Anda di halaman 1dari 24

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM:

IJTIHAD, ISTISHAN, ISTISHAB, ISTISHLAH, URF,


SADDU DZA’RIAH, SYAR’UN MANQABLANA, DAN
ISTIDLAL

DOSEN PENGAMPU:
DR. RUSLI HALIL NASUTION, MA

Disusun oleh Kelompok 3

1. M.RIFQI LUBIS (2306200494)


2. SITI AIDA SARAH (2306200540)
3. HERU RIZKI MARUFI (2306200529)
4. HAIKAL FIKRI (2306200537)
5. KAMARUL IMAM (2306200676)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA
UTARA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang sudah memberikan
kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih bisa menikmati indahnya Alam
ciptaan-Nya. Sholawat serta salam kita haturkan kepada teladan kita semua Nabi
Muhammad Shallallahu `alaihi Wa Sallam yang telah memberitahu kepada kita
jalan yang benar berupa ajaran agama yang sempurna serta menjadi rahmat bagi
seluruh alam.

Kami sangat bersyukur karena dapat merampugkan makalah yang menjadi tugas
dalam mata pelajaran hukum islam dengan judul “Sumber Sumber Ilmu
Hukum”Selain itu, Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman
yang sudah membantu sampai makalah ini dapat terselesaikan.

Kami sangat memahami apabila makalah ini belum sempurna, maka dari itu kami
butuh kritik dan sarannya yang bertujuan untuk memperbaiki makalah kami
selanjutnya di waktu yang akan datang.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam sebagai syariat penutup dari semua syariat yang telah Allah Swt.
turunkan dimuka bumi ini, merupakan satu-satunya ajaran yang cocok dan sesuai
untuk semua ruang, waktu dan kondisi. Ajarannya sangat agung dan mulia karena
mengatur dan mengarahkan kehidupan manusia dan alam semesta sesuai dengan
asas keadilan yang menjadi harapan. Islam tidak hanya mengatur masalah yang
terbatas pada masa tertentu, akan tetapi ajarannya mampu tampil sebagai wasit
dalam memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi manusia dan
alam semesta termasuk masalah-masalah kalasik dan kontemporer. Hal itu karena
pintu ijtihad selalu terbuka dan memberi peluang bagi segenap para cendikia
untuk memberi terobosan hukum baru yang dibutuhkan.

Sumber-sumber hukum Islam merupakan dalil-dalil tempat berpijaknya setiap


kebijakan hukum Islam. Menurut Imam al-Amidiy, dalil yang merupakan bentuk
tunggal dari al-Adillah menurut bahasa adalah pedoman yang dapat mengarahkan
kepada sesuatu baik secara eksplisit maupun secara implisit. Sedangkan secara
istilah, dalil adalah sesuatu yang bisa menyampaikan kepada kesimpulan hukum
melalui serangkaian perangkat teori yang teruji.1

Dalil hukum dalam Islam terbagi dua: pertama, adalah dalil yang mendapat
kesepakatan mayoritas ulama, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadis, al-Ijmȃ’ dan al-
Qiyȃs.Kedua adalah dalil yang diperselisihkan oleh para ulama tentang
keabsahannya sebagai pijakan hukum. Dalil ini cukup banyak akan tetapi yang
populer berjumlah sepuluh. Yaitu, alistihsȃn, al-Mashalih al-Mursalah atau al-
Istishlah, al-Istishhab, al-‘Uruf, Mazhab Sahabat.

1
Imam ‘Ali Bin Muhammad Al-amidi, Al-Ihkam Fi Usul al-Ahkam, (Cairo: Dar Al-Hadis, t, th) jilid 1,
h. 17.
Syar’u Manqoblana, saddu al-Zarȃ’i, amal ahli al-Madinah, al-Akhdzu Bi al-
Aqol dan alIstiqrȃ’. Namun realitanya, sesungguhnya semua sumber hukum
2

dalam Islam hanya bertumpu pada satu landasan utama yaitu segala sesuatu yang
hanya bersumber dari wahyu baik al-Qur’anmaupunal-Sunnah. 3

Adapun akal,bukanlah merupakan sumber hukum melainkan sebagai sarana


dalam rangka menalar teks-teks suci untuk sampai pada kesimpulan hukum
meskipun terkadang disebut sebagai sumber hukum.

Dari sudut pandang lain, dalil hukum terbagi kedalam dua kelompok yaitu;
Pertama, dalil naqli yang mencakup al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’, dan urf,
syari’at umat terdahulu, mazhab sahabat, amal penduduk Madinah yang juga
digolongkan sebagai bagian dari tiga dalil pertama. kedua, dalil ‘aqli yang
mencakup al-Qiyas, al-Istihsan pada beberapa kesempatan, al-Mashahah al-
Mursalah, dan saddu al-Zari’ah. Kedua jenis dalil hukum ini kendatipun berbeda,
namun tidak dapat dipisahkan bagaikan dua sisi mata uang. Yang demikian itu
karena kesimpulan-kesimpulan hukum yang termasuk dari dalil naqli tidak akan
mungkin terwujud tanpa melalui perangkat akal. Akan tetapi ketika perangkat akal
ini digunakan sebagai sarana dalam menalar teks suci, dan ditemukan kesenjangan
antara kedua dalil diatas, maka yang harus didahulukan adalah dalil pertama
karena kepastian dan kebenarannya tidak diragukan. Kesenjangan ini mungkin
saja terjadi mengingat kemampuan akal yang sangat terbatas dan relatif. Jadi,
kesimpulannya, akal harus tunduk pada wahyu.

