Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH FIQH MUNAKAHAT

DISUSUN OLEH:

1. GABY CHOIRULNISA PALGA (2220101076)


2. MARDHOTILLAH (2220101079)
3. MUFIDA (2220101080)
4. DESRIZKIANA (2220101081)
5. HERINDA SALDIA TAMARA (2220101082)
6. DELLA AMELIA (2220101084)
7. CERIA GAZRI (2220101085)
8. LUPI PRATAMA (2220101093)
9. ARIF KURNIAWAN (2220101094)

DOSEN PENGAMPU:
Dra. ,NURMALAH HAJI ABDULLAH KENALIM, M.H.I.

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, dan
inayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik dan sesuai waktu yang
telah diberikan. Sholawat dan salam juga tetap kami haturkan ke pangkuan Nabi agung, Nabi akhir
zaman, Nabi Muhammad SAW. Karena dengan kuasa Allah lah, akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan dan disusun berdasarkan tugas perkuliahan.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu tugas makalah ini
yang berjudul “Fiqh Munakahat” khususnya kepada Ibu Dra. NURMALAH HAJI ABDULLAH
KENALIM, M. H. I. selaku pengampu Mata Kuliah Fiqh Munakahat, serta sahabat-sahabat yang
terlibat dalam pembuatan makalah ini.

Merupakan suatu harapan pula, semoga dengan terselesaikannya makalah ini, pembaca bisa
bersemangat dan termotivasi lagi untuk mengenal lebih jauh tentang Fiqh Munakahat. Penulis juga
berharap semoga dengan adanya makalah ini dapat tercatat dan bisa menjadi motivasi bagi penulis
untuk menyusun makalah lain yang lebih baik dan bermanfaat.

Palembang, 25 Mei 2023

KELOMPOK 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB 1..............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................1
BAB II.............................................................................................................................................2
PEMBAHASAN..............................................................................................................................2
A. KHITBAH (PEMINANGAN)................................................................................................2
B. PERNIKAHAN.......................................................................................................................7
C. MAHAR..................................................................................................................................9
D. TALAK.................................................................................................................................11
E. RUJUK..................................................................................................................................16
F. IDDAH...................................................................................................................................19
KESIMPULAN..............................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................24

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fiqh Munakahat adalah cabang hukum Islam yang berkaitan dengan pernikahan
dan masalah-masalah terkait kehidupan keluarga dalam agama Islam. "Fiqh" secara
umum merujuk pada pemahaman dan aplikasi hukum Islam, sedangkan "munakahat"
berarti "perkawinan" dalam bahasa Arab.

Fiqh Munakahat membahas berbagai aspek hukum yang terkait dengan


pernikahan, seperti tata cara pernikahan, syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum
pernikahan dapat dilangsungkan, proses pernikahan, hak dan kewajiban suami istri,
pembagian harta dalam pernikahan, perceraian, poligami, nafkah, waris, hak-hak anak,
dan berbagai isu lain yang terkait dengan kehidupan keluarga dalam Islam.

Cabang hukum ini mengacu pada ajaran-ajaran agama Islam, termasuk Al-Qur'an
dan Hadis, serta penafsiran ulama dan otoritas keagamaan Islam. Fiqh Munakahat
memainkan peran penting dalam mengatur dan memastikan bahwa pernikahan dan
kehidupan keluarga umat Muslim berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai
Islam yang ditetapkan.

Studi dan pemahaman tentang Fiqh Munakahat penting bagi individu Muslim
yang ingin menjalankan pernikahan dan kehidupan keluarga mereka sesuai dengan
tuntunan agama Islam. Ulama, pakar hukum Islam, dan cendekiawan agama berperan
dalam membahas, mengajarkan, dan memberikan panduan terkait Fiqh Munakahat
kepada umat Muslim.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan khitbah?


2. Apa yang dimkasud dengan pernikahan?
3. Apa yang dimaksud dengan talak?
4. Apa yang dimaksud dengan iddah?
1
BAB II

PEMBAHASAN

A. KHITBAH (PEMINANGAN)

1. Pengertian Khitbah
Khitbah berasal dari kata khataba yang memiliki tiga makna yakni: jelas, singkat
dan padat. Maksud dari makna jelas, ketika seorang mengkhitbah maka harus jelas
maksud dan tujuannya bahwa ia akan menikahi seorang perempuan, sedangkan arti dari
singkat dan padat, jika telah melangsungkan peminangan maka alangkah baiknya
menyegerakan waktu akad, agar tidak ada kekhawatiran akan terjadinya sesuatu yang
tidak diinginkan.1 Khitbah atau peminangan dapat diartikan sebagai pernyataan untuk
menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan maupun sebaliknya dengan
perantara seseorang yang dipercayai. Meminang dengan cara tersebut diperbolehkan
dalam agama Islam terhadap gadis atau janda yang telah usai masa iddahnya, kecuali
perempuan yang masih dalam “iddah ba’in” sebaiknya dengan jalan sindiran saja. Firman
Allah SWT.:

‫واَل ُج َناَح َع َلْيُك ْم ِفْيَم ا َعَّرْض ُتْم ِبٖه ِم ْن ِخ ْطَبِة الِّنَس ۤا ِء‬
“Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran…”
(QS. Al-Baqarah:235)2

2. Hukum Khitbah
Secara garis besar, khitbah diperbolehkan oleh agama karena dengannya telah
terjadi muqaddimah dari seorang lelaki untuk menempuh jalur yang lebih serius yakni
pernikahan pada waktu yang akan disepakati nantinya. Meskipun demikian, sebuah
pernikahan tidak disyaratkan harus selalu melewati khitbah. Maka bila sebuah akad nikah
terjadi tanpa didahului dengan khitbah, hukumnya tentu tetap sah menurut jumhur ulama.
Sedikit berbeda dengan mazhab Asy-Syafi’iyah yang memandang bahwa hukum khitbah
adalah sunnah atau mustahab, dengan alasan bahwa sebelum menikahi secara sah Aisyah

1
Firman Arifandi, Serial hadist Nikah 3: Melamar & Melihat Calon Pasangan, (Jakarta: Rumah fiqih pubishing, 2019), 11.
2
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2022), 146.

