka vitamin E dapat memprbaiki
produksi PGI2 oleh dinding pembuluh darah vaskuler yang tertekan dan juga melindungi
prostasiklin dan mengencerkan darah. Vitamin E juga akan memperlebar pembuluh
86

darah, juga kepiler-kepiler kecil sehingga memperbaiki sirkulasi darah dan permiabilitas
kapiler. Vitamin E mempunyai efek mengikat oksigen sehingga mengurangi jumlah yang
diperlukan dan jugamempunyai efek anti-koagulan pada vena dengan jalan mencegah
pembekuan platelet. Vitamin E juga dapat mencegah rupture eritrosit dan mempercepat
penyembuhan luka. Vitamin E harus mengandung berbagai tokoferol, terutama d-gama
tokoferol selain daripada alfa tokoferol yang biasa, karena akan menyebabkan
perlindungan terhadap elektrofil yaitu radikal yang sangat rektif (extremely reactive
radicals) yang menyebabkan oksidasi LDL cholesterol dan penyakit jantung koroner.
Ceriello (1991) mengemukakan bahwa dengan pemberian vitamin E 600mg/hari,
glycosylated protein menurun 21,6% dibandingkan dengan placebo pada IDDM ; dan
dengan dosis 1200mg/hari pengurangan yang terjadi adalah 31,1% dibandingkan dengan
placebo.

Asetil karnitin (Actyl – Carnitine / ALC)


Karnitin adalah suatu asam amino dan penyelidikan telah menunjukkan, bahwa asam
amino ini dalam bentuk ALC dapat berguna dalam pengobatan neuropati dan
memperbaiki kerusakan neuron. Suatu uji klinik yang tersamar ganda dengan placebo
menunjukkan adanya pengurangan gejala yang bermakna bila diberikan ALC 2x500 mg
im/hari (Glaxo, Italy). Harus diperhatikan bahwa absorbsi ALCA per-oral tidal ekwivalen
dengan pemberian secara i.m.
Harus pula diketahui, bahwa hanya bentuk L dai karnitin sintetik yang bisa digunakan
pada pengobatan neuropati diabetika, Karena bentuk D-karnitin adalah kardiotoksik.
ALC jangan digunakan selama kehamilan atau laktasi.

Khromium (Chromium) :
Khromium merupakan mikro-nutrien yang utama, yang membantu menstabilisasi kadar
gula darah, karena mempengaruhi absorbsi seluler dan menyebakan insulin secara lebih
efektif, namun tidak menyebabkan peningkatan produksi insulin oleh pankreas.
Efek terbesarnya adalah pada diabetes tipe II dan penderita diabetes harus memonitor
kadar gulanya secara lebih seksama bila menggunakan chromium karena biasanya
kebutuhan insulin akan berkurang.
87

Biotin :
Konsentrasi biotin pada penderita diabetes secara bermakna lebih rendah dibandingkan
dengan orang sehat yang normal dan biotin dalam dosis yang tinggi dapat dianjurkan
pemberiannya pada penderita diabetes untuk mencegah dan untuk terapi neuropati
perifer.

Maebashi (1993) mendemonstasikan bahwa kadar gula darh pada pasienNIDDM yang
diberikan biotin 9mg/hari menurundari 12.9 +/-2.6 mmol/I menjadi 7.1 +/-1.2 mmoI/I
(232.2 +/- 46.8mg/dl sampai 127.8 +/- 21.6 mg/dI) setelah pemberian biotin selama 1
bulan. Kadar insulin dalam serum tidak berubah, dan setelah penghentian biotin kadar
gula dalam plasma kembali ke level asal. Pada suatu studi jangka panjang kadar gula
darah menurun dalam 2 bulan dan tetap dalam batas normal selama lebih dari 4 tahun
selama studi berlangsung dan tidak dijumpai efek samping.

Niasin :
Niasin (vitamin B3) memperbaiki sirkulasi darah dengan jalanmemperbaiki polaritas
listrik dalam sel darah dan melebarkan kapiler; juga ikut dalam metabolisme glukosa
sehingga niasin penting untuk fungsi system saraf. Harus diketahui bahwa bentuk “time
release” dari niasin harus dihindari, karana dapat menyebabkan gangguan pada hati.

Inositol & Taurin :


Penderita diabetes meng-eksresi vitamin inositol secara berlebihan sehingga terjadi suatu
kekurangan inositol. Inositol mempunyai peranan dalam metabolisme lemak dan
melindungi serabut saraf dari glucose yang berlebihan. Stevens (1993) mengemukakan,
bahwa ekuilibrium antara asam amino taurin dan inositol menjadi terganggu karena kadar
sorbitor yang berlebihan, yang disebabkan oleh hiperglikemia. Dengan demikian berarti
bahwa suplemen taurin sama pentingnya dengan pemberian inositol.
Franconi (1995) menunjukkan bahwa diperlukan suplemen taurin 1.5g/hari untuk pasien
IDDM untuk mendapatkan kadar serum taurin yang sama dengan control non-diabetik
yang sehat. Defisiensi taurin juga berpengaruh dalam pembentukan kardiomiopati.
88

Pada keadaan stress oksidatif, maka taurin diubah menjadi taurin khloramid yang bisa
menurunkan overekspresi TNFa, sehingga meningkatkan sensitivitas insulin.
Endotel vaskuler merupakan bagian yang tipis di lapisan monolayer yang paling dalam
dari kapiler dan pembuluh darah lain. Endotel merupakan suatu organ metabolic dan
endokrin yang aktif yang membentuk prostasiklin dan tromboksan diantara zat-zat yang
esensial yang lain, namun endotel vaskuler mudah rusak dan zink, taurin dan magnesium
merupakan nutrient yang protektif dan kritis untuk mempertahankan integritas endotel.

Magnesium :
Beberapa penyelidikan telah menunjukkan bahwa defisiensi magnesium, yang lazim
terjadi pada diabetes, selain menyebabkan kerusakan yang hebat pada system vaskuler,
juga dapat bermanifestasi sebagai neuropati, sehingga sebaiknya suplementasi vitamin C
kompleks yang dipilih untuk meningkatkan GLA juga mengandung magnesium askorbat.
Magnesium orotat atau magnesium aspartat akan segera meningkatkan magnesium
intraseluler yang telah dipecahkan pada diabetes dan agaknya mungkin merupakan
“missing link” pada poros diabetes-diabetes (Paolisso, 1997) Bentuk lain dari magnesium
biasanya hanya meninggikan magnesium secara ekstraseluler.

Metilkobalamin :
Yamatsu (1976) mengemukakan bahwa metilkobalamin merupakan satu2nya derivate
aktif dari vitamin B12 yang mempunyai efek merangsang proteosintesis sel2 Schwan
dan dengan jalan transmetilasi dapat menyebabkan mielogenesis dan regenerasi akson
saraf dan memperbaiki transmisi pada sinaps.
Telah dibuat suatu uji klinik yang tersamar ganda yang dilakukan secara acak dengan
membandingkan metilkobalamin dengan placebo pada 50 PASIEN yang menderita
neuropati diabetik pada NIDDM yang gula darahnya terkontrol dengan baik selama 8
minggu
Setiap golongan mendapatkan 6 kapsul (3x250 ug metilkobalamin) atau 6 kapsul (3x2
kapsul) placebo yang identik, dan terapi konkomitan dilarang selain pemberian obat
antidiabetik oral.
89

Pasien terdiri dari 25 pasien yang mendapatkan metilkobalamin dan 25 pasien placebo
sedangkan drop-out masing-masing satu dalam setiap golongan.
Pada golongan metilkobalamin ada 14 wanita dan 10 pria, sedangkan pada golongan
placebo ada 16 wanita dan 8 pria.
Methylcobalamin Plasebo
Umur berkisar antara 39 – 66 tahun 39 – 69 tahun
Rerata 53,1 tahun rerata 53,8 tahun

Keluhan subyektif :
Total Perbaikan Tak ada perbaikan
M PI M PI M PI
Rasa terikat 14 (58%) 14 (58%) 6 (43%) 7 (50%) 8 (57%) 7 (50%)
Parestesi 20 (83%) 21 (97%) 18 (90%) 6 (29%) 2 (10%) 15 (71%)
Nyeri 14 (58%) 9 (38%) 10 (71%) 2 (22%) 4 (29%) 7 (78%)
Rasa lemah 6 (25%) 8 (33%) 5 (83%) 3 (38%) 1 (817%) 5 (62%)

Evaluasi elektrofisiologis :
Perbaikan % NCV :
Metilkobalamin Plasebo Kemaknaan
N medianus 9,33 % -0,04% p<0,01
N ulnaris 7,54 1,58 0,02<p<0,05
N peroneus 8,58 2,88 n.s
N tibialis 13,66 0,67 p<0,01
N suralis 15,08 0,17 p<0,01
F-wave 5,63 -0,58 p<0,01

Perbaikan interval interpotensial H-refleks : (H-M)


Metilkobalamin Plasebo Kemaknaan
-1,04 % 1,91 % p<0,01
90

Dengan demikian terlihat bermakna pada 5 dari 7 parameter.

Overall therapeutic effect :


Metilkobalamin Plasebo
Total 24 24
Sangat baik (11-14 points) 8 0
Baik ( 7 – 10 ) 11 6
Sedang (4-6) 3 4
Buruk (<4) 2 14

Gradasi dilakukan dengan system skoring, bila KHS membaik sama atau lebih dari 2
m/Smendapat angka 2, 1 angka bila membaik kurang dari 2 m/S dan ) bila tidak ada
perbaikan, sehingga angka maksimal yang dapat diperoleh dari 7 parameter adalah 14.

Hasil :
• Metilkobalamin memperlihatkan perbaikan keluhan subyektif terutama parestesia,
nyeri dan rasa lemah.
• Dibandingkan placebo, metilkobalamin memperlihatkan hasil yang bermakna pada 5
dari 7 parameter, yaiyu pada n medianus, tibialis dan suralis dan F-wave dan juga
pada interval interpotensial H-refleks (p<0,01)
• Metilkobalamin memberikan hasil yang bermakna pada terapi neuropati diabetic.
• Overall therapeutic effect lebih superior di group metilkobalamin (79% vs 25%)
(p<0,01)

Beberapa hal yang harus diingat :


Neuropati dapat mengenai berbagai saraf di badan dan menyebabkan rasa tebal, dan
kadang-kadang nyeri di tangan, lengan, kaki atau tungkai dan gangguan pada saluran
pencernaan, jantung dan organ seks.
Pertama-tama pengobatan harus ditujukan pada control kadar gula darah ke level yang
normal, karena kontrole gula darah yang baik akan mencegah atau memperlambat
terjadinya atau meluasnya problema-problema lebih lanjut.
91

Perawatan kaki juga merupakan bagian terapi yang penting, dan penderita neuropati
harus memeriksa kakinya setiap hari untuk mencari adanya luka-luka, karena luka yang
tidak diobati akan meninggikan risiko terjadinya infeksi pada luka dan bisa
mengakibatkan amputasi.
Pengobatan juga meliputi penanggulangan rasa nyeri dan juga obat-obatan lain
tergantung dari tipe kerusakan sarafnya.
Merokok secara bermakna akan meningkatkan risiko problem pada kaki dan amputasi,
sehingga sebaiknya merokok harus dihentikan.
Neuropati diabetika biasanya berhibungan dengan retinopati diabetika dan nefropati,
sehingga pasien dengan retinopati memerlukan konsultasi oftalmologik setiap tahun dan
yang menderita nefropati perlu memeriksakan protein dalam urin 24 jam dan kreatinin.
Penderita diabetes sebaiknya menghindari pemanis artefisial eperti aspasrtam, karena
kemungkinan dimetabolisme menjadi formaldehid dan methanol yang dapat
menyebabkan gangguan yang luas, sehingga dianjurkan untuk minum air putih biasa saja.

Komplikasi :
• Adanya neuropati akan meningkatkan risiko terjadinya ulkus pada kaki dan
terjadinya infeksi, yang bila memberat bisa memerlukan amputasi.
• Beban ekonomis untuk merawat pasien neuropati diabetika adalah tinggi.
Prognosa :
• Mengobati neuropati diabetika merupakan tugas yang sulit untuk dokter dan
pasien. Kebanyakan obat yang telah disebutkan diatas tidak dapat memberikan
pengobatan yang tuntas dalam menghilangkan gejala. Uji klinik yang baik
diperlukan untuk membantu dalam diagnosa dini dan penatalaksanaan yang lebih
baik dari neuropati diabetika. Edukasi pasien juga sangat penting agar program
penatalaksanaan neuropati diabetika dapat berjalan dengan baik.
92

v. Sindrom Terowongan Karpal (Carpal Tunnel Syndrome)


5. Achmad Junaidi
PENDAHULUAN:
SINDROM TEROWONGAN KARPAL(STK) merupakan lesi saraf perifer oleh
penyebab mekanisme nontraumatis yang tersering di jumpai (45% dari 1574 pasien).
STK merupakan suatu neuropati cerutan, yang disebabkan oleh suatu tekanan atau
jebakan n medianus dibawah ligamentum carpi transversum(=flexor retinaculum).
Pada mulanya tidak diketahui bahwa penyebabnya adalah tekanan mekanis pada n
medianus, walaupun gejalanya sudah dikenal.
Paget (1854) pertama-tama menggambarkan gejala STK setelah pemakaian bidai pada
kasus stadium lanjut fraktur radius begian distal.
Baru dalam tahun 1913 Marie &Foix mengumumkan kelainan histopatologis yang
ditemukan pada STK, dan baru 17 tahun kemudian, yaitu dalam tahun 1930 dilakukan
operasi pertama membelah ligamentum carpi tranversum di pergelangan tangan oleh
Learmonth.
Karena gejalanya agak menyerupai meralgia paresthetica yang disebabkan oleh
penekanan n cutaneus femoralis lateralis, maka mula-mulaSTK disebut sebagai
BRACHIALGIA STATICA PARESTHETICA.karena secara salah diduga sebagai suatu
penekanan statis (Druckneuritis) pada plexus brachialis.
Walaupun setelah itu banyak penulis telah mengemukakan pendapat2 mereka, namun
Phale merupakan orang yang secara konsisten mempopulerkan istilah neuritis n.
medianus, yang pada waktu itu mendapatkan tentangan yang cukup besar.
Dengan demikian maka Phalen yang terkenal dengan tes Phalen pantas digelari sebagai
bapak STK.

PATOGENESIS:
Gejala klinik STK khas dengan 2 golongan gejala, yaitu:
* nyeri dan parestesi, yang timbul khas pada malam hari dan
pagi-pagi hari sekali.
gejala-gejala ini yang timbul terlebih dahulu.
* gejala neurologis berupa gangguan sensori-motoris.
93

Setelah operasi dekompresi, maka gejala-gejala golongan pertama secara cepat membaik,
namun gejala-gejala golongan kedua baru hilang kemudian secara perlahan-lahan.
Patogenesis kedua golongan gejala yang disebut diatas itu ternyata berbeda, karena nyeri
dan parestesi lebih disebabkan oleh iskemi n medianus, sedangkan gangguan sensori-
motoris merupakan akibat dari penekanan mekanis dari n.medianus.
Pada suatu kompresi akut suatu saraf perifer terjadi suatu kerusakan pada mielin dan
akson, sehingga secara cepat terjadi suatu gangguan transmisi saraf dan gangguan
neurologis.
Pada suatu kompresi yang khronis seperti pada STK, maka perubahan-perubahan baru
terjadi dalam fase yang lebih lanjut.
Terowongan karpal dibatasi oleh dinding-dinding yang keras sehingga dalam ruangan
anatomis itu terjadi suatu tekanan/tegangan yang disebabkan oleh berbagai sistem, yaitu:
tekanan dalam arteri-arteri dalam epineurium, tekanan dari kapiler-kapiler dalam fasikel
saraf, tekanan intrafasikuler, tekanan dalam vena epinerium dan akhirnya tekanan dalam
terowongan karpal sendiri. Bila tekanan dalam terowongan karpal meninggi, akan terjadi
suatu reaksi berantai, yaitu kompresi pada vena, yang lalu menyebabkan suatu hiperemi,
lalu bendungan, sehingga menyebabkan suatuperlambatan aliran darah dalam
epineriumdan fasikel.
Akibat selanjutnya adalah dilatasi kapiler, peninggian tekanan intrafasikuler dengan
akibat tertekannya serabut-serabut saraf.
Serabut saraf yang pertama-tama terkena adalah yang mempunyai sarung mielin yang
tebal.
Nyeri dan parestesi pada malam hari atau pagi-pagi hari sekali disebabkan oleh
memburuknya peredarahan darah balik pada vena.
Pada perbaikan sirkulasi dengan jalan menggerakan tangan dan lengan secara kuat
(memompa vena), maka gejala-gejala akan menghilang.
Bahwa gejala-gejala diatas disebabkan oleh iskemi,diperkuat oleh bukti,bahwa hal2 tsb
akan bertambah pada tes turniket, sehingga memang benar ada faktor penyebab vaskuler
dari gejala-gejala subyektif tersebut
Karena n medianus di proksimal ligamentum carpi transversum terletak lebih
dipermukaan, sedagkan dibagian distal letaknya lebih dalam, maka oedem dapat terlihat
94

sebagai suatu pembebekakan dibagian proksimal, tepat proksimal dari letak ligamentum
carpi transversum.
Bila tekanan pada n medianus berlanjut, maka terjadi proliferasi fibroblast kedalam
oedem, sehingga terjadi suatu fibrosis interfasikuler dan epineural yang ireversibel
dengan kerusakan-kerusakan pada serabut saraf.
Perineum yang telah mengalami fibrosis akan mengkerut dengan akibat fasikel dan
sarafnya yang menipis.
Akhirnya terjadi suatu circulus vitiosus: kompresi venola, stase kapiler dan anoksia,
kerusakan endotel, oedem endoneural, infiltrasi fibroblast, kerusakan pada epi- dan endo-
neural dengan akibat terjadinya kerusakan ireversibel pada serabut-serabut saraf.
Namun lesi pada serbut bukan merupakan akibat langsung dari iskemi, namun lebih
disebabkan oleh penekanan mekanis pada sarafnya sendiri.

KAUSA LAIN :
Walaupun sebagian besar STK disebabkan oleh suatu tekanan mekanis non traumatis
yang umumnya berhubungan dengan suatu pekerjaan tangan tertentu, namun kompresi
khronis pada terowongan karpal bisa juga disebabkan oleh penyebab lain:
• perubahan-perubahan pada pergelangan tangan: setelah fraktur, atau tbc dari
tendon,gout,fasilitis eosinofilik, tendomiopati, ganglion, perineural angioma,
setelah infeksi pada telapak tangan, hematoma setelah terapi antikoagulasi dll.
• Poliartritis khronis primer: STK terjadi pada 23% pasien.
• Gangguan sirkulasi oleh kompresi a medianus yang persisten atau trombosis
arteri.
• Hemodialisis: mekanisme multifaktor: iskemi, polineuropati uremik,
tendosinovitis granulomatosa dengan deposit amilod. STK terjadi pada 75%
pasien hemodialisis.
• Gangguan metabolik: mieloma multipel, amiloidisis, multipolisakharidosis
menyebabkan menyempitnya terowongan karpal, karena deposit bahan-bahan
asing. Juga terjadi pada diabetes mellitus, akromegali dan hipotiroidisme.
• Familial : menebalnya ligamentum carpi transversum = flexor retinaculum
95

SIMPTOMATIK :
STK terjadi 2x lebih banyak pada wanita daripada pada pria.
57% kasus terjadi pada usia 40-60 tahun
76% 4- 70

Lebih sering terjadi pada klimakterium, juga selama atau segera setelah kehamilan, juga
pada penambahan berat badan.
Lebih sering terjadi pada tangan yang dominan, namun seringkali juga bisa terjadi pada
kedua sis..
Bendler et menemukan STK bilateral pada 61% dari 440 pasien STK.

