Anda di halaman 1dari 24

MATERI MODUL 1.

4
1.4.a.4.1. Disiplin Positif dan Nilai-nilai Kebajikan Universal

1. TEORI KONTROL
Selanjutnya psikiater dan pendidik, Dr. William Glasser dalam Control
Theory yang kemudian hari berkembang dan dinamakan Choice Theory,
meluruskan beberapa miskonsepsi tentang makna ‘kontrol’.
 Ilusi guru mengontrol murid.
Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu
jikalau murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun
tampaknya guru sedang mengontrol perilaku murid, hal demikian terjadi
karena murid sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu bentuk kontrol
guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Teori Kontrol
menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, bahkan terhadap
perilaku yang tidak disukai.
 Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat.
Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha
untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah
suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam jangka waktu tertentu,
kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya, dan mencoba untuk
menolak bujukan kita atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung pada
pendapat sang guru untuk berusaha.
 Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat
menguatkan karakter.
Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada
identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka.
Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif. Kadang kala sulit bagi
guru untuk mengidentifikasi bahwa mereka sedang melakukan perilaku ini,
karena seringkali guru cukup menggunakan ‘suara halus’ untuk
menyampaikan pesan negatif.
 Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.
Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung
jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun yang
dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan berdasarkan
sebuah pengukurn kinerja. Pada saat itu pula, orang dewasa akan
menyadari bahwa perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu
panjang, dan sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk.
STIMULUS RESPON
 Bagaimana seseorang bisa berubah dari paradigma Stimulus-Respon
kepada pendekatan teori Kontrol? Stephen R. Covey (Principle-Centered
Leadership, 1991) mengatakan bahwa,
 “..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap
atau perilaku Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama
kita, maka kita perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana
Anda melihat dunia, bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah
paradigma Anda, skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu
tentang realitas”.

Makna Kata Disiplin


Ketika mendengar kata “disiplin”, apa yang terbayang di benak Anda? Apa yang
terlintas di pikiran Anda? Kebanyakan orang akan menghubungkan kata disiplin
dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan. Kata “disiplin” juga
sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda, karena
belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu
adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak digunakan sama sekali.
Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan
seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung
menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.
Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa
“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun
disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan
sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan
self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian
itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka.
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan
Kelima, 2013, Halaman 470)
Disitu Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam
konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat
utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah
disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi
internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi
eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri.
Adapun definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah:
mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa
amandiri priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan
tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri)
Pemikiran Ki Hajar ini sejalan dengan pandangan Diane Gossen dalam bukunya
Restructuring School Discipline, 2001. Diane menyatakan bahwa arti dari kata
disiplin berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’, yang artinya ‘belajar’. Kata
‘discipline’ juga berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple’ atau
murid/pengikut. Untuk menjadi seorang murid, atau pengikut, seseorang harus
paham betul alasan mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran tertentu,
sehingga motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
Diane juga menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga berkonotasi
dengan disiplin diri dari murid-murid Socrates dan Plato. Disiplin diri dapat
membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan, sesuatu
yang dihargai dan bermakna. Dengan kata lain, disiplin diri juga mempelajari
bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih
tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai.
Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa
bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan
tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Dalam hal ini Ki Hajar
menyatakan;
“...pertanggungjawaban atau verantwoordelijkheld itulah selalu menjadi sisihannya
hak atau kewajiban dari seseorang yang pegang kekuasaan atau pimpinan dalam
umumnya. Adapun artinya tidak lain ialah orang tadi harus
mempertanggungjawabkan dirinya serta tertibnya laku diri dari segala hak dan
kewajibannya.
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan
Kelima, 2013, Halaman 469)
Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki
disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-
nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.

