Sumber Sumber Hukum Islam Revisian
Sumber Sumber Hukum Islam Revisian
DOSEN PENGAMPU:
DR. RUSLI HALIL NASUTION, MA
Kami sangat bersyukur karena dapat merampugkan makalah yang menjadi tugas
dalam mata pelajaran hukum islam dengan judul “Sumber Sumber Ilmu
Hukum”Selain itu, Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman
yang sudah membantu sampai makalah ini dapat terselesaikan.
Kami sangat memahami apabila makalah ini belum sempurna, maka dari itu kami
butuh kritik dan sarannya yang bertujuan untuk memperbaiki makalah kami
selanjutnya di waktu yang akan datang.
BAB I
PENDAHULUAN
Islam sebagai syariat penutup dari semua syariat yang telah Allah Swt.
turunkan dimuka bumi ini, merupakan satu-satunya ajaran yang cocok dan sesuai
untuk semua ruang, waktu dan kondisi. Ajarannya sangat agung dan mulia karena
mengatur dan mengarahkan kehidupan manusia dan alam semesta sesuai dengan
asas keadilan yang menjadi harapan. Islam tidak hanya mengatur masalah yang
terbatas pada masa tertentu, akan tetapi ajarannya mampu tampil sebagai wasit
dalam memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi manusia dan
alam semesta termasuk masalah-masalah kalasik dan kontemporer. Hal itu karena
pintu ijtihad selalu terbuka dan memberi peluang bagi segenap para cendikia
untuk memberi terobosan hukum baru yang dibutuhkan.
Dalil hukum dalam Islam terbagi dua: pertama, adalah dalil yang mendapat
kesepakatan mayoritas ulama, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadis, al-Ijmȃ’ dan al-
Qiyȃs.Kedua adalah dalil yang diperselisihkan oleh para ulama tentang
keabsahannya sebagai pijakan hukum. Dalil ini cukup banyak akan tetapi yang
populer berjumlah sepuluh. Yaitu, alistihsȃn, al-Mashalih al-Mursalah atau al-
Istishlah, al-Istishhab, al-‘Uruf, Mazhab Sahabat.
1
Imam ‘Ali Bin Muhammad Al-amidi, Al-Ihkam Fi Usul al-Ahkam, (Cairo: Dar Al-Hadis, t, th) jilid 1,
h. 17.
Syar’u Manqoblana, saddu al-Zarȃ’i, amal ahli al-Madinah, al-Akhdzu Bi al-
Aqol dan alIstiqrȃ’. Namun realitanya, sesungguhnya semua sumber hukum
2
dalam Islam hanya bertumpu pada satu landasan utama yaitu segala sesuatu yang
hanya bersumber dari wahyu baik al-Qur’anmaupunal-Sunnah. 3
Dari sudut pandang lain, dalil hukum terbagi kedalam dua kelompok yaitu;
Pertama, dalil naqli yang mencakup al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’, dan urf,
syari’at umat terdahulu, mazhab sahabat, amal penduduk Madinah yang juga
digolongkan sebagai bagian dari tiga dalil pertama. kedua, dalil ‘aqli yang
mencakup al-Qiyas, al-Istihsan pada beberapa kesempatan, al-Mashahah al-
Mursalah, dan saddu al-Zari’ah. Kedua jenis dalil hukum ini kendatipun berbeda,
namun tidak dapat dipisahkan bagaikan dua sisi mata uang. Yang demikian itu
karena kesimpulan-kesimpulan hukum yang termasuk dari dalil naqli tidak akan
mungkin terwujud tanpa melalui perangkat akal. Akan tetapi ketika perangkat akal
ini digunakan sebagai sarana dalam menalar teks suci, dan ditemukan kesenjangan
antara kedua dalil diatas, maka yang harus didahulukan adalah dalil pertama
karena kepastian dan kebenarannya tidak diragukan. Kesenjangan ini mungkin
saja terjadi mengingat kemampuan akal yang sangat terbatas dan relatif. Jadi,
kesimpulannya, akal harus tunduk pada wahyu.
