Anda di halaman 1dari 34

UNITED NATIONS HIGH COMMISSIONER FOR REFUGEES

(UNHCR)

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Manajemen


Organisasi Internasional
Dosen Pengampu: Jusmalia Octaviani, S.Sos.,MA.

Disusun Oleh:

R. Adi Pramadya Danang


Balqis Nurdinianty Altaf Asyauki
Ridwan Ginanjar Panji Maulana
Syifa Salsabilla Danang Seto
Syafira Rimadhani Putri

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

CIMAHI

2019
PROFIL UNHCR

Sejarah UNHCR

UNHCR adalah organisasi internasioanal dibawah naungan PBB yang mendapat


mandat penting untuk menangani berbagai permasalahan yang secara general dapat terbagi
diantaranya: Refugees (pengungsi); Asylum Seekers (pencari suaka); Stateless Persons (orang-
orang tanpa kewarganegaraan); Internally Displaced Persons (IDP’s); dan Returness (orang-
orang yang kembali ke negara). UNHCR didirikan pada tanggal 14 Desember 1950 oleh
sidang umum PBB dan bemarkas di Geneva, Swiss.

Sejarah awalnya terdapat sebuah organisasi internasional yang dibentuk oleh LBB,
yaitu IRO. IRO atau International Refugee Organization merupakan organisasi internasional
yang bertugas menangani pengungsi dan mendapat mandat untuk melindungi pengungsi yang
telah diakui oleh LBB. Pada awalnya tujuan utama IRO adalah repatriasi, tetapi ketegangan
politik yang akhirnya mencetuskan perang dingin telah mengubah arah kebijakan menjadi
pemukiman kembali (resettlement). IRO kemudian digantikan oleh UNHCR. Pada tahun
1954, UNHCR memenangkan penghargaan Nobel Peace atas kerja besarnya membantu
pengungsi di Eropa. Mandatnya kemudian diperluas hingga akhir dekade.

Pada tahun 1956, UNHCR mengalami keadaan darurat terbesarnya yang pertama,
dimana jumlah pengungsi mengalami peledakan dikarenakan Uni Soviet yang
menghancurkan Revolusi Hongaria. Segala teori yang menyebutkan bahwa UNHCR tidak
dibutuhkan, tidak lagi mengemuka. Pada tahun 1960-an, dekolonisasi Afrika menyebabkan
krisis pengungsi dalam jumlah terbesar dalam benua tersebut hingga membutuhkan intervensi
UNHCR. Pada tahun 1980 terjadi perperangan di wilayah Asia-Afrika yang menimbulkan
banyak korban pengungsi di Libanon, Somalia, Srilanka, Afghanistan dan Urganda. UNHCR
melalui Konvensi 1951 dan Protokol 1967 melaksanakan fungsinya dalam penanggulangan
pengungsi di kawasan Asia-Afrika tersebut. Pada tahun 1981 UNHCR telah berhasil
membantu dan mengatasi pengungsi dalam dimensi global sehingga hal ini UNHCR
mendapatkan kembali penghargaan. Pada akhir abad, terdapat permasalahan pengungsi baru
di Afrika, menjadikan adanya siklus yang berulang dan membawa gelombang pengungsi baru
di Eropa menyusul serangkaian perang di daerah Balkan.
Pada awal abad 21, UNHCR telah membantu berbagai krisis pengungsi terbesar di
Afrika seperti di Republik Demokrat Kongo dan Somalia, serta di Asia, terutama dalam
permasalahan pengungsi di Afghanistan yang berlangsung selama 30 tahun. Disaat yang
sama, UNHCR juga telah diminta untuk menggunakan keahlian guna mengatasi permasalahan
pengungsi internal yang disebabkan oleh konflik-konflik yang terjadi.

Disamping itu, peran UNHCR juga semakin meluas hingga menangani bantuan bagi
orang-orang tanpa kewarganegaraan, sebuah kelompok orang yang berjumlah jutaan namun
tidak kasat mata, dan mereka yang menghadapi bahaya kehilangan hak-hak dasarnya karena
tidak memiliki kewenangan.

Dari data yang didapatkan per 2011, jumlah negara anggota sebanyak 34 staff pada
awal berdirinya, saat ini UNHCR telah memiliki 7.190 staff nasional dan internasional,
termasuk 702 orang yang bekerja di kantor pusat di Geneva. UNHCR telah bekerja di 123
negara, dengan staff yang berbasis sdi 124 lokasi utama, seperti di daerah dan kantor cabang,
dan 272 sub-kantor dan kantor lapangan yang seringkali berada di daerah terpencil.

Visi, Misi dan Tujuan

Visi UNHCR sendiri sama dengan visi PBB, yaitu: memelihara perdamaian dan
keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa, dan
mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar.

Sesuai dengan yang telah dimandatkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa atau PBB, misi UNHCR antara lain:1

a) Memimpin dan mengkoordinasikan aksi internasional untuk seluruh dunia;


b) Melakukan perlindungan pengungsi dan penyelesaian masalah pengungsi;
c) Berupaya memastikan bahwa setiap orang dapat menggunakan hak untuk mencari
suaka dan menemukan tempat perlindungan yang aman di negara lain dan untuk
pulang secara sukarela;
d) Membantu para pengungsi untuk kembali ke negara mereka sendiri atau untuk
menetap secara permanen di negara lain;
e) Mencari solusi yang efektif dan permanen bagi penderita mereka (pengungsi);

1 UNCHR Global Appeal 2011 Update. “UNCHR Mission” [online] diakses melalui: http://www.unhcr-
centraleurope.org/pdf/about-us/unhcr-mission-statement.html pada 5 Desember 2019
f) Mengurangi situasi pengungsian paksa dengan mendorong negara dan lembaga-
lembaga lain untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi perlindungan hak asasi
manusia dan resolusi damai sengketa;
g) Memberikan perhatian khusus pada kebutuhan anak-anak dan berusaha untuk
mempromosikan kesetaraan hak perempuan dan anak perempuan; dan
h) Bekerja sama dalam kemitraan dengan pemerintah, organisasi regional dan organisasi
internasional lainnya, melakukan komitmen untuk prinsip partisipasi, percaya bahwa
pengungsi dan orang lain yang mendapatkan manfaat dari kegiatan organisasi harus
berkonsultasi atas keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

UNHCR memiliki tujuan untuk melindungi dan memberikan bantuan kepada


pengungsi berdasarkan permintaan sebuah pemerintahan atau PBB kemudian untuk
mendampingi para pengungsi tersebut dalam proses pemindahan tempat menetap mereka ke
tempat yang baru. Jadi tujuan utama dari UNHCR yaitu untuk melindungi hak-hak pengungsi.

Keanggotaan

Dari jumlah Negara anggota sebanyak 34 staff pada saat awal berdirinya, saat ini
UNHCR telah memiliki 7,190 staff nasional dan internasional, termasuk 702 orang yang
bekerja di kantor pusat di Geneva. UNHCR bekerja di 123 negara, dengan staff yang berbasis
di 124 lokasi utama, seperti di daerah dan kantor cabang, dan 272 sub-kantor dan kantor
lapangan yang seringkali berada di daerah terpencil.

Fungsi

Sebagai salah satu organisasi yang berada dibawah naungan PBB, yang perduli pada
permasalahan pengungsii, UNHCR menjalankan fungsi-fungsi sebagai berikut:2

a. Memberikan perlindungan internasional pada individu maupun kelompok yang merasa


ketakutan atau terancam bahkan tersingkirkan disuatu negara asalnya
b. Memberikan solusi jangka panjang seperti pengulangan pengungsi secara sekarela bila
individu atau kelompok bersangkutan sudah merasa aman
c. Melakukan integrasi lokal
d. Penempatan di negara ketiga. Artinya UNHCR sebagai fasilitator pengungsi tersebut
untuk mendapatkan negara yang bersedia menerima mereka sesuai dengan perundang
undangan disetiap negara
2 Farid M Akhsan, Hasil Penelitian Akhir: “Perlindungan Pengungsi” [online] diakses melalui: http://kapita-
fikom-untar-915080095/2011/10/unhcr-perlindungan-pengungsi.html pada 5 Desember 2019
e. Memperkenalkan hukum pengungsi internasional sehingga masyarakat dunia
menyadari juga bahwa pengungsipun memiliki hukum yang melindunginya, yaitu
konvensi 1951 dengan status pengungsi, protokol 1967

Sedangkan pengungsi yang berada dibawah naungan atau tanggung jawab UNHCR
ialah mereka yang:3

a) Berada di luar negara asalnya. Karena bila masih berada di dalam negara asalnya, ia
masih terikat hukum atau menjadi otoritas negara itu. Mengingat setiap negara
memiliki kedaulatannya sendiri;
b) Memiliki ketakutan mendasar atau beralasan di negara asalnya;
c) Dianiaya bukan hanya dari segi fisik juga psikologis seperti agama, ras, kebangsaan,
kelompok sosial bahkan pendapat politik;
d) Negara tidak dapat dan atau memberikan perlindungan hukum, misalnya karena tidak
tercatat sebagai warga negaranya secara sah. Termasuk dalam golongan rentan yaitu
anak tanpa pendamping, wanita korban tindak kekerasan, penderita cacat serta
manula; dan
e) Tidak memiliki kewarganegaraan dengan berbagai latar belakang.

