Anda di halaman 1dari 63

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….………………………………………………………………….i

LEMBAR PENGESAHAN....……...……………………………………………………..…ii

LEMBAR PERSETUJUAN…………..………………………………………………….... iii

MOTTO…………………………...……………………………………………………….…iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………………………....v

KATA PENGANTAR………………………………………...………………………….......vi

ABSTRAK……………………………………………...……………………………………vii

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….ix

BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………………………..1

A. Latar Belakang Masalah………………………………………………………………..1

B. Identifikasi dan Tujuan Penelitian……………………………………………………...2

C. Maksud dan Tujuan Penelitian…………………………………………………………3

D. Kegunaan Penelitian……………………………………………………………………3

E. Kerangka Pemikiran……………………………………………………………………4

F. Metode Penelitian………………………………………………………………………8

G. Lokasi Penelitian……………………………………………………………………….9

H. Sistematika Penulisan…………………………………………………………………..9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………...……..11

A. Pengertian Anak……………………………………………...……………………….11

B. Pengertian Pekerja Anak……………………………………………...………………13

C. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Anak……………………………..…………15

D. Kategori Masalah Anak…………………………..…………………………………...20

E. Hak dan Kewajiban Anak Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak.……...23


F. Pekerja Anak Berdasarkan Hukum Ketenagakerjaan………….……………………..31

BAB III TINJAUAN LAPANGAN………………………….……………………………...36

A. Gambaran Umum Unit Perlindungan Perempuan dan Anak pada Polres Cirebon...…36

B. Tugas dan Wewenang Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Cirebon…….42

C. Pengawasan Pekerja Anak Oleh DISNAKERTRANS Kabupaten Cirebon……...…..49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...................................................... 55

A. Eksploitasi Pekerja Anak Pada Perusahaan Hukum Unggul Persada…………..…….55

B. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Usaha Yang Mempekerjakan Anak..….66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN.................................................................. 72

A. Kesimpulan………………………………...………………………………………….73

B. Saran-saran…………………………………………………...……………………….74

DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK

Anak merupakan masa depan suatu bangsa, cara kita mendidik dan melindungan anak
mencerminkan sikap bangsa dalam menentukan masa depan negaranya, untuk itu pada masa
kanak-kanak adalah masa yang penting bagi seorang anak untuk belajar dari dunia
sekelilingnya, sehingga dapat mengembangkan keterampilan yang memudahkan baginya
menjadi bagian dari lingkungan dan berperan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Sangat disayangkan kenyataan yang negative dan merugikan anak-anak ini belum mendapat
perhatian yang serius dari pemerintah dimana masih banyak fakta anak-anak yang
dipekerjakan pada perusahaan-perusahaan seperti yang terjadi pada pabrik teh PT Hutan
Unggul Persada (PT.HUP).
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang
menjadi pokok penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimanakah penegakan hukum pidana
terhadap pelaku usaha yang mempekerjakan anak oleh POLRES Cirebon? Dan Apakah upaya
Penanggulangan Terhadap Pekerja Anak yang di Eksploitasi Pada Perusahaan Swasta di
Kabupaten Cirebon?
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan
pendekatan yuridis normative dan empiris yang menekankan pada perolehan data lapangan,
kemudian ditinjau dengan segi yuridisnya yang berkenaan dengan penegakan Undang-undang
No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak dan Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan.
Penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang mempekerjan anak oleh POLRES
Cirebon dalam kasus pabrik teh PT Hutan Unggul Persada (PT.HUP) yang beralamt di Jl.
Sultan Ageng Tirtayasa No.21 Desa Kedung Jaya, Kecamatan Kedawung Kabupaten Cirebon
dimana perusahaan tersebut dilaporkan oleh masyarakat katrena mempekerjakan sekitar 80
anak-anak dengan usia sekitar 12 sampai dengan 15 tahun yang berasal dari lingkungan
sekitar pabrik, adapun dari jumlah tersebut laki-laki berjumlah 37 anak dan perempuan
berjumlah 43 anak. Dalam hal ini pihak perusahaan melanggar ketentuan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan masa depan suatu bangsa, cara kita mendidik dan melindungi anak

mencerminkan sikap bangsa dalam menentukan masa depan negaranya, untuk itu pada masa

kanak-kanak adalah masa yang penting bagi seorang anak untuk belajar dari dunia

sekelilingnya, sehingga dapat mengembangkan keterampilan yang memudahkan baginya

menjadi bagian dari lingkungan dan berperan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Di dalam kehidupan keluarga dan masyarakat bekerja dianggap menjadi pengenalan

awal menuju dunia orang dewasa, dunia kerja dan merupakan bagian dari proses kehidupan

dari masa anak-anak memasuki masa dewasa, banyak anak mulai bekerja pada usia yang

masih muda yaitu pada usia 6 atau 7 tahun dimana anak terpaksa bekerja karena berbagai

alasan dimana kemiskinan adalah salah satu penyebab yang paling menonjol.

Dari sisi lain yang sangat mendasar adalah bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh anak

justru menghambat tumbuh dan berkembangnya anak dan tidak memberikan dampak positif

bagi kehidupan anak, apabila dilihat dari perkembangan fisik pekerja anak jauh lebih rentan

dari orang dewasa karena fisik anak masih tumbuh dan belum sepenuhnya terbentuk, sehingga

dapat mempengaruhi perkembangan kesehatan fisik anak dan bila kita lihat dari

perkembangan emosinya pekerja anak yang bekerja dalam lingkungan yang memungkinkan

terjadinya ekspoitasi, berbahaya, merendahkan martabat, derajat dan perlakuan yang

sewenang-wenang, maka akibatnya anak-anak akan mengalami kesulitan untuk membentuk

kasih saying dan perasaan empati terhadap orang lain.

Sangat disayangkan kenyataan yang negative dan merugikan anak-anak ini belum

mendapat perhatian yang serius dari pemerintah khususnya Drpartemen terkait dalam hal ini
DEPNAKERTRANS yang seharusnya lebih eksis dalam hal penanggulangan pekerja anak ini,

dan bagaimanakah upaya penanganan praktek anak yang dilakukan oleh pihak kepolisian.

Seperti yang terjadi pada pabrik teh PT Hutan Unggul Persada (PT.HUP) yang beralamat di Jl

Sultan Ageng Tirtayasa No.21 Desa Kedung Jaya, Kecamatan Kedawung Kabupaten Cirebon

dimana perusahaan tersebut dilaporkan oleh masyarakat karena mempekerjakan sekitar 80

anak-anak yang berasal dari lingkungan sekitar pabrik.

Hal ini yang menjadi ketertarikan penulis untuk mengambil judul tentang:

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MEMPEKERJAKAN

ANAK (STUDI KASUS DI POLRES CIREBON)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang

menjadi pokok penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah PT Hutan Unggul Persada (PT.HUP) melakukan ekploitasi pada pekerja anak?

2. Bagaimakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang mempekerjakan

anak?

C. Tujuan Penelitian

Adapun secara garis besar bahwa tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk dapat mengetahui PT Hutan Unggul Persada (PT.HUP) melakukan eksploitasi

pada pekerja anak.

2. Untuk dapat mengetahui penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang

mepekerjakan anak.

D. Kegunaan Penelitian

Secara luas, penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut:

1. Menjadikan bahan informasi bermanfaat bagi masyarakat tentang masalah pekerja

anak.
2. Menjadi media sosialisasi tentang masalah pekerja anak.

3. Menjadi bahan referensi dan masukan dalam analisa tentang masalah pekerja anak.

E. Kerangka Pemikiran

Masalah pekerja anak adalah suatu yang kompleks dan menimbulkan berbagai macam

permasalahan lebih lanjut yang tidak selalu dapat diatasi secara perseorangan, tetapi harus

secara bersama-sama, dan penyelesaiannya menjadi tanggung jawab baik instansi terkait

maupun dari pihak-pihak masyarakat itu sendiri.

Pekerja anak adalah hasil inyteraksi karena adanya interelasi antara fenomena yang ada

dan saling mempengaruhi. Oleh sebab itu, apabila kita mau mengetahui adanya, terjadinya

perlindungan akan yang baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, maka kita harus

memperhatikan fenomema mana yang relevan, yang mempunyai peran penting dalam

terjadinya kegiatan anak

Pekerja anak adalah hasil interaksi karena adanya interelasi antara fenomena yang ada

dan saling mempengaruhi. Oleh sebab itu, apabila kita mau mengetahui adanya, terjadinya

perlindungan akan yang baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, maka kitaa harus

memperhatikan fenomena mana yang relevan, yang mempunyai peran penting dalam

terjadinya kegiatan pekerja anak.1

Dalam rangka pengembangan usaha kegiatan terhadap pekerja anak kita harus waspada

dan sadar akan akibat-akibat yang tidak diinginkan yang menimbulkan korban, kerugian

karena pelaksanaan perlindungan anak yang tidak rasional positif, tidaj bertanggung jawab

dan tidak bermanfaat. Oleh sebab itu, harus diusahakan adanya sesuatu yang m,engatur dan

menjamin pelaksanaan pekerja anak harus dicegah, agar pengaturan usaha perlindungan

terhadap perlindungan anak yang beraneka ragam itu sendiri dapat menjamin adanya

perlindungan anak dan tidak menimbulkan berbagai penyimpangan negative yang lain.2

1
Shanty Dellyana, Wanita dan Anak Dimata Hukum, Yogyakarta, Libertyi, 1990. hlm 50
2
Shanty Dellyana, Wanita dan Anak, Ibid. hlm 51
Pasal 2 ayat 3 dan ayat 4, Undang-undang Republik Indonesia No 4 tahun 1979 tentang

kesejahteraan anak sebagai berikut : “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik

semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan

terhadap lingkungan yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan atau

perkembangan dengan wajar”. Kedua ayat ini dengan jelas menyatakan dan mendorong perlu

adanya perlindungan anak dalanm rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan

yang adil terhadap anak.

Yang mengusahakan perlindungan perlindungan anak ( kesejahteraan anak) adalah

Pemerintah dan atau masyarakat (pasal 11 ayat 2 UU RI No 4 tahun 1979), tentang

kesejahteraan anak. Jadi yang harus mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota

masyarakat sesuai dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu, dapat

dikatakan setiap warga Negara, anggota masyarakat ikut serta bertanggung jawab terhadap

dilaksanakanya perlindungan anak demi kesejahteraan anak, orang tua, masyarakat dan

bangsa. Oleh karena, kebahagiaan anak merupakan pula kebahagiaan yang melindungi.

Dengan tidak adanya keresahan pada anajk karena perlindungan anak dilaksanakan dengan

baik, maka orang tua juga akan tidak merasa resah. Kesejahteraan anak mempunyai pengaruh

positif pada orang. Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orang tuanya serta

pemerintahnya.3

Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak

dapat melaksanakan hak dan kewajibanya. Adapun perlindungan anak merupakan perwujudan

adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian maka perlindungan anak harus

diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Melindungi anak

adalah melindungi manusia, membangun manusia seutuhnya (GBHN bab II/B). mengabaikan

masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan Pembangunan Nasional. Akibat tidak
3
Shanty Dellyana, Wanita dan Anak, Ibid. hlm 53
adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan social. Maka ini berarti

bahwa perlinfdungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan

nasional yang memuaskan.4

Perlindungan anak suatu masyarakat, bangsa, merupakan tolak ukur peradaban

masyarakart, bangsa tertentu. Jadi, demi pengembangan manusia seutuhnya dan peradaban,

maka kita wajib mengusahakan perlindungan anak sesuai dengan kemampua, demi

kepentingan nusa dan bangsa.

Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat

hukum. Oleh karena itu perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak

tersebut. Kepastian hukumnya perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan

anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negative yang tidak diinginkan

dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.