2
dan Hafshah radhiyallahuanhuma, Rasulullah SAW mengkhitbah mereka terlebih
dahulu.3

3. Macam-macam Khitbah
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:
a. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang
sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan,
seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu.”
b. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus
terang atau dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat
dipahami dengan maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak
sepertimu.” Adapun sindiran selain ini yang dapat dipahami oleh wanita
bahwa laki-laki tersebut ingin menikah dengannya, maka semua
diperbolehkan. Diperbolehkan pula bagi wanita untuk menjawab sindiran ini
dengan kata-kata yang berisi sindiran juga. Tidak terlarang bagi wanita
mengatakan kata-kata sindiran yang diperbolehkan lakilaki, demikian pula
sebaliknya.4

4. Orang-orang Yang Baik Dipinang


Memilih pasangan yang tepat merupakan hal yang gampang-gampang susah. Hal
ini berkaitan dengan masalah takdir dan juga selera masing-masing orang. Pasangan
hidup atau jodoh memang merupakan hak prerogatif Allah. Tetapi sebagai hamba-Nya
yang baik, kita diwajibkan berusaha mencari dan memilih pasangan sesuai dengan aturan
syari’at. Disamping itu, dalam rangka mencari dan memilih pasangan yang tepat,
hendaknya memahami alasan yang tepat dalam memilih pasangan, mengetahui
tipetipenya calon suami atau istri yang baik disamping selalu mohon petunjuk dari Allah
dengan melakukan shalat istikharah, agar mendapat ridha-Nya. Maka untuk memilih
calon istri yang baik, seorang lelaki hendaknya memilih wanita yang memiliki ciri-cri
sebagai berikut:

3
Firman Arifandi, Serial hadist Nikah 3: Melamar & Melihat Calon Pasangan, (Jakarta: Rumah fiqih pubishing, 2019), 14.
4
Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm Buku 2 (Jilid 3-6), (Jakarta: Pustaka Azzam.
2007), 378.

3
1) Shalihah, yaitu wanita yang ciri-cirinya telah dijelaskan oleh Allah di dalam al-Qur’ān
surat an-Nisā’ ayat 34:
‫ۗ َفالّٰص ِلٰح ُت ٰق ِنٰت ٌت ٰح ِفٰظ ٌت ِّلْلَغْيِب ِبَم ا َح ِفَظ ُهّٰللا‬
“Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada
Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah
menjaga (mereka).“5
2) Perempuan yang Subur, karena ketenangan, kebahagiaan dan keharmonisan dalam
keluarga akan terwujud dengan lahirnya anak-anak yang menjadi harapan setiap
pasangan suami isteri. Anak-anak yang dapat membahagiakan mereka dan yang dapat
mengembangkan keturunan.6
3) Perempuan yang Masih Gadis, karena seorang gadis mengantarkan pada tujuan
pernikahan. Selain itu seorang gadis juga akan lebih menyenangkan dan membahagiakan,
lebih menarik untuk dinikmati akan berperilaku lebih menyenangkan, lebih indah dan
lebih menarik untuk dipandang, lebih lembut untuk disentuh dan lebih mudah bagi
suaminya untuk membimbing akhlaknya7
4) Perempuan Yang Bernasab Baik Karena perilaku orang tua dan nenek moyangnya
memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap keturunannya. Sebaliknya, bila istri berasal
dari keturunan yang kurang baik nasab keluarga, seperti kalangan penjahat, pemabuk atau
keluarga yang pecah berantakan, maka semua itu sedikit banyak akan berpengaruh
kepada jiwa dan kepribadian istri. Maka bila masih ada pilihan lain yang lebih baik dari
sisi keturunan, seseorang berhak untuk memilih istri yang secara garis keturunan lebih
baik nasabnya.8
5) Perempuan yang Bukan Keluarga Dekat Menurut Nabi saw, dengan menikahi perempuan
yang masih keluarga dekat akan sangat memungkinkan anak-anak yang bakal lahir nanti
akan mengalami lemah fisik dan mentalnya. Dalam ilmu dan teknologi ditetapkan bahwa
di antara sebab musnahnya etnis adalah pembatasan hubungan (menikah dalam satu

5
Hafidhul Umami, Studi Perbandingan Madzhab Tentang Khitbah dan batasan melihat wanita dalam khitbah, (Usratuna:2019),
34
6
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh al-Asrah al-Muslimah, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2011), 40-41
7
Ayyub, Fiqh al-Asrah, 40-41.
8
Ahmad Syarwat, Seri Fiqih Kehidupan 8 Pernikahan, (Jakarta: DU Publishing, 2011), 62-63

4
kelompok saja), karena hal itu dapat mengakibatkan rusaknya silsilah dan lemahnya
keturunan.9

Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan oleh perempuan dalam memilih
calon suami, yaitu antara lain:
1) Laki-laki yang shaleh, yaitu laki-laki yang taat beragama dan berakhlak mulia.10
2) Laki-laki yang Bertanggung Jawab, sebagai pemimpin keluarga, laki-laki memiliki
tanggung jawab lebih besar daripada istri. Oleh karena itu, perempuan hendaknya memilih
calon suami yang penuh tanggung jawab.
3) Laki-laki yang Sehat dan Bernasab Baik sebagaimana laki-laki, untuk perempuan juga
hendaknya memilih calon suami yang sehat dan bernasab baik, karena untuk memperolah
keturunan yang baik pula.
4) Laki-laki yang Mapan Karena laki-laki merupakan tulang punggung ekonomi keluarga,
maka hendaknya perempuan memilih laki-laki yang telah mampu mencukupi nafkah
keluarga.
5) Laki-laki yang Bijaksana Laki-laki yang bijaksana akan memiliki sifat penyayang
terhadap sesama, terlebih-lebih kepada istri dan anaknya. Juga memiliki sifat sabar, setia,
tidak egois, tidak emosional, dan mampu mengatasi problem keluarga dengan tenang.
6) Laki-laki yang mampu mendidik calon istri Suami berkewajiban mendidik istri dan anak-
anaknya. Karena itu, perempuan dan orang tua/walinya perlu mempertimbangkan tingkat
kedewasaan calon suami/menantunya.

Selanjutnya, setelah memilih calon pasangan yang cocok, kemudian bagi pihak
yang berkepentingan (baik itu pihak laki-laki ataupun perempuan) melakukan peminangan
atau lamaran11 sesuai dengan cara-cara yang berlaku di masyarakat setempat.