Sumber Dana

a) Sumber Dana Umum4


Sumber dana UNHCR secara keseluruhan terdiri dari sumber dana umum dan
sumber dana khusus. Pendapatan UNHCR merupakan sumbangan-sumbangan dari
pemerintah, Badan-badan antar pemerintah, lembaga lembaga swadaya masyarakat,
dan perorangan semua itu termasuk dalam sumber sumber dana umum UNHCR.
Meski sebagian besar sumber pendanaan dibantu oleh pemerintah, UNHCR bukan
merupakan organisasi “Anggota” dengan suatu anggaran yang “dinilai”. Namun
dengan demikian hampir semua negara, baik negara industri maupun negara
berkembang memberikan sumbangan tahunan yang secara keseluruhan merupakan
kurang lebih ¾ dari pemasukan UNHCR.
b) Sumber Dana Khusus
Dukungan dari dana masyarakat datang dari penjualan kartu ucapan, sumbangan
perorangan, penghasilan dari peristiwa dan kegiatan amal, mulai dari konser sampai
3 Muh Fatun Nuha, Hasil Penelitian Akhir : “Peran UNHCR Dalam Menangani Pengungsi Etnis Rohingya di
Indonesia” [online] diakses melalui: thesis.umy.ac.id pada 5 Desember 2019
4 Ibid
pertandingan sepak bola atau peristiwa-peristiwa dunia, bantuan-bantuan hibah dari
organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga atau pengumpulan dana yang dilakukan
anak sekolah. Usaha-usaha pengumpulan dana seperti itu sering disponsori oleh
komite-komite nasional. UNHCR terus meningkatkan pendanaan dari para donatur
tradisional maupun dari sumber-sumber potensial lainnya. Walaupun sumber-sumber
keuangan sederhana sifatnya, UNHCR merupakan salah satu dari sumber-sumber
kerjasama yang paling besar dalam pelayanan program-program yang bermanfaat
untuk pengungsi-pengungsi di banyak negara.

Dasar Hukum

Konvensi 1951 dan Protokol 1967 penting diketahui sebab diperlukan untuk
menetapkan status pengungsi seseorang (termasuk pengungsi atau bukan). Konvensi 1951
merupakan suatu instrumen internasional bagi pengungsi, yang rancangannya dibuat sebagai
hasil rekomendasi Komisi HAM PBB dan berisi aturan standar perlakuan terhadap pengungsi.
Konvensi telah menetapkan status hukum pengungsi dan mencantumkan ketentuan-ketentuan
tentang hak dan kewajiban mereka untuk mendapatkan apa yang menjadi hak dan kewajiban
pengungsi pada umumnya. Berlakunya Konvensi 1951 terhadap para pengungsi ini juga
diikuti dengan berlakunya Protokol 1967, yang mengatur secara rinci mengenai status
kedudukan dari pengungsi. Berlakumya Konvensi 1951 dan Protokol 1967 telah memberikan
langkah dan prinsip baru mengenai definisi dari pengungsi dan perlindungan signifikan yang
berbasis dari status atau kedudukan resmi para pengungsi. Selain itu, kedua instrumen
internasional tersebut juga memberikan arah bagi UNHCR untuk menjalankan eksistensinya
didalam melindungi hak dan kewajiban pengungsi yang tersebar di belahan dunia.

Struktur
a) Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) adalah organ tambahan dari
Majelis Umum PBB, yang membuatnya pada tahun 1949. Mulai beroperasi pada tahun
1951, dan kantor pusatnya berada di Jenewa. Badan tersebut saat ini memiliki staf
nasional dan internasional lebih dari 7.190 yang bekerja di 123 negara. Komisaris
Tinggi saat ini adalah Tuan Antonio Guterres, yang mengambil posisi pada 15 Juni
2005 dan terpilih kembali pada bulan April 2010. Komisaris Tinggi dipilih oleh
Majelis Umum PBB untuk masa jabatan lima tahun, pada pencalonan oleh Sekretaris
Umum PBB (Pasal 13 Statuta UNHCR). Setiap tahun, Komisaris Tinggi melapor
kepada Majelis Umum, yang biasanya mengadopsi resolusi untuk mendukung
UNHCR.5
b) Asisten Komisaris Tinggi untuk Perlindungan (AHC-P) melapor langsung ke
Komisaris Tinggi. Ia membantu dan membimbing Komisaris Tinggi dalam promosi
dan pelaksanaan mandat perlindungan yang telah disepakati. AHC-P menjalankan
tanggung jawab pengawasan untuk kegiatan perlindungan global UNHCR dan untuk
pengembangan kebijakan perlindungan dan doktrin yang diimplementasikan melalui
penyampaian seluruh program dalam organisasi, dan memastikan hubungan
fungsional yang efektif antara layanan perlindungan dan kantor pusat yang berbasis
operasi.6

5 UNHCR, Operational Support and Management, [online] diakses melalui:


https://www.unhcr.org/en-au/53980a01b.pdf pada 5 Desember 2019
6 Ibid
c) Asisten Komisaris Tinggi untuk Proteksi (AHC-P) adalah untuk mengawasi kebijakan
perlindungan pengembangan, advokasi untuk supremasi hukum dan penerapan
standar, serta integrasi prioritas perlindungan ke dalam manajemen dan pengiriman
operasi lapangan. Fungsi AHC-P yaitu mengawasi kegiatan Divisi Perlindungan
Internasional (DIP); berinteraksi dengan Pengembangan Kebijakan dan Layanan
Evaluasi (PDES) tentang kebijakan perlindungan masalah; dan berkolaborasi erat
dengan Asisten Tinggi Komisaris untuk Operasi (AHC-O), menyediakan arahan
strategis untuk operasi melalui konsultasi yang diketuai bersama. 7
d) Asisten Komisaris Tinggi untuk Operasi (AHC-O) mengawasi semua operasi UNHCR
di lapangan, serta divisi Markas yang menyediakan dukungan operasional dalam
pemrograman, keadaan darurat, keamanan, dan manajemen persediaan.8
e) Wakil Komisaris Tinggi (DHC) mengawasi dan memberikan kepemimpinan strategis
untuk semua fungsi terkait pelaksanaan manajerial, keuangan dan administrasi kantor.
Atas permintaan Komisaris Tinggi, DHC juga memimpin unit inovasi, unit inovasi
antara lain: Pengendali dan Direktur Divisi Keuangan dan Manajemen Administrasi
(DFAM), Direktur Divisi Hubungan Eksternal (DER), Manajemen Sumber Daya
Manusia (DHRM), dan Direktur Divisi Sistem Informasi dan Telekomunikasi (DIST).
Semua melapor langsung ke DHC yang juga mengawasi Kepala Badan Urusan
Hukum (LAS) dan Pengembangan Organisasi dan Layanan Manajemen (ODMS) serta
Ombudsman.9

7 Ibid
8 Ibid
9 Ibid
REVIEW JURNAL

A. Joko Setiyono, “Kontribusi Unhcr Dalam Penanganan Pengungsi Internasional


Di Indonesia”. 10

Artikel jurnal ini menjelaskan mengenai bagaimana organisasi internasional


khususnya UNHCR muncul sebagai kelengkapan PBB yang khusus dibentuk untuk
melindungi dan menjamin hak asasi pengungsi dari ketidakadilan. Fakta empiris
menunjukkan dengan adanya dua perang dunia dan sekitar ratusan pertikaian bersenjata,
telah membuat jutaan orang mengungsi dan melakukan eksodus ke berbagai belahan
dunia yang dianggap aman dari ancaman persekusi, konflik bersenjata atau kekerasan
politik lainnya. Persoalan terkait dengan pengungsi sudah menjadi perhatian masyarakat
internasional sejak berakhirnya Perang Dunia I, utamanya pasca runtuhnya Kekaisaran
Rusia (1917) dan Kekaisaran Ottoman Turki (1918), yang mengakibatkan terjadinya
pengungsian massal orang-orang dari wilayah yang berada di bawah rezim baru.

Konvensi 1951 merupakan suatu instrumen internasional bagi pengungsi, yang


rancangannya dibuat sebagai hasil rekomendasi Komisi HAM PBB dan berisi aturan
standar perlakuan terhadap pengungsi. Konvensi telah menetapkan status hukum
pengungsi dan mencantumkan ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban mereka
untuk mendapatkan apa yang menjadi hak dan kewajiban pengungsi pada umumnya.
Berlakunya Konvensi 1951 terhadap para pengungsi ini juga diikuti dengan berlakunya
Protokol 1967, yang mengatur secara rinci mengenai status kedudukan dari pengungsi.
Berlakumya Konvensi 1951 dan Protokol 1967 telah memberikan langkah dan prinsip
baru mengenai definisi dari pengungsi dan perlindungan signifikan yang berbasis dari
status atau kedudukan resmi para pengungsi. Selain itu, kedua instrumen internasional
tersebut juga memberikan arah bagi UNHCR untuk menjalankan eksistensinya didalam
melindungi hak dan kewajiban pengungsi yang tersebar di belahan dunia.

