Anda di halaman 1dari 20

Seri Buku Pint ar Ekonom i Islam

Fiqh Ekonomi Islam

Team Pusat Riset dan Pengembangan Masyarakat


Regional Jabodetabek
Disusun oleh:
Bazari Azhar, STEI Tazkia
Fiqh Ekonomi Islam
Bazari Azhar Azizi/STEI Tazkia

I. Pendahuluan

a. Pengertian Islam

Islam adalah kata bahasa Arab yang terambil dari kata salima yang berarti
selamat, damai, tunduk, pasrah dan berserah diri. Objek penyerahan diri ini adalah
Pencipta seluruh alam semesta, yakni Allah SWT. Dengan demikian, Islam berarti
penyerahan diri kepada Allah SWT, sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an surat Ali
Imran, yang artinya:
“sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah adalah Islam...”
Tegasnya, agama di sisi Allah ialah penyerahan diri yang sesungguhnya kepada
Allah. Jadi walaupun seseorang mengaku beragama Islam, kalau dia tidak menyerah
yang sesungguhnya kepada Allah, belumlah dia Islam, sebab dia belum
menyerah/tunduk. Penyerahan diri inilah yang akan membawa keselamatan dan
kebahagiaan hidup bagi manusia.
Selanjutnya, Islam memandang bahwa hidup manusia di dunia ini hanyalah
sebagian kecil dari perjalanan kehidupa manusia, karena setelah kehidupan di dunia ini
masih ada lagi kehidupan akhirat yang kekal abadi. Namun demikian, nasib seseorang
di akhirat nanti sangat bergantung pada apa yang dikerjakannya di dunia, sebagaimana
sabda Nabi Muhammad SAW: “ad dunya mazra’at al akhirat” (dunai adalah ladang
akhirat). Di sinilah letaknya peranan Islam sebagai pedoman dan petunjuk hidup
manusia di dunia. Islam memberikan petunjuk mengenai bagaimana caranya menjalani
kehidupan dengan benar agar manusia dapat mencapai kebahagiaan yang
didambakannya itu, baik di dunia maupun di akhirat.
Konsekuensi dari pandangan di atas adalah bahwa ajaran Islam itu tidak hanya
terbatas pada masalah hubungan pribadi antara seorang individu dengan penciptanya
(hablun minallah), namun mencakup pula masalah hubungan antarsesama manusia
(hablun minannas), bahkan juga hubungan antara manusia dengan makhluk lainnya
termasuk dengan alam dan lingkungan. Jadi, Islan adalah suatu cara hidup, way of life,
yang membimbing seluruh aspek kehidupan manusia (Karim:2007).

b. Sumber-sumber Hukum Islam/Syari’at

Dalam Islam terdapat sumber-sumber utama penetapan syariat dan hukum-hukum


Islam. sumber-sumber tersebut adalah:

1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyash
1. Al-Qur’an

Al-Qur’an secara etimologi berasal dari Bahasa Arab, yang berarti “bacaan”.Sedangkan
makna Al-Qur’an secara terminologi adalah Kalam Ilahi yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dengan perantara Malaikat Jibril, yang diturunkan secara berangsur-angsur,
yang berpahala apabila membacanya.
Al Quran itu ditulis, dibukukan, dimulai dengan surat Al Fatihah dan ditutup dengan
surat An Nas. Sampai kepada kita ditulis dengan jelas dan diuucapkan berpindah dari generasi
ke generasi berikutnya. Berupa hafalan, tidak pernah berubah dan bertukar letak. Sesuai
dengan firman Allah yang artinya “Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al Quran itu dan
Kami pula yang memeliharanya”.

Macam-macam Hukum di dalam Al Quran

Ada tiga macam hukum yang terdapat dalam Al Quran, yaitu:

Pertama,hukum i’tiqadiah, yaitu yang bersangkut apa-apa yang diwajibkan kepada


mukallaf tentang i’tiqadnya kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya
dan hari akhirat.
Kedua, hukum khulqiah, yaitu yang bersangkut dengan apa yang diwajibkan kepada
mukallaf, akan meningkatkan moral, budi pekerti, adab sopan santun, dan menjauhkan diri
dari sikap yang tercela.
Ketiga, hukum amaliah, yaitu yang bersangkut dengan apa yang bersumber dari
perkataan, perbuatan, perjanjian dan segala macam tindakan. Macam yang ketiga ini, fiqhul
Quran, yaitu maksud menyampaikan kepadanya itu ialah dengan ilmu ushul fiqh.

2. As-Sunnah

Definisi, sunah dalam arti syar’i, ialah apa yang bersumber dari Rasul. Perkataan, atau
perbuatan, atau ketetapannya.
Sunnah qualiyah, yaitu hadits-hadits yang diucapkan Nabi Muhammad SAW. Dalam
hal ini berbeda dengan tujuan dan penyeseuaiannya.
Sunnah fi’liyah, yaitu perbuatan Nabi Muhammad SAW. Seperti mengerjakan
sembahyang yang lima kali sehari semalam, dengan cara dan rukun-rukunnya. Mengerjakan
manasik haji. Mengadili perkara dengan seorang saksi. Menyumpahi orang yang mendakwah
(menuduh).
Sunnah takririyah, yaitu apa yang ditetapkan oleh Rasul, dari apa yang bersumber dari
sebagian sahabat. Berupa perkataan, perbuatan-perbuatan, dan berdiam diri saja dan tidak
mengingkarinya. Atau dengan menyetujuinya, dan menyatakan kebaikan-kebaikannya. Maka
diambil pelajaran dari ketetapan ini, dan menyetujui perbuatan yang bersumber dari Rasul itu
sendiri.

