Anda di halaman 1dari 16

TENAGA KERJA ANAK

(CHILD LABOUR)

Oleh:
Aliyya Adlinalloh, Silvia Iqromatun Nafsiah & Nur Asiah

Mahasiswa Prodi Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis,


Universitas Jambi

Email:
Aliyya15@gmail.com;Iqromatunsilvia23@gmail.com;Asiahnur1002@gmail.com

ABSTRACK

Law no. 13 of 2003 is a regulation designed to regulate employment in


Indonesia. The Laws aimed at refining the previous Law should be observed. Especially
in the Children chapter. Children in Law no. 13 of 2003 on Manpower listed in article
68 to article 75. With regard to the formulation of the above problems, the author uses
the type of library research or library research. Methods The data collection used in
this study is the method of documentation. The analysis technique used is descriptive
analysis method.
According to Islam is to glorify and serve to Allah SWT. So the meaning of
work implies not only as a manifestation of the relationship between man and the
creator, but also the manifestation of mankind in serving and glorifying Allah SWT.
Thus, the meaning of work in Islam can be formulated in the category of work as a
means of hablumminallah and also as hablumminanas.

Keywords: Child Labor, Legal Protection, Child Labor According to Islam

ABSTRAK

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 adalah peraturan yang dibuat untuk


mengatur ketenagakerjaan di Indonesia. Undamg-Undang yang bertujuan
menyempurnakan Undang-Undang sebelumnya patut dicermati. Terutama pada bab
Anak. Anak dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
tercantum pada pasal 68 sampai dengan pasal 75.
Berkenaan dengan rumusan masalah diatas, penulis menggunakan jenis penelitian
kepustakaan atau library research. Metode Pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode dokumentasi. Teknik analisis yang digunakan adalah
metode analisis deskriptif.

Menurut Islam adalah memuliakan serta mengabdi kepada Allah SWT.


Sehingga pengertian bekerja mengandung arti bukan hanya sebagai manifestasi
hubungan antara manusia dengan sang pencipta, tetapi juga manifestasi umat manusia
dalam mengabdi dan memuliakan Allah SWT. Dengan demikian, makna bekerja dalam
Islam dapat dirumuskan pada kategori bekerja sebagai sarana hablumminallah dan juga
sebagai hablumminanas.

Kata kunci: Pekerja Anak, Perlindungan Hukum, Pekerja Anak Menurut Islam

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara sedang berkembang (NSB) yang memiliki berbagai


masalah ekonomi. Kemiskinan adalah salah satu masalah ekonomi di Indonesia yang
sulit dipecahkan hingga kini. Pemerintah telah melakukan berbagai strategi kebijakan
untuk mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan pendapatan
merupakan salah satu strategi kebijakan yang digunakan untuk mengurangi kemiskinan.
Namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi dirasa gagal untuk mengurangi besarnya
kemiskinan yang terjadi.. Anak adalah generasi yang akan menjadi penerus bangsa.
Anak harus dipersiapkan dan diarahkan sejak dini agar dapat tumbuh berkembang
menjadi anak yang sehat jasmani-rohani, maju, mandiri, dan sejahtera, sehingga
menjadi sumber daya yang berkualitas tinggi dan dapat menghadapi tantangan di masa
depan. Supaya mendapatkan generasi penerus yang berkualitas, dapat diperoleh dengan
membekali generasi muda sedini mungkin dengan pendidikan, kesehatan yang baik dan
disiplin yang tinggi. Walaupun demikian ternyata masih banyak anak-anak yang belum
bisa menikmati hak tumbuh dan berkembang karena berbagai faktor yang berkaitan
dengan keterbatasan kemampuan ekonomi keluarga atau kemiskinan (Endrawati, 2011)

Alasan kemiskinan serta tingginya tingkat pengangguran menyebabkan anak


memilih bekerja untuk membantu orang tuanya menghasilkan uang. Sementara itu, anak
yang bekerja di pabrik disebabkan oleh tingginya permintaan tenaga kerja dan kemauan
anak untuk dibayar dengan harga murah. Hal tersebut menjadi keadaan yang sangat
rawan bagi anak untuk mengalami eksploitasi (Suyanto, 2010, 113). Manurung (1998)
menyebutkan bahwa keterlibatan anakanak dalam aktifitas ekonomi – baik di sektor
formal maupun informal – memunculkan potensi terjadinya eksploitasi. Sejalan dengan
pernyataan tersebut, hampir setiap studi mengenai pekerja anak membuktikan bahwa
mereka rentan akan tindakan yang merugikan serta mudah dieksploitasi. Adanya
Konvensi Hak Anak pasal 32 yang menyatakan bahwa pekerja anak berhak mendapat
perlindungan dari pekerjaan yang membahayakan kesehatan fisik, mental, spiritual,
moral, perkembangan sosial dan mengganggu pendidikan mereka tidak mampu
mengurangi pelanggaran atas hak anak.