Polri sebagai Aparat Penegak Hukum dalam rangka memberikan perlindungan dan

pelayanan khususnya kepada Perempuan dan Anak sebagai korban dan atau saksi kejahatan

dalam wadah Ruang Pelayanan Khusus yang sekarang diganti dengan Unit Pelayanan

Perempuan dan Anak (UPPA) lahir karena pada tahun 1998 situasi perempuan dan anak pasca

kerusuhan masa, mereka dalam keadaan trauma tidak tahu harus mengadukan nasibnya

kepada siapa. Pada tahun 1999 atas prakarsa Ibu Khofifah selaku Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan pada saat itu bersama LBH Derap Warapsari serta beberapa

Organisasi Perempuan mendorong Polri untuk membentuk Ruang Pelayanan Khusus

(RPK/UUPA) untuk melayani para korban tersebut.

Keberadaan Unit RPK/UPPA sangan direasakanmanfaatnya oleh masyarakat khususnya

perempuan dan anak pencari perlindungan dan keadilan, maka dikeluarkan Peraturan Kapolri

Nomor 10 Tahun 2007 tanggal 6 Juli 2007 tentang Pembentukan Unit Pelayanan Perempuan

dan Anak (UPPA) pada lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Unit Pelayanan
4
Shanty Dellyana, Wanita Dan Anak. Ibid hln 54
Perempuan dan Anak (UPPA) merupakan unit yang bertugas memberikan pelayanan dalam

bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatsn dan

penegakan hukum terhadap pelakunya, (termasuk perempuan dan anak yang menjadi pelaku

tindak pidana).

F. Metode Penelitian

a. Metode Pendekatan

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan

pendekatan yuridis normative dan empiris yang menekankan pada perolehan data

lapangan. Kemudian ditinjau dengan segi yuridisnya yang berkenaan dengan

penegakan Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.

b. Spesifikasi Penelitian

Penulis menggunakan metode deskriptif analisis, dimana menggambarkan fakta-fakta

sosial yang ditemukan dalam realitasnya dan selanjutnya dianalisis dengan

berdasarkan pada teori-teori yang ditemukan dalam ilmu hukum, khususnya hukum

pidana kaitanya dengan didasarkan kepada Undang-unbdang No 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak.

c. Sumber Data

a. Studi Kepustakaan

Dilakukan dengan cara mempelajari, mengumpulkan dan mengutip pendapat

para ahli hukum yang dapat dibaca dari literature, yurisprudensi, majalah,

Koran yang kebetulan memuat pelaksanaan penyelesaian perkara dengan cara

Restoratrive Justice di Kepolisian.

b. Studi Kepolisian

Dilakukan dengan cara melakukan penelitian ;langsung kepada objek

penelitian.
d. Pengumpulan Data

Metode wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara wawancara

langsung dengan pihak yang erat hubungannya dengan penelitian, agar data yang

diperoleh lebih jelas

e. Analisis Data

Data yang telah telah terkumpul akan disusun secara deskriptif. Yaitu prosedur

pemecahan masalah yang diteliti dengan cara memaparkan data-data yang diperoleh

dari data primer dan data sekunder. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan

kebenaran, yaitu dengan menguraikan data yang sudah terkumpul sehingga dengan

demikian dapat dilakukan pemecahan masalah.

G. Lokasi Penelitian

Dalam penulisan ini penulis melakukan penelitian di POLRES Cirebon yang

beralamat di jalan Dewi Sartika No 1 Sumber Cirebon.

H. Sistematika Penulisan

Bab I Penulis memuat tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, maksud dan

tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian,

lokasi penelitian dan sistemati penulisan

Bab II Tinjauan Pustaka yang menguraikan tentang Pengertian Anak, pengertian Pekerja

Anak, Tinjauan Umum Perlindungan Anak, Kategori Masalah Anak. Hak dan

Kewajiban Anak berdasarkan Undang-undang Perlindungan Anak dan berdasarkan

Hukum Ketenagakerjaan.

Bab III Tinjauan Lapangan yang menguraikan tentang: Gambaran Umum Unit

Perlindungan Perempuan dan Anak pada Polres Sumber, Tugas dan Wewenang

Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Cirebon, Pengawasan Pekerja

Anak oleh DISNAKERTRANS Kabupaten Cirebon.


Bab IV Hasil penelitian dan pembahasan yang menguraikan tentang: PT Hutan Unggul

Persada (PT.HUP) melakukan eksploitasi pada pekerja anak dan penegakan hukum

pidana terhadap pelaku usaha yang mempekerjakan anak

Bab V Kesimpulan dan Saran

Daftar Pustaka

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Anak

Menurut Shanty Dellyana5 yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang

belum dewasa dan menjadi dewasa karena peraturan tertentu (mental fisik belum dewasa).

Menurut Atmasasmita,6 anak adalah seorang yang masih dibawah usia tertentu dan belum

dewasa serta belum kawin. Sedangkan menurut Soejono anak menurut hukum adat adalah

mereka yang belum menentukan tanda-tanda fisik belum dewasa.

Berdasarkan pengertian anak tersebut diatas maka pengertian anak menurut

Undang-undan No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan pengertian anak adalah mereka yang masih muda usia dan muda

jiwanya, sehingga mudah terpengaruh lingkungan sekitar.

Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia terdapat pluralismre mengenai

pengertian anak. Hal ini dikarenakan setiap peraturan perundang-undangan mengatur

secara tersendiri mengenai pengertian. Berikut ini akan disebutkan beberapa pengertian

anak menurut berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.7

a. Pengertian anak menurut KUHP

Pasal 45 KUHP mendefinisiksan anak yang belum dewasa apabila belum berumur

enam belas tahun.

b. Pengertian anak menurut Hukum Perdata

Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa orang

yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan

tidak lebih dulu kawin

c. Pengertian anak menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

5
Shanty Dellyana, Wanita dan Anak Dimata Hukum, Yogyakarta, Liberti, 1990, hlm 50
6
Made Sadhi Astuti, Hukum Pidana Dan Perlindungan Anak, Malang, Universitas Negeri Malang, 2002, hlm 6
7
Made Sadhoi Astuti, Hukum Pidana, ibid, hlm 10
Menurut pasal 1 butir ke 1 (satu) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2002, anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

d. Pengertian anak menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak

Menurut pasal 1 butir ke-2 anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua

puluh satu) tahun dan belum pernah kawin

e. Pengertian anak menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia

Menurut pasal 1 butir kre-5 anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18

(delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam

kandungan apabila hal tersebut demikian kepentingannya.

B. Pengertian Pekerja Anak

Beberapa pengertian tentang pekerja anak dalam konvensi hak-hak anak antara

l;ain sebagai berikut:8

a. Pekerja anak adalah: seseorang yang berusia 14 tahun ke bawah yang melakukan

pekerjaan secara penuh

b. Sedangkan yang dimaksud dengan pekerja ringan adalah: pekerjaan yang apabila

dilakukan tidak mengganggu perkembangan mental, fisik, pendidikan, dan susila

dalam tumbuh kembang ansak

c. Pekerjaan berbahaya adalah: pekerjaan yang apabila dilakukan dapat mengganggu

perkembangan mental, fisik, pendidikan dan sosial dalam tumbuh kembang anak

d. Pekerjaan Kesenian adalah pekerjaan dilakukan dalam rangka menyalurkan bakat dan

minat.

Beberapa pengertian tersebut diatas mengacu kepada Konvensi No 182 tahun

1999 yang telah diratifikasi ke dalam UU No 1 Tahun 2000 tentang pelarangan dan
8
Arif Gosita, “Perlindungan Tunas Harapan Bangsa Tanggung Jawab Bersama”),Prayuana, Jakarta 2002, hlm 29
tindakan segera untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dimana

tujuan dari Konvensi tersebut adalah untuk:9

1. Menghapus pekerjaan anak

2. Meningkatkan pendidikan anak

3. Melindungi anak dari gangguan perkembangan mental, fisik, pendidikan dan sosial

dalam proses pertumbuhan akibat kerja

4. Menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan yang sangsat berbahaya bagi anak

(intolerable fromof child)

Sebenarnya yang menjadi batasan atau ruang lingkup Konvensi adalah

mencakup pekerja anak dan pengusaha sector formal dan informal, dimana batas usia

minimum tidak boleh dari usia tamat sekolah wajin (wajib belajar) atau tidak boleh kurang

dari 15 tahun. Khusus untuk Negara-negara berkembang dimana kondisi perekonomian dan

fasilitas pendidikan belum memadai dapat menetapkan usia minimum 14 tahun.10

Untuk pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral tenaga

kerja, maka usia minimum ditentukan 18 tahun. Batas usia minimum 16 tahun

diperbolehkan dengan syarat bahwa keamanan, kesehatan dan moral tenaga kerja

dilindungi sepenuhnya oleh mereka telah mendapatkan penjelasan yang cukup atau

pelatihan kejuruan.11

Untuk jenis pekerjaan yang ringan dan tidak berbahaya bagi kesehatan dan

perkembangan anak, dan tidak mengganggu jadwal sekolahnya, maka minimum untuk

masuk kerja dapat ditetapkan 13 tahun ( atau 12 tahun untuk Negara berkembang).

Konvensi tidak berlaku bagi pekerja yang dilakukan oleh anak dan orang muda di sekolah

untuk pendidikan umum. Kejuruan atau teknik atau dilembaga pelatihan lain, atau bagi

pekerjaan yang dilakukakn oleh orang muda sekurang-kurangnya berusia 14 tahun dalam
9
Arif Gosita,”Perlindungan Tunas…..,Ibid, hlm44
10
Arif Gosita, “Perlindungan Tunas….., ibid, hln 45
11
Arif Gosita, “Perlindungan Tunas……., ibid, hlm 47
perusahaan. Larangan pekerja anak tidak berlaku untuk jenis pekerjaan kesenian dengan

catatan harus mendapatkan izin dari pemerintah dan terdapat pembatasan lamanya jam

kerja.12

Peraturan Perundang-undangan yang berhubngan dengam masalah perlindungan

anak adalah:13

1. Undang-undang No 1/1974 tentang Perkawinan

2. Undang-undang kependudukan Tahun 1992

3. Undang-undang No 24/1997 tentang Peradilan Anak

4. Undang-undang No 234/2002 tentang Perlindungan Anak

5. Keppres No 44/1984 tentang Hari Anak Nasional

6. Keppres No 365/1990 tentang Konvensi Hak Anak

7. Inpres No 2/1989 tentang Pemberian Kesejahteraan Kepada Anak

8. Inpres No 3/1997 tentang Perkembangan Kwalitas Anak

9. Inmendagri No 3/197 Kepmenpora No 4/1997 tentang Dasawarsa Anak 1996-2006

C. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Anak

1. Pengertian Tentang Hukum Perlindungan Anak

Menurut Gosita, hukum perlindungan anak adalah hukum tertulis maupun

hukum tidak tertulis yang menjamin anak-anak benar dapat melaksanakan hak dan

kewajibannya.14

J.E Doek dan H.M.A Drewes member pengertian tentang hukum perlindungan

anak dalam dua pengertian yaitu: (1) dalam pengertian luas, yaitu segala aturan hidup yang

member perlindungan kepada mereka yang belum dewasa dan member kemungkinan bagi

mereka untuk berkembsang; dan (2) dalam pengertian sempit yaitu perlindungan hukum

12
Zulchaina Z, Tanamas, Perlindungan anak dalam perspektif Konvensi anak, Armico, Bandung, 1999, hlm 76
13
Zulchaina Z, Tanamas, Perlindungan Anak…, ibid, hlm 79
14
Made Sadhi Astuti, Hukum Pidana……,Loc Cit hlm 50
yang terdapat dalam keadaan hukum, perdata, ketentuan hukum pidana, dan ketentuan

hukum acara.15

2. Ruang Lingkup Perlindungan Anak

Secara garis besar, perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua sifat:

1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi perlindungan dalam bidang hukum

public, dan bidang hukum keperdataan

2. Perlindungan yang bersifat non yuridis meliputi bidang sosial, bidang kesehatan, dan

bidang pendidikan.16

3. Aspek-Aspek Perlindungan Anak

Masalah Perlindungan Anak merupakan masalah yang sangat kompleks.