Semua referensi hukum diatas baik naqli maupun ‘aqli, merupakan landasan
utama bagi aktifitas ijtihad sebagai sarana dalam upaya menyimpulkan hukum
Islam. Para praktisi hukum Islam telah sepakat bahwa tidak ada hukum yang
diakui keabsahannya kecuali hukum yang bersumber dari Allah swt. Melalui
wahyu baik yang matluw (terbaca) yaitu al-qur’an

2
Dr. Wahbah zuhaili, Usul Al-fikih Al-islami, (Damaskus: Dar Al-fikri, 1986) cet.1, h. 415.
3
Imam Muhammad Abu Zahrah, usul Al-fikih, (Cairo: Dar Al- tiba’ah Al-Muhammadiyah)
maupun ghairu al-Matluw (yang tidak terbaca) yaitu al-Sunnah. Keberadaan al-
Sunnah sebagai wahyu jenis kedua ditegaskan oleh Allah Swt. dalam al-quran
bahwa Nabi saw. Tidaklah berkata berlandaskan hawa nafsu melainkan wahyu
yang diwahyukan.4

Melalui pengamatan yang panjang, tampak dengan jelas bahwa kebutuhan


manusia kepada berbagai solusi hukum tidak terbatas dan berkesudahan bahkan
mengalami pembaruan dan perkembangan terus-menerus. Di sisi lain, keberadaan
al-Qura’an dan alSunnah sebagai pijakan utama hukum sangat terbatas dan telah
final, maka sangat dibutuhkan sandaran lain yang tidak terbatas dan mampu
memberikan solusi hukum dengan tuntas dan utuh tidak hanya terbatas pada
kedua sandaran diatas. Di sinilah teori dan konsep ijthad tampil sebagai solusi
hukum yang bisa menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi manusia.
Qiyas sebagai salah satu perangkat ijtihad bertujuan untuk mengarahkan
pesanpesan hukum yang ada kepada sasaran yang selaras dengan nilai-nilai luhur
al-qur’an dan assunnah melalui penalaran rasio. Disamping itu, juga tampil
perangkat-perangkat hukum lain seperti al-ihtihsan, al-‘Urf dan lain-lain5

Ijtihad secara sederhana dapat dipahami sebagai serangkaikan upaya berfikir


secara optimal yang dilalui oleh sarjana hukum Islam dalam rangka
menyimpulkan hukum melalui perangkat-perangkat ilmu dan segenap
pendukungnya sebagai jawaban atas segala problem yang dihadapi masyarakat.
Ijtihad dalam hukum Islam terlahir bersamaan dengan diutusnya Rasul Saw
sebagai penyampai pesan-pesan ketuhanan dari langit. Beliau merupakan mujtahid
perdana. Ketika itu, ranah ijtihad hanya terbatas pada masalah-masalah yang
belum dijelaskan oleh wahyu. Bilamana hasil ijtihad beliau benar, maka turunlah
wahyu membenarkannya dan jika selain itu, maka wahyu pun diturunkan untuk
mengarahkan hasil ijtihad tersebut. Hal ini dapat tergambar ketika beliau
dihadapkan pada beberapa kasus baru,

yang belum termuat dalam teks suci al-qur’an seperti kasus tawanan perang badr
(QS, AlAnfal: 67), kasus pemberian izin kepada orang yang tidak turut serta
dalam perang Tabuk (QS, At-Taubah: 42-43).6

4
Al-anshory Muhammad Bin Nizhomuddin, Fawatih Al-rohmut, (Beirut: Dar
Kutub Alilmiyah, 2002) cet. 1.jilid 2 h.3
5
5Dr. Muhammad Said Mansur, Al-adillah Al-‘aqliyah wa ‘Alaqotuhu Bi An-
naqliyah ‘inda Alusuliyyin, (Al-khurthum: Ad-dar As-sudaniyah Lilkutub,2000) cet.1 h.513
6
Sahal Abdul Fattah, ‘itab al-Rosul fi al-Qur’an, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2004), h.43 dan
Dalam berijtihad, beliau berpegang teguh pada prinsip-prinsip utama Islam
atau melalui diskusi(musyawarah) bersama para sahabat. Dari sinilah konsep
ijtihad jama’i(kolektif) itu terbentuk. Contohnya pada masa sahabat,
sepeninggalan baginda Rasul Saw., ijtihad banyak dipergunakan sebagai acuan
dalam penyelesaikan persoalan-persoalan yang semakin kompleks seiring
perkembangan dan tuntutan zaman, realita ini terjadi karena al-Qur’an dan hadist
juga tidak lagi bertambah sepeninggalan baginda Nabi Saw.. Sementara itu
masalah-masalah terus bertambah dan memerlukan ketentuan hukum. Pada
periode inilah sumber hukum yang sebelumnya hanya dua yaitu al-Qur’an dan al-
Hadis bertambah menjadi tiga, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah dan hasil ijtihad
sahabat. Setelah generasi sahabat, ijtihad semakin berkembang. Hal ini ditandai
dengan lahirnya para mujtahid besar seperti Ibnu Syihab al-Zuhri, Umar bin
Abdul Aziz dan para pembesar ulama yang lain. Perkembangan pesat ini terus
terjadi mulai abad dua sampai empat hijriah. Masa ini dikenal dengan periode
pembukuan sunnah dan fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid handal yang
kemudian populer dengan sebutan para imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad Bin Hambal.

