Paper Mooiii Unhcr
Paper Mooiii Unhcr
(UNHCR)
Disusun Oleh:
CIMAHI
2019
PROFIL UNHCR
Sejarah UNHCR
Sejarah awalnya terdapat sebuah organisasi internasional yang dibentuk oleh LBB,
yaitu IRO. IRO atau International Refugee Organization merupakan organisasi internasional
yang bertugas menangani pengungsi dan mendapat mandat untuk melindungi pengungsi yang
telah diakui oleh LBB. Pada awalnya tujuan utama IRO adalah repatriasi, tetapi ketegangan
politik yang akhirnya mencetuskan perang dingin telah mengubah arah kebijakan menjadi
pemukiman kembali (resettlement). IRO kemudian digantikan oleh UNHCR. Pada tahun
1954, UNHCR memenangkan penghargaan Nobel Peace atas kerja besarnya membantu
pengungsi di Eropa. Mandatnya kemudian diperluas hingga akhir dekade.
Pada tahun 1956, UNHCR mengalami keadaan darurat terbesarnya yang pertama,
dimana jumlah pengungsi mengalami peledakan dikarenakan Uni Soviet yang
menghancurkan Revolusi Hongaria. Segala teori yang menyebutkan bahwa UNHCR tidak
dibutuhkan, tidak lagi mengemuka. Pada tahun 1960-an, dekolonisasi Afrika menyebabkan
krisis pengungsi dalam jumlah terbesar dalam benua tersebut hingga membutuhkan intervensi
UNHCR. Pada tahun 1980 terjadi perperangan di wilayah Asia-Afrika yang menimbulkan
banyak korban pengungsi di Libanon, Somalia, Srilanka, Afghanistan dan Urganda. UNHCR
melalui Konvensi 1951 dan Protokol 1967 melaksanakan fungsinya dalam penanggulangan
pengungsi di kawasan Asia-Afrika tersebut. Pada tahun 1981 UNHCR telah berhasil
membantu dan mengatasi pengungsi dalam dimensi global sehingga hal ini UNHCR
mendapatkan kembali penghargaan. Pada akhir abad, terdapat permasalahan pengungsi baru
di Afrika, menjadikan adanya siklus yang berulang dan membawa gelombang pengungsi baru
di Eropa menyusul serangkaian perang di daerah Balkan.
Pada awal abad 21, UNHCR telah membantu berbagai krisis pengungsi terbesar di
Afrika seperti di Republik Demokrat Kongo dan Somalia, serta di Asia, terutama dalam
permasalahan pengungsi di Afghanistan yang berlangsung selama 30 tahun. Disaat yang
sama, UNHCR juga telah diminta untuk menggunakan keahlian guna mengatasi permasalahan
pengungsi internal yang disebabkan oleh konflik-konflik yang terjadi.
Disamping itu, peran UNHCR juga semakin meluas hingga menangani bantuan bagi
orang-orang tanpa kewarganegaraan, sebuah kelompok orang yang berjumlah jutaan namun
tidak kasat mata, dan mereka yang menghadapi bahaya kehilangan hak-hak dasarnya karena
tidak memiliki kewenangan.
Dari data yang didapatkan per 2011, jumlah negara anggota sebanyak 34 staff pada
awal berdirinya, saat ini UNHCR telah memiliki 7.190 staff nasional dan internasional,
termasuk 702 orang yang bekerja di kantor pusat di Geneva. UNHCR telah bekerja di 123
negara, dengan staff yang berbasis sdi 124 lokasi utama, seperti di daerah dan kantor cabang,
dan 272 sub-kantor dan kantor lapangan yang seringkali berada di daerah terpencil.
Visi UNHCR sendiri sama dengan visi PBB, yaitu: memelihara perdamaian dan
keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa, dan
mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar.
Sesuai dengan yang telah dimandatkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa atau PBB, misi UNHCR antara lain:1
1 UNCHR Global Appeal 2011 Update. “UNCHR Mission” [online] diakses melalui: http://www.unhcr-
centraleurope.org/pdf/about-us/unhcr-mission-statement.html pada 5 Desember 2019
f) Mengurangi situasi pengungsian paksa dengan mendorong negara dan lembaga-
lembaga lain untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi perlindungan hak asasi
manusia dan resolusi damai sengketa;
g) Memberikan perhatian khusus pada kebutuhan anak-anak dan berusaha untuk
mempromosikan kesetaraan hak perempuan dan anak perempuan; dan
h) Bekerja sama dalam kemitraan dengan pemerintah, organisasi regional dan organisasi
internasional lainnya, melakukan komitmen untuk prinsip partisipasi, percaya bahwa
pengungsi dan orang lain yang mendapatkan manfaat dari kegiatan organisasi harus
berkonsultasi atas keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Keanggotaan
Dari jumlah Negara anggota sebanyak 34 staff pada saat awal berdirinya, saat ini
UNHCR telah memiliki 7,190 staff nasional dan internasional, termasuk 702 orang yang
bekerja di kantor pusat di Geneva. UNHCR bekerja di 123 negara, dengan staff yang berbasis
di 124 lokasi utama, seperti di daerah dan kantor cabang, dan 272 sub-kantor dan kantor
lapangan yang seringkali berada di daerah terpencil.