Nilai nilai kebajikan


Profil Pelajar Pancasila
o Beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia.
o Mandiri
o Bernalar Kritis
o Berkebinekaan Global
o Bergotong royong
o Kreatif
IBO Primary Years Program (PYP)
Sikap Murid:
o Toleransi
o Rasa Hormat
o Integritas
o Mandiri
o Menghargai
o Antusias
o Empati
o Keingintahuan
o Kreativitas
o Kerja sama
o Percaya Diri
o Komitmen

1.4.a.4.2. Teori Motivasi, Hukuman dan Penghargaan, Restitusi


Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3
motivasi perilaku manusia:
1. Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman
Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang
yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau
ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak
melakukannya? Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan
yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik,
psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak
melakukan tindakan tersebut. Motivasi ini bersifat eksternal.
2. Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.
Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk
mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan
motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya
melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan
pujian dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan
dalam dunia berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk
mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan. Motivasi ini juga bersifat
eksternal.
3. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri
sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti
apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai
yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka
ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut.
Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif
karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki


kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka,
dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan
proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk
masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa
yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang
lain (Chelsom Gossen, 1996).

HUKUMAN
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki
kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan
karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses
kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka,
dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan,
dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen,
1996).

hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Anak atau murid tidak tahu apa
yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru
yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu
kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya.
Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun psikis, murid/anak disakiti oleh
suatu perbuatan atau kata-kata.
Sementara disiplin dalam bentuk konsekuensi, sudah terencana atau sudah
disepakati; sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Umumnya
bentuk-bentuk konsekuensi dibuat oleh pihak guru (sekolah), dan murid
sudah mengetahui sebelumnya konsekuensi yang akan diterima bila ada
pelanggaran. Pada konsekuensi, murid tetap dibuat tidak nyaman untuk
jangka waktu pendek. Konsekuensi biasanya diberikan berdasarkan suatu
data yang umumnya dapat diukur, misalnya, setelah 3 kali tugasnya tidak
diselesaikan pada batas waktu yang diberikan, atau murid melakukan
kegiatan di luar kegiatan pembelajaran, misalnya mengobrol, maka murid
tersebut akan kehilangan waktu bermain, dan harus menyelesaikan tugas
karena ketertinggalannya. Peraturan dan konsekuensi yang mengikuti ini
sudah diketahui sebelumnya oleh murid. Sikap guru di sini senantiasa
memonitor murid.

Dihukum oleh Penghargaan


Pengaruh Jangka Pendek dan Jangka Panjang
o Penghargaan efektif jika kita menginginkan seseorang melakukan sesuatu
yang kita inginkan, dalam jangka waktu pendek.
o Jika kita menggunakan penghargaan lagi, dan lagi, maka orang tersebut
akan bergantung pada penghargaan yang diberikan, serta kehilangan
motivasi dari dalam.
o Jika kita mendapatkan penghargaan untuk melakukan sesuatu yang baik,
maka selain kita senantiasa berharap mendapatkan penghargaan tersebut
lagi, kita pun menjadi tidak menyadari tindakan baik yang kita lakukan.

Penghargaan Tidak Efektif


o Suatu penghargaan adalah suatu benda atau peristiwa yang diinginkan,
yang dibuat dengan persyaratan: Hanya jika Anda melakukan hal ini,
maka Anda akan mendapatkan penghargaan yang diinginkan.
o Jika saya mengharapkan suatu penghargaan dan tidak mendapatkannya,
maka saya akan kecewa dan berkecil hati, serta kemungkinan lain kali
saya tidak akan berusaha sekeras sebelumnya.
o Jika kita memberikan seseorang suatu penghargaan untuk melakukan
sesuatu, maka kita harus terus menerus memberikan penghargaan itu jika
kita ingin orang tersebut meneruskan perilaku yang kita inginkan.
o Orang yang berusaha berhenti merokok, atau orang yang berusaha diet
menguruskan badan bila diberikan penghargaan hampir pasti tidak
berhasil.