Gejala-gejala subyektif :
Brachialgia paresthetica nocturna merupakan gejala yang klasik dengan parestesi pada
malam hari, namun sebetulnya tidak patognomonis untuk suatu tekanan khronis mekanis
pada n medianus. Pada malam hari pasien terbangun dengan perasaan tebal atau bengkak
pada tangan.
Gerakan2 jari sukar dan lambat dan nyeri yang menarik dapat terasa di sepanjang lengan.
Kadang2 terasa nyeri sampai di pundak, bahkan sampai daerah punggung.
Dengan jalan mengebaskan tangan (Flick sign) dan lengan secara kuat dan juga dengan
memijat-mijat tangan, keluhan-keluhan akan berkurang, namun belakangan akan timbul
kembali, sehingga dapat mengakibatkan terganggunya tidur.
Pada pagi hari, karena jari2 yang kaku dan tebal, maka pekerjaan2 yang harus dilakukan
dirumah pada pagi hari seringkali terganggu, dan kadang2 hal ini juga dapat terjadi
sepanjang hari. Sesuai persarafannya, maka seringkali gangguan tsb terjadi terutama pada
jari ke 1 – 4.
Pekerjaaan2 yang berat seperti mencuci pakaian dan menyapu dapat menambah gejala-
gejala tsb.
Gejala obyektif :
Pada fase permulaan seringkali tak dijumpai gejala, selain nyeri tekan pada n medianus
diatas terowongan karpal.
96

Kadang2 terlihat pembekakan ringa pada bagian voler pergelangan tangan, yang
menyerupai suatu tendovaginitis tendo2 otot flexor.
Baru pada kompresi saraf yang lama, seringkali setelah bertahun2 terlihat parese dan
atrofi otot2 pangkal jempol (thenar) dengan atau tanpa gangguan sensibilitas.
Kadang2 dijumpai hanya gangguan sensibilitas saja.

Tanda dari LUTHY (Luthy sign/ Tanda Botol (Bottle sign ):


Penderita diperintahkan untuk menggenggam botol dengan melingkarkan ibu jari dan
telunjuknya pada benda tsb.
Kelemahan abduksi jempol menyebabkan penderita tak dapat memegang botol dengan
tangan dengan baik, dimana lipatan kulit antara jempol dan telunjuk tak dapat menyentuh
/ meliputi permukaan botol dengan baik dan jempol tak dapat abduksi dengan baik untuk
memegang botol tsb. (Bottle sign +).

Hoffman-Tinel sign:
Ketokan pada n. medianus ditempat kompresi menimbulkan perasaan terkena aliran
listrik yang menjalar dari tempat ketokan ke jari2

TES PHALEN:
Dengan tes2 provokasi, gejala-gejala obyektif yang khas dapat ditimbulkan, misalnya
dengan dorsalekstensi atau volarfleksi dari pergelangan tangan, yang dipertahankan
selama kira2 1 menit ( tes Phalen).

TES TURNIKET GILLIAT-WILSON:


Tes provokasi lain ialah dengan tes turniket Gilliat-Wilson, selama1-2 menit,pada orang
normal akan timbul parestesi yang diffus pada lengan, sedangkan pada STK akan terjadi
parestesi dan nyeri pada jari 1 – 2 – 3 yang menyerupai keluhan-keluhan pada malam
hari.Umumnya tes Phalen dan Tinel dianggap sangat sensitif untuk mendiagnosa STK.
Sedangkan tes turniket kurang sensitif.
97

DEFINISI & KLASIFIKASI :


Kriteria diagnostik dan klasifikasi STK masih belum seragam, baik yang diajukan oleh
The Rochester, Minnesota epidemiologic study, maupun oleh The National Institute of
Occupational safety and Health mendapat tantangan dari berbagai penulis. malahan Katz
et al mengemukakan 38 % pasien yang diklasifikasi secara salah oleh NIOSH.
Juga pengukuran KECEPATAN HANTAR SARAF (KHS/NCV) yang oleh banyak
penyelidik dianggap sebagai “gold standard”, masih mendapat tantangan dari berbagai
penulis.
Pembagian oleh Rosenbaum adalah :
Klas 0 : asimptomatik: tanpa gejala, tanpa tanda gejala klinis
Klas 1 :simptomatik intermiten: secara intermiten ditemukan gejala, dengan tes
provolasi seringkali positif,namun defisit neurologis.
Klas 2 : simptomatik persisten ; gejala kontinu + atau –
Defisit neurologis kadang2 positif.
Klas 3 : berat : gejala +, neurologis + dengan gangguan aksonal.

DIAGNOSA DIFERESIAL :
Biasanya diduga adanya STK pada pasien2 dengan nyeri di tangan atau lengan,
parestesia, kelemahan , spasme dan atrofi, maka DD/adalah sekitar gangguan saraf yang
lain, gangguan pleksus, radiks dan medulla spinalis servikal.
Pada pasien2 penyakit2 sendi, tulang, tendon dan jaringan lunak.

PEMERIKSAAN ELEKTROFISIOLOGIS / ELEKTRODIAGNOSA:


Pemeriksaan elektromiografi (EMG) dan kecepatan hantar saraf (KHS) sangat penting
dan memberikan kontribusi yang sangat berharga dan oleh banyak penulis dianggap
sebagai “gold standard” dalam menentukan diagnosa STK.
Masa laten distal motorik (MLD/distal latency) yang diukur di pergelangan tangan 4,5-
5,5 cm dari elekrode perekam di m abd pollicis brevis angka normalnya adalah antara 2,5
-4,3 mS.
Pada STK dijumpai pemanjangan MLD motorik pada 91% penderita STK dan terjadi
pemanjangan masa laten distal sensorik pada 98 % penderita STK.
98

Pembandingan dengan sisi lain mutlak diperlukan. Walaupun harus juga dipikirkan
kemungkinan adanya STK bilateral.
Perbedaan MLD kanan/kiri melebihi 1,5 cm adalah patologis.
Juga pembandingan MLD antara pergelangan tangan dan telapak tangan penting (beda
MLD WRIST dengan PALM) yang a.l dikemukakan oleh Kimura.
Perbedaan antara MLD pergelangan tangan antara n medianus dan n ulnaris lebih dari 1,5
mS adalah patologis.
Juga perbedaan MLD n medianus dipergelangan tangan dan telapak tangan yang
melebihi 1,5 cm adalah patologis.
Amplitudo juga perlu diperhatikan, dimana perbandingan amplitudo antara n medianus
dan n ulnaris pada orang normal selalu melebihi 1, sedangkan pada STK biasanya
rationya justru kurang dari 1.
Dengan EMG perlu pula diperhatikan bentuk potensial, amplitudo dan waktu (duration)
potensial, dan juga dicari tanda2 denervasi berupa fibrilasi.
Dengan EMG pula dapat ditentukan ada-tidaknya anomali pada n medianus dan n ulnaris
berupa Martin-Gruber anastomosis.

TERAPI :
Yang terpenting tertentu adalah mencari kausa dan menghilangkan kausa.
Bila kausa jelas mekanis, perlu dihentikan gerakan2/ pekerjaan2 yang menyebabkan STK
tsb.
Penyebab lain yang bisa menyebabkan STK, yang telah disebutkan sebelumnya, harus
dicari dan bila ada dihilangkan.
Selanjutnya perlu ditentukan apakah diperlukan terapi konservatif atau tindakan operatif.

TERAPI KONSERVATIF :
Bila hanya ditemukan Brachialgia paresthetica nocturna, biasanya tak diperlukan operasi.
Pemakaian splint yang dipakai malam hari mencegah pergerakkan pada pergelangan
tangan dan mempertahankannya pada posisi neutral (mid-position),namun jari2 tetap bisa
digerakkan.
99

Suntikan kortikosteroid berupa hidrokortison 25 mg, atau deksametason 8 mg dapat


dilakukan, dengan sebelumnya diberikan anestesik 1% tanpa adrenalin.
Jarum ditempatkan, sedikit ulner dari garis tengah, dimasukkan 1,5-2 cm dalam, pada
posisi ekstensi ringan dari tangan.
Harus dijaga suntikan steroid jangan mengenai langsung n medianus; bila pada
penusukan jarum terasa nyeri, maka jarum ditarik sedikit dan dimasukkan agak lebih ke
medial sedikit.
Pada suntikan tidak boleh terlihat pembengkakkan oleh obat, karena berarti jarum kurang
dalam.
Sebaiknya suntikan hanya diberikan sekali saja, dan tak boleh diberikan bila sudah ada
defisit neurologis dan kelainan pada EMG & KHS dan MLD.
Ada yang memberikan suntikan kortikosteroid sampai 3x dengan interval 2 minggu,
namun perlu diketahui juga efek sampingnya:
- obat masuk ke saraf (nyeri).
- atrofi, hipopigmentasi, perdarahan
- robeknya tendon secara spontan
- radang dll.
Ada juga pendapat, bahwa sebaiknya korticosteroid diberikan tanpa anestesi, karena
cairan anestesi hanya akan menambah volume di terowongan karpal, yang sudah sempit.
Setelah disuntik, bekas tusukan jarum ditekan dan pasien diminta menggerak-gerakkan
jari tangannya untuk memyebarkan steroid tsb. Tidak semua kasus membaik setelah
terapi kortikosteroid. Dilaporkan perbaikan pada 81% kasus selama rata2 45 bulan
dengan kortikosteroid oral dapat juga diberikan.
Pemberian obat2-an yang memperbaiki regenerasi saraf dapat dipertimbangkan a.l.:
Lazimnya dapat diberikan NEUROTONIK, yaitu vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis
tinggi, yang dapat membantu regenerasi saraf.

TERAPI OPERATIF :
Bila telah dijumpai defisit neurologis berupa parese dan atrofi, maka jelas diperlukan
tindakan operatif.
100

Pemeriksaan elektrodiagnosa merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif dari


pemeriksaan klinis dan bila ditemukan tanda2 denervasi dan atau MLD memanjang dan
perbedaan 2 MLD yang telah disebutkan sebelumnya lebih dari 1,5 mS, maka juga
diperlukan operasi. Juga bila terapi konservatif tak berhasil dan keluhan-keluhan berat
yang mengganggu perlu dipertimbangkan tindakan operatif.

PROGNOSIS:
Terapi konservatif pada kasus-kasus ringan umumnya memberikan prognosis yang baik.
Tindakan operatif umumnya prognosis juga baik, bila dilakukan pada waktu yang tepat.
Karena operasi umumnya hanya dilakukan pada kasus-kasus berat/ lama maka
penyembuhan terjadi bertahap.
Mula-mula nyeri menghilang, lalu diikuti perbaikan sensibilitas, terakhir baru perbaikan
motorik dan membaiknya atrofi otot, sehingga seluruh proses penyembuhan bisa
memakan waktu 18 bulan. Bila terapi operasi tidak memberikan perbaikan, mungkin
penyebabnya adalah:
- salah diagnosis (jebakan terjadi ditempat yang lebih proksimal)
- n medianus telah rusak sehingga tak ada regenerasi lagi.
- timbul STK yang baru karena komplikasi operasi misalnya oedema atau
perlengketan
Perlu disebutkan juga, bahwa dengan terapi konservatif maupun operatif kadang2 STK
kambuh lagi.
Penerangan yang baik harus diberikan kepada pasien, untuk menghindari jenis
pekerjaan2 tangan yang dapat menyebabkan STK, sehingga menghindari rekurensi
timbulnya STK. Namun harus diwaspadai pula keluhan-keluhan pada pekerja yang
mendapat ganti rugi, karena mendapat keuntungan dari keluhan-keluhannya.

RINGKASAN:
Telah dibicarakan mengenai SINDROMA KARPAL TUNNEL (STK), mengenai
patogenesis, kausa, simptomatik, diagnosa,diagnosa diferensial, terapi konservatif
maupun operatif dan prognosis.
101

Pemeriksaan yang sangat penting dan lebih sensitif dari pemeriksaan klinis untuk men-
diagnosa STK, letak lesi dan juga menentukan apakah diperlukan tindakan operatif.
Sebenarnya gejala STK mudah dapat dikenal, sehingga diagnosa dapat dilakukan secepat
mungkin dan pengobatan dan penanggulangan yang tepat dapat segera dilaksanakan.
Terapi konservatif atau operatif sedini mungkin selalu merupakan tindakan yang terbaik.
102

vi. Peran Zat Neurotropik pada Proses Regenerasi Saraf Tepi


6. Hasnawi Haddani
PENDAHULUAN :
Beberapa tahun yang lalu, dianggap bahwa kerusakan pada sistem saraf, pada
umunya tidak dapat diperbaiki lagi, dan kehilangan neuron juga dianggap sebagai suatu
proses yang ireversibel. (Mehler et al, 1999)
Namun dimasa yang akan datang, dogma yang menyatakan, bahwa regenerasi sistem
saraf tidak mungkin, akan menjadi dongeng belaka. (Tuszynki et al, 1999)
Kemajuan yang besar dalam mempelajari faktor pertumbuhan (growth factors) dan
mengenai sel progenitor neural telah mengubah pandangan ini, karena akhir-akhir ini
telah menjadi jelas, bahwa otak dewasa dan medulla spinallis, responsive terhadap signal
yang diberikan oleh berbagai golongan molekul, yang dapat memperbaiki kelangsungan
hidup neuron, menstimulasi pertumbuhan akson dan malahan juga sampai mengadakan
sendiri (self-replenishing) sel progenitor neural, yang dapat membentuk sel neuron dan
no-neuronal yang baru dan juga sudah ada pendekatan-pendekatan yang rasional dalam
mereparasi system saraf yang rusak dengan menggunakan transplantasi sel progenitor.
Faktor-faktor neurotropik telah menunjukkan kegunaannya untuk penyelamatan neuron
(neuronal rescue), menstimulasi pertumbuhan akson dan dapat menyebabkan
penyembuhan fungsional, namun uji klinik mengenai faktor-faktor neurotropik hanya
menunjukkan efektivitas preliminer pada neuropati perifer, dan belum menunjukkan hasil
yang memuaskan pada penyakit-penyakit neurologist yang lain.
Konsep yang timbul untuk menerangkan hal ini dalam penggunaan golongan
molekul-molekul ini untuk terapi pada sistem saraf adalah bahwa cara pemberiannya
adalah sangat penting, karena faktor2 neurotropik tersebut harus diberikan secara spesifik
dan dengan cara khusus terbatas(regionally restricted fashion) tertuju pada target neuron-
nya., dengan lokasi, jumlah dan saat yang tepat.
Walaupun demikian, dalam masa yang akan dating, faktor-faktor neurotropik agaknya
akan menjadi tonggak dalam terapi neurologist, dengan memberikan bukan saja suatu
cara untuk mengobati penyakit sistem saraf, namun juga untuk mencegah atau
mengurangi progresivitas suatu penyakit neurolgis.
103

FAKTOR-FAKTOR PERTUMBUHAN :
Faktor pertumbuhan adalah protein-protein, yang diperlukan untuk pertumbuhan
dan pembelahan sel normal dan merupakan regulator yang penting dalam proses
kelangsungan kehidupan neuron, pertumbuhan akson, plastisitas sinapsis dan
neurotransmisi dan dianggap mempunyai potensial dalam mengobati berbagai penyakit
neurologis.
Adanya faktor pertumbuhan telah diketahui selama beberapa decade. Pada tahun
1951 faktor pertumbuhan saraf pertama yaitu factor pertumbuhan saraf (Nerve Growth
Factor / NGF) ditemukan dan ternyata dapat memperbaiki kelangsungan hidup dari
neuron perifer sensorik dan simpatetik selama pembentukan sistem saraf (Levi-
Montalcini, 1987).
Selama 3 dekade berikutnya, dianggap bahwa peran faktor pertumbuhan pada
sistem saraf hanya terbatas untuk memodulasi kelangsungan hidup neuron selama
pertumbuhan. Otak dewasa dan medulla spinalis disangka tidak ada akan dapat
merespons terhadap faktor-faktor pertumbuhan atau terhadap molekul-molekul lain, yang
mempengaruhi kelangsungan hidup neuron dan pertumbuhan.
Secara jelas anggapan ini telah berubah dalam 10-15 tahun terakhir ini, setelah
ditemukan, bahwa faktor neurotropik terdapat dalam sistem saraf pusat orang dewasa,
dan mampu untuk mencegah terjadinya kematian sejumlah neuron dengan populasi
khusus setelah terjadinya suatu cedera pada saraf dan disamping itu juga mampu untuk
memodulasi sejumlah fungsi sistem saraf termasuk efektivitas sinaptik dan penggantian
neurotransmitter.
Faktor-faktor pertumbuhan yang dianggap mempunyai aktivitas sistemik, ternyata juga
mempunyai efek yang bermakna pada system saraf yang sedang tumbuh.
Faktor neurotropik dapat dibagi dalam berbagai famili, berdasarkan atas struktur,
sekuens dan code dan antara lain adalah :
* neurotrophin yang terdiri dari NGF dan homolog-nya :
Brain derived neurotropic factor (BDNF)
Neurotrophin-3 (NT-3),
Neurotrophin-4/5, dan
Faktor pertumbuhan non-mamalia neurotrophin-6 dan neurotrophin-7
104

* cytokine growth factor yang antara lain terdiri dari :


Ciliary neurotrophic factor (CNTF) dan
Leukimia inhibitory factor / cholinergik differentiation factor (LIF / CDF)
* acidic and basic fibroblast growth factor (FGF-1,FGF-2),
* epidermal growth factor (EGF),
* platelet derived growth factor (PDGF),
* insulin-like growth factor (IGF-1 dan IGF-II),
* transforming factor B growth factor (TGF-B) yang antara lain adalah
glial cell line-derived neurotrophic factor (GDNF)

Pada saat ini lebih dari 3 lusin faktor pertumbuhan saraf telah ditemukan dengan
sifat-sifatnya yang beraneka ragam a.1. mempunyai struktur, mekanisme pemberi signal
pada reseptor, neuron-neuron responsif dan efekmbiologis in vivo yang berbeda-beda.
Keberhasilan kerja faktor pertumbuhan spesifik ini tergantung dari lokasi, jumlah dan
pada saat yang tepat tersedianya faktor pertumbuhan tersebut dan juga tergantung pada
adanya reseptor yang sesuai untuk faktor tersebut pada sel target.
Dengan demikian keseimbangan spasial dan temporal antara faktor neurotropik dan
adanya reseptor yang sesuai, menentukan spectrum aktivitas biologiknya.
Berdasarkan ini, berbagai faktor pertumbuhan yang berlainan dapat berguna untuk
mengobati berbagai penyakit neurologist.
Berbagai uji klinik pada saat ini sedang berjalan untuk menentukan apakah faktor-faktor
pertumbuhan tersebut dapat mencegah atau melindungi terhadap degenerasi sel neuron.