3. Ijma’ (Ijmak)
Definisi: Ijmak menurut istilah ushul fiqh ialah sepakat para mujtahid Muslim
memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap hukum syar’i, pada suatu
peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan kepada semua
Mujtahid di waktu terjadinya. Para Mujtahid itu sepakat memutuskan/menentukan hukumnya.
Kesepakatan mereka itu dinamakan ijmak. Ijmak mereka itu adalah suatu i’tibar terhadap
suatu hukum. Menurut mereka hukum ini adalah adil terhadap suatu masalah. Definisi ini
adanya yaitu setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena selagi Rasul masih hidup,
maka dia sendiri yang menjadi sumber tasyri’. Tidak ada penggambaran perbedaan pendapat
dalam syar’i, dan tidak ada kesepakatan. Kesepakatan itu baru ada, apabila lebih dari
seseorang.

- Rukun-rukun Ijma’

Dalam definisi itu dikatakan, bahwa sepakat semua mujtahid Muslim pada suatu masa
terhadap hukum syar’i. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa rukun ijmak itu ada empat.
Pertama, pada terjadinya peristiwa itu, mujtahid itu jumlahnya lebih dari seorang.
Karena kesepakatan itu tidak akan terwujud kalau pemikiran yang dikeluarkan itu jumlahnya
tidak lebih dari seorang. Seluruh pendapat itu setuju terhadap keputusan yang diambil itu.
Kalau pada waktu itu tidak ada sejumlah mujtahid, atau mujtahid itu hanya seorang maka
sudah barang tentu tidak mungkin diadakan sidang untuk memecahkan masalah yang
dihadapi. Hal ini bukan yang dimaksud dengan ijmak. Di masa Nabi Muhammad SAW masih
hidup, memang tidak ada ijmak, karena mujtahidnya hanya seorang saja, yaitu Nabi itu
sendiri.
Kedua, sepakat atas hukum syar’i, tentang suatu peristiwa. Seluruh mujtahid Muslimin
itu pada waktu terjadinya itu mengalihkan pandangannya dari negerinya, bangsanya, atau
golongannya. Kalau yang disepakati atas hukum syar’i dalam bukan atas suatu golongan.
Ketiga, ada kesepakatan itu dimulai. Tiap-tiap mereka itu mengeluarkan pendapat
terang-terangan tentang suatu peristiwa. Setiap mujtahid bersama-sama mengeluarkan suatu
pendapat, dan berkumpul pada masa terjadinya peristiwa yang mereka kemukakan itu. Di sini
diadakan pertukaran pendapat. Semua mereka itu sepakat atas suatu hukum.
Keempat, menetapkan kesempatan dari semua mujtahid terhadap suatu hukum. Dan
apabila hukum itu sudah disepakati, maka wajib diikuti, dan tidak boleh berbeda dengannya.
Tidak diperbolehkan bagi mujtahid pada masa sidang menjadikan peristiwa ini judul ijtihad.
Hukum itu tetap dengan ijmak, hukum syar’i itu qathi’. Jadi bukan menjadikannya sebagai
tempat untuk berbeda pendapat. Dan tidak boleh dinasikhkan.

4. Qiyash

Qiyash dalam Bahasa Arab berarti “penaksiran sesuatu terhadap yang lainnya untuk
mengetahui persamaan diantara keduanya”. Kias dalam istilah ushul, yaitu menyusul
peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi
hukumnya. Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua peristiwa pada
sebab hukum ini.
Menurut ulama-ulama ternama, bahwa kias itu merupakan hujah syar’i terhadap hukum
akal. Kias ini menduduki tingkat keempat, hujah syar’i. Sebab apabila dalam suatu peristiwa
tidak terdapat hukum yang berdasarkan nash, maka peristiwa ini dikiaskan kepada peristiwa
yang bersamaan sebelum sanksi hukum itu dijatuhkan kepadanya. Disamakan dengan
peristiwa-peristiwa yang dikiaskan itu. Hal demikianlah yang diatur oleh syari’at. Mukallaf
memperluas pendirian, mengikut dan mengamalkan kias ini. Dibangsakan kepada peristiwa
yang berdasarkan nash. Kias ini diakui oleh hukum.

