Anda di halaman 1dari 11

PERTEMUAN KE-2

RAGAM BAHASA
Tujuan Perkuliahan:
1. Mahasiswa dapat memahami ragam bahasa
2. Mahasiswa dapat memahami laras bahasa
3. Mahasiswa dapat memahami bahasa lisan dan tulis
4. Mahasiswa dapat memahami bahasa Indonesia yang baik dan benar
5. Mahasiswa dapat menerapkan ragam bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari

A. Ragam Bahasa Indonesia


Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan segala ide,
perasaan, dan gagasan. Tiap-tiap individu tentu memiliki keterampilan bahasa yang
bergantung dari seberapa banyak pembendaharaan kata yang telah dikuasai. Penguasaan
bahasa dari setiap individu tentu dapat juga dijadikan sebagai tolok ukur dalam mengetahui
tingkat pengetahuan, kecerdasan, dan pengalamannya. Apabila tolok ukur tersebut semakin
meningkat maka individu tersebut tentu akan dengan mudah membangun interaksi dengan
orang lain.
Komunikasi antarindividu dapat terjalin dengan menggunakan bahasa baik secara
lisan maupun tulisan. Dalam proses komunikasi tentu harus melibatkan dua pihak, yaitu
komunikan dan komunikasi. Komunikasi yang dilakukan secara lisan melibatkan dua pihak
berbeda yang dikenal sebagai pembicara dan pendengar sedangkan komunikasi yang
dilakukan secara tulisan dikenal sebagai penulis dan pembaca. Kedua belah pihak tersebut
dapat menjalin komunikasi apabila ada keperluan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan
situasi dan kondisi saat mereka berinteraksi. Berbagai sudut pandang situasi dan kondisi
pembicaraan, topik atau isi pembicaraan, dan hubungan antara dua belah pilah yang
menggunakan bahasa inilah dapat menjadi faktor munculnya ragam bahasa (Satata, 2019:
28).
Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang berdasarkan pemakaiannya dapat
dibedakan menurut topik (apa yang dibicarakan), hubungan pelaku (dengan siapa dan
tentang siapa ia berbicara), dan medium pembicaraan (Kridalaksana, 2010: 3). Singkatnya,
ragam bahasa menurut pemakaiannya tidak lepas dari adanya situasi dan fungsi yang
memunculkan variasi tersebut. Seperti halnya ragam bahasa yang dianggap memiliki ragam
yang paling baik seperti ragam bahasa yang digunakan oleh penutur dari kalangan terdidik
dan kalangan ilmiah dalam situasi resmi atau bahasa resmi (bahasa baku) (Satata, 2019).
Namun, kaitannya dengan kemunculan ragam bahasa tentu tidak lepas juga dari pemakai
bahasanya (dialek). Kridalaksana (2010) menyebutkan bahwa dialek terdiri atas dialek
temporal, dialek regional, dan dialek sosial. Dialek temporal merupakan variasi bahasa
yang dipakai pada kurun waktu tertentu, misalnya dialek Melayu yang digunakan pada
masa kerajaan Sriwijaya dan Mataram Kuno. Dialek regional merupakan variasi bahasa
yang dipakai di daerah tertentu, misalnya bahasa Melayu dialek Medan, Riau, Aceh, atau
bahasa Jawa dialek Banyumasan, Solo, dan Yogyakarta. Dialek sosial merupakan variasi
bahasa yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu, misalnya dialek remaja, dialek wanita,
dialek orang yang berpendidikan, dan dialek orang yang tidak berpendidikan.
Selain dialek, kemunculan ragam bahasa dipengaruhi juga oleh adanya idiolek.
Idiolek merupakan keseluruhan ciri-ciri bahasa seseorang yang mana tiap-tiap orang
memiliki gaya berbahasanya masing-masing, baik dari sisi pelafalan, gramatika, atau
pilihan kata yang digunakan. Sejauh mana seseorang bisa fasih dalam berbicara dengan ciri
khasnya saat menjalin komunikasi dengan orang lain. Masih dalam topik ragam bahasa,
Nababan dalam Rahayu (2019) mengemukakan bahwa ragam bahasa adalah perbedaan-
perbedaan bahasa yang timbul karena aspek dasar bahasa, yaitu bentuk dan maknanya yang
menunjukkan perbedaan kecil atau besar antara penutur yang satu dengan yang lainnya.
Khususnya dalam bahasa Indonesia, perbedaan bahasa tersebut dapat dibedakan
berdasarkan penutur dan pemakaian bahasanya. Alwi dalam Rahayu (2019: 11)
menambahkan bahwa ragam bahasa Indonesia berdasarkan penutur dapat dilihat dari
daerah, pendidikan, dan sikap penutur, sedangkan ragam bahasa Indonesia berdasarkan
pemakaian bahasa dapat dilihat dari bidang/pokok persoalan, sasaran, dan gangguan
percampuran, sebagai berikut:

1. Berdasarkan Daerah Asal Penutur


Ragam-ragam bahasa Indonesia dari sudut daerah penutur ini sering disebut logat.
2. Berdasarkan Pendidikan Penutur
Dalam hal ini dibedakan adanya bahasa Indonesia ragam orang berpendidikan dan orang
tidak berpendidikan.
3. Berdasarkan Sikap Penutur
Ragam bahasa berdasarkan sikap dapat dibedakan atas ragam resmi, ragam akrab, ragam
santai, dan sebagainya.
4. Berdasarkan Pokok Permasalahan
Ragam bahasa menurut pokok permasalahan dibedakan adanya ragam bahasa bidang
agama, politik, militer, teknik, kedokteran, seni, dan sebagainya.
5. Berdasarkan Sarana
Berdasarkan sarana dapat dibedakan atas dua, yaitu ragam lisan dan ragam tulis.
6. Berdasarkan Gangguan Percampuran
Pada dasarnya ragam bahasa Indonesia mengalami percampuran dengan ragam bahasa
yang tidak mengalami percampuran.
Selain itu, ragam bahasa berdasarkan pokok pembicaraannya dapat dispesifikasikan
kembali menjadi berbagai macam bidang. Kridalaksana (2010) menambahakan bahwa ragam
bahasa yang ditinjau dari pokok pembicaraan atau permasalahan, diantaranya:
1. Ragam Undang-undang
Ragam bahasa yang digunakan pada undang-undang yang diberlakukan untuk hukum
di Indonesia. Ragam ini pada dasarnya tunduk pada bahasa Indonesia. Namun, bahasa
undang-undang memiliki corak tersendiri, yaitu bercirikan kejernihan atau kejelasan
pengertian, kelugasan, objektif, ketaatan asas sesuai kebutuhan hukum baik dalam
perumusan maupun cara penulisannya.
Contoh kasus :
“Jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 serta pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sumber : https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/813/bahasa-perundang-
undangan

Pemilihan kata ‘dilaksanakan’ pada ayat tersebut bermakna ‘dijalankan’


sehingga sangat aneh jika jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak serta
pendapatan daerah ‘dilaksanakan’ sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Yang dapat dilaksanakan adalah ‘pekerjaan atau tugas’, bukan jenis dan
tarif serta pendapatan daerah seperti pada ketentuan di atas. Oleh karena itu, agar sesuai
dengan norma yang baku kata tersebut seharusnya diganti menjadi ‘ditetapkan’.
2. Ragam Jurnalistik
Ragam bahasa yang digunakan oleh wartawan atau jurnalis dalam menyampaikan
sebuah berita. Bahasa jurnalistik harus jelas, lugas, dan mudah dipahami oleh pambaca
dengan ukuran intelektual minimal, namun harus tetap mengikuti kaidah bahasa
Indonesia (Kurniawan, 1997). Sejalan dengan Waridah (2018) bahwa ragam bahasa
jurnalis haruslah sesuai dengan norma tatabahasa yang antara lain terdiri atas susunan-
susunan kalimat yang benar dan pemilihan kata yang tepat, bahkan laras bahasa jurnalis
itupun termasuk dalam laras bahasa baku.
Contoh kasus:
“IPTN berkabung, bangsa Indonesia berduka. Sebuah pesawat CN-23 versi militer
yang sedang melakkan uji dan latihan penerjunan kargo jatuh di Gorda, Serang, Jawa
Barat, kemarin (22/5) pukul 13.28 WIB.” (Republika dalam Kurniawan, 1997)