GOLONGAN NEUROTROPIN KLASIK :


Yang pertama ditemukan adalah golongan klasik yaitu Nerve Growth Factor
(NGF), lalu disusul dengan Brain Derived Neurotrophic factor (BDNF),
Neurotrophin-3 (NT-3), Neurotrophin-4/5 (NT-4/5), dan factor pertumbuhan non-
mamalia Neurotrophin-6 dan Neurotrophin-7.
Sewaktu penemuan NGF dalam tahun 1951, peranan NGF hanya dianggap sebagi factor
yang esensial untuk kelangsungan hidup neuron perifer sensorik dan simpatetik selama
pembentukan dari system saraf.
105

Namun pentingnya NGF baru diterima sekitar 35 tahun kemudian, setelah dalam tahun
1979 menjadi jelas, bahwa NGF ditransportasi dan diproduksi pada system saraf sentral
dewasa dan juga mempunyai efek neuroprotektif pada neuron kholinergik basal otak
depan yang dewasa yang terkena cedera sehingga merubah persepsi bahwa regenerasi
system saraf tidak mungkin terjadi.
Faktor neurotropik kedua yang ditemukan adalah Brain Derived Neurotrophic factor
(BDNF) dalam tahun 1982, yang merupakan suatu factor ekstraseluler, lalu disusul
dengan penemuan factor-faktor neurotropin yang lain.
Pola regional dari neurotropin pada otak dewasa menunjukkan spesifitas dan tumpang
tindih (overlap), sehingga menunjukkan bahwa setiap factor neurotropin mempunyai
peranan yang berbeda dalam memodulasi fungsi neuronal.
Dengan demikian setiap neurotropin mempunyai potensial untuk memperbaiki regenerasi
pada suatu populasi neuron yang spesifik dan kombinasi dari fakto-faktor neurotropin
dapat bekerja secara sinergis dalam memperbaiki kelangsungan hidup dari suatu populasi
neuron pada suatu penyakit system saraf (Mitsumoto et al, 1994)
Cara kerja neurotropin adalah melalui sejumlah kelompok neuron dengan
mengikat pada reseptor transmembran yang spesifik.
Terdapat 2 golongan reseptor neurotropin, yaitu reseptor dengan afinitas rendah yang
disebut p75, dimana semua jenis neurotropin dapat mengikat dan reseptor yang terikat
pada tirosine-kinase (trk), yang mengikat berbagai neurotropin dengan cara yang unik
dan spesifik.
Kebanyakan efek neurotropin pada neuron terjadi melalui reseptor trk dan terdapat 3
bentuk reseptor trk, yaitu trkA, trkB dan trkC.
Setiap reseptor trk mempunyai ikatan yang spesifik , yaitu NGF terikat pada trkA, BDNF
dan NT-4/5 terikat pada trkB dan NT-3 terutama terikat pada trkC.
Neurotropin yang terikat pada reseptor trk akan mengakibatkan aktivasi tirosine kinase
dan menyebabkan otofosforilase dari residu trk yang spesifik, yang lalu mengikat dan
mengaktivasi sistem messenger yang lain, terutama fosfolipase C-Y dan fosfatidilinositol
3-kinase.
Setelah itu kinase yang lain dan juga messenger yang kedua akan menjadi aktif juga
sehingga menyebabkan suatu respons biologik yang multipel didalam sel.
106

Dengan demikian neuron menunjukkan respons terhadap suatu factor neurotropin tertentu
dengan jalan memberikan signal memalui reseptor tertentu yang spesifik. Walaupun
semula dianggap behwa fungsi primernya adalah sebagai suatu faktor kelangsungan
hidup sel, namun sekarang faktor neurotropik pada umumnya dan khususnya golongan
neurotropin terbukti mampu memodulasi berbagai aspek dari pertumbuhan dan fungsi
sistem saraf, termasuk diferensi sel, pertumbuhan akson, penemuan target
akson,efektivitas sinaptik, plastisitas sinaptik, neurotransmisi dan penggantian
neurotansmiter.

PERANAN NEUROTROPIN PADA SISTEM SARAF PERIFER :


Peda sistem saraf perifer, faktor neurotropin merupakan suatu faktor
kelangsungan hidup (survival factor) untuk berbagai golongan neuron.
Adanya NGF dalam jumlah terbatas dengan cara yang target-derived adalah esensial
untuk kelangsungan hidup neuron simpatetik dari ganglia paravertebralis dan untuk 70-
80% dari neuron sensorik (nociceptor) di ganglia radiks dorsalis.
Berbagai subpopulasi spesifik dari neuron sistem saraf perifer yang lain menunjukkan
ketergantungannya pada BDNF atau sitokinGDNF.
Setelah suatu neuron telah berhasil untuk menanggulangi periode kematiansel,
maka ia akan merendahkan ekspresinya terhadap suatu reseptor faktor topik sehingga
akan gagal untuk bereaksi terhadap faktor tropik tersebut, walaupun telah diberikan
secara eksogen dari luar.
Sel juga dapat meningkatkan ekspresinya terhadap reseptor faktor tropik yang lain untuk
memodulasi suatu aspek lain dari fungsi sel.
NGF mempunyai peranan sebagai neuroregulator pada neuron-neuron dengan
jalan mengubah kadar neurotransmitter neuropeptide, termasuk substansi P dan kadar
calcitonin generated peptide (CGRP).
Berlainan dengan neuron sensorik, maka neuron simpatetik selalu membutuhkan NGF
untuk kelangsungan hidupnya menjadi dewasa.
107

Dengan demikian terdapat 3 golongan neuron yang berbeda, yang memerlukan NGF
sebagai faktor kelangsungan hidup selama pertumbuhan; berdasarkan ketergantungannya
kepada NGF :
1. Golongan pertama yang secara permanent merendahkan regulasi ekspresi NGF
reseptor dan mempunyai respons terhadap suatu factor pertumbuhan yang berbeda
yaitu GDNF.
2. Golongan kedua berubah dari ketergantungan terhadap NGF untuk kelangsungan
hidup menjadi modulasi NGF dari ekspresi dan fungsi neurotransmitter.
3. Golongan ketiga mempertahankan ketergantungannya terhadap NGF untuk
kelangsungan hidup sampai dewasa.
Selain mengatur kelangsungan hidup dan fungsi neuron, neurotropin juga memodulasi
diferensiasi neuron, dan fungsi sinaps selama pertumbuhan sistem saraf perifer.
Pemberian anti-NGF immunoglobulin selama pertumbuhan akan menyebabkan
kehilangan neuron nosiseptif pada ganglia radiks dorsalis (dorsal root ganglia / DRG)
dan menggantinya dengan D-hair afferent neurons, yang menunjukkan bahwa NGF
memodulasi diferensiasi neuron.
NGF juga memodulasi morfologi neuron, yang terbukti dari meningkatnya jumlah
dendrit pada neuron simpatetik yang diberi NGF.
Efek neurotropin pada tingkat sinaps ditunjukkan oleh BDNF dan NT-3, yang
menyebabkan potensiasi fungsi sinaps pada paut saraf-otot (neuro-muscular junction).
Dengan demikian neurotropin menunjukkan efek pada kelangsungan hidup sel,
diferensiasi neuron, fungsi sinaps dan regulasi neurotransmitter pada sistem saraf perifer.
Pada banyak kasus, fungsi ini terjadi terus sampai dewasa : neuron sensorik pada dewasa
terikat dan secara retrognad mentransportasi NGF, BDNF, NT-3 dan NT-4/5.
Sel Schwann yang menjadi sumber dari NGF, BDNF, NT-4/5, GDNF dan CNTF
memproduksi lebih banyak faktor neurotropin setelah cedera saraf perifer dan agaknya
mempunyai peranan dalam kelangsungan hidup dan pertumbuhan kembali dari neuron
yang mengalami cedera pada keadaan dewasa. (Tuszynski et al, 1999).
108

NEUROPATI PERIFER :
Neuropati perifer mencakup suatu golongan penyakit yang besar dengan berbagai
subklas antara lain neuronopati, aksonopati dan neuropati dengan demielinisasi,
tergantung dibagian mana penyakit itu memanifestasikan dirinya secara primer patologis,
misalnya dibadan sel neuron, akson, sel Schwann, namun demikian biasanya pada
kebanyakan neuropati penyebabnya adalah suatu kombinasi dari beberapa faktor.
Bila faktor pertumbuhan pada suatu saat dapat merupakan suatu pengobatan yang efektif
untuk neuropati perifer, maka harus diperhatikan heterogenitas yang disebutkan diatas.
Faktor pertumbuhan yang bekerja terutama sebagai mitogen pada sel Schwann,
misalnya faktor pertumbuhan glial (glial growth factors), tidak akan mempan untuk
terapi aksonopati primer.
Selain itu, neuron motorik, sensorik dan autonom masing2 memerlukan kombinasi
faktor-faktor neurotropik yang berlainan untuk pemeliharaan (maintenance) dari
kelangsungan hidupnya dan untuk aksonogenesis.
Dengan demikian, agaknya akan diperlukan beberapa macam faktor pertumbuhan untuk
pengobatan suatu neuropati perifer dengan regimen terapi-nya yang disusun sesuai
dengan manifestasi kliniknya yang spesifik pula.
Sementara itu, perhatian telah dipusatkan pada peranan faktor-faktor pertumbuhan pada 3
golongan neuropati yang berbeda, dimana kebanyakan uji klinik NGF sedang/telah
dilakukan.
Terdapat beberapa bentuk neuropati diabetika dan yang paling sering adalah suatu
polineuropati sensorik, yang umumnya tidak diketahui kapan mulainya dan disebabkan
oleh degenerasi akson.
Difisiensi neurotropin telah disebut-sebut sebagai salah satu penyebab neuropati diabetik
jenis ini dan suatu model neuropati diabetik pada roden yang di induksi dengan
streptozotosin menunjukkan transport aksonal NGF yang retrograd dan lambat padan
n.mesenterica dan n.ischiadicus.
Walaupun penemuan-penemuan ini tidak membuktikan adanya suatu hubungan yang
kausal, namun pada suatu studi ditemukan, bahwa peningkatan tail flick threshold
temperature pada ekor roden dapat dicegah dengan pemberian NGF 3x seminggu, segera
109

setelah diabetes ditimbulkan oleh streptozotosin, yang menandakan bahwa NGF dapat
melindungi terdahap terjadinya neuropati diabetik sensorik.
Namun demikian, tentunya masih ada mekanisme vaskuler dan metabolic yang lain yang
ikut menjadi kausa, sehingga sekali lagi disebutkan bahwa agaknya diperlukan suatu
kombinasi regimen untuk mengubah perjalanan penyakitnya secara bermakna.
Neuropati yang disebabkan oleh obat-obat sitotoksik sangat baik untuk diobati
dengan faktor pertumbuhan, karena dapat diberikan secara bersamaan dengan obat yang
menyebabkan neuropatinya.
Strategi ini dapat mencegah adanya pembatasan dosis yang menyebabkan neurotoksisitas
dari beberapa obat-obat sitotoksik yang penting, misalnya taxol, yang dipakai pada
pengobatan tumor solid seperti melanoma maligamentumnan dan karsinoma ovarii, yang
menyebabkan terjadinya suatu neurpati sensorik, karena menyebabkan pengumpulan
abnormal mikrotubul didalam sitoplasma.
NGF menyebabkan pengumpulan mikrotubul yang terkoordinasi dan dapat
menghilangkan pengumpulan abnormal mikrotubul.
Pada percobaan binatang telah dibuktikan, bahwa NGF yang diberikan bersamaan dengan
taxol, vinblastin dan cisplatin dapat mencegah atau menghambat perubahan-perubahan
neuropatik.
Cedera pada saraf perifer juga bagus untuk diobati dengan faktor pertumbuhan.
Setelah adanya lesi saraf perifer yang ditimbulkan pada binatang, terlihat bahwa mRNA
dari NGF,BDNF, CNTF dan LIF/CDF semua meningkat, walaupun terlihat ekspresi yang
berbeda dan kompleks pada sel Schwann disekelilingi tempat lesi.
NGF,BDNF, CNTF dan LIF/CDF semuanya meningkatkan kelangsungan hidup neuron
pada percobaan pada neonatus roden.
Namun perlu dibuat penyelidikan yang seksama pada keadaan dewasa untuk mengamati
derajat regenerasi akson perifer dengan pemberian NGF, sebelum strategi pengobatan
dengan NGF dapat digunakan untuk pengobatan saraf perifer yang mengalami cedera.
(Drago et al, 1994).
110

PENYAKIT MOTOR NEURON (MND) :


Penyakit pada sistem motorik mencakup beberapa kelainan yang belum begitu
jelas dan seringkali fatal, dan dimasukkan dalam suatu golongan, karena mempunyai
proses patologis yang sama, yang disebut neuronopati motorik yang progresif.
Selama beberapa tahun terakhir terdapat kemajuan-kemajuan dalam bidang biologi sel
motor neuron dan diketahui, bahwa terdapat suatu peranan yang potensial dari faktor-
faktor pertumbuhan tertentu yang spesifik dalam menunjang pertumbuhan motor neuron
dan faktor-faktor pertumbuhan ini dianggap dapat memperbaiki efek buruk yang
ditimbulkan oleh MND.
CNTF, walaupun tidak dibutuhkan untuk pembentukan motor neuron yang
normal, menunjang kelangsungan hidup in viro dan in vivo motor neuron yang tidak
begitu berguna, yang biasanya mati sewaktu embryogenesis, selama proses neuronal-
modelling.
CNTF juga mencegah terjadinya degenerasi motor neuron, yang dipotong akson-nya
pada roden perinatal yang dibuktikan pada tikus pmn/pmn, namun masih merupakan
suatu pertanyaan apakah hal tersebut menyerupai keadaan pada MND, karena pada tikus
tersebut terlihat suatu dying back axonopathy, dan bukan suatu degenerasi neuronal
primer.
Walaupun demikian telah diketahui bahwa gangguanpada gen CNTF akanm
menyebabkan suatu degenerasi terbatas, namun bermakna dari motor neuron n facialis
pada tikus dewasa, sehingga diperkirakan, bahwa CNTF yang diproduksi oleh sel
Schwann mempunyai peranan yang penting pada pemeliharaan motor neuron pada roden
dalam kehidupan post-natal.
Sebagai bandingan, defisiensi CNTF agaknya tidak mempunyai hubungan kausal dengan
penyakit neurologist pada manusia.
Namun ini tidak berarti, bahwa pemberian CNTF secara eksogen tidak berguna untuk
berbagai keadaan patologis seperti MND, namun pada 2 uji klinik dengan pemberian
CNTF secara sistematik harus diperhatikan bahwa,
LIF mempunyai persamaan dalam struktur-nya dengan CNTF dan reseptor-nya
mempunyai subunit bersamaan dengan reseptor CNTF, sehingga LIF juga memperbaiki
kelangsungan hidup motor neuron medulla spinalis embrional in viro.
111

LIF juga ditransportasi secara retrograd oleh motor neuron, terutama setelah cedera saraf
dan mRNA-nya yang di-ekspresikan pada otot selama pertumbuhan dan pada segmen
distai n.ischiadius dewasa yang dipotong akson-nya. Secara in vivo LIF mencegah motor
neuron neunatus tikus dari kematian pada 2 uji klinik, dimana akson dipotong. Pemberian
LIF secara sistematik pada roden, ternyata menimbulkan efek samping yang tidak
dikehendaki, sehingga harus dipikirkan dengan seksama dosis dan cara pemberiannya,
bila hendak dipakai secara klinis.
NGF sendiri tidak mempunyai efek pada motor neuron, namun derivat-nya yang
lain, yang termasuk dalam golongan neurotropin mempunyai efek yang bermakna,
sehingga dimasa yang akan datang diperkirakan akan dapat dipakai pada pengobatan
MND.
Sebagai contoh adalah BDNF, NT-3 dan NT-4 yang semuanya memperbaiki
kelangsungan hidup dari motor neuron embrio tikus dan juga reseptor dengan afinitas
yang tinggi terhadap zat-zat ini, yaitu reseptor trk B dan trk C terdapat pada motor
neuron, sehingga dianggap bahwa neurotropin-neurotropin ini bekerja langsung pada
motor neuron pool.
Juga mRNA dan BDNF dan NT-3 diekspresikan pada otot skelet pada sinaptogenesis dan
pada keadaan dewasa, sehingga dianggap bahwa mereka bekerja sebagai faktor
pertumbuhan dengan target (target derived growth factors) untuk motor neuron in vivo.
BDNF juga di transportasi secara retrograd pada motor neuron perinatal dan dewasa dan
ekspresi mRNA dari BDNF pada binatang dewasa diperbaiki pada otot yang mengalami
degenerasi, sehingga menunjang hipotesa, bahwa adalah sangat penting untuk
mempertahankan integritas motor neuron.
Yang terpenting adalah bahwa BDNF mengurangi kematian motor neuron pada neonatus
tikus, yang akson-nya dipotong pada n facialis atau pada n.ischiadicus dan bila dihapus
mutan trkB (murine deletion mutant), maka terjadi kehilangan motorneuron di kranial
dan spinal. Ada kemungkinan, bahwa NT-4 yang juga bekerja melalui resptor trkB,
mempunyai peranan pada kelangsungan hidup motor neuron in vivo.
Faktor FGF-2 dan FGF-5 juga memperbaiki kelangsungan hidup dan
perpanjangan neurit pada motor neuron medulla spinalis ayam, namun pada penyelidikan
112

akhir-akhir ini ternyata pemberian FGF-1 dan FGF-2 tidak mencegah terjadinya
kematian pada motor neuron n. facialis yang terkena cedera pada nepnatus roden.
Akhirnya insulin like growth factor-1 (IGF-1) merupakan suatu faktor yang
efektif mempertahankan kelangsungan hidup pada motor neuron roden, baik in vitro
maupun in vivo.
Uji klinik sedang dilakukan untuk mengetahui efek dan keamanan dari BDNF dan IGF-1
untuk pasien-pasien yang menderita MND.
Hasil preliminer dari salah satu uji klinik tersebut menyatakan, bahwa terdapat efek
samping yang berta dan sejumlah pasien secara bermakna mengalami kemunduran dalam
kekuatan otot di bandingkan dengan kontrol. (Drago et al, 1994).

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERJA ZAT NEUROTROPIK :


Beberapa hal perlu diperhatikan, yaitu :
∗ Kebanyakan model binatang yang dipakai sekarang ini masih belum sempurna dan
belum dapat disamakan dengan penyakit neurodegeneratif yang ingin dicontoh,
namun demikian percobaan binatang adalah suatu langkah yang menentukan dan
perlu diperlukan, sebelum uji klinik dilakukan pada manusia.
∗ Farmakokinetik dari faktor-faktor pertumbuhna harus dipelajari dengan seksama,
untuk menentukan pemberian faktor pertumbuhan secara efektif pada tempat (site)
penyakitnya dan untuk mengurangi efek samping sistematik dan neurologis yang
tidak di kehendaki.
∗ NGF mempengaruhi sistem imun dengan cara menstimulasi migrasi sel mast dan
perlepasan histamin dan dapat mempengaruhi sistemn reproduksi dan pengaruh
fungsional dari pemberian faktor pertumbuhan untuk waktu yang lama masih harus
dievaluasi lebih lanjut.
∗ Perkembangan dari tehnik pemberian faktor-faktor pertumbuhan dengan cara yang
terbatas pada suatu populasi sel target akan memainkan peranan yang penting dalam
menentukan keberhasilan dari terapi dengan faktor neurotropik.
∗ Untuk menjaga bahwa pada pemberian faktor pertumbuhan secara eksogen, zat-zat
tersebut tetap aktif secara biologis adalah krusial untuk keberhasilan terpi dengan
faktor pertumbuhan, karena faktor pertumbuhan umunya merupakan suatu protein
113

alami dan berbagai elemen dapat mempengaruhi bioavailabilitas-nya setelah


pemberian secara sistematik.
Selain itu proteolytic cleavage oleh peptidase yangnon-spesifik dapat me-
Nonaktifkan molekulnya, yang dianggap merupakan sebagian penyebab dari
kegagalan uji klinik dengan CNTF pada ALS.
Dilain fihak, berbagai faktor akan mengikatkan diri dengan zat-zat neurotropik yang
diberikan secara eksogen tersebut, sehingga akan menjadi tidak mungkin untuk
terikat pada reseptornya di neuron.

