Sejarah terbentuknya International Labour Organization (ILO) ini didirikan pada tahun
1919, sebagai bagian dari Perjanjian Versailles yang mengakhiri Perang Dunia Pertama, untuk
mencerminkan keyakinan bahwa perdamaian yang universal dan abadi hanya dapat dicapai bila
didasari pada keadilan sosial. Para pendiri ILO telah berkomitmen untuk memasyarakatkan
kondisi kerja yang manusiawi serta memerangi ketidakadilan, penderitaan dan kemiskinan. Pada
1944, yaitu sewaktu terjadi krisis internasional kedua, para anggota ILO membangun tujuan-
tujuan ini dengan menerapkan Deklarasi Philadelphia, yang menyatakan bahwa pekerja bukanlah
komoditas dan menetapkan hak asasi manusia (HAM) dan hak ekonomi berdasarkan prinsip
yang menyatakan bahwa “kemiskinan akan mengancam kesejahteraan di mana-mana”. Pada
1946, ILO menjadi lembaga spesialis pertama di bawah PBB yang baru saja terbentuk. Saat
peringatan hari jadinya yang ke 50 di tahun 1969, ILO menerima Hadiah Nobel Perdamaian.
Besarnya peningkatan jumlah negara yang bergabung dengan ILO selama beberapa dasawarsa
setelah masa Perang Dunia ke-II telah membawa banyak perubahan. Organisasi ini meluncurkan
programprogram bantuan teknis untuk meningkatkan keahlian dan memberikan bantuan kepada
pemerintah, pekerja dan pengusaha di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang sedang
berkembang. Di negara-negara seperti Polandia, Cile dan Afrika Selatan, bantuan ILO mengenai
hakhak serikat pekerja berhasil membantu perjuangan mereka dalam memperoleh demokrasi dan
kebebasan. Tahun penting lainnya untuk ILO adalah tahun 1998, di mana para delegasi yang
menghadiri Konferensi Perburuhan Internasional (International Labour Conference) mengadopsi
Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja. Prinsip dan hak
ini adalah hak atas kebebasan berserikat dan perundingan bersama serta penghapusan pekerjaan
untuk anak, kerja paksa dan diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan. Jaminan atas prinsip-
prinsip dan hakhak mendasar di tempat kerja, berdasarkan Deklarasi ini, merupakan hal penting
karena jaminan ini memungkinkan masyarakat “untuk menuntut secara bebas dan atas dasar
kesetaraan peluang, bagian mereka yang adil atas kekayaan yang ikut mereka hasilkan dan untuk
menggali potensi mereka sepenuhnya sebagai manusia”.
Wakil-wakil pengusaha dan pekerja/buruh “mitra sosial” dlam ekonomi mempunyai suara yang
setara dengan pemerintah dalam membentuk kebijakan dan program ILO.
Tujuan utama ILO saat ini adalah mempromosikan kesempatan bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif, dalam kondisi merdeka,
setara, aman, dan bermartabat. ILO berusaha mencapai tujuannya melalui empat kunci sasaran:
Dalam upaya memahami pekerja anak, harus membedakan terlebih dahulu konsep antara
pekerja anak dan anak yang bekerja. Menurut Warsini,dkk dalam (Modul Penanganan Pekerja
Anak yang diterbitkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005:10) anak yang
bekerja adalah anak melakukan pekerjaan karena membantu orangtua, latihan keterampilan dan
belajar bertanggung jawab, misalnya membantu mengerjakan tugas-tugas dirumah, membantu
1
Direktur Jenderal ILO Juan Somavia, “Sekilas ILO di Indonesia” Organisasi Perburuhan Internasional
https://www.ilo.org/public/indonesia/region/asro/jakarta/download/faktailojkt.pdf
pekerjaan orang tua diladang dan lain-lain. Anak melakukan pekerjaan yang ringan dapat
dikategorikan sebagai proses sosialisasi dan perkembangan anak menuju dunia kerja. Indikator
anak membantu melakukan pekerjaan ringan adalah :
Selanjutnya, kelompok usia dikelompokkan menjadi tiga yaitu: usia 5-12, usia 13-15 dan
usia 16-17. Penentuan batas terendah adalah usia 5 tahun. Dipilih batas terendah usia 5 tahun
berdasarkan kenyataan bahwa di Indonesia masih sangat jarang terjadi (jika ada) bagi anak-anak
untuk terlibat dalam ketenagakerjaan. Walaupun, sangat mungkin terjadi bagi anak-anak untuk
berada di dalam pekerjaan, setidaknya itu sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar. Pada
kelompok termuda usia 5-12, bekerja sebenarnya tidak diperbolehkan, bahkan untuk pekerjaan
ringan. Pada kelompok usia berikutnya 13-15, pekerjaan ringan dapat ditoleransi oleh undang-
undang. Sedangkan pada kelompok usia tertua yaitu usia 16-17, bekerja secara umum
diperbolehkan secara hukum. Namun, mereka dilindungi oleh undang-undang dari bentuk
pekerjaan terburuk yaitu pekerjaan sektor bahaya.