Semua referensi hukum diatas baik naqli maupun ‘aqli, merupakan landasan
utama bagi aktifitas ijtihad sebagai sarana dalam upaya menyimpulkan hukum
Islam. Para praktisi hukum Islam telah sepakat bahwa tidak ada hukum yang
diakui keabsahannya kecuali hukum yang bersumber dari Allah swt. Melalui
wahyu baik yang matluw (terbaca) yaitu al-qur’an
2
Dr. Wahbah zuhaili, Usul Al-fikih Al-islami, (Damaskus: Dar Al-fikri, 1986) cet.1, h. 415.
3
Imam Muhammad Abu Zahrah, usul Al-fikih, (Cairo: Dar Al- tiba’ah Al-Muhammadiyah)
maupun ghairu al-Matluw (yang tidak terbaca) yaitu al-Sunnah. Keberadaan al-
Sunnah sebagai wahyu jenis kedua ditegaskan oleh Allah Swt. dalam al-quran
bahwa Nabi saw. Tidaklah berkata berlandaskan hawa nafsu melainkan wahyu
yang diwahyukan.4
yang belum termuat dalam teks suci al-qur’an seperti kasus tawanan perang badr
(QS, AlAnfal: 67), kasus pemberian izin kepada orang yang tidak turut serta
dalam perang Tabuk (QS, At-Taubah: 42-43).6
4
Al-anshory Muhammad Bin Nizhomuddin, Fawatih Al-rohmut, (Beirut: Dar
Kutub Alilmiyah, 2002) cet. 1.jilid 2 h.3
5
5Dr. Muhammad Said Mansur, Al-adillah Al-‘aqliyah wa ‘Alaqotuhu Bi An-
naqliyah ‘inda Alusuliyyin, (Al-khurthum: Ad-dar As-sudaniyah Lilkutub,2000) cet.1 h.513
6
Sahal Abdul Fattah, ‘itab al-Rosul fi al-Qur’an, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2004), h.43 dan
Dalam berijtihad, beliau berpegang teguh pada prinsip-prinsip utama Islam
atau melalui diskusi(musyawarah) bersama para sahabat. Dari sinilah konsep
ijtihad jama’i(kolektif) itu terbentuk. Contohnya pada masa sahabat,
sepeninggalan baginda Rasul Saw., ijtihad banyak dipergunakan sebagai acuan
dalam penyelesaikan persoalan-persoalan yang semakin kompleks seiring
perkembangan dan tuntutan zaman, realita ini terjadi karena al-Qur’an dan hadist
juga tidak lagi bertambah sepeninggalan baginda Nabi Saw.. Sementara itu
masalah-masalah terus bertambah dan memerlukan ketentuan hukum. Pada
periode inilah sumber hukum yang sebelumnya hanya dua yaitu al-Qur’an dan al-
Hadis bertambah menjadi tiga, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah dan hasil ijtihad
sahabat. Setelah generasi sahabat, ijtihad semakin berkembang. Hal ini ditandai
dengan lahirnya para mujtahid besar seperti Ibnu Syihab al-Zuhri, Umar bin
Abdul Aziz dan para pembesar ulama yang lain. Perkembangan pesat ini terus
terjadi mulai abad dua sampai empat hijriah. Masa ini dikenal dengan periode
pembukuan sunnah dan fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid handal yang
kemudian populer dengan sebutan para imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad Bin Hambal.
Ketika itu, kawasan Islam semakin luas dan ajarannya pun semakin mewarnai
kehidupan manusia bukan hanya kehidupan bangsa arab,akan tetapi juga ‘ajam
atau non arab. Kondisi ini memicu timbulnya berbagai persoalan baru yang belum
tersentuh oleh teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits secara langsung. Kondisi inilah
yang melatari terbukanya pintu ijtihad secara luas guna mencari solusi hukum
yang belum tersentuh dengan berbagai perangkat ijtihad yang menjadi ciri-khas
masing-masing mazhab yang turut memengaruhi
Ulasan di atas, menyimpulkan bahwa tradisi ijtihad dari masa-kemasa ikut andil
dalam membangun dan merekonstruksi hukum Islam yang bersifat dinamis.