Fungsi
Sebagai salah satu organisasi yang berada dibawah naungan PBB, yang perduli pada
permasalahan pengungsii, UNHCR menjalankan fungsi-fungsi sebagai berikut:2
Sedangkan pengungsi yang berada dibawah naungan atau tanggung jawab UNHCR
ialah mereka yang:3
a) Berada di luar negara asalnya. Karena bila masih berada di dalam negara asalnya, ia
masih terikat hukum atau menjadi otoritas negara itu. Mengingat setiap negara
memiliki kedaulatannya sendiri;
b) Memiliki ketakutan mendasar atau beralasan di negara asalnya;
c) Dianiaya bukan hanya dari segi fisik juga psikologis seperti agama, ras, kebangsaan,
kelompok sosial bahkan pendapat politik;
d) Negara tidak dapat dan atau memberikan perlindungan hukum, misalnya karena tidak
tercatat sebagai warga negaranya secara sah. Termasuk dalam golongan rentan yaitu
anak tanpa pendamping, wanita korban tindak kekerasan, penderita cacat serta
manula; dan
e) Tidak memiliki kewarganegaraan dengan berbagai latar belakang.
Sumber Dana
Dasar Hukum
Konvensi 1951 dan Protokol 1967 penting diketahui sebab diperlukan untuk
menetapkan status pengungsi seseorang (termasuk pengungsi atau bukan). Konvensi 1951
merupakan suatu instrumen internasional bagi pengungsi, yang rancangannya dibuat sebagai
hasil rekomendasi Komisi HAM PBB dan berisi aturan standar perlakuan terhadap pengungsi.
Konvensi telah menetapkan status hukum pengungsi dan mencantumkan ketentuan-ketentuan
tentang hak dan kewajiban mereka untuk mendapatkan apa yang menjadi hak dan kewajiban
pengungsi pada umumnya. Berlakunya Konvensi 1951 terhadap para pengungsi ini juga
diikuti dengan berlakunya Protokol 1967, yang mengatur secara rinci mengenai status
kedudukan dari pengungsi. Berlakumya Konvensi 1951 dan Protokol 1967 telah memberikan
langkah dan prinsip baru mengenai definisi dari pengungsi dan perlindungan signifikan yang
berbasis dari status atau kedudukan resmi para pengungsi. Selain itu, kedua instrumen
internasional tersebut juga memberikan arah bagi UNHCR untuk menjalankan eksistensinya
didalam melindungi hak dan kewajiban pengungsi yang tersebar di belahan dunia.
Struktur
a) Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) adalah organ tambahan dari
Majelis Umum PBB, yang membuatnya pada tahun 1949. Mulai beroperasi pada tahun
1951, dan kantor pusatnya berada di Jenewa. Badan tersebut saat ini memiliki staf
nasional dan internasional lebih dari 7.190 yang bekerja di 123 negara. Komisaris
Tinggi saat ini adalah Tuan Antonio Guterres, yang mengambil posisi pada 15 Juni
2005 dan terpilih kembali pada bulan April 2010. Komisaris Tinggi dipilih oleh
Majelis Umum PBB untuk masa jabatan lima tahun, pada pencalonan oleh Sekretaris
Umum PBB (Pasal 13 Statuta UNHCR). Setiap tahun, Komisaris Tinggi melapor
kepada Majelis Umum, yang biasanya mengadopsi resolusi untuk mendukung
UNHCR.5
b) Asisten Komisaris Tinggi untuk Perlindungan (AHC-P) melapor langsung ke
Komisaris Tinggi. Ia membantu dan membimbing Komisaris Tinggi dalam promosi
dan pelaksanaan mandat perlindungan yang telah disepakati. AHC-P menjalankan
tanggung jawab pengawasan untuk kegiatan perlindungan global UNHCR dan untuk
pengembangan kebijakan perlindungan dan doktrin yang diimplementasikan melalui
penyampaian seluruh program dalam organisasi, dan memastikan hubungan
fungsional yang efektif antara layanan perlindungan dan kantor pusat yang berbasis
operasi.6
7 Ibid
8 Ibid
9 Ibid
REVIEW JURNAL
10 Joko Setiyono, “Kontribusi Unhcr Dalam Penanganan Pengungsi Internasional Di Indonesia”, Jurnal
Masalah-masalah Hukum, Vol. 46 No. 3 Tahun 2015. Internet, 5 Desember 2019,
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/16226
Pembahasan
Instrumen hukum utama tentang pengungsi dalam Konvensi 1951 dan Protokol
1967, yang terpenting adalah : pertama, perlindungan harus diberikan kepada semua
pengungsi tanpa melakukan pembedaan; kedua, standar minimum perlakuan yang harus
diperhatikan terhadap pengungsi; ketiga, pengusiran seorang pengungsi dari negara suaka
merupakan hal yang sangat serius; keempat, pemberian suaka merupakan beban yang
tidak tertanggungkan bagi beberapa negara tertentu; kelima, perlindungan pengungsi
merupakan tindakan kemanusiaan, oleh karenanya pemberian suaka tidak seharusnya
menimbulkan ketegangan diantara negaranegara; keenam, negara harus bekerjasama
dengan UNHCR dalam melaksanakan fungsinya dan untuk memfasilitasi tugastugasnya
dalam mengawasi diterapkannya konvensi.