c. Hubungan Antara Syariat dan Fiqh

Syariah adalah kata bahasa Arab yang secara harfiahnya berarti jalan yang ditempuh
atau garis yang mestinya dilalui. Secara terminologi, definisi syariah adalah peraturan-
peraturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau telah digariskan pokok-
pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin supaya mematuhinya, supaya syariah ini
diambil oleh orang Islam sebagai penghubung di antaranya dengan Allah dan di antaranya
dengan manusia. Jadi singkatnya, syariah itu berisi peraturan dan hukum-hukum, yang
menentukan garis hidup yang harus dilalui oleh seorang Muslim.
Menurut ajaran Islam, syariat itu berasal dari Allah. Sebab itu maka sumber syariat,
sumber hukum dan sumber undang-undang datang dari Allah sendiri, yang disampaikan
kepada manusia dengan perantara Rasul dan termaktub dalam kitab-kitab suci. Namun
demikian, tidak seperti akidah yang sifatnya konstan, syariah mengalami perkembangan
sesuai dengan kemajuan peradaban manusia. Sebabnya ialah karena setiap umat tentu
menghadapi situasi dan kondisi yang khas dan unik, sesuai dengan keadaan mereka sendiri,
hal-ihwal jalan pikirannya serta perkembangan keruhaniannya. Jadi, penerapan syariat ini
mengikuti evolusi peradaban manusia, seiring dengan diutusnya rasul-rasul kepada umat-umat
tertentu dan pada zaman-zaman tertentu. Proses perkembangan syariat ini pada akhirnya
tuntas dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW yang membawa syariat Islam.dengan
demikian tidak ada lagi perkembangan syariat sesudah Nabi Muhammad SAW, karena Islam
adalah agama yang sempurna dari Allah SWT.
Sebagaimana yang diketahui bahwa syariat Islam adalah hukum-hukum dan peraturan
yang dibebankan oleh Allah SWT kepada hamba-hambaNya. Syariat ini berisi perintah-
perintah dan larangan-larangan. Perintah dan larangan ini dalam bahasa teknis ilmu fiqih
disebut hukum taklifi. Ketika perintah dan larangan ini disampaikan kepada manusia, maka
timbul usaha untuk memahami dan menafsirkan perintah dan larangan tesebut. Pemahaman
dan penafsiran ini dilakukan secara sistematis oleh para ulama dengan menggunakan metode
tertentu. Hasil dari usaha sistematis untuk memahami dan menafsirkan perintah dan larangan
Allah SWT, inilah yang dinamakan fiqih. Jadi, singkatnya fiqih adalah tafsiran ulama atas
syariah.
Selanjutnya, karena syariah itu terbagi menjadi dua, yakni ibadah dan muamalah, maka
sebagai konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa fiqih pun terbagi menjadi dua, yakni fiqih
ibadah dan fiqih muamalah. Jadi, fiqih ibadah adalah tafsiran ulama atas perintah dan
larangan dalam bidang ibadah, sedangkan fiqih muamalah adalah tafsiran ulama atas perintah
dan larangan dalam bidang muamalah.
Dan skema hubungannya adalah sebagai berikut:

Shariaa

Fiqih

Muamalat
Ibadat
II. Fiqh

a. Definisi Fiqh

Secara bahasa, fiqh bermakna faham. Menurut Istilah, Imam Syafi’i memberikan definisi
yang komprehensif, “Al ‘ilmu bi al ahkam al syar’iyyah al amaliyah al muktasabah min
adillatiha at tafshiliyyah”. Yang berarti mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat
amaliyah (perbuatan) yang didapatkan dari dalil-dalil yang terperinci. Dengan kata lain bahwa
fiqh adalah ilmu atau pengetahuan tentang hukum-hukum syara’, yang berhubungan dengan
aktifitas dan perbuatan seorang mukallaf, baik perbuatan batin seperti niat, dan perbuatan
lahir, yang berlandaskan dari dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an, hadits, ijma’, ataupun
qiyas.

b. Objek pembahasan

Objek pembahasan fiqh adalah tindakan orang-orang mukallaf, atau segala sesuatu yang
terkait dengan aktifitas orang mukallaf. Dan yang dimaksud dengan mukallaf adalah orang-
orang baligh yang berakal, dimana segala aktifitas mereka terkait dengan hukum-hukum
syara’ (Zuhaili, 1989, I).

c. Ruang Lingkup Fiqh

Ruang lingkup pembahasan fiqh sangat luas, karena mencakup pembahasan tentang
hubungan manusia dan Allah SWT, dengan diri pribadinya, dan hubungannya dengan
masyarakat sekitarnya. Ilmu fiqh mencakup pembahasan tentang kehidupan dunia hingga
akhirat, urusan agama atau pun negara serta sebagai peta kehidupan manusia di dunia dan di
akhirat.
Untuk tujuan tersebut, hukum-hukum fiqh sangat terkait dengan segala aktifitas yang
dilakukan oleh seorang mukallaf, baik berupa ucapan, tindakan, akad, atau transaksi lainnya.
Secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua pembahasan fiqh:
1. Fiqh Ibadah (Hukum Ibadah); yang meliputi tata cara bersuci, shalat, puasa, haji,
zakat, nadzar, sumpah dan aktifitas sejenis terkait dengan hubungan seorang hamba
dengan Tuhannya.
2. Fiqh Muamalah (Hukum Muamalah); yang meliputi, tata cara melakukan akad,
transaksi, hukum pidana atau perdata dan lainnya yang terkait dengan hubungan antar
manusia atau dengan masyarakat luas.
Untuk fiqh muamalah, pembahasan yang ada sangat luas, mulai dari hukum pernikahan,
transaksi jual beli, hukum pidana, hukum perdata, hukum perundang-undangan, hukum
kenegaraan, ekonomi dan keuangan, akhlak dan etika (Zuhaili, 1989, I).

III. Sumber-sumber Fiqh dan Ushul Fiqh

a. Sumber-sumber Fiqh
Sumber-sumber fiqh adalah sumber daripada syara’ (hukum) pula, sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya. Sebagaimana disebutkan dalam definisi fiqh, bahwa fiqh
berlandaskan dari dalil-dalil yang terperinci. Dan dari definisi tersebut, terdapat empat sumber
utama daripada fiqh, keempat sumber tersebut adalah:

1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyash

b. Ushul Fiqh

1. Definisi Ilmu Ushul Fiqh

Ushul berasal dari kata ashl (jamaknya: ushul), yang berdasarkan ethymologi adalah
dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu. Pengertian ini sama dengan pengertian
ushul secara terminologi, karena ushul fiqh menurut terminologi adalah “dasar yang dijadikan
pijakan oleh ilmu fiqh”.
Oleh karena itu Syeikh Kamaluddin ibn Himam di dalam Tahrir memberikan definisi
ushul fiqh: “Ushul Fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat)
untuk menggali hukum-hukum fiqh”. Atau dengan kata lain, ushul fiqh adalah kaidah-kaidah
yang menjelaskan tentang cara (metode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang
berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i. Sebagai contoh, ushul fiqh
menetapkan, bahwa perintah (amr) itu menunjukkan hukum wajib, dan larangan (nahy)
menunjukkan hukum haram. (Zahrah: 2008)