Produk ijtihad atau penelaran teks ini muncul dan mengalir sesuai perkembangan
zaman, kondisi, ruang dan situasi yang berbeda. Hal inilah yang melatari bahwa
produk hukum klasik harus direkontruksi ulang agar selaras dengan
perkembangan dan kebutuhan zaman.
7
Bazroh Jamhar, Konsep Maslahat dan Aplikasinya dalam penetapan Hukum Islam, (Semarang:
PPs. IAIN Walisingo,2012), cet. 1, h. 5.
Ijtihad secara umum terbagi kedalam dua model; ijtihad jamȃ’i (kolektif) dan
ijtihad fardi (individual). Ijtihad kolektif adalah ijtihad atau upaya hukum yang
dilakukan dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.
Biasanya ijtihad model ini, dilakukan oleh Nabi Saw. dan para sahabat dengan
cara berdiskusi. Apabila mereka sepakat dalam masalah tertentu, terjadilah ijma’
atau kesepakatan. Kesimpulan dari diskusi mereka tersebut kemudian resmi
sebagai acuan formal bagi seluruh umat. Khalifah Umar Bin Khattab ra. misalnya,
memiliki dua model musyawarah yaitu musyawarah khusus dan umum. Diskusi
khusus hanya beranggotakan para sahabat muhajirin dan Anshor yang bertugas
memecahkan masalah-masalah terkait kebijakan Negara. Diskusi umum biasanya
diikuti seluruh penduduk madinah yang berkumpul dimasjid untuk membahas
masalah-masalah publik, seperti kasus tanah di Irak yang dijadikan tanah kharaj.
Sedangkan ijtihad individual dilakukan oleh sahabat dalam hal yang bersifat
pribadi yang tidak ada kaitannya langsung dengan kemaslahatan umum. Misalnya,
perbedaan yang terjadi antara baginda Ibnu mas’ud dengan baginda Ali Bin Abi
Thalib seputar masalah ‘iddah bagi perempuan hamil yang ditinggal mati oleh
suaminya. Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa ‘iddahnya sampai melahirkan,
sedangkan Ali Bin Abi Thalib mengatakan bahwa ‘iddahnya ialah melahirkan
dengan syarat masa kelahiran tidak kurang empat bulan sepuluh hari.8
A. Pengertian Itjihad
Menurut Bahasa , bersungguh sungguh dalam mencurahkan pikiran.
“ Dan orang orang berjihad untuk (Mencari keridhoan ) kami, benar benar akan
kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar
benar beserta orang orang yang berbuat baik ” (Q.S.Al-ankabut).
B. Istishan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah
ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian
yang ditetapkan berdasar dalil syara'. Jadi singkatnya, istihsan adalah
tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan
karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
contoh ihtishan
Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah
pertanian, maka dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan
adalahhak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan
sebagainya. Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak-hak tersebut tidak
mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan
jual beli.
Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual
kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang
penting ialah hak milik itu.
1. Macam-macam istishan
Ditinjau dari segi berpindahnya suatu hukum, maka ihtisan dapat dibagi
berbagai macam ihtisan, diantaranya menurut ulama Hanafiyah yaitu:
a) Berpindahnya suatu hukum dari Qiyas Zhahir kepada suatu Qiyas Khafi.