Penghargaan Merusak Hubungan


o Ketika seorang diberi penghargaan atau dipuji di depan orang banyak,
maka yang lain akan merasa iri, dan sebagian dari mereka akan tidak
menyukai orang yang diberikan penghargaan tersebut.
o Jika seorang guru sering memberikan penghargaan kepada murid-
muridnya, besar kemungkinan murid-muridnya termotivasi hanya untuk
menyenangkan gurunya. Mereka tidak akan bersikap jujur kepada guru
tersebut.
o Penghargaan menciptakan persaingan di dalam kelas, dan persaingan
menciptakan kecemasan.
o Mereka yang percaya bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk
mendapatkan penghargaan akan berhenti mencoba.

Penghargaan Mengurangi Ketepatan


o Riset I: Dalam sebuah percobaan, sekelompok anak laki-laki berusia sekitar 9
tahun diminta untuk melihat gambar-gambar wajah yang ditampilkan di layar,
dan mereka harus memberitahukan jika wajah-wajah tersebut sama atau
berbeda. Gambar-gambar tersebut hampir sama. Beberapa dari mereka
diberi penghargaan (dalam bentuk uang) pada saat mereka memberikan
jawaban benar, sementara sebagian yang lain tidak.
o Hasil: Anak laki-laki yang dibayar membuat lebih banyak kesalahan.
o

o Riset II: Anak-anak diminta mengingat kata-kata tertentu, kemudian mereka


diminta mengambil kartu yang berisi kata-kata yang diingat tersebut setiap
kali muncul. Beberapa anak diberikan permen setiap mereka memberikan
jawaban yang benar, dan sebagian yang lain hanya diberitahu saja bila
jawaban mereka benar.
o Hasil: Anak-anak yang mendapatkan permen jawabannya banyak yang tidak
tepat dibandingkan anak-anak yang hanya diberitahu jawabannya benar.

Penghargaan Menurunkan Kualitas


Pengamatan dilakukan pada sekelompok mahasiswa/i yang sedang kerja praktik di
sebuah surat kabar universitas; saat itu mereka sedang belajar menuliskan sebuah
artikel tentang sebuah judul berita utama. Seiring waktu mahasiswa/i tersebut
semakin mampu bekerja dengan cepat. Kemudian, ada beberapa mahasiswa/i yang
dibayar untuk setiap judul berita utama yang mereka mampu hasilkan, dan setelah
beberapa lama mahasiswa/i yang dibayar ini hasil kinerjanya berhenti berkembang.
Mereka yang tidak menerima bayaran terus berupaya mengasah diri menjadi lebih
baik.

Penghargaan Mematikan Kreativitas


o Murid-murid diminta berpikir mengenai hadiah atau penghargaan yang
bisa mereka dapatkan bila berhasil menulis sebuah puisi. Kreatifitas
kelompok murid-murid ini menjadi berkurang, dibandingkan dengan yang
tidak diberitahukan tentang hadiah yang bisa mereka terima.
o Penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan seni atau sebuah penulisan
cerita menjadi kurang kreatif bila dijanjikan sebuah hadiah/penghargaan.
o Dalam tugas-tugas memecahkan masalah, para murid memakan waktu
lebih lama dan memberikan jalan keluar kurang kreatif, saat mereka
dijanjikan suatu penghargaan.

Penghargaan Menghukum
o Penghargaan ‘menghukum’ mereka yang tidak mendapatkan
penghargaan. Misalnya dalam sistem ‘ranking’. Mereka yang
mendapatkan ranking kedua akan merasa paling ‘dihukum’.
o Memberikan penghargaan dan hukuman adalah hal yang sama, karena
keduanya mencoba mengendalikan perilaku seseorang.
o Karena orang pada dasarnya tidak suka dikendalikan, dalam jangka waktu
lama, penghargaan akan terlihat sebagai hukuman.
o Jika suatu penghargaan diharapkan, namun Anda tidak mendapatkannya,
Anda akan merasa dihukum

Motivasi dari Dalam Diri (Intrinsik)


o Saat seorang anak belajar untuk pertama kali, menggabungkan huruf-
huruf dan kata-kata, serta menyadari bahwa ia dapat membaca, timbul
pijar di matanya dan sebuah senyuman di wajahnya. Anak tersebut begitu
gembira bahwa ia telah mempelajari dan menguasai suatu keterampilan
baru. Kesadaran akan kemampuannya bahwa ‘dia’ sudah dapat
membaca, sesungguhnya sudah merupakan sebuah penghargaan.
o Jika kita memberikan penghargaan kepada seorang anak pada saat dia
sedang merasa bangga dengan pencapaiannya sendiri, maka kita akan
mengambil kegembiraan yang saat itu sedang dirasakan secara alamiah.