PERANAN VITAMIN NEUROTOPIK PADA REGENERASI :


Sebelum faktor-faktor pertumbuhan yang telah dibicarakn diatas ditemukan,
biasanya vitamin-vitamin neurotropik digunakan untuk memacu regenerasi.
Difisiensi vitamin B dapat merupakan kausa utama atau sebagai ko-faktor penyebab
neuropati, dan ada anggapan bahwa vitamin B dapat menyebabkan regenersi pada saraf
dan dikatakan juga, bahwa vitamin B mempunyai efek analgesik pada berbagai neuropati
(Rainers, 1992).
Difisiensi vitamin B1, B6 dan B12 ada hubungan dengan terjadinya berbagai lesi di saraf
perifer, sehingga menunjukkan bahwa vitamin-vitamin tersebut mempunyai peranan yang
sangat penting pada jaringan saraf perifer.
Vitamin-vitamin neurotropik ini saat ini banyak dipakai pada pengobatan berbagai
penyakit saraf perifer.
Kombinasi B1, B2 dan B12 lebih efektif daripada B12 saja dan kombinasi B1, B6 dan
B12 tidak lebih efektif daripada metilkobalamin. (Kikkawa, 1985).
TIAMIN (Vitamin B1) adalah suatu ko-enzim pada metabolisme glukosa dan terdapat
bukti-bukti, bahwa vitamin B1 dapat :
∗ Memperbaiki eksitansi saraf.
∗ Memperbaiki komunikasi sinaptik.
∗ Merupakan zat yang perlu ada pada fungsi saluran ion (ion channel) pada membran
sel.
∗ Mempunyai perannan yang penting pada pemberian energi pada neuron (energy
supply of neurons).
114

∗ Diperlukan untuk regenerasi membran akson.


PIRIDOKSIN (Vitamin B6) :
∗ Membantu konversi triptofan menjadi N-metil nikotanmid dan
∗ Dapat membantu remielinisasi
∗ Adalah esensial untuk sintesa asam amino dan neurotransmiter yang penting
∗ Mempunyai pengaruh pada sintesa sfingolipid, yaitu komponen-komponen yang
esensial di membran sel pada sarung mielin.
SIANOKOBALAMIN (Vitamin B12)
∗ Berpengaruh pada metabolisme asam nukleat dan protein sistem saraf.
∗ Juga merupakan faktor yang penting pada pembentukan dan pemeliharaan sarung

METILKOBALAMIN :
∗ Merupakan satu-satunya derivat aktif dari vitamin B12
∗ Meurpakan coenzim aktif B12
∗ Yang mempunyai efek merangsang poteosintesis & sintesis fosfolipid sel-sel
Schwan
∗ Dan mempromosi sintesa fosfatidikholin yang memperbaiki aktivitas Na+/K+-
ATPase
∗ Dengan jalan transmetilasi dapat menyebabkan mielogenesis dan menstimulasi
regenerasi akson saraf dan memperbaiki transmisi pada sinaps.
∗ Mempunyai efek inhibisi terhadap degenerasi Wallerian, sehingga mengakselerasi
perbaikan (recover) dan regenerasi serabut saraf. (Yamatsu, 1976).

KESIMPULAN :
Telah dibahas mengenai peranan zat neurotopik pada umumnya dan khususnya
mengenai peranan faktor-faktor pertumbuhan pada saraf perifer dengan mengemukakan
suatu pandangan yang “optimistic” mengenai potensial penggunaan zat-zat tersebut pada
berbagai kelainan saraf perifer, dimana pada saat ini terapi masih dirasakan belum begitu
memuaskan.
Walaupun pada saat ini kepustakaan mengenai dasar-dasar neurobiologist dari faktor
pertumbuhan telah banyak tersedia, namun masih diperlukan banyak penyelidikan,
115

sebelum zat-zat tersebut dapat di pakai dalam klinik sebagai pengobatam yang mapan
(estabilished treatment).
Harapan bahwa faktor-faktor pertumbuhan akan dapat merubah perjalanan penyakit dari
beberapa penyakit neurodegenerative yang fatal sementara ini masih terendam, oleh
karena pada beberapa uji klinik ditemukan efek yang tidak bermakna atau efek samping
yang berat, sewaktu CNTF diberikan pada pasien-pasien dengan MND.
Potensial pemakaian dalam klinik dari faktor-faktor pertumbuhan pada penyakit
neurologis diakui telah ada, dan tujuan pemakaiannya baik secara tunggal maupun secara
kombinasi adalah untuk melindungi sel neuron atau untuk memacu regenerasi akson dan
juga merupakan suatu eutopia untuk dapat mengganti neuron yang telah mati pada
berbagai penyakit neurologist dengan pemberian faktor pertumbuhan secara eksogen.
Bila ini dapat tercapai, maka faktor-faktor pertumbuhan akan mendapatkan tempat yang
penting dalam bidang neurology klinis dan tidak mustahil akan menggantikan
penggunaan vitamin-vitamin neurotropik, namun pada saat ini di Indonesia vitamin-
vitamin neurotropik-lah yang masih menjadi satu-satunya tumpuan harapan untuk
memacu regenerasi pada saraf perifer.
116

vii. Pengobatan Neuropati


7. Theresia Christin
Pendahuluan :
Neuropati perifer mempunyai gejala-gejala yang begitu beraneka-ragam dan seringkali
bertentangan dengan diagnosis etiologi dan banyak yang tidak bias diobati.
Kausa neuropati yang banyak ditemukan adalah neuropati diabetic, yang tampaknya
sebagian besar resisten terhadap terapi , walaupun pengaturan gula darah tampaknya
menghambat terjadinya neuropati (prevensi primer) dan memperlambat progesivitasnya
(prevensi sekunder).
Neuropati toksis dan defisiensi, harus dikenali secara dini keberadaannya, karena pada
mulanya akan ada respon yang baik, setidaknya sebagian, bila toksin dihentikan atau
defesiensi diperbaiki.
Faktor neurotropik memang memperbaiki regenerasi saraf dan agaknya mempunyai
peranan yang penting.
Namun apa yang telah berkembang dalam decade terakhir adalah kesadaran (awareness)
bahwa peranan gangguan system imun sangat penting pada patogenesis neuropati.
Untuk neuropati yang sejak lama sudah diketahui mempunyai dasar oto-imun seperti
GBS dan CIPD, akhir-akhir ini daftarnya ditambah lagi dengan MMN ( multifocal motor
neuropathy), dan juga pleksopati lumbosakral yang idiopatik dan amiotropi diabetic.
Dengan demikian selain terapi neuropati yang konvensional, sekarang ditambah lagi
dengan perkembangan dari imunoterapi yang Mutakhir

Tujuan terapi ada dua, yaitu menghilangkan kausa penyakit dan mengurangi gejala.
Pengobatan dari keadaan yang mendasarinya tergantung dari kausa, misalnya defisiensi
vitamin bias dikoreksi dengan suplementasi oral atau suntikan dari vitamin yang defisien.
Infeksi diobati dengan antibiotika atau obat antiviral. Penyakit oto-imun seringkali
diobati dengan plasmaferesis atau imunosupresi, dengan menggunakan kortikosteroid,
IVIg atau khemoterapi. Pada neuropati paraneoplastik, maka pengobatan ditujukan
terhadap menghilangkan tumornya. Neuropati toksis atau yang disebabkan oleh obat
(drug-induced neuropathies), diobati dengan menghilangkan zat-zat / obat-obat yang
117

menyebabkannya. Pada diabetes, maka control hiperglikemia adalah yang utama,


sehingga memperlambat terjadinya progresivitas neuropati.

Pengobatan neuropati meliputi berbagai aspek :


• menghilangkan atau mengobati kausa / penyebabnya
• mencegah terjadinya komplikasi
• mengobati penyakit infeksi yang menyertainya bila ada
• mencari apakah ada pemakaian bahan-bahan / obat-obat yang neuro-toksis
dan menghentikan pemakaian bahan-bahan / obat-obat tsb. A.l
vinkristin, vinblastin, isoniazid, nitrofurantoin, khloroquin, hidralazin, kliokinol,
difenilhidantoin, khloramfenicol, disulfiram, heksakhlorofen, indometasin,
amfetamin, metakualon, metronidazol, dapson dan preparat-preparat garam emas.
• memperbaiki metabolisme
• kompensasi malnutrisis dan / atau malabsorbsi terutama vitamin B
• memberikan obat-obat yang dapat membantu / mempercepat regenerasi saraf
a. L. Dosis tinggi vitamin B; metilcobalamin atau preparat kombinasi vitamin B :
yang biasanya ada adalah kombinasi vitamin B1 100 mg, vitamin B6 100 mg dan
vitamin B12 200 ug, yang juga disebut neurotonika.
Dyck et al (1987) menganjurkan pemberian Tiamin 25 mg, Niacin 100 mg,
Riboflavin 10 mg, asam Pantotenal 10 mg dan Piridoksin 5 mg.
Metilkobslsmin diberikan 3X500 ug/hari selama 8 minggu.
• terapi simptomatik bila perlu
• nyeri neuropatik :
Antidwprasn trisiklik : amitriptilin 3x25 mg/hari
Antikonvulasan : gabaventin/neurontin, karbamazepin 3x200mg,
fenitoin 300 mg/hari
Analgesik : Tramadol, asam asetilsalisilat 600 mg tiap 4 jam,
kadang-kadang perlu codein 30 mg tiap 4 jam,
namun sebaiknya preparat opiate dihindari.
Vitamin B dosis tinggi
118

Pada nyeri DM neuropati dapat diberikan asam tioktat 20 -30 mg/hari atau
karbamazepin 3 X200 mg/hari, Neurontin #X!
Nyeri nocturnal yang kadang-kadang terjadi di kaki dapat diobati dengan
nokotilalkohol dan fenobarbital
• kramp & fasikulasi : teofilin, kinidin, benzodiazepine, relaksan otot : myonal
sirdalud
• disfungis ortostatik : simptomimetika, fludokortison, dihidroergotamin
• gangguan gastro-intestinial : domperidon, metoklopramid
• disfungsi ereksi : Viagra atau penyuntikan dalam corpora cavernosa.
• menghentikan pengaruh auto-imun, bila ada juga mencari kausa imunologis
HIV, CMV, Gbsy CIDP. Imunoterapi akan dibahas dengan lebih lengkap di
akhir makalah.
• kortison atau ACTH kadang-kadang efektif, namun secara umum sebaiknya
hanaya digunakan pada polineuropati yang kronis dengan relaps (CRPN = chronic
recurrent polineuropathy)
• untuk negara barat : mengobati alkoholosme
• Fisioterapi : semua jenis neuropati dengan gangguan motorik atau sensorik
sampai ataksis memerlukan fisioterapi, yang bukan hanya terbatas pada latihan
pasif atau massage otot saja, namun juga mencakup latihan aktif (active exercise)
dan bila perlu menggunakan alat-alat sehingga mencakup rehabilitasi secara
menyeluruh.
• Memberikan MOTIVASI pada pasien agar tetap bersemangat dengan
memberikan pengharapan penyembuhan, dengan memberitahukan kepada pasien
bahwa :
 perbaikan akan memakan waktu yang lama, karena regenerasi saraf hanya
1mm/hari
 regenerasi dapat berjalan lebih baik, bila tidak ada kerusakan yang masih
berlanjut.

Peranan vitamin B pada regenerasi saraf :


Tiamin (vitamin B1)
119

Adalah suatu ko—enzim pada metabolisme glukosa dan terdapat bukti-bukti, bahwa
tiamin :
• memperbaiki eksitasi saraf
• memperbaiki komunikasi sinaptik
• merupakan zat yang perlu ada pada fungsi ion channel pada membrane sel.6
• mempunyai peranan yang penting pada pemberian energi neuron ( energy supply
of neuron )
• diperlukan untuk regenerasi membrane akson
Piridoksin (vitamin B6)
• membantu konversi triptofan menjadi N-metilnikotinamid dan dapat membantu
remielinisasi
• adalah esensial untuk sintesa asam amino dan neurotransmitter yang penting
• mempunyai pengaruh pada sintesa sfingolifid, yaitu komponen yang essensial di
membrane sel pada sarung myelin

Sianokobalamin (vitamin B12)


• berpengaruh pada sintesa asam nukleat dan juga merupakan factor yang penting
pada pembentukan dan pemeliharaan sarung myelin.

Metilkobalamin
Yamatsu (1976) mengemukakan bahwa metilkobalamin merupakan satu-satunya
derivate aktif dari vitamin B12 yang mempunyai efek merangsang proteosintesis
sel-sel schwann akson saraf dan memperbaiki transmisi pada sinaps.
Telah dibuat suatu uji klinik yang tersamar ganda yang dilakukan secara acak dengan
membandingkan metilkobalamin dengan placebo pada 50 PASIEN yang menderita
neuropati diabetic pada NIDDM yang gula darahnya terkontrol dengan baik selama 8
minggu.
Setiap golongan mendapatkan 6 kapsul (3x250 ug metilkobalain) atau 6 kapsul (3x2
kapsul) placebo yang identik, dan terapi konkomitan dilarang selain pemberian obat
antidiabetik oral.
120

Imunoterapi :
Dalam dekade terakhir timbul kesadaran (awareness) bahwa peranan gangguan system
imun sangat penting pada patogenesis neuropati.
Daftar neuropati yang sejak lama sudah diketahui mempunyai dasar oto-imun seperti
GBS dan CIDP, akhir-akhir ini ditambah lagi dengan MMN (multifocal motor
neuropathy), dan juga pleksopati lumbosakral yang idiopatik dan amiotrofi diabetic.
Dengan demikian selain terapi neuropati yang konvensional, sekarang ditambah lagi
dengan perkembangan dari imunotherapi yang mutakhir.

Imunoterapi pada CIDP


IVIg & PE :
Selama dekade terakhir, intravenous-immunoglobulin (IVIg) telah menjadi pengobatan
yang dipilih pada CIDP dan efektivitasnya sama dengan plasma exchange (PE).
Perbandingan antara oral prednisolon dengan IVIg pada IVIg pada CIDP ternyata
menghasilkan efek yang sama, walaupun lebih baik pada IVIg namun tidak bermakna. 11
Banyak pasien yang telah diobati dengan obat-obatan imunosupresif, seperti azatioprin
dan siklofosfamid, namun efektivitasnya belum pernah diuji secara klinik dengan baik .
Pengobatan dengan IVIg maupun PE walaupun telah dibuktikan efektivitasnya sebagai
obat yang sudah estabilished, namun tidak selalu efektif pada semua pasien dan
walaupun efektif mempunyai banyak kekurangannya, karena pemberian terapi bias
melebihi 3 bulan lamanya dan kebanyakan uji klinis tidak pernah dilakukan melebihi
waktu 3 bulan itu.

Interferon cx (INFcx):
Belum ada uji klinik tersamar ganda yang dilakukan dengan obat ini pada CIDP
walaupun hasil-hasil yang dicapai menjanjikan 12, namun perlu diketahui adanya laporan
terjadinya CIDP setelah pengobatan dengan INFcx pada hepatitis C.
Pada saat ini INFcx belum bisa disebutkan sebagai suatu estabillished drug untuk CIDP,
walaupun telah terjadi penyembuhan komplit pada beberapa pasien yang refrakter
terhadap pengobatan obat-obat lain memberikan suatu harapan sebagai suatu terapi
alternative terhadap siklofosfamid yang lebih toksik.
121

Interferon B (INFB) :
Pada tahun 1999 dilaporkan hasil yang baik dengan pemakaian INFB pada 4 pasien
CIDP, yang mula-mula ada respons terhadap pengobatan konvensional, namun lalu
menjadi resisten, juga dengan kombinasi IVIg menunjukkan adanya perbaikan melebihi
20%, namun studi tidak tersamar ganda dan N (jumlah pasien) kecil, sedangkan Hadden
(1999) melaporkan tidak ada hasil menggunakan obat ini.
Semua studi yang telah dilakukan biasanya menggunakan pasien yang sudah lama
9durasi 8 – 11 tahun) yang telah gagal dengan terapi konvensional, dan dengan demikian
memang merupakan pasien yang telah resisten terhadap terapi yang lain.
Obat ini lebih bisa di toleransi dibandingkan kortikosteroid dan lebih murah
dibandingkan IVIG dan PE.

Pulsed metilprednisolon :
Pulsed metilprednisolon secara iv dengan dosis 500 mg selama 5 hari disusul dengan 500
mg selama 2 hari setiap 2 minggu selama 3 bulan dapat memberikan hasil dan perbaikan
dapat dipertahankan selama terapi dan menurun lagi bila terapi dihentikan, dan terapi 2
mingguan diberikan lagi selama 2 tahun dengan hasil yang menetap, dan efek samping
yang ringan
Akhir-akhir ini telah dicoba pula pada 3 pasien setelah IVIg dan metilprednisolon
diberikan secara oral tanpa diberikan terapi inisial pada 5 hari pertama, dengan hasil
perbaikan yang dramatic.
Efek samping yang dijumpai adalah insomnia dan agitasi ringan pada hari mendapatkan
terapi pada semua pasien dan hiperglikemi pada hari terapi pada 1 pasien yang memang
menderita NIDDM.
Walaupun uji klinik tidak tersamar ganda dan jumlah pasien kecil, namun pulsed
metilprednisolon adalah aman, dapat ditoleransi dengan baik dan efektif untuk jangka
panjang pada CIDP, namun masih perlu penyelidikan lebih lanjut.

Imunoterapi pada GBS :


PE telah diterima sebagai suatu terapi yang estabilished untuk GBS pada tahun 1985 dan
IVIg dianggap sama efektif sejak tahun 1992.
122

Yuki (2000) dan kuwabara (2001) menyebutkan bahwa pasien GBS yang mempunyai
antibody terhadap GMI mempunyai respons yang lebih baik terhadap IVIg daripada
terhadap PE.
Perbaikan terhadap tehnik PE termasuk double filtration PE, immunoadsorpstion dan
CSF filtration tidak memberikan kelebihan dibandingkan terhadap IVIg atau PE standard.
Tidak ada bukti yang dapat dipercayai bahwa relaps lebih tinggi pada IVIg dibandingkan
dengan PE
Penyelidikan preliminer pada brain-derived neurotrophic factors (BDNF) menunjukkan
tidak ada perbedan yang bermakna antara BDNF dan plasebo.