Contoh: Berdasarkan Qiyas Zhahir yaitu hak pengairan tanah pertanian
dan hak lalu lintas di dalam harta wakaf tanah pertanian tidak termasuk
harta wakaf apabila tidak disebut dengan tegas pada waktu
mewakafkannya, sebab wakaf di-qiyas-kan kepada hal jual beli yaitu
sama-sama berakibat hilangnya (mengeluarkan) hak milik dari seorang
pemiliknya, Dalam hak jual beli, hak pengairan dan hak lalu lintas tidak
termasuk, maka yang demikian ini terjadi pula pada wakaf. Akan tetapi
menurut Istihsan (Qiyas Khafi), wakaf tersebut dipersamakan dengan
Ijarah (sewa menyewa) sebab tujuannya sama yaitu mengambil manfaat
barang yang bukan miliknya sendiri. Di dalam sewa -menyewa, hak tanah
pengairan dan lalu lintas termasuk yang disewa meskipun tidak disebut
dengan tegas. Adapun dasar peninggalannya (sanadnya) yaitu
pengambilan manfaat dari barang yang diwakafkan (maslahah).
b) Berpindahnya suatu hukum yang ditetapkan oleh Nash yang umum kepada
yang khusus. Contoh: Kasus pencurian pada musim/masa kelaparan,
berdasarkan Nash yang umum telah tersebutkan dalam surat al-Maidah: 38
yang artinya: “Pencuri laki-laki dan pencuri inatang hendaklah dipotong
tangannya”. Melihat ayat tersebut di atas bahwa setiap pencuri, baik laki-
laki maupun inatang harus dipotong tangannya, akan tetapi Umar Bin
Khathab tidak melakukan hal tersebut yaitu memotong tangan terhadap
pencuri pada masa kelaparan. Demikian halnya di dalam pembagian zakat
bagi seorang mu’alaf dan inatang unta yang kabur/lepas harus ditangkap
padahal pada zaman nabi SAW tidak harus ditangkap, tetapi dibuarkan
lepas begitu saja.
2. Dasar hukum
C. Istishab
Istishab dan Hukumnya dalam Islam oleh Ridwan, istishab pada dasarnya
merupakan suatu metode penemuan hukum berdasarkan hukum yang
sudah ada sebelumnya selama belum ada dalil (bukti hukum) baru yang
menyatakan sebaliknya.
a) Waktu
Istishab menghubungkan tiga waktu sebagai satu kesatuan yaitu
waktu lampau, sekarang, dan yang akan datang. Ketiganya dalam
istishab dianggap sama nilainya sampai terbukti ada perubahan
karakteristik hukum yang melekatnya.
b) Ketetapan Hukum
Ada dua ketetapan hukum, yaitu ketetapan hukum boleh (isbat) dan
ketetapan hukum yang tidak membolehkan (nafy).
2. Macam-macam istishab
c) Istishab Al-Hukmi
Didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil
yang mencabutnya. Contohnya, seseorang yang sudah jelas
melaksanakan akad pernikahan, maka status pernikahan tersebut
berlaku sampai terbukti adanya perceraian.
d) Istishab Al-Washfi
a. Istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan
diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang mengubahnya.
Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya akan tetap suci
sampai ada bukti yang menunjukkan air itu menjadi najis.
D. Istislah
a) Pengertian istishlah
Dari segi bahasa, istishlah yang biasa juga disebut mashlahah mursalah
berasal dari kata mashlahah dan mursalah. Mashlahah berasal dari kata
shalahah dengan tambahan alif pada awalnya berarti baik, lawan kata dari
mafsadah yang berarti rusak. Atau dalam arti yang lain yakni al-shalah
artinya manfaat atau terlepas dari kerusakan. Mashlahah dalam arti umum
adalah semua mendatangkan manfaat bagi manusia. Jadi segala yang bisa
menimbulkan manfaat disebut mashlahah. Dengan lain perkataan di dalam
mashlahah terkandung dua hal pokok yakni mendatangkan kebaikan dan
menolak mafsadah.
Mursalah artinya lepas, tidak terikat. Jika dikaitkan dengan kata mashlahah
maksudnya adalah terlepas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau
tidaknya dilakukan."