Sumber: http://eprints.uny.ac.id/4881/1/Bahasa_Indonesia_Ragam_Jumalistik.pdf

Kurniawan (1997) menjelaskan bahwa contoh kasus tersebut dapat


menunjukkan bahwa bahasa jurnalistik mengutamakan daya komunikasi yang
ditunjukkan dengan kepadatan, kesederhanaan, dan kelugasan pemakaian kalimat dan
pilihan kata yang lancar dan jelas.
3. Ragam ilmiah
Ragam bahasa yang menggunakan penggunaan pengejaan dan tanda baca yang benar,
serta pemakaiannya disesuaikan dengan sifat keilmuan. Ragam bahasa ilmiah memiliki
ciri-ciri, yaitu baku, logis, kuantitatif, cendekia, tepat, denotatif, dan runtut.
Contoh kasus:
(1) Kwalitas pendidikan di Indonesia semakin meningkat. (salah) → tidak baku
(2) Kualitas pendidikan di Indonesia semakin meninkat. (benar) → baku
(3) Waktu dan tempat kami persilakan. (salah) → tidak logis
(4) Bapak Sandi kami persilakan. (benar) → logis
(5) Untuk menanam pohon itu, diperlukan lubang dengan kedalaman beberapa
meter. (salah) → tidak kuantitatif
(6) Untuk menamam pohon itu, diperlukan lubang dengan kedalaman satu setengah
meter. (benar) → kuantitatif
(7) Hiruk pikuk keramaian pasar membuat ia terhenti belajar, sebab Andi tidak
terbiasa dengan keramaian dan kebisingan. (salah) → tidak cendikia
(8) Andi tidak terbias belajar di tempat yang ramai dan bising. (benar) → cendikia
(9) Warga baru sadar setelah datang longsor kedua. (salah) → tidak tepat
(10a) Warga itu baru sadar setelah longsor yang kedua datang. (benar) → tepat
(10b) Warga yang baru itu sadar setelah longsor yang kedua datang. (benar) → tepat
(11) Banyak sekali anggota dewan yang datang menghadiri rapat di Gedung MPR.
(salah) → kias
(12) Seribu anggota dewan datang menghadiri rapat di Gedung MPR. (benar) →
denotatif
(13) Ia menulis laporan, mengamati data, dan menyerahkan laporan itu. (salah) →
tidak runtut
(14) Ia mengamati data, menulis laporan, dan menyerahkan laporan itu. (benar) →
runtut.

Sumber: Rahayu, dkk (2015)

4. Ragam sastra
Ragam bahasa yang sering digunakan oleh penulis sastra atau sastrawan seperti dalam
karya sastra cerpen, novel, puisi, dan lain-lain. Ragam sastra menekankan pada aspek
estetik yang dominan. Ragam ini dikenal dengan istilah stilistika.
Contoh kasus:
Puisi Sapardi Djoko Damono
Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana


dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana


dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

5. Ragam kedokteran
Ragam bahasa kedokteran merupakan salah satu jenis ragam bahasa yang berkaitan
dengan bidang profesi/fungsional tertentu. Misalnya, terdapat istilah-istilah penyakit
dalam bidang kesehatan atau kedokteran, seperti Hepatitis, Aedes Aegepty, diabetes,
dan lain-lain.