Warsini, dkk dalam Modul Penanganan Pekerja Anak yang diterbitkan oleh Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, (2005:10) menambahkan bahwa pekerja anak adalah anak
yang melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat
mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya
dapat digolongkan sebagai pekerja anak.2
Tabel
Perbedaan antara Anak yang bekerja dengan Pekerja Anak
Anak Yang Bekerja Pekerja Anak
Para pekerja anak tersebut kerap diberlakukan tidak sesuai norma yang ada. Mereka
kerap dijadikan obyek perbudakan, eksploitasi dan kekerasan. Para pekerja anak menghadapi
berbagai macam perlakuan kejam dan eksploitasi, termasuk perlakuan kejam secara fisik dan
seksual, pengurungan paksa, upah tidak dibayar, tidak diberi makan dan fasilitas kesehatan, serta
jam kerja yang sangat panjang tanpa hari libur (Media Indonesia, 09/12/2010). Dalam laporan
UNICEF ”The State of The Worlds Children 1997” yang dikutip dari Nainggolan dalam Suharto
(2008:215) UNICEF berkeyakinan bahwa pekerja anak adalah eksploitas jika menyangkut:
1. Pekerjaan penuh waktu (full time)
2. Terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk bekerja
3. Pekerjaan menimbulkan tekanan fisik, sosial atau psikologis yang tidak patut terjadi
4. Bekerja dan hidup dijalanan dalam kondisi buruk
5. Upah yang tidak mencukupi
6. Tanggung jawab yang terlalu banyak
7. Pekerjaan yang menghambat akses pendidikan
8. Pekerjaan yang mengurangi harga diri dan martabat anak-anak, seperti perbudakan
atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi seksual
Anak yang terjebak dalam eksploitasi akan terperangkap dalam bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk anak. Menurut Konvensi ILO No. 182 Pasal 3 (c) pekerjaan terburuk anak adalah
pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan
kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 59/2002
ada 13 jenis bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yaitu :
1. Mempekerjakan anak-anak sebagai pelacur
2. Mempekerjakan anak-anak di pertambangan
3. Mempekerjakan anak-anak sebagai penyelam mutiara
4. Mempekerjakan anak-anak di bidang konstruksi
5. Menugaskan anak-anak di anjungan penangkapan ikan lepas pantai (yang di Indonesia
disebut jermal)
6. Mempekerjakan anak-anak sebagai pemulung sampah
7. Melibatkan anak-anak dalam pembuatan dan kegiatan yang menggunakan bahan peledak
8. Mempekerjakan anak-anak di jalanan
9. Mempekerjakan anak-anak sebagai pembantu rumah tangga
10. Mempekerjakan anak-anak di industri rumah tangga (cottage industries)
11. Mempekerjakan anak-anak di perkebunan
12. Mempekerjakan anak-anak dalam kegiatankegiatan yang berkaitan dengan usaha
penebangan kayu untuk industri atau mengolah kayu untuk bahan bangunan dan
pengangkutan kayu gelondongan dan kayu olahan
13. Mempekerjakan anak-anak dalam berbagai industri dan kegiatan yang menggunakan
bahan kimia berbahaya
Mempekerjakan pekerja anak pada dasarnya merupakan suatu hal yang melanggar hak
asasi anak karena eksploitasi pekerja anak selalu berdampak buruk terhadap perkembangan anak
baik fisik, emosi dan sosial anak.3 Pada prinsipnya anak-anak memang dilarang untuk bekerja,
Namun apabila dalam keadaan terpaksa karena ekonomi dan sosial dari anak tidak
menguntungkan, anak boleh bekerja tetapi tidak boleh menyimpang dari ketentuan dalam UU
yang diatur dalam UU No.13 Tahun 2003. 4 (Media Indonesia, 9/12/2010). Undang-undang No.
13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang
berusia dibawah 18 tahun. Batasan umur tersebut sama dengan batasan umur yang dikemukakan
dalam KHA. Untuk tujuan analisis, peneliti merujuk istilah pekerja anak pada anak-anak usia 5-
17 tahun. Penentuan batasan umur pekerja anak usia 5-17 tahun dilakukan peneliti dengan
merujuk analisis Survei Pekerja Anak 2009 yang dilakukan ILO yang kerjasama dengan BPS.
Definisi dari kerja paksa diabadikan didalam Konvensi ILO mengenai Kerja Paksa No.29
(1930). Menurut Pasal 2, kerja paksa didefinisikan sebagai:
“semua pekerjaan atau jasa yang diminta dari siapapun dibawah ancaman denda dan
untuk mana orang tersebut tidak pernah menawarkannya secara sukarela.”
1. “Semua pekerjaan atau jasa” meliputi segala jenis pekerjaan, kepegawaian atau
3
Lihat Modul Penanganan Pekerja Anak (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005:16) tentang Dampak
Negatif Pekerjaan bagi tumbuh Kembang Anak
4
Lihat UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 tentang Bentuk-bentuk pekerjaan yang diperbolehkan untuk anak
pasal 69-71
jabatan. Oleh karenanya sifat atau legalitas dari relasi kerja itu tidaklah relevan.
Misalnya, meskipun prostitusi adalah ilegal di beberapa negara, namun masih tetap
masuk kedalam Konvensi No. 29. Kerja rumah tangga sering tidak diatur oleh UU
ketenagakerjaan; bagaimanapun juga, kerja paksa seperti didefinisikan dalam C. 29
dapat terjadi didalam rumahtangga pribadi.
2. “Siapapun” merujuk pada orang dewasa maupun anak kecil. Istilah ini juga tidak
relevan apakah orang tersebut adalah penduduk atau bukan penduduk dari negara
dimana kasus kerja paksa tadi telah teridentifikasi.
3. “Ancaman denda” merujuk tidak hanya pada sanksi kriminal namun juga pada
beragam jenis pemaksaan, seperti ancaman, tindakan kekerasan, ditahannya dokumen
identitas diri, pengurungan atau tidak dibayarkannya gaji. Isu utama disini adalah
pekerja seharusnya bebas untuk keluar dari relasi kerjanya tanpa kehilangan hak atau
manfaat apapun. Contohnya adalah ancaman untuk kehilangan gaji yang seharusnya
dibayarkan pada pekerja atau hak untuk perlindungan dari kekerasan.