2. Hubungan Ushul Fiqh dengan Fiqh

Hubungan ilmu Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah merupakan kaidah yang memelihara
fuqaha’ (jamak dari faqih) agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistinbathkan (menggali)
hukum. Disamping itu, fungsi ushul fiqh adalah membedakan antara istinbath yang benar
dengan yang salah. Sebagaimana ilmu nahwu berfungsi untuk membedakan antara susunan
bahasa yang benar dengan susunan bahasa yang salah.

3. Obyek Pembahasan Ushul Fiqh

Obyek pembahasan yang dibahas dalam Ushul Fiqh berbeda dengan obyek fiqh.
Obyek fiqh sebagaimana yang telah dijelaskan, adalah berhubungan dengan hukum yang
berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terperinci. Sedangkan
obyek ushul fiqh adalah methodologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua disiplin ilmu
tersebut (Fiqh dan Ushul Fiqh) sama-sama membahas dalil-dalil syara’, akan tetapi
tinjauannya berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum
cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Sedangkan Ushul Fiqh meninjau dari
segi methode penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatar
belakangi dalil-dalil tersebut.
IV. Teori Akad

a. Definisi Akad

Secara linguistik, akad memiliki makna “ar rabthu”, yang berarti menghubungkan
atau mengaitkan, mengikat antara beberapa ujung sesuatu. Dalam arti yang luas, akad dapat
diartikan sebagai ikatan antara beberapa pihak.
Menurut istilah, akad memiliki makna khusus. Akad adalah hubungan/keterkaitan
antara ijab dan qabul atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi
hukum tertentu (Zuhaili, 1989, IV). Dengan kata lain, bahwa akad merupakan keterkaitan
antara keinginan/statemen kedua pihak yang dibenarkan oleh syara’ dan akan menimbulkan
implikasi hukum tertentu. Dengan adanya akad, akan menimbulkan pindahnya, munculnya
ataupun berakhirnya suatu hak dan kewajiban.

b. Rukun akad

Rukun bisa diartikan sebagai perkara yang dijadikan sebagai landasan atas wujudnya
(eksis) sesuatu dan merupakan bagian inheren atas hakikat sesuatu itu. Sedangkan rukun akad
dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bisa digunakan untuk mengungkapkan
kesepakatan atas dua kehendak, atau sesuatu yang bisa disamakan dengan hal itu dari
tindakan, isyarat atau korespondensi.
Menurut mayoritas (jumhur) ulama, rukun akad dijelaskan secara terperinci. Rukun
tersebut terdiri atas ‘akid (pihak yang berakad), ma’qud ‘alaih (obyek akad), dan sighat (ijab
qabul).

1. ‘Akid (pihak yang berakad)

‘Akid adalah pihak yang akan melakukan transaksi, dalam hal jual beli mereka adalah
penjual dan pembeli. Ulama fiqh memberikan persyaratan atau kriteria yang harus
dipenuhi oleh ‘akid, yakni harus memiliki ahliyah dan wilayah.
Ahliyah adalah memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Dan
pada umumnya seseorang telah memiliki ahliyah jika telah baligh dan berakal. Wilayah
adalah hak atau kewenangan seseorang yang mendapat legalitas syar’i untuk melakukan
transaksi atas suatu obyek tertentu.

2. Ma’qud ‘Alaih (obyek akad)

Ma’qud ‘alaih adalah obyek transaksi, sesuatu dimana transaksi dilakukan di atasnya,
sehingga akan terdapat implikasi hukum tertentu. Ma’qud ‘alaih bisa berupa aset-aset
finansial (sesuatu yang bernilai ekonomis) atau pun aset non-finansial, seperti halnya
wanita dalam pernikahan, ataupun berupa manfaat seperti halnya dalam akad ijarah
(sewa).
Ma’qud ‘alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. Obyek transaksi harus ada ketika akad/kontrak sedang dilakukan.
b. Obyek transaksi harus berupa harta yang diperbolehkan syara’ untuk
/ditransaksikan, dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
c. Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan di
kemudian hari
d. Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
e. Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.

3. Shigat (ijabqabul)

Ijabqabul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan/ kesepakatan dua


pihak yang melakukan kontrak/akad. Ijab qabul dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk
(shigat) yang dapat menunjukkan kehendak dan kesepakatan. Bisa dengan menggunakan
ucapan, tindakan, isyarat, atau pun bentuk korespondensi. Ucapan dapat diungkapkan
dalam berbagai bentuk, yang terpenting dapat merepresentasikan maksud dan tujuannya.
Dalam ijab qabul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi. Ulama fiqh
berpendapat bahwa syarat ijabqabul adalah sebagai berikut (Al Kasani, V):
a. Adanya kejelasan maksud dari kedua pihak.
b. Adanya kesesuaian antara ijab dan qabul. Terdapat kesesuaian antara ijab dan
qabul dalam hal obyek transaksi atau pun harga.
c. Adanya pertemuan antara ijab dan qabul, dan diadakan dalam satu majlis.
d. Satu majlis akad, bisa diartikan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan kedua
pihak untuk membuat kesepakatan, atau pertemuan pembicaraan dalam satu obyek
transaksi.