Restitusi Sebuah Cara Menanamkan disiplin positif Pada Murid Restitusi


adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan
mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan
karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004) Restitusi juga adalah proses
kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan
membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan,
dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen,
1996). Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif,
dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada
bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari
ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai
nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Sebelumnya kita telah belajar
tentang teori kontrol bahwa pada dasarnya, kita memiliki motivasi intrinsik.
Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan
cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang apa
yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan
mendapatkan kembali harga dirinya.

Restitusi menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang


telah berbuat salah. Ini sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William
Glasser tentang solusi menangmenang. Ada peluang luar biasa bagi murid
untuk bertumbuh ketika mereka melakukan kesalahan, bukankah pada
hakikatnya begitulah cara kita belajar. Murid perlu bertanggung jawab atas
perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat memilih untuk belajar
dari pengalaman dan membuat pilihan yang lebih baik di waktu yang akan
datang. Ketika guru memecahkan masalah perilaku mereka, murid akan
kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk
hidup mereka.
Di bawah ini adalah ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan program
disiplin lainnya. Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk
belajar dari kesalahan Dalam restitusi, ketika murid berbuat salah, guru tidak
mengarahkan untuk menebus kesalahan dengan membayar sejumlah uang,
memperbaiki kerugian yang timbul, atau sekedar meminta maaf. Karena
kalau fokusnya kesana, maka murid yang berbuat salah akan fokus pada
tindakan untuk menebus kesalahan dan menghindari ketidaknyamanan, yang
bersifat eksternal, bukannya pada upaya perbaikan diri, yang lebih bersifat
internal. Biasanya setelah menebus kesalahan, orang yang berbuat salah
akan merasa sudah selesai dengan situasi itu sehingga merasa lega, dan
seolah-olah kesalahan tidak pernah terjadi. Terkadang bisa juga muncul
perasaan ingin balas dendam, bila orang yang berbuat salah sebetulnya
merasa tidak rela harus melakukan sesuatu untuk menebus kesalahannya.
Kalau tindakan untuk menebus kesalahan dipahami sebagai hukuman, maka
mungkin mereka berpikir untuk membuat situasinya menjadi impas.
Pembalasan seperti ini akan berdampak jangka panjang karena konfliknya
akan tetap ada. Menebus kesalahan itu tidak salah, namun biasanya tidak
membuat kita menjadi pribadi yang lebih kuat. Restitusi sebenarnya juga
meliputi usaha untuk menebus kesalahan, tetapi sebaiknya merupakan
inisiatif dari murid yang melakukan kesalahan. Proses pemulihan akan terjadi
bila ada keinginan dari murid yang berbuat salah untuk melakukan sesuatu
yang menunjukkan rasa penyesalannya. Fokusnya tidak hanya pada
mengurangi kerugian pada korban, tapi juga bagaimana menjadi orang yang
lebih baik dan melakukan hal baik pada orang lain dengan kebaikan yang ada
dalam diri kita. Ketika murid belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih baik
untuk masa depan, mereka akan mendapatkan pelajaran yang mereka bisa
pakai terus menerus di masa depan untuk menjadi orang yang lebih baik.
Restitusi memperbaiki hubungan Restitusi adalah tentang memperbaiki
hubungan dan memperkuatnya. Restitusi juga membantu murid-murid dalam
hal mereka ingin menjadi orang seperti apa dan bagaimana mereka ingin