5. Hikmah Khitbah
9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), 141
10
Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri, 31.
11
Hafidhul Umami, Studi Perbandingan Madzhab Tentang Khitbah dan batasan melihat wanita dalam khitbah, (Usratuna:2019),
37-38

5
Sebagaimana sebuah tuntutan, peminangan atau khitbah memiliki banyak hikmah
dan keutamaan. Peminangan bukan sekedar peristiwa sosial, juga bukan semata-mata
peristiwa ritual. Ia memiliki sejumlah keutamaan yang membuat pernikahan yang
akandilakukan menjadi lebih barakah. Diantara hikmah yang terkandung dalam
peminangan atau khitbah adalah:12

a. Memudahkan jalan perkenalan antara peminang dan yang dipinang beserta kedua belah
pihak
Dengan pinangan, maka kedua belah pihak akan saling menjajaki kepribadian masing-
masing dengan mencoba melakukan pengenalan secara mendalam. Tentu saja pengenalan
ini tetap berada dalam koridor syari’at, yaitu memperhatikan batasan-batasan interaksi
dengan lawan jenis yang belum terikat oleh pernikahan.
b. Menguatkan tekad untuk melaksanakan pernikahan
Dengan khitbah, artinya proses menuju jenjang pernikahan telah dimulai. Mereka sudah
berada pada suatu jalan yang akan menghantarkan mereka menuju gerbang kehidupan
berumah tangga.13
c. Menumbuhkan ketentraman jiwa
Dengan peminangan, apalagi telah ada jawaban penerimaan, akan menimbulkan perasaan
kepastian pada kedua belah pihak. Perempuan merasa tentram karena telah terkirim
padanya calon pasangan hidup yang sesuai harapan. Kekhawatiran bahwa dirinya tidak
mendapat jodoh terjawab sudah. Sedang bagi laki-laki yang meminang, ia merasa tentram
karena perempuan ideal yang diinginkan telah bersedia menerima pinangannya. Dengan
adanya pinangan, masing-masing pihak akan lebih menjaga kesucian diri. Mereka merasa
tengah mulai menapaki perjalanan menuju kehidupan rumah tangga, oleh karena itu
mencoba senantiasa menjaga diri agar terjauhkan dari hal-hal yang merusakan
kebahagiaan pernikahan nantinya.14
d. Melengkapi persiapan diri

12
Cahyadi Takariawan, Izinkan Aku Meminangmu (Solo: Era Intermedia, 2004), 32.
13
Cahyadi Takariawan, Izinkan Aku Meminangmu (Solo: Era Intermedia, 2004), 35
14
Cahyadi Takariawan, Izinkan Aku Meminangmu (Solo: Era Intermedia, 2004), 38

6
Masih ada waktu yang biasa digunakan seoptimal mungkin oleh kedua belah pihak
untuk menyempurnakan persiapan dalam berbagai sisinya. Seorang laki-laki bisa
mengevaluasi kekurangan dirinya dalam proses pernikahan, mungkin ia belum
menguasai beberapa hukum yang berkaitan dengan keluarga, untuk itu bisa mempelajari
terlebih dahulu sebelum terjadinya akad nikah.15

B. PERNIKAHAN

1. Pengertian pernikahan

Pernikahan adalah hasrat naluri yang ada pada setiap insan menjadikan suatu akad
yang menghalalkan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dan juga untuk
menempuh hidup baru dengan mewujudkan kebahagian yang sakinah mawaddah warrahmah
dengan atas ridho Allah SWT.

Dalil yang menjelaskan tentang pernikahan:

‫َو ِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء َخ َلْق َنا َز ْو َج ْي ِن َلَع َّلُك ْم َتَذَّك ُر وَن‬

“Dan segala sesuatu Kami Ciptakan Berpasang-pasangan supaya kamu


mengingat kebesaran Allah.” (QS Az-Zariyat: 49)

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa hidup berpasang-pasang merupakan pembawaan
dari naluriah manusia dan mahkluk hidup lainnya diciptakan berjodoh-jodoh 16 .

2. Hukum Pernikahan

a. Wajib. Hukum ini berlaku bagi mereka yang telah mampu melaksanakan nikah,
mampu memberi nafkah pada isteri serta hak dan kewajiban lainnya dan dikhawatirkan
jatuh pada perbuatan maksiat jika tidak melakukannya.

15
Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, h.6492.
16
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 1999), 11

7
b.Sunnah. Hukum ini berlaku bagi mereka yang mampu dan tidak dikhawatirkan jatuh
pada perbuatan maksiat jika tidak melakukannya.

c. Makruh. Hukum ini berlaku bagi mereka yang merasa bahwa dirinya akan berbuat
zalim pada istrinya jika menikah, namun tidak sampai pada tingkatan yakin, misalnya
karena ia tidak memiliki nafsu yang kuat, khawatir tidak mampu menafkahi, tidak begitu
menyukai isterinya, dan lain-lain.

d. Haram, berlaku bagi mereka yang tidak mampu lahir batin dan jika tetap menikah,
akan menyebabkan madarat bagi istrinya secara pasti.

e. Mubah, berlaku bagi mereka yang tidak ada faktor penghalang maupun pendorong
untuk menikah.17

3.Rukun Nikah

a. Adanya mempelai laki-laki

b. Adanya mempelai perempuan

c. Adanya wali

d. Adanya saksi

e. Adanya ucapan/ ijab qobul

Adapun syarat-syarat nikah adalah:

1. Syarat pengantin laki-laki adalah, a) Islam, b) rida terhadap pernikahan tersebut, c)


orangnya jelas, d) tidak ada halangan shara’, misalnya tidak sedang ihram haji atau
umrah.18

2. Syarat pengantin wanita adalah a) rida terhadap pernikahan tersebut, b) Islam atau Ahl
al-Kitāb, c) orangnya jelas, d) tidak ada halangan shar’i untuk dinikahi, baik yang bersifat

17
8 Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, vol. 2, (Beirut: Dār al-Fikr, 2008), 458-9. Lihat juga al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol.
9, 6516-6518.
18
al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9, 6534.

8
muabbad (selamanya) karena mahram, atau muaqqat (sementara) misalnya sedang terikat
pernikahan dengan orang lain.19

3. Syarat wali. Wali ada dua, yakni wali nasab dan wali hakim. Syarat wali adalah a)
cakap bertindak hukum (baligh dan berakal), b) merdeka, c) seagama antara wali dan
mempelai yang diakadkan, d) laki-laki e) adil. Dalam pandangan Ḥanafiyah, perempuan
dapat menjadi wali sebagai wali pengganti atau mewakili.