2. Kontribusi UNHCR dalam Mengatasi Permasalahan Pengungsi Internasional Di
Indonesia
Adapun tahapan yang harus dilalui oleh pengungsi di suatu negara, yaitu : pertama,
registrasi pemohon pengungsi; kedua, wawancara tahap awal; ketiga, penentuan status
pengungsi. Registrasi pemohon pengungsi berisi dokumen resmi yang memuat identitas
lengkap pengungsi berikut alasan pergi dari negara asal. Selanjutnya, UNHCR akan
mengeluarkan attestation letter memuat prinsip non refoulement, yaitu pelarangan suatu
negara mengembalikan atau mengusir, maupun mengirim pengungsi dan pencari suaka ke
wilayah dimana akan terancam kehidupan dan keselamatan pengungsi dan pencari suaka.
Wawancara tahap awal adalah wawancara yang dilakukan oleh UNHCR untuk menggali
lebih dalam mengenai kasus dari seorang pemohon pengungsi sebelum diberikan
rekomendasi untuk diterima atau ditolak kasusnya.
Terkait dengan adanya pengungsi etnis Rohingya di Indonesia, UNHCR juga telah
berperan sebagai inisiator dengan baik. Sebagai catatan di tahun 2009, ada sekitar 391
pengungsi Rohingya mengungsi ke Indonesia, yang mana UNHCR terus memantau dan
memastikan sifat repatriasi secara sukarela dan memberikan bantuan. Para pengungsi
Rohingya ditampung di tempat pengungsian dalam pengawasan UNHCR, yaitu di kamp
pengungsian TNI AL, kantor Camat di wilayah Aceh, dan di beberapa rumah warga
lainnya (Januari, 2013). Selanjutnya terkait dengan pengungsi warga eks Timor-Timur
pasca jajak pendapat tahun 1999, UNHCR telah menjamin bantuan pemulangan pengungsi
dari kamp-kamp pengungsian, setelah warga Timor Timur mengutarakan keinginan
mereka untuk meninggalkan kamp dan pulang ke negara asalnya dengan rasa aman dan
terlindungi.
Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan, sebagai
berikut:
2. UNHCR merupakan sebuah badan pengungsi dunia yang diberi mandat oleh PBB untuk
melindungi pengungsi dan membantu pengungsi mencari solusi bagi keadaan buruk
para pengungsi internasional. Kontribusi UNHCR atas pengungsi internasional di
Indonesia, tampak dalam penanganan pengungsian yang berasal dari Semenanjung
Indochina, pengungsi etnis Rohingya, pengungsi eks Timor Timur,
Pertambahan jumlah penduduk dunia terus meningkat pesat di akhir millennium kedua
yang ditandai dengan ketidakseimbangan antara tingkat kelahiran (natalitas) yang lebih besar
daripada tingkat kematian (mortalitas). Hal ini disebabkan karena meningkatnya kualitas
pelayanan masyarakat dan usia harapan hidup manusia. Selain itu juga diikuti oleh
meningkatnya populasi penduduk yang tidak merata sehingga mengakibatkan timbulnya
permasalahan baru di sektor kehidupan. Jumlah penduduk dunia saat ini mencapai 7,53 miliar
jiwa yang memicu terjadinya perbedaan tingkat kepadatan antarnegara dan mengakibatkan
kesenjangan tingkat kesejahteraan antarnegara. Hal ini disebabkan oleh perselisihan
antarnegara, faktor kemiskinan, ras, agama dan budaya. tetapi juga migrasi penduduk
antarnegara. Istilah migrasi berasal dari bahasa latin migratio yang mempunyai arti
perpindahan penduduk antar negara. Berbagai kegiatan aspek kehidupan manusia ternyata
mempunyai keterkaitan dengan migrasi manusia baik bersifat kegiatan eksternal dan internal.
Faktor eksternal adalah aspek-aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan,
keamanan, kependudukan, sedangkan internal adalah, penegakan hukum keimigrasian,
pelaksanaan fungsi keimgrasian, pengawasan keimigrasian.
Arus migrasi penduduk negara secara global dari negara asal ke negara lain,
menimbulkan berbagai permasalahan yaitu imigran illegal, perdagangan orang (human
trafficking), penyelundupan manusia (people smuggling), dan pengungsi (refugee issue).