Ketika itu, kawasan Islam semakin luas dan ajarannya pun semakin mewarnai
kehidupan manusia bukan hanya kehidupan bangsa arab,akan tetapi juga ‘ajam
atau non arab. Kondisi ini memicu timbulnya berbagai persoalan baru yang belum
tersentuh oleh teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits secara langsung. Kondisi inilah
yang melatari terbukanya pintu ijtihad secara luas guna mencari solusi hukum
yang belum tersentuh dengan berbagai perangkat ijtihad yang menjadi ciri-khas
masing-masing mazhab yang turut memengaruhi

timbulnya perbedaan pendapat dalam menyimpulkan hasil penalaran mereka.


Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya misalnya yang berada di Irak, landasan
hukum mereka selain al-Qur’an, al-Qadis, dan ijma’, mereka juga menekankan
qiyas dan istihsan, sedang Imam Malik, selain menggunakan al-Qur’an, al-Hadis
dan ijma’, beliau lebih memberikan porsi pada penggalian hukum melalui metode
al-Maslahah al- Mursalah dan tradisi penduduk Madinah7.

Setelah abad keempat hijriah berlalu, perkembangan ijtihad mengalami


kebekuan. Bahkan muncul anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup rapat. Hal
ini disebabkan karena umat Islam merasa cukup dengan apa yang digagas oleh
para praktisi hukum sebelumnya. Bahkan mereka meyakini bahwa semua hukum
telah dituntaskan oleh para pendahulu mereka sehingga mereka hanya menukil
pendapat-pendapat tesebut tanpa melihat kondisi dan kebutuhan serta kesesuaian
masyarakat kala itu, sehingga penerapan hukum Islam terkesan dipaksakan.

Iklim beragama yang tidak sehat tersebut diperparah dengan tenggelamnya


para pakar hukum yang mempunyai kemampuan dan keunggulan seperti yang
dimiliki oleh para mujtahid sebelumnya sehingga tidak ada lagi yang mendapat
predikat mujtahid mutlaq, yang ada hanya mujtahid yang mengikuti atau
Muntasib pendapat mazhab sebelumnya atau mujtahid yang hanya menguatkan
pendapat Imam sebelumnya tanpa melahirkan produkproduk hukum baru. Sampai
kemudian muncul kembali penggagas hukum baru melalui perangkat-perangkat
ijtihad seperti Imam al-Syȃtibi dan lain-lain yang juga mewarnai perkembangan
konsep ijtihad kontemporer yang dibangun oleh para pemikir islam seperti Imam
Abduh, Dr. Yusuf Qordowi, Dr. Wahbah Zuhaili, Dr. Ramadhan al-Buthi, Dr. Ali
Jum’ah dan lain-lain. Mereka ini membawa harapan baru di dunia ijtihad.

Ulasan di atas, menyimpulkan bahwa tradisi ijtihad dari masa-kemasa ikut andil
dalam membangun dan merekonstruksi hukum Islam yang bersifat dinamis.
Produk ijtihad atau penelaran teks ini muncul dan mengalir sesuai perkembangan
zaman, kondisi, ruang dan situasi yang berbeda. Hal inilah yang melatari bahwa
produk hukum klasik harus direkontruksi ulang agar selaras dengan
perkembangan dan kebutuhan zaman.
7
Bazroh Jamhar, Konsep Maslahat dan Aplikasinya dalam penetapan Hukum Islam, (Semarang:
PPs. IAIN Walisingo,2012), cet. 1, h. 5.
Ijtihad secara umum terbagi kedalam dua model; ijtihad jamȃ’i (kolektif) dan
ijtihad fardi (individual). Ijtihad kolektif adalah ijtihad atau upaya hukum yang
dilakukan dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.
Biasanya ijtihad model ini, dilakukan oleh Nabi Saw. dan para sahabat dengan
cara berdiskusi. Apabila mereka sepakat dalam masalah tertentu, terjadilah ijma’
atau kesepakatan. Kesimpulan dari diskusi mereka tersebut kemudian resmi
sebagai acuan formal bagi seluruh umat. Khalifah Umar Bin Khattab ra. misalnya,
memiliki dua model musyawarah yaitu musyawarah khusus dan umum. Diskusi
khusus hanya beranggotakan para sahabat muhajirin dan Anshor yang bertugas
memecahkan masalah-masalah terkait kebijakan Negara. Diskusi umum biasanya
diikuti seluruh penduduk madinah yang berkumpul dimasjid untuk membahas
masalah-masalah publik, seperti kasus tanah di Irak yang dijadikan tanah kharaj.
Sedangkan ijtihad individual dilakukan oleh sahabat dalam hal yang bersifat
pribadi yang tidak ada kaitannya langsung dengan kemaslahatan umum. Misalnya,
perbedaan yang terjadi antara baginda Ibnu mas’ud dengan baginda Ali Bin Abi
Thalib seputar masalah ‘iddah bagi perempuan hamil yang ditinggal mati oleh
suaminya. Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa ‘iddahnya sampai melahirkan,
sedangkan Ali Bin Abi Thalib mengatakan bahwa ‘iddahnya ialah melahirkan
dengan syarat masa kelahiran tidak kurang empat bulan sepuluh hari.8

Ijtihad kolektif merupakan salah satu solusi dalam memenuhi kebutuhan


hukum dimasyarakat muslim. Islam yang tersebar keseluruh penjuru dunia
merupakan ajaran yang

mempunyai sekian masalah yang sangat kompleks dan rumit mengingat


banyaknya ragam budaya dan tradisi yang mengitarinya sehingga hal tersebut juga
ikut memengaruhi corak hukum yang ada.