Rocky R.J. Akarro dan Nathan Anthon Mtweve dalam “Poverty and is
Association with child Labor in Tanzania: The Case of Igima Ward” menunujukkan
bahwa tenaga kerja anak merupakan refleksi atas kemiskinan. Status miskin
rumahtangga merupakan faktor pendorong bagi anak – anak untuk berkecimpung dalam
kegiatan ekonomi.

Ada dua sisi yang menjelaskan tentang pendekatan teori dalam mempekerjakan
anak, yaitu : sisi permintaan dan sisi penawaran, dari sisi permintaan menyatakan
bahwa permintaan terhadap pekerja anak sangat ditentukan oleh adanya kebutuhan
perusahaan, sedangkan dari sisi penawaran ia menyatakan bahwa ketersediaan pekerja
anak sangat tergantung pada partisipasi anak di sekolah dan ketersediaan waktu luang
mereka terutama untuk anak-anak yang bekerja pangaruh waktu (Nachrowi dan
Salahudin, 1997). Nwaru dkk (2011) menjelaskan sembilan faktor penentu anak bekerja
antara rumah tangga pertanian di kota dan di pedesaan. Faktor-faktor tersebut adalah
umur anak, pendidikan anak, jenis kelamin kepala rumah tangga, nilai upah pekerja
anak, jenis kelamin anak, jumlah anggota keluarga, umur kepala rumah tangga,
pendapatan seluruh anggota keluarga, dan pendidikan kepala rumah tangga.
Tjandraningsih (1995) ia juga menjelaskan adanya dua pendekatan teori dalam
memperkejakan anak, yaitu: Pertama, teori dari sisi permintaan, menyatakan bahwa
mempekerjakan anak – anak dan perempuan dewasa dianggap sebagai pencari nafkah
kedua dan melipat gandakan keuntungan. Kedua, teori darisisi penawaran, menjelaskan
bahwa kemiskinan merupakan sebab utama yang mendorong anak – anak bekerja untuk
menjamin kelangsungan hidup dari keluarganya.

Rumah tangga miskin atau keluarga tidak mampu secara ekonomi akan
mengerahkan sumber daya keluarga secara kolektif untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Kondisi demikian mendorong anak belum cukup usia bekerja terpaksa harus
bekerja. Hasil penelitian Endrawati (2011) menunjukkan bahwa anak-anak yang bekerja
ternyata bukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, melainkan justru untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga.

Fenomena terjadinya pekerja anak juga tidak terlepas dari nilai upah anak
terhadap keuangan keluarga. Semakin tinggi upah pekerja anak maka akan semakin
tinggi pula kemungkinan anak terjun dalam dunia kerja. Hal ini disebabkan pekerja
anak yang memiliki upah tinggi maka kontribusi dalam pendapatan rumah tangga akan
semakin tinggi maka dari itu pekerja anak akan diarahkan untuk bekerja agar dapat
meningkatkan kesejahteraan keluarga. Maka dari itu semakin tinggi upah pekerja anak
akan semakin menarik untuk rumah tangga melepaskan anak-anak mereka untuk
menjadi pekerja anak (Nwaru dkk, 2011).

Penelitian yang dilakukan Nwaru dkk (2011), yang dilakukan di Abia Nigeria,
menjelaskan bahwa usia anak, pendidikan anak, jenis kelamin anak, pendidikan kepala
rumah tangga dan nilai upah anak untuk keuangan rumah tangga dinilai berpengaruh
secara signifikan sebagai penentu partisipasi pekerja anak untuk rumah tangga
pedesaan. Sedangkan hasil untuk rumah tangga perkotaan meliputi usia anak, jenis
kelamin kepala rumah tangga, dan nilai upah anak, jenis kelamin anak, usia kepala
rumah tangga dan pendidikan kepala rumah tangga dinilai bepengaruh secara signifikan
sebagai penentu partisipasi pekerja anak.