Permasalahan ini merupakan persoalan yang penting harus dihadapi oleh suatu negara dan
11 M. Alvi Syahrin, “Tindakan Hukum Terhadap Orang Asing Mantan Narapidana Yang Memiliki Kartu
Pengungsi Unhcr Dalam Perspektif Keimigrasian”. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 13 No 2 tahun 2019,
Internet 5 Desember 2019. https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/575
internasional. Sebagaimana permasalahan tersebut pada penulisan ini terfokus pada “refugee
issue” yang merupakan persoalan klasik yang timbul dalam peradaban umat manusia sebagai
akibat adanya rasa takut yang sangat mengancam keselamatan mereka.Ancaman itu dapat
ditimbulkan oleh ketakutan yang beralasan akan persekusi dengan alasan ras, suku, agama,
kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, dan pendapat politik yang berbeda serta
tidak menginginkan perlindugan dari negara asal.
Perpindahan penduduk dalam skala besar ini merupakan persoalan yang meluas menjadi
persoalan suatu negara dan internasional. Berkaitan dengan migrasi penduduk antarnegara,
Pemerintah Indonesia mengatur hal tersebut dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar
wilayah Indonesia serta pengawasanya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara.
Dalam peraturan keimigrasian, setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib
memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku, kecuali hal lain yang ditentukan
Undang-Undang Keimigrasian.
Berbagai kegiatan dan tujuan yang dilakukan orang asing selama berada di Indonesia
menimbulkan permalasahan yang disebabkan oleh pelanggaran tidak mematuhi undang-
undang. Dalam peraturan keimigrasian di Indonesia mengatur tentang tindakan administarasi
keimigrasian dan tindak pidana keimigrasian dan peraturan lain tindak pidana umum bagi
orang asing. Tindakan administrasi keimigirasian merupakan sanksi administratif yang
ditetapkan oleh pejabat imigrasi terhadap orang asing di luar proses peradilan dan tindak
pidana keimigrasian merupakan kegiatan yang dilakukan setiap orang dalam keadaan dan
situasi tertentu melanggar peraturan keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113-
136 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Sedangkan, tindak pidana
umum bagi orang asing yang melakukan pelanggaran pidana sesuai perbuatan yang dilakukan
selama berada di Indonesia.
STUDI KASUS
Sebagaimana dimaksud dalam peraturan bagi orang asing yang melakukan tindak
pidana keimigrasian dan tindak pidana umum dapat dikenakan hukuman pidana berupa pidana
kurungan dan biaya denda. Berbagai permasalahan yang terjadi dalam keberadaan WNA di
Indonesia salah satunya yaitu pada studi kasus “Ali Reza Khodadad Sharq bin Mojtaba”
karena telah melakukan tindak pidana yaitu menggunakan narkotika Golongan I bagi diri
sendiri sesuai dengan Pasal 113 ayat (1) subside Pasal 111 ayat (1) lebih subsider Pasal 127
ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebagaimana
perbuatan pidana yang dilakukan oleh Ali Reza Khodadad, maka pada tanggal 11 Januari
2017, Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman pidana dengan pidana kurungan
selama 1 (satu) tahun 8 (bulan) penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Kelas II A
Pemuda Tangerang. Setelah menjalani masa hukuman, pada penulisan ini status Ali Reza
Khodadad di tempatkan di Ruang Detensi pada Direktorat Jenderal Imigrasi untuk menunggu
keputusan tindakan keimigrasian.
Bagi orang asing yang telah melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia, dapat
dilakukan tindakan deportasi. Hal ini didasarkan pada peraturan keimigrasian Indonesia yaitu
Pejabat Imigrasi berwenang melakukan tindakan administratif keimigrasian terhadap orang
asing yang berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga
membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati
peraturan perundang-undangan. Akan tetapi dalam studi kasus tersebut upaya untuk deportasi
belum dapat dilaksanakan karena terhambat dengan status Ali Reza Khodadad yang masih
subjek pemegang kartu pengungsi yang ditetapkan oleh United Nations High Commissioner
for Refugees (UNHCR). Dalam kartu tersebut ditentukan bahwa bagi setiap pemegang kartu
pengungsi tidak dapat dilakukan pendeportasian karena terdapat asas nonrefoulement yang
merupakan asas larangan pemulangan ke negara asal.
Pembahasan
Tindakan Hukum terhadap Orang Asing Mantan Narapidana yang Memiliki Kartu
Pengungsi UNHCR dalam Perspektif Keimigrasian: Studi Kasus Ali Reza
KhodadadPeraturan keimigrasian di Indonesia berlandaskan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian menetapkan prosedur orang masuk dan keluar wilayah Indonesia
yang meliputi tindakan administratif keimgrasian maupun tindak pidana keimgirasian
terhadap pelanggaran norma-norma keimigrasian. Setiap orang yang melakukan pelanggaran
keimigrasian baik warga negara Indonsia atau orang asing dapat dikenakan sanksi sesuai
dengan perbuatan yang dilakukan.Dalam pelaksanaan hukuman atau peraturan suatu negara
dapat dilihat dari sistem hukum berdasarkan sumber hukum tertentu dari norma.