Dalam penerapannya, ijtihad haruslah selaras dengan kondisi sosio kultural


dimana ijtihad tersebut dilakukan. Di negara kita tercinta ini misalnya, sebenarnya
ijtihad kolektif sudah lama diterapkan seiring berkembangnya beberapa lembaga
keislaman seperti Majelis Ulama’ Indonesia, Nahdhatul Ulama, dan
Muhammadiyah, yang secara tidak langsung menjadi embrio yang akan tumbuh
8
Muhammad Abu Zahrah,Muhadhoroh fi Tarikh Al-mazahib Al-fiqhiiyah, cairo: Mathba’ah al-
Madani, t.th), h.25-27.
berkembang dan tampil sebagai penengah dalam segala masalah yang dihadapi
masyarakat. Agar memperoleh sebuah jawaban atau solusi bagi persoalan
kontemporer yang seringkali muncul, bahkan Indonesia memiliki lembaga fatwa
yang dinilai kapabel dalam menerapkan ijtihad kolektif dalam bentuk fatwa, sebut
saja Majelis Tarjih Muhammadiyah, Lembaga Bahtsul Masail NU dan Majelis
Ulama Indonesia dengan Komisi Fatwanya. Masing-masing dari lembaga fatwa
tersebut memiliki karakteristik dalam menerapkan ijtihad kolektif pada masalah
kontemporer. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengungkap lebih dalam
tentang karakteristik perbedaan masing-masing lembaga fatwa tersebut dalam
menerapkan ijtihad kolektif pada masalah kontemporer, yang dapat dilihat dari
kajian hukum beberapa persoalan kontemporer seperti hukum rokok, zakat profesi
dan rukyah/hisab dalam penentuan awal Ramadhan/Syawal. Dengan demikian
judul tesis penulis adalah “Penerapan Ijtihad Kolektif Di Kalangan
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Majelis Ulama Indonesia(Studi
Komparatif Pada Masalah-Masalah Kontemporer”.

Sumber – sumber hukum islam

A. Pengertian Itjihad
Menurut Bahasa , bersungguh sungguh dalam mencurahkan pikiran.

Menurut istilah , Mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran dengan sungguh


sungguh menetapkan hukum syariat.
Secara umum adalah proses penetapan hukum syariat dengan
menggunakan semua pikiran dan tenaga secara bersungguh – sungguh
yang berarti menggunakan seluruh kesanggupan berfikir untuk
menetapkan hukum syara dengan jalan mengeluarkan hukum dari kitab
dan sunnah, orang yang melakukan ijtihad disebut muztahid ,yaitu alhi
fiqih yang menghabiskan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh
persangkaan kuat (Dzan) terhadap suatu hukum agama dengan jalan
istinbad dari alquran dan as sunnah.

1. Dasar hukum ijtihad


Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia denga napa yang telah Allah wahyukan
kepadamu (Q.S.An-nisa:105)

“ Dan orang orang berjihad untuk (Mencari keridhoan ) kami, benar benar akan
kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar
benar beserta orang orang yang berbuat baik ” (Q.S.Al-ankabut).

Adanya keterangan sunnah yang membolehkan berijtihad hadist yang


diriwayatkan umar

“ Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka Ia


mendapat dua
pahala. Apabila dia berijtihad kemudian tidak mencapai Kebenaran maka
ia mendapat
satu pahala (Hadist Riwayat bukhari dan Muslim).

2. Manfaat itjihad sebagai sumber hukum ketiga

a) Setiap permasalahan baru yang dihadapi setiap umat dapat diketahui


hukumnya sehingga hukum islam berkembang serta sanggup menjawab
tantangan.

b) Dapat menyesuaikan hukum dengan berdasarkan perubahan zaman,waktu


dan keadaan.

c) Menetapkan fatwa terhadap masalah – masalah yang tidak terkait dengan


Halal atau Haram.

d) Dapat membantu umat islam dalam menghadapi setiap masalah yang


belum ada Hukumnya secara islam.
4

3. macam macam ijtihad


a) ishtisan
b) istihsab
c) istishlah
d) urf
e) saddudzariah
f) syarun manqablana dan
g) istidlal.

B. Istishan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah
ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian
yang ditetapkan berdasar dalil syara'. Jadi singkatnya, istihsan adalah
tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan
karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.

Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya


hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-
Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu
adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada
hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum
berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.

pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari


istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi'i.

Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena


ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut
Madzhab Syafi'i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian
pindah kepada rasa yang lebih enak.

contoh ihtishan
Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah
pertanian, maka dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan
adalahhak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan
sebagainya. Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak-hak tersebut tidak
mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan
jual beli.

Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual
kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang
penting ialah hak milik itu.

Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan


waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah
pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada
penyewa barang.