4. Syarat saksi adalah a) cakap bertindak hukum, b) minimal dua orang laki-laki, c)
muslim, d) melihat, e) mendengar, f) adil, g) faham terhadap maksud akad, i) merdeka.
Menurut Ḥanābilah, kesaksian budak, sah, karena tidak ada pernyataan naṣṣ yang
menolak kesaksian mereka.20

5. Syarat ijab-qabul adalah a) lafaz yang diucapkan harus bersifat pasti (menggunakan
fi’il māḍī), b) tidak mengandung makna yang meragukan, c) lafaz akad bersifat tuntas
bersamaan dengan tuntasnya akad. Artinya, akad tidak digantungkan pada syarat tertentu,
misalnya, “saya nikahkan anak saya jika nanti sudah diterima menjadi pegawai negeri”,
d) ijab dan qabul diucapkan dalam satu majlis, artinya ijab dan qabul berada dalam situasi
dan kondisi yang menunjukkan adanya kesatuan akad.21

C. MAHAR

Mahar merupakan sesuatu yang penting dalam jalinan pernikahan,mahar sebagai


pemberian calon suami kepada calon istri sebagai kesungguhan dan cerminan kasih
sayang calon suami terhadap calon istrinya yang besar kecilnya ditetapkan atas
persetujuan kedua belah pihak, dengan penuh kerelaan hati oleh calon suami kepada
calon istrinya sebagai tulang punggung keluarga dan rasa tanggung jawab sebagai
seorang suami.Mahar itu bisa dibayar dengan emas, Uang, alat shalat serta yang lainnya.
Mahar diberikan oleh calon suami untuk menunjukan kemuliaan akan pentingnya akad
perkawinan dan penetapan mas kawin bukan merupakan sebuah timbal balik, kewajiban

19
al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9, 6701
20
al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9, 6561.
21
Seluruh rukun dan syarat tersebut dirangkum dari al-Jazīrī, al-Fiqh ‘alā alMadhāhib al-Arba’ah, vol. 4, 14 dst. Lihat
juga Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, vol 2, 469 dst. Lihat juga al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9, 6534 dst. Lihat juga
Ibnu Rushd, Bidāyat al-Mujtahid, vol. 2, 3 dst.

9
menyerahkan mahar bukan berarti calon istri dengan pemberian mahar sepenuhnya telah
dimiliki suaminya, yang seenaknya suami memperlakukan istri.Akan tetapi, suami dan
istri hanya sama-sama memiliki hak berkumpul dalam satu atap sebagaisuami istri dan
dengan adanya akad nikah mereka terikat berbagai hak dan kewajiban seperti apa yang
telah ditetapkan oleh agama Islam.

Agama Islam telah menetapkan bahwa perempuan memiliki hakhak tersendiri,


seperti hak menerima mahar. Suami tidak berhak sedikitpun menjamah apalagi
menggunakan mahar tersebut, bila ia telah mencampuri istrinya. Pemberian itu bukan
semata-mata sembarangan pemberian, akan tetapi sebagai tanda awal bagi masa depan
keluarga itu sendiri. Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri bukan
keadaan wanita lainnya atau siapapun yang dekat dengannya ataupun orang kecuali
dengan ridho dan kerelaan si istri. 22Hal ini sebagaimana firman Allah yang artinya :
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (QS an-Nisa’: 4). Ayat diatas menunjukan
bahwa kewajiban memberikan mahar sekalipun sesuatu yang sedikit.

Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi saw meninggalkan mahar pada
suatu pernikahan. hal ini menunjukan kewajiban mahar menempati posisi pemberian dan
hadiah yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri yang menunjukan kesucian
dan kesakralan ikatan perkawinan serta berupaya sebagai menarik hati istri dan sekaligus
sebagai tanda penghormatan calon suami terhadap calon istri yang telah bersedia
menikahinya.Walaupun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah harus
mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan.8 Maksudnya, bentuk dan harga
mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula mengesankan apa adanya,
sehingga calon istri merasa dilecehkan atau disepelekan.23

Dalam hukum Islam tidak ada yang menyatakan bahwa mahar harus berupa
barang yang memberatkan calon suami, agama Islam tidak menganjurkan umatnya untuk

22
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan , Jakarta: Bulan Bintang 1974,hal.78
23
Kaharuddin, Nilai-Nilai Filosopi Perkawinan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, hal.202

10
berfikir secara materialistik menuntut mahar yang mahal. Jika mahar berupa barang yang
memberatkan, maka dalam hal ini dapat mempersulit bagi calon laki-laki untuk
melangsungkan pernikahan, semakin banyaknya jumlah bujang, perawan tua, bahkan
merusak secara personal maupun sosial. Mahar bukanlah tujuan dari pernikahan,
melainkan hanya simbol ikatan cinta dan kasih sayang.Pada umumnya mahar haruslah
berbentuk materi, baik, uang atau barang berharga, emas, perak, ataupun yang lainnya
yang dapat diambil manfaatnya sesuai dengan tradisinya masing-masing. 24Kecuali benda-
benda yang diharamkan oleh Allah swt seperti khamr, daging babi, bangkai dan
sebagainya tidak sah dijadikan mahar menurut syara’ karena tidak ada nilai manfaatnya.
Begitu pula benda-benda yang tidak bisa dijadikan hak milik, seperti air, udara, yang
tidak bisa dimilikinya.25

Mahar sebagai hak wanita yang harus dipenuhi bukan hak wali dari perempuan,
sehingga ayahnya atau siapapun tidak boleh mengambil sedikitpun mahar tersebut,
walaupun mahar tersebut mempunyai nilai materi sangat kecil, akan tetapi mahar itu
harus tetap dibayarkan. Selama mahar itu belum diberikan, selama itu pula mahar
menjadi tanggungan calon suami.Mahar diwajibkan kepada calon suami, karena hal
tersebut sesuai dengan titik awal pensyariatan dalam Islam bahwa perempuan tidak
dibebani dengan kewajiban memberi nafkah baik sebagai ibu, anak maupun istri. Akan
tetapi pihak laki-lakilah yang diberi kewajiban tersebut baik itu memberi nafkah maupun
mahar karena laki-laki lebih mampu untuk berusaha dan bekerja mencari rizki.

D. TALAK

Talak adalah istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada proses perceraian
antara seorang suami dan istri. Talak merupakan salah satu cara yang diakui dalam agama
Islam untuk mengakhiri ikatan pernikahan. Secara harfiah, talak berarti melepaskan atau
membebaskan.

24
Tihami dkk, Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015, hal.48
25
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 81

11
Dalam Islam, terdapat beberapa bentuk talak yang diakui, di antaranya adalah
talak raj'i dan talak bain. Talak raj'i adalah talak yang bisa dicabut atau dirujuk kembali
selama masa iddah (periode tunggu) sebelum akhirnya menjadi batal. Sementara itu, talak
bain adalah talak yang tidak bisa dicabut dan merupakan perceraian yang bersifat
permanen.

Proses talak biasanya melibatkan suami yang menyampaikan pernyataan talak


kepada istri secara lisan, seperti mengucapkan kata-kata "aku menceraikanmu" atau
serupa dengan itu. Namun, beberapa negara dan lembaga Islam juga mengharuskan
adanya tindakan atau prosedur tertentu yang harus diikuti dalam proses talak.