Imunoterapi pada multifocal motor neuropathy (MMN)


MMN merupakan suatu penyakit yang khronik dan melumpuhkan dan kebanyakan
mengenai penderita usia muda sehingga memberikan berbagai tantangan dalam terapinya.
Terapi yang paling efektif pada MMN adalah IVIg.
IVIg tidak menyebabkan remisis dan walaupun ada laporan perbaikan kekuatan otot dan
fungsi neurologist setelah setiap pemberian IVIg, tidak dapat dipungkiri, bahwa ada
pemburukan yang lambat yang tidak dapat dihindari.
Walaupun demikian terapi dapat memperlambat progresivitas, dimana pemburukan yang
diukur dengan neurologic disability scale sebelum terapi adalah 4,2 pertahun
dibandingkan dengan 1,3 setelah IVIg.
Biasanya perbaikan setelah pemberian IVIg bertahan selama 1-2 bulan, sehingga
diperlukan pemberian ulang.
Karena biaya yang sangat mahal, maka perlu dipikirkan terapi alternative lain.
MMN tidak membaik dengan pemberian kortikosteroid maupun PE, malahan bisa terjadi
pemburukan pada pemberian kedua-nya.
Siklofosfamide tersendiri atau dengan kombinasi dengan IVIg efektif, tapi tidak
memberikan remisi yang permanen dan mempunyai resikonya sendiri (bisa menyebabkan
maligamentumnasi setelah bertahun-tahun)
Pemakaian Interferon B (INFB) pada MMN bisa memberikan hasil pada pasien yang
telah resisten terhadap terapi konvensional dan perbaikan terlihat 2-4 minggu dan
mencapai puncak pada 6 bulan lalu menjadi stabil.
123

Interferon B lebih murah dan toleransi baik, dan efek keamanan dan tolerabilitas jangka
panjangnya telah teruji pasa MS.
Pada beberapa pasien MMN; titer antibody GMI gangliosid tinggi yang diproduksi oleh
B limposit. Rituximab adalah suatu antibody monoclonal terhadap sel B dan telah dipakai
pada limfoma dan leukemia dan ternyata menghasilkan suatu penurunan 80% sel B.
Pemberian infus Rituximab setiap minggu untuk 4 minggu memberikan perbaikan pada
pemberian obat dan menetap selama 6 bulan.
Perbaikan klinis disertai dengan penurunan titer antibody GMI secara progresif, dan tidak
dilaporkan adanya efek samping.

Imunoterapi pada amiotrofi diabetic :


Terdapat bukti kuat bahwa amiotrofi diabetic disebabkan oleh suatu mikrovaskulitis dan
agaknya immune mediated
Telah dilakukan pengobatan pada 12 episode amiotrofi diabetic pada 11 pasien.
6 pasien menerima IVIg dan 6 episode pada 5 pasien mendapatkan pulsed intravenous
methylprednisolon, pemberian selama 2 hari berturut-turut setiap 2 minggu selama 1 – 3
bulan.
Hasil paling dramatic adalah pada nyeri : dengan pemberian IVIg 4 pasien mengalami
perbaikan nyeri dalam beberapa hari atau minggu, sedangkan dengan metilprednisolon,
nyeri hilang atau perbaikan dalam beberapa hari setelah pemberian obat yang terlihat
pada 4 episode.
Pasien yang mendapatkan terapi dalam 2 bulan sejak timbulnya gejala mempunyai
respons yang lebih cepat dan dramatic dibandingkan yang telah menderitra keluhan itu
lebih dari 3 bulan, walaupun perjalanan penyakitnya tidak banyak berubah.
Kelemahan membaik lebih lambat, umumnya dalam 10 – 20 minggu, namun masih lebih
cepat dari perjalanan penyakitnya sendiri (natural history of the disease)
Lamanya menderita penyakit meramalkan perbaikan kekuatannya.

Peranan Neurotropin pada system saraf perifer :


Pada system saraf ferifer, factor neurotropin merupakan suatu faktor kelangsungan hidup
(survival factor) untuk berbagai golongan neuron.
124

Adanya NGF (Nerve Growth Factor) dalam jumlah terbatas dengan cara yang target-
derived adalah esensial untuk kelangsungan hidup neuron simpatetik dari ganglia
paravertebralis dan untuk 70-80% dari neuron sensorik (nociceptor) di ganglia radiks
dorsalis.
Berbagai subpopulasi spesifik dari neuron system saraf perifer yang lain menunjukkan
ketergantungannya pada BDNF (Brain Derived Neurotrophic factor) atau sitokin GDNF
(glial cell line-derived neurotrophic factor)

Kesimpulan :
Tujuan terapi pada neuropati ada dua, yaitu menghilangkan kausa penyakit, bila mungkin
dan mengurangi gejala. Pengobatan dari keadaan yang mendasarinya tergantung dari
kausa. Terdapat dua gejala utama pada neuropati, yaitu nyeri dan kelemahan. Nyeri
biasanya dapat diatasi dengan pengobatan.
Faktor neurotropik memang memperbaiki regenerasi saraf dan agaknya mempunyai
peranan yang penting.
Potensial pemakaian dalam klinik dari factor-faktor pertumbuhan (growth factor) pada
penyakit neurologist diakui telah ada, dan tujuan pemakiannya baik secara tunggal
maupun secara kombinasi adalah untuk melindungi sel neuron atau untuk memacu
regenerasi akson dan juga merupakan suatu eutopia untuk dapat mengganti neuron yang
telah mati pada berbagai penyakit neurologist dengan pemberian factor pertumbuhan
secara eksogen
Selain terapi neuropati yang konvensional, sekarang ditambah lagi dengan perkembangan
dari imunoterapi yang mutakhir.
Selain obat-obatan, maka fisioterapi dapat membantu memulihkan kekuatan dan
memperbaiki cara berjalan.
Tergantung dari kausanya, maka terapi dapat memperlambat, menghentikan atau
memperbaiki neuropati. Bila kerusakan dapat dihentikan, maka saraf dapat beregenerasi
kembali. Derajat penyembuhan tergantung dari kerusakan yang telah terjadi. Makin
ringan kerusakan, makin baik penyembuhan. Maka dari itu adalah penting untuk
mendiagnosa neuropati sedini mungkin dan memulai terapi.
125

viii. Terapi Imunoglobulin (IVIg) Pada Kasus-Kasus Neurologis


8. Selly Marisdina
Dosis tinggi imunoglobulin intravena (IVIg) telah menjadi suatu terapi yang penting
yang dipakai untuk berbagai penyakit neurologis.
Karena terdapat interpretasi yang berbeda dari hasil-hasil uji klinik yang membandingkan
keuntungan terapi imunoglobulin intravena (IVIg)dengan terapi yang lain dan juga hal-
hal yang menyangkut mengenai keamanan, harga dan mekanisme bekerjanya., maka
diperlukan beberapa pengetahuan mengenai imunoglobulin yang harus diketahui para
dokter.

IVIg telah terbukti efektif pada terapi


* sindroma Guillain-Barre (Gbsy),
* neuropati motorik multifokal (MMN),
* chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP) &
* dermatomiositis
Pada beberapa uji klinik yang lain yang terbuka maupun yang tersamar ganda dengan
kontrol dan juga pada beberapa laporan kasus, IVIg menghasilkan perbaikan pada
beberapa pasien yang menderita:
* sindroma miastenik Lambert-Eaton &
* miastenia garvis
dan IVIg memberikan sedikit hasil atau keuntungan ringan pada pasien-pasien
dengan
* inclusion-body myositis,
* paraproteinemic IgM demyelinating polyneuropathy,
* polimiositis,
* sclerosis multipel
* neurits optika dan
* stiff-man syndrome.

IVIg telah diakui oleh FDA (Food & Drug Administration) untuk maintenance treatment
* imunodefisiensi primer humoral (blood-based),
126

* trombositopenik purpura otoimun yang akut dan khronik

Efek samping utama yang ditemuka adalah:


* nyeri kepala
* meningitis aseptik
* reaksi pada kulit
* beberapa kejadian tromboembolik &
* jarang terjadi nekrosis renal tubeler
Efek imunnomoduler IVIg secara tunggal atau dalam kombinasi dengan obat lain yang
paling penting adalah:
* inhibisi complement deposition,
* neutralisasi sitokin
*modulasi Fc-receptor-mediated phagocytosis & downregulation produksi
otoantibodi.
Terapi IVIg efektif untuk beberapa penyakit otoimun dalam bidang neurologis, namun
spectrum efektivitasnya belum ditentukan dengan lengkap, sehingga masih dibutuhkan
beberapa uji klinik yang bermakna.
Walaupun demikian IVIg telah menjadi suatu terapi yang sangat bermakna untuk
beberapa penyakit neurologis. Dalam bidang neurologi, mungkin lebih daripada cabang
ilmu lain dalam kedokteran, pemakaian IVIg yang relatif mahal ini telah meningkat
secara tajam, sehingga diluar negeri menyangkut bidang
* asuransi kesehatan medis
* budget farmsi rumah sakit dan
* kemampuan pasien sendiri.

Pembuatan dan keamanan:


Setiap vial IVIg dibuat dengan cara cold ethanol fraction (proses Cohn) dari plasma
human yang diambil dari kumpulan 3000-10000 donor.
Obat ini lalu dimurnikan dengan cara enzimatik pada pH yang rendah yang diikuti
dengan fraksinasi dan khromatografi.
127

IVIg yang telah dimurnikan lalu di stabilisasi dengan glukosa, maltosa,glisin,


sukrosa,manitol atau albumin
Produk akhir mengandung lebih dari 95% IgG,
kurang dari 2,5 % IgA &
sedikit IgM yang bisa diabaikan keberadaanya.

Subklas IgG : IgG1 55% - 70%,


IgG2 30% - 38%,
IgG3 0 % - 6 % dan
IgG4 0,7 % - 2,6%,
Yang tergantung dari besarnya dan komposisi pool donor yang dipakai pada awal
pembuatan IVIg.
Produk-produk IVIg yang beredar di USA saat ini adalah aman terhadap transmisi
beberapa virus dan infeksi.

Pada donor telah diperiksa terhadap


* human immunodeficiency virus (HIV);
* human T-cell lymphotropic virus,
* virus hepatitis A, B, and C.
HIV dan virus hepatitis B virus telah inaktivasi dengan jalan proses fraksinasi dan
efektivitas metode ini telah dibuktikan dengan menambah HIV pada IVIg secara
eksperimental dengan hasil yang memuaskan.
Selain itu maka penambahan
* solven
* detergen, atau
* enzim dan
* inkubasi pada pH yang rendah,
saat ini dipakai dalam pembuatan obat ini sehingga membuat inaktif
* virus hepatitis C dan
* virus-virus yang lain.
HIV virus belum pernah ditularkan melalui pemakaian IVIg
128

Di USA sedikitnya 137 suspek pasien hepatitis C yang terkena dengan pemakaian
Gammagard (Baxter Healthcare Corp, Glendale, California) namun saat ini telah ditarik
dari peredaran dan Gammagard telah diganti dengan Gammagard-SD yang
pembuatannya sudah memakai solven dan detergen.
Dengan alasan keamanan maka sebuah pabrik obat pernah juga menarik suatu golongan
nomor produk IVIg-nya karena salah satu dari ribuan donor-nya telah menderita penyakit
Creutzfeldt-jakob dan ini hanya dilakukan berdasarkan dasar teori transmisi penyakit,
walaupun protein prion sebetulnya belum pernah terbukti bisa menyebabkan trasmisi
penyakit secara eksperimental pada pemakaian produk2 yang mengandung darah.
Walaupun IVIg telah terbukti aman, dan pembuatanya juga secara teliti dan hati-hati oleh
para produsen obat, namun para klinisi tetap harus waspada terhadap adanya penyebab-
penyebab infeksi yang bisa dihubungkan dengan pemakaian jangka panjang IVIg.

Farmakologi klinik:
Setelah infus IVIg dengan dosis 2 g/kg berat badan yang merupakan dosis yang lazim
dipakai pada kasus neurologis, maka
* kadar serum IgG meningkat 2- 5 kali
* lalu menurun 50 % dalam 72 jam
* lalu kembali ke semula dalm 21-28 hari,
Penurunan kadar pada waktu awal menandakan adanya re-distribusi ekstravaskuler

Status dari terapi IVIg pada penyakit2 neurologis


pada beberapa penyakit neuroligamentumis dengan patogenesis otoimun, maka beberapa
uji klinik dengan kontrol menyimpulkan efektivitas IVIg yang baik, walupun kadang2
hasilnya tidak begitu konsisten pada semua uji-2 uji klinik
namun pada penyakit-pentakit lain bukti2 anekdot atau tak terbukti.

Uji klinik tersamar ganda. (Controlled Clinical Trials)


Sindroma Guillain-Barre adalah suatu sindroma polineuropati yang akut disertai
demielinisasi yang mencapai puncaknya dalam 2 minggu onset dan menyebabkan
* Kelemahan yang berat atau
129

* Paralisis ekstremitas &


* Otot-otot pernafasan.
Walaupun target antigen-nya belumdiketahui sampai saat ini, yang terbukti dari adanya
hubungan dengan mekanisme imun humoral dan terlihat dari
* aktivasi dari komplemen
* deposisi membranolytic attack complex di sarung myelin
* antiganglioside yang beredar
* antibody glikolipid
* peningkatan jumlah pproduk aktivasi T-cell
* sitokine
* invasi sarung myelin oleh makrofag
Pada minggu pertama, terapi yang dianjurkan pada GBsy terutama bila penyakitnya berat
dan membutuhkan pertolongan sewaktu berjalan adalah plasmaferesis atau IVIg.
Pada uji klinik yang tersamar ganda, maka terlihat
Perbaikan 52 % pasien setelah plasmaferesis dan 38 % pasien yang diberi sham aphresis
(palsu). Terapi IVIg bersama dengan plasmaferesis menyimpulkan bahwa IVIG juga
efektif sebagai terapi first-line.
Pada studi ini maka:
52,7 % dari 74 pasien menerima IVIg
34 % dari 73 pasien menjalani plasmaferesis
Dan terlihat * perbaikan fungsional dari
* satu tingkatan atau lebih setelah 4 minggu
Walaupun IVIg jelas efektif, maka rekomendasi pemakainnya sebagai alternatif dari
plasmaferesis dibantah karena hasil IVIG dibandingkan plasmaferesis pada studi ini
interiordibandingkan dengan studi2 sebelumnya Hal ini memyebabkan dibuatnya uji
klinik yang multinasional dan multisenter yang membandingkan secara parallel
* Efektivitas IVIg secara tersendiri
* Plasmeferesis tersendiri
* Plasmaferesis diikuti dengan IVIg.
130

Setelah terapi selama 4 minggu dan follow-up selama 48 minggu ternyata tidak ada
perbedaan yang bermakna diantara ke golongan tsb sehingga mengkofirmasi efektivitas
IVIg pada pengobatan GBS.
Pada suatu uji klinik yang memakai kombinasi IVIg dan metilprednison i.v (500 mg)
ternyata pemberian kombinasi ini lebih efektif daripada IVIg tersendiri sehingga dibuat
lagi suatu uji klinik yang lain.
Bisa terjadi suatu relaps dini pada waktu terapi awal plsmaferesis ataupun IVIg pada
suatu uji klinik tersamar ganda relaps yang terjadi hampir sama pada pasien yng
menerima terapi plasmaferesis (8.3 % ) dan terapi IVIg t (10.8%) dengan keluarannya
(outcome) sama pada ke 2 golongan. Pada uji klinik yang kecil maka terjadinya relaps
dini adalah lebih tinggi pada pasien yang mendapat terapi IVIg dan beberapa pasien yang
mendapatkan relaps hanya bereaksi terhadap plasmaferesis.
Namun pada uji klinik multisenter yang kedua, maka diantara ke 2 regimen pengobatan
tidak dijumpai perbedaan yang bermakna sampai 48 minggu kemudian dalam
penyembuhan dari disabilitas antara pasien yang menerima IVIg dan plsmaferesis atau
secara bersamaan IVIg dan plasmaferesis.
Akhirnya pertanyaan adalah terapi mana yang harus digunakan mula-mula ,melihat
efektivitasnya hampir sama dan harga yang juga mahal, maka hal ini harus
dipertimbangkan dengan matang dari sudut kemudahan pemberiannya dan praktis
tidaknya (convenience & practicality).
Terapi IVIg lebih mungkin diberikan
* pada pasien di daerah terpencil,
* pada rumah sakit dimana tidak tersedia plasmaferesis
* atau rumah sakit dimana plasmafresis tidak digunakan secara baik karena tidak ada
ahlinya
* pada anak2 kecil dimana pemberian intravena merupakan
* sepsis,
* disfungsi otonomik yang parah
* hemodinamika yang tidak stabil
Pada situasi2 lain, maka pemakaian IVIGg ataupun plasmaferesis kurang lebih sama.
131

Bila penyakit makin memburuk dalam 15 hari pertama, walupun telah diberikan
plasmaferesis, maka suatu pemberian IVIg dapat di-indikasikan
Apakah suatu pemberian IVIg yang kedua setelah 3 minggu memberikan keuntungan
belum dapat ditentukan.
Pada umumnya bila pasien Gbsy tetap lemah, walaupun tidak ada progresi penyakit lagi,
maka diperlukan kebijaksanaan, kesabaran, dan perawatan suportif dan bila perlu
perwatan di ICU dengan monitoring yang lengkap dari fungsi otonom dan kardiologis,
yang semuanya tidak tergantung dari terapi mana yang diberikan.
Bila diperlukan terapi yang lebih lanjut, maka agaknya pengulangan pemberian suatu
regimen terapi lebih bijaksana daripada menggunakan terapi alternatif yang lain.

CIDP (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy)


seringkali disebut juga GBS khronik karena persamaan imunopatologis dan
elektrodiagnostik dengan GBS.
CIDP adalah suatu polineuropati dengan demilienisasi yang jelas dan didapat (acquired)
yang onsetnya lambar dari beberapa minggu sampai beberapa bulan dengan gejala 2:
* kelemahan
* arefleksia, dan
* gangguan sensibilitas.
berlainan dengan Gbsy yang merupakan penyakit yang monofasik, maka CIDP
memerlukan terapi jangka panjang untuk mempertahankan hasil terapi yang baik.
Walaupun streoid merupakan terapi pilihan (first choice) pada CIDP, namun respons
terhadap pengobatan biasanya lambat dan berlarut-larut sehingga mepertinggi
kemungkinan efek samping berat. Selain itu banyak pasien berhenti berespons terhadap
terapi steroid atau mendapatkan efek samping yang tidak bisa diterima lagi sehingga
memerlukan terapi jenis lain Pada suatu uji klinik yang tersamar ganda yang dilakukan
secara acak dan cross-over
dengan
IVIg atau plasmaferesis pada 20 pasien dengan CIDP
Ternyata ke 2 macam terapi itu sama efektifnya dalm hal
* memperbaiki kekuatan otot dan gejala neuropati dan
132

* memperbaiki amplitude dari evoked muscle-action potentials.


Hal ini dipastikan juga dengan uji klinik yang lain yang juga dilakukan secara acak yang
mengemukakan bahwa suatu infus sekali ebulan dari 1 g (bukannya 2 g) IVIg dapat
digunakan sebagai maintenance therapy dengan memuaskan , namun ini masih perlu
penyelidikan lebih lanjut
Pemilihan pemakian terapi prednison, IVIg atau plasmaferesis harus dipertimbangkan
berdasarkan harga, efek samping jangka panjang, umur pasien, akses vena, beratnya
penyakit dan penyakit2 lain yang menyertainya.
Bila steroid merupakan kontraindikasi, memberikan efek samping yang berat atau tidak
efektif, maka IVIg merupaka terapi yang diutamakan, karena lebih mudah diberikan
dibandingkan dengan plasmaferesis. dan sebaiknya plasmaferesis di peruntukan bagi
pasien2 dimana terapi IVIg tidak efektif.