Sistem hukum itu sendiri memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang
berdaulat, negara yang berdaulat memiliki hak-hak ekslusif berupa kekuasaan, yaitu :
Selama keberadaanya di wilayah Indonesia, Ali Reza Khodadad untuk mendaftarkan diri
ke UNHCR Jakarta sebagai pencari suaka. Secara normatif, sebelum mendapatkan status
sebagai pengungsi Ali Reza Khodadad harus melaksanakan kewajiban sebagai orang asing
yang masuk ke wilayah Indonesia. Selama keberadaanya di wilayah Indonesia, ia
mendapatkan izin tinggal dalam jangka waktu tertentu. Pada pemberian izin tinggal terdapat
pengawasan keimigrasian terhadap orang asing, pengawasan keimigrasian terhadap orang
asing dilaksanakan pada saat permohonan visa, masuk atau keluar, dan pemberian izin tinggal
dilakukan dengan:
1. pengumpulan, pengolahan, serta penyajian data dan informasi; 2. penyusunan daftar nama
orang asing yang dikenai Penangkalan atau Pencegahan; 3. pengawasan terhadap keberadaan
dan kegiatan orang asing di wilayah Indonesia. 4. pengambilan foto dan sidik jari; dan 5.
kegiatan lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum
Dilihat dari kewajiban izin tinggal pada studi kasus Ali Reza Khodadad sebagai orang
asing yang berada di wilayah Indonesia, terdapat beberapa permasalahan keimigrasian
terhadap Ali Reza Khodadad. Orang asing tersebut telah melanggar penyalahgunaan izin
tinggal yang meliputi menyalahgunakan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud
pemberian izin tinggal dan melebihi masa izin tinggalnya di Indonesia. Visa kunjungan saat
kedatangan diberikan kepada WNA yang bermaksud mengadakan kunjungan ke Indonesia
dalam rangka wisata, kunjungan sosial, budaya, kunjungan usaha, atau tugas pemerintahan
dengan mempertimbangkan asas manfaat
Akan tetapi tindakan keimigrasian tentang penyalahgunaan izin tinggal dan overstay
tidak dapat dilaksanakan karena luputnya pengawasan dan pendataan dari pihak Imigrasi
terhadap izin tinggal Ali Reza Khodadad. Pelaksanaan penegakan hukum tersebut terhambat
dengan penerapan asas non-retroaktif yang melarang keberlakuan surut dari UU No. 6 Tahun
2011. Tidak suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu.Hingga kemudian pada Tahun
2015, Ali Reza Khodadad ditetapkan sebagai pemegang subjek kartu pengungsi oleh UNHCR
dan wajib mendapatkan perlindungan internasional. Hal ini menjadi kontradiksi karena di saat
yang bersamaan, yang bersangkutan telah melanggar ketentuan hukum positif Indonesia dan
dijatuhi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
Pada studi kasus orang asing yang melakukan pelanggaran peraturan di wilayah
Indonesia dan mendapatkan hukuman sesuai dengan keputusan pengadilan. Setelah menjalani
proses hukuman pidana orang asing dapat dikenakan tindakan administratif keimigrasian
berupa deportasi dari wilayah Indonesia. Namun pelaksanaan sanksi administratif
keimigrasian terhadap Ali Reza Khodadad mengalami hambatan karena ia merupakan
pemegang kartu pengungsi. Sebagai subjek pemegang kartu pengungsi yang telah ditetapkan
UNHCR, maka Ali Reza Khodadad dilindungi haknya secara internasional. UNHCR meminta
kepada Direktorat Jenderal Imigrasi untuk memfasilitasi keberadaannya selama di Indonesia,
tidak menahan atau mendeportasi dan agar memperlakukan yang bersangkutan di Indonesia,
tidak menahan atau mendeportasi dan agar memperlakukan yang bersangkutan dengan
berperikemanusiaan sesuai dengan standar Internasional. Selama keberadaanya di Indonesia,
pemegang kartu ini berkewajiban untuk mematuhi undang-undang dan peraturan yang berlaku
di Indonesia. Peraturan Internasional yang mengatur tentang pencari suaka dan pengungsi
terdapat pada Konvensi 1951dan Protokol 1967. Hak yang dimiliki pencari suaka dan
pengungsi diatur secara khusus dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status
Pengungsi.
Dalam kasus ini, Ali Reza Khodadad telah melakukan tindak pidana narkotika dan
dijatuhi pidana oleh Pengadilan Negeri Tangerang, sehingga telah memenuhi unsur pasal
terebut. Pelaksanaan tindakan deportasi terhadap Ali Reza Khodadad harus dilakukan tanpa
melihat status pengungsinya. Hal ini merupakan perwujudan dari konsep kedaulatan negara.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Dalam
ketentuan yang tertera pada kartu pengungsi, dicantumkan kewaijban bagi setiap pemegang
kartu ini untuk mematuhi dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Ali Reza Khodadad dapat
dikenakan tindakan administratif keimigrasian berupa deportasi sesuai dengan Pasal 75 jo.