4. “Sukarela” merujuk pada persetujuan pekerja untuk memasuki suatu hubungan
kepegawaian. Meski seorang pekerja mungkin telah memasuki suatu kontrak kerja
tanpa adanya penipuan atau pemaksaan, ia harus selalu dapat dengan bebas
membatalkan kesepakatan yang dibuat secara konsensual. Dengan kata lain,
kesepakatan yang bebas dan jelas harus menjadi dasar perekrutan dan harus tetap
berlaku selama hubungan kerja tersebut. Bila pengusaha atau perekrut menggunakan
penipuan atau pemaksaan, kesepakatan menjadi tidak relevan.
Secara hukum, Indonesia sudah menghapuskan kerja paksa. Indonesia telah menjadi
anggota ILO sejak tahun 1950 dan International Labour Organisation (ILO) telah
mengeluarkan Konvensi No. 105 mengenai Penghapusan kerja paksa pada tahun 1957 untuk
lima situasi khusus yaitu:
- Sebagai sarana paksaan politik atau pendidikan atau sebagai hukuman karena
mempunyai atau mengutarakan pendapat politik atau pendapat yang secara
ideology berlawanan dengan sistem politik, sosial atau ekonomi yang sudah
terbentuk.
- Sebagai metode untuk memobilisasi dan menggunakan tenaga kerja untuk
tujuantujuan pembangunan ekonomi.
- Sebagai sarana disiplin kerja.
- Sebagai hukuman karena telah ikut serta dalam pemogokan.
- Sebagai sarana diskriminasi rasial, sosial, warga negara atau agama.5
Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dalam Undang – Undang No. 19 Tahun
1999 mengenai pengesahan konvensi ILO tentang penghapusan kerja paksa. Meskipun demikian,
pada kenyataannya perundang-undangan Indonesia tidak mampu menjamin secara memuaskan
jaminan yang ditentukan Konvensi mengenai langkah-langkah perlindungan mengenai hak-hak
pekerja. Terkadang ketentuan-ketentuan tersebut menyampingkan kategori-kategori pekerja
tertantu (seperti pembantu Rumah Tangga, pekerja pertanian, dll).
Dihapusnya kerja paksa telah menjadi agenda ILO hampir sejak pendiriannya. Penekanan
awalnya adalah pada kerja paksa yang diberlakukan oleh negara. Kini diakui bahwa kerja paksa
yang paling kontemporer terjadi di dalam perekonomian swasta. Pada tahun 2005 dan 2007, ILO
mempublikasikan dua laporan besar tentang kerja paksa; penjelmaannya pada era saat ini serta
implikasi hukumnya sehubungan dengan Konvensi No. 29 dan 105. Kedua laporan tersebut
memperjelas bahwa kerja paksa benar ada di negara-negara perindustrian maupun negara
berkembang. Ini adalah masalah global yang mempengaruhi setiap negara secara berat maupun
ringan dan hanya dapat ditindak dengan upaya global. Pada tahun 2005, ILO menghasilkan
estimasi pertamanya tentang korban kerja paksa (laki-laki, perempuan dan anak-anak), termasuk
kerja paksa akibat dari perdagangan manusia.
- Bentuk tradisional dari buruh terikat (bonded labour) dapat ditemukan dalam
pertanian, penggilingan padi, dan aktivitas ekonomi lainnya di Asia Selatan (mis.
India, Nepal dan Pakistan). Buruh terikat dapat mempengaruhi seluruh keluarga
ketika kepala keluarga dalam rumah tangga menjanjikan tidak hanya kerjanya
sendiri namun juga anggota keluarganya guna memperoleh pembayaran di muka
atau kredit dari majikannya dalam kondisi membutuhkan.
5
Konvensi ILO no. 105 tahun 1957 tentang Penghapusan Kerja Paksa
- Ikatan hutan (debt bondage) dan bentuk paksaan lainnya dapat membuat
masyarakat adat dan orang miskin lainnya di Amerika Latin terus berada dalam
kerja paksa, seperti pembalakan, pertambangan dan pertanian. Sistem ini
seringkali didasarkan pada sebuah sistem kompleks dari kontraktor dan sub-
kontraktor yang semua mengambil potongan dari pekerja yang berhutang ini,
beberapa pekerja ini bekerja selama bertahun-tahun tanpa pernah menerima
penghasilan yang memadai.
- Kerja paksa anak di banyak negara Afrika dikaitkan dengan praktik tradisional
menempatkan anak-anak dibawah pengasuhan sanak keluarga di kota-kota yang
jauh. Sementara orangtua dijanjikan pendidikan untuk anak-anak mereka, anak-
anak laki-laki dan perempuan seringkali dengan kejam dieksploitasi sebagai
pembantu rumah tangga, dalam pertanian dan perikanan atau dalam industri seks.
Namun, kerja paksa anak dan perdagangan anak tidak hanya terbatas di Afrika.
ILO memperkirakan setidaknya 40% dari korban kerja paksa di seluruh dunia
adalah anak-anak.