c. Syarat Akad

Syarat adalah perkara yang dijadikan sebagai landasan atas wujudnya (eksis) sesuatu
dan bukan merupakan bagian dari inheren atas hakikat sesuatu itu.
Syarat dalam akad dapat dikategorikan menjadi 3 bagian, yaitu syarat shahih, fasid
(rusak), dan syarat bathil.
1. Syaratshahih adalah syarat yang sesuai dengan substansi akad, mendukung dan
memperkuat substansi akad, dibenarkan oleh syara’ atau sesuai dengan
‘urf(kebiasaan) masyarakat.
2. Syarat fasid adalah syarat yang tidak sesuai dengan salah satu kriteria yang ada
dalam syarat shahih. Dalam arti, ia tidak sesuai dengan substansi akad atau
mendukungnya, dan syarat itu hanya memberikan mafaat bagi salah satu pihak.
3. Syarat bathil adalah syarat yang tidak memenuhi kriteria syarat shahih, dan tidak
memberikan nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya. Akan tetapi,
menimbulkan dampak negatif bagi salah satu pihak.

d. Implikasi Akad

Setiap akad yang dibentuk oleh pihak yang melakukan transaksi, memiliki tujuan
dasar yang ingin diwujudkannya. Dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban
di antara pihak dan kewajiban di antara pihak yang bertransaksi. Sehingga secara tidak
langsung kedua pihak saling terikat dalam suatu akad (kontrak), yang memberikan dampak
bagi masing-masing pihak yang berakad.
V. Jenis-jenis Akad/Transaksi

Dalam kajian fiqhmuamalah, terdapat berbagai jenis akad yang berkaitan dengan
kegiatan perekonomian sehari-hari, baik dalam jual beli, maupun kegiatan lainnya. Dan disini
akan dibahas beberapa jenis akad yang lazim dipakai dalam kegiatan perekonomian pada
umumnya.
Akad-akad yang dibahas dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu akad jual beli yang
meliputi: Bai’ Al Murabahah, As Sharf, Bai’ As Salam, danBai’ Istishna’; akad titipan
(AlWadi’ah); akad bersyarikat yang meliputi: Al Musyarakah, Al Mudharabah, dan Al
Muzara’ah; akad memberi kepercayaan yang meliputi: Al Kafalah, Al Hawalah, dan Al
Ju’alah; dan yang terakhir adalah akad pemberian izin (Al Wakalah).

1. Bai’ Al Murabahah

Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan tsaman (harga
perolehan) dan ribh (keuntungan/margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
a. Landasan Syari’ah:
(275 :‫ )اﻟﺒﻘﺮة‬....‫َ ﻞﱠ اﷲُ اﻟﺒـَ ﻴْﻊَ و َ ﺣَ ﺮﱠمَ اﻟﺮﱢ ﺑـَ ﻮ ْ ا‬
“... Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”

b. Syarat Bai’ Al Murabahah


1) Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah
2) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
3) Kontrak harus bebas dari riba
4) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah
pembelian
5) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya
jika pembelian dilakukan secara utang.
Secara prinsip, jika syarat dalam (1), (2), atau (5) tidak dipenuhi, pembeli memiliki
pilihan:
1) Melanjutkan pembelian seperti apa adanya
2) Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual
3) Membatalkan kontrak(Antonio: 2009)

2. Al Wadi’ah (Depository)

Dalam Fiqih Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-wadi’ah.
Secara istilah, wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu
maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja penyimpan/penitip
menghendakinya.

a. Landasan Syari’ah:
(58 :‫إنّ اﷲ ﻳﺄﻣﺮﻛﻢ أن ﺗﺆدوا اﻷﻣﺎﻧﺎت إﻟﻰ~ أﻫﻠﻬﺎ )اﻟﻨﺴﺎء‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An
Nisa’:58)

b. Rukun Wadi’ah:
- Penitip
- Penerima titipan/penyimpan
- Wadi’ah (barang titipan)
- Shighat (Ijab qabul)

Pada dasarnya, penerima simpanan adalah yad al amanah (tangan amanah), artinya ia
tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama
hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara
barang titipan (karena faktor-faktor di luar batas kemampuan).
Dengan konsep al wadi’ah yad al amanah, pihak yang menerima tidak boleh
menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi harus benar-benar
menjaganya sesuai kelaziman (Antonio: 2009).

3. As Sharf

Secara linguistik, as sharf bermakna ziyadah (tambahan). Hal ini berdasarkan hadits
Rasulullah yang menyebutkan ibadah nafilah (sunnah, tambahan) dengan istilah sharf. Secar
istilah, sharf adalah perdagangan valuta asing, baik dilakukan atas valuta yang sejenis atau
pun berbeda jenis, dan dilakukan secara tunai (spot). (Zuhaili: 1989)
Ulama fiqh menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam akad sharf.
Aktifitas perdagangan valuta asing harus terbebas dari unsur riba, maisir (spekulasi,
gambling), dan gharar (uncertainity).
Dalam pelaksanaannya haruslah memperhatikan beberapa batasan sebagai berikut:
a. Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot), artinya masing-masing pihak
harus menerima/menyerahkan mata uang pada saat yang bersamaan.
b. Jika akad sharf dilakukan atas mata uang sejenis, maka nilai yang dipertukarkan harus
sama (seimbang)
c. Akad sharf dijalankan berdasarkan nilai yang dipertukarkannya, tidak bersandar pada
kondisi fisik valuta
d. Pertukaran valuta tidak boleh dilakukan dengan forward transaction, namun harus
dilakukan secara spot transaction (Zuhaili: 1989)