1. Macam-macam istishan

Ditinjau dari segi berpindahnya suatu hukum, maka ihtisan dapat dibagi
berbagai macam ihtisan, diantaranya menurut ulama Hanafiyah yaitu:

a) Berpindahnya suatu hukum dari Qiyas Zhahir kepada suatu Qiyas Khafi.
Contoh: Berdasarkan Qiyas Zhahir yaitu hak pengairan tanah pertanian
dan hak lalu lintas di dalam harta wakaf tanah pertanian tidak termasuk
harta wakaf apabila tidak disebut dengan tegas pada waktu
mewakafkannya, sebab wakaf di-qiyas-kan kepada hal jual beli yaitu
sama-sama berakibat hilangnya (mengeluarkan) hak milik dari seorang
pemiliknya, Dalam hak jual beli, hak pengairan dan hak lalu lintas tidak
termasuk, maka yang demikian ini terjadi pula pada wakaf. Akan tetapi
menurut Istihsan (Qiyas Khafi), wakaf tersebut dipersamakan dengan
Ijarah (sewa menyewa) sebab tujuannya sama yaitu mengambil manfaat
barang yang bukan miliknya sendiri. Di dalam sewa -menyewa, hak tanah
pengairan dan lalu lintas termasuk yang disewa meskipun tidak disebut
dengan tegas. Adapun dasar peninggalannya (sanadnya) yaitu
pengambilan manfaat dari barang yang diwakafkan (maslahah).

b) Berpindahnya suatu hukum yang ditetapkan oleh Nash yang umum kepada
yang khusus. Contoh: Kasus pencurian pada musim/masa kelaparan,
berdasarkan Nash yang umum telah tersebutkan dalam surat al-Maidah: 38
yang artinya: “Pencuri laki-laki dan pencuri inatang hendaklah dipotong
tangannya”. Melihat ayat tersebut di atas bahwa setiap pencuri, baik laki-
laki maupun inatang harus dipotong tangannya, akan tetapi Umar Bin
Khathab tidak melakukan hal tersebut yaitu memotong tangan terhadap
pencuri pada masa kelaparan. Demikian halnya di dalam pembagian zakat
bagi seorang mu’alaf dan inatang unta yang kabur/lepas harus ditangkap
padahal pada zaman nabi SAW tidak harus ditangkap, tetapi dibuarkan
lepas begitu saja.

c) Berpindahnya suatu hukum yang Kulli kepada hukum yang merupakan


kekecualian. Contoh: Orang yang dititipi barang harus bertanggung jawab
atas barang yang dititipkan kepadanya, apabila yang menitipkan
meninggal dunia, maka orang yang dititipi barang tersebut harus
mengganti barang tadi jika melalaikan dalam pemeliharaannya. Dalam
kasus ini, berdasarkan Istihsan, maka seorang ayah tidak diwajibkan
menggantinya, karena ia dapat menggunakan harta anaknya untuk
mengongkosi hidupnya.

2. Dasar hukum

para ulama yang menerima ishtisan sebagai dalil hukum, mereka


mengembalikan dasar ihtisan kepada alquran dan assunah

a) adapun dalil yang berasal dari alquran antaralain:


b) (az-zumar: 17-18) .. “sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba
hambaku, yang mendengar perkataan lalu mengikutinya dengan yang
lebih”.
c) (q.s al a’raf: 145).. “dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah
perintahnya)dengan sebaikbaiknya’’.
d) (QS albaqarah: 185) .. “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu”..

C. Istishab

istishab adalah upaya mendekatkan satu peristiwa hukum dengan peristiwa


lainnya sehingga keduanya dinilai sama hukumnya. Hakikat dari istishab
adalah tetap memberlakukan hukum yang telah berlaku sebelumnya
selama belum ada yang mengubahnya.

Istishab dan Hukumnya dalam Islam oleh Ridwan, istishab pada dasarnya
merupakan suatu metode penemuan hukum berdasarkan hukum yang
sudah ada sebelumnya selama belum ada dalil (bukti hukum) baru yang
menyatakan sebaliknya.

Konsep istishab sebagai metode hukum mengandung tiga unsur pokok,


yaitu:

a) Waktu
Istishab menghubungkan tiga waktu sebagai satu kesatuan yaitu
waktu lampau, sekarang, dan yang akan datang. Ketiganya dalam
istishab dianggap sama nilainya sampai terbukti ada perubahan
karakteristik hukum yang melekatnya.

b) Ketetapan Hukum
Ada dua ketetapan hukum, yaitu ketetapan hukum boleh (isbat) dan
ketetapan hukum yang tidak membolehkan (nafy).

2. Macam-macam istishab

a) Istishab Al-Ibabah Al-Ashliyah

Istishab yang didasarkan pada hukum asal, yaitu mubah (boleh).


Penerapan kaidah ini banyak terkait dengan masalah-masalah
muamalah, seperti terkait makanan dan minuman.

Selama tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal tersebut


diperbolehkan. Sebab, pada dasarnya segala sesuatu di bumi ini
diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia.

b) Istishab Al-Baraah Al-Ashliyyah

Istishab ini berdasarkan prinsip bahwa pada dasarnya manusia


bebas dari taklif (beban), sampai adanya dalil yang mengubah
status tersebut. Atas dasar ini, manusia bebas dari kesalahan
sampai ada buktinya.

c) Istishab Al-Hukmi
Didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil
yang mencabutnya. Contohnya, seseorang yang sudah jelas
melaksanakan akad pernikahan, maka status pernikahan tersebut
berlaku sampai terbukti adanya perceraian.

d) Istishab Al-Washfi

a. Istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan
diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang mengubahnya.
Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya akan tetap suci
sampai ada bukti yang menunjukkan air itu menjadi najis.