- Kerja Paksa yang dikaitkan ke migrasi dan sistem kontrak kerja yang
eksploitatif dapat ditemukan dimanapun di seluruh dunia. Contohnya, pekerja
migran dari Indonesia, India dan Filipina atau negara-negara Asia lainnya dapat
menemukan diri mereka “terikat” ke kontraktor pekerja akibat biaya yang
berlebihan dan dengan peluang yang sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama
sekali untuk mengubah pemberi kerja atau majikannya di negara tujuan. Negara
tujuan utama untuk pekerja migran Asia meliputi Singapura, Malaysia dan
negara-negara Timur Tengah. Di Eropa, badan-badan tenaga kerja berada
dibawah pengawasan ketat setelah adanya laporan-laporan mengenai eksploitasi
yang serius terhadap pekerja migran. Batasan antara kerja yang dilakukan diam-
diam karena ilegal dan kejahatan terorganisir kadangkala kabur.
- Kerja paksa sebagai hasil dari kejahatan perdagangan terorganisir dapat
ditemukan dalam industri seks di seluruh dunia. Namun karena sifat prostitusi
yang tertutup di banyak negara, jejaring kejahatan terorganisir memainkan
peranan penting dalam menyediakan perempuan-perempuan muda dan anak-anak
bagi bar, rumah bordil ataupun rumah-rumah privat. Internet dan pariwisata
kemungkinan telah mendorong perdagangan seks. Kejahatan terorganisir juga
dapat melibatkan bentuk-bentuk lain dari perdagangan orang, seperti perdagangan
untuk tujuan eksploitasi kerja. Ini seringkali dikaitkan dengan rekrutmen yang
menipu, pemerasan dalam bisnis (racketeering) dan pemerasan guna memperoleh
bagian atau potongan dari penghasilan pekerja migran.6
Protokol Palermo
RINGKASAN JURNAL
Jurnal 1
6
ILO (International Labour Organization), dalam https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-
bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_335667.pdf diakses pada 4 Desember 2019.
7
Jansson, D. B. (2014). Modern Slavery: A Comparative Study of the Definition of Trafficking in Persons: Martinus
Nijhoff Publishers. hlm 1-3.
Judul Jurnal: Kerjasama Indonesia dan International Labour Organization Dalam Menangani
Kasus Pekerja Anak Sektor Berbahaya Periode 2010-2013.
Sumber: Journal of International Relations, Volume 2, Nomor 4, Tahun 2016, hal. 85-92
Pendahuluan
PASB termasuk dalam pelanggaran HAM karena sesuai dengan Convention on the Rights of the
Childs menjelaskan bahwa anak seharusnya berhak mendapatkan pendidikan dan kasih sayang,
serta memiliki hak untuk mempersiapkan dirinya untuk kehidupan selanjutnya. Universal
Declaration of Human rights (UDHR) juga menyebutkan segala bentuk perbudakan dan
perdagangan budak harus dilarang. Konsep mengenai HAM secara formal muncul pada tanggal
10 Desember 1948, saat itu PBB memproklamasikan UDHR. Selain itu peraturan Indonesia juga
telah mencantumkan mengenai perhatian anak pada faktor pendidikan pada Undang-Undang
nomor 23 tahun 2002 pasal 9 yang menjelaskan setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasanya sesuai dengan
minat dan bakatnya, khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh
pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan diberikan hak untuk
mendapatkan pendidikan khusus. Dilihat dari garis kemiskinan Indonesia tahun 2013,
masyarakat miskin di Indonesia berjumlah 28 juta penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik,
2014). kemiskinan ini menjadikan alasan bagi anak untuk bekerja karena sebagian orangtua yang
menyuruh anaknya untuk membantu perekonomian keluarga. Kasus PASB yang terjadi di
Indonesia bisa dicontohkan dari pekerjaan pemulung sampah karena pekerjaan ini dapat
menimbulkan kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan emosional, dan kekerasan seksual.
Masih terdapat banyak lagi resiko negatif bagi pekerja anak yang bekerja di sektor berbahaya.
Neoliberal memandang bahwa keberadaan organisasi internasional sebagai cara yang tepat untuk
menangani permasalahan yang mengancam negara. Organisasi internasional juga berfungsi
sebagai wadah untuk mempermudah koordinasi dan pembentukan kebijakan untuk menangani
permasalahan yang ada. Organisasi Internasional berfungsi pula sebagai mediator yang
mengawasi dan mengamankan jalannya kerjasama dan hubungan kepentingan antar Negara.
Organisasi internasional berfungsi sebagai aktor yang menjunjung tinggi kepentingan bersama
yang sudah disetujui oleh negara-negara anggotanya.
Metode Penelitian
Jumlah pekerja anak Indonesia tahun 2012 yang berusia 7-15 tahun, menjelaskan bahwa provinsi
papua memiliki jumlah terbesar yaitu 36 ribu pekerja anak dari keseluruhan jumlah Indonesia
120 ribu pekerja anak. Serta jumlah terendah pekerja anak berada pada provinsi Kepulauan Riau
dengan 152 anak. Penyebab dari besarnya jumlah anak bekerja adalah demi membantu
keluarganya, bahkan terdapat pemaksaan terhadap anak untuk bekerja secara berlebihan dari
pihak keluarga. Seharusnya, anak memiliki kewajiban untuk menempuh pendidikan, akan tetapi
anak sulit untuk memilih antara kewajiban mempersiapkan diri lewat pendidikan dengan
kewajiban membantu perekonomian keluarga. Pekerja anak di dunia memiliki jumlah total 215
juta anak dan 115 juta anak termasuk dalam PASB. Pada kenyataannya terdapat 270 juta kasus
Pekerja anak yang terkena kecelakaan saat bekerja dan 160 kasus mengenai penyakit karena
PASB setiap tahunnya. ILO memperkirakan terdapat 22 ribu anak meninggal setiap tahunnya
karena PASB, bahkan ILO sulit untuk mencari data karena PASB termasuk dalam “Hidden
people”. Kesulitan untuk pencarian data yang tepat mengenai PASB menjadi sebab masalah
untuk melakukan penghapusan dan mengalokasikan pencegahan terhadap anak-anak tersebut.