Dalam defenisi lain adalah lepas dari dalil-dalil Al-Qur'an, Sunnah dan
ijma' sharih akan tetapi tetap terikat dengan maqashid al-syar'i atau tujuan-
tujuan syara'. Jadi mashlahah mursalah dapat diartikan dengan suatu
ketetapan hukum berdasarkan pada yang diambil kemaslahatan manusia
karena tidak terdapat dalil- dalil syara' yang menetapkan boleh atau
tidaknya sesuatu itu dilakukan.
a. Mashlahah al-Dharuriyyah.
c. Mashlahah al-Tahsiniyyah
E. Urf
1. Urf secara harfiah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan
yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya
atau meninggalkannya.
Urf menurut Abdul Wahab Khalaf adalah:
"Urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh banyak orang dan dikerjakan oleh
mereka, baik dari perkataan atau perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan.
Hal ini juga dinamakan adat. Dan menurut para ahli hukum islam tidak ada
perbedaan antara urf dengan adat".
Berdasarkan pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa urf dan adat adalah
sesuatu yang memiliki arti yang sama.
Urf ada 2 macam, yaitu urf shahih (urf yang sah/benar) dan urf fasid (urf yang
buruk).
a. Urf shahih
Urf shahih adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang dan tidak menyalahi
dalil atau syari'at yang sudah ada, juga tidak menghalalkan sesuatu yang telah
dihramkan dan tidak membatalkan sesuatu yang telah diwajibkan.
Dan telah disepakati bahwa urf shahih harus digunakan dan dipelihara dalam
pembentukan hukum dan pengadilan.
Contoh urf yang sesuai dengan syariat islam adalah kebiasaan masyarakat di
zaman jahiliyah yang selalu menghormati tamu, dengan cara memberi makan,
minum dan tempat tinggal untuk mereka (tamu).
Dan semua perbuatan itu di benarkan dalam syati'at islam. Maka para ulama
menyepakati untuk melestarikannya.
11
b. Urf fasid
Urf fasid adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang akan tetapi berlainan
dengan dalil atau syari'at yang sudah ada, juga dapat menghalalkan sesuatu
yang telah dihramkan dan dapat membatalkan sesuatu yang telah
diwajibkan. Urf fasid atau urf yang rusak tidak diharuskan untuk
menggunakannya, karena jika menggunakannya berarti kita menentang dalil
syara' atau bahkan membatalkan dalil syara'.
Contoh urf fasid adalah kebiasaan buruk seperti berzina, berjudi, minum
khamar, makan riba dan sejenisnya.
Sedangkan contoh dalam masyarakat kita sekarang seperti tradisi menyajikan
sesajen dikuburan atau di tempat -- tempat angker dan merayakan ulang tahun
yang biasa dilakukan oleh orang -- orang kafir. Maka para ulama setuju untuk
mengharamkan urf seperti ini.
2. Macam-macam ‘Urf
a. ‘Urf ‘Amali
‘Amali artinya: yang bersifat amal atau perbuatan.
‘Urf ‘Amali artinya: adat kebiasaan yang bersifat perbuatan.
Misalnya:
Orang kalau sudah ambil barang di toko, lalu pergi ke kasir, artinya dia mau
beli barang-barang itu. Lalu dia bayar dan meninggalkan toko. Praktik jual-
beli seperti itu menurut adat kebiasaan adalah sah.
Bila orang sudah duduk di warung, lalu pesan makanan dan minuman, maka
setelah itu dia harus bayar. Dia beli. Bukan gratis.
b. ‘Urf Qauli
Qauli artinya: yang bersifat perkataan.
‘Urf Qauli artinya: adat kebiasaan yang bersifat perkataan.
Misalnya:
Orang menyebut daging untuk daging ayam, kambing, sapi dan unta. Ikan
tidak termasuk. Hal itu berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di tengah
masyarakat.
c. ‘Urf ‘Am
‘Am artinya: umum. Diketahui atau dilakukan oleh semua orang.
‘Urf ‘Am artinya: adat kebiasaan yang dilakukan dan diketahui oleh semua
orang
12
d. ‘Urf Khash
Khash artinya: khusus. Lawan dari ‘am.