MMN( Multifocal Motor Neuropathy)


Gejala dini dari MMN adalah
* onset yang sangat lambat dari kelemahan disertai dengan
* atrofi otot
* bisanya yang terkena ekstremitas atas disertai
* arefleksia sedangkan
* sensibilitas masih baik

Penentuan diagnosa adalah adanya blok konduksi (conduction block) dari akson motorik
dan pada kebanyakan pasien dengan adanya antibody terhadap gangliosid GM1
Berlainan dengan CIDP, maka pada MMN tidak akan ada perbaikan dengan terapi
streroid maupun plasmaferesis.
Namun seperti yang dibuktikan pada uji klinik tersamar ganda dan beberapa studi
terbuka, maka MMN bereaksi baik sekali terhadap IVIg
Bila gejala-gejala berkurang, maka blok konduksi elektrofisiologis akan berkurang
namun titer antibodi GMI tidak berubah.
Secara in-vitro IVIg akan menghambat ikatan antara antibody GM1 dengan target
antigen.
133

Terapi dengan IVIg pada saat ini adalah terapi pilihan (treatment of choice) bila
efektifitasnya IVIg menurun setelah beberapa bulan, maka pemberian tambahan i.v
siklofosfamid IVIg sebanyak 1 g/m2 permukaan badan bisa membantu.
Bukti anekdotal mengemukakan efektivitas IVIg pada MMN dan juga pada CIDP dan
keadaan2 lain dapat juga diperbaiki dengan pemberian plasmaferesis sebelum infus
berikutnya

Miastenia gravis (MG)


Dosis tinggi IVIg telah dipergunakan sebagai terapi yang sudah diterima dan merupakan
terapi konvensional pada berbagai penyakit neurologis.
Bisa dianggap sebagai kebalikan dari plasmaferesis, dan bukan dengan menghapus darah
dari antibodi abnormal, maka IVIg memenuhi darah dengan antibody gamma globulin
dari berbagai donor.
Walaupun harganya mahal, IVIg telah menjadi terapi utama atau adjunktif pada
pengobatan berbagai penyakit otoimun termasuk miastenia gravis.
IVIg juga telah memberikan perbaikan pada beberapa pasien MG, namun menghasilkan
efek yang tidak konstan pada beberapa pasien 27

Miastenia gravis &IVIg


IVIg memberikan perbaikan yang pesat untuk membantu pasien MG melalui episode MG
dengan kelemahan miastenik yang berat
Keuntungannya adalah bahwa pemberian IVIg tidak memerlukan alat yang khusus dan
dosisnya pada MG biasanya kecil, hanya 400 mg per kg/ hari selama 5 hari berturut2.
Walaupun demikian maka statusnya adalah: merupakan suatu obat yang belum
estabilished untuk MG.
Perbaikan dijumpai pada beberapa pasien MG, namun ada juga hasil yang tidak tetap dan
tidak pasti pada pasien2 lain.

Reaksi yang tidak dikehendaki (Adverse reaction) :


Hanya terjadi pada kurang dari <<10 % pasien dan gejalanya umumnya adalah nyeri
kepala, kelebihan cairan dan jarang sekali gagal ginjal.
134

Pada pasien-pasien yang ada responsya maka perbaikan terjadi dalam 4—5 hari dan dapat
dipertahankan untuk beberapa minggu-bulan.
Mekanisme bekerjanya belum diketahui dan harga obat memang mahal

Dermatomiositis adalah miositis yang didapatkan (acquired myopathy) dan gejala


awalnya adalah kelemahan otot proksimal dan rash pada muka dan ekstremitas
Pada banyak kasus kadar keratin kinase meningkat dan secara imunopatologis terlihat
suatu deposisi dini dari membranolytic attack complex pada kapiler endomesial, sehingga
terjadi destruksi kapiler, iskemi otot dan inflamasi.
Penyakit ini biasanya berespons terhadap steroid namun seringkali menjadi resisten
terhadap steroid dan seringkali efek samping tidak dapat ditoleransi oleh pasien.
Azatioprin, metotreksat, atau siklosporin dapat memberikan sedikit kemajuan pada
beberapa kasus.
Pada suatu uji klinik yang tersamar ganda pada dermatomiositis yang refrakter maka
kekuatan motorik pasien membaik dan ada perbaikan pada hasil biopsi otot histologis dan
imunopatologis dan perbaikan klinis jelas pada pemberian infus bulan kedua, namun
perbaikan dengan pemberian IVIg hanya dalam jangka waktu yang pendek dan
diperlukan infus yang berulang-ulang sampai setiap 6-8 minggu untuk mempertahankan
kemajuan yang telah didapat.
Oleh karena dermatomiositis ada respons terhadap steroid, maka IVIg sebaiknya hanya di
anjurkan pada pasien yang resisten terhadap steroid atau dimana pemberian steroid
merupakan kontraindikasi.
Hasil preliminer dari uji klinik yang tersamar ganda dan beberapa uji klinik lain yang
dilakukan secara terbuka dan juga beberapa laporan kasus memberikan laporan mengenai
efektifnya IVIg pada berbagai penyakit neurologis, namun karena mahalnya obat ini
maka seringkali belum di tentukan kapan indikasi obat ini yang paling tepat.
Beberapa penyakit neurologis yang bisa di obati dgn IVIg adalah:
* inclusion-body myositis
* sindroma miastenik Lambert-Eaton
* miastenia gravis
135

* paraproteinemic IgM demyelinating polyneuropathy dengan antibody antiglikolipid


terhadap saraf perifer
* sindroma Rasmussen
* beberapa pasien anak-anak dengan intractable childhood epilepsy,
* sindroma West atau
* sindroma Lennox-Gastaut yang diobati dengan IVIg dengan perkiraan bahwa
penyebabserangan kejang adalah ensefalitis post virus dan laporan anekdotal
menyebutkan bahwa terjadi kontrol kejang yang lebih baik setelah terapi IVIg.
* polimiositis.Terapi dengan IVIg memberikan hasil yang ringan sampai sedang pada
70% pasien polymyiositis dan pada beberapa pasien sklerosis multipel yang sedang
relaps (relapsing remitting multiple sclerosis)
* neuritis optika
Terapi dengan IVIg menghasilkan perbaikan yang tidak tetap pada
* stiff-man syndrome
* paraneoplastic cerebellar degeneration dengan anti-Yo antibodies
* ensefalomielitis paraneoplastik
* neuropati sensorik dengan antibodi anti-Hu
* mielopati ec human T-cell lymphotropic virus- I infection.
* vaskuliti sistemik
* neuropati diabetika yang otoimun
* neuropati disotonomik yang idiopatik dan akut atau sindroma Vogt-Koyonagi-
Harada(uveomeningitis yang berhubugan dengan depigmentasi kulit dab gejala-
gejala
susunan saraf pusat)
Namun agaknya IVIg tidak ada efek pada :
* ALS (amyotrophic lateral sclerosis)
* critical illness polineupathy, atau
* adrenoleukodistrofi,
Sclerosis multipel
suatu uji klinik yang tersamar ganda membandingkan IVIg dengan plasebo pada148
pasien dengan sklerosis multipel yang sedang relaps (relapsing-remitting multiple
136

sclerosis) dengan pemberian infus bulanan dari IVIg selama 2 tahun dengan perbaikan
yang bermakna dalam hal disabilitas dan secara bermakna mengurangi frekwensi relaps,
namun perubahan pada lesi demielinisasi yang terlihat pada MRI tidak dievaluasi

Efek Imunomodulator :
Mekanisme bekerja IVIg sehingga menghasilkan sesuatu efek terapeutik pada berbagai
penyakit neurologis dengan berbagai penyebab belum diketahui dengan jelas, namun
agaknya ada hubungan dengan beberapa efek imunomodulator yang bekerjanya secara
tersendiri atau dalam kombinasi.
IVIg memberikan antibodi anti-idiotipik yang terikat dan menetralisasi otoantibodi yang
patogenik yang menghalangi interaksi dengan otoantigen.
Terikatnya antibodi anti-idiotipik pada determinan antigen dan surface IgM / IgG pada
sel B juga bisa menghasilkan signal negatif pada sel B dan dapat menghasilkan
downregulation produksi antibodi.
Selain itu, maka antibodi terhadap molekul CD5 pada IVIg akan men inaktivasi
autoantibody-producing CD20+(B1) subset dari sel B
IVIg mengandung high-affinity neutralizing antibodies terhadap
Interleukin-1 alfa,
Interleukin-6, dan
tumor nekrosis faktor-alfa dalam jumlah yang cukup untuk menekan sitokin
patogenik yang beredar atau melakukan downregulation pada sintesa sitokin oleh sel T
IVIGg mengandung neutralizing antibodies against epitopes of superantigens & anti bodi
terhadap V beta3, V beta8, dan Vbeta 17 gene families dari reseptor peptid sel T
Karena superantigen (misalnya toksin bakteri, enterotoksin dan virus ) menstimulasi
fraksi yang besar dariVbeta chain-expressing unsensitized T cells dan sekresi sitokin,
maka inhibisinya akan menghalangi aktivasi dan ekspresi klonal dari superantigen-
triggered cytotoxic T cells.

IVIg menyebabkan limfopeni yang transien dan mengurangi jumlah sel pembunuh alami
(natural killer cells)52,53 dan nampaknya meng-downregulation expression of lymphocyte
function-associated antigen-1 pada activated T cells. Selain itu juga adanya solube CD4,
137

CD8, dan molekul MHC-II pada IVIg secara teoretis dapat menghalangi pengenalan
antigen oleh sel T (Blasczyk,1993), Fungsi CD8+T cells juga akan di inhibisi oleh
antibody IVIg yang diarahkan terhadap conserved region of MHC-I molecules.

Pertimbangan pemberian terapi IVIg


Seleksi dan pemberian :
Semua preparat IVIg pada saat ini kurang lebih sama dalam hal efektivitas, keamanan
dan harga.
Walaupun perbedaan pool donor manusia yang digunakan oleh berbagai pabrik obat
mengandung suatu spesifitas antibodi anti-idiotipik yang luas, namun tidak dijumpai
perbedaan dalam hal efektivitas pada sebuah produk atau suatu golongan batch obat
tertentu yang diberikan pada suatu pasien untuk suatu penyakit tertentu
Dosis empiris IVIg adalah 2g/kg.
Walaupun beberapa dokter membagi dosis total infus dalam 5 dosis sehari yaitu
400mg/kg untuk setiap dosis, namun mungkin lebih baik untuk membagi dosis dalam 2
dosis yang sama yaitu 1 g/kg, namun harus diketahui dengan pasti bahwa pasien tidak
menderita kegagalan jantung kongestif , insufisiensi renal dan viskositas serum yang
tinggi, namun menurut pengalaman, maka infus dua kali atau 5 kali sehari tidak
memberikan lebih banyak efek samping, asal pemberian tidak melebihi 200mL per jam
atau 0,08 mL/kg per menit.
Karena cepatnya obat ter-difusi kedalam ruangan ekstravaskuler, maka mepertahankan
suatu konsentrasi yang tinggi dari IVIg dalam 2 hari akan meninggikan efektivitas
Eksperimen in vitro maupun in vivo menyatakan, bahwa terdapat suatu efek yang
superior pada neutralisasi sitokin dan manipulasi Fc reseptor dan inhibisi pada fragmen
C3 bila diberikan konsentrasi IVIg yang setara dengan 2 g/kg berat badan dalam suatu
infus bolus daripada dalam dosis yang terbagi2.
Pada terapi jangka panjang, maka pemberian infus IVIg diulang setiap 4-8 minggu sesuai
dengan respons pasien dan gejala obyektif kambuhnya penyakit

Efektivitas dosis rendah IVIg untuk mempertahankan kemajuan dalam terapi seperti yang
dianjurkan pada CDIP masih harus ditetapkan lebih lanjut. Reaksi yang tidak dikehendaki
138

(adverse events ) dan faktor risiko terhadap terapi IVIg biasanya minor dan hanya terjadi
tidak lebih pada 10% pasien.
* nyeri kepala yang ringan sampai sedang yang dapat diatasi dengan NSAID biasa terjadi
* menggigil
* mialgia,atau
* rasa tidak enak di dada terjadi pada jam-jam pertama pemberian infus dan biasanya
akan berhenti bila infus dihentikan dan setelah 30 menit diberikan lagi dengan kecepatan
infus yang lebih lambat.
Kelelahan, demam, atau nausea bisa terjadi setelah pemberian infus IVIg dan dapat
bertahan 24 jam.
Kausa reaksi ini tidak begitu jelas namun aktivasi komplemen, oleh molekul
imunoglobulin yang teragregasi atau beberapa agen yang menstabilisasi dalam produk
IVIg biasanya terlibat.
Pemberian infus secara perlahan-lahan dianjurkan pada pasien dengan gangguan pada
sistem kardiovaskuler atau bila ada kegagalan jantung kongestif untuk mencegah
terjadinya overload cairan yang terlau cepat.

Viskositas serum dan kejadian trombo-embolik.


Terapi dengan IVIg meningkatkan viskositas serum pada keadaan-keadaan sbb:
* krioglobulinemia,
* hiperkholesterolemia, dan
* pada hipergamaglobulinemia malahan viskositas meningkat lebih tinggi lagi.
meningkatkan risiko terjadinya kejadian trombo-embolik yang mungkin menjadi
penyebab terjadinya beberapa strok dan emboli pulmoner walaupun jarang terjadi setelah
pemberian IVIg.
Terapi dengan IVIg juga dapat menyebabkab sindroma hipervikositas terutama pada anak
dengan infeksi HIV yang sebelumnya mempunyai kadar tinggi serum imunoglobulin.59
Vasospasme serebral yang reversibel juga pernah terjadi pada seorang pasien yang
mendapatkan IVIg.
139

Migraine Headache
Pada pasien dengan riwayat migren, maka pemberian IVIg bisa menyebabkan suatu
serangan migren, yang kadangkala dapat dicegah dengan pemberian profilaksis dengan
propanolol
Insidens terjadinya meningitis aseptik juga tinggi pada pasien-pasien ini. Terapi dengan
IVIg juga ada hubungannya dengan terjadinya strok pada seorang pasien wanita muda
dengan riwayat migren.

Meningitis aseptik:
Bisa terjadi pada sebanyak 10% pasien yang mendapatkan IVIg dan tidak ada
hubungannya dengan asal pembikinan obat, produk IVIg, kecepatan infus atau penyakit
yang dideritanya. Profilaksis dengan steroid secara iv seringkali tidak efektif dan
gejalanya akan hilang dengan analgetika yang kuat dan akan berkurang setelah 24-48
jam.Tes diagnostik lain jarang diperlukan.

Reaksi pada kulit:


setelah pemberian IVIg bisa terjadi reaksi pada kulit walaupun jarang dan timbulnya
biasanya 2-5 hari setelah pemberian infus dan dapat bertahan selama 30 hari. Dan
timbulnya bisa dalam bentuk:
* urtikaria,
* pruritus pada telapak tangan dan
* petechiae pada ekstremitas.
Reaksi pada kulit yang berhubungan dengan pemberian IVIg yang bukan dengan
lots/batch yang sama terjadi pada pasien yang juga menderita krioglobulinemi

Reaksi anafilaktik yang hebat (Severe Anaphylactic Reactions)


dapat terjadi pada pasien yang mempunyai defisiensi dari
* IgA associated with anti-IgE atau
* anti-IgG antibodi terhadap IgA,
* yang bereaksi dengan IgA didalam preparat IVIg
Reaksi anafilaktik ini jarang terjadi
140

(angka kejadian defisiensi IgA pada populasi umum adalah 1:1000, dengan kemungkinan
sampai 30% bahwa ada antibodi anti IgA biasanya terjadi pada pasien dengan common
variable immunodeficiency.
walaupun demikian, namun biasanya kadar serum IgA biasanya ditentukan terlebih
dahulu sebelum pemberian pengobatan IVIg.
Pemakaian IVIg yang biasanya mengandung IgA direkomendasikan pada pasien2
dengan kadars serum Ig A yang rendah,
Hasil pada tes serelogis: setelah pengobatan dengan IVIg maka LED akan meninggi lebih
dari 6x (erythroccyte sedimentation rate), yang mungkin disebabkan karena
* Pembentukan rouleaux yang meninggi
* Berkurangnya area permukaan yang disebabkan oleh infus IVIg
Peningkatannya bisa bertahan sampai 2-3 minggu dan tidak harus di hubungkan sebagai
adanya tanda-tanda vaskulitis.
Hiponatremia dengan kadar natrium serendah 130 mg/L (normal,135-145 mg/L), pernah
terjadi pada terapi dengan IVIg , dan tidak pernah terjadi pada plasebo
Terjadinya hiponatremia biasanya berhubungan dengan metode assay dimana diperlukan
pengenceran lebih lanjut dari sampel karena tingginya konsentrasi serum protein.
Pemberian infus secara pasif dengan IVIg antibodi antiviral atau antibakterial akan
meninggikan titer virus dan dapat mempengaruhi hasil2 laboratorium selama 30 hari
setelah pemberian IVI g.

Harga obat (Cost of Treatment)

Di USA rumah sakit atau apotik membeli dengan harga kurang lebih $18 -$25 per gram
IVIg, namun asuransi kesehatan dibebani $46-$80 per gram oleh rumah sakit dan yang
memberi infus dirumah/ dokter yang memberikan obat itu.
Dengan demikian akhirnya harga obat adalah $6440 sampai $11 200 per bulan untuk obat
itu saja untuk mengobati seorang pasien yang beratnya 70kg.
Harga obat juga tergantung, dimana obat itu diberikan, apakah didalam rumah sakit atau
poliklinik atau infus dirumah dan apakah obat diberikan dalam 2 atau 5 hari.
141

Bila ongkos pemberian infus juga diperhitungkan dalam harga obat, maka penagihan total
per bulan bisa mencapai $8500 sampai $20000.
Tidak ada data perbandingan pengeluaran antara IVIg dengan obat-obat lain seperti
plasmaferesis maupun obat-obat imunosupresif lain.
Plasmaferesis biasanya sama mahalnya denganIVIg di USA dan lebih susah untuk
memberikannya dan tidak selalu tersedia dan biasanya mempunyai efek samping yang
lebih banyak.
Kortikosteroid atau imunosupresan, walaupun lebih murah dari IVIg, bisa menjadi mahal
bila timbul komplikasi iatrogenik pada pemakaian jangka panjang dan juga bila
diperhitungkan hilangnya uang gaji bila tidak bisa bekerja karena penyakitnya.
Walaupun harga sebenarnya dalam dollar akan mempengaruhi pemilihan terapi yang
diberikan, namun faktor-faktor lain seperti efek samping, pemakaian jangka panjang,
pembebanan pengobatan komplikasi yang timbul dan juga keamanan pasien,
kenyamanan,kwalitas hidup dan potensi untuk mendapatkan respons terapi yang lebih
cepat dan lebih baik harus dipertimbangkan pula.