Maka dari itu diperlukannya kerja sama untuk memudahkan pencarian data, kegiatan ini perlu
dilakukan untuk menghindari tindakan-tindakan yang berhubungan dengan perbudakan,
penyiksaan yang dapat mengganggu kesehatan dan moral bagi Pekerja anak.
Beberapa faktor yang memengaruhi anak untuk bekerja, yaitu: (a) faktor ekonomi. Kemiskinan
merupakan faktor pendorong yang paling kuat pengaruhnya karena Orangtua yang tidak mampu
membiayai kehidupan keluarganya, terpaksa menyuruh anaknya ikut bekerja agar dapat
membantu meringankan beban ekonomi keluarga.
(b) faktor pendidikan. Biaya untuk mendapatkan pendidikan terbilang mahal, dan terkadang
banyak orang yang bersekolah tinggi tetapi akhirnya jadi pengangguran. Orangtua dengan
keterbatasan ekonomi cenderung berpikiran sempit terhadap masa depan anaknya sehingga tidak
memperhitungkan manfaat sekolah.
(c) faktor budaya/tradisi/kebiasaan. Beberapa keluarga memiliki budaya bahwa anak harus
sudah dapat melakukan pekerjaan. Ketidak sengajaan ini akhirnya membentuk budaya, tradisi,
kebiasaan yang menghantarkan anak-anaknya sebagai pekerja anak yang seharusnya belum
waktunya untuk bekerja
Kerja Sama ILO - Indonesia
Demi mengurangi pelanggaran HAM yang terjadi, Indonesia dengan dukungan dari
kebijakan-kebijakan yang dimiliki ILO melakukan kerja sama untuk mempercepat proses
pengurangan pekerja anak di Indonesia. Terdapat 3 program untuk menangani kasus PASB yang
dilakukan dari tahun 2010-2013, yaitu: Pertama, memerangi pekerja anak melalui pendidikan.
Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat kebijakan yang berhubungan antara pekerja anak dan
pendidikan, tindakan yang dilakukan memperlihatkan adanya kesempatan bagi pekerja anak agar
menerima pendidikan. Berlakunya proyek ini dilakukan pada tanggal 1 Januari 2010-31
Desember 2014 dan dibantu oleh Pemerintah Belanda. Banyaknya anak yang putus sekolah
membuat dunia internasional kesulitan dalam menangani pekerja anak. Proyek ini didasari dari
program ILO yaitu IPEC yang secara jelas memerangi pekerja anak di kawasan internasional
(ILO, Promoting Jobs, Protecting People, 2016). Mitra ILO dalam melaksanakan proyek
pemberantasan pekerja anak melalui pendidikan di Indonesia yaitu Kementerian
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian
Sosial, Asosiasi Pekerja Indonesia (APINDO), Serikat Buruh, Organisasi non-pemerintah,
sekolahan lokal, LSM terkait. Kerja sama yang dilakukan ILO dengan mitranya di Indonesia
adalah dengan melakukan diskusi tentang rencana, program yang cocok dalam menangani kasus
di wilayah Indonesia serta saling membantu dalam pencarian data-data pekerja anak (ILO,
Promoting Jobs, Protecting People, 2016).
Kedua, mempersiapkan kaum muda menghadapi transisi dari sekolah ke pekerjaan dan
memasuki dunia kerja. Proyek ini dilaksanakan dengan jangka waktu satu tahun mulai dari 1
Januari 2011-2013, memiliki tujuan untuk meningkatkan lingkungan kondusif yang ditargetkan
untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan muda. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan
pemerintah, pengusaha, pekerja dan masyarakat secara umum tentang masalah, tantangan,
praktik terbaik, program dan intervensi yang terkait dengan ketenagakerjaan muda. Proyek ini
dibantu oleh Badan Kerja sama Internasional Swedia “Swedish International Cooperation
Agency (SIDA)” dengan memberikan bantuan dana sebesar 300 $. Kegiatannya di Indonesia
melibatkan pemerintah, kementerian atau lembaga terkait, antara lain berkerja sama dengan
Kantor Wakil Presiden, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Pemuda dan Olahraga, Jejaring Lapangan Kerja bagi Kaum Muda Indonesia,
Organisasi Pengusaha dan Serikat Pekerja (ILO, Promoting Jobs, Protecting People, 2016).
