Anda di halaman 1dari 3

Nama : Denissa Kumala

NPM : 2006582706
Main Topic : Child Labour
Sub topic : Fenomena Pekerja Anak (Child Labour) di Indonesia

Bagi negara berkembang termasuk Indonesia, permasalahan child labour atau biasa
dikenal juga sebagai pekerja anak masih memprihatinkan dan perlu banyak perhatian dari banyak
pihak. Kerja sama pemerintah dalam memberantas hal ini sangat diperlukan. Apalagi sejak
pandemi dimulai, angka keeksistensian child labour cukup meningkat. Data yang bersumber dari
BPS tertera bahwa pekerja anak berusia 10-17 tahun pada tahun 2020 meningkat 3,25%
dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 2,35% dari total. Berdasarkan Konvensi Hak Anak
dan UU Perlindungan Anak No. 34 tahun 2014, menyatakan bahwa usia anak ialah bagi mereka
yang berumur di bawah 18 tahun. Menurut International Labour Organization, definisi dari child
labour itu sendiri adalah pekerjaan yang merampas masa kanak-kanak, potensi dan martabat
anak-anak, serta berbahaya bagi perkembangan fisik dan mental. Hal ini mengacu pada
pekerjaan yang berbahaya secara mental, fisik, sosial atau moral dan berbahaya pula bagi anak-
anak. Selain itu, mengacu juga pada pekerjaan yang mengganggu sekolah mereka dengan arti
merampas kesempatan mereka untuk bersekolah, mewajibkan mereka untuk meninggalkan
sekolah sebelum waktunya, atau mengharuskan mereka untuk mencoba menggabungkan
kehadiran di sekolah dengan pekerjaan yang terlalu panjang dan berat. Saya akan membahas
topik ini karena saya merasa topik ini perlu diangkat dan menjadi perhatian bagi orang-orang,
dimana banyak anak di Indonesia yang masih belum mengerti apa-apa tetapi terpaksa bekerja
untuk membantu perekonomian keluarganya. Waktu yang seharusnya dialokasikan untuk
bermain dan belajar, tergantikan dengan keharusan mereka bekerja di usianya yang masih belia.
Berdasarkan data yang dikeluarkan UNICEF, isu child labour terfokus pada tiga
konvensi internasional utama yang terdiri dari The International Labour Organization (ILO)
Covention No.138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja dan Rekomendasi No.146
(1973), ILO Convention No.182 tentang Larangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-
bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak dan Rekomendasi No.190 (1999), serta Konvensi PBB
tentang Hak Anak. Adanya konvensi ini bertujuan sebagai dasar bagi undang-undang pekerja
anak yang diberlakukan oleh negara-negara yang turut menandatangani. Indonesia juga termasuk
dalam negara yang mendukung ILO untuk memberantas child labour di dunia. Hal itu di dukung
dengan adanya bantuan dan regulasi yang diberikan pemerintah dalam usaha mengurangi kasus
ini. Akan tetapi, kasus child labour di Indonesia masih marak terjadi.
Fenomena child labour di Indonesia sangat bermacam-macam kasus dan wilayahnya.
Sebagai contohnya, saya akan memberikan 2 kasus yang tanpa kita sadari terjadi di Indonesia
selama ini. Pertama, yaitu kasus pekerja anak di pertambangan pasir di Srumbung, di
lereng Gunung Merapi. Setelah gunung itu meletus pada tahun 2010, tersisa material hasil
endapan erupsi yang tersisa seperti batu dan pasir yang sangat menguntungkan untuk warga di
sekitar lereng Gunung Merapi. Keuntungan itu tidak disia-siakan warga dalam menjadikannya
sebuah mata pencaharian sebagai penambang pasir. Pekerjaan ini tidak hanya dilakukan oleh
para orang tua di sana, melainkan melibatkan anak-anak mereka. Jumlah pekerja anak pada
pekerjaan ini pun juga terbilang banyak dan sudah menjadi hal yang dianggap “biasa” oleh
masyarakat di sana. Keinginan bekerja itu datang dari inisiatif anak-anak di sana karena keadaan
kemiskinan memaksa mereka melakukan itu. Banyak dari mereka yang merelakan putus sekolah
dan menjadi pekerja anak di sana dengan alasan tidak ada uang untuk membayar sekolah dan
akan lebih baik menjadi pekerja karena bisa mendapatkan uang jajan sekaligus membantu
perekonomian keluarga. Orang tua di sana juga tidak bisa berbuat apa-apa karena dengan
penghasilan rata-rata Rp400.000 per bulan, rasanya akan berat sekali jika masih menanggung
biaya pendidikan anaknya. Kasus kedua, berpindah dari wilayah desa yang terpelosok ke wilayah
kota yang maju nan ramai. Pada kasus ini sebenarnya sering kali kita lihat di televisi, tetapi kita
tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya apa yang sering kita lihat bisa termasuk kasus
child labour, yaitu pekerja anak dalam industri budaya digital di Indonesia. Dari zaman ke
zaman, banyak “artis cilik” yang muncul di berbagai media dengan segudang bakatnya. Akan
tetapi, perlu disadari tanpa kita pernah berpikir bahwa sering kalinya kita melihat mereka di
televisi, apakah tidak berdampak terhadap terganggunya pendidikan yang sedang ia jalani karena
harus mengganti waktu belajarnya menjadi waktu untuk tampil di media? Ditambah pula
hilangnya waktu bermain dan berkembang anak itu dengan teman sebayanya. Entah itu adalah
kemauannya sendiri ataukah justru hanya obsesi orang tua belaka?
DAFTAR PUSTAKA

Referensi :

Ekklesia, J. M. KETEGANGAN SOSIAL PEKERJA ANAK DALAM INDUSTRI BUDAYA


DIGITAL DI INDONESIA.

Wulandari, T., & Hakim, A. I. (2020). Bekerja sebagai Pilihan Rasional: Pekerja Anak di
Pertambangan Pasir Gunung Merapi, Indonesia. JISPO Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, 10(2), 191-210.

Referensi Internet :
Bps.go.id
https://data.unicef.org/topic/child-protection/child-labour/

Anda mungkin juga menyukai