Selain dilihat berdasarkan penutur dan jenis pemakaiannya, serta pokok permasalahan
atau pembiacaannya, ragam bahasa pun dapat dibedakan berdasarkan media pengantarnya dan
berdasarkan situasi pemakaiannya (Finoza dalam Rahayu, 2019: 11). Berdasarkan media
pengantarnya, ragam bahasa terdiri dari ragam lisan dan tulis, sedangkan berdasarkan situasi
pemakaiannya, ragam bahasa terdiri dari ragam formal, ragam semiformal, dan ragam
nonformal.
B. Ragam Lisan dan Tulis Sebagai Media Pengantar Bahasa
1. Ragam Lisan
Ragam lisan adalah bahasa yang diucapkan secara langsung oleh pengguna bahasa
dengan memperhatikan penekanan nada dan maksud yang ingin disampaikan. Seperti
halnya ketika seseorang sedang berbicara dengan orang lain misalnya interaksi antarteman,
pedagang, dan rekan kerja dengan menunggunakan bahasa yang santai (nonstandar), atau
pun mendengarkan orang yang sedang berpidato dan memberikan sambutan dalam situasi
resmi dengan menggunakan bahasa yang standar.
Ragam bahasa lisan adalah bahasa yang dihasilkan dari adanya proses pengucapan
kosa kata sebagai unsur dasarnya (Satata, 2019: 32). Ragam bahasa lisan ini lebih dikenal
sebagai ujaran atau tuturan bukan kalimat yang mana selalu bersinggungan dengan tata
bahasa, kosakata, dan lafal. Pemakai ragam bahasa lisan atau pembicara dalam ujarannya
dapat memanfaatakan penekanan suara, wajah, gerak tangan atau isyarat untuk
mengungkap makna atau ide. Selain itu, penggunaan ragam lisan kerap disertai dengan
tampilan ekspresif dari gekstur mimik, tubuh, dan intonasi yang bisa menyamarkan maksud
perkataan sebenarnya. Dalam hal ini tentu pengguna ragam lisan perlu berhati-hati dalam
berbicara agar tidak ada kesalahpahaman yang dapat membuat lawan bicara tersinggung.
Ciri-ciri ragam bahasa lisan:
a. Memerlukan kehadiran orang lain (langsung)
b. Unsur gramatikal tidak diungkapkan secara lengkap
c. Terikat ruang dan waktu
d. Tidak terikat ejaan bahasa Indonesia tetapi terikat situasi pembicaraan
e. Penggunaan kalimat tidak efektif (basa-basi)
f. Dipengaruhi oleh intonasi suara
g. Kalimat sering terputus dan tidak lengkap
Satata (2019) mengemukakan bahwa dalam penggunaan ragam lisan dapat
dibedakan menjadi dua bagian, yaitu ragam lisan baku dan ragam lisan nonbaku. Ragam
lisan baku digunakan pada saat situasi formal atau resmi seperti halnya bahasa pengantar
yang digunakan di lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga pemerintahan.
Sedangkan ragam bahasa lisan nonbaku biasa digunakan pada situasi nonresmi atau
nonformal seperti halnya berkomunikasi dengan orang lain di perjalanan, warung makan
atau warung kopi, pasar atau pusat perbelanjaan, tempat wisata, dan lainnya.