10 Joko Setiyono, “Kontribusi Unhcr Dalam Penanganan Pengungsi Internasional Di Indonesia”, Jurnal
Masalah-masalah Hukum, Vol. 46 No. 3 Tahun 2015. Internet, 5 Desember 2019,
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/16226
Pembahasan

1. Latar belakanag UNCHR sebagai organisasi internasional di bawah PBB yang


diberi kewenangan mengatasi permasalahan pengungsi internasional

Permasalahan pengungsi yang didalamnya juga menyangkut HAM, memunculkan


kepedulian dari masyarakat internasional untuk memberikan perlindungan melalui
pembentukan sebuah organisasi internasional yang bersifat khusus yang berada dibawah
naungan PBB. Berdasarkan SU PBB 1946 telah menyetujui suatu Resolusi No. 319A
(IV) 1949 yang meletakkan dasar bagi kegiatan PBB yang berkaitan dengan pemberian
bantuan kepada para pengungsi. Selain itu, Resolusi juga menyebutkan bahwa para
pengungsi atau orang yang terusir yang telah mengemukakan rasa keberatan yang sah
untuk dikembalikan ke negara asalnva tidak harus tunduk pada upaya pemulangan
tersebut. Hal inilah yang menyebabkan PBB membentuk International Refugees
Organisation (IRO), dengan tujuan utama adalah repatriasi, tetapi ketegangan politik
yang akhirnya mencetuskan Perang Dingin telah mengubah arah kebijakan menjadi
memukimkan kembali (resettlement). Selanjutnya, tahun 1951 IRO berganti nama
menjadi UNHCR yang bermarkas di Jenewa, Swiss. Pembentukan UNHCR dimaksudkan
untuk melindungi dan memberikan bantuan kepada para pengungsi internasional, serta
mendampingi para pengungsi dalam proses pemindahan tempat menetap mereka ke
tempat yang baru.

Instrumen hukum utama tentang pengungsi dalam Konvensi 1951 dan Protokol
1967, yang terpenting adalah : pertama, perlindungan harus diberikan kepada semua
pengungsi tanpa melakukan pembedaan; kedua, standar minimum perlakuan yang harus
diperhatikan terhadap pengungsi; ketiga, pengusiran seorang pengungsi dari negara suaka
merupakan hal yang sangat serius; keempat, pemberian suaka merupakan beban yang
tidak tertanggungkan bagi beberapa negara tertentu; kelima, perlindungan pengungsi
merupakan tindakan kemanusiaan, oleh karenanya pemberian suaka tidak seharusnya
menimbulkan ketegangan diantara negaranegara; keenam, negara harus bekerjasama
dengan UNHCR dalam melaksanakan fungsinya dan untuk memfasilitasi tugastugasnya
dalam mengawasi diterapkannya konvensi.
2. Kontribusi UNHCR dalam Mengatasi Permasalahan Pengungsi Internasional Di
Indonesia

Adapun tahapan yang harus dilalui oleh pengungsi di suatu negara, yaitu : pertama,
registrasi pemohon pengungsi; kedua, wawancara tahap awal; ketiga, penentuan status
pengungsi. Registrasi pemohon pengungsi berisi dokumen resmi yang memuat identitas
lengkap pengungsi berikut alasan pergi dari negara asal. Selanjutnya, UNHCR akan
mengeluarkan attestation letter memuat prinsip non refoulement, yaitu pelarangan suatu
negara mengembalikan atau mengusir, maupun mengirim pengungsi dan pencari suaka ke
wilayah dimana akan terancam kehidupan dan keselamatan pengungsi dan pencari suaka.
Wawancara tahap awal adalah wawancara yang dilakukan oleh UNHCR untuk menggali
lebih dalam mengenai kasus dari seorang pemohon pengungsi sebelum diberikan
rekomendasi untuk diterima atau ditolak kasusnya.

Terkait dengan adanya pengungsi etnis Rohingya di Indonesia, UNHCR juga telah
berperan sebagai inisiator dengan baik. Sebagai catatan di tahun 2009, ada sekitar 391
pengungsi Rohingya mengungsi ke Indonesia, yang mana UNHCR terus memantau dan
memastikan sifat repatriasi secara sukarela dan memberikan bantuan. Para pengungsi
Rohingya ditampung di tempat pengungsian dalam pengawasan UNHCR, yaitu di kamp
pengungsian TNI AL, kantor Camat di wilayah Aceh, dan di beberapa rumah warga
lainnya (Januari, 2013). Selanjutnya terkait dengan pengungsi warga eks Timor-Timur
pasca jajak pendapat tahun 1999, UNHCR telah menjamin bantuan pemulangan pengungsi
dari kamp-kamp pengungsian, setelah warga Timor Timur mengutarakan keinginan
mereka untuk meninggalkan kamp dan pulang ke negara asalnya dengan rasa aman dan
terlindungi.

Kesimpulan

Berdasarkan pada hasil pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan, sebagai
berikut:

1. Terkait pengungsi internasional, telah memunculkan kepedulian masyarakat


internasional untuk memberikan perlindungan kepada para pengungsi melalui
pembentukan sebuah organisasi internasional dibawah PBB, dengan nama UNHCR.
Berdasarkan Konvensi 1951 dan Protokol 1967, maka semua pengungsi itu wajib
dilindungi oleh setiap negara, baik negara tujuan maupun negara tempat transit para
pengungsi international.

2. UNHCR merupakan sebuah badan pengungsi dunia yang diberi mandat oleh PBB untuk
melindungi pengungsi dan membantu pengungsi mencari solusi bagi keadaan buruk
para pengungsi internasional. Kontribusi UNHCR atas pengungsi internasional di
Indonesia, tampak dalam penanganan pengungsian yang berasal dari Semenanjung
Indochina, pengungsi etnis Rohingya, pengungsi eks Timor Timur,

B. M. Alvi Syahrin, “Tindakan Hukum Terhadap Orang Asing Mantan Narapidana


Yang Memiliki Kartu Pengungsi Unhcr Dalam Perspektif Keimigrasian”. 11

Pertambahan jumlah penduduk dunia terus meningkat pesat di akhir millennium kedua
yang ditandai dengan ketidakseimbangan antara tingkat kelahiran (natalitas) yang lebih besar
daripada tingkat kematian (mortalitas). Hal ini disebabkan karena meningkatnya kualitas
pelayanan masyarakat dan usia harapan hidup manusia. Selain itu juga diikuti oleh
meningkatnya populasi penduduk yang tidak merata sehingga mengakibatkan timbulnya
permasalahan baru di sektor kehidupan. Jumlah penduduk dunia saat ini mencapai 7,53 miliar
jiwa yang memicu terjadinya perbedaan tingkat kepadatan antarnegara dan mengakibatkan
kesenjangan tingkat kesejahteraan antarnegara. Hal ini disebabkan oleh perselisihan
antarnegara, faktor kemiskinan, ras, agama dan budaya. tetapi juga migrasi penduduk
antarnegara. Istilah migrasi berasal dari bahasa latin migratio yang mempunyai arti
perpindahan penduduk antar negara. Berbagai kegiatan aspek kehidupan manusia ternyata
mempunyai keterkaitan dengan migrasi manusia baik bersifat kegiatan eksternal dan internal.
Faktor eksternal adalah aspek-aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan,
keamanan, kependudukan, sedangkan internal adalah, penegakan hukum keimigrasian,
pelaksanaan fungsi keimgrasian, pengawasan keimigrasian.

Arus migrasi penduduk negara secara global dari negara asal ke negara lain,
menimbulkan berbagai permasalahan yaitu imigran illegal, perdagangan orang (human
trafficking), penyelundupan manusia (people smuggling), dan pengungsi (refugee issue).
Permasalahan ini merupakan persoalan yang penting harus dihadapi oleh suatu negara dan

11 M. Alvi Syahrin, “Tindakan Hukum Terhadap Orang Asing Mantan Narapidana Yang Memiliki Kartu
Pengungsi Unhcr Dalam Perspektif Keimigrasian”. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 13 No 2 tahun 2019,
Internet 5 Desember 2019. https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/575
internasional. Sebagaimana permasalahan tersebut pada penulisan ini terfokus pada “refugee
issue” yang merupakan persoalan klasik yang timbul dalam peradaban umat manusia sebagai
akibat adanya rasa takut yang sangat mengancam keselamatan mereka.Ancaman itu dapat
ditimbulkan oleh ketakutan yang beralasan akan persekusi dengan alasan ras, suku, agama,
kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, dan pendapat politik yang berbeda serta
tidak menginginkan perlindugan dari negara asal.

Perpindahan penduduk dalam skala besar ini merupakan persoalan yang meluas menjadi
persoalan suatu negara dan internasional. Berkaitan dengan migrasi penduduk antarnegara,
Pemerintah Indonesia mengatur hal tersebut dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar
wilayah Indonesia serta pengawasanya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara.
Dalam peraturan keimigrasian, setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib
memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku, kecuali hal lain yang ditentukan
Undang-Undang Keimigrasian.