Ketiga, memerangi pekerja anak melalui pelatihan keterampilan bagi anak-anak yang
mencapai usia minimum bekerja. Pembangunan proyek ini bertujuan untuk mendorong
penghapusan pekerja anak dengan mengembangkan kebijakan mengenai kelayakan kerja bagi
anak-anak yang sesuai dengan Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum Bekerja (15-17
tahun). Proyek ini bekerja sama dengan Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Pendidikan
Nasional dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo),
Konfederasi Serikat Pekerja, Organisasi Non Pemerintah. Diharapkan dengan kerja sama ini
Indonesia mendapatkan Kemajuan yang efektif dalam Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional di
Indonesia terkait Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Proyek pelatihan bagi pekerja
anak ini mendapat dana bantuan oleh Pemerintah Belanda sebesar EUR 2.000.000, Anggaran ini
bukan hanya untuk Indonesia melainkan Kenya, Bolivia dan Uganda termasuk dalam pelatihan
pekerja anak. Kegiatan ini diharapkan akan membantu para pekerja anak yang berusia 15-17
tahun dalam dunia pekerjaan. Dengan adanya pelatihan keterampilan kerja, para anak-anak ini
akan mendapatkan ilmu pengetahuan dasar untuk menanggapi setiap pekerjaan. Tanpa adanya
ilmu pengetahuan dasar para anak-anak akan mudah menjadi sasaran eksploitasi oleh pihak-
pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kesimpulan
PASB termasuk dalam “hidden poeple”, oleh sebab itu sulit untuk melakukan pencarian
data-data menggunakan tindakan biasa. Kerja sama yang dilakukan melalui program yang
dimiliki ILO pun telah mendukung pemerintahan Indonesia terkait permasalahan tersebut. ILO
dan Pemerintah Indonesia melalui kerjasama dengan berbagai kementerian telah melakukan
berbagai program untuk mengurangi angka PASB di Indonesia. Melalui program-program
kerjasama tersebut akhirnya terjadi pengurangan jumlah pekerja anak sebesar 63.055 sepanjang
tahun 2008-2014 dari jumlah pekerja anak sebelumnya yaitu 1,7 juta. Walaupun kerja sama bisa
dibilang berhasil untuk mengurangi pekerja anak, peneliti jurnal imi melihat masih sulit untuk
melakukan penghapusan pekerja anak di tahun 2022 yang direncanakan oleh Pemerintah
Indonesia karena jumlah pengurangan dan jumlah total pekerja anak hanya mengalami
penurunan yang sedikit.
Jurnal 2
Judul Jurnal: Kegagalan ILO dalam Menanggulangi Pekerja Anak di Indonesia (2005 – 2009)
Skripsi ini dilatar belakangi oleh Kondisi di negara Indonesia yang masih mempekerjakan anak
anak dibawah umur. Mayoritas pekerjaan yang anak – anak lakukan tersebut dapat berupa
bekerja di pabrik atau perusahaan.
Pemaksaan anak – anak ini pun bisa disebut Eksploitasi. Eksploitasi merupakan pemanfaatan
atau pemaksaan tenaga seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan dengan diminta oleh orang
lain yang bersangkutan atau oleh sebuah perusahaan tertentu untuk mencapai tujuan atau
kewenangan tertentu.
Berdasarkan Konvensi PBB tahun 1989 tentang Hak – Hak Anak dan Konvensi ILO No. 182
Tahun 1999 tentang pelanggaran dan tindakan segera penghapusan bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak dengan upah yang kecil.
Indonesia telah menjadi anggota ILO sejak tanggal 12 Juni 1950 dan merupakan salah satu
negara pertama yang terpilih untuk ikut dalam Program Penghapusan Buruh Anak Internasional
(IPEC) serta ikut menandatangani nota kesepahaman dengan ILO pada tahun 1992.
Tetapi, adanya hambatan yang membuat program tersebut tidak berjalan dengan baik karena
beberapa faktor :
3. Adanya ketidaksamaan antara kebijakan yang dibuat oleh negara ILO dengan kebijakan yang
dibuat oleh negara Indonesia, seperti Undang – undang no.13 tahun 2003 gagal memasukkan
mandate Konvensi ILO no.138 dan 182 dikarenakan perundang – undangan ini menentukan usia
minimum anak yang boleh bekerja adalah 13 – 15 tahun dan tidak menjelaskan contoh yang
dimaksud dengan pekerjaan ringan.
Hal ini menyebabkan betapa sulitnya untuk menghapus pekerja anak dan penghapusan Bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak di Indonesia. Dimana tetap membolehkan anak bekerja tetapi
pekerjaan yang ringan atau pekerjaan yg tidak membahayakan anak, walaupun karena
keterpaksaan untuk bekerja ini membuat anak – anak kehilangan hak berpendidikan dan hak
untuk bermain.
Pelanggaran hukum oleh para pengusaha berupa memberikan jam kerja yang lebih lama dari 4
jam setiap harinya dan pemberian upah kepada pekerja yang minim.
Pegawai dinas ketenagakerjaan pun tidak melakukan tugasnya dengan baik, tidak melakukan
penindakan terhadap para pengusaha yang melanggar hukum tersebut.
Kebijakan perlindungan anak terhadap eksploitasi pekerja anak belum efektif dikarenakan faktor
nilai – nilai sosial seperti nilai historis, kebiasaan yang menyusun tingkah laku masyarakat, dan
lemahnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh pengawasan ketenagakerjaan dari Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Skripsi ini dilatar belakangi oleh Kondisi di negara Indonesia yang masih mempekerjakan anak
anak dibawah umur. Mayoritas pekerjaan yang anak – anak lakukan tersebut dapat berupa
bekerja di pabrik atau perusahaan.
Pemaksaan anak – anak ini pun bisa disebut Eksploitasi. Eksploitasi merupakan pemanfaatan
atau pemaksaan tenaga seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan dengan diminta oleh orang
lain yang bersangkutan atau oleh sebuah perusahaan tertentu untuk mencapai tujuan atau
kewenangan tertentu.
Berdasarkan Konvensi PBB tahun 1989 tentang Hak – Hak Anak dan Konvensi ILO No. 182
Tahun 1999 tentang pelanggaran dan tindakan segera penghapusan bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak dengan upah yang kecil.
Indonesia telah menjadi anggota ILO sejak tanggal 12 Juni 1950 dan merupakan salah satu
negara pertama yang terpilih untuk ikut dalam Program Penghapusan Buruh Anak Internasional
(IPEC) serta ikut menandatangani nota kesepahaman dengan ILO pada tahun 1992.