Talak adalah istilah dalam hukum Islam yang mengacu pada perceraian atau
pemutusan ikatan pernikahan antara seorang suami dan istri. Dalam konteks
hukum Islam, talak merupakan salah satu cara untuk mengakhiri pernikahan yang
sah. 26

Talak dapat diberikan oleh suami kepada istri dengan menyatakan kata-kata
talak tiga kali secara tegas dan jelas, seperti "aku menceraikanmu" atau "aku talak
tiga." Setelah talak tiga kali diucapkan, perceraian dianggap sah dan ikatan
pernikahan dianggap bubar. 27

Namun, penting untuk dicatat bahwa talak adalah langkah yang serius dan
dianggap sebagai tindakan terakhir dalam Islam. Dalam banyak kasus, Islam
mendorong penyelesaian masalah melalui musyawarah, mediasi, atau upaya
rekonsiliasi sebelum mencapai talak.

Setelah talak terjadi, ada periode tertentu yang disebut "iddah" di mana
suami dan istri tetap terikat secara hukum, namun tidak hidup bersama. Tujuan
dari iddah adalah memberikan waktu bagi pasangan yang bercerai untuk
merefleksikan keputusan mereka, memungkinkan kemungkinan rekonsiliasi, dan
memastikan bahwa tidak ada kehamilan yang terjadi selama masa tersebut.

26
Moch Anwar, 1990, Fiqh Islam Muamalah, Munakahat, Faraid Dan Jinayah, Al- ma'arif, Bandung
27
Aminuddin, 1999, Fiqh munakahat, pustaka setia Bandung

12
Penting untuk diingat bahwa informasi ini mencerminkan pemahaman
umum tentang talak dalam Islam. Praktik dan aturan terkait talak dapat berbeda-
beda dalam berbagai konteks dan mazhab hukum Islam. Jika Anda membutuhkan
informasi yang lebih spesifik atau rinci tentang talak, disarankan untuk
berkonsultasi dengan seorang ahli hukum Islam atau otoritas
agama yang kompeten.

Dalam hukum Islam, terdapat beberapa jenis pembagian talak yang dikenal.
Berikut adalah tiga jenis pembagian talak yang umum:

1. Talak Raj'i: Talak raj'i adalah talak yang dapat dirujuk atau ditarik
kembali. Dalam talak ini, suami memberikan talak kepada istri, tetapi masih
ada kemungkinan untuk berdamai dan melanjutkan pernikahan. Talak raj'i
dapat ditarik kembali selama periode iddah, yaitu masa tunggu setelah talak
diucapkan. Jika suami dan istri berdamai dan ingin melanjutkan pernikahan,
mereka dapat menghilangkan talak dan pernikahan dapat berlanjut tanpa
harus menikah ulang.

2. Talak Ba'in: Talak ba'in adalah talak yang bersifat tidak dapat
dirujuk atau ditarik kembali. Dalam talak ini, suami memberikan talak
kepada istri dengan niat yang tegas dan tidak ada kesempatan untuk
berdamai atau melanjutkan pernikahan. Setelah talak ba'in diucapkan tiga
kali secara tegas dan jelas, pernikahan dianggap bubar secara sah dan
pasangan tersebut tidak dapat menikah kembali kecuali dengan melalui
proses pernikahan baru yang dimulai dari awal.

3. Talak Hasan: Talak hasan adalah talak yang diucapkan oleh suami
secara bertahap dalam waktu yang berbeda dengan periode tunggu antara
talak-talak tersebut. Suami memberikan talak kepada istri pada tiga periode
talak yang berbeda. Setelah talak pertama, pasangan masih dapat berdamai
selama masa iddah. Jika mereka berdamai, talak tersebut dianggap batal.
Namun, jika talak kedua diberikan, damai tidak lagi mungkin dan mereka
masih memiliki waktu iddah untuk memutuskan apakah akan melanjutkan

13
pernikahan atau memberikan talak yang ketiga. Jika talak ketiga diberikan,
perceraian dianggap sah dan pasangan tidak dapat rujuk satu sama lain
kecuali melalui pernikahan baru.

Penting untuk diingat bahwa praktik dan aturan terkait pembagian talak
dapat berbeda-beda dalam mazhab-mazhab hukum Islam. Oleh karena itu, jika
Anda memiliki pertanyaan lebih spesifik tentang pembagian talak dalam konteks
tertentu, disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli hukum Islam atau otoritas
agama yang kompeten.

Dalam hukum Islam, saksi memiliki peran penting dalam proses talak.
Pengakuan talak yang hanya didasarkan pada kesaksian suami tanpa ada saksi
yang hadir atau melaporkan perceraian tersebut tidaklah cukup. Prinsip ini
bertujuan untuk mencegah talak yang impulsive atau tidak diinginkan, serta
memberikan perlindungan kepada istri.

Dalam kebanyakan mazhab hukum Islam, ada persyaratan untuk adanya


saksi yang hadir ketika talak diucapkan. Umumnya, terdapat dua saksi
muslim dewasa yang adil dan dapat dipercaya yang harus hadir saat talak
diucapkan. Saksi-saksi ini hadir untuk memastikan bahwa talak telah
diucapkan dengan jelas, tidak ada tekanan atau paksaan yang terlibat, dan
proses perceraian tersebut sesuai dengan aturan Islam. 28

Saksi-saksi ini juga memberikan perlindungan hukum kepada istri dengan


memberikan bukti adanya perceraian yang sah. Jika tidak ada saksi yang hadir,
talak tersebut mungkin dianggap tidak sah atau memerlukan proses tambahan
untuk memperoleh bukti yang cukup.

Namun, penting untuk dicatat bahwa praktik dan persyaratan terkait saksi
dalam talak dapat bervariasi di berbagai negara dan mazhab hukum Islam.
Beberapa mazhab memungkinkan talak untuk diucapkan di hadapan saksi yang
hadir atau melalui prosedur administratif, seperti notaris atau lembaga peradilan
agama.
28
Aminuddin, 1999, Fiqh munakahat, pustaka setia Bandung

14
Jika Anda memiliki pertanyaan lebih spesifik tentang persyaratan saksi
dalam talak dalam konteks tertentu, disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli
hukum Islam atau otoritas agama yang kompeten yang dapat memberikan panduan
sesuai dengan mazhab dan praktik hukum Islam yang berlaku di wilayah Anda.

Dalam hukum Islam, terdapat beberapa macam talak yang diakui. Berikut
adalah beberapa jenis talak yang umum:

1. Talak Sunnah: Talak sunnah adalah talak yang diucapkan oleh suami satu atau
dua kali tanpa ada niat atau rencana untuk melanjutkan pernikahan. Talak ini
merupakan bentuk talak yang disunahkan dalam Islam. Setelah talak sunnah
diucapkan, pasangan masih memiliki waktu iddah untuk berdamai dan melanjutkan
pernikahan. Namun, jika talak ketiga diucapkan, talak tersebut dianggap baku dan
pernikahan bubar secara sah.