Berbagai kegiatan dan tujuan yang dilakukan orang asing selama berada di Indonesia
menimbulkan permalasahan yang disebabkan oleh pelanggaran tidak mematuhi undang-
undang. Dalam peraturan keimigrasian di Indonesia mengatur tentang tindakan administarasi
keimigrasian dan tindak pidana keimigrasian dan peraturan lain tindak pidana umum bagi
orang asing. Tindakan administrasi keimigirasian merupakan sanksi administratif yang
ditetapkan oleh pejabat imigrasi terhadap orang asing di luar proses peradilan dan tindak
pidana keimigrasian merupakan kegiatan yang dilakukan setiap orang dalam keadaan dan
situasi tertentu melanggar peraturan keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113-
136 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Sedangkan, tindak pidana
umum bagi orang asing yang melakukan pelanggaran pidana sesuai perbuatan yang dilakukan
selama berada di Indonesia.

STUDI KASUS

Sebagaimana dimaksud dalam peraturan bagi orang asing yang melakukan tindak
pidana keimigrasian dan tindak pidana umum dapat dikenakan hukuman pidana berupa pidana
kurungan dan biaya denda. Berbagai permasalahan yang terjadi dalam keberadaan WNA di
Indonesia salah satunya yaitu pada studi kasus “Ali Reza Khodadad Sharq bin Mojtaba”
karena telah melakukan tindak pidana yaitu menggunakan narkotika Golongan I bagi diri
sendiri sesuai dengan Pasal 113 ayat (1) subside Pasal 111 ayat (1) lebih subsider Pasal 127
ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebagaimana
perbuatan pidana yang dilakukan oleh Ali Reza Khodadad, maka pada tanggal 11 Januari
2017, Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman pidana dengan pidana kurungan
selama 1 (satu) tahun 8 (bulan) penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Kelas II A
Pemuda Tangerang. Setelah menjalani masa hukuman, pada penulisan ini status Ali Reza
Khodadad di tempatkan di Ruang Detensi pada Direktorat Jenderal Imigrasi untuk menunggu
keputusan tindakan keimigrasian.

Bagi orang asing yang telah melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia, dapat
dilakukan tindakan deportasi. Hal ini didasarkan pada peraturan keimigrasian Indonesia yaitu
Pejabat Imigrasi berwenang melakukan tindakan administratif keimigrasian terhadap orang
asing yang berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga
membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati
peraturan perundang-undangan. Akan tetapi dalam studi kasus tersebut upaya untuk deportasi
belum dapat dilaksanakan karena terhambat dengan status Ali Reza Khodadad yang masih
subjek pemegang kartu pengungsi yang ditetapkan oleh United Nations High Commissioner
for Refugees (UNHCR). Dalam kartu tersebut ditentukan bahwa bagi setiap pemegang kartu
pengungsi tidak dapat dilakukan pendeportasian karena terdapat asas nonrefoulement yang
merupakan asas larangan pemulangan ke negara asal.

Pembahasan

Tindakan Hukum terhadap Orang Asing Mantan Narapidana yang Memiliki Kartu
Pengungsi UNHCR dalam Perspektif Keimigrasian: Studi Kasus Ali Reza
KhodadadPeraturan keimigrasian di Indonesia berlandaskan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian menetapkan prosedur orang masuk dan keluar wilayah Indonesia
yang meliputi tindakan administratif keimgrasian maupun tindak pidana keimgirasian
terhadap pelanggaran norma-norma keimigrasian. Setiap orang yang melakukan pelanggaran
keimigrasian baik warga negara Indonsia atau orang asing dapat dikenakan sanksi sesuai
dengan perbuatan yang dilakukan.Dalam pelaksanaan hukuman atau peraturan suatu negara
dapat dilihat dari sistem hukum berdasarkan sumber hukum tertentu dari norma.

Sistem hukum itu sendiri memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang
berdaulat, negara yang berdaulat memiliki hak-hak ekslusif berupa kekuasaan, yaitu :

1. Kekuasaan untuk mengendalikan persoalan domestic


2. Kekuasaan untuk menerima dan mengusir orang asing
3. Hak-hak istimewa untuk membuka perwakilan diplomatiknya di negara lain
4. Yuridiksi penuh atas kejahatan yang dilakukan perwakilan dalam wilayah

Tindakan keimigrasian yang dilakukan terhadap AliReza Khodadad berkaitan dengan


kewajibannya sebagai orang asing yang berada di wilayah Indonesia sebagai subjek
pengungsi oleh UNHCR hingga dipidana akibat melakukan tindak pidana khusus. Ali Reza
Khodadad merupakan warga negara Iran yang masuk ke wilayah Indonesia dengan
menggunakan paspor dan visa kunjungan saat kedatangan (visa on arrival) melewati Tempat
Pemeriksan Imigrasi Bandar Udara Internasional Ngurah Rai pada awal Tahun 2012. Visa
kunjungan saat kedatangan diberikan dengan asas manfaat, saling menguntungkan, dan tidak
menimbulkan gangguan keamanan. Pada saat melewati TPI orang asing tersebut diberikan
izin tinggal kunjungan sebagai tanda masuk yang diberikan oleh pejabat imigrasi. Tanda
masuk yang berlaku sebagai izin tinggal kunjungan diberikan kepada :

1. Orang asing yang dibebaskan dari kewajiban memiliki Visa


2. Orang asing pemegang Visa kunjungan
3. Orang asing yang masuk wilayah Indonesia dalam keadaan darurat
4. Awak Alat Angkut.

Selama keberadaanya di wilayah Indonesia, Ali Reza Khodadad untuk mendaftarkan diri
ke UNHCR Jakarta sebagai pencari suaka. Secara normatif, sebelum mendapatkan status
sebagai pengungsi Ali Reza Khodadad harus melaksanakan kewajiban sebagai orang asing
yang masuk ke wilayah Indonesia. Selama keberadaanya di wilayah Indonesia, ia
mendapatkan izin tinggal dalam jangka waktu tertentu. Pada pemberian izin tinggal terdapat
pengawasan keimigrasian terhadap orang asing, pengawasan keimigrasian terhadap orang
asing dilaksanakan pada saat permohonan visa, masuk atau keluar, dan pemberian izin tinggal
dilakukan dengan:

1. pengumpulan, pengolahan, serta penyajian data dan informasi; 2. penyusunan daftar nama
orang asing yang dikenai Penangkalan atau Pencegahan; 3. pengawasan terhadap keberadaan
dan kegiatan orang asing di wilayah Indonesia. 4. pengambilan foto dan sidik jari; dan 5.
kegiatan lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum

Dilihat dari kewajiban izin tinggal pada studi kasus Ali Reza Khodadad sebagai orang
asing yang berada di wilayah Indonesia, terdapat beberapa permasalahan keimigrasian
terhadap Ali Reza Khodadad. Orang asing tersebut telah melanggar penyalahgunaan izin
tinggal yang meliputi menyalahgunakan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud
pemberian izin tinggal dan melebihi masa izin tinggalnya di Indonesia. Visa kunjungan saat
kedatangan diberikan kepada WNA yang bermaksud mengadakan kunjungan ke Indonesia
dalam rangka wisata, kunjungan sosial, budaya, kunjungan usaha, atau tugas pemerintahan
dengan mempertimbangkan asas manfaat

Ia masuk ke wilayah Indonesia menggunakan visa kunjungan saat kedatangan pada


Tahun 2012. Masa berlaku visa kunjungan saat kedatangan untuk jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari dan dapat diperpanjang izin keimigrasianya paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Namun selama keberadaanya di wilayah Indonesia dari Tahun 2012 sampai dengan Tahun
2015, terdapat selisih 3 (tiga) tahun yang merupakan melebihi masa izin tinggalnya.

Akan tetapi tindakan keimigrasian tentang penyalahgunaan izin tinggal dan overstay
tidak dapat dilaksanakan karena luputnya pengawasan dan pendataan dari pihak Imigrasi
terhadap izin tinggal Ali Reza Khodadad. Pelaksanaan penegakan hukum tersebut terhambat
dengan penerapan asas non-retroaktif yang melarang keberlakuan surut dari UU No. 6 Tahun
2011. Tidak suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu.Hingga kemudian pada Tahun
2015, Ali Reza Khodadad ditetapkan sebagai pemegang subjek kartu pengungsi oleh UNHCR
dan wajib mendapatkan perlindungan internasional. Hal ini menjadi kontradiksi karena di saat
yang bersamaan, yang bersangkutan telah melanggar ketentuan hukum positif Indonesia dan
dijatuhi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap

Pada studi kasus orang asing yang melakukan pelanggaran peraturan di wilayah
Indonesia dan mendapatkan hukuman sesuai dengan keputusan pengadilan. Setelah menjalani
proses hukuman pidana orang asing dapat dikenakan tindakan administratif keimigrasian
berupa deportasi dari wilayah Indonesia. Namun pelaksanaan sanksi administratif
keimigrasian terhadap Ali Reza Khodadad mengalami hambatan karena ia merupakan
pemegang kartu pengungsi. Sebagai subjek pemegang kartu pengungsi yang telah ditetapkan
UNHCR, maka Ali Reza Khodadad dilindungi haknya secara internasional. UNHCR meminta
kepada Direktorat Jenderal Imigrasi untuk memfasilitasi keberadaannya selama di Indonesia,
tidak menahan atau mendeportasi dan agar memperlakukan yang bersangkutan di Indonesia,
tidak menahan atau mendeportasi dan agar memperlakukan yang bersangkutan dengan
berperikemanusiaan sesuai dengan standar Internasional. Selama keberadaanya di Indonesia,
pemegang kartu ini berkewajiban untuk mematuhi undang-undang dan peraturan yang berlaku
di Indonesia. Peraturan Internasional yang mengatur tentang pencari suaka dan pengungsi
terdapat pada Konvensi 1951dan Protokol 1967. Hak yang dimiliki pencari suaka dan
pengungsi diatur secara khusus dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status
Pengungsi.