Anak sebagai golongan rentan memerlukan perlindungan terhadap hak-haknya.


Sebagaimana diketahui manusia adalah pendukung hak sejak lahir, dan diantara hak
tersebut terdapat hak yang bersifat mutlak sehingga perlu dilindungi oleh setiap orang.
Hak yang demikian itu tidak terkecuali juga dimiliki oleh anak, namun anak memiliki
hak-hak khusus yang ditimbulkan oleh kebutuhan-kebutuhan khusus akibat keterbatasan
kemampuan sebagai anak. Keterbatasan itu yang kemudian menyadarkan dunia bahwa
perlindungan terhadap hak anak mutlak diperlukan untuk menciptakan masa depan
kemanusiaan yang lebih baik.

Pada hakekatnya anak tidak boleh bekerja karena waktu mereka selayaknya
dimanfaatkan untuk belajar, bermain, bergembira, berada dalam suasana damai,
mendapatkan kesempatan dan fasilitas untuk mencapai cita-citanya sesuai dengan
perkembangan fisik, psikologik, intelektual dan sosialnya. Namun pada
kenyataannyabanyak anak-anak dibawah usia 18 tahun yang telah terlibat aktif dalam
kegiatan ekonomi, menjadi pekerja anak antara lain di sektor industri dengan alasan
tekanan ekonomi yang dialami orang tuanya ataupun faktor lainnya

Salah satu masalah anak yang harus memperoleh perhatian khusus, adalah isu
pekerja anak (child labor). Isu ini telah mengglobal karena begitu banyak anak-anak di
seluruh dunia yang masuk bekerja pada usia sekolah. Pada kenyataannya isu pekerja
anak bukan sekedar isu anak menjalankan pekerjaan dengan memperoleh upah, akan
tetapi lekat sekali dengan eksploitasi, pekerjaan berbahaya, terhambatnya akses
pendidikan dan menghambat perkembangan fisik, psikis dan sosial anak. Bahkan dalam
kasus dan bentuk tertentu pekerja anak telah masuk sebagai kualifikasi anak-anak yang
bekerja pada situasi yang paling tidak bisa ditolelir (the intolerable form of child labor).

Dalam Convention on the Right of the Child (CRC), yang telah diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990, memuat
empat prinsip umum tentang hak anak, yaitu :

1. Bahwa anak-anak dibekali dengan hak-hak tanpa kecuali;

2. Bahwa anak-anak mempunyai hak untuk hidup dan berkembang;

3. Bahwa kepentingan anak harus menadi pertimbangan utama dalam semua

keputusan atau tindakan yang mempengaruhi anak;

4. Bahwa anak-anak diperbolehkan untuk berpartisipasi sebagai peserta aktif

dalam segala hal yang mempengaruhi hidupnya


Keberadaan pekerja anak merupakan suatu fenomena yang komplek dan sudah
berlangsung lama dimulai dari negara – negara Eropa dan kemudian negara berkembang
di dunia termasuk negara Indonesia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti
kondisi anak itu sendiri, latar belakang keluarganya, pengaruh orang tua, budaya dan
lingkungannya. Sepintas alasan yang menyebabkan mengapa anak dalam usia dini
sudah terlibat dalam kegiatan produktif dan bahkan terpaksa putus sekolah sebagian
besar karena faktor ekonomi. Bisa dibayangkan sebuah keluarga yang secara ekonomi
kehidupannya selalu pas-pasanbahkan serba kekurangan, tentu itu wajar anaknya tidak
melanjutkan sekolah kemudian terpaksa untuk terlibat menjadi seorang pekerja untuk
menghasilkan uang sebagai layaknya bapak dan ibunya.

Berkenaan dengan masih banyaknya pekerja anak, maka perlindungan hukum


atas hak anak sangat diperlukan demi melindungi hak asasi dari anak-anak, yang mana
fungsi anak adalah sebagai penerus generasi yang lebih baik dengan menggunakan
waktunya untuk belajar dan bermain serta berkarya sesuai dengan minatnya.