Arah dalam masa yang akan datang (Future Directions):


Terapi IVIg mempunyai efek yang cukup baik pada beberapa penyakit neurologis yang
seringkali tidak responsif terhadap imunoterapi lain.
Namun terapi dengan obat ini sangat mahal.
Walaupun suatu penyakit monofasik seperti Gbsy bisa diobati dengan baik dengan hanya
beberapa kali infus, sedangkan beberapa penyakit lain memerlukan pemberian infus yang
berulang dan dengan sendiri akan meninggikan beaya terapi.
Makanya perlu menentukan efektivitasnya terapi IVIg dengan melakukan berbagai uji
klinik yang tersamar ganda yang di evaluasi dengan sangat ketat.

Pertanyaan-pertanyaan mengenai dosis yang optimal,frekwensi pemberian, efek


sinergis,penetrasi, seleksi donor untuk idiotip yang spesifik, potensi terjadinya toksisitas
pada pemakaian jangka panjang dan juga mekanisme bekerjanya yang pasti masih belum
bisa dijawab dan akan tetap tidak terjawab dan akan berlanjut untuk menantang para
ilmuwan yang melakukan uji klinik.
142

IVIG yang dipakai biasanya adalah yang 7s yang berupa:


* IVIg human
* telah di preparasi dengan solvent detergent
* IgG dengan kemurnian yang tinggi memberikan aktivitas antibody yang penuh
(broad spectrum)
* memberikan proteksi terhadap berbagai pathogen
* Kemurnian tinggi dari IgG tidak menunjukkan adanya bukti serologis dari
transmisi virus pada uji klinik.
* telah di preparasi dengan suatu cara inaktivasi virus dengan solvent detergent
* kepercayaan yang datang dari keamanan yang pasti
* diterima oleh FDA
143

8. DAFTAR PUSTAKA

1. Bob Santoso Wibowo. Pengobatan Neuropati. Bahan Kuliah. Subbagian EMG dan
Evoked Potensial, bagian Neurologi, FKUI/RSCM, Jakarta.
2. Parry GJ. Therapy for peripheral neuropathies AAN 2001; 6TP.001: 13 -20.
3. Reiners KH. Causes and therapy of peripheral neuropathies. Dalam symposium
Pendekatan rasional sindroma nyeri. Nov 1992.
4. Dyck PJ, Low PA, Stevens JC : Diseases of peripheral nerves. In: Clinical
Neurology. Eds. Baker AB & Joiynt RJ, Harper & Row, Philadelphia 1987 ; 51 : 1 –
108.
5. Yamatsu K Pharmacological studies on degeneration and regeneration of peripheral
nerves. Effects of methycobalamin on mitosis of Schwanna’s cells and incorporation
of radioactive leucine into protein fraction of crushed sciatic nerve in rats. Folio
Pharm Japonica 1976 ; 72: 269 – 278.
6. Mumenthaler M. Neuropathies. Spinal Radicular Syndromes. In: Neurology
Stuttgart; Georg Thieme Verlag, Thieme Inc 1983; 357 – 367
7. Wienrich M. Functional implications for the presence of thiemine in the nerve cell
membrane. Dalam symposium : Pendekatan rasional sincdoma nyeri. Nov. 1992.
8. Janka HU. Pharmakologie und klinische Anwendung hochdosierter Vitamine.
Darmstadt Steinkopf Verlag. 1991.
9. Wibowo BS, Soemargo S; Sukaton U; Nurhayatie T. New aspects in the treatment of
diabetic neuropathy with methycobalamin : In: Peripheral Neuropathy. Professional
Postgraduate Serviices 1987; 120 – 1129.
10. Dyck PJ; Litchy WJ, Kratz KM, et al; A Plasma exchange versus immunoglobulin
infusion in chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy. Ann
Neurol 1994; 36: 838 – 845.
11. Mendell JR, Barohn RJ, Freimer ML, et al: Randomized controlled trial of IVIg in
untreated chronic inflammatory polyradiculoneuropathy. Neurology 2001; 56: 445 –
449.
144

12. Hughes R, Bensa S, Willison H, et al: Randomized controlled trial of intravenous


immunoglobulin versus oral prednisolone in chronic inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy. Ann Neurol 2001; 50 : 195 – 201
13. Subatelli M. Quaranta L, Madia F, et al: Interferon alpha may benefit steroid
unresponsive chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy. J Neurol
Neurosurg Psych 1995; 58 : 638 – 639
14. Merrigioli MN, Rowin J: Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy after
treatment with interferon-cx. Muscle Nerve 2000; 23 : 433 – 435
15. Kuntzer T; Radzwill AJ, Lettry-Trouillat R, et al: Interferon B – 1a in chronic
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy. Neurology 1999; 53 : 1364 –
1365
16. Hadden RDM, Sharrack B, Bensa S, et al: Randomized trial of interferon B – 1a in
chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy. Neurology 1999; 53 :
57 – 61
17. Yuki N, Ang CW, Jacobs BC, et al: Clinical features and response to treatment in
Guillain-Barre syndrome associated with antibodies to GMIB ganglioside. Ann
Neurol 2000; 47 : 314 – 321
18. Kawabara S, Mori M, Ogarawa K, et al: Intravenous immunoglobulin therapy for
Guillain-Barre syndrome with IgG anti-GMI antibody. Muscle Nerve 2001; 224 : 54
– 58
19. Romano JG, Rotta FT, Potter P, et al: Relapses in the Guillain_Barre syndrome after
treatment with intravenous immune globulin or plasma exchange: muscle Nerve
1998; 21: 1327 – 1330
20. Bensa S Hadden RD, Hahn A, et al: Randomized controlled trial of brain-derived
neurothropic factor in Guillain – Barre syndrome: a pilot study. Eur J Neurol 2000; 7
: 423 – 426
21. Federico P, Zochodne DW, Hahn AF, et al: Multifocal motor neuropathy improved
with IVIg. Randomized, double-blind, placebo-controlled study. Neurology 2000; 55
: 1256 – 1262
145

22. Leger JM, Chassande B, Musset L, et al: Intravenous immunoglobulin therapy in


multifocal motor neuropathy A double-blind, placebo-controlled study. Neurology
2000; 55 : 1256 – 1262.
23. Taylor BV, Wright RA, Harper CM, Dyck PJ: Natural History of 46 patients with
multifocal motor neuropathy with conduction block. Muscle Nerve 2000; 23 : 900 –
908
24. Martina ISJ, van Doorn PA, Schmitz PIM, et al: Chronic motor neuropathies:
response to interferon B-1a after failure of conventional therapies. J. Neurol
Neurosurg Psych 1999; 66: 197 – 201.
25. Levine TD, Pestronk A: IgM antibody-related polyneuropathies: B-cell depletion
chemotherapy using Rituximab, Neurology 1999; 52: 1701 – 1704.
26. Said G, Elgabry F, Lacroix C, et al: Painful proximal diabetic neuropathy:
inflammatory nerve lesions and spontaneous favourable outcome. Ann Neurol 1997;
41: 762 – 770.
27. Dyck PJB, Norell JE, Dyck PJ: Microvassculitis and ischemia in diabetic
lumbosacral radiculoplexus neuropathy. Neurology 1999; 533: 2113 -2121.
28. Kelkar P, Parry GJ: Diabetic mononeuitis multiplex-evidence for an immune
mediated pathogenesis. J Clin Neuromuscular Dis 2000; 2: 116-118.
29. Bob Santoso Wibowo. Terapi Imunoglobulin (IVIg) pada Kasus Kasus Neurologis.
Bahan Kuliah. Subbagian EMG dan Evoked Potensial, Bagian Neurologi,
FKUI/RSCM, Jakarta.
30. The National Institute of Neurological Disorders and Stroke Annals of Internal
Medicine 1 may 1997. 126:721-730.
31. Dalakas MC Annals of Internal Medicine 1 may 1997. 126:721-730.
http://www.acponline.org/journals /annals/01may97/globulin.htm
32. Gammaglobulin Treatment in Neurology,fundamentals and Clinical Applications.
Proceedings of a symposium. Berlin, Germany, 25-27 November1993 J
NeurolNeurosurg Psychiatry. 1994;57 (Suppl):1-75.
33. Kazatchkine MD,Morell A,eds.Intravenous Immunoglobulin Research and Theraphy.
New York: Parthenon Publishing Group;1996
146

34. Imbach P,BarandunS, d’Appuzo V, Baumgartner C, HirtA, Morell A, et al.High dose


intravenous gammaglobulin for idiopathic thrombocytopenic purpura in childhood.
Lancet.1981;1:1128-31.
35. Eibl MM, Wedgood RJ. Intravenous immunoglobulin: a review. Immunodefic Rev.
1989;1(Suppl):1-42.
36. Schiff RI.Transmission of viral infections through intravenous
immuneglobulin,[Editorial].N Engl J Med. 1994;331:1649-50.
37. Kazatchkine MD, Dietrich G,hurez V, Ronda, Belon, Rossi F, et al.V region mediated
selection of autoreactive repertoires by intravenous immunoglobulin (I.v.Ig) immunol
Rev. 1994;139:79-107.
38. Dalakas MC. High-dose intravenous immunoglobulin and serum viscosity: risk of
precipitating thromboembolic events. Neurology. 1994;44:223-6
39. Sekul Ea,Cupler EJ,Dalakas MC. Aseptic meningitis associated with high-dose
intravenous immunoglobulin theraphy: frequency and risk factors. Ann Intern Med.
1994;121:259-62.
40. Ropper AH. The Guillain-Barre syndrome. N Engl J Med.1992;326:1130-6.
41. Hartung HP, pollard JD,Harvey GK, Toyka KV.Immunopathogenesis and treatment
of the Guillain-Barre syndrom-Part I. Muscle nerve. 1995;18:137-53.
42. Plasmapheresis an acute Guillain-Barre syndrome.The Guillain-Barre Syndrome
Study Group. Neurology. 1985;35:1096-104.
43. Van der Meche FG, Schmitz PI. A randomized trial comparing intravenous
immunoglobulin and plasma exchange in Guillain-Barre syndrome. Dutch Guillain-
Barre Study Group. N Engl J Med 1992;326:1123-9.
44. Randomised trial of plasma exchange, intravenous immunoglobulin in Guillain-Barre
syndrome. Plasma exchange/Sandoglobulun Guillain-Barre Syndrom Trial Group.
Lancet.1997;349:225-30.
45. Treatment of Guillain-Barre syndrom with high-dose immune globulins combined
with methylprednisolone : a pilot study. The Dutch Guillain-Barre Syndrom Study
Group. Ann Neurol. 1994;35:741-52.
147

46. Kleyweg RP, van der Meche FG. Treatment related fluctuations in Guillain-Barre
syndrome after high-dose immunoglobulins or plasma-exchange. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 1991;54:957-60.
47. Irani DN, Comblath DR, Chaudhry V, Borel , Hanley DF. Relapse in Guillain-Barre
syndrome after treatment with human immune globuli. Neurology. 1993;43:1034-6.
48. Castro LH, Ropper AH. Human immune globulin infusion in Guillain-Barre
syndrome: worsening during and after treatment. Neurology. 1993;43:1034-6.
49. Dalakas MC, Engel WK. Chronic relapsing(dysimmune)
polyneuropathy:pathogenesis and treatment. Ann Neurol. 1981;9(Suppl):134-45.
50. Dyck PJ, Litchy WJ, Kratz KM, Suarez GA, Low PA,Pineda AA, et al. A plasma
exchange versus immune globulin infusion trial in chronic inflammatory
demyelinating polyradiculoneuropathy. Ann Neurol. 1994;36:838-45
51. Hahn AF, Bolton CF, Zochodne D, Feasby TE. Intravenous immunoglobulin
treatment in chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP):a double
blin, placebo-controlled, crossover study. Brain. 1995;119:1067-78.
52. Azulay JP, Blin O, Pouget J, BoucroutJ, Bille-Turc F, Carles G, et al. Intravenous
immunglobulin treatment in patients with motor neuron syndromes assiated with anti-
GMI antibodies : a double-blind,placebo-controlled study. Neurology.
53. Dalakas MC,Stein DP, Otero C,Sekul E, Cupler EJ, McCrosky S. Effect of high dose
intravenous immunoglobulin on amyotrophic lateral sclerosis and multifocal motor
neuropathy. Arch Neurol. 1994;51:861-4.
54. Chaudhry V,Corse AM, Cornblath DR,Kuncl RW, Drachman DB, Freimer ML, et al.
Multifocal motor neuropathy: response to human immune globulin. Ann
Neurol.1993;33:237-42.
55. Nobile-Orazio E, Meucci N, Barbieri S, Carpo M, Scar lato G.High-dose intravenous
immunoglobulin therapy in multifocal motor neuropathy. Neurology. 1993;43(3 Pt 1)
:537-43.
http://www.macalester.edu/~psych/whathap/UBNRP/Gravis/management_intro.html
56. Dalakas MC. Polymyositis, dermatomyositis and inclusion-body myositis.N Engl J
Med. 1991;325:1487-98.
148

57. Dalakas MC, Illa I, Dambrosia Jm, Soueidan SA, Stein DP, Otero C, et al. A
controlled trial of high-dose intravenous immune globulin infusions as treatment for
dermatomyositis. N Engl J Med. 1993;329:1993-2000.
58. Brain PG, Motomura M, Newson-Davis J, Misbah SA, Chapel HM, Lee ML,et al.
Effect of intravenous immunoglobulin (IVIg) treatment on muscle weakness and
calcium channel autoantibodies in the Lambert-Eaton myasthenic syndrome.
Neurology. 1996;47:678-83.
59. Dalakas MC, Quarles RH,Farrer RZ Dambrosia J, Soueidan S,Stein D, et al. A
controlled study of intravenous immunoglobulin in demyelinating neuropathy with
IgM gammopathy. Ann Neurol. 19995;38:302-3.
60. Hart YM,Cortez M, Andermann F, Hwang P, Fish DR, Dulac O,et al.Medical
treatment of Rasmussen’s syndrome (chronic encephalitis and epilepsy):effect of
high-dose steroids or immunoglobulins in 19 patients. Neurology. 1994;44:1030-6.
61. Van Engelen BG, Hommes OR, Pinckers A, Cruysberg JR, Bark hof F, Rodriguez M.
Improved vision after intravenous immunoglobulin in stable demyelinating optic
neuritis [letter]. AnnNeurol. 1992;32:1834-5.
62. Jann S, Beretta S, Moggio M, Adobbati L, Pellegrini G. Hig-dose intravenous human
immunoglobulin in polymyositis resistant to treatment. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 1992;55:60-2.
63. Achiron A, Pras E, Gilad R, Ziv I, Mandel M, Gordon CR, et al.Open controlled
therapeutic trial of intravenous immune globulin in relapsing-remitting multiple
sclerosis. Arch Neurol. 1992;49:1233-6.
64. Karlson EW, Sudarsky L, Ruderman E, Pierson S, Scott M, Helfgott SM, Treatment
of stiff-man syndrome with intravenous immune globulin. Arthritis rheum.
1994;37:915-8.
65. Moll JW, Henzen-Logmans SC, Van der Meche FG, Vecht CH. Early diagnosis and
intravenous immune globulin therapy in paraneoplastic cerebellar degeneration
[Letter] Neurol Neurosurg Psychiatry. 1993;56:112-5.
66. Uchuya M, Graus F, Vega F, Rene R, Delattre JY. Intravenous immunoglobuli
treatment in paraneoplastic syndromes with antineuronal antibodies. J neurol
Neurosurg Psychiatry. 1996;60:388-92.
149

67. Kuroda Y, Takashima H, Ikeda A, Endo C, Neshige R, Kakigi R, et al. Treatment of


HTLV-I-associated myelopathy with high-dose intravenous gammaglobulin. J
Neurol. 1991;238:309-14.
68. Jayne DR, Davies MJ, Fox CJ, Black CM, Lockwood CM, Treatment of systemic
vasculitis with pooled intravenous immunoglobulin. Lancet. 1991;337:1137-9.
69. Younger DS, Rosoklija G, Hays AP, Trojaborg W, Latov N, Diabetic peripheral
neuropathy: a clinicopathologic and immunohistochemical analysis of sural nerve
biopsies. Muscle nerve. 1996;19:722-7.
70. Heafield MT, Gammage MD, Nightingale S, Williams AC. Indiopathic dysautonomia
treated with intravenous gammaglobulin. Lancet. 1996;347:28-9.
71. Helveston WR, Gilmore R, Treatment of Vogt-Koyonagi-Harada syndrome with
intravenous immunoglobulin. Neurology. 1996;46:584-5.
72. Dalakas MC, Stein DP, Otero C, Sekul E, Cupler EJ, McCrosky S, Effect of high
dose intravenous immunoglobulin on amyotrophic lateral sclerosis and multifocal
motor neuropathy. Arch Neurol. 1994;51:861-4.
73. Wijdicks EF, Fulgham JR, Failure of high dose intravenous immunoglobulins to alter
the clinical course of critical illness polyneuropathy [Letter]. Muscle Nerve.
1994;17:1494-5.
74. Cappa M, Bertini E, del Balzo P, Cambiaso P, Di Biase A, Salvati S. High dose
immunoglobulin IV treatment in adrenoleukodystrophy. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 1994;57(suppl);69-70.
75. Fazekas F, Deisenhammer F, Strasser-Fuchs S, Nahler G, Mamoli. Randomized
placebo-controlled trial of monthly intravenous immunoglobulin therapy in relapsing
remitting multiple sclerosis. The Austrian immunoglobulin in Multiple Sclerosis
study group.Lancet. 1997;349:589-3.
76. Svenson M, Hansen MB, Bendtzen K, Binding of cytokines to pharmaceutically
prepared human immunoglobulin. J Clin Invest. 1993;92:2533-9.
77. Abe Y, Horiuchi A, Miyake M, Kimura S, Anti-cytokine nature of natural human
immunoglobulin: one possible mechanism of the clinical effect of intravenous
immunoglobulin therapy. Immunol rev. 1994;139:5-19.
150

78. Takei S, Arora YK, Walker SM, Intravenous immunoglobulin contains specific
antibodies inhibitory to activation of T cells by staphylococcal toxin superantigens. J
Clin Invest. 1993;91:602-7.
79. Marchalonis JJ, Kaymaz H, Dedeoglu F, Schlu ter SF, Yocum DE, Edmundson AB.
Human autoantibodies reactive with synthetic autoantigens from T cell receptor’ 20
chain. Proc Natl Acad Sci U S A. 1992;89:3325-9.
80. Engelhard D, Waner JL, Kapoor N, Good RA, Effect of intravenous immune globulin
on natural killer cell activity: possible association with autoimmune neutronpenia and
idiopathic thrombocytopenia. J pediatr. 1986;108:77-81.
81. Leung DY, Burns JC, Newburger JW, Geha RS, Reversal of lymphocyte activation in
vivo in the Kawasaki syndrome by intravenous gammaglobulin. J Clin Invest.
1987;79:468-72.
82. Rigal D, Vermot-Desroches C, Heitz S, Bernaud J, Alfonsi F, Monier JC. Effects of
intravenous immunoglobulins (IVIg) on peripheral blood, NK, and T cell
subpopulations in women with recurrent spontaneous abortions: specific effects on
LFA-1 and CD 56 molecules. Clin Immunol Immunopathol. 1994;71:309-14.
83. Kaveri S, Vassilev T, Hurez V, Lengagne R, Lefranc C, Cot S, et al. Antibodies to a
concerved region of HLA class I molecules, capable of modulating CD 8 T cell
mediated function, are present in pooled normal immunoglobulin for therapeutic use.
J Clin Invest. 1996;97:865-9.
84. Buckley RH, Schiff RI, The use of intravenous immune globulin in
immunodeficiency diseases. N Engl J Med. 1991;325:110-7.
85. Woodruff RK, Grigg AP, Firkin FC, Smith IL. Fatal thrombotic events during
treatment of autoimmune thrombocytopenia with intravenous immunoglobulin in
elderly patients[Letter]. Lancet. 1986;2:217-8.
86. Steg RE, Lefkowitz DM, Cerebral infarction following intravenous immunoglobulin
therapy for myasthenia gravis. Neurology. 1994;44:1180-1.
87. Hague RA, Eden OB, Yap PL, Mok JY, Rae P, Hyperviscosity in HIV infected
children- a potential hazard during intravenous immunoglobulin therapy. Blut.
1990;61:66-7.
151