Dalam kasus ini, Ali Reza Khodadad telah melakukan tindak pidana narkotika dan
dijatuhi pidana oleh Pengadilan Negeri Tangerang, sehingga telah memenuhi unsur pasal
terebut. Pelaksanaan tindakan deportasi terhadap Ali Reza Khodadad harus dilakukan tanpa
melihat status pengungsinya. Hal ini merupakan perwujudan dari konsep kedaulatan negara.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Dalam
ketentuan yang tertera pada kartu pengungsi, dicantumkan kewaijban bagi setiap pemegang
kartu ini untuk mematuhi dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Ali Reza Khodadad dapat
dikenakan tindakan administratif keimigrasian berupa deportasi sesuai dengan Pasal 75 jo.
Pasal 78 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Ali Reza
Khodadad telah melakukan perbuatan melanggar peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu
melakukan tindak pidana narkotika. Pelaksanaan tindakan deportasi terhadap Ali Reza
Khodadad harus dilakukan tanpa melihat status pengungsinya. Hal ini merupakan perwujudan
dari konsep kedaulatan negara

Kelemahan UNHCR

Kelemahan UNCHR kurangnya pengawasan terhadap pemegang kartu pengungsi


UNHCR, dari kasus yang dibahas dalam jurnal ini mantan narapidana yang memegang kartu
ini menyalahgunakan kartu tersebut karna menggangap dirinya kebal hukum dari aturan suatu
negara, orang tersebut tersangkut kasus penyalahgunaan narkotika. Maka dari itu UNHCR
harus lebih selektif dalam memberikan kartu pengungsi kepada orang-orang yang memang
benar-benar membutuhkan dan bisa di percaya karena agar bisa di pertanggung jawabkan
pemakaiannya. Supaya kasus-kasus ini tidak terulang lagi dan harus diselesaikan tanpa
memandang status pengungsinya.

C. Fadma Novasari, “Kegagalan Unhcr Dalam Upaya Menanggulangi Kasus


Kekerasan Seksual Di Wilayah Konflik Republik Demokratik Kongo”. 2014.
Bab I Pendahuluan
A. Penegasan Judul
Dalam Skripsi ‘Kegagalan UNHCR dalam Upaya Menanggulangi Kasus
Kekerasan Seksual di Wilayah Konflik Republik Demokratik Kongo’ yang dimaksud
kekerasan seksual disini adalah kekerasan yang dialami oleh perempuan yang banyak
mengungsi dari rumah mereka ke tempat-tempat umum (Internally Displaced
Person’s). hal ini terjadi karena mereka ingin melarikan diri dari perekrutan paksa aksi
kekerasan seksual dan mendapatkan tempat yang lebih aman.

B. Latar Belakang Masalah


Fenomena studi HI begitu luas, di dalamnya terdapat interaksi yang dilakukan oleh
antar anggota komunitas internasional atau perilaku actor yang berwujud konflik dan
damai ataupun perang dan kerjasama. Konflik dan damai merupakan dualisme
kehidupan manusia yang tidak terpisahkan. Konflik menurut Soerjono Soekamto
adalah suatu proses social dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha
untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yanh disertai
ancaman atau kekerasan.
Di dalam sebuah wilayah konflik, ancaman terhadap populasi sebuah negara
muncul dalam berbagai bentuk tindak kekerasan dan pelaggaran HAM. Salah satunya
tindak kekerasan seksual pada perempuan. Akibatnya banyak kaum perempuan dan
anak-anak menjadi korban. Dalam konflik perempuan selalu menjadi target dan
korban paling banyak. Karena perempuan dianggap sebagai objek yang bisa
melemahkan pihak lawan atau musuh.
Kekerasan terhadap perempuan itu sendiri dalam deklarasi penghapusan kekerasan
terhadap perempuan (1993) didefinisikan sebagai setiap tindak kekerasan berdasarkan
gender, yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kerugian fisik, seksual, dan
psikologis atau penderitaan kaum perempuan termasuk ancaman terjadinya perbuatan
tersebut pemaksaan atau penghilangan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang
terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Republic Demokratik Kongo yang mana dulunya bernama Zaire merupakan
sebuah negara yang berada di kawasan Afrika Tengah. Republik Demokratik Kongo
merdeka pada tahun 1960 dari Belgia. Pasca merdeka Republik Demokratik Kongo
selalu berada dalam kekacauan, perang saudara, hingga konflik besar. Hal yang
memicu konflik di Republik Demokratik Kongo adalah hadirnya kelompok
pemberontak dalam negeri yang menuntut hak-hak politik dan ekonomi, terhadap
pemerintah pusat yang cenderung otoriter. Rangkaian konflik ini membawa Republik
Demokratik Kongo ke dalam krisis kemanusiaan.
Krisis kemanusiaan di Republik Demokratik Kongo semakin terlihat sejak Perang
Republik Demokratik Kongo periode kedua (1998-2003). Banyak perempuan menjadi
korban. Dalam konflik tersebut perempuan dijadikan budak seks, diperkosa,
dilecehkan dan dipaksa menikah lalu mereka akan dibawa dan diperlakukan semena-
mena. Tercatat lebih dari 200.000 wanita dan anak-anak diperkosa dengan umur
mayoritas 12-14 tahun dan lebih dari 40 wanita setiap harinya diperkosa. Dimana
pelakunya tentara di perbatasan, politisi, pejabat pemerintah, yang seharusnya
melindungi malah melakukan hal keji. Hingga saat ini ketentraman rakyat Republik
Demokratik Kongo masih terancam. Karena disfungsi sosial yang mengerikan, tingkat
kemiskinan yang tinggi, dan berbagai konflik internal yang terus berulang. Oxfam
internasional menyebutkan bahwa pada tahun 2004-2009 kasus pemerkosaan di
Republik Demokratik Kongo meningkat 17 kali lipat bahkan setelah perang Kongo II
berakhir. Sehinga Republik Demokratik Kongo disebut sebagai surga pemerkosaan
Permasalahan yang terjadi di Republik Demokratik Kongo menimbulkan banyak
simpati dari berbagai pihak komunitas internasional dan memicu perhatian PBB untuk
ambil peran. Bersama dengan 12 lembaga PBB lainnya, pada tahun 2008 PBB
membentuk sebuah kampanye khusus yang bernama UNiTE (United Nations
Secretary-General’s Campaign to End Violence Against Women). Salah satu lembaga
yang bergabung dengan kampanye tersebut adalah UNHCR (United Nations of High
Comissioner for Refugees). Dimana UNHCR ini memiliki tujuan dasar untuk
melindungi dan memberikan bantuan kepada pengungsi yang berada di wilayah
konflik.

C. Rumusan Masalah
“Mengapa UNHCR gagal dalam upaya menanggulangi kasus kekerasan seksual di
wilayah konflik Republik Demokratik Kongo?”
D. Tujuan Penelitian
Menggambarkan secara deskriptif mengenai kondisi konflik di negara
Republik Demokratik Kongo yang menyebabkan maraknya aksi pelanggaran hak asasi
manusia khususnya perempuan dan untuk mengetahui peran UNHCR dalam kasus
tersebut.

E. Kerangka Pemikiran
 Konsep Organisasi Internasional
OI menurut Teuku May Rudy, “Suatu pola kajian kerjasama yang melintasi
batas-batas negara dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta
diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya
secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan guna tercapainya
tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antara pemerintah
dengan pemerintah maupun antar sesame kelompok non pemerintah pada negara yang
berbeda.
Setiap OI dibentuk untuk menjalankan fungsi-fungsi dan peran-peran sesuai
dengan tujuan pendirian OI. Adapun fungsi OI menurut Harold K. Jacobson
digolongkan dalam 5 kategori,
1. Informative Functions
Fungsi organisasi sebagai wadah informasi. Organisasi internasional
mengumpullkan data sekaligus menganalisanya lalu mengadakan pertukaran data
menyebarkan data serta menginformasikan sudut pandangnya.
2. Normative Functions
Berkaitan dengan pembentukan norma atau prinsip baik yang berupa deklarasi
maupun pernyataan yang dapat memengaruhi lingkungan domestik maupun dunia.
3. Rule-creating Functions
Berkaitan dengan peranan organisasi internasional untuk membuat sebuah
peraturan baru yang dapat mengikat pihak-pihak yang terlibat.
4. Rule-supervisory Functions
Fungsi ini berhubungan dengan pengawasan atau pengambilan tindakan untuk
menjamin penegakan berlakunya sebuah peraturan oleh para actor internasional.