Tetapi, adanya hambatan yang membuat program tersebut tidak berjalan dengan baik karena
beberapa faktor :
3. Adanya ketidaksamaan antara kebijakan yang dibuat oleh negara ILO dengan kebijakan yang
dibuat oleh negara Indonesia, seperti Undang – undang no.13 tahun 2003 gagal memasukkan
mandate Konvensi ILO no.138 dan 182 dikarenakan perundang – undangan ini menentukan usia
minimum anak yang boleh bekerja adalah 13 – 15 tahun dan tidak menjelaskan contoh yang
dimaksud dengan pekerjaan ringan.
Hal ini menyebabkan betapa sulitnya untuk menghapus pekerja anak dan penghapusan Bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak di Indonesia. Dimana tetap membolehkan anak bekerja tetapi
pekerjaan yang ringan atau pekerjaan yg tidak membahayakan anak, walaupun karena
keterpaksaan untuk bekerja ini membuat anak – anak kehilangan hak berpendidikan dan hak
untuk bermain.
Pelanggaran hukum oleh para pengusaha berupa memberikan jam kerja yang lebih lama dari 4
jam setiap harinya dan pemberian upah kepada pekerja yang minim.
Pegawai dinas ketenagakerjaan pun tidak melakukan tugasnya dengan baik, tidak melakukan
penindakan terhadap para pengusaha yang melanggar hukum tersebut.
Kebijakan perlindungan anak terhadap eksploitasi pekerja anak belum efektif dikarenakan faktor
nilai – nilai sosial seperti nilai historis, kebiasaan yang menyusun tingkah laku masyarakat, dan
lemahnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh pengawasan ketenagakerjaan dari Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Jurnal 3
Sumber: Jurnal Online Mahasiswa Vol. 02. No. 02 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Riau, 2015
Pendahuluan
Kecelakaan kerja merupakan sebuah peristiwa yang tidak terjadi secara kebetulan
melainkan karena adanya penyebab. Konstitusi ILO menetapkan prinsip bahwa pekerja harus
memperoleh jaminan perlindungan dalam bekerja. Namun jutaan pekerja menghadapi kenyataan
yang berbeda, ILO telah membuat standar tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang
menyediakan alatalat penting bagi pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk membangun
praktik tersebut dan untuk menyediakan keamanan maksimum di tempat kerja. Peristiwa
kecelakaan kerja terparah yang terjadi dewasa ini adalah insiden runtuhnya sebuah bangunan
industri garmen yang terletak di Kota Savar, Bangladesh pada tanggal 24 April 2013. Runtuhnya
bangunan tersebut diakibatkan oleh ketidakmampuan bangunan menahan getaran mesin – mesin
industri dan generator yang beroperasi di dalamnya. Akibat insiden ini, sebanyak 1135 pekerja
meninggal dunia dan lebih dari 3000 pekerja tertimpa reruntuhan bangunan. Insiden tersebut
ditetapkan sebagai kecelakaan industri terburuk dalam sejarah industri garmen di Bangladesh
dan juga merupakan bencana terburuk sepanjang sejarah perindustrian di era modern. ILO
sebagai organisasi internasional yang bertugas mendorong terciptanya kondisi kerja yang layak
bagi laki-laki dan perempuan mengirimkan misi tingkat tinggi (high level mission) ke
Bangladesh sebagai respon terhadap persitiwa runtuhnya bangunan Rana Plaza. Misi Tingkat
Tinggi (High Level Mission) merupakan sebuah misi yang dilakukan berdasarkan urgensi suatu
peristiwa dengan menimbang jumlah korban dan tingkat kerusakan akibat peristiwa kecelakaan.
Dari misi tingkat tinggi dihasilkan pernyataan bersama (tripartite joint statement) yang
diterbitkan oleh mitra tripartite dan ILO pada tanggal 4 Mei 2013. Melalui joint statement
tersebut ILO bersama mitra tripartite mengidentifikasi inti permasalahan dan merumuskan
sebuah rancangan kerja (action plan) dengan tujuan memperkuat pengawasan perburuhan,
meningkatkan kesadaran keselamatan dan kesehatan kerja (Occupational Safety and Health) dan
hakhak buruh, rehabilitasi dan pelatihan keterampilan bagi pekerja yang menyandang cacat
akibat insiden kecelakaan kerja.
Kerangka Teori
Penelitian ini menggunakan perspektif pluralis. Dalam tulisan ini, teori yang digunakan
adalah:
Tragedi Rana Plaza merupakan salah satu berita tentang kecelakaan terbesar di abad 21, Sebelum
tragedy runtuhnya Rana Plaza, sederet kasus kecelakaan kerja di pabrik – pabrik garmen pernah
terjadi, diantaranya adalah kasus runtuhnya pabrik Savar Spectrum Sweater, pabrik Phoenix
Fabrics Mill Ltd, kebakaran pada pabrik Tazreen Fashions, pabrik Garib and Garib, pabrik KTS
Fabrics Mills dan pabrik Chowdhury Knitwear Garments. Peristiwa runtuhnya bangunan Rana
Plaza terjadi pada tanggal 24 April 2013 sekitar pukul 08.45 waktu Bangladesh. Bangunan
tersebut runtuh saat tengah beroperasi dan terdapat lebih dari 3000 orang berada didalamnya.