Pasal 78 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Ali Reza
Khodadad telah melakukan perbuatan melanggar peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu
melakukan tindak pidana narkotika. Pelaksanaan tindakan deportasi terhadap Ali Reza
Khodadad harus dilakukan tanpa melihat status pengungsinya. Hal ini merupakan perwujudan
dari konsep kedaulatan negara
Kelemahan UNHCR
C. Rumusan Masalah
“Mengapa UNHCR gagal dalam upaya menanggulangi kasus kekerasan seksual di
wilayah konflik Republik Demokratik Kongo?”
D. Tujuan Penelitian
Menggambarkan secara deskriptif mengenai kondisi konflik di negara
Republik Demokratik Kongo yang menyebabkan maraknya aksi pelanggaran hak asasi
manusia khususnya perempuan dan untuk mengetahui peran UNHCR dalam kasus
tersebut.
E. Kerangka Pemikiran
Konsep Organisasi Internasional
OI menurut Teuku May Rudy, “Suatu pola kajian kerjasama yang melintasi
batas-batas negara dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta
diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya
secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan guna tercapainya
tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antara pemerintah
dengan pemerintah maupun antar sesame kelompok non pemerintah pada negara yang
berbeda.
Setiap OI dibentuk untuk menjalankan fungsi-fungsi dan peran-peran sesuai
dengan tujuan pendirian OI. Adapun fungsi OI menurut Harold K. Jacobson
digolongkan dalam 5 kategori,
1. Informative Functions
Fungsi organisasi sebagai wadah informasi. Organisasi internasional
mengumpullkan data sekaligus menganalisanya lalu mengadakan pertukaran data
menyebarkan data serta menginformasikan sudut pandangnya.
2. Normative Functions
Berkaitan dengan pembentukan norma atau prinsip baik yang berupa deklarasi
maupun pernyataan yang dapat memengaruhi lingkungan domestik maupun dunia.
3. Rule-creating Functions
Berkaitan dengan peranan organisasi internasional untuk membuat sebuah
peraturan baru yang dapat mengikat pihak-pihak yang terlibat.
4. Rule-supervisory Functions
Fungsi ini berhubungan dengan pengawasan atau pengambilan tindakan untuk
menjamin penegakan berlakunya sebuah peraturan oleh para actor internasional.
5. Operational Functions
Meliputi pemanfaatan dan pengoperasian segala sumber daya di dalam sebuah
Organisasi Internasional,baik berupa pendanaan, pengoperasian sub organisasi
atau perkembangan dan pembangunan kekuatan militer.
E. Hipotesa
UNHCR gagal dalam upaya menanggulangi kasus kekerasan seksual di wilayah
konflik Republik Demokratik Kongo karena tidak dapat menjalankan fungsi dasarnya
sebagai OI.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Dengan
menggunakan teknik pengumpulan data berupa Library Research dengan
memanfaatkan data-data sekunder yang pengumpulan datanya didapatkan dari
perpustakaan, buku, jurnal, artikel, media cetak, dan website yang telah diolah.
G. Jangkauan Penelitian
Dibatasi dengan hanya membahas bagaimana bentuk upaya UNHCR dalam
menanggulangi kasus kekerasan seksual di wilayah konflik Republik Demokratik
Kongo dan mengapa UNHCR gagal dalam menanggulangi kasus tersebut.
H. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Bab II Dinamika Dinamika Konflik dan Munculnya Kasus-Kasus Kekerasan Seksual
di Republik Demokratik Kongo
Bab III UNHCR dan Upayanya dalam Menanggulangi Kasus Kekerasan Seksual di
Wilayah Konflik Republik Demokratik Kongo
Bab IV Analisa Penyebab Kegagalan UNHCR dalam Menanggulangi Kasus
Kekerasan Seksual di Wilayah Konflik Republik Demokratik Kongo
Bab V Penutup
B. Periodesasi Konflik
1. Perang Kongo I (1996-1997)
Pemberontakan dimulai pada 4 Oktober 1996. Dimana etnis Banyamulenge
melakukan serangan ke desa Lamera. Pemeintah pusat terkejut atas pemberontakan
tersebut dan merespon dengan mengatakan bahwa ia akan mendeportasi etnis
Banyamulenge keluar dari Republik Demokratik Kongo dan jika tidak dilakukan dalam
waktu 2 minggu maka mereka akan dieksekusi. Respon ini bukan menjadi solusi
melainkan memperkeruh keadaan. Sehingga munculah kelompok anti Mobutu.