Menurut Arif Gosita bahwa Perlindungan Anak yang baik harus memenuhi beberapa

syarat:17

Para partisipan dalam terjadinya dan terlaksananya Perlindungan Anak harus

mempunyai pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah Perlindungan, agar

dapat bersikap dan bertindak secara tepat dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan

yang berkaitan dengan pelaksanaan Perlindungan Anak. Oleh karena itu perlu adanya

sosialisasi pengertian mengenai Perlindungan Anak serta pengertian-pengertian lain yang

dapat mendukung bdilaksanakannya Perlindungan Anak. Misalnya : pengertian tentang

manusia, warga Negara, keadilan sosial, pencegahan kejahatan, pencegahan penimbulan

korban, pelaksanaan kepentingan yang bertanggung jawab dan bermanfaat.18

Perlindungan Anak harus dilakukan bersama antara setiap warga Negara,

anggota masyarakat secara individual maupun kolektif dan pemerintah demi kepentingan

bersama, kepentingan nasional guna mencapai aspirasi bangsa Indonesia. Dimana anggota

15
Made Sadhi Astuti, Hukum Pidana….., ibid, hlm 6
16
Made Sadhi Astuti, Hukum Pidana……, ibid, hlm 5
17
Arif Gosita,”Perlindungan Tunas Harapan Bangsa Tanggung Jawab Bersama”, Prayuana, Jakarta 2002, hln 77.
18
Arif Gosita, “Perlindungan Tuna…., ibid, hlm 78
masyarakat sadar akan pentingnya Perlindungan Anak dan bersedia berpartisipasi secara

aktif sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Kerjasama dan kordinasi diperlukan dalam melancarkan kegiatan Perlidungan

Anak yang rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat antar para partisipan yang

bersangkutan. Dan perlu kita jauhkan berbagai macam konfrontasi yang tidak perlu dan

mengembangkan komunikasi yang positif, edukatif dan membangun dalam pelaksanaan

Perlindungan Anak.19

Dalam rangka membuat kebijakan dan rencana kerja yang dapat dilaksanakan

perlu adanya inventarisasi faktor-faktor yang dapat mendukung dan dapat menghambat

kegiatan Perlindungan Anak.

Dalam membuat ketentuan-ketentuan yangf menyinggung dan mengatur

Perlindungan Anak dalam berbagai peraturan perundangan kita harus mengutamakan

perspektif yang diatur dan bukan yang mengutamakan perspektif yang dilindungi.

Kepastian hukum perlu dioptimalkan demi kelangsungan kegiatan Perlindungan Anak dan

untuk mencegah akibat-akibat negative yang tidak diinginkan. Adalah hal Perlindungan

Anak, pihak anak harus mendapat perlindungan dimana harus dicegah penyalahgunaan

kekuasaan, mencari kesempatan menguntungkan diri sendiri. Dalam situasi dan kondisi

yang sangat sulit bagi orang lain.20

Perlindungan Anak harus tercermin dan diwujudkan/dinyatakan dalam berbagai

bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam kerjasama antara pemerintah dan

kalangan lapisan masyarakat harus ikut serta menciptakan stuasi dan kondisi yang

memungkinkan perlindungan secara langsung ataupun tidak langsung dalam berbagai

bidang kehidupan.

19
Arif Gosita, “ Perlindungan Tunas….,ibid, hlm 79
20
Arif Gosita, “Perlindungan Tunas…,ibid, hlm 82
Dalam pelaksanaan Perlindungan Anak, pihak anak harus diberikan kemampuan

dan kesempatan dan ikut serta melindungi diri sendiri dan kelak kemudian hari menjadi

orang tua yang berpartisipasi positif dan aktif dalam kegiatan Perlindungan Anak yang

merupakan hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat. Sehubungan dengan usaha

pemberian kemampuan pada anak untuk dapat ikut serta dalam kegiatan Perlindungan

Anak, maka sebaliknya dipikirkan mengenai cara-cara pembinaan akan yang

bersangkutan.21

Perlindungan Anak yang baik harus mempunyai dasar filosofis, etis dan yuridis,

dasar tersebut merupakan pedoman pengkajian, evaluasi apakah ketentuan yang dibuat dan

pelaksanaan yang direncanakan benar-benar rasional positif, dapat dipertanggungjawabkan

dan bermanfaat bagi yang betrsangkutan. Dasar-dasar hini dapat ndiambil dan

dikembangkan oleh Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, ajaran dan pandangan yang

positif dari agama atau nilai social yang tradisional atau modern.22

Pelaksanaan Perlindungan Anak tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi

pada yang bersangkutan, oleh karena adanya penimbulan penderitaan, kerugian

Perlindungan Anak yang antara lain merupakan suatu kegiatan preverensi adanya korban

kejahatan yang akan menimbulkan korban dimana Perlindungan Anak haruslah bersifat

preventif.

Perlindungan Anak haruslah didasarkan kewajiban asasinya. Perlindungan Anak

dibidang kesehatan, pendidikan dan pembinaan atau pembentukan kepribadian adalah

didasarkan pada hak asasi positif berelaku juga untuk nanak (orang dewasa dan anak sama-

sama manusia dan warga Negara)23

D. Kategori Masalah Anak

21
Arif Gosita, “Masalah Perlindungan Anak”, Akadem
ika Pressindo, 1985, hlm 44
22
Arif Gosita, “Masalah Perlindungan……,ibid, hlm 47
23
Arif Gosita, “Masalah Perlindungan..,ibid, hlm 121
Dalam konvensi hak anak telah ditegaskan sejumlah hak-hak anak yang

kemudian diterapkan ke dalam hukum nasional mengenai hukum anak, baik dibidang

hukum perdata, hukum pidana dan hukum dibidang kesehatan, kesejahteraan anak, jaminan

sosial. Ketenagakerjaan, pendidikan dan lain-lain. Masalah yang menyangkut hak-hak anak

bukan hanya bagaimana mengintegrasikan hak-hak anak kedalam hukum nasional Negara

peserta Konvensi Hak Anak. Akan tetapi yang terpenting adalah mengimplementasikan

hak-hak anak dan hukum anak dalam praktek kehidupan masyarakat sehari-hari.24

Hak-hak anak sebagaimana dituangkan dalam Konvensi Hak Anak bukan pula

sekedar hak-hak anak dalam keadaan yang sulit dan tertindas sehingga perlu dilindungi,

akan tetapi juga memasuki wilayah kesejahteraan anak yang lebih luas baik secara social,

ekonomi social dan budaya bahkan politik. Hak anak untuk terjamin kebebasannya

menyatakan pendapat dan memperoleh informasi merupakan wujud dari perluasan hak-hak

yang lebih maju (progressive right).25

Akan tetapi dalam kenyataa keseharian, masalah anak-anak yang paling

mendesak dilakukan langkah intervensi dan intervensi itupun dilakukan secara khusus

adalah terhadap kategori anak-anak yang berada dalam situasi sulit. Berdasarkan bentuk

dan bobot pelanggaran hak-hak menurut Konvensi Hak Anak, maka kategorisaai anak-anak

yang berada dalam situasi itu dapat dikualifikasi sebagai berikut:26

1. Anak-anak yang berada dalam keadaan yang diskriminatif, yakni :

a. Larangan Perlakuan diskriminai ank

b. Nama dan kewarganegaraan anak

2. Anak cacat (disabled)

3. Anak suku tersaing (children of indigenous people)

4. Anak-anak dalam situasi eksploitasi


24
Arif Gosita, “Bunga Rampai Perlindungan Anak”, Akademika Pressindo, Jakarta,2000, hlm 19
25
Arif Gosita, “Bunga Rampai….,ibid, hlm 22
26
Arif Gosita,”Bunga Rampai…..,ibid,hlm 29
5. Anak yang terpisah dengan keluarganya

6. Anak korban penyelundupan dan terdampar diluar negeri

7. Anak yang terganggu privasinya

8. Anak korban kekerasan dan penelantaran

9. Anak tanpa keluarga

10. Anak yang diadopsi

11. Anak yang ditempatkan pada suatu lokasi yang perlu ditinjau secara berkala

12. Buruh anak

13. Anak korban eksploitasi seksual, penculikan anak

14. Anak korban perdagangan anak, penyelundupan anak dan penculikan anak

15. Anak yang dieksploitasi dalam lain-lain bentuk

16. Anak korban penyiksaan dan perampasan kebebasan

17. Anak-anak dalam situasi darurat dan kritis

18. Anak-anak yang perlu dipertemukan kembali dengan keluarganya

19. Pengungsian anak

20. Anak yang terlibat dalam konflik bersenjata dan serdadu anak

21. Anak yang ditempatkan yang harus ditinjau secara berkala

Sementara itu dalam pandangan lain enyeburtkan bahwa masalah anak-anak

dapat dikualifikasi berdasarkan masalah yang dialami anak-anak sendiri, dikualifikasi

sebagai berikut:27

1. Anak terlantar

2. Anak yang tidak mampu

3. Anak cacat

4. Anak yang terpaksa bekerja (pekerja anak)

5. Anak yang melakukan pelanggaran/kenakalan anak


27
Arif Gosita,”Bunga Rampai…,ibid, hlm 33
6. Penyalahgunaan narkotik dan zat adiktif lainnya

7. Kewarganegaraan

8. Perwalian

9. Pengangkatan anak

10. Perindungan terhadappemerkosaan, kejhatan dan penaniayaan

11. Perlindungan terhadap penculikan

12. Bantuan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan

13. Resosialisasi eks narapidana anak’pewarisan

14. Perlinungan anak yang orng tuanya bercerai

15. Anak luar kawin

16. Alimentasi

17. Penyalahgunaan seksual

18. Anak putus sekolah

E. Hak dan Kewajiban Anak Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Anak

Anak merupakan subjek hukum yang patut diertimbangkan dan patut dihargai.

Anak mempunyai hak yang sama sebagai warga Negara Indonesia. Kesejahteraan anak

merupakan hak asasi, kesejahteraaan anak bergantung dari partisiasi orang dewasa.

Usaha kesejahteraan anak harus diusahakan agar pelaksanaan hak asasi tersebut

tidak dihalangi dengan berbagai macam dalih demi kepentingan golongan tertentu,

penghalangan pengadaan kesejahteraan anak dengan prespektif kepentingan nasional,

masyarakat yang adil dan makmur sprituil dan materil, adalah suatu penyimpangan yang
mengandung faktor-faktor kriminoge (menimbulkan kejahatan) dan viktimogen

(menimbulkan korban).28

Secara umum hak yang dimiliki oleh anak adalah.29

1. Untuk mendapatkan kasih dan pengertian

2. Untuk mendapatkan gizi yang memuaskan dan pemeliharaan kesehatan

3. Untuk mendapatkan pendidikan

4. Untuk mendapatkan kesempatan bermain-main dan berekreasi

5. Untuk mempunyai nama dan kebangsaan

6. Untuk mendapatkan pelayanan khusus apabila, mempunyai cacat fisik

7. Untuk yang pertam-tama mendapatkan pertolongan dalam bencana

8. Untuk belajar menjadi anggota, masyarakat dan mengembangkan kemampuan individual

9. Untuk dibesarkan dalam semangat perdamaian dan persaudaraan

10. Untuk menikmati hak-hak itu, tanpa mempersoalkan ras. Warna , seks, agama,

kebangsaan atau asal social ( UN, Declaration of the rights of the child,1959 .

