Anda di halaman 1dari 3

KUALITAS GAHARU HASIL PENGULANGAN INOKULASI DENGAN TEKNIK SIMPORI

Oleh : Resti Wahyuni

Kualitas gaharu selama ini ditentukan berdasarkan standar nasional Indonesia SNI 7631-

2011 (BSN, 2011). Pada SNI tersebut gaharu diklasifikasikan menjadi gubal, kemedangan, dan

serbuk gaharu. Gubal gaharu dibagi menjadi 5 (lima) kelas mutu yaitu double super, super A,

super B, super tanggung A, dan super tanggung B. Kemedangan dibagi menjadi 6 (enam) kelas

mutu : sabah, kemedangan A, kemedangan B, TG.C, kemedangan hijau, dan kemedangan putih.

Serbuk gaharu dibagi dalam 2 (dua) kelas mutu yaitu serbuk gubal dan serbuk kemedangan.

Pembagian kelas mutu tersebut didasarkan pada warna, bobot dan aroma gaharu (dibakar).

Warna kayu gaharu dinilai secara kasat mata. Warna kayu yang lebih tua menandakan

kandungan resin semakin tinggi. Penilaian bobot kayu gaharu dilakukan dengan memasukkannya

ke dalam air, semakin tenggelam kayu gaharu maka menandakan semakin besar nilai bobot kayu

gaharu. Adapun aroma gaharu dinilai dengan cara membakar potongan kayu gaharu dan dilihat

apakah kayu gaharu meleleh dan mengeluarkan aroma yang wangi dan kuat. Semakin wangi

aroma yang dihasilkan menandakan semakin tinggi kualitasnya.

Hasil kegiatan pengembangan gaharu yang dilakukan di Desa Genggelang, Kabupaten

Lombok Utara dipanen setelah 1,5 tahun inokulasi. Pada pengembangan gaharu tersebut

dilakukan pengulangan inokulasi setiap 3 bulan (P1), 6 bulan (P2), serta tidak diulang (P0).

Pengulangan inokulasi dilakukan untuk memberikan kesinambungan serangan cendawan

terhadap pohon gaharu sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas maupun kuantitas

gaharu yang terbentuk. Kayu gaharu hasil perlakuan pengulangan inokulasi setiap 6 bulan (P2)

dan tidak diulang (P0) memiliki ciri visual warna coklat bergaris putih tipis, melayang di air, dan

wangi jika dibakar (Gambar 1). Berdasarkan ciri tersebut, gaharu hasil perlakuan P0 dan P2
berumur 1,5 tahun memiliki kualitas kemedangan B sesuai kriteria SNI 7631-2011 (BSN, 2011).

Adapun kayu gaharu hasil perlakuan pengulangan inokulasi setiap 3 bulan (P1) menurut kriteria

SNI 7631-2011 memiliki ciri visual warna coklat bergaris hitam, melayang di air, wangi jika

dibakar sehingga masuk ke dalam kualitas kemedangan A (Wahyuni et al., 2018).

Berdasarkan hasil yang diperoleh, kualitas gaharu tersebut belum dapat mencapai kelas

gubal. Menurut Mucharromah et al. (2008), teknik inokulasi dan jenis inokulan yang tepat pada

jenis pohon dalam kondisi tertentu serta waktu antara inokulasi dan panen yang lebih panjang,

dapat menghasilkan gubal gaharu bermutu tinggi. Namun, pada kegiatan pengembangan gaharu

dengan teknik simpori setelah 1,5 tahun mampu meningkatkan mutu gaharu dibandingkan panen

saat 7 bulan. Perlakuan pengulangan inokulasi setiap 3 bulan (P1) meningkatkan kualitas gaharu

hingga 2 tingkat yaitu dari kemedangan TGC menjadi kemedangan A. Perlakuan pengulangan

inokulasi setiap 6 bulan (P2) maupun tanpa pengulangan inokulasi (P0) meningkatkan kualitas

gaharu sebesar satu tingkat yaitu dari kemedangan TGC menjadi kemedangan B.

Jika waktu inokulasi diperpanjang (di atas 1,5 tahun) maka perlu perhatian khusus terhadap

cendawan pelapuk kayu. Menurut Mucharromah (2010), kehadiran cendawan lainnya, khususnya

cendawan pelapuk kayu justru akan mendegradasi kembali resin gaharu yang telah terdeposisi

bahkan dapat menghancurkan sel-sel kayu sehingga gaharu yang mulai terbentuk menjadi hancur

dan lapuk. Hal tersebut telah terjadi pada pohon gaharu yang diinokulasi dan didiamkan tanpa

pemeliharaan selama lebih dari 2 tahun.

Gaharu hasil perlakuan pengulangan setiap 3 bulan (P1) paling baik dibandingkan hasil

pengulangan setiap 6 bulan mupun tanpa pengulangan. Hal ini diduga berhubungan dengan

kesinambungan keberadaan cendawan Fusarium solani yang membuat pohon gaharu berusaha

untuk melawan serangan cendawan tersebut dengan memproduksi metabolit sekunder. Metabolit
sekunder ini lama kelamaan terakumulasi dalam jaringan kayu sebagai gubal gaharu. Semakin

lama kualitas gaharu tersebut semakin meningkat.

Gambar 1.Penampakan gaharu saat 1,5 tahun setelah inokulasi awal. P0 = tanpa
pengulangan inokulasi, P1= pengulangan inokulasi setiap 3 bulan, P2 =
pengulangan inokulasi setiap 6 bulan.
Sumber : Dokumentasi pribadi

Referensi :

BSN. 2011. SNI Gaharu 7631-2011. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

Mucharromah, Hartal, dan Surani. 2008. Tingkat Akumulasi Resin Gaharu Akibat Inokulasi

Fusarium sp. Pada Berbagai Waktu Setelah Pengeboran Batang Aquilaria malaccensis.

Makalah Seminar Bidang MIPA, Universitas Bengkulu 14-16 mei 2008.

Mucharromah. 2010. Pengembangan Gaharu di Bengkulu, Sumatera. Info Hutan. 7(2):117-128.

Wahyuni, R; Prihantini, A.I; Ramdiawan; Mansyur (2018). Pilot Iptek Inokulasi Gaharu.

Laporan Hasil Penelitian. Mataram: Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil

Hutan Bukan Kayu.

Anda mungkin juga menyukai