5. Operational Functions
Meliputi pemanfaatan dan pengoperasian segala sumber daya di dalam sebuah
Organisasi Internasional,baik berupa pendanaan, pengoperasian sub organisasi
atau perkembangan dan pembangunan kekuatan militer.

E. Hipotesa
UNHCR gagal dalam upaya menanggulangi kasus kekerasan seksual di wilayah
konflik Republik Demokratik Kongo karena tidak dapat menjalankan fungsi dasarnya
sebagai OI.

F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Dengan
menggunakan teknik pengumpulan data berupa Library Research dengan
memanfaatkan data-data sekunder yang pengumpulan datanya didapatkan dari
perpustakaan, buku, jurnal, artikel, media cetak, dan website yang telah diolah.

G. Jangkauan Penelitian
Dibatasi dengan hanya membahas bagaimana bentuk upaya UNHCR dalam
menanggulangi kasus kekerasan seksual di wilayah konflik Republik Demokratik
Kongo dan mengapa UNHCR gagal dalam menanggulangi kasus tersebut.

H. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Bab II Dinamika Dinamika Konflik dan Munculnya Kasus-Kasus Kekerasan Seksual
di Republik Demokratik Kongo
Bab III UNHCR dan Upayanya dalam Menanggulangi Kasus Kekerasan Seksual di
Wilayah Konflik Republik Demokratik Kongo
Bab IV Analisa Penyebab Kegagalan UNHCR dalam Menanggulangi Kasus
Kekerasan Seksual di Wilayah Konflik Republik Demokratik Kongo
Bab V Penutup

Bab II Dinamika Konflik dan Munculnya Kasus2 Kekerasan Seksual di Republik


Demokratik Kongo
A. Sejarah Konflik di Republik Demokratik
Konflik Republik Demokratik Kongo atau terkenal dengan ‘Perang Kongo’
merupakan konflik terbesar di Benua Afrika dengan melibatkan banyak pihak serta
memberikan kerugian yang besar. Konflik di Republik Demokratik Kongo bermula dari
pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat atau etnis lokal terhadap pemerintah.
Ketidakpuasaan masyarakata pada pemerintahsudah terjadi sejak tahun 90an pada masa
pemerintahan Mobutu dikarenakan pembungkaman demokrasi dan keotoriteran dari rezim
Mobutu serta diperparah dengan perekonomian RDK yang terus semakin ambruk karena
marakanya korupsi dan akibat dari berhentinya dukungan AS thd rezim Mobutu.

B. Periodesasi Konflik
1. Perang Kongo I (1996-1997)
Pemberontakan dimulai pada 4 Oktober 1996. Dimana etnis Banyamulenge
melakukan serangan ke desa Lamera. Pemeintah pusat terkejut atas pemberontakan
tersebut dan merespon dengan mengatakan bahwa ia akan mendeportasi etnis
Banyamulenge keluar dari Republik Demokratik Kongo dan jika tidak dilakukan dalam
waktu 2 minggu maka mereka akan dieksekusi. Respon ini bukan menjadi solusi
melainkan memperkeruh keadaan. Sehingga munculah kelompok anti Mobutu.
Keadaan diperparah dengan dengan adanya konflik di negara tetangga. Salah
satunya adalah perang sipil yang terjadi di Rwanda. Dimana perang tersebut melibatkan
etnis Hutu dan etnis Tutsi. Perang tersebut dimenangkan oleh etnis Tutsi. Karena etnis
Hutu ketakutan akan diserang kembali oleh etnis Tutsi, etnis Hutu mengungsi ke Republik
Demokratik Kongo Timur (Zaire Timur pada saat itu). Di pengungsian etnis Hutu
memakai tempat pengungsian sebagai markas untuk melakukan serangan kembali ke
Rwanda. Hal ini menyebabkan Rwanda membantu sipil Republik Demokratik Kongo
dengan tujuan agar etnis Hutu berhenti menyerang Rwanda.
Semenjak itu kelompok anti Mobutu dan tentara Rwanda bergabung dan melakukan
serangan ke Zaire Timur. Pemerintah Zaire atau Republik Demokratik Kongo merespon
dengan mengirim pasukan yang lebih kuat tetapi tidak bisa membedakan mana sipil mana
pemberontak. Sehingga tentara nasional Republik Demokratik Kongo melakukan
serangan ke rumah sipil, perampokan, dll. Sehingga menyebabkan semakin menurunnya
kepercayaan rakyat Republik Demokratik Kongo terhadap rezim Mobutu dan memilih
untuk menggulingkannya.
Dalam Perang Kongo ini terjadi perebutan untuk menguasai wilayah Zaire Timur
antara pemberontak dan rezim Mobutu. Selain karena strategi untuk menguasi wilayah
vital Republik Demokratik Kongo, Zaire Timur pun mengandung banyak mineral yang
menjadi pendapatan ekonomi negaranya. Pasukan Nasional Republik Demokratik Kongo
tidak ahli dalam berperang dan menggunakan senjata sehingga mereka lebih cepat
menghabiskan amunisi senjata mereka. Perang berakhir secara resmi pada Mei 1997
dengan kemenangan pasukan anti Mobutu dan meruntuhkan rezim Mobutu.

2. Periode Damai Sementara (1997-1998)


Laurent-Desire Kabila ketua AFDL (kelompok pemberontak utama anti Mobutu)
diangkat menjadi Presiden oleh masyarakat. Kabila selama menjadi Presiden banyak
melakukan perubahan. Diantaranya mengubah nama Negara Zaire menjadi Republik
Demokratik Kongo, mengganti staf-staf negara, dsb. Namun setelah perang Kongo
berakhir pasukan Rwanda yang membantu kelompok anti Mobutu masih tinggal di
Republik Demokratik Kongo Timur yang mana di wilayah tersebut terkandung banyak
mineral alam, sehingga mereka disan untuk mengeruk mineral tersebut. Kabila tidak
terima atas situasi tersebut sehingga Kabila mengusir Rwanda. Rwanda tidak terima atas
perlakuan Kabila sehingga memprovokasi etnis Banyamulenge. Hal ini lah yang
menyebabkan meletusnya perang Kongo II.

3. Perang Kongo II (1998-2003)


Komunitas Banyamulenge membentuk kelompok pemberontak anti Kabila. Hal ini
diketahui oleh Kabila dan direspon dengan membentuk kelompok Milisi baru. Begitupun
dengan bantuan yang diberikan Rwanda kepada kelompok anti Kabila sehingga Kabila
memerintahkan untuk membunuh etnis Tutsi Rwanda. Rwanda merespon bahwa Republik
Demokratik Kongo Timur adalah bagian dari Rwanda dan keaadaan semakin memburuk.
Kabila meminta bantuan ke negara-negara lain, seperti Chad, Namibia, Zimbabwe, Libya.
Pada Juni 1999 perang tersebut kehilangan alur atau buntu. Waktu tersebut
disepakati untuk menghentikan peperangan walaupun masih terdapat konflik-konflik
kecil. Kabila dikritisi pun dunia internasional karena membatasi penerjunan pasukan PBB.
Perang kongo lebih didominasi pertempuran gerilya. Perang kongo juga menjadi arena
bagi aksi kejahatan kemanusia terhadap etnis Pygmi. Dimana daging etnis Pygmi
dipercaya bisa menjadi kekuatan magis bagi yang memakannya. Banyak perempuan etnis
Pygmi diperkosa lalu dibunuh dan dimakan dagingnya.
Pada tahun 2001 Kabila terbunuh dengan pelaku yang tidak diketahui. Posisinya
digantikan oleh anaknya Joseph Kabila. Joseph Kabila memiliki gaya kepemimpinan yang
berbeda dengan ayahya, Joseph lebih kooperatif dan lebih tenang dalam menghadapi
konflik. Pada tahun 2002 kubu anti Kabila semakin meredup dan berkurang, bahkan
mereka sampai mengehentikan pemberontakan. Terjadi pembagian kekuasaan
pemerintahan dengan kelompok anti kabila. Pemilihan pemimpin baru dilaksanakan
secara demokratis pada tahun 2006 dengan kemenangan Joseph Kabila.

4. Pemberontakan Gerakan M23


Perang berakhir secara resmi pada tahun 2003 tapi bukan berarti masalah di
Republik Demokratik Kongo selesai begitu saja. Pemerintah yang rapuh, ketergantungan
terhadap keberadaan pasukan asing, disfungsi sosial, kemiskinan yang tinggi menjadi
penyebab munculnya masalah internal. M23 muncul sebagai pemberontak anti Joseph
Kabila. Joseph Kabila dinilai melanggar perjanjian damai.

C. Munculnya Kasus Kasus Kekerasan Seksual di Wilayah Konflik Republik


Demokratik Kongo
1. Definisi Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual dalam KBBI (1990) dapat diartikan sebagai bentuk penghinaan
atau memandang rendah seseorang karena hal-hal yang berkenaan dengan seks, jenis
kelamin, atau aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan.

2. Kekerasan Seksual di Wilayah Konflik


Kekerasan seksual terhadap perempuan kerap kali digunakan sebagai taktik atau
senjata dalam perang atau dikenal dengan Sexual Violence Against Women. Dalam konflik
perempuan menjadi korban yang paling besar dan memberikan efek buruk. Perempuan
dianggap sebagai objek yang dapat melemahkan lawan, sehingga dalam konflik
perempuan kerap kali dijadikan target.