Keadaan diperparah dengan dengan adanya konflik di negara tetangga. Salah
satunya adalah perang sipil yang terjadi di Rwanda. Dimana perang tersebut melibatkan
etnis Hutu dan etnis Tutsi. Perang tersebut dimenangkan oleh etnis Tutsi. Karena etnis
Hutu ketakutan akan diserang kembali oleh etnis Tutsi, etnis Hutu mengungsi ke Republik
Demokratik Kongo Timur (Zaire Timur pada saat itu). Di pengungsian etnis Hutu
memakai tempat pengungsian sebagai markas untuk melakukan serangan kembali ke
Rwanda. Hal ini menyebabkan Rwanda membantu sipil Republik Demokratik Kongo
dengan tujuan agar etnis Hutu berhenti menyerang Rwanda.
Semenjak itu kelompok anti Mobutu dan tentara Rwanda bergabung dan melakukan
serangan ke Zaire Timur. Pemerintah Zaire atau Republik Demokratik Kongo merespon
dengan mengirim pasukan yang lebih kuat tetapi tidak bisa membedakan mana sipil mana
pemberontak. Sehingga tentara nasional Republik Demokratik Kongo melakukan
serangan ke rumah sipil, perampokan, dll. Sehingga menyebabkan semakin menurunnya
kepercayaan rakyat Republik Demokratik Kongo terhadap rezim Mobutu dan memilih
untuk menggulingkannya.
Dalam Perang Kongo ini terjadi perebutan untuk menguasai wilayah Zaire Timur
antara pemberontak dan rezim Mobutu. Selain karena strategi untuk menguasi wilayah
vital Republik Demokratik Kongo, Zaire Timur pun mengandung banyak mineral yang
menjadi pendapatan ekonomi negaranya. Pasukan Nasional Republik Demokratik Kongo
tidak ahli dalam berperang dan menggunakan senjata sehingga mereka lebih cepat
menghabiskan amunisi senjata mereka. Perang berakhir secara resmi pada Mei 1997
dengan kemenangan pasukan anti Mobutu dan meruntuhkan rezim Mobutu.
BAB III
A. UNHCR dalam Menanggulangi Kasus Kekerasan Seksual di Wilayah Konflik
(Republik Demokratik Kongo)
Dalam menanggulangi kasus kekerasan seksual di Kongo, UNHCR menjalankan
berbagai fungsi seperti yang dikemukakan oleh Harold K. Jacobson mengenai fungsi
Organisasi Internasional sebagai berikut:
1) Informative Functions
Fungsi ini menekankan bahwa organisasi internasional memiliki fungsi sebagai
wadah informasi. Hal ini ditujukan sebagai bentuk pendekatan persuasif yang
dilakukan oleh UNHCR agar lebih mudah dalam mengampanyekan isu kekerasan
seksual di Kongo.
2) Normative Functions
Fungsi ini merupakan pernyataan atau pendeklarasian suatu norma standar.
Namun, hal ini tidak memasukkan instumen2 yang terlibat secara hukum, hanya
sebatas pernyataan2 guna memengaruhi lingkungan domestik/internasional. Dalam
fungsi ini, OI (UNICEF) hanya mendeklarasikan komitmen nyata untuk melawan
dan mengakhiri berbagai aksi kekerasan seksual di wilayah konflik di seluruh
dunia.
3) Rule-creating Functions
Fungsi ini dijalankan untuk mengupayakan agar sebuah perjanjian yang telah
disepakati dan ditandatangani serta diratifikasi dan mengikat pihak2 yang terlibat.
Dalam hal ini, UNHCR mengacu pada Konvensi tentang status pengungsi tahun
1951 dan protocol 1967. Namun, dalam aksus kekerasan seksual terhadap
perempuan selama ini hanya mengacu pada Konvensi mengenai penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap wanita tahun 1979 yang menjelaskan bahwa
kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual, fisik, dan psikologis
meliputi:
Dalam keluarga : pemukulan, pelecehan seksual terhadap anak, mutilasi alat
kelamin perempuan dan pemerkosaan;
Dalam masyarakat : pelecehan seksual sekaligus intimidasi, perdagangan
manusia dan pelacuran paksa;
Negara : kurangnya penegakan hukum, fasilitas dan pendidikan untuk
pencegahan dan pengobatan perempuan korban kekerasan.
4) Rule-Supervisory Functions
Fungsi ini menekankan bahwa OI perlu melakukan pengawasan serta pemantauan
atas pelaksanaan sebuah peraturan, yakni bagaimana menetapkan langkah2
penanganan terhadap pelanggaran suatu peraturan. Dalam menjalankan fungsi ini,
UNHCR melakukan berbagai cara seperti pemantauan dan pelaporan mengenai
tindak kejahatan seksual yang terjadi di Kongo.
5) Operational Functions
Fungsi ini meliputi penggunaan sumberdaya dalam OI seperti pendanaan,
pengoperasian sub organisasi ataupun penyebaran operasi militer. Dalam
menjalankan fungsi ini, UNHCR melakukan pengiriman staff untuk menjalankan
fungsi perlindungan thd perempuan dan anak atau korban kekerasan seksual di
Kongo, menciptakan pusat2 komunitas, serta menyelenggarakan berbagai kegiatan
yang berkaitan dengan penolakan terhadap kekerasan seksual.