2. Talak Bid'ah: Talak bid'ah adalah talak yang diucapkan dengan cara yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Misalnya, jika suami mengucapkan talak tiga kali
sekaligus atau dalam satu waktu tanpa ada jeda waktu yang ditentukan, itu
dianggap sebagai talak bid'ah. Talak bid'ah tetap dianggap sah, namun, tergantung
pada mazhab hukum Islam yang dianut, dapat dikenakan hukum tambahan atau
persyaratan untuk menghindari kesalahan semacam itu.

3. Talak Khul'i: Talak khul'i adalah talak yang diminta oleh istri untuk mengakhiri
pernikahan. Istilah "khul'" mengacu pada kewenangan istri untuk meminta
perceraian, biasanya de 29 ngan memberikan ganti rugi atau membayar mahar yang
telah diterima. Talak khul'i dapat diajukan atas alasan yang sah, seperti
ketidakcocokan atau ketidakharmonisan dalam pernikahan. Proses talak khul'i
melibatkan persetujuan suami untuk melepaskan istri dengan ganti rugi atau mahar
yang disepakati.

4. Talak Tafwid: Talak tafwid adalah talak yang diberikan kepada istri dengan
memberikan hak kepada seorang wakil atau qadi (hakim agama) untuk
mengucapkan talak atas nama suami. Dalam talak tafwid, suami memberikan kuasa
29
Moch Anwar, 1990, Fiqh Islam Muamalah, Munakahat, Faraid dan Jinayah, Al- ma'arif, Bandung

15
kepada wakil atau hakim agama untuk menentukan dan mengucapkan talak. Hal ini
memberikan kebebasan kepada suami untuk menyerahkan keputusan perceraian
kepada orang lain dalam rangka mencapai keadilan.

Penting untuk diingat bahwa praktik dan terminologi talak dapat bervariasi
dalam berbagai mazhab hukum Islam dan tradisi budaya. Jika Anda memiliki
pertanyaan lebih spesifik tentang talak dalam konteks tertentu, disarankan untuk
berkonsultasi dengan ahli hukum Islam atau otoritas agama yang kompeten 30 .

E. RUJUK

1. Pengertian Rujuk

Rujuk adalah istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada proses
rekonsiliasi atau pengembalian suami dan istri yang telah bercerai atau mengalami
talak. Rujuk dapat terjadi setelah perceraian atau talak terjadi, di mana pasangan
yang telah bercerai memutuskan untuk kembali bersama dan melanjutkan
pernikahan mereka. 31 Dalam konteks hukum Islam, rujuk memiliki beberapa prinsip
dan persyaratan yang perlu dipenuhi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
proses rujuk antara lain:

1. Kesepakatan kedua belah pihak: Baik suami maupun istri harus secara sukarela
setuju untuk rujuk dan melanjutkan pernikahan. Rujuk harus didasarkan pada
keinginan dan kesepakatan bersama tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak
manapun.

2. Masa iddah: Setelah talak terjadi, ada periode tunggu yang disebut iddah. Iddah
adalah masa yang diberikan untuk merenungkan keputusan perceraian dan
memberikan kesempatan bagi pasangan untuk memperbaiki hubungan mereka. Jika
suami dan istri memutuskan untuk rujuk, proses rujuk biasanya dilakukan selama
periode iddah.

30
M Hasbi Ash shidiqie, 1990, Hukum-hukum Fiqh Islam, Bulan Bintang, Jakarta
31
M Hasbi Ash shidiqie, 1990, HUkum-hukum Fiqh Islam, Bulan Bintang, Jakarta

16
3. Prosedur formal: Terkadang, tergantung pada hukum yang berlaku di negara
atau wilayah tertentu, proses rujuk mungkin melibatkan prosedur formal atau
administratif, seperti pernyataan tertulis, persetujuan dari pihak berwenang, atau
pelaporan perceraian dan rujuk kepada lembaga yang berwenang.

Penting untuk dicatat bahwa persyaratan dan prosedur rujuk dapat


bervariasi tergantung pada negara, mazhab hukum Islam, dan praktik lokal. Jika
Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang proses rujuk dalam konteks yang
spesifik, disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli hukum Islam atau otoritas
agama yang kompeten.

2. Tata Cara Rujuk

Tata cara rujuk, yaitu proses rekonsiliasi atau pengembalian suami dan istri
yang telah bercerai atau mengalami talak dalam hukum Islam, dapat melibatkan
beberapa langkah. Berikut adalah langkah-langkah umum dalam tata cara rujuk:

1. Kesepakatan dan niat bersama: Suami dan istri yang telah bercerai atau
mengalami talak harus memiliki niat yang sungguh-sungguh untuk rujuk dan
melanjutkan pernikahan. Kedua belah pihak harus setuju secara sukarela dan tanpa
adanya paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

2. Pemberitahuan dan persetujuan: Jika talak tersebut dilakukan melalui prosedur


hukum atau lembaga pernikahan resmi, seperti kantor catatan sipil atau pengadilan
agama, suami dan istri harus memberitahukan dan mendapatkan persetujuan dari
pihak berwenang tentang keinginan mereka untuk rujuk. Persyaratan administratif
dan prosedur yang spesifik dapat bervariasi tergantung pada hukum yang berlaku
di negara atau wilayah tertentu.

3. Masa iddah: Setelah talak terjadi, ada periode tunggu yang disebut iddah. Iddah
adalah masa yang diberikan untuk merenungkan keputusan perceraian dan
memberikan kesempatan bagi pasangan untuk memperbaiki hubungan mereka.
Rujuk biasanya dilakukan selama periode iddah, yang biasanya berkisar antara tiga
bulan dalam kasus talak raj'i.

17
4. Persiapan dan perencanaan: Pasangan yang akan rujuk perlu melakukan
persiapan dan perencanaan untuk melanjutkan pernikahan mereka. Hal ini dapat
melibatkan komunikasi yang baik, pemecahan masalah, mengatasi perbedaan, dan
melakukan upaya untuk memperbaiki hubungan dan membangun kembali
kepercayaan.

5. Rekonsiliasi dan kesinambungan: Proses rujuk melibatkan usaha bersama dari


suami dan istri untuk memperbaiki hubungan mereka. Rekonsiliasi dapat
melibatkan perundingan, mediasi, konseling pernikahan, atau melibatkan pihak
ketiga yang dapat membantu dalam memecahkan masalah dan meningkatkan
komunikasi.

Penting untuk diingat bahwa tata cara rujuk dapat bervariasi tergantung
pada mazhab hukum Islam, hukum yang berlaku di negara atau wilayah tertentu,
serta praktik dan budaya lokal. Jika Anda ingin mengetahui proses rujuk yang
lebih spesifik dalam konteks tertentu, disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli
hukum Islam atau otoritas agama yang kompeten.