3. Kasus-Kasus Kekerasan Seksual di Wilayah Konflik Republik Demokratik Kongo


Aksi kekerasan yang terjadi di Republik Demokratik Kongo dapat berbentuk
pemerkosaan, pelecehan seksual ataupun perbudakan seks. Kasus kekerasan seksual ini
dilakukan oleh polisi, politisi, aktor pemerintah, bahkan anggota keluarga sendiri. Serta
dalam beberapa kasus mereka dipaksa menikah oleh tentara dan dibawa sebagai istri,
diperlakukan semena-mena, bahkan diberikan pada tentara lain. Alasan terjadi kekerasan
seksual di Republik Demokratik Kongo adalah dimana perempuan sering ditargetkan
karena latar etnis mereka (Pygmi) yang dianggap bisa memberikan kekuatan magis dan
menjauhkan kesialan. Kekerasan seksual ini dilakukan sebagai bentuk aksi terror dan
melemahkan lawan. Selain itu maraknya budaya diam guna melindungi diri dan sosial di
masyarakat membuat hal ini dianggap biasa di Republik Demokratik Kongo.

4. Dampak Kasus-kasus Kekerasan Seksual di Wilayah Konflik Republik Demokratik Kongo


 Aksi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Wilayah Konflik Republik
Demokratik Kongo berhasil membuat kaum perempuan di negara tersebut semakin
memburuk sehingga menimbulkan rasa takut dan trauma mendalam.
 Perempuan yang berada di Wilayah Konflik Republik Demokratik Kongo memilih
untuk meninggalkan rumah dan mengungsi. Mereka biasa mengungsi ke tempat-
tempat umum seperti gereja yang jauh dari rumahnya yang dirasa lebih aman. Pada
pertengahan 2013 2.6 juta orang telah menjadi pengungsi internal atau Internally
Displaced Person.

BAB III
A. UNHCR dalam Menanggulangi Kasus Kekerasan Seksual di Wilayah Konflik
(Republik Demokratik Kongo)
Dalam menanggulangi kasus kekerasan seksual di Kongo, UNHCR menjalankan
berbagai fungsi seperti yang dikemukakan oleh Harold K. Jacobson mengenai fungsi
Organisasi Internasional sebagai berikut:
1) Informative Functions
Fungsi ini menekankan bahwa organisasi internasional memiliki fungsi sebagai
wadah informasi. Hal ini ditujukan sebagai bentuk pendekatan persuasif yang
dilakukan oleh UNHCR agar lebih mudah dalam mengampanyekan isu kekerasan
seksual di Kongo.
2) Normative Functions
Fungsi ini merupakan pernyataan atau pendeklarasian suatu norma standar.
Namun, hal ini tidak memasukkan instumen2 yang terlibat secara hukum, hanya
sebatas pernyataan2 guna memengaruhi lingkungan domestik/internasional. Dalam
fungsi ini, OI (UNICEF) hanya mendeklarasikan komitmen nyata untuk melawan
dan mengakhiri berbagai aksi kekerasan seksual di wilayah konflik di seluruh
dunia.

3) Rule-creating Functions
Fungsi ini dijalankan untuk mengupayakan agar sebuah perjanjian yang telah
disepakati dan ditandatangani serta diratifikasi dan mengikat pihak2 yang terlibat.
Dalam hal ini, UNHCR mengacu pada Konvensi tentang status pengungsi tahun
1951 dan protocol 1967. Namun, dalam aksus kekerasan seksual terhadap
perempuan selama ini hanya mengacu pada Konvensi mengenai penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap wanita tahun 1979 yang menjelaskan bahwa
kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual, fisik, dan psikologis
meliputi:
 Dalam keluarga : pemukulan, pelecehan seksual terhadap anak, mutilasi alat
kelamin perempuan dan pemerkosaan;
 Dalam masyarakat : pelecehan seksual sekaligus intimidasi, perdagangan
manusia dan pelacuran paksa;
 Negara : kurangnya penegakan hukum, fasilitas dan pendidikan untuk
pencegahan dan pengobatan perempuan korban kekerasan.

4) Rule-Supervisory Functions
Fungsi ini menekankan bahwa OI perlu melakukan pengawasan serta pemantauan
atas pelaksanaan sebuah peraturan, yakni bagaimana menetapkan langkah2
penanganan terhadap pelanggaran suatu peraturan. Dalam menjalankan fungsi ini,
UNHCR melakukan berbagai cara seperti pemantauan dan pelaporan mengenai
tindak kejahatan seksual yang terjadi di Kongo.

5) Operational Functions
Fungsi ini meliputi penggunaan sumberdaya dalam OI seperti pendanaan,
pengoperasian sub organisasi ataupun penyebaran operasi militer. Dalam
menjalankan fungsi ini, UNHCR melakukan pengiriman staff untuk menjalankan
fungsi perlindungan thd perempuan dan anak atau korban kekerasan seksual di
Kongo, menciptakan pusat2 komunitas, serta menyelenggarakan berbagai kegiatan
yang berkaitan dengan penolakan terhadap kekerasan seksual.

B. Kegagalan UNHCR

Dalam praktik dan kenyataannya, UNHCR hanya dapat menjalankan 2 dari 5 fungsi di atas,
yakni informative functions dan normative function

BAB IV Analisa Penyebab Kegagalan UNHCR Dalam Menanggulangi Kasus Kekerasan


Seksual di Wilayah Konflik Republik Demokratik Kongo

a. Tidak Terwujudnya Fungsi-fungsi dasar sebuah organisasi internasional oleh


UNHCR
Hal-hal penghambat fungsi OI
Masih banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap wanita meski setelah UNHCR
masuk ke R.D Kongo. Tercatat bahwa pada 2008 terjadi 8000 kasus, dan meningkat
menjadi 17 kali lipat pada tahun 2009 – 2011. Pada tahun 2012 khusus di wilayah
Kivu terjadi 7075 kasus. Kegagalan diakui oleh Jubir UNHCR Melissa Fleming.
Berjalan atau tidaknya fungsi sebuah OI sangat erat kaitannya denga tingkat
pencapaian tujuan OI. Jika UNHCR tidak dapat menjalankan kelima fungsi OI secara
keseluruhan, maka UNHCR dinyatakan gagal dalam pencapaian tujuannya.
1) Rule-creating Functions
Kuatnya budaya impunitas di Republik Demokratik Kongo,

OI bukan hanya berfungsi dalam membuat maupaun menciptakan


peraturan atau perjanjian baru, lebih jauh, OI harus memastikan bahwa peraturan
atau perjanjian yang akan diratifikasi dapat mengikat pihak-pihak yang terkait.
Dalam kasus kekerasan terhadap wanita di Kongo, budaya impunitas masih sangat
kental sehuingga menjadi hambatan tersendiri dalam penanganan kasus ini.
Impunitas merupakan sebuah ketidakmungkinan secara de jure maupun de facto
untuk membawa pelaku pelanggaran hak asasi manusia untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya baik ke proses peradilan, karena para
pelaku pelanggar HAM ini tidak dapat dijad ikan objek pemeriksaan.

Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita


1979 (CEDAW) tidak dapat digunakan oleh UNHCR untuk mengikat pihak-pihak
yang terlibat dikarenakan focus utama UNHCR di Kongo adalah Internally
Displaced Person (IDP) sementara IDP ini sendiri tidak memiliki keterikatan pada
standar hukum internasional. Perbedaan dengen pengungsi adalah pengungsi
merupakan orang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan
penganiayaan, yang disebebkan oleh alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan
dalam kelompok sosial dan politik tertentu, berada di luar negara
kebangsaannyadan tidak menginginkan perlindungan dari negara tsb sementara
Internally displaced person adalah orang-orang yang mengungsi dalam negeri
sendiri sebagai akibat dari bencana alam dan benccana yang disebabkan oleh
manusia.
2) Rule-supervisory function
Adanya stigma mengerikan dan kesenjangan hukum antara laki-laki dan
perempuan
Dalam menjalan fungsinya sebagai rule-supervisor, OI tidak hanya
melakukan pemantauan tetapi juga harus melakukan pelaporan serta
mengambil tindakan untuk menjamin berlakunya peraturan yang telah
disepakati. Dalam implementasinya di Kongko, UNHCR mengalami hambatan
atas pengumpulan pelaporan dan pengawasan dikarenakan masih terdapat
stigma yang menyatakan bahwa membeberkan atau melaporkan kekerasan
seksual yang dialami seorang wanita itu sama saja dengan mengungkap aib.
Melanjut dari poin pertama bahwa masih terdapat budaya impunita
syang kental mengakibatkan sebagian besar kasus kekerasan seksual
terabaikan begitu saja tanpa adanya kelanjutan. Selain itu, hukum domestik
Republik Demokratik Kongo meski telah meratifikasi Konvensi mengenai
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita 1979 (CEDAW),
nyatanya hukum domestic masih belum cukup menjamin kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang menjadi penghambat UNHCR dalam
mencapai fungsi rule-supervisor.
3) Operational Functions
Keterbatasan akses operasional:
Sejatinya, UNHCR telah melakukan pemanfaatan sumber daya dalam
organisasinya dalam berbagai bentuk program, namun program-program yang
dikeluarkan oleh UNHCR tidak berjalan maksimal dikarenakan UNHCR
terbentur berbagai hambatan seperti:

a. Keterbatasan akses infrastruktur,


Keterbatasan infrastruktur membuiat Dari 26 Provinsi di RD Kongo,
terdapat beberapa provinsi yang tidak dapar terjangkau oleh UNHCR
seperti Katanga, Equateur dan Orientale.
b. Keterbatasan air bersih dan fasilitas kesehatan,
Keterbatasan air dan sarana kesehatan menjadikan masyarakat yang
terdampak kemiskinan di RD Kongo menjadi rentan terhadap penyakit.
Hal ini anjadikan mereka tidak dapat mengikuti pelatihan anti kkerasan
terhadap operempuan yang dilakukan oleh UNHCR.
c. Keterbatasan dana.