Berikut ini dikutipkan beberapa pasal dalam Undang-undang No 23 tahun 2002

yang mengatur hak-hak anak sebagai berikut.30

1. Pasal 4 UU No 23 Tahun 2002

“Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan bepartisipasi secara wajar

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapart perlindungan dari

kekerasan dan deskriminasi”

2. Pasal 5 UU No 23 Tahun 2002

“Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”

3. Pasal 6 UU no 23 Tahun 2002

28
Bunawi Hidayat,”Pemindanaan Anak DiBawah Umur (Texis)”, Universitas Airlangga, Surabaya 2008, hlm 91
29
Bunawi hidayat, ”Pemindanaan Anak…,ibid, hlm 96
30
Undang-undang No 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
“Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi sesuai

dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua”

4. Pasal 7 UU No 23 Tahun 2002

“setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya sendiri”

“Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak

tersebut diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai

dengan ketentuan Peraturan Undang-undang yang berlaku”

5. Pasal 8 UU No 23 Tahun 2002

“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan

kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial”

6. Pasal 9 UU NO 23 Tahun 2002

“Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan

pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”

“Selain hak anak sebagaimana dalam ayat 1 khusus bagi anak yang menyandang cacat

juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagai anak yang memiliki

keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus”

7. Pasal 10 UU No 23 Tahun 2002

“Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan

memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan manusianya demi pengembangan

dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”

8. Pasal 11 UU No 23 Tahun 2002

“Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang bergaul dengan

anak yang sebaya, bermain dan berekreasi sesuai dengan minat dan bakat tingkat

kecerdasannya dermi pengembangan diri”


9. Pasal 12 UU No 23 Tahun 2002

“ Setaip anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan

pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial”

10. Pasal 13 UU No 23 Tahun 2002

“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang

berhak bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan

1. Diskriminasi

2. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual

3. Penelantaran

4. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan

5. Ketidak adilan

6. Perlakuan salah lainnya

“setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan

segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 maka pelaku dikenakan

pemberatan hukuman”

11. Pasal 14 UU No 23 Tahun 2002

“Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan

atau aturan hukum yang sah menunjukan bahwa pemisahan itu adalah kepentingan terbaik

bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”

12. Pasal 15 UU No 23 Tahun 2002

1. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:

2. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik

3. Pelibatan dalam sengketa bersenjata

4. Pelibataab dari kerusuhan sosial

5. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan


6. Pelibatan dala

13. Pasal 16 UU No 23 Tahun 2002

“Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan

atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi”

Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan,

penahanan, atau tindak pidana penjara anaknya dilakukan apabila sesuai dengan hukum

yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”

14. Pasal 17 UU No 23 Tahun 2002

“ Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:

1. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan

dari orang dewasa.

2. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap

tahapan upaya yang berlaku

3. Membela diri dan memperoleh keadilan didepan pengadilan anak yang

objektif dan tidak memihak dalam siding tertutup untuk umum

15. Pasal 18 UU No 23 Tahun 2002

“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidaana berhak mendapatkan

bantuan hukum dan bantuan lainnya”

Bila berbicara hak-hak anak, maka terdapat pula hak-hak si korban tindak pidana

antara lain:31

1. Korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaanya, sesuai dengan

kemauan member kompensasi si pembuat korban dan taraf keterlibatan/peran

korban dalam terjadinya kejahatan, delinkuensi dan penyimangan tersebut

31
Arif Gosita…, Loc Cit, hlm 87
2. Berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau

diberikan kompensasi karena tidak memerlukannya)

3. Berhak mendapatkan kompensasi untuk ahli warisnya, bila si korban meninggal

dunia karena tindakan tersebut.

4. Berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi

5. Berhak mendapat kembali hak miliknya

6. Berhak menolak menjadi saksi, bila dalam hal ini akan membahayakan dirinya.

7. Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila

melapor dan menjadi saksi

8. Berhak mendapatkan bantuan dari penasehat hukum

9. Berhak nmempergunakan upaya hukum

Menurut Pasal 19 Undang-undang No 23 Tahun 2002, “Seorang anak berhak

berkewajiban:32

1. Menghormati orang tua, wali dan guru

2. Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman

3. Mencintai tanah air, bangsa dan Negara

4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya

5. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Bila ditinjau dari korban tindak pidana pada umumnya dan tindak pidana incest pada

khususnya, terdapat pula kewajiban korban:33

1. Tidak sendiri membuat korban dengan mengadakan pembalasan ( main hak sendiri)

2. Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah perbuatan korban lebih banyak lagi

3. Mencegah kehancuran si pembuat korban baik oleh diri sendiri maupun oleh orang

lain

32
Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
33
Arif Gosita….,Op. cit, hlm 43
4. Ikut serta membina pembuat korban

5. Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi

6. Tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban

7. Member kesempatan pada pembuat korban untuk member kompensasi pada pihak

korban sesuai dengan kemampuannya (mencicil/imbalan jasa)

8. Menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan

Pelaksanaan hak-hak anak dan kewajibannya harus seimbang dan serasi, sesuai

dengan peraturan perundangan yang berlaku dan tatanan hukum adat maupun norma yang

berlaku di masyarakat.

F. Pekerja Anak Berdasarkan Hukum Ketenagakerjaan

1. Pengertian Ketenagakerjaan

Perkembangan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan mengalami perubahan

yang menuju kea rah perbaikan yakni dengan keluarnya Undang-undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 bahwa tenaga kerja

adalah setiap orang yang mampu melakukakn pekerjaan guna menghasilkan barang dan

jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri ataupun masyarakat.

Pengertian tenaga kerja dalam UU No 13 Tahun 2003 tersebut menyempurnakan

pengertian tenaga kerja dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969tentang

Pokok Ketenagakerjaan yang memberikan pengertian tenaga kerja adalah setiap orang

yang mampu melakukakn pekerjaan baik di dalam maupun diluar hubungan kerja guna

menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Hukum perburuhan (Arbeidsrecht) adalah himpunan peraturan, baik tertulis

maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada

orang lain dengan menerima upah.

2. Sumber Hukum Ketenagakerjaan


Adapun sumber-sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan, yaitu:34

1. Undang-undang

2. Peraturan lainnya yang kedudukannya lebih rendah dari undang-undang, seperti

peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, ataupun keputusan

instansi lainnya

3. Kebiasaan

4. Putusan

5. Perjanjian

6. Traktat

Disamping pendapat diatas, Wahab dan Asikin menambahkan bahwa

doktrin/pendapat para ahli hukum juga merupakan sumber hukum ketenagakerjaan.

Mengingat pendapat para ahli dapat dipergunakan sebagai landasan untuk memecahkan

masalah-masalah perburuhan, baik langsung maupun tidak langsung.35

Menurut pendapat Abdul Khakim jika ada penambahan agama termasuk sebagai

sumber hukum ketenagakerjaan, mengingat terdapatnya kemungkinan adanya pemecahan

masalah ketenagakerjaan melalui pendekatan ajaran agama yang dianutnya. 36

3. Pihak-pihak dalam Perjanjian Ketenagakerjaan

Dalam suatu perjanjian ketenagakerjaan terdapat beberapa pihak yang terlibat,

yaitu buruh/pekerja, pengusaha/pemberi kerja, organisasi buruh/pekerja, organisasi

pengusaha dan pemerintah. Kelima unsur tersebut akan saling beropengaruh dalam

menjalankan tugas dan fungsinya dalam hubungan industrial.

a. Buruh/Pekerja

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dalam Pasal 1 angka 3

meberikan pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan


34
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1997, hlm 20-24.
35
Abdul Khakim, “Pengantar Hukum Ketenagakerjaan” Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 30
36
Abdul Khakim,”Pengantar Hukum…,ibid, hlm 14
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini agak umum namun

maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa

saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan

menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Penegasan imbalan dalanm

bentuk apapun ini perlu karena upah selama ini diberikan dengan uang, padahal ada

pula buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang.37

b. Penguasaha / Pemberi Kerja

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

menyeburtkan bahwa yang dimaksud dengan pengusaha adalah:38

1. Orang perseorangab, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu

perusahaan milik sendiri.

2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri

sendiri menjakankanperusahaan bukan miliknya.

3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia

mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang

berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

c. Organisasi pekerja / buruh

Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat

Buruh bahwa serikat buruh/serikat pekerja ialah organisasi yang dibentuk dari, oleh

dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang bersifat

bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,

37
Asikin, “Dasar-Dasar Hukum Perburuhan”. PT. RajaGrafindo Persada Jakarta. 2002. Hlm 22.
38
Asikin, “Dasar-Dasar…Ibid, hlm 27
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan

kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya39

d. Organisasi pengusaha

Dalam perkembangan di Indonesia terdapar 2 (dua) organisasi pengusaha yaitu

Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia

(APINDO). Kamar Dagang dan Industri (KADIN) merupakan organisasi yang

menangani bidang ekonomi secara umum, yaitu mengenai hal-hal yang berkaitan

dengan masalah perdagangan, perindustrian, dan jasa. Sedangkan Asosiasi

Pengusaha Indonesia (APINDO) merupakan organisasi pengusaha yang khusus

bergerak pada bidang sumber daya manusia (SDM) dan hubungan in dustrial. 40

e. Pemerintah / pengusaha

Secara garis besar pemerintah sebagai pengusaha memiliki sebuah fungsi

pengawasan, dimana pengawasan terhadap pekerja di bidang ketenagakerjaan

dilakukan oleh Depnaker. Secara normative pengawasan perburuhan dalan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1948 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang

Pengawasan perburuhan. Dalam undang-undang ini pengawasan perburuhan yang

merupakan penyidik pegawai negeri sipil.41

39
Asikin, “Dasar-Dasar…Ibid, hlm 22
40
Asikin, “Dasar-Dasar…Ibid, hlm 23
41
Asikin, “Dasar-Dasar…Ibid, hlm 23
BAB III

TINJAUAN LAPANGAN

A. Gambaran Umum Unit Perlindungan Perempuan dan Anak POLRES Cirebon

Dengan disahkannya UU No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensasi

penghapusan diskriminasibterhadap wanita, pemerintah wajib melindungi perempuan dan

anak yang rentan menjadi sasaran tindak pidana.

Setelah belasan tahun diundangkannya UU tersebut, tindakan diskriminatif

bukanlah berkurang tetapi semakin meningkat/meluas keberbagai bidang kehidupan

perempuan dan anak. Dilain pihak perempuan anak yang menjadi korban

kejahatan/kekerasan, belum terlindungi, merasa takut untuk melapor karena tidak paham,

takut menjadi aib keluarga dan system pelayanan yang belum memadai.
Menyikapi permasalahan tersebut maka timbullah pemikiran bahwa perempuan

dan anak korban kejahatan / kekerasan termasuk perdagangan orang oerlu mendapat

perlindungan dan bantuan, baik medis, psikilogis maupun hukum sehingga masalahnya

dapat terselesaikan dengan adil.

Polri sebagai aparat penegak hukum dalam rangka memberikan perlindungan

dan pelayanan, khususnya pada perempuan dan anak sebagai korban dan atau saksi

kejahatan dalam wadah ruang pelayanan khusus yang diawali oleh Personil Polri sesuai

dengan persyaratan yang telah ditentukan.

Tahun 1998 dituasi perempuan dan anak pasca kerusuhan massa, mereka dalam

keadaan trauma tidak tahu harus mengadukan nasibnya keoada siapa.

Tahun 1999 atas prakarsa Ibu Kofifah Indar Parawangsa Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan pada saat itu bersama dengan ibu-ibu Derap Warapsari serya

beberapa organisasi perempuan mendorong Polri untuk emembentuk Ruang Pelayanan

Khusus (RPK) untuk melayanai para korban tersebut.

Sebagai project dijajaran Polda Metro Jaya dibentuk 9 unik RPK tahun 2001

dilakukan dengan pelatihan untuk penyiapan awak RPK yang didanai oleh Meneg PP

sebanyak 35 Perwira Polwan Serse di Pusdik Reskrim Mrga Mendung Bogor dan 30

Bintara Serse di Padang Sumbar.

Dsar Hukum pembentukan UPPA adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 194 tentang Penghapusan Segala Diskriminasi

terhadap Wanita.

2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

3. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia

4. Undang-undang 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI

5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

7. Undang-undang Nomor 23 Tahun tentang PKDRT

8. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang (PTPPO)

9. Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007 tentang OTK UPPA.

10. Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 200 tentang Pembentukan ruang pelayanan khusus

dan tata cara pemeriksaan saksi dan / atau korban tindak pidana.

Adapun tujuan dibentuknya UPPA adalah:

a. Memberikan pelayanan dan perlindungan khusus keoada perempuan dan anak yang

menjadi saksi, korban, dan / atau tersangka yang ditangabi di UPPA.

b. Untuk kepentingan pemeriksaan terhadap saksi dan / atau korban perempuan dan

anak serta tindak pidana lainnya.

c. Untuk menghindari terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan tindakan

yang dapat menimbulkan ekses trauma atau penderitaan yang lebih serius

baginperempuan dan anak.