4. Bai’ As Salam

Secara definisi, bai’ as salam berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian
hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.
a. Landasan syariah
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya... (Al Baqarah 282)

b. Rukun Bai’ As Salam


1) Muslam atau pembeli
2) Muslamilaih atau penjual
3) Modal atau utang
4) Muslim fiihi atau barang
5) Sighat (ijab qabul)

c. Syarat Bai’ As Salam

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam modal bai’as-salam adalah sebagai berikut:
- Modal harus diketahui; barang yang akan disuplai harus diketahui jenis, kualitas,
dan jumlahnya.
- Penerimaan pembiayaan salam; sebagian besar ulama mengharuskan pembayaran
salam dilakukan di tempat kontrak. Hal tersebut dimaksudkan agar pembayaran
yang diberikan oleh muslam (pembeli) tidak dijadikan sebagai utang penjual.

5. Bai’ Istishna’

Istishna’ adalah akad jual beli dengan ketentuan: shani’ (produsen) ditugaskan untuk
membuat suatu barang (pesanan) oleh mustashni’ (pemesan), sedangkan bahan baku/modal
pembuatannya dari pihak produsen dengan mengikuti cara-cara tertentu. (Nor: 2008)
Menurut mayoritas ulama fiqh, Bai’ Istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad
Bai’ As Salam. Biasanya jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Artinya dengan
demikian, ketentuan Bai’Istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akan Bai’ As Salam.

a. Landasan Syariah
Mengingat Bai’Istishna’ merupakan lanjutan dari Bai’ As Salam, maka secara umum
landasan syariah yang berlaku pada Bai’ As Salam juga berlaku pada Bai’ Istishna’.

b. Rukun Istishna’
Seperti halnya akad salam, rukun-rukun Istishna’ juga ada lima:
1) Produsen/pembuat
2) Pemesan/pembeli
3) Barang yang dipesan
4) Harga/modal yang dibayarkan
5) Shighat (Ijab qabul)

c. Syarat Ishtishna’
Ada beberapa syarat agar Istishna’ sah, yaitu: a) jenis barang yang dipesan jelas, b)
macamnya jelas, c) kadar/ukurannya jelas, d) sifatnya juga jelas.

6. Al Musyarakah

Al Musyarakah adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise)
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditangguung bersama sesuai dengan
kesepakatan (Antonio:2009).
a. Landasan Syariah
“Dan, sesungguhnya kebanyak dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka
berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh.” (Shaad: 24)

b. Rukun Musyarakah
Menurut mayoritas ulama, rukun syirkah ada tiga:
1) Dua pihak yang berserikat
2) Barang yang diakadi/modal
3) Shigat (Ijab qabul)

c. Syarat Musyarakah

Dua orang yang melakukan musyarakah (‘aqidani) harus sama-sama kompeten


dalam memberikan atau menerima kuasa perwakilan, apabila keduanya sama-sama
mengelola dana musyarakah tersebut.
Pada dasarnya, syirkah merupakan akad perwakilan yang disertai izin di dalam
mengelola modal. Karena itu syarat ‘aqid dalam akad syirkah sama seperti akad
wakalah (perwakilan). Yaitu muwakkil (orang yang mewakilkan) dianggap mampu
oleh syariat dalam mengelola sendiri. Sedangkan wakil (yang menerima perwakilan)
ucapannya dianggap sah (bisa diterima) oleh syariat. Oleh karena itu, anak kecil dan
orang gila tidak sah melakukan akad musyarakah. (Nor: 2008)

d. Syarat Ma’qud ‘Alaih (modal syirkah)


Modal syirkah harus:
1) Modal berupa barang yang bisa ditimbang, ditakar, dan boleh diakad salam
2) Modal kedua pihak sama dalam jenis dan sifatnya
3) Modal kedua pihak dikumpulkan dahulu sebelum akad.

e. Jenis musyarakah
Ada dua jenis musyarakah:
1. Musyarakah pemilikan. Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat
atau kondisi lainnya yang memungkinkan kepemilikan atas suatu aset oleh dua
orang atau lebih.
2. Musyarakah akad. Musayarakah akad terjadi atas dasar kesepakatan dua orang
atau lebih setuju untuk saling memberikan modal musyarakah dan berbagi
keuntungan.

f. Musyarakah akad
Musyarakah akad ada empat macam:
1) Syirkah al-‘inan; adalah kontrak antara dua orang atau lebih, setiap pihak
memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja.
Keuntungan dan kerugian tidak harus sama tetapi sesuai dengan kesepakatan yang
telah di sepakati.
2) Syirkah mufawadhah; adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih,
setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi
dalam kerja. Kerugian dan keuntungan ditanggung bersama.
3) Syirkah A’maal; adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk menerima
pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.
4) Syirkah wujuh; adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi
dan prestise baik serta ahli dalam bisnis.
5) Syirkah al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana
pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh(100%) modal sedangkan
pihak lainnya pengelola.