D. Istislah

a) Pengertian istishlah

Dari segi bahasa, istishlah yang biasa juga disebut mashlahah mursalah
berasal dari kata mashlahah dan mursalah. Mashlahah berasal dari kata
shalahah dengan tambahan alif pada awalnya berarti baik, lawan kata dari
mafsadah yang berarti rusak. Atau dalam arti yang lain yakni al-shalah
artinya manfaat atau terlepas dari kerusakan. Mashlahah dalam arti umum

adalah semua mendatangkan manfaat bagi manusia. Jadi segala yang bisa
menimbulkan manfaat disebut mashlahah. Dengan lain perkataan di dalam
mashlahah terkandung dua hal pokok yakni mendatangkan kebaikan dan
menolak mafsadah.
Mursalah artinya lepas, tidak terikat. Jika dikaitkan dengan kata mashlahah
maksudnya adalah terlepas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau
tidaknya dilakukan."
Dalam defenisi lain adalah lepas dari dalil-dalil Al-Qur'an, Sunnah dan
ijma' sharih akan tetapi tetap terikat dengan maqashid al-syar'i atau tujuan-
tujuan syara'. Jadi mashlahah mursalah dapat diartikan dengan suatu
ketetapan hukum berdasarkan pada yang diambil kemaslahatan manusia
karena tidak terdapat dalil- dalil syara' yang menetapkan boleh atau
tidaknya sesuatu itu dilakukan.

1. Syarat-syarat Mashlahat yang Dapat Dipegang


a) Benar-benar mashlahat
b) Bukan merupakan perkiraan
c) Merupakan mashlahat ‘am bukan mashlahat perorangan atau
kelompok orang
d) Untuk kepentingan orang banyak
e) Sesuai dengan tujuan syara’
f) Bukan merupakan mashlahat mulgah

2. Contoh Hukum yang Didasarkan Istishlah

a) Mewajibkan pajak kepada rakyat, apabila kas negara tidak


cukup untuk biaya pengurusan kepentingan umum.
b) Memukul tersangka yang kebiasaannya mencuri, untuk
menekannya supaya mengakui dan mengemukakan barang
yang dicurinya.
c) Diterimanya kesaksian anak kecil terhadap sesamanya dalam
sebagian peristiwa yang tidak dihadiri/diketahui oleh selain
anak kecil.
d) Akad nikah yang tidak ditetapkan dengan surat resmi, apabila
terjadi sengketa maka tuntutan tentang terjadinya ditolak jika
pihak lain mengingkarinya.
e) Wajib menanami sebagian tanah pekarangannya dengan
tanaman pertanian dimasa perang, untuk mencukupi kebutuhan
pangan rakyat.

3. Macam-Macam Istishlah Mashlahah yang Diakui Ajaran syariah

a. Mashlahah al-Dharuriyyah.

Adalah kemashalatan Mashlahah al-Dharuriyyah yang berhubungan


dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan
seperti ini ada lima, yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara
akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini,
disebut dengan al-mashalih al-khamsah.dharuriyyah (bersifat mutlak) karena
menyangkut komponen kehidupan sendiri
Sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya
(jiwa,raga,dan kehormatan), akal pikirannya,harta bendanya,nasab keturunan
dan kepercayaan agamanya. Permasalahan diataslah yang merupakan dasar
mashalhah.

b. .Mashlahah al-Hajiyah. Mashlahah al-Hajiyah adalah kemaslahatan untuk


pokok, untuk menghindarkan kesulitan dan kemadharatan dalam kehidupan
misalnya, dalam bidang ibadah diberi orang yang sedang musafir.

Dalam bidang Mu’amalah keringanan meringkas shalat (qashr) dan


berbuka puasa bagi dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan
yang baik- baik, dibolehkan jual beli pesanan (bay' al-salam). dan (muzara'ah)
serta perkebunan (musaqqah). Hal ini disyari'atkan. Allah untuk mendukung
kebutuhan mendasar al-mashalih al-khamsah diatas Kerja sama dalam
pertanian.

c. Mashlahah al-Tahsiniyyah

Mashlahah al-Tahsiniyyah adalah kemaslahatan yang merupakan


kebutuhan pelengkap dalam rangka memelihara sopan santun dan tata-krama
dalam kehidupan. Misalnya, dianjurkan memakan makanan yang bergizi,
berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amal
tambahan, dan berbagai cara menghilangkan najis dari badan manusia.