2. Ragam Tulis
Ragam tulis adalah bahasa yang digunakan dan dituangkan dalam bentuk tulisan
atau cetak. Sama halnya dengan ragam lisan, ragam tulis memiliki bentuk standar dan
nonstandar. Ragam standar atau resmi sering mucul di dalam berbagai bentuk genre teks
seperti buku teks pelajaran, artikel, proposal, surat kabar, makalah ilmiah, dan skripsi/tesis.
Sedangkan, ragam tulis nonstandar sering dijumpai di berbagai teks iklan, poster, dan fiksi.
Rahardi dalam Satata (2019) menegaskan bahwa ragam tulis merupakan bahasa yang
muncul dalam konteks tertulis saja. Ragam tulis lebih memperhatikan pemakaian tanda
baca, ejaan, pemilihan diksi/kata, struktur gramatikal yang berkaitan dengan
pengembangan tulisan.
Ragam tulis memerlukan kecermatan dan ketelitian dalam penggunaannya,
tergantung pada tingkatan pengetahuan dan wawasan yang dimiliki oleh seorang penulis.
Penulis harus mampu memilih dan menyusun rangkaian kata hingga menjadi sebuah
kalimat yang efektif jika memang ragam tulis yang digunakan bersifat standar atau resmi
(formal). Selain itu, tulisan yang dibuat oleh penulis harus sampai maknanya kepada
pembaca untuk menghindari kesalahpahaman dan penafsiran.
Ciri-ciri ragam bahasa tulis:
a. Tidak memerlukan kehadiran orang lain
b. Unsur gramatikal dihadirkan secara legkap
c. Tidak terikat ruang dan waktu
d. Dipengaruhi oleh tanda baca dan ejaan, sesuai dengan pedoman
e. Penggunaan kalimat efektif
f. Penggunaan kosa kata yang baku
C. Ragam Formal dan Nonformal dalam Situasi Pemakaian Bahasa
1. Ragam Formal
Ragam formal adalah ragam yang digunakan oleh pemakai bahasa saat situasi resmi
atau formal, dan lingkungan kedinasan. Ragam bahasa formal dapat digunakan secara lisan
maupun tulisan. Ragam formal yang digunakan secara lisan lebih mengedepankan pada
pilihan kata, sikap penutur, serta situasi pembicaraan. Lain halnya dengan lisan, secara
tulisan lebih menitikberatkan pada pilihan kata (diksi), ejaan, dan format atau kaidah
bahasa yang resmi (Satata, 2019: 30). Adapun Nasucha dalam Satata (2019) menyebutkan
bahwa ragam formal memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Menggunakan gramatikal secara eksplisit dan konsisten
b. Menggunakan imbuhan secara lengkap
c. Menggunakan kata ganti baku
d. Menggunakan EYD
e. Menghindari unsur kedaerahan
Kaitannya dengan ragam bahasa formal dan baku, Kridalaksana (2010)
menambahkan bahwa setidaknya terdapat empat fungsi bahasa yang menuntut
penggunaan ragam baku dalam berbahasa formal, yaitu: (1) komunikasi resmi, (2) wacana
teknis, (3) pembicaraan di depan umum, dan (4) pembicaraan dengan orang yang
dihormati.
2. Ragam Nonformal
Terdapat perbedaan yang mencolok antara ragam formal dan ragam nonformal.
Perbedaan yang terdapat pada ragam nonformal yakni ragam bahasa yang sering digunakan
saat situasi tidak resmi, santai, dan dapat menimbulkan keakraban antarpemakai bahasa.
Hal yang menjadi pokok dalam cakupan ragam nonformal ialah mengutamakan peran
komunikasi untuk saling memahami dan menghindari kesalahan. Satata (2019)
menyebutkan bahwa tujuan penggunaan ragam nonformal baik yang disampaikan dengan
lisan maupun tulisan sebagai berikut:
Penggunaan ragam nonformal dengan lisan :
a. Berbicara sehari-hari
b. Bergunjing
c. Bercerita
d. Mengobrol
Penggunaan ragam nonformal dengan tulisan:
a. Menulis surat atau pesan kepada teman, kerabat, dan sahabat
b. Menulis surat atau pesan kepada kekasih
c. Menulis catatan harian