diperlakukan. Restitusi adalah proses refleksi dan pemulihan. Proses ini
menciptakan kondisi yang aman bagi murid untuk menjadi jujur pada diri
mereka sendiri dan mengevaluasi dampak dari tindakan mereka pada orang
lain. Ketika proses pemulihan dan evaluasi diri telah selesai, mereka bisa
mulai berpikir tentang apa yang bisa dilakukan untuk menebus kesalahan
mereka pada orang yang menjadi korban. Restitusi adalah tawaran, bukan
paksaan Restitusi yang dipaksa bukanlah restitusi yang sebenarnya, tapi
konsekuensi. Bila guru memaksa proses restitusi, maka murid akan bertanya,
apa yang akan terjadi kalau saya tidak melakukannya. Misalnya mereka
sebenarnya tidak suka konsekuensi yang guru sarankan, mereka mungkin
akan setuju dan akan melakukannya, tapi karena mereka menghindari
ketidaknyamanan atau menghindari kehilangan kebebasan atau diasingkan
dari kelompok. Mereka akan percaya kalau mereka menyakiti orang, maka
mereka juga tersakiti, maka mereka pikir itu impas. Seorang anak yang
memukul temannya akan mengatakan, “Kamu boleh pukul aku balik, biar
impas”. Memaksa melakukan restitusi bertentangan dengan perkembangan
moral, yaitu kebebasan untuk membuat pilihan. Oleh karena itu, penting bagi
guru untuk menciptakan kondisi yang membuat murid bersedia
menyelesaikan masalah dan berbuat lebih baik lagi, dengan berkata, “Tidak
apa-apa kok berbuat salah itu manusiawi. Semua orang pasti pernah berbuat
salah”. Pembicaraan ini bersifat tawaran, bukan paksaan, bukan mengatakan,
“Kamu harus lakukan ini, kalau tidak maka…” Restitusi menuntun untuk
melihat ke dalam diri Dalam proses restitusi kita akan melihat adanya
ketidakselarasan antara tindakan murid yang berbuat salah dan keyakinan
mereka tentang orang seperti apa yang mereka inginkan. Untuk membimbing
proses pemulihan diri, guru bisa bertanya pada mereka: • Kamu ingin menjadi
orang seperti apa? • Kamu akan terlihat, terdengar, dan terasa seperti apa
kalau kamu sudah menjadi orang yang seperti itu? • Apa yang kamu percaya
tentang bagaimana orang harus memperlakukan orang lain? • Bagaimana
kamu mau diperlakukan ketika kamu berbuat salah? • Apa nilai yang
diajarkan di keluargamu tentang hal ini? Apakah kamu memegang nilai ini? •
Kalau tidak, lalu apa yang kamu percaya? Kita tidak ingin menciptakan rasa
bersalah pada diri anak dengan bertanya seperti itu. Kalau guru melihat rasa
bersalah di wajah murid, maka guru harus cepat-cepat mengatakan, “Tidak
apa-apa kok berbuat salah”. Ketika murid sudah dibimbing untuk
mengeksplorasi orang seperti apa yang mereka inginkan, guru bisa mulai
bertanya tentang kejadiannya, seberapa sering hal ini terjadi, apa yang ia
lakukan, ia berada di mana. Murid tidak akan berbohong pada guru. Restitusi
mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan Untuk berpindah dari
evaluasi diri ke restitusi diri, penting bagi murid untuk memahami dampak dari
tindakannya pada orang lain. Kalau murid paham bahwa setiap orang
memiliki kebutuhan dasar untuk dipenuhi, hal ini akan sangat membantu,
sehingga ketika murid melakukan kesalahan, mereka akan menyadari
kebutuhan apa yang sedang mereka coba penuhi, demikian juga kebutuhan
orang lain. Untuk membantu murid mengenali kebutuhan dasarnya, guru bisa
meminta mereka mengenali perasaan mereka. Perasaan sedih dan kesepian
menunjukkan adanya kebutuhan cinta dan kasih sayang yang tidak terpenuhi.
Perasaan dipaksa, atau terlalu banyak beban, menunjukkan kurangnya
kebutuhan akan kebebasan. Perasaan takut akan kelelahan, kelaparan,
menunjukkan pada kita kalau kita merasa tidak aman. Perasaan bosan
menunjukkan kurang terpenuhinya kebutuhan akan kesenangan. Restitusi diri
adalah cara yang paling baik Dalam restitusi diri murid belajar untuk
mengubah kebiasaan dari kecenderungan untuk mengomentari orang lain,
menjadi mengomentari diri sendiri.