B. Kegagalan UNHCR
Dalam praktik dan kenyataannya, UNHCR hanya dapat menjalankan 2 dari 5 fungsi di atas,
yakni informative functions dan normative function
Pertanyaan:
Jawaban:
1. Cara pengumpulan dana untuk UNHCR dilakukan secara terpisah yaitu umum dan
khusus, umum yaitu sumbangan dari pemerintah, badan – badan antar pemerintah,
lembaga lembaga swadaya masyarakat dan perorangan, lalu untuk yang khusus
didapatkan dari dukungan dana pemberian masyarakat yang dilakukan dengan
penggalangan dana dengan menjual merchandise dan dibeli langsung oleh masyarakat.
Cara pendistrbusian dilakukan kerja sama dengan beberapa sektor untuk mengawasi
pengeluaran keuangan dana dan dana tersebut akan dialirkan langsung kepada para
refugees dan asylum seeker. Kasus yang berada di Yaman berjalan dengan tidak baik
karena refugees yang berada di Yaman kekurangan bantuan karena konflik yang
terjadi di Yaman sangat sulit sekali dimasuki perbekalan bantuan kemanusiaan yang
dibawa langsung oleh UNHCR sehingga menjadikan hal ini sangat sulit untuk
menjangkau tempat tersebut.
2. Mengenai kasus yang ada di jakarta yang dimana pada asylum seeker yang sudah
menetap disana selama setahun dalam hal ini unhcr kembali lagi ke fungsinya sebagai
salah satu lembaga yang mengawasi, melindungi dan berperan aktif dalam membantu
para asylum seeker belum bisa berperan aktif secara luas dikarenakan banyaknya
hambatan administratif dan birokratif dengan pemerintahan Indonesia sebagai tempat
sementara mereka menetap dalam hal ini perlu adanya tekanan kepada pemerintahan
untuk dapat membantu para asylum seeker yang telah lama menetap di dalam
pengungsian di Jakarta.
3. Peran lanjutan yang tetap bisa dilakukan oleh UNHCR adalah dengan melakukan kerja
sama dengan beberapa lintas stakeholder agar terjalin kerja sama yang baik di
masyarakat tanpa terhalangi oleh sistem birokrasi pemerintah setempat yang cukup
rumit.
Pada dasarnya, sexual violence atau kekerasan seksual itu sulit untuk dihilangkan karena
berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, terlebih apabila terjadi kekerasan seksual atau
kekerasan lainnya terhadap pengungsi. Untuk itu, dalam menangani permasalahan ini, perlu
adanya peran berbagai aktor yang tidak hanya mengandalkan pemerintah ataupun lembaga-
lembaga yang diberi mandate untuk menjalankan misi ini saja. Salah satu aktor yang berperan
cukup penting, yaitu masyarakat. Penerimaan masyarakat sekitar terhadap pengungsi
memberikan dampak besar bagi terciptanya rasa aman bagi pengungsi. Hal ini kemudian
berdampak pula bahwa walaupun suatu negara meratifikasi konvensi internasional mengenai
pengungsi yang memberikan konsekuensi bagi negara tersebut harus melaksanakan poin-poin
dari konvensi tersebut, namun apabila masyarakat di negara yang bersangkutan tidak suportif
dalam perwujudan konvensi ini, maka perlindungan terhadap pengungsi akan sulit untuk
diwujudkan. Artinya, respon masyarakat di suatu negara tersebut terhadap pengungsi akan
memberikan dampak besar pada terciptanya rasa aman bagi para pengungsi.
Sulitnya berbagai aktor di dunia dalam menciptakan rasa aman bagi pengungsi terutama
mengatasi kekerasan sksual terhadap pengungsi, tidak serta-merta menghentikan berbagai
aktor untuk dapat mencari solusi atas hal itu. Berbagai hal yang kemudian dapat menjadi
solusi bagi penanganan dan pencegahan kekerasan seksual terhadap pengungsi diantaranya
ialah, menambah jumlah wanita sebagai peace keepers dengan anggapan bahwa apabila
jumlah peace keepers laki-laki berkurang, maka akan memberi dampak berkurangnya
kekerasan seksual terhadap pengungsi (wanita). Selain itu, bagi negara yang mengirimkan
pasukan peace keepers ke suatu wilayah negara lain, negara pengirim seharusnya membuat
code of conduct atau berbagai aturan pelaksanaan untuk mengatur berbagai hal yang harus
dan yang tidak boleh dilakukan oleh para peace keepers. Hal ini dipercaya dapat mencegah
terjadinya kekerasan seksual terhadap pengungsi.
DAFTAR PUSTAKA
M. Alvi Syahrin, “Tindakan Hukum Terhadap Orang Asing Mantan Narapidana Yang
Memiliki Kartu Pengungsi Unhcr Dalam Perspektif Keimigrasian”. Jurnal Ilmiah
Kebijakan Hukum, Vol. 13 No 2 tahun 2019, Internet 5 Desember 2019.
https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/575