Atas dasar tersebut, peranan hukum ketenagakerjaan pada hakikatnya


menghendaki agar hukum tidak lagi dipandang sebagai perangkat norma semata,
melainkan hukum dipandang juga sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang harus
selalu dapat memberikan arah yang melindungi, mengatur, mendorong, merencanakan,
menggerakan dan mengendalikan masyarakat sesuai dengan tahapan-tahapan
pembangunan yang dilaksanakan

Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hukum terhadap anak dari


pekerjaan yang dapat mengancam hak-haknya, baik secara internasionaldan nasional
sudah cukup tersedia. Secara nasional, misalnya diatur dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 sebagai produk legislatif secara khusus mengatur standar perlindungan
hukum terhadap anak yang terlibat hubungan kerja dari bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk melalui Pasal 68 sampai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003.

Sementara itu, Islam memandang pentingnya perlindungan hukum terhadap


tenaga kerja anak, secara universal melalui prinsip persamaan (equality,
indiskriminatif), tidak pilih kasih (non favoritisme, antinepotisme), tidak berpihak
(fairness, impartial) dan prinsip objektif (tidak subjektif).27 Oleh karena itu, prinsip
bekerja dalam Islam didasarkan pada kadar kemampuannya sebagaimana difirmankan
Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 282 : “Allah tidak memaksa seseorang
melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya”.Sementara itu, Rasullulah SAW
bersabda : “Jangan kamu memberikan paksaan (kepada kaum buruh) itu sesuatu yang
mereka tidak kuasa melaksanakannya” (H.R. Bukhori dan Muslim).

Untuk itu, makna bekerja menurut Islam adalah memuliakan serta mengabdi
kepada Allah SWT. Sehingga pengertian bekerja mengandung arti bukan hanya sebagai
manifestasi hubungan antara manusia dengan sang pencipta, tetapi juga manifestasi
umat manusia dalam mengabdi dan memuliakan Allah SWT. Dengan demikian, makna
bekerja dalam Islam dapat dirumuskan pada kategori bekerja sebagai sarana
hablumminallah dan juga sebagai hablumminanas

Ketentuan di atas, menjadi alasan bahwa tidak ada suatu paksaan terhadap
seseorang untuk melakukan pekerjaan yang di luar batas kadar kemampuannya dalam
manifestasi hablumminallah dan hablumminanas, maka harus memperhatikan harkat
dan martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, ketentuan yang ada di dalam Pasal 68
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan
anak, kecuali pekerjaan ringan dengan syarat sepanjang tidak mengganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial dengan persyaratan bahwa harus
ada izin tertulis dari orang tua/wali, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua
atau wali, waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dilakukan pada siang hari dan tidak
mengganggu waktu sekolah, keselamatan dan kesehatan kerja, adanya hubungan kerja
yang jelas, dan menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku merupakan suatu
kebijakan bahwa mempekerjakan anak harus mempertimbangkan kadar kemampuannya
sebagai manifestasi hablumminallah dan hablumminanas tersebut.

METODE

Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah menggunakan metode kualitatif
yang bersifat kepustakaan dan beberapa tambahan bersumber dari data ILO. Kualitatif
adalah data yang berupa informasi, yang lebih menyajikan rinci kejadian dari pada
ringkasan dan bukan evaluasi. Mengutip pernyataan orang, bukan meringkaskan apa
yang dikatakan itu, penulis hanya mengambil secara umum dari objek yang diteliti,
sehingga hanya penelitiannya bersifat library riset. Penulis membandingkan pekerja
anak menurut konvensional dengan pekerja anak menurut islam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Soetarso memberikan pengertian tentang tenaga kerja anak sebagai berikut:

a. Anak yang dipaksa atau terpaksa bekerja mencari nafkah untuk dirinya sendiri
dan atau keluarganya, di sektor ketenagakerjaan formal yang melanggar
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga anak terhenti sekolahnya
dan mengalami permasalahan fisik, mental, ragam sosial. Dalam profesi
pekerjaan sosial, anak disebut mengalami perlakuan salah (abused), eksploitasi
(exploited), dan ditelantarkan.
b. Anak yang dipaksa, terpaksa atau dengan kesadaran sendiri mencari nafkah
untuk dirinya sendiri dan atau keluarganya, di sektor ketenagakerjaan informal,
di jalanan atau tempat-tempat lain, baik yang melanggar peraturan perundang-
undangan (khususnya di bidang ketertiban) atau yang tidak lagi bersekolah.
Anak ini ada yang mengalami perlakuan salah dan atau dieksploitasi, ada pula
yang tidak”

Tabel 1 Jumlah Pekerja Anak Di Indonesia


Tahun 2009

Anak 2009 %
Bersekolah 24,3 juta 81,8
Terlibat dalam urusan 6,7 juta 41,2
rumah tangga
Tidak bersekolah, tidak 6,7 juta 11,4
membantu di rumah.