Dr. William Glasser menyatakan, orang yang bahagia akan mengevaluasi diri
sendiri, orang yang tidak bahagia akan mengevaluasi orang lain. 3 Tahap
Evaluasi Diri: 1. Saya tidak suka cara saya berbicara padamu 2. Kesalahan
yang saya lakukan adalah − Saya sebenarnya punya informasi yang kamu
butuhkan − Saya lelah dan saya bicara terlalu cepat − Saya tidak jelas
menyampaikan apa yang saya inginkan − Pemahaman saya berbeda dengan
pemahamanmu 3. Besok lagi saya akan − Menyampaikan informasi yang
saya punya dan kamu butuhkan − Saya akan bicara lebih lambat − Saya akan
bicara lebih jelas tentang keinginan saya − Menyampaikan pemahaman saya
padamu Ketika murid bisa melakukan restitusi diri maka dia akan bisa
mengontrol dirinya dengan lebih baik dengan tujuan yang lebih baik pula.
Ketika Anda berhadapan dengan orang lain, dan melakukan evaluasi diri,
maka 9 dari 10 orang yang diajak bicara juga akan melakukan evaluasi diri
juga. Mungkin akan ada 1 dari 10 orang yang diajak bicara, justru akan
menggunakan kesempatan itu untuk menghukum Anda. Kalau ini terjadi,
tanyakan saja, apakah Anda mau menggunakan kesempatan ini untuk
menjelek-jelekkan saya atau Anda mau membuat situasi ini menjadi lebih
baik. Anda mau ke arah mana? Restitusi fokus pada karakter bukan tindakan
Dalam proses restitusi diri, maka murid akan menyadari dia sedang menjadi
orang yang seperti apa, yang itu adalah menunjukkan fokus pada penguatan
karakter. Ketika guru membimbing murid untuk penguatan karakter, guru
akan mengatakan, “Ibu/Bapak tidak terlalu mempermasalahkan apa yang
kamu lakukan hari ini, tetapi mari kita bicara tentang apa yang akan kamu
lakukan besok. Kamu bisa saja minta maaf, tapi orang akan lebih suka
mendengar apa yang akan kamu lakukan dengan lebih baik lagi. Restitusi
menguatkan Bisakah momen ketika murid melakukan kesalahan menjadi
sebuah momen yang baik? Jawabnya, tentu bisa, asalkan ia bisa belajar dari
kesalahan itu. Apa maksud dari kalimat kita bisa lebih kuat setelah kita belajar
dari kesalahan? Lebih kuat disini maksudnya bukan menekan perasaan kita
dalam-dalam. Kuat disini artinya menyadari apa yang bisa murid ubah, dan
murid benar-benar mengubahnya. Guru bisa bertanya, apa yang dapat kamu
ubah dari dirimu sendiri? Bagaimana kamu akan berubah? Restitusi fokus
pada solusi Dalam restitusi, guru menstabilkan identitas murid dengan
mengatakan, “Kita tidak fokus pada kesalahan, Bapak/ibu tidak tertarik untuk
mencari siapa yang benar, siapa yang salah. Restitusi mengembalikan murid
yang berbuat salah pada kelompoknya Mari kita lihat praktik pendidikan kita
yang seringkali memisahkan anak-anak dari kelompoknya, misalnya seorang
anak TK bersikap tidak kooperatif pada saat kegiatan mendengar dongeng
dari gurunya, anak itu disuruh keluar dari kelompoknya, atau anak itu diminta
duduk di belakang kelas atau di pojok kelas, disuruh keluar kelas ke koridor,
ke kantor guru, seringkali dibiarkan tanpa pengawasan. Kalau ada anak
remaja nakal, orangtua menyuruh pergi dari rumah. Padahal kalau mereka
jauh dari orang tuanya, orang tuanya jadi tidak bisa mengajari mereka dan
mereka tidak belajar nilai-nilai kebajikan. Kalau mereka tidak belajar,
bagaimana nasib generasi kita ke depan? Kalau kita menjauhkan remaja kita,
maka mereka akan putus hubungan dengan kita. Ketika anak berbuat salah,
kita tidak bisa memotivasi anak untuk menjadi baik, kita hanya bisa
menciptakan kondisi agar mereka bisa melihat ke dalam diri mereka. Kita
seharusnya mengajari mereka untuk menyelesaikan masalah mereka, dan
berusaha mengembalikan mereka ke kelompok mereka dengan karakter yang
lebih kuat. Disarikan dari Buku It’s All About WE; Rethinking Discipline using
Restitution, Third Edition,
1.4.a.4.3. Keyakinan Kelas
1.4.a.4.4. Kebutuhan Dasar Manusia dan Dunia Berkualitas
kebutuhan dasar manusia menurut Dr. William Glasser dalam choice theory dibagi
menjadi 5 yaitu
1.kebutuhan untuk bertahan hidup (survival),
2.kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging),
3.kebebasan (freedom)
4. kesenangan (fun)
5. penguasaan ( power)