3. Rukun Rujuk

Rukun rujuk, atau elemen-elemen yang harus dipenuhi dalam proses rujuk
dalam hukum Islam, dapat berbeda-beda tergantung pada mazhab hukum Islam
yang dianut dan praktik lokal. Namun, secara umum, terdapat beberapa rukun atau
elemen penting yang biasanya diperlukan dalam proses rujuk. Berikut adalah
beberapa rukun rujuk yang umum:

1. Kesepakatan kedua belah pihak: Suami dan istri yang ingin rujuk harus
memiliki kesepakatan dan persetujuan yang jelas serta sukarela untuk melanjutkan
pernikahan. Rujuk harus didasarkan pada keinginan bersama tanpa adanya paksaan
atau tekanan dari pihak manapun.

2. Penyampaian niat rujuk: Niat untuk rujuk harus disampaikan dengan jelas dan
tegas kepada pihak yang berwenang atau lembaga yang relevan. Jika talak
dilakukan melalui prosedur hukum atau lembaga pernikahan resmi, seperti kantor

18
catatan sipil atau pengadilan agama, pemberitahuan dan permohonan rujuk harus
dilakukan sesuai dengan persyaratan yang berlaku.

3. Pembayaran ganti rugi (jika berlaku): Terkadang, dalam proses rujuk, istri dapat
diminta untuk membayar ganti rugi kepada suami sebagai bagian dari kesepakatan
rujuk. Jumlah ganti rugi ini dan mekanisme pembayarannya dapat bervariasi
tergantung pada hukum yang berlaku dan kesepakatan antara pasangan.

Penting untuk dicatat bahwa persyaratan dan rukun rujuk dapat bervariasi
tergantung pada konteks hukum Islam yang berlaku di negara atau wilayah
tertentu. Praktik lokal, mazhab hukum Islam, dan peraturan pernikahan yang
berlaku di wilayah tersebut juga dapat mempengaruhi rukun rujuk yang
diperlukan.

Jika Anda ingin mengetahui rukun rujuk yang lebih spesifik dalam konteks
tertentu, disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli hukum Islam atau otoritas
agama yang kompeten yang dapat memberikan panduan sesuai dengan mazhab dan
praktik hukum Islam yang berlaku di wilayah tersebut.

F. IDDAH

1.Pengertian Iddah

Menurut bahasa iddah berasal dari kata "al'udd" dan "al-ihsha" yang berarti
bilangan atau hitungan sedangkan dalam kamus disebutkan ,iddah wanita merupakan
hari-hari kesucian wanita dan berkabungnya terhadap suami ,dalam istilah fuqaha' iddah
adalah masa menunggu wanita sehingga halal bagi laki-laki lain.32

Adapun menurut istilah, kata iddah ialah Sebutan/nama bagi suatu masa di mana
seorang wanita/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya
atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya
beberapa quru', atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.33

Islam memberikan batasan iddah ini sebagai berikut :


32
Abdul aziz, Abdul wahhab, FIQH MUNAKAHAT, (Jakarta : Amzah 2022), hal. 318.
33
Ria Resky Amir, “IDDAH (Tinjauan Fiqih Keluarga Islam)”, no. 1, 2018, hal. 13

19
a. Iddah wanita yang masih haid = tiga kali suci dari haid.
b. Iddah wanita yang telah lewat masa iddahnya (menopause) = tiga bulan
c. Iddah wanita yang kematian suami = empat bulan sepuluh hari.
d. Iddah wanita hamil = sampai melahirkan.
e. Tidak ada iddah bagi wanita yang belum dicampuri.

2. Hukum Iddah

Masa iddah sebenarnya sudah dikenal di masa jahiliyah. Ketika Islam datang,
masalah ini tetap diakui dan dipertahankan. Oleh karena itu para Ulama sepakat bahwa
iddah itu wajib, berdasarkan al-Qur'an dan Sunnah." Para ulama sepakat atas wajibnya
iddah bagi seorang perempuan yang telah bercerai dengan suaminya. Mereka
mendasarkan dengan firman Allah pada (Qs.al-baqarah (2): 228)

‫َو اْلُم َطَّلٰق ُت َيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِهَّن َثٰل َثَة ُقُر ْۤو ٍۗء َو اَل َيِح ُّل َلُهَّن َاْن َّيْكُتْم َن َم ا َخ َلَق ُهّٰللا ِفْٓي َاْر َح اِم ِهَّن ِاْن ُك َّن ُيْؤ ِم َّن ِباِهّٰلل َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر‬
‫َو ُبُعْو َلُتُهَّن َاَح ُّق ِبَر ِّد ِهَّن ِفْي ٰذ ِلَك ِاْن َاَر اُد ْٓو ا ِاْص اَل ًحاۗ َو َلُهَّن ِم ْثُل اَّلِذ ْي َع َلْيِهَّن ِباْلَم ْع ُرْو ِۖف َو ِللِّر َج اِل َع َلْيِهَّن َد َر َج ٌةۗ َو ُهّٰللا َع ِز ْيٌز َحِكْيٌم‬

Terjemahnya: wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)


tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Rasulullah juga pernah
bersabda kepada Fatimah bin Qais Artinya: "Beriddahlah kamu di rumah Ummi
Kaltsum."

3.Pembagian Masa Iddah

20
1. Iddah wanita hamil, maka iddahnya sampai dengan melahirkan, Ketentuan waku tunggu
bagi janda yang dalam keadaan hamil adalah sampai anaknya lahir. Cara menghitung
tenggang waktu tersebut apabila putus perkawinan karena peceraian, maka dihitung sejak
jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai ke-kuatan yang tetap."
2. Iddah Atas Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya Para ulama' mazhab sepakat bahwa
iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, se dangkan ia tidak hamil adalah empat bulan
sepuluh hari baik wanita tersebut sudah dewasa maupun masih anak-anak, dalam usia
menopause atau tidak. Putusnya perkawinan karena kematian tenggang waktunya
dihitung sejak suaminya meninggal, ketentuan tenggang waktu ter- sebut tidak berlaku
bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, apabila antara janda tersebut
dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
3. Iddah Atas Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya Sebelum Terjadi Senggama Iddah
wanita atau isteri yang belum di- campuri, baginya tidak ada iddah. Hal ini berdasarkan
firman Allah Swt dalam surat al- Ahzab surat ke-33 ayat 49 berikut:

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا َنَكْح ُتُم اْلُم ْؤ ِم ٰن ِت ُثَّم َطَّلْقُتُم ْو ُهَّن ِم ْن َقْبِل َاْن َتَم ُّسْو ُهَّن َفَم ا َلُك ْم َع َلْيِهَّن ِم ْن ِع َّد ٍة َتْع َتُّد ْو َنَهۚا َفَم ِّتُعْو ُهَّن َو َس ِّر ُحْو ُهَّن‬
‫َسَر اًحا َجِم ْياًل‬