Sumber: http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_
122351/lang--en/index.htm

Dari data diatas berdasarkan survey yang dilakukan oleh Organisasi Perburuhan
Internasional (International Labour Organization/ILO) bersama dengan Badan Pusat
Statistik (BPS) akan meluncurkan dan menerbitkan laporan bertajuk “Pekerja Anak di
Indonesia 2009”.
Temuan-temuan utama dari survei ini sebagai berikut:

1. Dari jumlah keseluruhan anak berusia 5-17, sekitar 58,8 juta, 4,05 juta atau
6,9 persen di antaranya termasuk dalam kategori anak yang bekerja. Dari
jumlah keseluruhan anak yang bekerja, 1,76 juta atau 43,3 persen merupakan
pekerja anak.

2. Dari jumlah keseluruhan pekerja anak berusia 5-17, 48,1 juta atau 81,8 persen
bersekolah, 24,3 juta atau 41,2 persen terlibat dalam pekerjaan rumah, dan 6,7
juta atau 11,4 persen tergolong sebagai ‘idle’, yaitu tidak bersekolah, tidak
membantu di rumah.

3. Sekitar 50 persen pekerja anak bekerja sedikitnya 21 jam per minggu dan 25
percent sedikitnya 12 jam per minggu. Rata-rata, anak yang bekerja bekerja
25,7 jam per minggu, sementara mereka yang tergolong pekerja anak bekerja
35,1 jam per minggu. Sekitar 20,7 persen dari anak yang bekerja itu bekerja
pada kondisi berbahaya, misalnya lebih dari 40 jam per minggu.

4. Anak yang bekerja umumnya masih bersekolah, bekerja tanpa dibayar sebagai
anggota keluarga, serta terlibat dalam bidang pekerjaan pertanian, jasa dan
manufaktur.

5. Jumlah dan karakteristik anak yang bekerja dan pekerja anak dibedakan
antarjenis kelamin dan kelompok umur.

Sedangkan menurut pandangan Islam dalam posisi ini anak merupakan salah satu
dari beberapa tujuan perkawinan, yaitu tujuan reproduksi regenerasi. Kompilasi Hukum
Islam (KHI), pasal 9 ayat (1) menjelaskan bahwa, batas usia anak yang mampu berdiri
sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun
mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Dalam mengkaji status hukum
dari pekerja anak perspektif hukum Islam ada beberapa hal, diantaranya:

a) Periodisasi Umur dan kecakapan hukum dalam Islam


Periodisasi kecakapan hukum seseorang tidaklah berbanding lurus
dengan usia yang pasti. Maka dari itu ulasan tentang tahapan seseorang
untuk menjadi makhluk dewasa erat kaitannya dengan beberapa aspek,
diantaranya:
 Kematangan usia
 Peranan Aql (daya nalar) dalam menentukan usia kedewasaan
 Tingkat kemampuan seorang mumayyiz
 Bulugh (tanda-tanda puberitas fisik) dan ciri khasnya
 Rusyd (kedewasaan mental)
b) Anak kaitannya dengan relasi kerja dalam Islam
Dalam dunia kerja, Islam telah membahas beberapa hal yang berkaitan
dengan perburuhan. Diantaranya tentang hak dasar buruh dalam al-Qur’an: hak
buruh atas upah kerjanya, hak atas upah sesuai dengan nilai kerjanya, hak
sebagai nafkah keluarga, hak bekerja sebagai kemampuannya, hak atas waktu
istirahat, hak atas perlindungan kekerasan, hak jaminan sosial, dan penghargaan
masa kerja, dari sisi majikan digariskan beberapa kewajiban, diantaranya: baik
kepada buruh, membangun kesetaraan dengan buruh, bertanggung jawab
terhadap kesehatan buruh, jujur dalam menjalankan usaha, bertanggung jawab
dalam tugas, larangan menumpuk modal membekukannya demi kepentingan
pribadi, larangan penyalahgunaan kekayaan, dan menghindari berlebih-lebihan,
efektif dalam menjalankan usaha
Dalam tinjauan hukum Islam terhadap pekerja anak, dimana batasan
umur masih terdapat perbedaan akan tetapi dalam pematokan umur ketika
melakukan perbuatan dalam hukum perjanjian tentang mu‟amalah maaliyah
sangat berhatihati terutama dalam menentukan seorang anak cakap dalam
menerima dan berbuat secara sempurna, yaitu: 18 tahun keatas. Walau seorang
anak yang berumur dibawah 18 tahun tetap diperbolehkan dalam bekerja, namun
secara prinsip tetap harus dipenuhi setiap hak yang melekat pada mereka sebagai
kewajiban bersama oleh masyarakat, pemerintah, dan semua elemen. Mengenai
hak dan kewajiban, yang akan dibandingkan hanyalah hukum Islam dengan
hukum Barat.
Dalam sistem hukum Islam kewajiban lebih diutamakan dari hak,
sedangkan dalam hukum Barat hak didahulukan dari kewajiban. Dalam sistem
hukum Islam ada lima macam kaidah atau norma hukum yang dirangkum dalam
istilah al-ahkam al-khamsah. Kelima kaidah itu adalah 1. fard (kewajiban), 2.
Sunnat (anjuran), 3. Jaiz atau mubah atau ibahah (kebolehan), 4.
Makruh(celaan), dan 5. Haram (larangan). Sedangkan dalam sistem hukum
Barat yang berasal dari hukum Romawi itu, dikenal tiga norma atau kaidah
yakni 1. Impere (perintah), 2. Prohibere (larangan), 3. Permittere (yang
dibolehkan).
Dalam ajaran Islam diungkapkan bahwa tanggung jawab ekonomi berada
di pundak suami sebagai kepala rumah tangga, dan tidak tertutup kemungkinan
tanggung jawab itu beralih kepada istri untuk membantu suaminya bila suami
tidak mampu melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, sangat penting
mewujudkan kerjasama dan saling membantu antara suami dan istri dalam
memelihara anak sampai dewasa. Hal dimaksud pada prinsipnya adalah
tanggung jawab suami istri kepada anak-anaknya. Kompilasi Hukum Islam
(KHI) menjelaskan sebagai berikut:
Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ayat (1) bahwa batas usia anak
yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkanperkawinan. Sedangkan ayat (2) menjelaskan bahwa orang
tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan
di luarpengadilan.
Pasal 98 tersebut memberikan isyarat bahwa kewajiban kedua orang tua
adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali dengan
ilmu pengetahuan untuk menjadi bekal mereka di hari dewasanya. Secara khusus
Al qur’an menganjurkan kepada ibu agar menyusui anak-anaknya secara
sempurna (sampai usia dua tahun). Namun, Al qur’an juga mengisyaratkan
kepada ayah atau ibu supaya melaksanakan kewajibannya berdasarkan
kemampuannya, dan sama sekali Al qur’an tidak menginginkan ayah atau ibu
menderita karena anaknya. Apabila orang tua tidak mampu memikul tanggung
jawab terhadap anaknya, maka tanggung jawab dapat dialihkan kepada
keluarganya (QS. Al Baqarah: 233).
Pada dasarnya orang tua bertanggung jawab atas pemeliharaan anak-
anaknya, baik orang tua dalam keadaan rukun maupun dalam keadaan bercerai.
Tugas orang tua, menurut Loebby, menjaga dan mengawasi anak mereka dari
tindakan-tindakan buruk. Jika kemudian mereka dikenakan sanksi, itu bukan
semata-mata karena perbuatan anak mereka, melainkan karena perbuatan
mereka sendiri yang tidak memperhatikan apa yang dilakukan anak-
anaknyaSelain itu, hak anak terhadap orang tuanya adalah anak mendapat
pendidikan, baik menulismaupun membaca, pendidikan keterampilan, dan
mendapatkan rezeki yang halal. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad
sebagai berikut:

‫ “أ‬Ali bin Ahmad bin Abdan mengabarkan (hadis) kepada kita, bahwa saya
ahmad bin ubaid, mengabarkan kepada kita tamtam memberikan hadis kepada
kita abdussomad bin na‟man, mengabarkan hadis kepada kita abdul malik bin
husain, dari abdul malik bin umar, dari mus‟ab bin syaibah, dari Aisyah, Nabi
Muhammad SAW Bersabda bahwa hak anak yang diterima anak dari
orangtuanya adalah mendapat nama baik, disusui yang baik, mendapatkan adab
yang baik”

Berdasarkan hadits tersebut, Pasal 45,46,dan 47 Undang-Undang Nomor


1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membuat garis hukum sebagai berikut:

Pasal 45 ayat (1) kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-
anak mereka sebaik-baiknya, dan ayat (2) kewajiban orang tua yang dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri,
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinn antara orang tua putus.

Pasal 46 ayat (1) anak wajib menghormati orang tua dan menaati
kehendak mereka yang baik, dan ayat (2) jika anak lebih dewasa, wajib
memelihara menurutkemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus
ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47 ayat (1) anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas
tahun) atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya, dan ayat (2) orang
tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar
pengadilan.

Islam telah mengatur hak-hak anak dari orang tuanya. Hak-hak anak dari
orang tua berarti kewajiban yang harus dipenuhi orang tua terhadap anak-
anaknya, diantara hak-hak anak yang harus dipenuhi orang tuanya sebagai
berikut:

a. Hak untuk hidup (QS. Al-An’am: 151)

َ ‫ش ْيئًا ۖ َو ِب ْال َوا ِل َدي ِْن ِإ ْح‬


‫سانًا ۖ َو ََّل ت َ ْقتُلُوا‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم ۖ أ َ ََّّل ت ُ ْش ِر ُكوا ِب ِه‬
َ ‫قُ ْل ت َ َعالَ ْوا أَتْ ُل َما َح َّر َم َربُّ ُك ْم‬
‫ظ َه َر ِم ْن َها َو َما‬ َ ‫ش َما‬ َ ‫اح‬ ِ ‫ق ۖ ن َْح ُن ن َْر ُزقُ ُك ْم َو ِإيَّا ُه ْم ۖ َو ََّل ت َ ْق َربُوا ْالفَ َو‬ٍ ‫أ َ ْو ََّل َد ُك ْم ِم ْن ِإ ْم ََل‬
َّ ‫ق ۚ َٰ َذ ِل ُك ْم َو‬
َ‫صا ُك ْم ِب ِه لَ َعلَّ ُك ْم ت َ ْع ِقلُون‬ ِ ‫َّللاُ ِإ ََّّل ِب ْال َح‬
َّ ‫س الَّتِي َح َّر َم‬ َ ‫طنَ ۖ َو ََّل ت َ ْقتُلُوا النَّ ْف‬ َ ‫َب‬

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh


Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi
rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar".
demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
b. Pemberian nama yang baik
c. Hak menerima ASI dua tahun (QS. Lukman: 14)

‫عا َمي ِْن أ َ ِن ا ْش ُك ْر ِلي‬


َ ‫صالُهُ ِفي‬ َ ‫سانَ ِب َوا ِل َد ْي ِه َح َملَتْهُ أ ُ ُّمهُ َو ْهنًا‬
َ ‫علَ َٰى َو ْه ٍن َو ِف‬ ِ ْ ‫ص ْينَا‬
َ ‫اْل ْن‬ َّ ‫َو َو‬
‫ير‬
ُ ‫ص‬ ِ ‫ي ْال َم‬ َّ َ‫َو ِل َوا ِل َدي َْك إِل‬

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu”.
d. Hak makan dan minum yang baik
e. Hak diberi rizki yang baik(QS. Al-Maidah: 88)

َ‫َّللا الَّذِي أ َ ْنت ُ ْم ِب ِه ُمؤْ ِمنُون‬


َ َّ ‫ط ِيبًا ۚ َوات َّقُوا‬ َّ ‫َو ُكلُوا ِم َّما َرزَ قَ ُك ُم‬
َ ‫َّللاُ َح ََل ًَّل‬
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepadaNya”.