Prinsip penyelenggaraan pelayanan saksi dan / atau korban anatara lain:

a) Menjunjung tinggi hak asasi manusia

b) Memberikan jaminan keselamatan terhadap saksi dan / atau korban yang memberikan

keterangan.

c) Menjaga kerahasiaan saksi dan / atau korban.

d) Meminta persetujuan secara lisan akan kesediaan saksi dan / atau korban untuk

memberikan keterangan.

e) Mengajukan pertanyaan dengan cara yang bijak;


f) Tidak menghakimi saksi dan / atau korban.

g) Menyediakan penerjemah, apabila diperlukan.

h) Mendengarkan keterangan korban dengan aktif dan penuh pengertian.

i) Memberikan informasi tentang perkembangan perkaranya.

j) Menjaga profesionalisme untuk menjamin terwujudnya keadilan dan kepastian

hukum.

k) Memperlakukan saksi dan / atau korban dengan penuh empati.

Asas-asas UPPA

Pelaksanaan kegiatan pelayanan di UPPS memerhatikan asas-asas sebagi berikut :

a. Asas legalitas yaitu berdasarkan hukum yang berlaku.

b. Asas praduga tak bersalah yaitu semua orang diangkat tidak bersalah sebelum

ditentukan oleh keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

c. Asas perlindungan dan pengayoman yaitu memberikan perlindungan hak-hak saksi

korban / atau tersangka yang sedang dip roses.

d. Asas kekeluargaan memperlakukan yang dilayani seakan sebagai anggota keluarga

e. Asas pembinaan yaitu tujuan pelayanan untuk menumbuh kembangkan potensi anak

dan perempuan.

f. Asas keadilan yaitu mendasari prinsip keadilan dalam penanganan tidak

membedakan, tidak memihak.

g. Asas pelayanan yaitu memberikan pelayanan yang maksimal

h. Asas nesesitas yaitu berdasarkan keperluan.

Tempat dan Kedudukan UPPA

a. UUPA wajib dibentuk di tingkat:

1) Mabes Polri

2) Polda
3) Polwil/tabes

4) Polres/Polresta

b. Secara selektif UPPA dapat dibentuk ditingkat Polsek berdasarkan pertimbangan

kerawanan wilayah setempat yang dipandang sangat perlu untuk dibentuk UPPA.

c. Kedudykan UPPA pada masing-masing kesatuan yaitu :

1) Pada UPPA Bareskrim Polri UUPA Mabes Polri

2) Pada pengembangan fungsi Reskrim c.q Pidana Umum untuk tingkat Polda sampai

dengan Polres.

Fasilitas dan Perlengkapan UPPA

a. UPPA dilengkapi fasilitas dan perlengkapan :

1) Ruang tamu yang berfungsi untuk menerima tamu/saksi dan/atau korban

dengan dilengkapi antara lain mebelair, bahan bacaan, media TV/radio,

penyejuk ruangan

2) Ruang konseling dan pemeriksaan, berfungsi untuk menerima laporan/keluhan

saksi dan/atau korban guna kepentingan pemeriksaan dengan dilengkapi meja

dan kursi konsultasi, penyejuk ruangan, alat pemantau (CCTV/Recorder)

3) Ruang control berfungsi untuk memantau kegiatan diruang konseling dan

pemeriksaan yang didukung dengan petugas pengawas dan dilengkapi antara

lain alat perekam kegiatan, membelair, computer server untuk merekam

gambar dan suara, TV monitor penyejuk ruangan, alat tulis, lemari arsip dan

kelengkapan lain yang diperlukan

4) Ruang istirahat berfungsi untuk tempat istirahat saksi dan/atau korban dengan

dilengkapi tempat tidur, meja, dan kursi santai, penyejuk ruangan, almari,

kamar mandi, dan toilet


b. Kelengkapan masing-masing ruangan diupayakan memenuhi persyaratan agar dapat

menjamin suasana tenang, terang dan bersih tidak menimbulkan kesan menakutkan

dan dapat menjaga kerahasiaan serta keamanan bagi saksi dan/atau korban yang

perkaranya sedang ditangani.

Personel yang Mengawasi UPPA

a. Jumlah personel yang mengawasi UPPA untuk tingkst Mabes Polri, Polda dan Polres

sekurang-kurangnya 5 (lima) orang, yang terdiri dari :

1) Pengendalian UPPA

2) Staff Administrasi

3) Petugas Pemberian Pelayanan

4) Petugas Pemeriksaan

b. Personel yang bertugas di UPPA diutamakan Polisi Wanita (Polwan) dan Pegawai

Negeri Sipil (PNS) yang wanita.

c. Dalam hal tidak terdapat petugas Poland an PNS wanita, UPPA dapat diisi oleh

personel Polri Pria.

d. Petugas UPPA selalu siap sedia selama 24 (dua puluh empat) jam setiap harinya.

e. Persyaratan personel Polri pria dan Polwan yang bertugas di UPPA antara lain :

1) Memiliki latar belakang pendidikan Reserse

2) Memiliki pengalaman sebagai penyidik atau penyidik pembantu

3) Memiliki kemampuan pelaksanaan tugas di UPPA

4) Memiliki pengetahuan hukum, terutama yang berkaitan dengan tindak poidana

perdagangan anak. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan HAM

5) Berperilaku sopan dan memiliki kepedulian terhadap masalah perempuan dan

anak

6) Reputasi memiliki catatan tugas yang baik


f. Persyaratan personel PNS Polri Wanita yang bertugas di UPPA antara lain :

1) Pernah bertugas atau sedang bertugas dilingkungan Reserse Polri

2) Memiliki kemampuan pelaksanaan tugas di UPPA

3) Memiliki kepedulian terhadap masalah perempuan dan anak

4) Memiliki catatan tugas yang baik

B. Tugas dan Wewenang Unit Perlindungan Perempuan dan Anak POLRES Cirebon

Penanganan kasus Eksploitasi anak dilaksanakan di Ruang Pelayanan Khusus

atau disingkat RPK dimana ruangan ini adalah ruangan yang aman dan nyaman diperun

tukan khusus bagi saksi dan/atau korban tindak pidana termasuk tersangka tindak pidana

yang terdiri dari perempuan dan anak yang patut diperlakukan atau membutuhkan

perlakuan secara khusus dan perkaranya sedang ditangani dikantor polisi.

Kemampuan pelaksanaan tugas di UPPA meliputi pemberian pelayanan dalam

bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana dan penegakan hukum terhadap

pelakunya. Tugas UPPA sebagaimana meliputi :

a. Penerimaan laporan/pengaduan tentang tindak pidana

b. Membuat laporan polisi

c. Member konseling

d. Mengirimkan korban ke PPT atau RS terdekat

e. Pelaksanaan penyidikan perkara

f. Meminta visum

g. Member penjelasan keopada pelapor tentang posisi kasus, hak-hak, dan kewajibannya

h. Menjamin kerahasiaan info yang diperoleh

i. Menjamin keamanan dan keselmatan korban

j. Menyalurkan korban ke Lemabaga Bantuan Hukum (LBH)/Rumah Aman

k. Mengadakan koordinasi dan kerja sama dengan lintas sektoral


l. Member tahu perkembangan penanganan kasus kepada pelapor

m.Membuat laporan kegiatan sesuai prosedur

Personel yang mengawaki RPK, memberikan pelayanan kepada :

a. Perempuan dan/atau anak yang statusnya sebagai saksi pelapor dan korban

b. Perempuan dan/atau anak yang statusnya sebagai tersangka tindak pidana

Mekanisme pelaksanaan tugastata cara penanganan saksi dan/atau korban tindak

pidana di RPK meliputi :

a. Penerimaan Laporan Polisi

b. Penyidikan

c. Tahap akhir penyidikan

Mekanisme penerimaan Laporan Polisi di RPK ssebagaimana dimaksud dalam

Pasal 12 huruf a, yaitu :

a. Korban diterima oleh personel UPPA

b. Proses pembuatan laporan polisi didahului dengan interview/wawancara dan

pengamatan serta penilaian penyidik/petugas terhadap keadaan saksi korban

c. Apabila saksi korban dalam kondisi trauma/stress, penyidik melakukan tindakan

penyelamatan dengan mengirim saksi korban ke PPT Rumah Sakit Bhayangkara

untuk mendapatkan penanganan medis-psikis serta memantau perkembangannya

d. Dalam hal saksi dan/atau korban memerlukan istirahat, petugas mengantar keruang

istirahat atau rumah aman atau shelter

e. Apabila korban dalam kondisi sehat dan baik, penyidik dapoat melaksanakan

interview/wawancara guna pembuatan laporan polisi

f. Pembuatan laporan polisi oleh petugas UPPA dan bila perlu mendatangi TKP untuk

mencari dan mengumpulkan barang bukti

g. Register penomoran laporan polisi ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK)


h. Dalam hal saksi dan/atau korban perlu dirujuk ke PPT atau tempoat lainnya, petugas

wajib mengantarkan sampai ke tujuan rujukan dan menyerahkan kepada petugas yang

bersangkutan disertai dengan penjelasan masalahnya

i. Dalam hal saksi dan/atau korban selesai dibuatkan Laporan Polisi dan perlu visum

maka, petugas mengantarkan saksi dan/atau korban ke PPT untuk mendapatkan

pemeriksaan kesehatan dan visum

j. Kasus yang tidak memenuhi unsur pidana, dilakukan upaya bantuan melalui

konseling dan pendekatan psikologis

Mekanisme penyidikan sebagaimana dimaksud yaitu :

a. Penyidik membuat surat permohonan pemeriksaan kesehatan dan visum kepada

Kepala RS Bhayangkara atau rumah sakit lainnya yang secara hukum dapat

mengeluarkan visum sehubungan dengan laporan polisi yang dilaporkan oleh korban

b. Penyidik menyiapkan adminitrasi penyidikan

c. Apabila korban siap dan bersedia memberikan keterangan terkait dengan laporan

polisi yang dilaporkan korban, penyidik dapat melaksanakan kegiatan Berita Acara

Pemeriksaan (BAP) terhadap korban

d. Apabila kasus yang dilaporkan korban melibatkan satu korban, dan satu tersangka

saja, maka laporan polisi tersebuyt ditindak lanjuti oleh seorang penyidik saja

e. Apabila kasu yang dilaporkan korban melibatkan banyak korban, tersangka, kurun

waktu, barang bukti maupun temoat kejadian maka tugas penyidikan dilaksanakan

dalam bentuk tim yang telah ditentukan oleh Kepala UPPA dan saksi/korban tetaqp

diperiksa oleh Polwan Unit PPA, sedangkan pengembanganya dapat dilaksanakan

oleh Penyidik Polri Pria


f. Apabila saksi korban berasal dari luar kota, maka untuk kepentingan penyidikan

korban dapat dititipkan di shekter milik Departemen Sosial Republik Indonesia

(DEPSOS) atau pihak lain yang dinilai dapat memberikan perlindungan dan

pelayanan hingga korban siap dipulangkan ke daerah asalnya

Tahap akhir penyidikan meliputi:

a. Koordinasi dengan instansi terkait sebagai ahli dalam rangka memperkuat

pembuktian kasus yang sedang ditangani

b. Menyelenggarakan gelar perkara kasus yang disidik

c. Penelitian terhadap berkas perkara yang akan dikirim ke Jaksa Penuntut Umum (JPU)

d. Menitipkan korban pada rumah perlindungan milik DEPSOS RI atau pihak lain yang

dinilai dapat memberikan perlindungan dan pelayanan kepada korban apabila korban

diperlukan kehadirannya di pengadilan

e. Melakukan koordinasi dengan instansi dan LSM yang peduli terhadap perempuan dan

anak korban tindak pidana pada siding pengadilan, agar proses peradilan dan

putusannya benar-benar memenuhi rasa keadilan.

Persiapan untuk melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban

mempedomani sebagai berikut:

a. Dalam hal telah dibuatkan Laporan Polisi, dan akan dilanjutkan dengan tahap

pemeriksaan, maka Kepala UPPA menunjuk para petugas pemeriksa dengan surat

perintah

b. Petugas yang menerima perintah untuk melakukan pemeriksaan segera melakukan

kegiatan pemeriksaan.

