(CHILD LABOUR)
Oleh:
Aliyya Adlinalloh, Silvia Iqromatun Nafsiah & Nur Asiah
Email:
Aliyya15@gmail.com;Iqromatunsilvia23@gmail.com;Asiahnur1002@gmail.com
ABSTRACK
ABSTRAK
Kata kunci: Pekerja Anak, Perlindungan Hukum, Pekerja Anak Menurut Islam
PENDAHULUAN
Rocky R.J. Akarro dan Nathan Anthon Mtweve dalam “Poverty and is
Association with child Labor in Tanzania: The Case of Igima Ward” menunujukkan
bahwa tenaga kerja anak merupakan refleksi atas kemiskinan. Status miskin
rumahtangga merupakan faktor pendorong bagi anak – anak untuk berkecimpung dalam
kegiatan ekonomi.
Ada dua sisi yang menjelaskan tentang pendekatan teori dalam mempekerjakan
anak, yaitu : sisi permintaan dan sisi penawaran, dari sisi permintaan menyatakan
bahwa permintaan terhadap pekerja anak sangat ditentukan oleh adanya kebutuhan
perusahaan, sedangkan dari sisi penawaran ia menyatakan bahwa ketersediaan pekerja
anak sangat tergantung pada partisipasi anak di sekolah dan ketersediaan waktu luang
mereka terutama untuk anak-anak yang bekerja pangaruh waktu (Nachrowi dan
Salahudin, 1997). Nwaru dkk (2011) menjelaskan sembilan faktor penentu anak bekerja
antara rumah tangga pertanian di kota dan di pedesaan. Faktor-faktor tersebut adalah
umur anak, pendidikan anak, jenis kelamin kepala rumah tangga, nilai upah pekerja
anak, jenis kelamin anak, jumlah anggota keluarga, umur kepala rumah tangga,
pendapatan seluruh anggota keluarga, dan pendidikan kepala rumah tangga.
Tjandraningsih (1995) ia juga menjelaskan adanya dua pendekatan teori dalam
memperkejakan anak, yaitu: Pertama, teori dari sisi permintaan, menyatakan bahwa
mempekerjakan anak – anak dan perempuan dewasa dianggap sebagai pencari nafkah
kedua dan melipat gandakan keuntungan. Kedua, teori darisisi penawaran, menjelaskan
bahwa kemiskinan merupakan sebab utama yang mendorong anak – anak bekerja untuk
menjamin kelangsungan hidup dari keluarganya.
Rumah tangga miskin atau keluarga tidak mampu secara ekonomi akan
mengerahkan sumber daya keluarga secara kolektif untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Kondisi demikian mendorong anak belum cukup usia bekerja terpaksa harus
bekerja. Hasil penelitian Endrawati (2011) menunjukkan bahwa anak-anak yang bekerja
ternyata bukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, melainkan justru untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga.
Fenomena terjadinya pekerja anak juga tidak terlepas dari nilai upah anak
terhadap keuangan keluarga. Semakin tinggi upah pekerja anak maka akan semakin
tinggi pula kemungkinan anak terjun dalam dunia kerja. Hal ini disebabkan pekerja
anak yang memiliki upah tinggi maka kontribusi dalam pendapatan rumah tangga akan
semakin tinggi maka dari itu pekerja anak akan diarahkan untuk bekerja agar dapat
meningkatkan kesejahteraan keluarga. Maka dari itu semakin tinggi upah pekerja anak
akan semakin menarik untuk rumah tangga melepaskan anak-anak mereka untuk
menjadi pekerja anak (Nwaru dkk, 2011).
Penelitian yang dilakukan Nwaru dkk (2011), yang dilakukan di Abia Nigeria,
menjelaskan bahwa usia anak, pendidikan anak, jenis kelamin anak, pendidikan kepala
rumah tangga dan nilai upah anak untuk keuangan rumah tangga dinilai berpengaruh
secara signifikan sebagai penentu partisipasi pekerja anak untuk rumah tangga
pedesaan. Sedangkan hasil untuk rumah tangga perkotaan meliputi usia anak, jenis
kelamin kepala rumah tangga, dan nilai upah anak, jenis kelamin anak, usia kepala
rumah tangga dan pendidikan kepala rumah tangga dinilai bepengaruh secara signifikan
sebagai penentu partisipasi pekerja anak.