D. Laras Bahasa
Laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa yang dipakai dengan fungsi pemakaian
bahasa. Laras bahasa dikenal juga dengan istilah gaya atau style. Dalam pemakaiannya sangat
tergantung dengan bidang atau profesi yang sedang dijalani oleh seseorang atau komunikator.
Tidak hanya itu, laras bahasa dapat tergantung juga dengan kesesuaian umur komunikan. Atas
dasar itu, perlu ada keselarasan bahasa yang digunakan antarpemakai bahasa agar maksud dan
tujuan pembicaraan dapat tercapai dan tersampaikan dengan baik.
Rahayu (2015: 12) menambahkan bahwa laras bahasa dapat terkait langsung dengan
selingkung bidang (home style) dan keilmuan sehingga dikenallah laras bahasa ilmiah dengan
bagian sub-sublarasnya. Perbedaan diantara sub-sublaras bahasa seperti laras ilmiah dapat
diamati dari:
a. Penggunaan kosakata dan bentukan kata
b. Penyusunan frasa, klausa, dan kalimat
c. Penggunaan istilah
d. Pembentukan paragraf
e. Penampilan hal teknis
f. Penampilan kekhasan dalam wacana
Laras bahasa dapat diperjelas kembali dengan memahami dua konsep, yaitu
pengguna (penutur atau penulis) dan penggunaan (Kuntarto, 2017: 44). Artinya, pengguna
sebagai orang yang menggunakan bahasa dapat menimbulkan dialek, sedangkan
penggunaan adalah bagaimana sesuatu bahasa itu gunakan secara berbeda-beda dalam
berbagai situasi. Berdasarkan fungsi penggunaannya laras bahasa dapat dipilah menjadi
laras biasa atau umum, laras akademik atau ilmiah, laras perniagaan, laras perundangan,
laras sastra, laras iklan, dan sebagainya.

E. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar


Terdapat dua hal yang perlu dipahami bersama yaitu bahasa Indonesia yang baik dan
bahasa Indonesia yang benar. Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang dapat
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pembicaraan. Melihat konteks sebagai hal yang
paling penting dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik tentu perlu dilakukan, sebab
dengan memperhatikan konteks (situasi dan kondisi) saat berbicara dapat mempengaruhi baik
atau tidak dan tepat atau tidak tepat bahasa yang digunakan. Ada saatnya para penutur sedang
dalam keadaan duka cita, darurat, situasi fokus, santai, kekeluargaan, dan sebagainya. Berikut
ciri-ciri penggunaan bahasa Indonesia yang baik:
1. Sesuai dengan situasi penggunaan
2. Menekankan aspek komunikasi bahasa
3. Memperhatikan petutur dan penutur (usia, status sosial, pendidikan, lingkungan sosial, dsb)
4. Bahasa yang baik belum tentu benar.
Selanjutnya, bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang dapat
menyesuaikan dengan kaidah-kaidah ketatabahasaan yang berlaku. Satata (2019)
menyebutkan bahwa terdapat lima kaidah ketatabahasaan, yaitu : (1) morfologi (tata bentuk),
(2) fonologi (tata bunyi), sintaksis (tata kalimat), semantik (tata makna), dan EYD (tata tulis).
Selain itu, bahasa Indonesia yang benar memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia
2. Menekankan aspek kaidah bahasa
3. Memperhatikan tata bahasa, ejaan, pilihan kata, dan tata bunyi
4. Bahasa yang baik benar belum tentu baik
Daftar Pustaka
Kridalaksana, H. (2010). Masa-masa Awal Bahasa Indonesia. Depok: Laboratorium
Leksikologi dan Leksikografi FIB Universitas Indonesia.

Kuntarto, E. (2017). Modul Mata Kuliah Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jambi:
Universitas Jambi.

Kurniawan, K. (1997). Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik. Yogyakarya: Lumbung Pustaka


UNY. Diakses dari http://eprints.uny.ac.id/4881/ pada tanggal 20 Juni 2022.

Rahayu, T, dkk. (2015). Mahir Berbahasa Indonesia: Bahan Ajar di Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: PBSI FKIP UAD.

Satata, S, dkk. (2019). Bahasa Indonesia untuk Perguruan: Mata Kuliah Wajib Universitas.
Yogyakarta: Mitra Wacana Media.
Waridah (2018). Ragam bahasa jurnalistik. Journalistic Language Variety. 4(2/10), 121-129,
doi:10.31289/simbollika.v4i2.1822.

Anda mungkin juga menyukai