Kegiatan pemeriksaan meliputi:


a. Menyiaopkan administrasi penyidikan berupa Surat Perintah Tugas (SPRINGAS),

Surat Perintah Penyidikan (SPRINDIK), Surat Perintah Dimulainya Penyidikan

(SPDP)

b. Menyusun rencana penyidikan/pemeriksaan

c. Menentukan waktu,tempat dan sarana pemeriksaan dan menyampaikan kepada saksi

dan/atau korban yang akan diperiksa

d. Menyusun daftar pertanyaan pemeriksaan

e. Menyiapkan ruangan pemeriksaan yang kondusif bagi yang akan diperiksa, agar

dapat bebas dari gangguan fisik ataupun psikis bagi yang akan diperiksa.

Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban dilaksanakan dengan memperhatikan

ketentuan sebagai berikut:

a. Petugas tidak memakai pakaian dinas yang dapat berpengaruh terhadap psikis saksi

dan/atau korban yang akan diperiksa

b. Menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh yang diperiksa, bila perlu dengan

bantuan penerjemah baahasa yang dipahami oleh yang diperiksa

c. Pertanyaan diajukan dengan ramah dan penuh rasa empati

d. Dilarang memberikan pertanyaan yang dapat menyinggung perasaan atau hal-hal

yang sangat sensitive bagi saksi dan/atau korban yang diperiksa

e. Tidak memaksakan pengakuan atau memaksakan keterangan dari yang diperiksa

f. Tidak menyudutkan atau menyalahkan atau mencomooh atau melecehkan yang

diperiksa

g. Tidak memberikan pertanyaan yang dapat menimbulkan kekesalan/kemarahan yang

diperiksa

h. Tidak bertindak diskriminatif dalam memberikan pelayanan/pemeriksaan


i. Selama melakukan pemeriksaan, petugas senantiasa menunjukan sikap bersahabat,

melindungi, dan mengayomi yang diperiksa

j. Selama dalam pemeriksaan, petugas mendengarkan dengan seksama semua keluhan,

penjelasan, argumentasi, aspira, dan harapan untuk kelengkapan hasil Laporan Polisi

yang berguna bagi proses selanjutnya

k. Selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasa menaruh perhatian terhadap situasi

dan kondisi fisik maupun kondisi kejiwaan yang diperiksa

C. Pengawasan Pekerja Anak Oleh DISNAKERTRANS Kabupaten Cirebon

Pengawasan tenaga kerja di Kabupaten Cirebon dilaksanakan oleh

DISNAKERTRANS Kabupaten Cirebon dimana menurut Peraturan Daerah Kabupaten

Cirebon No 49 Tahun 2008 tentang rincian tugas, fungsi dan tata kerja Dinas Tenaga

Kerja dan Transmigrasi dinyatakan bahwa Dinas Mempunyai tugas menyelenggarakan

urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di bidang

ketenagakerjaan dan ketransmigrasian. Untuk melaksanakan tugas sebagaimana

dimaksud Dinas mempunyai fungsi:

a.Perumusan kebijakan teknis di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian

b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayan umum di bidang ketenagakerjaan

dan ketransmigrasian

c.Pembinaan dan pelaksanaan tugas bidang hubungan industrial dan persyaratan kerja,

pelatihan dan penempatan tenaga kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja

serta bidang transmigrasi

d. Pelaksanaan pembinaan administrasi ketata usahaan Dinas


e.Penyelengaraan pembinaan teknis dan administrasi terhadap UPT

f. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati, sesuai dengan tugas dan fungsinya

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi Kepala Dinas DISNAKERTRANS

Kabupten Cirebon mempunyai uraian tugas:

a.Membantu Bupati dalam melaksanakan tugas, baik perencanaan dan pelaksanaan

kegiatan di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian

b. Memimpin, m

di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian

c.Mengkaji dan merumuskan kebijakan teknis dibidang ketenagakerjaan dan

ketransmigrasian

d. Merumuskan,

sesuai kebijakan Pemerintah Daerah

e.Member informasi, saran dan bahan pertimbangan kepada Bupati dalam hal urusan

ketenagakerjaan dan ketransmigrasian sebagai bahan penetapan kebijakan Bupati

f. Menyusun, melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Dinas

sesuai dengan bidang tugas baik secara operasional maupun administrasi kepada

Bupati melauli Sekretaris Daerah

g. Membagi tuga

fungsinya

h. Member petun

pelaksanaan tugas

i. Menyiapkan bahan penyusunan dan menelaah peraturan perundang-undangan di

bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian


j. Mengadakan koordinasi baik dengan instansi pemerintah maupun lembaga

swas\ta/masyarakat dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas di bidang

ketenagakerjaan dan ketransmigrasian

k. Membina dan

pelatihan dan penempatan tenaga kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja

sertra transmigrasi

l. Mengendalikan dan membina UPT

m. Menyelenggarakan evalusai dan pelaporan pelaksanaan tugas.kegiatan dinas sesuai

ketentuan yang berlaku

n. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Bupati, sesuai bidang tugas dan

fungsinya

Untuk masalah perlindungan tenaga kerja di Kabupaten Cirebon maka tugas ini

dilaksanakan oleh Bidang Pengawasan dan Perlindungan Tenaga Kerja dipimpin oleh

seorang Kepala Bidang merupakan unsur pelaksanaan yang berada dibawah dan

bertanggungjawab kepada Kepala Dinas.

Bidang Pengawasan dan Perlindungan Tenaga Kerja mempunyai tugas

mengelola urusan pemerintahan daerah di bidang pengawasan dan perlindungan tenaga

kerja. Untuk melaksanakan tugas Bidang Pengawasan dan Perlkindungan Tenaga Kerja

mempunyai fungsi:

a.Perumusan kebijakan teknis di bidang pengawasan dan perlindungan tenaga kerja

b. Pengelolan ur

perlindungan tenaga kerja

c.Pembinaan dan pelaksanaan tugas bidang norma, perlindungan tenaga kerja,

keselamatan dan kesehatan kerja


d. Pelaksanaan tu

fungsinya

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana tersebut diatas Kepala

Bidang Pengawasan dan Perlindungan Tenaga Kerja, mempunyai uraian tugas:

a.Membantu Kepala Dinas dalam melaksanakan tugas di Bidang Pengawasan dan

Perlindungan tenaga kerja

b. Mengelola pen

Perlindungan tenaga kerja, sebagai pedoman pelasanaan tugas

c.Mendistribusikan dan member petunjuk pelaksanaan tugas kepada para Kepala Seksi,

sesuai dengan tugasnya

d. Membina dan

e.Memantau, mengendalikan, mengevaluasi dan menilai pelaksanaan tugas bawahan

f. Menyusun, dan menelaah peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan dan

perlindungan tenaga kerja meliputi norm,a kerja, norma penempatan dan pelatihan,

norma jaminan sosial tenaga kerja dan organisasi pekerja/buruh, norma keselamatanm

dan kesehstan serta hal-hal laim yang berkaitan dengan pelaksanaan ratifikasi ILO

g. Menyusun kon

perlindungan tenaga kerja

h. Mengoreksi d

perlindungan ketenagakerjaan norma kerja, norma penempatan dan pelatihan, norma

jaminan sosial tenaga kerja, norma kerja perempuan dan anak, norma hubungan kerja

dan organisasi pekerja/buruh, norma keselamatan dan kesehatan kerja

i. Melaksanakan pembinaan/pengawasan dan perlindungan tenaga kerja ke perusahaan-

perusahaan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang


ketenagakerjaan yang meliputi norma kerja maupun norma keselamatan dan kesehatan

kerja

j. Melaksanakan pembinaan dan tindakan hukum terhadap perusahaan0perusahaan yang

diduga/diindikasikan melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan peraturan perundang-

undangan bidang ketenagakerjaan

k. Melaksanakan

penanganan pengawasan ketenagakerjaan, pembinaan dan penegakan hukum bidang

ketenagakerjaan

l. Memberikan saran dan bahan pertimbangan kerja Kepala Dinas yang berkaitan dengan

kegiatan pembinaan, pengawasan ketenagakerjaan dan penegakan hukum bidang

ketenagakerjaan dalam rangka pengambilan keputusan/kebijakan

m.Melaporkan kepada Kepala Dinas setiap selesai melaksanakan tugas/penugasan

n. Mengoordinasikan penyusunan rencana dan pelaksanaan anggaran lingkup Bidang

Pengawasan dan Perlindungan Tenaga Kerja

o. Bersama dengan Sekretaris melaksanakan asistensi/pembahasan rencana anggaran

Bidang Pengawasan dan Perlindungan Tenaga Kerja dengan satuan Kerja terkait/Tim

Anggaran/ Panitia anggaran

p. Mengelola evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas/kegiatan Bidang Pengawasan

dan Perlindungan Tenaga Kerja, sesuai ketentuan yang berlaku

q. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas, sesuai tugas dan

fungsinya
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Eksploitasi Pekerja Anak Pada Perusahaan Hutan Unggul Persada.

Penyebab eksploitasi perja anak pada perusahaan Hutan Unggul Persada

Cirebon adalah disebabkan karena faktor diri anak itu sendiri dan faktor perusahaan,

adapun mempekerjakan anak oleh perusahaan adalah disebabkan karena faktor:

1. Murahnya upah kerja sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan yang lebih

besar.

Anak-anak dalam hal ini dipekerjakan oleh pihak perusahaan pada bagian

pengepakan dengan upah berkisar antara 10.000 hingga 15.000 perhari sedangkan

upah untuk orang dewasa adalah berkisar 30.000 hingga 40.000 perhari hal inilah
yang menjadi alasan perusahaan ansk karna upahnya lebih murah dari orang dewasa

sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan lebih besar dan pengeluaran lebih

kecil.

2. Pekerja anak tidak terlalu banyak tuntutan.

Pekerja anak tidak banyak menuntut kepada pihak perusahaan misalnya masalah

waktu kerja dan minimnya upah ataupun terhadap aturan yang di terapkan pihak

perusahaan.

3. Pekerja anak lebih mudah diatur oleh majikan.

Dalam hal ini pekerja anak mudah diatur oleh pihak peruahaan misalkan dalam

waktu bekerja, pekerja anak ini bekerja dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 17.00

WIB sedangkan pekerja dewasa hanya mau bekerja 08.00 WIB sampai dengan

pukul 16.00 WIB.

4. Pekerja anak lebih rajin dalam menjalankan pekerjaannya.

Pekerja anak disamping memiliki tenaga yang lebih kuat juga mereka lebih rajin

dalam melakukan pekerjaan dibanding pekerja dewasa hal ini disebabkan karena

pekerja anak lebih takut pada majikan atau pihak perusahaan di dalam menjalankan

pekerjaannya.

Sedangkan Faktor penyebab eksploitasi darui pekerja anak sendiri adalah:

1. Faktor Ekonomi

Kondisi factual banyaknya anak yang bekerja disektor informal di Kabupaten

Cirebon Khususnya di Kecamatan Kedawung tidak dapat dilepaskan dari permasalahan

ekonomi keluarga, berdasarkan informasi yang dihimpun dari hasil wawancara dengan

anak yang bekerja tersebut diperoleh informasi bahwa sebagian besar sanak bekerja di

sektor informal menyatakan, bahwa sebenarnya alasan bekerja karena terpaksa untuk
memperoleh tambahan penghasilan guna membantu membiayai kebutuhan keluarga,

khususnya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Berdasarkan informasi

yang diperoleh anak yang bekerja di PT Hutan Unggul Persada (HUP) ini ratsa-rata berasal

dari keluarga yang tidak atau kurang mampu secara ekonomi. Sebagian besar anak-anak

yang bekerja ini orang tuanya berpenghasilan kecil dan tiodak menentu, dan kondisi

demikianlah yang memaksa anak bekerja tanpa memilih dan memilah jenis dan resiko

pekerjaan, dengan harapan yang penting dapat memperoleh tambahan penghasilan untuk

membantu kedua orang tua, atau setidaknya untuk membantu mencukupi kebutuhan

dirinya sendiri, dan kalau memungjkinkan juga untuk membantu keluarganya.