‘Urf Khash artinya: adat kebiasaan yang berlaku bagi sebagian masyarakat.
Misalnya:
Bila orang Jawa menyebut kata “ikan”, maka maksudnya adalah lauk, seperti:
tempe, tahu, ikan, daging. Adat atau kebiasaan ini pada umumnya berlaku di
Jawa saja.
e. ‘Urf Shahih
Shahih artinya: benar, sesuai syariat.
‘Urf Syar’i artinya: adat kebiasaan yang sesuai dengan syariat.
Misalnya:
Orang yang berbuat jahat harus dihukum. Orang yang bekerja dengan baik
berhak menerima upah. Orangtua harus dimuliakan. Tamu harus dihormati.
Anak harus dicukupi seluruh kebutuhannya.
f. ‘Urf Fasid
Fasid artinya: salah, bertentangan dengan syariat.
‘Urf Fasid artinya: adat kebiasaan yang bertentangan dengan syariat.
Misalnya:
Tamu datang disuguhi minuman keras. Diajak berzina. Atau hal-hal lain yang
bertentangan dengan syariat.
Semua itu merupakan contoh ‘Urf yang harus ditinggalkan.
F.Saddu dzari ah
Secara bahasa kata saddu berarti "menutup" dan kata dzariah berarti
"wasilah" atau "jalan ke suatu tujuan". Dengan demikian saddu dzari'ah
secara bahasa berarti "menutup jalan kepada suatu tujuan"
Hibah dalam syariat islam adalah perbuatan yang baik yang dapat
mendatangkan kemaslahatan. Tetapi jika niatnya tidak baik, misalkan
menghibahkan harta untuk menghindar dari kewajiban membayar zakat,
maka hukumnya tidak di perbolehkan.
13
Hal ini di dasarkan pada hukum dari zakat dan hibah. Zakat hukumnya wajib
sedangkan hibah hukumnya sunnah.
G. Syaru Manqoblana
Allah menetapkan bahwa Bani Israil dilarang untuk memakan daging semua
binatang yang berkuku.
Allah Swt. menetapkan syariat bagi Nabi Zakariya dan Yahya. Bahwa
membujang itu lebih utama daripada menikah.
Allah Swt menetapkan bagi syariat Nabi Musa. Bahwa hukuman qishash itu
wajib diterapkan.
Syar’u Man Qablana yang disebut dalam al-Qur’an atau hadits, dan
dinyatakan sudah tidak berlaku
Misalnya:
Mahar Nabi Musa alaihis salam ketika menikah dengan putri Nabi Syu’aib
adalah bekerja padanya selama beberapa tahun.
H.Istidlal
1. Pengertian Istidlal
Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata istadalla yang berarti: minta
petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Imam al-Dimyathi
memberikan arti istidlal secara umum, yaitu mencari dalil untuk mencapai
tujuan yang diminta.
Istidlal mencari dalil tentang sesuatu yang tidak ada nash khusus di dalam Al
Quran, As Sunnah maupun Ijma dan Qiyas. Sehingga dengan melakukan
pendeketan dan penarikan kesimpulan maka didapatkan dalil tentang sesuatu
tersebut.
a. Al Quran
b. As Sunnah (Hadis).
c. Ijma Ulama
d. Qiyas.
Namun jika dari keempat tersebut masih tidak ditemukan, maka dapat
dilakukan dengan berbagai pendekatan yang disebut dengan Istidlal
2. Dasar Hukum Istidlal
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59).
Imam Ibnu Katsir berkata bahwa ini perintah Allah untuk mengembalikan semua
permasalahan yang diperselisihkan baik pada masalah dasar-dasar agama atau
cabangnya kepada Al-Qur'an dan sunnah" (Ibnu Katsir, tt: I/ 338). Mafhumnya,
menunjukkan larangan untuk menyandarkan permasalahan hanya kepada akal
semata.
KESIMPULAN
18