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-


perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya
maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah
mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya".34

4.Macam-macam Iddah

1. Iddah dengan quru Perempuan yang mempunyai masa haid,


iddahnya adalah tiga quru".Arti quru itu disamakan dengan haid maka masa iddah dapat
dipenuhi dengan tiga kali haid. Jika difahami masa tiga kali suci, maka tidak sampai tiga
masa penuh karena iddah akan selesai dengan dua kali suci dan lebih sedikit.
2. Iddah dengan ketentuan bulan ,Iddah dengan ketentuan bulan ini ada dua macam yaitu:

34
Henderi Kusmidi, “Reaktualisasi Konsep Iddah Dalam Pernikahan”, no. 4. 2017, hal. 35-38.

21
a. Iddah untuk perempuan yang tidak datang bulan (berhaid) lagi.
Ketentuan yang diperuntukkan bagi perempuan yang tidak datang bulan (berhaid)
lagi, disebabkan faktor usia atau faktor kesehatan maka perhitungan iddahnya adalah
sembilan puluh hari, diberlakukan bagi isteri pernah telah digauli. Sedangkan bagi
isteri, tidak pernah digauli maka bagi mereka tidak ada masa iddah,
b. Iddah untuk perempuan yang disebabkan suaminya meninggal dunia.
Bagi isteri-isteri yang suaminya meninggal dunia maka dia harus menunggu menahan
atau masa iddahnya adalah lebih kurang waktunya seratus tiga puluh hari.
c. Iddah melahirkan bagi perempuan hamil QS. At-Talaq 65/4 (Departemen Agama RI :
1144) menyatakan perempuan dalam keadaan hamil waktu iddahnya yaitu sebatas dia
bersalin. Setiap wanita isteri hamil baik dia itu dicerai mati maupun dicerai hidup maka
lama iddahnya adalah sampai dia melahirkan.35

5.Hikmah Disyariatkan Iddah


Hikmah disyariatkannya Iddah adalah :
a. Mengetahui terbebasnya rahim.
b. Menunjukkan keagungan, kemulian masalah pernikahan dan hubungan badan.
c. Memberi kesempatan bagi sang suami yang telah mentalak istrinya untuk rujuk kembali.
d. Memuliakan kedudukan sang suami di mata sang istri.
e. Berhati-hati dalam menjaga hak suami.36

KESIMPULAN

Khitbah atau peminangan dapat diartikan sebagai pernyataan untuk menikah dari
seorang laki-laki kepada seorang perempuan maupun sebaliknya dengan perantara seseorang
yang dipercayai. Pernikahan adalah hasrat naluri yang ada pada setiap insan menjadikan
suatu akad yang menghalalkan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dan

35
Nurhayati, “Iddah Dalam Perceraian”, Oktober 2019, hal. 49-50
36
Ria Resky, “IDDAH (Tinjauan Fiqih Keluarga Muslim), no. 1, hal. 19.

22
juga untuk menempuh hidup baru dengan mewujudkan kebahagian yang sakinah mawaddah
warrahmah dengan atas ridho Allah SWT.

Mahar merupakan sesuatu yang penting dalam jalinan pernikahan,mahar sebagai


pemberian calon suami kepada calon istri sebagai kesungguhan dan cerminan kasih sayang
calon suami terhadap calon istrinya yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua
belah pihak, dengan penuh kerelaan hati oleh calon suami kepada calon istrinya sebagai
tulang punggung keluarga dan rasa tanggung jawab sebagai seorang suami. Talak merupakan
salah satu cara yang diakui dalam agama Islam untuk mengakhiri ikatan pernikahan. Menurut
bahasa iddah berasal dari kata "al'udd" dan "al-ihsha" yang berarti bilangan atau hitungan
sedangkan dalam kamus disebutkan ,iddah wanita merupakan hari-hari kesucian wanita dan
berkabungnya terhadap suami ,dalam istilah fuqaha' iddah adalah masa menunggu wanita
sehingga halal bagi laki-laki lain

DAFTAR PUSTAKA

Firman Arifandi, Serial hadist Nikah 3: Melamar & Melihat Calon Pasangan, (Jakarta: Rumah
fiqih pubishing, 2019)

Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2022)

23
Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm Buku 2 (Jilid 3-6),
(Jakarta: Pustaka Azzam. 2007)

Hafidhul Umami, Studi Perbandingan Madzhab Tentang Khitbah dan batasan melihat wanita
dalam khitbah, (Usratuna:2019)

Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh al-Asrah al-Muslimah, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2011)

Ayyub, Fiqh al-Asrah

Ahmad Syarwat, Seri Fiqih Kehidupan 8 Pernikahan, (Jakarta: DU Publishing, 2011)

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007)

Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri

Hafidhul Umami, Studi Perbandingan Madzhab Tentang Khitbah dan batasan melihat wanita
dalam khitbah, (Usratuna:2019)

Cahyadi Takariawan, Izinkan Aku Meminangmu (Solo: Era Intermedia, 2004)

Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 1999)

Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, vol. 2, (Beirut: Dār al-Fikr, 2008), 458-9. Lihat juga al-Zuḥailī,
al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9

Al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9

Al-Jazīrī, al-Fiqh ‘alā alMadhāhib al-Arba’ah, vol. 4, 14 dst. Lihat juga Sayyid Sābiq, Fiqh al-
Sunnah, vol 2, 469 dst. Lihat juga al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9, 6534 dst. Lihat juga Ibnu
Rushd, Bidāyat al-Mujtahid, vol. 2, 3 dst.

Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan , Jakarta: Bulan Bintang 1974

Kaharuddin, Nilai-Nilai Filosopi Perkawinan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010

Tihami dkk, Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015

Moch Anwar, 1990, Fiqh Islam Muamalah, Munakahat, Faraid Dan Jinayah, Al-
ma'arif, Bandung

Aminuddin, 1999, Fiqh munakahat, pustaka setia Bandung

M Hasbi Ash shidiqie, 1990, Hukum-hukum Fiqh Islam, Bulan Bintang, Jakarta

24
Abdul aziz, Abdul wahhab, FIQH MUNAKAHAT, (Jakarta : Amzah 2022)

Ria Resky Amir, “IDDAH (Tinjauan Fiqih Keluarga Islam)”, no. 1, 2018

Henderi Kusmidi, “Reaktualisasi Konsep Iddah Dalam Pernikahan”, no. 4. 2017

Nurhayati, “Iddah Dalam Perceraian”, Oktober 2019

25

Anda mungkin juga menyukai