Disamping itu dari faktor ekonomi ini juga sangat dipengaruhi oleh konteks

ekonomi local, yang memberikan peluang bagi anak-anak untuk bekerja. Pada suatu daerah

tertentu memiliki karakteristik usaha yang hamper seragam, kenyataannya perekonomian

local yang dilakukan dengan pengelolaan tradisonal cenderung hanya bertumpu pada

modal yang dimiliki dan berorientasi pada perolehan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Pada kondisi perekonomianm yang demikian pengusaha tidak memikirkan bagaiamana

ketenagakerjaannya, dalam pengertian tidak memiliki system perburuhan yang cukup baik,

misalnya mengenai hubungan antara majikan dengan pekerjanya, jaminan tenaga kerjanya,

sebab seluruh perhatian dicurahkan untuk produksi.

Kondisi factual yang demikian pada akhirnya melemahkan diri pihak pemberi

kerja/majikan dalam pola perekrutan tenaga kerja, dan mempertahankan tenaga kerjanya

demi kelangsungan usahanya. Pengusaha berfikir keras bagaiamana menekan biaya

sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarny, sehingga pada

akhirnya harus menekan biaya produksi. Upaya ini tidak mungkin dilakukan terhadap

bahan-bahan produksi, seperti tepung untuk pabrik roti, atau kedelai untuk pabrik tempe

tahu, dan lain sebagainya, sebab harga-harga untuk jenis komoditi tersebut sudah standar,
sehingga untuk tetap dapat menjalankan produksinya pilihan terakhir dengan cara menekan

biaya tenaga kerja. Dalam kaitannya dengan biaya tenaga kerja, menekan atau mengurangi

ongkos tenaga kerja dewasa dirasakan tidak mungkin dilakukan, sehingga pilihan yang

realities dengan cara menguntungkan bagi pemilik usaha, karena dapat membayar upah

rendah dan dapat mudah mendapatkannya disekitar tempat usaha, sehingga semakin

memperkecil beban biaya pengeluaran perusahaan.

2. Faktor Orang Tua

Di samping faktor ekonomi, salah satu penyebab anak bekerja adalah faktor keluarga,

sebab keluarga merupakan komunitas pertama yang membentuk anak baik secara mental,

dan kepribadian, bahkan keluarga merupakan tempat utama bagi anak dalam memperoleh

hak-hak dasar mereka sebagai anak. Faktor keluarga yang paling dominan menentukan

seorang anak boleh bekerja atau tidak adalah orang tua, sebab orang tua merupakan orang

yang pertama berhubungan langsung dengan anak. Orang tua ibaratnya mewakili semua

kepentingan, hak, kewajiban dan tanggung jawab dari anak-anaknya, sehingga pada

akhirnya orang tualah yang harus menentukan apa yang harus dan tidak boleh dilakukan

oleh anak-anaknya yang masih dibawah umur. Berdasarkan hasil wawancara dengan orang

tua, walaupun sulit menduga berapa besar proporsi orang tua yang tidak setuju jika

anaknya harus bekerja, namun dari beberapa orang tua yang diwawancarai di lokasi

penelitian lebih memilih alasan bahwa nasib seorang anak ditangan Tuhan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebagaimana dikemukakan diats, banyak

orang tua anak yang bekerja sebagai buruh tani, atau bnuruh bangunan, tukang tambal ban,

dan pekerjaan yang sejenisnya, maka dapat dihitung berapa upah atau penghasilan yang

diterima setiap hari, berapa jumlah total selama satu bulan, dan apabila diperhitungkan

dengan kebutuhan normal keluarga setiap bulannya tidak akan mencukupi, bahkan apabila
ditambah biaya sekolah, pemeliharaan kesehatan keluarga, sakit misalnya, atau kebutuhan-

kebutuhan lain temporer sifatnya. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain kecuali harus

melibatkan anak dalam kegiatan ekonomi untuk menambah penghasilan keluarga.

3. Faktor Budaya (Kebiasaan)

Anak yang bekerja untuk membantu keluarganya mencari nafkah dinilai sebagai

bentuk kepekaan, empati, dan tepo seliro seorang anak dalam melihat persoalan keluarga.

Semakin banyak pengorbanan yang diberikan seorang anak kepada orang tuanya, maka

semakin besar pula pahala yang didapatka. Pameo-pameo demikian memang masih

diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh masyarakat atau komunitas pedesaan tertentu.

Pameo-pameo seperti ini juga menyebabkan timbulnya dorongan terhadap anak yang

dengan sendirinya akan sadar dan ikhlas melakukan pekerjaannya dengan senang hati,

yaitu dengan mendapatkan label-label sebagai anak yang baik, rajin. Sholeh, berbakti

kepada orang tua, dan lain sebagainya.

Dalam hubungannya dengan faktor budaya ini, bahwa selain tekanan kemiskinan,

masih terdapat faktor-faktor lain yang mendorong anak-anak dipedesaan cenderung atau

terpaksa terlibat dalam kegiatan produktif, yaitu: Faktor kultur atau juga disebut sebagai

faktor tradisi, yang memandang bahwa anak-anak yang sejak dini terbiasa bekerja,

merupakan bagian dari proses sosialisasi untuk melatih anak mandiri dan merupakan

bentuk darma bakti anak kepada orang tua. Tradisi demikian hamper merata di seluruh

wilayah pedesaan, kebiasaan orang tua mengajarkan cara bercocok tanam hingga memanen

merupakan upaya orang tua dalam mempersiapkan anak kelak menjadi dewasa dan

berumah tangga. Faktor tradisi atau budaya merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi terhadap ditaatinya norma hukum.


4. Kemauan Sendiri (Kemandirian)

Dari beberapa responden mengungkapkan bahwa alasan mereka bekerja adalah untuk

lebih meningkatkan kemandirianya, tidak tergantung lagi dengan oirang tua dalam hal

pemenuhan kebutuhannya, selain itu bisa membeli apa yang mereka inginkan. Faktor inilah

yang mungkin termasuk yang dijatakan oleh Bagong Suyanto, bahwa penyebab seorang

anak bekerja disebabkan oleh faktor daya tarik yang ditawarkan oleh pemilik usaha atau

kegiatan produksi tersebut. Dikatakan lebih lanjut, bahwa dengan bekerja terbukti anak-

anak dapat memiliki penghasilan dan bahkan memiliki otonomi untuk mengelola uang

yang diperolehnya secara mandiri. Meskipun uang ini biasanya tidak dipakai sepenuhnya

oleh anak itu, karena sebagian besar diberikan kepada orang tuanya, tetapi bagi mereka

setidaknya merasa memiliki hak atas uang yang diperolehnya.

Selanjutnya dikatakan bahwa kemungkinan anak yang bekerja juga merupakan bentuk

“pelarian”, menurutnya bagi anak laki-laki maupun perempuan yang disebabkan dalam

beberapa hal atau beberapa faktor menyebabkan mereka lebih memilih bekerja diluar

rumah adalah sebagai bentuk pelarian dari beban pekerjaan dirumah yang acapkali

dipandang menjenuhkan, disamping mereka juga ingin merasakan suasana yang lain seperti

layaknya teman-temannya yang sudah bekerja diluar rumah terlebih dahulu.

5. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan dalam hal ini dimaksudkan sebagai lingkungan social anak yang

bejkerja diluar lingkungan keluarga, seperti teman, tetangga, kerabat atau saudara dekat

dari anak tersebut. Keterlibatan anak yang bekerja tidak sedikit yang disebabkan oleh

adanya pengaruh teman-temannya, baik teman tetangga yang sebaya, maupun teman-teman

yang sekoklah yang lebih dulu bekerja untuk membantu orang tuanya mencari nafkah

untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya, disamping itu mereka juga
mendapatkan uang saku untuk jajan. Melihat teman-temannya sukses dalam bekerja dan

pekerjaan yang dilakukan menurut anak-anak yang bekerja dirasa tidak terlalu berat, tetapi

menghasilkan uamg banyak, maka anak-anak hal tersebut merupakan daya tarik tersendiri

untuk ikut bekerja seperti yang dilakukan teman-temannya.

Dalam hubungan ini selanjutnya Bagong Suyanto menyatakan, bahwa seorang anak

bekerja karena adanya pengaruh peer-group dan lingkungan social yang kondusif

mendorong anak bekerja dalam usia dini. Di pedesaan, bagi anak-anak bekerja tidak

dipahami sebagai sebuah beban yang mengganggu, melainkan mereka justru acapkali

meresa dengan bekerja mereka dapat sekaligus memperbanyak teman dan bisa bermain

seusai bekerja. Bahkan ketika anak-anak bekerja bersama teman-temannya tidak

menganggap sebagai bermain bersama teman-temannya sekaligus mendapat uang, dalam

pepatah diibaratkan menyelam sambil minum air.

6. Faktor Hubungan Keluarga

Disamping beberapa faktor penyebab anak bekerja, tidak dapat dipungkiri adanya

faktor lain yang mendorong anak bekerja, yaitu dorongan atau ajakan dari sanak saudara.

Pada umumnya faktor saudara atau kerabat ini dilator belakangi oleh kondisi ekonomi

orang tua anak yang bekerja, atau ekonomi keluarga yang pas-pasan, meski kedua orang

tuanya sudah bekerja, tetapi belum mencukupi kebutuhan keluarga. Melihat hal ini kerabat

atau keluarga dekat lazimnya m,enwarkan kepada anak untuk ikut bekerja bersamanya

dengan alasan untuk ikut membantu ekonomi keluarga. Namun juga tidak tertutup

kemungkinan saudara yang mengajak anak untuk bekerja adalah saudara atau kerabat yang

lebih mampu secara ekonomi, dan memiliki usaha, baik dalam skala kecil maupun skala

menengah. Bahkan kemumngkinan juga yang meminta bekerja adalah anak yang
bersangkutan, atau orang tua dari anak yang bersangkutan, dengan alasan untuk menambah

penghasilan keluarga, atau sekedar untuk melatih anak untuk bekjera.

Ketrlibatan anak dalam aktivitas ekonomi secara penuh didasarkan pada trade of

yang optimal. Anak-anak harus terpaksa meninggalkan bangku sekolah, untuk bekerja

penuh dalam rangka ikut meningjatkan pendapatan keluarga yang umumnya sangat

marginal. Paling tidak demikianlah anggapan anggota keluarga terhadap anak yang harus

bekerja dalam keadaan masyarakat miskin. Bertambahnya anggota keluarga yang mencari

nafkah, maka oendapatan per kapita keluarga diharapkan naik meskipun anak harus

meninggalkan bangku sekoklah.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut doatas maka dapat dikatakan bahwa PT Hutan

Unggul Persada (PT.HUP) telah mengeksploitasi anak dijadikan sebagai pekerja pada

perusahaannya.

Bentuk eksploitasi anak dapat berupa pelanggaran terhadap Undang-undang

Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerejaan. Yaitu dengan adanya pelanggaran.

1. Murahnya upah kerja sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan yaitu lebih

besar.

2. Pemberlakuan jam kerja disamakan dengan jam kerja orang dewasa

3. Tidak diberlakukan hak-hak pekerja seperti hak atas perlindungan kesehatan dan

hak keselamatan kerja

B. Penegakan Hukum Pidana terhadap Pelaku Usaha Yang Mempekerjakan Anak

Penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang mempekerjakan anak

dalam kasus pabrik teh PT Hutan Unggul Perrsada (PT.HUP) yang beralamat di Jl Sultan

Ageng Tirtayasa No 21 Desa Kedung Jaya, Kecamatan Kedawung Kabupaten Cirebon


dimana Perusahaan tersebut dilaporkan oleh masyarakat karena mempekerjakan sekitar 80

anak-anak denga usia sekitar 12 sampai 15 tahun yang berasal dari lingkungan sekitar

pabrik, adapun dari jumlah tersebut laki-laki berjumlah 37 anak dan perempuan berjumlah

43 anak. Dalam hal ini pihak perusahaan melanggar ketenmtuan Undang-undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan.

Dalam berita acara pemeriksaan PT Hutan Unggul Persada (PT.HUP) telah

melanggar Pasal 88 Undang-undang Perlindungan Anak menyebutkan:

“Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling

lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2000.000.000,00 (Dua Ratus

Juta Rupiah)”

Perbuatan tersebut diatas melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa nak adalah setiap orang yang berumur 18 (delapan

belas) tahun, dan juga telah ditegaskan dalam Pasal 68 Undang-undang Ketenagakerjaan

bahwa setiap pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Tetapi ketentuan Pasal 68 dapat

dikecualikan bagi anak berumur 13 (tiga belas) tahun sampai 15 (lima belas) tahun untuk

melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan

fisik, mental dan sosialnya sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 69 ayat (1).