Pada hakekatnya anak tidak boleh bekerja karena waktu mereka selayaknya
dimanfaatkan untuk belajar, bermain, bergembira, berada dalam suasana damai,
mendapatkan kesempatan dan fasilitas untuk mencapai cita-citanya sesuai dengan
perkembangan fisik, psikologik, intelektual dan sosialnya. Namun pada
kenyataannyabanyak anak-anak dibawah usia 18 tahun yang telah terlibat aktif dalam
kegiatan ekonomi, menjadi pekerja anak antara lain di sektor industri dengan alasan
tekanan ekonomi yang dialami orang tuanya ataupun faktor lainnya
Salah satu masalah anak yang harus memperoleh perhatian khusus, adalah isu
pekerja anak (child labor). Isu ini telah mengglobal karena begitu banyak anak-anak di
seluruh dunia yang masuk bekerja pada usia sekolah. Pada kenyataannya isu pekerja
anak bukan sekedar isu anak menjalankan pekerjaan dengan memperoleh upah, akan
tetapi lekat sekali dengan eksploitasi, pekerjaan berbahaya, terhambatnya akses
pendidikan dan menghambat perkembangan fisik, psikis dan sosial anak. Bahkan dalam
kasus dan bentuk tertentu pekerja anak telah masuk sebagai kualifikasi anak-anak yang
bekerja pada situasi yang paling tidak bisa ditolelir (the intolerable form of child labor).
Dalam Convention on the Right of the Child (CRC), yang telah diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990, memuat
empat prinsip umum tentang hak anak, yaitu :
Untuk itu, makna bekerja menurut Islam adalah memuliakan serta mengabdi
kepada Allah SWT. Sehingga pengertian bekerja mengandung arti bukan hanya sebagai
manifestasi hubungan antara manusia dengan sang pencipta, tetapi juga manifestasi
umat manusia dalam mengabdi dan memuliakan Allah SWT. Dengan demikian, makna
bekerja dalam Islam dapat dirumuskan pada kategori bekerja sebagai sarana
hablumminallah dan juga sebagai hablumminanas
Ketentuan di atas, menjadi alasan bahwa tidak ada suatu paksaan terhadap
seseorang untuk melakukan pekerjaan yang di luar batas kadar kemampuannya dalam
manifestasi hablumminallah dan hablumminanas, maka harus memperhatikan harkat
dan martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, ketentuan yang ada di dalam Pasal 68
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan
anak, kecuali pekerjaan ringan dengan syarat sepanjang tidak mengganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial dengan persyaratan bahwa harus
ada izin tertulis dari orang tua/wali, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua
atau wali, waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dilakukan pada siang hari dan tidak
mengganggu waktu sekolah, keselamatan dan kesehatan kerja, adanya hubungan kerja
yang jelas, dan menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku merupakan suatu
kebijakan bahwa mempekerjakan anak harus mempertimbangkan kadar kemampuannya
sebagai manifestasi hablumminallah dan hablumminanas tersebut.
METODE
Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah menggunakan metode kualitatif
yang bersifat kepustakaan dan beberapa tambahan bersumber dari data ILO. Kualitatif
adalah data yang berupa informasi, yang lebih menyajikan rinci kejadian dari pada
ringkasan dan bukan evaluasi. Mengutip pernyataan orang, bukan meringkaskan apa
yang dikatakan itu, penulis hanya mengambil secara umum dari objek yang diteliti,
sehingga hanya penelitiannya bersifat library riset. Penulis membandingkan pekerja
anak menurut konvensional dengan pekerja anak menurut islam.
a. Anak yang dipaksa atau terpaksa bekerja mencari nafkah untuk dirinya sendiri
dan atau keluarganya, di sektor ketenagakerjaan formal yang melanggar
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga anak terhenti sekolahnya
dan mengalami permasalahan fisik, mental, ragam sosial. Dalam profesi
pekerjaan sosial, anak disebut mengalami perlakuan salah (abused), eksploitasi
(exploited), dan ditelantarkan.
b. Anak yang dipaksa, terpaksa atau dengan kesadaran sendiri mencari nafkah
untuk dirinya sendiri dan atau keluarganya, di sektor ketenagakerjaan informal,
di jalanan atau tempat-tempat lain, baik yang melanggar peraturan perundang-
undangan (khususnya di bidang ketertiban) atau yang tidak lagi bersekolah.
Anak ini ada yang mengalami perlakuan salah dan atau dieksploitasi, ada pula
yang tidak”
Anak 2009 %
Bersekolah 24,3 juta 81,8
Terlibat dalam urusan 6,7 juta 41,2
rumah tangga
Tidak bersekolah, tidak 6,7 juta 11,4
membantu di rumah.