f. Hak mendapatkan pendidikan yang baik


Dalam UU RI No. 13 tentang Ketenagakerjaan disebutkan:dalam pasal
69 bahwa bagi anak yang berumur antara 13 (tigabelas) sampai dengan 15
(lima belas) untuk melakukan pekerjaan ringan yang tidak mengganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial dan tidak melebihi
4(empat) jam maka diperbolehkan, akan tetapi ketika pekerjaan itu
mengganggu perkembangan anak maka dilarang

Banyak dari anak-anak ini yang berisiko terperangkap dalam bentuk-bentuk


terburuk pekerja anak. Penghapusan pekerja anak didasarkan pada prinsip bahwa anak
sepatutnya berada di sekolah, bukan di tempat kerja. Akan tetapi, statistik menunjukkan
bahwa pemanfaatan tenaga kerja anak ternyata berlangsung secara besar-besaran di
banyak negara di seluruh dunia.

KESIMPULAN

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sebagai produk legislatif secara khusus


mengatur standar perlindungan hukum terhadap anak yang terlibat hubungan kerja dari
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk melalui Pasal 68 sampai dengan Pasal 74 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003.Dalam Convention on the Right of the Child (CRC),
yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36
tahun 1990, memuat empat prinsip umum tentang hak anak, yaitu :

1. Bahwa anak-anak dibekali dengan hak-hak tanpa kecuali;

2. Bahwa anak-anak mempunyai hak untuk hidup dan berkembang;


3. Bahwa kepentingan anak harus menadi pertimbangan utama dalam semua
keputusan atau tindakan yang mempengaruhi anak;

4. Bahwa anak-anak diperbolehkan untuk berpartisipasi sebagai peserta aktif


dalam segala hal yang mempengaruhi hidupnya

Islam telah mengatur hak-hak anak dari orang tuanya. Hak-hak anak dari
orang tua berarti kewajiban yang harus dipenuhi orang tua terhadap anak-
anaknya, diantara hak-hak anak yang harus dipenuhi orang tuanya sebagai
berikut:

 Hak untuk hidup


 Pemberian nama yang baik
 Hak menerima ASI dua tahun
 Hak makan dan minum yang baik
 Hak diberi rizki yang baik
 Hak mendapatkan pendidikan yang baik

SARAN

Seperti yang telah dijelaskan diatas maka penulis memberikan saran:

1. Kepada praktisi diharapkan dapat mempraktikkan yang sesuai dengan undang-


undang dan lebih lagi memperhatikan pada anak-anak di bawah umur serta dapat
melindungi haknya
2. Pemerintah, selaku petinggi negara diharapkan agar undang-undang tenaga kerja
dalam dijalankan dengan baik, serta pemerintah harus lebih khusus lagi dalam
menangani masalah tenaga kerja anak, dan pemerintah juga diharapakn
perhatian lebih pada anak-anak kurang mampu seperti pemberian beasiswa agar
mereka dapat merasakan pendidikan yang layak
3. Perusahaan, di harapakan perusahaan mampu menyortir tenaga kerja yang
memang layak dijadikan karyawan atau buruh, agar tenaga kerja anak dapat
diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an (Terjemahan)

Agustine Eka, Ishartanto dan Risna,”Kondisi Pekerja Anak Yang Bekerja Di Sector
Berbahaya”. Jurnal riset & PKM. Vol 1 No. 1

Azizah, Thoriqatul, 2015.”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pekerja Anak Dibawah


Umur (Studi Analisis UU RI No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Perspektif Maslahah). Jurnal Ilmu Syariah Muamalah

Charda, Ujang, juli 2010. “Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Tenaga


Kerja Anak Yang Bekerja Di Luar Hubungan Kerja Pada Bentuk Pekerjaan
Terburuk”. Jurnal Ilmu Hukum. Vol.XII No.2

Http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_122351/lang--en/index.htm

Https://www.scribd.com/document/367937471/Pekerja-Anak-Bawah-Umur-Menurut-
Hukum-Islam-Dan-Hukum-Positif

Nandi, Oktober 2006, “Pekerja Anak Dan Permasalahannya”. Jurnal Pendidkan


Geografi. Vol. 6 No. 2

Solehuddin, 2013.”Pelaksaan Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Yang


Bekerja Dibidang Konstruksi (Studi Di Proyek Pembangunan CV. Karya Sejati
Kabupaten Sampang)”. Jurnal Ilmu Hukum

Anda mungkin juga menyukai