E. Urf

1. Urf secara harfiah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan
yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya
atau meninggalkannya.
Urf menurut Abdul Wahab Khalaf adalah:
"Urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh banyak orang dan dikerjakan oleh
mereka, baik dari perkataan atau perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan.
Hal ini juga dinamakan adat. Dan menurut para ahli hukum islam tidak ada
perbedaan antara urf dengan adat".
Berdasarkan pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa urf dan adat adalah
sesuatu yang memiliki arti yang sama.
Urf ada 2 macam, yaitu urf shahih (urf yang sah/benar) dan urf fasid (urf yang
buruk).
a. Urf shahih

Urf shahih adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang dan tidak menyalahi
dalil atau syari'at yang sudah ada, juga tidak menghalalkan sesuatu yang telah
dihramkan dan tidak membatalkan sesuatu yang telah diwajibkan.
Dan telah disepakati bahwa urf shahih harus digunakan dan dipelihara dalam
pembentukan hukum dan pengadilan.
Contoh urf yang sesuai dengan syariat islam adalah kebiasaan masyarakat di
zaman jahiliyah yang selalu menghormati tamu, dengan cara memberi makan,
minum dan tempat tinggal untuk mereka (tamu).
Dan semua perbuatan itu di benarkan dalam syati'at islam. Maka para ulama
menyepakati untuk melestarikannya.
11
b. Urf fasid
Urf fasid adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang akan tetapi berlainan
dengan dalil atau syari'at yang sudah ada, juga dapat menghalalkan sesuatu
yang telah dihramkan dan dapat membatalkan sesuatu yang telah
diwajibkan. Urf fasid atau urf yang rusak tidak diharuskan untuk
menggunakannya, karena jika menggunakannya berarti kita menentang dalil
syara' atau bahkan membatalkan dalil syara'.
Contoh urf fasid adalah kebiasaan buruk seperti berzina, berjudi, minum
khamar, makan riba dan sejenisnya.
Sedangkan contoh dalam masyarakat kita sekarang seperti tradisi menyajikan
sesajen dikuburan atau di tempat -- tempat angker dan merayakan ulang tahun
yang biasa dilakukan oleh orang -- orang kafir. Maka para ulama setuju untuk
mengharamkan urf seperti ini.

2. Macam-macam ‘Urf

a. ‘Urf ‘Amali
‘Amali artinya: yang bersifat amal atau perbuatan.
‘Urf ‘Amali artinya: adat kebiasaan yang bersifat perbuatan.
Misalnya:
Orang kalau sudah ambil barang di toko, lalu pergi ke kasir, artinya dia mau
beli barang-barang itu. Lalu dia bayar dan meninggalkan toko. Praktik jual-
beli seperti itu menurut adat kebiasaan adalah sah.
Bila orang sudah duduk di warung, lalu pesan makanan dan minuman, maka
setelah itu dia harus bayar. Dia beli. Bukan gratis.

b. ‘Urf Qauli
Qauli artinya: yang bersifat perkataan.
‘Urf Qauli artinya: adat kebiasaan yang bersifat perkataan.
Misalnya:
Orang menyebut daging untuk daging ayam, kambing, sapi dan unta. Ikan
tidak termasuk. Hal itu berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di tengah
masyarakat.

c. ‘Urf ‘Am
‘Am artinya: umum. Diketahui atau dilakukan oleh semua orang.
‘Urf ‘Am artinya: adat kebiasaan yang dilakukan dan diketahui oleh semua
orang

12
d. ‘Urf Khash
Khash artinya: khusus. Lawan dari ‘am.
‘Urf Khash artinya: adat kebiasaan yang berlaku bagi sebagian masyarakat.
Misalnya:
Bila orang Jawa menyebut kata “ikan”, maka maksudnya adalah lauk, seperti:
tempe, tahu, ikan, daging. Adat atau kebiasaan ini pada umumnya berlaku di
Jawa saja.

e. ‘Urf Shahih
Shahih artinya: benar, sesuai syariat.
‘Urf Syar’i artinya: adat kebiasaan yang sesuai dengan syariat.
Misalnya:
Orang yang berbuat jahat harus dihukum. Orang yang bekerja dengan baik
berhak menerima upah. Orangtua harus dimuliakan. Tamu harus dihormati.
Anak harus dicukupi seluruh kebutuhannya.
f. ‘Urf Fasid
Fasid artinya: salah, bertentangan dengan syariat.
‘Urf Fasid artinya: adat kebiasaan yang bertentangan dengan syariat.
Misalnya:
Tamu datang disuguhi minuman keras. Diajak berzina. Atau hal-hal lain yang
bertentangan dengan syariat.
Semua itu merupakan contoh ‘Urf yang harus ditinggalkan.

F.Saddu dzari ah
Secara bahasa kata saddu berarti "menutup" dan kata dzariah berarti
"wasilah" atau "jalan ke suatu tujuan". Dengan demikian saddu dzari'ah
secara bahasa berarti "menutup jalan kepada suatu tujuan"

Saddu dzari'ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya


mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Contohnya seseorang yang memiliki atau dikenai zakat, akan tetapi sebelum
genap satu tahun dia menghibahkan hartanya kepada orang lain.

Hibah dalam syariat islam adalah perbuatan yang baik yang dapat
mendatangkan kemaslahatan. Tetapi jika niatnya tidak baik, misalkan
menghibahkan harta untuk menghindar dari kewajiban membayar zakat,
maka hukumnya tidak di perbolehkan.

13

Hal ini di dasarkan pada hukum dari zakat dan hibah. Zakat hukumnya wajib
sedangkan hibah hukumnya sunnah.

Contoh lain, tidak diperbolehkan menanam ganja untuk menutup jalan


menuju kerusakan yang bisa di sebabkan oleh ganja, yaitu digunakan orang --
orang untuk mabuk. Dan juga tidak di perbolehkan membangun atau
membuat diskotik karena biasanya di jadikan sebagai tempat untuk berbuat
maksiat.