88. Voltz RV, Rosen FV, Yousry T, Beck J, Hohlfeld R, Reversible encephalopathy with
cerebral vasospasm in a Guillain-Barre syndrome patient treated with intravenous
immmunoglobulin. Neurology. 1996;46:250-1.
89. Constantinescu CS, Chang AP, McClusky LF, Recurrent migraine and intravenous
immune globulin therapy[Letter]. N Engl J Med. 1993;329:583-4.
90. Dalakas MC, Aseptic meningitis and intravenous immunoglobulin therapy [Letter].
Ann Intern Med. 1995;122:316-7.
91. Chan-Lam D, Fitzsimons EJ, Douglas WS. Alopecia after immunoglobulin
infusion[Letter].Lancet. 1982;1:1436.
92. Boom BW, Brand A, Bavinck JN, Eernisse JG, Daha MR, Vermeer BJ. Severe
leukocytoclastic vasculitis of the skin in patient with essential mixed
cryoglobulinemia treated with high-dose gamma-globulin intravenously. Arch
Dermatol. 1988;124:1550-3.
93. Burks AW, Sampson HA, Buckley RH, Anaphylactic reactions after gamma globulin
administration in patients with hypogammaglobulinemia. Detection of IgE antibodies
to IgA. N Engl J Med. 1986;314:560-4.
94. Bjorkander J, Hammarstrom L, Smith CI, Buckley RH, Cunningham-Rundles C,
Hanson LA, Immunoglobulin prophylaxis in patients with antibody deficiency
syndromes and anti-IgA antibodies. J Clin Immunol. 1987;7:8-15.
95. Koffman , Dalakas MC. Effect of high dose intravenous immunoglobulin on
hematological and serum chemistry profiles in the treatment of patients with
neuromascular diseases. Neurology. 1995;45(Suppl):235.
96. Blick KE, Liles SM, Principles of Clinical Chemistry. New york: J Wiley; 1985;401-
4. immune globulin intravenous (human) venoglobulin-S 5% solvent detergent
treated. Product information. (alpha therapeutic corporation)
97. Wibowo S, Utama J, Santoso D, Moeliono F. Sindroma radiks: Segi klinik, EMG
serta penatalaksanaannya. Buletin PNPNCH 1978; 5: 3-4.
98. Eisen A. Radiculopathy. Annual Course Clinical EMG. American Academi of
Neurology, 1988.
152

99. Wibowo S, Mardiono M, Mas’ud HIH, Soemargo S. Liman J, Sukono D, Susesty D.


Low back pain and Pirprofen. Simposium Nyeri Anggota Gerak. PABOI, Surabaya,
November 1989.
100. Bob Santoso Wibowo. Miastenia Gravis. Bahan kuliah. Subbagian EMG & Evoked
Potensials, Bagian Neurologi FKUI/RSCM, Jakarta
101. Bedlack RS, Sanders DB. How to handle myasthenic crisis. Essential steps in patient
care. Postgraduate Medicine 2000(4);107:4(Cited 2003)Available
from:URL:http://www.postgramed.com/issues/2000/04_00/bedlack.him
102. Myasthenia gravis. Fact about myasthenia gravis. (Cited 2003) Available from :
URL http://cpmonet.columbia.edu/dept/neuro-icu/neuromus.html
103.Wijdicks EFM. Myasthenic crisis. (Cited 2003) Available from: URL:
http://www.snowtigermed.com/cgi/local/viewarticle.pl/doc=2000026000538
104.Myasthenic crisis. (Cited 2003) Available from. URL:
http://www.medformation.com/mf/mm_qdis.nsf/qd/nd1604g.htm
105.Mayer S. Intensive care of the myasthenic patient. Neurology 1997 ;48 (Suppl 5):
70-75S
106.Berrouschot J, Baumann I, Kalischewski P, et al. Therapy of myasthenic crisis. Crit
Care Med 1997;25(7):1228-35
107.Thomas C, Mayer S, Gungor Y, et al. Myasthenic crisis;clinical features, mortality,
complications and risk factors for prolonged intubation. Neurology 1997;48(5):1253-
60
108.Fink ME. Treatment of the critically ill patient with myasthenia gravis. In: Ropper
AH, ed. Neurological and neurosurgical intensive care. 3rd ed. New York:Raven
Press, 1993:351-62
109. Mayer SA, Thomas CE. Therapy of myasthenic crisis. (Letter) Crit Care Med
1998;26(6):1136-7
110. Myasthenia gravis. (Cited 2003) Available from: URL:
http.//ww.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/ency/myasthenia_gravis.html
111.Oosterhuis HJ. Myasthenia gravis. Groningen Neurological Press, 1997
153

112. Rieder P, Louis M, Jolliet P, et al. The repeated measurement of vital capacity is a
poor predictor of the need for mechanical ventilation in myasthenia gravis. Intensive
Care Med 1995;21(8):663-8
113. Gajdos P, Chevret S, Bernard C, et al. Clinical trial of Plasma exchange and high-
dose intravenous immunoglobulin in myasthenia gravis. Ann Neurol 1997;41(6):789-
96
114. Sanders DB, Howard JF Jr. Disorders of neuromuscular transmission. In: Bradley
WG, Daroff RB, Feniohel GM, eds. Neurology in clinical practice. 2d ed. Boston:
Butterworth. 1996:1983-2001
115. Management of myasthenia gravis (Cited 2003) Available form: URL:
http://www.macalester.edu/~psych/whathap/UBNRP/Gravis/Management_intro.html
116.Muscular Dystrophy Association. Facts About Myasthenia Gravis (MG). (Cited
2003) Available from: URL: http://www.mdausa.org/publications/fa-mg-qa2.html
117.Bob Santoso Wibowo, Anggiat Siregar. Kegawatan Neuromuskular. Kumpulan
bahan kuliah. Subbagain EMG dan Evoked Potensials, Bagaian Ilmu Penyakit Saraf
FKUI/RSCM, Jakarta.
118.Foley PA & Ringel SP Neuromuscular disorders In: ” Emeergent and Urgent
Neurology,” 2 ed, Weiner &Shulman eds. Lippincott Williams & Wilkins,
Phillladhelpia,1999,83-98
119.Ropper AH. The Guillain-Barre syndrome N Engl J Med 1992;326:1130
120.Hartung HP, Pollard Jd, Harvey GK, Toyka KV Immunopathogenesis and treatment
of the Guillain-Barre syndrome. Muscle Nerve 1995;18:137
121.Gutmann L, Gutmann L Critical illness neuropathy and myopathy. Arch Neurol
1999;56:527-528.
122.Bolton CF, Gillbert JJ,Hahn AF, Sibbald WJ. Polineuropathy in critically ill patients.
J Neurol Neurosurg Psychiatry. 1984;47:1223-1231
123.Kokontis L and Gutmann Ludwig, “ Current Treatment of Neuromuscular
Disease,”Arch Neurol, vol 57, jul 2000,939-943.
124.Raine JM. Drug safety information.
http://www.mca.gov.uk/ourwork/monitorsafequalmed/safety messages/ceri.pdf 2001;
August.
154

125. Bob Santoso Wibowo. Neuropati Diabetika dan Penatalaksanaannya. Bahan Kuliah.
Subbagian EMG dan Evoked Potensial, Bagian neurologi, FKUI/RSCM, Jakarta.
126. Diabetic Neuropathies. The Nerve Damage of Diabetes. National Diabetes
Information Clearinghouse. (Citid 2003). Available from: URL.
http://www.niddk.nih.gov/health/diabetes/pubs/neuro/neuro.htm#causes.
127.American Diabetes Association. Economic consequences of diabetes mellitus in the
U.S in 1997. Diabetes care 1998;21(2):296-309.
128.Diabetic Neuropathy,. Medline National Library of Medici. Available from: URL:
http://www.ion.ucl.ac.uk/library/patient/diabetic.htm
129.Soliman E. Diabetic Neuropathy. (Cited 2003). Available from: URL:
http://www.emedicine.com/NEURO/topic88.htm
130.Medical Research institute. The Ideal antioxidant for enhancing blood sugar
metabolisme. (Cited 2001) Available from: URL:http://www.lipoic.com
131.Ziegler D. Treatment of symptomatic diabetic peripheral neuropathy with the
antioxidant alpha-lipoic acid. A 3-week multicentre randomized controlled trial
(ALADIN Study); Diabetologia 1995;38(12): 1425-33.
132.Ziegler D. Effescts of treatment with the antioxidant alpha-lipoic acid on cardiac
autonomic neuropathy in NIDDM patients; Diabetes Care 1997;20(3): 369-373
133.Yamatsu K. Pharmacological studies on degeneration and regeneration of peripheral
nerves. Effects of methylcobalamin on mitosis of Schwann’s cells and incorporation
of radioactive leucine into protein faction of crushed sciatic nerve in rats. Folio Pharm
Japonica 1976;72: 269 – 278
134.Huntley A. Photoessy: the skin and diabetes mellitus. Dermatology Online Journal
1995 ; Vol 1: No.2. Available from: URL:
http://ndep.nih.gov/materials/pubs/feet/feet.htm.(foot care)
135.Bersvenden Y. A.Multidisciplinary Approach to Diabetic Neuropathy Treatment.
(Cited 2003). Available from: URL:
http://www.geocities.com/bsy53/dn/neuropat.html.
136.Drvota, A et al; Effects of non-steroidal anti-inflammatory drugs on the in vivo
synthesis of thromboxane and prostacyclin in humans; Adv. Prost. Throm and Leuk.
Res. 1990;vol 21A: 153-156.
155

137. Harati Y, et al; Double-blind randomizead trial of the treatment of the pain of
diabetic neuropathy; Neurology 1998; 50(6): 1842-1846.
138. Kalgutkar AS, et al; Aspirin-like Molecules thet Covalently Inactive
Cyclooxygenase-2; Science 1998;280 (5367): 1268-1270
139. Davi Davi G. Inhibition of thromboxane biosynthesis and platelet function by
indobufen in type II diabetes mellitus; Arterioscler Thromb 1993;13(9):1346-1349.
140. Ramsewak RS, et al; Cytotoxicity, antioxidant and anti-inflammatory activities of
cucumins I-I I from Curcuma longa; Phytomedicine 2000 Jul;7(4):303-8.
141. Campbell R.K : Clinical update on pentoxifyline therapy for diabetes-induced
peripheral vascular disease. Annals of Pharmacotheraphy (27):1099-1105, 1993.
142. DeFeudis F.V ; Ginkgo Biloba extract (EGB 761) : Pharmacological activities and
clinical application. Elsevier, Paris: 1991
143. Kroder G. Tumor necrosis factor-alpha and hyperglycemia-induced insulin resistance
Evidence for different mechanisms and different effects on insulin signaling; J Clin
Invest 1996;97 (6): 147-7.
144. Shimizu H, et al; Effects of vanadate on prostacyclin and endothelin-1 production
and protein-tyrosine phosphorylation in human endothelial cells; Thromb Haemost
1994;72(6):973-8, 1994 Dec.
145. Mohanty P, Hamouda W, Garg R, Aljada A, Ghanim H, Dandona P; Glucose
challenge stimulates reactive oxygen species (ROS) generation by leucocytes; J Clin
Endocrinol Metab 2000;85(8): 2970-3
146. Kahler W, et al; Diabetes mellitus: a free radical-associated disease. Results of
adjuvant antioxidant supplementation; Z Gesamte Inn Med, 48(5): 223-232, 1993
147. Garrett NE, et al; Alpha-lipoic acid corrects neuropeptide deficits in diabetic rats via
induction of trophic support. Neurosci Lett 1997; 222(3): 191-194.
148. Rudich A, Tirosh A, Potashnik R, Khamaisi M, Bashan N. Lipoic acid protects
against oxidative stress induced impairment in insulin stimulation of protein kinase B
and glucose transport in 3T3-L1 adipocytes. Diabetologia. 1999;42(8):949-57
149. Androne L, Gavan Na, Veresiu IA, Orasan R; In vivo effect of lipoic acid on lipid
peroxidation in patients with diabetic neuropathy; In Vivo 2000;14(2):327-30.
156

150. Curcio F, et al; SOD and GSH inhibit the high glucose-induced oxidative damage
and the PDGF increased secretion in cultured human endothelial cells; Thromb
Haemost 1995;74(3):969-73.
151. Kunisaki M, et al: Vitamin E restores reduced prostacyclin synthesis in aortic
endothelial cells cultured with a high concentration of glucose. Metabolism
1992;41(6):613-621.
152. Christen S, et al; gamma-Tocopherol traps mutagenic electrophiles such as NOx and
complements alpha-tocopherol: Physiological implication; Proc. Natl. Acada. Sci,
USA 1997;94:3217-3222
153. Ceriello A, et al; Vitamin E reduction of protein glycosylation in diabetes. Diabetes
care 1991;14(1):68-72
154. Quatrato A, et al; Acetyl-L-Carnitine for symptomatic diabetic neuropathy (letter);
Diabetologica 1995; 38(1):123
155. Maebashi M, et al; Therapeutic evaluation of the effect of biotin on hyperglycemia in
patients with NIDDM; J. Clin. Biochem. Nutr. 1993;14(3):211-218
156. Stevens MJ. Osmotically-induced nerve taurine depletion and the compatible
osmolyte hypothesis in experimental diabetic neuropathy in the rat; Diabetologia
1993;36(7):608-14
157. Franconi F. Plasma and platelet taurine are reduced in subjects with insulin-
dependent diabetes mellitus: effects of taurine supplementation; Am J Clin nutr
1995;61(5):1115-19
158. Connell P, et al; Zinc attenuates tumor necrosis factor-mediated activation of
transcription factors in endothelial cells; J Am Coll Nutr 1997;16(5):411-7
159. Wang JH, et al; The beneficial effect of taurine on the prevention of human
endothelial cell death; Shock 1996;6(5):331-8
160. Jellinek H, Takacs E; Course of the progression of experimentally induced
arteriosclerotic vessel wall changes after treatment with magnesium orotate.
Arzneimittelforschung 2000; 50(12):1071-7
161. Paolisso G. Hypertension, diabetes mellitus and insulin resistanc. The role of
intracellular magnesium; Am J Hypertens 1997; 10(3):346-355
157

162. Wibowo BS, Soemargo S, Sukaton U; Nurhayatie T. New aspects in the treatment of
diabetic neuropathy with methycobalamin : in: Peripheral Neuropathy. Professional
Postgraduate Servise 1987;120-1129.
163. Bendler, E.M. ; Greenspun, B ; Yu, J. & Erdman. H.J.:The bilaterality of carpal
tunnel syndrome.Arch Phys Med Rehabil 1977;58:362-364.
164. Gilliat, R.W. & Wilson, T.G. :A pneumatic tourniquet test in the CTS.
Lan1953:ii:595-597.
165. Kimura, J ; The carpal tunnel syndrome.Location of conduction abnormalities within
the distal segment of the median nerve. Brain 1979;102:619-635.
166. Learmonth, J.R.: The principle of decompression in the treatment of certain disease
peripheral nerves.Surg Clin Nort Am 1933;13:905-913.
167. Marie, P & Foix, C: Atrophie isolee de l’eminence thenar d’origine nervitrique:
Role du ligamentumament annulaire anterieur du carpe dans la pathogenie de la
Lesion Rev Neurol 1913;26:647-649.
168. Mumenthaler, M. & Schliak, H: Peripheral Nerve Lesions. Diagnosis anfd theraphy.
George Thieme Verlag, Stuttgart-New York.1991;244-250.
169. Phalen, G.S. & Kendrick, J.T. :Compression neuropathy of the median nerve in the
carpal tunnel. JAMA 1957; 164:524-530.
170. Phalen, G.S.: Reflections 21 years experience with the carpal tunnel syndrome.
JAMA 1970;212:1365-1367.
171. Reinstein, L : Hand dominance in carpal tunnel syndrome. ARCH Phys Med Rehabil
1981 ; 62:202-203.
172. Rosenbaum, R.B. &Ochoa, J.L : Carpal Tunnel Syndrome and other disorders of the
median nerve. Butterworth – Heinemann, Boston london Oxford Singapore Sydney
Toronto Wellington, 1993.
173. Tackmann, W.,Richter, H.P. & stohr, M :Kompressions syndrome peripherer
Nerven. 1989; 163-238.
174. Bob Santoso Wibowo. Peran Zat Neurotropik Pada Proses Regenerasi Saraf Tepi.
Bahan Kuliah. Subbagian EMG dan Evoked Potensial., Bagian Neurologi
FKUI/RSCM, Jakarta.
158

175. Bob Santoso Wibowo. Motor Neuron Disease. Bahan Kuliah. Subbagian EMG dan
Evoked Potensial, Bagian Neurologi, FKUI / RSCM, Jakarta.
176. Drago J, Kilpatrick TJ, Koblar SA & Talman PS. Growth factors: Potential
therapeutic applications in neurology. Editorial. J Neurol Neurosurg & Psych
1994;57:1445-14.
177. Janka HU. Pharmakologie und klinische Anwendung hochdosierter Vitamine
Darmstadt : Steinkopf Verlag, 1991: 111 – 115.
178. Kikkawa R, Hanataka Y, Shigeta Y; Ohji K, Ohmori S, Hoshi M et al. Therapeutic
effects of methyl-B12 and a multi-vitamin prepation contaning B1, B6 and B12 on
diabetic neuropathy. Medical Consultation & New Remedies 1985;22(4):976.
179. Levi-Montalcini R. The nerve growth factor 35 years later. Science 1987; 237: 1154-
1162.
180. Mehler MF, Kessler JA. Progenitor cell biology. Arch Neurol 1999;56:780 – 784.
181. Mitsumoto H, Ikeda K, Klinkosz B, Cedarbaum J, Wong V & Lindsay R. Arrest of
motor neuron disease in wobbler mice cotreated with CNTF and BDNF. Science
1994;265:1107-1110.
182. Reiners KH. Causes and therapy of peripheral neuropathy. Simposium Pendekatan
rasional sindroma nyeri. Jakarta Nov. 1992.
183. Tuszynski MH. Neurotropic factors. In: Tuszynski MH & Kordower JH, eds. CNS
regeneration. San Diego London Boston : Academic Press, 1999: 109-158.
184. Yamatsu K, Kaneka T, Kitahara A & Ohkawa I. Pharmacological studies on
degeneration and regeneration of peripheral nerve. Folia Pharmacol Jap.
1976;72:259-267

Anda mungkin juga menyukai