 Kritik terhadap Organisasi Internasional UNHCR


1. Lemahnya pengawasan UNHCR terhadap pelaksanaan aturan mengenai perlindungan
pengungsi, pencari suaka, IDP, dll.
2. UNHCR kurang selektif dalam berbagi programnya, seperti pemberian kartu
pengungsi yang terkesan tidak tepat guna.
3. Mempertegas/memperketat syarat pemberian solusi pada pengungsi.
4. Lemahnya penegakkan hukum
TANYA JAWAB

Pertanyaan:

1. Bagaimana cara pengumpulan dana dari UNHCR, bagaimana cara pendistribusiannya


apakah langsung didistribusikan kepada para refugees apa bagaimana? Bagaimana
dengan kasus yang ada di Yaman? Karena sepertinya UNHCR ini belum bisa
menjawab permaslahan yang ada, dibuktikan dengan masih banyaknya pengungsi
yang kekurangan bantuan makanan dan lain lain.
2. bagaimana kasus asylum seeker yang berada di jakarta, dimana asylum seeker tersebut
tidur di trotoar dan sudah hampir satu tahun, lalu bagaimana UNHCR berperan dalam
hal tersebut?
3. Bila UNHCR gagal dalam melaksanakan beberapa tugasnya hal itu dikarenakan
adanya hambatan dalam melakukan tugasnya, salah satu hambatan tersebut adalah
tidak kooperatifnya pemerintah dalam berperan membantu peran UNHCR dinegara
terkait, maka adakah peran lanjutan dari UNHCR tersebut agar tugasnya dapat
terlaksana dengan baik?

Jawaban:

1. Cara pengumpulan dana untuk UNHCR dilakukan secara terpisah yaitu umum dan
khusus, umum yaitu sumbangan dari pemerintah, badan – badan antar pemerintah,
lembaga lembaga swadaya masyarakat dan perorangan, lalu untuk yang khusus
didapatkan dari dukungan dana pemberian masyarakat yang dilakukan dengan
penggalangan dana dengan menjual merchandise dan dibeli langsung oleh masyarakat.
Cara pendistrbusian dilakukan kerja sama dengan beberapa sektor untuk mengawasi
pengeluaran keuangan dana dan dana tersebut akan dialirkan langsung kepada para
refugees dan asylum seeker. Kasus yang berada di Yaman berjalan dengan tidak baik
karena refugees yang berada di Yaman kekurangan bantuan karena konflik yang
terjadi di Yaman sangat sulit sekali dimasuki perbekalan bantuan kemanusiaan yang
dibawa langsung oleh UNHCR sehingga menjadikan hal ini sangat sulit untuk
menjangkau tempat tersebut.
2. Mengenai kasus yang ada di jakarta yang dimana pada asylum seeker yang sudah
menetap disana selama setahun dalam hal ini unhcr kembali lagi ke fungsinya sebagai
salah satu lembaga yang mengawasi, melindungi dan berperan aktif dalam membantu
para asylum seeker belum bisa berperan aktif secara luas dikarenakan banyaknya
hambatan administratif dan birokratif dengan pemerintahan Indonesia sebagai tempat
sementara mereka menetap dalam hal ini perlu adanya tekanan kepada pemerintahan
untuk dapat membantu para asylum seeker yang telah lama menetap di dalam
pengungsian di Jakarta.
3. Peran lanjutan yang tetap bisa dilakukan oleh UNHCR adalah dengan melakukan kerja
sama dengan beberapa lintas stakeholder agar terjalin kerja sama yang baik di
masyarakat tanpa terhalangi oleh sistem birokrasi pemerintah setempat yang cukup
rumit.

Catatan Tambahan (dari dosen pengampu)

Pada dasarnya, sexual violence atau kekerasan seksual itu sulit untuk dihilangkan karena
berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, terlebih apabila terjadi kekerasan seksual atau
kekerasan lainnya terhadap pengungsi. Untuk itu, dalam menangani permasalahan ini, perlu
adanya peran berbagai aktor yang tidak hanya mengandalkan pemerintah ataupun lembaga-
lembaga yang diberi mandate untuk menjalankan misi ini saja. Salah satu aktor yang berperan
cukup penting, yaitu masyarakat. Penerimaan masyarakat sekitar terhadap pengungsi
memberikan dampak besar bagi terciptanya rasa aman bagi pengungsi. Hal ini kemudian
berdampak pula bahwa walaupun suatu negara meratifikasi konvensi internasional mengenai
pengungsi yang memberikan konsekuensi bagi negara tersebut harus melaksanakan poin-poin
dari konvensi tersebut, namun apabila masyarakat di negara yang bersangkutan tidak suportif
dalam perwujudan konvensi ini, maka perlindungan terhadap pengungsi akan sulit untuk
diwujudkan. Artinya, respon masyarakat di suatu negara tersebut terhadap pengungsi akan
memberikan dampak besar pada terciptanya rasa aman bagi para pengungsi.

Sulitnya berbagai aktor di dunia dalam menciptakan rasa aman bagi pengungsi terutama
mengatasi kekerasan sksual terhadap pengungsi, tidak serta-merta menghentikan berbagai
aktor untuk dapat mencari solusi atas hal itu. Berbagai hal yang kemudian dapat menjadi
solusi bagi penanganan dan pencegahan kekerasan seksual terhadap pengungsi diantaranya
ialah, menambah jumlah wanita sebagai peace keepers dengan anggapan bahwa apabila
jumlah peace keepers laki-laki berkurang, maka akan memberi dampak berkurangnya
kekerasan seksual terhadap pengungsi (wanita). Selain itu, bagi negara yang mengirimkan
pasukan peace keepers ke suatu wilayah negara lain, negara pengirim seharusnya membuat
code of conduct atau berbagai aturan pelaksanaan untuk mengatur berbagai hal yang harus
dan yang tidak boleh dilakukan oleh para peace keepers. Hal ini dipercaya dapat mencegah
terjadinya kekerasan seksual terhadap pengungsi.
DAFTAR PUSTAKA

Burma Citizenship Law,


dalam http://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/87413/99608/F111836952/
MMR87413.pdf diakses 5 Desember 2019

Farid M Aksan, hasil penelitian akhir: “Perlindungan Pengungsi” dalam http://kapita-fikom-


untar-915080095./2011/10/unhcr-perlindungan-pengungsi.htm di akses pada 5
Desember 2019

M. Alvi Syahrin, “Tindakan Hukum Terhadap Orang Asing Mantan Narapidana Yang
Memiliki Kartu Pengungsi Unhcr Dalam Perspektif Keimigrasian”. Jurnal Ilmiah
Kebijakan Hukum, Vol. 13 No 2 tahun 2019, Internet 5 Desember 2019.
https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/575

M. Husni Syam. “Perlindungan Internasional Terhadap Pengungsi Dalam Konflik


Bersenjata”, dalam
http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/syiar_hukum/article/download/505/pdf diakses 5
Desember 2019.
Novasari, Fadma. “Kegagalan UNHCR Dalam Upaya Menanggulangi Kasus Kekerasan
Seksual Di Wilayah Konflik Republik Demokratik Kongo”. 2014.

Perlindungan Pengungsi (Refugee) Menurut Hukum Internasional”, dalam


si.uns.ac.id/profil/uploadpublikasi/Jurnal/196004161986011002PERLINDUNGAN
%20PENGUNGSI.doc diakses 5 Desember 2019

Rahmat, Darmawan. “Pengertian Refugees (Pengungsi),


dalam https://www.academia.edu/9834490/Pengertian_Refugees_Pengungsi diakses 5
Desemeber 2019

Setiyono, Joko. “Kontribusi Unhcr Dalam Penanganan Pengungsi Internasional Di


Indonesia”, Jurnal Masalah-masalah Hukum, Vol. 46 No. 3 Tahun 2015. Internet, 5
Desember 2019, https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/16226

UNCHR. “Sejarah UNHCR”, dalam http://www.unhcr.or.id/id/tentang-unhcr/sejarah-unhcr


diakses 5 Desember 2019.
Universitas Sumatra utara. “Bab II: Profil UNHCR”, dalam
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/58090/4/Chapter%20II.pdf diakses 5
desember 2019.

Anda mungkin juga menyukai