Peristiwa itu bermula dari runtuhnya sebuah kolom bangunan yang berada di sudut barat daya di
lantai ketujuh bangunan yang memicu reaksi berantai mengakibatkan keruntuhan sampai dasar
bangunan dengan waktu kurang dari satu menit. Sehari Akibat insiden tersebut, sebanyak 1.133
pekerja dan 2 petugas penyelamat meninggal dalam kecelakaan, 2.438 pekerja keluar
hiduphidup, dan sekitar 332 pekerja masih hilang.
Reformasi undang – undang tenaga kerja menjadi langkah pertama yang dilakukan mitra
tripartite dan ILO dalam rangkaian agenda kerja. Pengajuan reformasi undang – undang
dilakukan bersamaan dengan diterbitkannya joint statement pada tanggal 4 Mei 2013 di Dhaka.
Pengajuan reformasi ditujukan untuk membuat perubahan lebih lanjut terhadap undang - undang
agar sepenuhnya menjamin hak-hak pekerja untuk membentuk perserikatan, tawar - menawar
secara kolektif, dan keselamatan bekerja
sebuah organisasi konsultan struktur lokal dan independen, dikontrak oleh ILO untuk melakukan
inspeksi struktural dan keselamatan kebakaran terhadap 1500 pabrik atas nama NTC (National
Tripartite Committee). ILO sepenuhnya mendanai inspeksi awal sebagai bagian dari upaya
memperbaiki kondisi sektor garmen. tim diarahkan untuk melakukan inspeksi dengan ketat dan
melaporkan langsung ke NTC apabila ditemukan permasalah pada pabrik mengenai pelanggaran
aturan keamanan pabrik. Jika terdapat pelanggaran berat, pabrik akan direkomendasikan untuk
dilakukan pemeriksaan secara rinci dan pemilik pabrik harus menanggung seluruh biaya dalam
proses pemeriksaan.
3.Perekrutan Inspektur
Kesimpulan
Beberapa perbaikan secara signifikan dihasilkan pasca implementasi National Tripartite Actions
and Plan. Perbaikan yang pertama kali dihasilkan adalah perubahan Undang - Undang Tenaga
Kerja Bangladesh. Undang - Undang Tenaga Kerja yang baru memperkenalkan langkah-langkah
keamanan baru dan membuatnya sedikit lebih mudah untuk membentuk serikat pekerja. Adanya
serikat perwakilan merupakan salah satu sistem peringatan dini untuk mencegah bencana seperti
Rana Plaza, mereka juga berfungsi sebagai mekanisme untuk menghindari konflik kekerasan di
pabrik garmen Bangladesh melalui mediasi antara pekerja, pengusaha, dan polisi. Serikat pekerja
dan manajemen pabrik kemudian bersama-sama mengidentifikasi keluhan sebelum terjadinya
konflik Sementara itu, pengusaha dan organisasi pekerja mengambil peran aktif dalam melatih
manajer, supervisor dan pemimpin serikat buruh tentang kesehatan dan keselamatan kerja serta
masalah hakhak pekerja. Berbagai pemangku kepentingan telah memainkan peran penting dalam
proses ini. Pemerintah, pengusaha, organisasi pekerja, merek dan retailers, mitra pembangunan,
masyarakat sipil dan organisasi internasional seperti ILO bekerja sama untuk meningkatkan
keamanan dan kesehatan kerja. Hal ini mencerminkan perubahan lebih baik pada sektor garmen
Bangladesh.
STUDI KASUS
ILO dikatakan belum berhasil mengatasi pekerja atau dikatakan gagal karena adanya kelemahan
Organisasi Internasional yang mengakibatkan tidak berjalannya beberapa fungsi dasar Organisasi
Internasioal sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan kurangnya dukungan dari pemerintah
sendiri dalam mengatasi pekerja anak di Indonesia.
1. Konvensi yang diadopsi International Labour Organization tidak sejalan dengan nilai
sosial budaya semua negara
2. Kurang tegasnya International Labour Organization terhadap pelanggaran konvensi
3. Mekanisme kerja dari Inernational Labour Organization kurang bisa mengumpulkan data
mengenai pekerja illegal.
SESI DISKUSI
Pertanyaan Audience:
1. Ghaida (008)
Dengan Indonesia menandatangani MOU apakah ada pengaruh efektivitas dari peran ILO
karena Indonesia baru saja meratifikasi IPEC? dan apakah untuk menangani masalah
pekerja anak cukup dengan berafiliasi dengan IPEC dan konvensi nya saja? Dan apakah
pengusaha mengabaikan, atau mengetahui peraturan tersebut?
2. Arfi (159)
Dengan latar belakang anaknya bekerja, apa langkah ILO yang perlu dilakukan, benar
apa salah? Apa yang perlu dilakukan jika anak harus bekerja karena adanya tuntutan?
(misal karena adanya tuntutan ekonomi) Apakah harus tetap mengikuti aturan ILO atau
tidak?
3. Jery (063)
Seain isu child military atau tentara anak dibawa kedalam siding PBB, adakah peran ILO
dalam mengatasinya?
4. Faqih
Bagaimana pendapat kelompok mengenai dampak ILO belum berkontribusi yang baik,
apakah hasil yang didapatkan masih setara apa tidak? Dan manfaat apa yang sudah
dilakukan oleh ILO ketika ILO ada di Indonesia dan bekerjasama dengan Indonesia?
5. Syifa (186)
Apakah ada ketidaksamaan pekerja Indonesia ILO yang menjadi salah satu keberhasilan
ILO itu sendiri? Mengapa terjadi perbedaan antara umur minimal anak untuk bekerja
dimana di Indonesia yaitu minimal usia 13-15 tahun sedangkan menurut ILO minimal
usia 17-15 tahun? Apa pengaruh dan penyebabnya?
Jawaban:
Website