G. Syaru Manqoblana

Secara bahasa, Syar’u Man Qablana itu terdiri beberapa kata:

a. Syar’u: syariat, hukum yang berlaku.


b. Man: orang, manusia, umat.
c. Qablana: sebelum kita.

Syar’u Man Qablana yaitu: hukum-hukum yang Allah syariatkan kepada


umat para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Seperti syariat Nabi Ibrahim,
Nabi Musa dan Nabi Isa alaihimus salam.”

Demikian definisi Syar’u Man Qablana secara bahasa dan istilah.

1. Contoh Syar’u Man Qablana

Berikut beberapa contoh dari Syar’u Man Qablana:


a.. Diharamkannya semua binatang berkuku

Allah menetapkan bahwa Bani Israil dilarang untuk memakan daging semua
binatang yang berkuku.

b. Disunnahkannya hidup membujang

Allah Swt. menetapkan syariat bagi Nabi Zakariya dan Yahya. Bahwa
membujang itu lebih utama daripada menikah.

c. Diwajibkannya hukuman qishash

Allah Swt menetapkan bagi syariat Nabi Musa. Bahwa hukuman qishash itu
wajib diterapkan.

2. Macam-macam Syar’u Man Qablana


Syar’u Man Qablana yang disebut dalam al-Qur’an atau hadits, dan
dinyatakan masih berlaku

Ada Syar’u Man Qablana yang disebutkan dalam al-Qur’an atau


hadits. Namun syariat itu dinyatakan oleh al-Qur’an atau hadits
masih berlaku. Misalnya:
a) hukuman qishash dalam pembunuhan.
b) menyembelih binatang qurban.
c) diharamkannya daging babi.
d) kewajiban melaksanakan puasa, yaitu: puasa Ramadhan

Syar’u Man Qablana yang disebut dalam al-Qur’an atau hadits, dan
dinyatakan sudah tidak berlaku

Ada syariat yang berlaku untuk umat terdahulu, namun kemudian


dihapus oleh syariat Nabi Muhammad Saw. Misalnya:

Allah mengharamkan semua binatang yang berkuku, lemak sapi dan


domba, kecuali yang melekat di punggungnya, atau yang dalam isi
perutnya, atau yang bercampur dengan tulang bagi orang-orang
Yahudi.

a) Syar’u Man Qablana yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an maupun


hadits Di dalam syariat para nabi sebelumnya Nabi Muhammad Saw.
tentunya terdapat banyak hukum yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an
maupun hadits. Inilah yang kemudian kita kenal sebagai Israiliyat.
b) Syar’u Man Qablana yang disebutkan dalam al-Qur’an atau hadits dan
tidak ada keterangan apakah masih berlaku atau tidak Adakalanya dalam
al-Qur’an dan hadits itu disebutkan syariat umat terdahulu. Namun tidak
diterangkan, apakah syariat itu masih berlaku untuk umat Nabi
Muhammad ataukah tidak.

Misalnya:

Mahar Nabi Musa alaihis salam ketika menikah dengan putri Nabi Syu’aib
adalah bekerja padanya selama beberapa tahun.

H.Istidlal

1. Pengertian Istidlal

Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata istadalla yang berarti: minta
petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Imam al-Dimyathi
memberikan arti istidlal secara umum, yaitu mencari dalil untuk mencapai
tujuan yang diminta.

Definisi di atas menunjukan bahwa seorang mujtahid dalam memutuskan


sesuatu keputusan hukum hendaklah mendahulukan Alquran, kemudian As-
Sunnah, lalu al-Ijma selanjutnya Al-qiyas. Dan jika Ia tidak menemukan pada
Alquran, As-Sunnah, Al-Ijma dan Al-Qiyas, maka hendaklah mencari dalil
lain ( Istidlal )

Istidlal mencari dalil tentang sesuatu yang tidak ada nash khusus di dalam Al
Quran, As Sunnah maupun Ijma dan Qiyas. Sehingga dengan melakukan
pendeketan dan penarikan kesimpulan maka didapatkan dalil tentang sesuatu
tersebut.

Sebagaimana kita ketahui bahwasanya Hukum dalam Agama Islam adalah:

a. Al Quran
b. As Sunnah (Hadis).
c. Ijma Ulama
d. Qiyas.

Namun jika dari keempat tersebut masih tidak ditemukan, maka dapat
dilakukan dengan berbagai pendekatan yang disebut dengan Istidlal
2. Dasar Hukum Istidlal

Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala urusan dan permasalahan


kepada al-Qur'an & Sunnah, sebagaimana firman Allah pada (QS.4:59) yang
artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59).

Imam Ibnu Katsir berkata bahwa ini perintah Allah untuk mengembalikan semua
permasalahan yang diperselisihkan baik pada masalah dasar-dasar agama atau
cabangnya kepada Al-Qur'an dan sunnah" (Ibnu Katsir, tt: I/ 338). Mafhumnya,
menunjukkan larangan untuk menyandarkan permasalahan hanya kepada akal
semata.

KESIMPULAN

Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan


berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan
untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian
diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad dilakukan
adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia
semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai
solusi terhadap problematika tersebut. Jenis-jenis ijtihad adalah ijma', qiyas, dan
maslahah mursalah.

18

Anda mungkin juga menyukai