Pada dasarnya, pengusaha dilarang mempekerjakan anak (dilihat Pasal 68 UUK).

Namun,ketentuan tersebut tidak bersifat mutlak. Ketentuan tersebut dikecualikan dalam

beberapa kondisi sebagai berikut

1. Bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai deengan 15 (lima belas)

tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan

dan kesehatan fisik, mental dan social (dilihat Pasal 69 ayat [1] UUK). Untuk
mempekerjakan anak untuk pekerjaan ringan ini harus ada (lihat Pasal 69 ayat [2]

UUK):

a. Izin tertulis dari orang tua atau wali

b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali

c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam

d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah

e. Keselamatan dan kesehatan kerja

f. Adanya hubungan kerja yang jelas

g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku

2. Bagi anak yang berumur sedikitnya 14 (empat belas) tahun, dapat melakukan

pekerjaan ditempat yang merupakan bagian dsri kurikulum pendidikan atau pelatihan

yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (lihat Pasal 70 ayat [2] UUK). Pekerjaan

yang sesuai dengan kurikulum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini

dalam praktiknya sering disebut Praktek Kerja Lapangan.

3. Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya dengan

syarat (lihat pasal 71 UUK):

a. Dibawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali

b. Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari

c. Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik

UUK tidak mengatur secara khusus mengenai mempekerjakan anak berusia 16

(enam belas) tahun. Namun, konsukltan hukum Ketenagakerjaan Umar Kasim dalam

artikel Usia Minimum Kerja menyatakan:

“Untuk anak yang berumur antara 15 s/d 18 tahun sudah dapat dipekerjakan (secara

normal/umum) akan tetapi tidak boleh dieksploitasi untuk bekerja pada pekerjaan-

pekerjaan yang membahayakan (the worst forms) baik ancaman/bahaya bagi kesehatan
maupun keselamatan atau moral si anak pada usia ini, anak sudah dianggap cakap

(bekwaan) untuk melakukan hubungan kerja tanpa kuasa/wali (pasal 2 ayat [3]

kepmenakertrans No Kep-235/Men/2003 dan konvensi ILO No 138 serta konvensi ILO No

182)”

Sebagai kesimpulan, anak berumur 16 (enam belas) tahun dimungkinkan

untuk bekerja sepanjang memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana telah kami paparkan

diatas. Bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dalam hal mempekerjakan anak, maka

ada sanksi yang dapat dikenakan terhadap pengusaha. Sanksnya antara lain sebagai berikut:

- Barangsiapa mempekerjakan anak dan melanggar Pasal 68 dan Pasal 69 ayat [2]

UUK dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama

4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400

juta (lihat Pasal 185 ayat [1] UUK)

- Sedanhkan pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat [2] UUK dikenakan sanksi pidana

kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan pling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau

denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp100 juta (lihat Pasal 187 ayat

[1] UUK)

Jadi bilamana pelaku usaha yang mempekerjakan anak dan terbukti melanggar

hal-hal tersebut diatas, maka aka nada sanksi hukum yang dikenakan terhadap pelaku usaha

tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya pelaku usaha memastikan bahwa pelaku usaha telah

memenuhi syarat-syarat untuk mempekerjakan anak dan tidak melanggar ketentuan-

ketentuan tersebut diatas.

Perlindungan hukum terhadap pekerja anak tidak dapat dilepaskan dengan hak

asasi manusia, sebab secara konstitusional. Indonesia telah mengakui hak untuk bekerja

didalam Pasal UUD 1945, dan termasuk didalam klasifikasi hak yang bersifat asasi. Sela
njutnya mengenai hak bagi setiap orang untuk bekerja ini dapat dilihat di dalam ketentuan

Pasal 28D ayat (2) yang selengkanya dirumuskan:

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang adil serta perlakuan yang

sama dihadapan hukum

(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang

adil dan layak dalam hubungan kerja

(3) Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan

(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan

Pengaturan terhadap hak asasi ini selanjutnya dituangkan didalam Undang-undang

Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya di dalanm ketentuan Pasal

1 ayat (1), mengenai pengertian Hak Asasi Manusia dirumuskan sebagai berikut

“seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk

Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung

tinggi oleh Negara, hukum pemerintah dan setiap orang, demi penghormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Hak Asasi Manusia ialah hak yang dimiliki oleh seseorang karena orang itu adalah

manusia. Senada dengan pendapat tersebut. Suhardi menyatakan, :haknasasi manusia

adalah hak yang melekat pada pribadi manusia sejak manusia dilahirkan untuk

memopertahankan martabat dan nilai kemanusiaannya (human worth and dignity) yang

tidak mengenal pengotakan ras, bangsa, agama, derajat serta kedudukan”. HAM inherent

dengan kodrat manusia, merupakan keleluasaan atau kebebasan manusia yang diterima dan

dihargai sebagai nilai-nilai sosial yang masing-masing dan bersama-sama mutlak

dibutuhkan untuk perwujudan realitas manusia, yaitu seasli-aslinya seperti yang digariskan
oleh Tuhan. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ini telah

mengimplementasikan keinginan ketentuan Pasal 28D UUD 1945 sebagai hukum dasar

yang mempunyai kedudukan tertinggi di Indonesia. Diaturnya hak untuk bekerja melalui

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut, secara normative dapat dikatakan semakin

mempertegas keberadaan hak bekerja bagi setiap warga Negara, sekaligus sebagai upaya

pengakuan, pemenuhan, dan jaminan perlindungan hukum terhadap hak beklerja bagi

setiap warga Negara, yang selama ini pengaturannya di dalam UUD 1945 hanya bersifat

mendasar.

Selanjutnya uoaya perlindungan hukum pemerintah pekerja anak dilakukan dalam

bentuk pembatasan jenis-jenis atau bentuk-bentuk pekerjaan yang dilarang untuk

dikerjakan anak. Selanjutnya mengenai hal ini dapat dilihat didalam Keputusan Presiden

Nomor 59 Tahun 2002 tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan yang Dilarang Untuk Anak, dan

juga Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-235/MEN/2003

tentang jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan keselamatan, kesehatan, an moral anak,

yang pada prinsipnya melarang anak untuk bekerja pada jenis-jenis pekerjaan tertentu.

Secara yuridis terkait dengan larangan pekjerja anak ini, juga mewajibkan pemerintah

untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan , hal ini telah diatur di dalam ndang-

undang Nomor 13 Tahun 2003 tetang Ketenagakerjaan, sebagaimana tertuang didalam

ketentuan Pasal 75, yang dirumuskan:

1. Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yan bekerja diluar

hubungan kerja

2. Upaya penanggulangan sebagaiamana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan

Pemerintah

Selanjutnya ketentuan Pasal 75 tersebut diantaranya ditindak lanjuti dengan peraturan

khusus berkaitan dengan pengembangan bakat dan minat anak, yang diatur didalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kep.115/MEN/VII/2004 tentang

Perlindungan Bagi Anak yang ditetapkan pada tanggal 7 juli 2004. Jenis-jenis pekerjaan

yang membahayakan terhadap anak diatur dalam Keoputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Nomor: KEP.235/MEN/2003 tentang jenis0-jenis pekerjaan yang

membahsayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak yang ditetapkan pada tanggal 31

ojktober 2003. Selanjutnya dalam KEP.235/MEN/2003 ini memberikan kewajiban kepada

pemerintah untuk menanggulangi anak yang bekerja diluar hubungan kerja dan upaya

penanggulangan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hubungan kerja antara anak

yang bekerja dan pihak yang mempekerjakan anak dapat terjadi, baik pada perusahaan

yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, seperti pada industry rumahan

atau honme industry, sebagai pelayan toko dan lain sebagainya

Kondisi factual banyakbntya pekerja anak ini tidak jarang dimanfaatkan oleh pihak-

pihak tertentu, khususnya pengusaha atau pemberi kerja, yang mempekerjakan anak tanpa

memenuhi persyaratan-persyaratan sebagaimana ditentukan di dalam Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 69 ayat (2) tentang

persyaratan mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan, khususnya anak-anak yang

bekerja di sector informal, seperti penjual Koran, indutri rumah tangga atau home industry,

bahkan anak0-anak yang dilacurkan atau trafficking. Konsep perlindungan hukum yang

mengatur pekerja anak dalam undang-undang ketenagakerjaan besetta peraturan

pelaksanaannya, sebenarnya sudah cukup baik, karena sudah mengandung aspek normative

dan aspek doctrinal. Sebagai contoh dalam ketentuan Pasal 75 Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang dirumuskan “pemerintah berkewajiban untuk

melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja diluar hubungan kerja”. Namun

sampai saat ini pemerintah belum juga pernah mengeluarkan seperangkat peraturan sebagai

peraturan pelaksanaan dari ketentuan tersebut khususnya dalam bentuk Petraturan


Pemerintah. Berkaitan dengan pekerja anak yang bekerja diluar sector formal atau anak

yang bekerja di sector informal. Pengaturannya saat ini masih menyandarkan pada Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2002 btentang perlindungan anak.

BAB V

A. Kesimpulan

1. Eksploitasi pekerja anak pada perusahaan Hutan Unggul Persada Cirebon adalah

disebabkan karena dua faktor yaitu:

a. Faktor diri anak itu sendiri seperti Faktor Ekonomi, Faktor Orang Tua, Faktor

Budaya (Kebiasaan), Kemauan Sendiri (Kemandirian), Faktor Lingkungan,

Faktor Hubungan Keluarga.

b. Faktor perusahaan, adapun faktor mempekerjakan anak oleh periusahaan adalah

disebabkan karena faktor: Murahnya upah kerja sehingga perusahaan

mendapatkan keuntungan yang lebih besar, Pekerja anak tidak terlalu banyak

tuntutan, Pekerja anak lebih mudah diatur oleh majikan, Pekerja anak lebih

mudah diatur oleh majikan, Pekerja anak lebih rajin dalam menjalankan

pekerjaannya.

2. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang mempekerjakan anak dilakukan

penyelidikan dan penangkapan oleh POLRES Cirebon dalam kasus pabrik teh PT Hutan

Unggul Persada (PT.HUP) yang beralamat di Jl Sultan Ageng Tirtayasa No.21 Desa

Kedung Jaya, Kecamatan Kedawung Kabupaten Cirebon dalam berita acara


pemeriksaan PT Hutan Unggul Persada (PT.HUP) telah melanggar Pasal 88 Undang-

undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dan perbuatan tersebut juga

melanggar ketentuan Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

khususnya Pasal 68, sehingga pelaku usahatersebut dapat dikenakan sanksi pidana

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4(empat) tahun dan/atau denda

paling sedikit Rp 100 dan paling banyak Rp 400 juta.

B. Saran-Saran

Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak yaitu rasional positif, dan

dipertanggung jawabkan serta bermanfaat ingin dikemukakan beberapa saran sebagai

berikut:

a. Pemerintah melalui pemerintah daerah seyogyanya segera mewujudkan

kesejahteraan masyarakat, sehingga kebutuhan ekonomi masyarakat tercukupi yang

secara otomatis akan berdampak pada pengurangan pekerja anak.

b. Pengusaha harus sungguh memperhatikan tentang ketentuan yang melarang

mempekerjakan anak, tidak hanya beriorientasi pada keuntungan dengan

mengabaikan keselamatan dan perlindungan anak.

c. Pemetrintah harus secara sungguh-sungguh melakukan pengawasan terhadap

peraturan perundang-undangan ketenaga kerjaan, khususnya melalui pengawasan

terhadap kondisi ketenagakerjaan di masing-masing perusahaan dengan

mewajibkan pembuatan laporan secara berkala.

d. Meningkatkan pembinaan dan penyuluhann kepada pengusaha maupun masyarakat

terhadap pentingnya masalah ketenagakerjaan, dan perlindungan hukum

ketenagakerjaan.

Anda mungkin juga menyukai