7. Al Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Secara teknis, al
mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul
maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak (Antonio:2009).

a. Landasan Syariah
Al-Quran:
" ... ِ‫نَ ﻓﻲِ اﻷَر ْضِ ﻳـَ ﺒْ ﺘـَ ﻐُﻮ ْ نَ ﻣ ِ ﻦ ْ ﻓَﻀْﻞِ اﷲ‬..."
ْ ‫و ْ نَ ﻳَﻀْ ﺮِﺑـُﻮ‬
“... dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah SWT...” (Al Muzammil : 20)

b. Rukun Mudharabah
Akad mudharabah memiliki beberapa rukun yang telah digariskan oleh ulama guna
menentukan sahnya akad tersebut, rukun yang dimaksud adalah:

1. Shahibul maal (pemilik dana)


2. Mudharib (pengelola)
3. Sighat (ijab kabul)
4. Ra’sul maal (modal)
5. Pekerja dan keuntungan.

c. Jenis-jenis Al Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis: mudharabah muthlaqah dan
mudharabah muqayyadah.
1) Mudharabah muthlaqah (unrestricted investment), adalah akad kerjasama dimana
mudharib (pengelola) diberikan mengelola penuh untuk mengelola modal usaha.
2) Mudharabah muqayyadah (restricted investment), adalah akad kerjasama dimana
shahibulmaal (pemilik dana) menetapkan syarat tertentu yang harus dipatuhi
mudharib (pengelola) baik mengenai tempat usaha, tujuan maupun jenis
usahanya.

8. Al Muzara’ah

Al Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antar pemilik lahan dan
penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk
ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) dari hasil panen.
- Landasan Syariah
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa
mengolah tanahnya secara muzara’ah, maka Rasulullah pun bersabda: “Hendaklah menanami
atau menyerahkan untuk digarap. Barangsiapa tidak melakukan salah satu dari keduanya,
tahanlah tanahnya.”

9. Al Kafalah

Al Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain,
kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang
pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. (Antonio: 2009)

a. Landasan Syariah
Dasar yang menjadi landasan hukum bagi akad kafalah adalah firman Allah
dalam Surat Yusuf:
“Penyeru-penyeru itu berseru, “Kami kehilangan piala raja dan barangsiapa
yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan
aku menjamin terhadapnya” (Yusuf: 72)

b. Rukun Kafalah
Rukun kafalah ada lima:
1) Shighat (Ijab qabul)
2) Obyek tanggungan
3) Tertanggung
4) Penerima hak tanggungan

c. Jenis-jenis Kafalah
Secara garis besar, akad kafalah dibedakan menjadi beberapa jenis:

1) Kafalah bin-Nafs
Kafalah bin-nafsmerupakan akad memberikan jaminan atas diri (personal
guarantee).
2) Kafalah bil-Maal
Kafalah bil-maal merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
3) Kafalah bil-Taslim
Jenis kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang
disewa, pada waktu masa sewa berakhir.
4) Kafalah al-Munjazah
Kafalah al-Munjazahadalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka
waktu dan untuk kepentingan/tujuan tertentu.
5) Kafalah al-Muallaqah
Kafalah al-Muallaqah merupakan penyederhanaan dari kafalah al munjazah, baik
oleh industri perbankan maupun asuransi.

10. Al Hawalah

Al hawalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain
yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban
hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan mu’hal ‘alaih atau orang yang
berkewajiban membayar hutang.
Secara sederhana, hal itu dapat dijelaskan bahwa A (muhal) memberi pinjaman kepada
B (muhil), sedangkan B masih mempunyai piutang pada C (mu’hal ‘alaih). Begitu B tidak
mampu membayar hutangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban hutang tersebut pada C.
Dengan demikian, C yang harus membayar hutang B kepada A, sedangkan hutang C
sebelumnya kepada B dianggap selesai.

a. Landasan Syariah
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW
bersabda;

“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan, jika salah
seorang dari kamu diikutkan (dihawalah-kan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah
hawalah itu.”

b. Rukun-rukun Hawalah ada enam:


1) Muhil (orang yang berhutang kepada muhal/orang yang mengalihkan hutangnya)
2) Muhal (orang yang mempunyai piutang)
3) Muhal ‘alaih (orang yang mempunyai tanggungan hutang kepada muhil)
4) Piutang muhtal yang ada pada muhil.
5) Piutang muhil yang ada pada muhal ‘alaih
6) Shigat (Ijab qabul)

c. Syarat-syarat Hawalah
Syarat-syarat hawalah ada lima:
1) Muhil (orang yang berhutang kepada muhal) dan muhal (orang yang mempunyai
piutang kepada muhil) sama-sama rela atas pengalihan hutang
2) Hutang yang ada pada muhil dan muhal ‘alaih sudah menjadi tanggungan yang tetap.
3) Dapat dijadikan sebagai ‘iwadh (alat tukar menukar) menurut syariat
4) Hutang yang ada pada muhil dan muhal ‘alaih diketahui kadar, sifat, dan jenisnya
5) Hutang yang menjadi tanggungan muhil dan muhal ‘alaih harus sama (Nor: 2008).

11. Al Ju’alah

Akad Ju’alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang
belum pasti dapat terselesaikan. Secara harfiah, ju’alah bermakna sesuatu yang dibebankan
kepada orang lain untuk dikerjakan atau diperintahkan. Sedangkan menurut ahli hukum
(qanun), ju’alah diartikan dengan hadiah yang dijanjikan ketika seseorang berhasil melakukan
sebuah pekerjaan.
Secara istilah, ju’alah adalah akad sewa (ijarah) atas suatu manfaat yang belum
diketahui keberhasilannya (terdapat probabilitas atas keberhasilan atau kegagalan dalam
menjalankan pekerjaan tersebut). (Zuhaili: 1989)

a. Landasan Syariah
Landasan syariah bagi akad ju’alah adalah firman Allah SWT dalam surat Yusuf:



“Penyeru-penyeru itu berseru, “Kami kehilangan piala raja dan barangsiapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku
menjamin terhadapnya” (Yusuf: 72)

b. Perbedaan antara Ijarah dan Ju’alah


Akad ju’alah berbeda dengan akad ijarah, terutama terkait dengan kesepakatan yang
terdapat di dalamnya. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pemilik pekerjaan (ja’il) baru akan merasakan manfaat, ketika pekerjaan telah usai
dilaksanakan, seperti ditemukannya aset yang hilang, atau hilangnya penyakit yang
diderita
2. Akad ju’alah mengandung unsur gharar di dalamnya, yakni ketidakjelasan jenis
pekerjaan atau jangka waktu yang dibutuhkan, dan hal ini diperbolehkan.
3. Dalam akad ju’alah tidak diperbolehkan mensyaratkan adanya pembayaran upah
di muka
4. Akad ju’alah lebih bersifat jaiz ghair lazim (diperbolehkan dan tidak mengikat
sehingga boleh untuk dibatalkan), berbeda dengan akad ijarah yakni bersifat lazim
(mengikat), dan tidak bisa dibatalkan sepihak

12. Al Wakalah

Wakalah adalah akad pemberian kuasa dari seseorang (muwakkil) kepada penerima
kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (taukil) atas nama muwakkil (pemberi kuasa).
(Nor: 2008)

a. Landasan Syariah
Landasan syariah yang menjadi landasan bagi akad wakalah adalah firman Allah
SWT:
... ٌ‫ﻗَﺎلَ اﺟ ْ ﻌﻠْﻨﻰِ ﻋَﻠﻰ َ ﺧَ ﺰاﺋﻦِ اﻷَرضِ إِﻧﻲﱢ ﺣﻔﻴﻆٌ ﻋﻠﻴﻢ‬
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang
yang pandai menjaga lagi berpengalaman” (Yusuf: 55)

b. Rukun Wakalah
Rukun Wakalah ada empat, yaitu:
1) Muwakkil (orang yang mewakilkan)
2) Wakil (orang yang menerima perwakilan)
3) Muwakkil fih (sesuatu yang diwakilkan)
4) Shigat (Ijab qabul)

Islam mensyariatkan akad wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap


orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan suatu urusan, maupun
sebuah kewajibannya seorang diri. Maka disini, seseorang perlu mendelegasikan orang lain
untuk mewakili dirinya dalam menyelesaikan urusan tersebut.

VI. Konsep Dasar Fiqh Ekonomi Islam

Sebagai sebuah agama dan sistem kehidupan yang mengatur kehidupan manusia,
Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia. Dan bidang ekonomi
merupakan salah satu dari sekian dimensi yang diatur dalam Islam. Sistem Islam ini berusaha
mendialektikkan nila-nilai ekonomi dengan nilai akidah ataupun etika. Artinya, kegiatan
ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun atas dasar materi dan spiritual. Kegiatan
ekonomi bukan hanya sekedar mementingkan materi, melainkan terdapat unsur spiritual di
dalamnya, sehingga dapat bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan
ekonomi bukan hanya sebatas material semata, melainkan juga konsen terhadap nilai-nilai
humanisme.

1. Hukum Asal dalam Muamalah adalah Mubah

Ulama fiqh sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah
diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat dalil dari nash yang melarangnya. Hal ini
bertolakbelakang dengan konsep dalam Ibadah, yang hukum asalnya adala dilarang. Suatu
ibadah tidak bisa dilakukan, kecuali ada dalil yang mensyariatkan ibadah tersebut, sehingga
tidak serta merta dapat beribadah kepada Allah SWT, kecuali atas dasar landasan syariat yang
disyariatkan-Nya. Sehingga disini terdapat perbedaan mendasar antara fiqh ibadah, dengan
fiqh muamalah. Maka setiap transaksi dalam muamalah diperbolehkan, kecuali terdapat nash
yang melarang akan transaksi tersebut.

2. Konsep Maslahah di dalam Fiqh Muamalah

Fiqh muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan, terutama dalam


segi perekonomian manusia. Allah SWT tidak menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan
untuk merealisasikan kemaslahatan kehidupan hamba-Nya, dengan tidak bermaksud untuk
membatasi ruang gerak dan membebani kehidupan manusia. Ibnu Taimiyah berkata, “Syariah
diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, mengeliminasi dan
mereduksi kerusakan, memberikan alternatif pilihan terbaik di antara beberapa pilihan,
memberikan nilai maslahat yang maksimal di antara beberapa maslahat, dan menghilangkan
nilai kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil”.

Selain konsep-konsep diatas, terdapat beberapa konsep dasar yang melandasi prinsip-
prinsip ekonomi dalam Islam. Seperti menetapkan harga yang kompetitif, meninggalkan
intervensi yang dilarang dalam syariah, menghindari eksploitasi sumber daya baik alam
maupun manusia, mewujudkan toleransi antar sesama, serta jujur dan amanah dalam
bertansaksi dan bermuamalah sesama manusia. Hal itu semua ditujukan demi mewujudkan
maslahah umat manusia, dan menggambarkan konsep islam yang sifatnya uinversal dan
komprehensif.

Daftar Pustaka

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2009. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Jakarta:Gema
Insani Press
Karim, Adiwarman A. Karim. 2008. BANK ISLAM: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada
Nor, HM. Dumairi, dkk. 2008. Ekonomi Syariah Versi Salaf. Pasuruan: Pustaka Sidogiri
Zahrah, Muhammad Abu, Prof. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus
Zuhaili, Wahbah. 1989. Fiqh al Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Daar al Fikr, jilid I, IV, V

Anda mungkin juga menyukai