Sumber: http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_
122351/lang--en/index.htm
Dari data diatas berdasarkan survey yang dilakukan oleh Organisasi Perburuhan
Internasional (International Labour Organization/ILO) bersama dengan Badan Pusat
Statistik (BPS) akan meluncurkan dan menerbitkan laporan bertajuk “Pekerja Anak di
Indonesia 2009”.
Temuan-temuan utama dari survei ini sebagai berikut:
1. Dari jumlah keseluruhan anak berusia 5-17, sekitar 58,8 juta, 4,05 juta atau
6,9 persen di antaranya termasuk dalam kategori anak yang bekerja. Dari
jumlah keseluruhan anak yang bekerja, 1,76 juta atau 43,3 persen merupakan
pekerja anak.
2. Dari jumlah keseluruhan pekerja anak berusia 5-17, 48,1 juta atau 81,8 persen
bersekolah, 24,3 juta atau 41,2 persen terlibat dalam pekerjaan rumah, dan 6,7
juta atau 11,4 persen tergolong sebagai ‘idle’, yaitu tidak bersekolah, tidak
membantu di rumah.
3. Sekitar 50 persen pekerja anak bekerja sedikitnya 21 jam per minggu dan 25
percent sedikitnya 12 jam per minggu. Rata-rata, anak yang bekerja bekerja
25,7 jam per minggu, sementara mereka yang tergolong pekerja anak bekerja
35,1 jam per minggu. Sekitar 20,7 persen dari anak yang bekerja itu bekerja
pada kondisi berbahaya, misalnya lebih dari 40 jam per minggu.
4. Anak yang bekerja umumnya masih bersekolah, bekerja tanpa dibayar sebagai
anggota keluarga, serta terlibat dalam bidang pekerjaan pertanian, jasa dan
manufaktur.
5. Jumlah dan karakteristik anak yang bekerja dan pekerja anak dibedakan
antarjenis kelamin dan kelompok umur.
Sedangkan menurut pandangan Islam dalam posisi ini anak merupakan salah satu
dari beberapa tujuan perkawinan, yaitu tujuan reproduksi regenerasi. Kompilasi Hukum
Islam (KHI), pasal 9 ayat (1) menjelaskan bahwa, batas usia anak yang mampu berdiri
sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun
mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Dalam mengkaji status hukum
dari pekerja anak perspektif hukum Islam ada beberapa hal, diantaranya:
“أAli bin Ahmad bin Abdan mengabarkan (hadis) kepada kita, bahwa saya
ahmad bin ubaid, mengabarkan kepada kita tamtam memberikan hadis kepada
kita abdussomad bin na‟man, mengabarkan hadis kepada kita abdul malik bin
husain, dari abdul malik bin umar, dari mus‟ab bin syaibah, dari Aisyah, Nabi
Muhammad SAW Bersabda bahwa hak anak yang diterima anak dari
orangtuanya adalah mendapat nama baik, disusui yang baik, mendapatkan adab
yang baik”
Pasal 45 ayat (1) kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-
anak mereka sebaik-baiknya, dan ayat (2) kewajiban orang tua yang dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri,
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinn antara orang tua putus.
Pasal 46 ayat (1) anak wajib menghormati orang tua dan menaati
kehendak mereka yang baik, dan ayat (2) jika anak lebih dewasa, wajib
memelihara menurutkemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus
ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47 ayat (1) anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas
tahun) atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya, dan ayat (2) orang
tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar
pengadilan.
Islam telah mengatur hak-hak anak dari orang tuanya. Hak-hak anak dari
orang tua berarti kewajiban yang harus dipenuhi orang tua terhadap anak-
anaknya, diantara hak-hak anak yang harus dipenuhi orang tuanya sebagai
berikut:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu”.
d. Hak makan dan minum yang baik
e. Hak diberi rizki yang baik(QS. Al-Maidah: 88)
KESIMPULAN
Islam telah mengatur hak-hak anak dari orang tuanya. Hak-hak anak dari
orang tua berarti kewajiban yang harus dipenuhi orang tua terhadap anak-
anaknya, diantara hak-hak anak yang harus dipenuhi orang tuanya sebagai
berikut:
SARAN
Al-Qur’an (Terjemahan)
Agustine Eka, Ishartanto dan Risna,”Kondisi Pekerja Anak Yang Bekerja Di Sector
Berbahaya”. Jurnal riset & PKM. Vol 1 No. 1
Http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_122351/lang--en/index.htm
Https://www.scribd.com/document/367937471/Pekerja-Anak-Bawah-Umur-Menurut-
Hukum-Islam-Dan-Hukum-Positif