1. Kebutuhan Bertahan Hidup Kebutuhan bertahan hidup (survival)


adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis untuk bertahan hidup
misalnya kesehatan, rumah, dan makanan. Kebutuhan biologis
sebagai bagian dari proses reproduksi termasuk kebutuhan untuk tetap
bertahan hidup. Komponen psikologis pada kebutuhan ini meliputi
kebutuhan akan perasaan aman. Dalam kasus Doni di atas, apabila
jawaban Doni ketika ditanya oleh Ibu Ambar adalah karena ia lapar
dan orangtuanya tidak membawakannya bekal makan siang, maka
kebutuhan dasar yang sedang berusaha dipenuhi oleh Doni, adalah
kebutuhan untuk bertahan hidup (survival).
2. Kasih sayang dan Rasa Diterima (Kebutuhan untuk Diterima)
Kebutuhan ini dan tiga kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan
psikologis. Kebutuhan untuk disayangi dan diterima meliputi kebutuhan
akan hubungan dan koneksi sosial, kebutuhan untuk memberi dan
menerima kasih sayang dan kebutuhan untuk merasa menjadi bagian
dari suatu kelompok. Kebutuhan ini juga meliputi keinginan untuk tetap
terhubung dengan orang lain, seperti teman, keluarga, pasangan
hidup, teman kerja, binatang peliharaan, dan kelompok dimana kita
tergabung. Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar kasih sayang
dan rasa diterima yang tinggi biasanya ingin disukai dan diterima oleh
lingkungannya. Mereka juga akrab dengan orang tuanya. Biasanya
mereka belajar karena suka pada gurunya. Bagi mereka, teman
sebaya sangatlah penting. Mereka juga biasanya suka bekerja dalam
kelompok. Dalam kasus diatas, apabila Doni menjawab bahwa
alasannya mengambil bekal temannya karena dia merasa senang
temannya jadi memperhatikan dia. Ketika temannya melaporkan
tindakannya itu pada gurunya, dan gurunya memberitahu orang
tuanya, sehingga orang tuanya jadi memperhatikan dia, maka
kebutuhan dasar yang sedang dipenuhi Doni adalah kebutuhan akan
kasih sayang dan rasa diterima.

3. Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan) Kebutuhan ini


berhubungan dengan kekuatan untuk mencapai sesuatu, menjadi
kompeten, menjadi terampil, diakui atas prestasi dan keterampilan kita,
didengarkan dan memiliki rasa harga diri. Kebutuhan ini meliputi
keinginan untuk dianggap berharga, bisa membuat perbedaan, bisa
membuat pencapaian, kompeten, diakui, dihormati. Ini meliputi self
esteem, dan keinginan untuk meninggalkan pengaruh. Anak-anak yang
memiliki kebutuhan dasar akan penguasaan yang tinggi biasanya
selalu ingin menjadi pemimpin, mereka juga suka mengamati sebelum
mencoba hal baru dan merasa kecewa bila melakukan kesalahan.
Mereka juga biasanya rapi dan sistematik dan selalu ingin mencapai
yang terbaik. Dalam kasus diatas, apabila jawaban Doni adalah dia
merasa hebat karena temannya jadi takut dengan dia dan menuruti
keinginannya, maka sebetulnya Doni sedang berusaha memenuhi
kebutuhan dasarnya akan kekuasaan.
4. Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan) Kebutuhan untuk bebas adalah
kebutuhan akan kemandirian, otonomi, memiliki pilihan dan mampu
mengendalikan arah hidup seseorang. Anak-anak dengan kebutuhan
kebebasan yang tinggi menginginkan pilihan, mereka perlu banyak
bergerak, suka mencoba-coba, tidak terlalu terpengaruh orang lain dan
senang mencoba hal baru dan menarik. Bila jawaban Doni dalam
kasus diatas adalah bahwa dia merasa bosan dengan bekal makanan
yang dibawakan ibunya dari rumah, karena ibunya selalu
membawakan bekal yang sama, oleh karena itu dia ingin mencoba
makanan teman-temannya yang beraneka ragam, maka Doni sedang
berusaha memenuhi kebutuhannya akan kebebasan
5. Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang) Kebutuhan akan
kesenangan adalah kebutuhan untuk mencari kesenangan, bermain,
dan tertawa. Bayangkan hidup tanpa kenikmatan apa pun, betapa
menyedihkan. Glasser menghubungkan kebutuhan akan kesenangan
dengan belajar. Semua hewan dengan tingkat intelegensi tinggi
(anjing, lumba-lumba, primata, dll) bermain. Saat mereka bermain,
mereka mempelajari keterampilan hidup yang penting. Manusia tidak
berbeda. Anak-anak dengan kebutuhan dasar kesenangan yang tinggi
biasanya ingin menikmati apa yang dilakukan. Mereka juga bisa
berkonsentrasi tinggi saat mengerjakan hal yang disenangi. Mereka
suka permainan dan suka mengoleksi barang, suka bergurau, suka
melucu dan juga menggemaskan. Bahkan saat mereka bertingkah laku
buruk, mereka masih terlihat lucu. Dalam kasus diatas, bila Doni
menjawab bahwa ia melakukannya karena iseng saja dan ia menikmati
ekspresi wajah teman-temannya yang kesal karena diambil
makanannya dan menurut dia, ekspresi teman-temannya itu lucu.
Maka berarti Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhannya akan
kesenangan. Disarikan dari berbagai sumber
Dunia Berkualitas
Dunia Berkualitas
Dunia Berkualitas Anda adalah tempat khusus dalam pikiran Anda, tempat Anda
menyimpan gambaran representasi dari semua yang Anda inginkan: bisa berisi
orang-orang, hal-hal dan apa saja yang terbaik dalam hidup Anda dan membuat
Anda merasa bahagia dan terpenuhi kebutuhan dasar Anda. Dr. William Glasser
menyebutnya seperti semacam album foto sehingga isinya tidak akan terlalu
banyak, hanya akan terdiri dari beberapa hal saja yang sangat signifikan dan
benar-benar terbaik dalam hidup Anda yang membuat hidup Anda menjadi lebih
bermakna. Kebutuhan dasar bersifat lebih umum dan universal, sedangkan dunia
berkualitas lebih unik dan personal.
Orang, tempat, benda, nilai-nilai, dan kepercayaan yang penting bagi Anda akan
termasuk di sana. Untuk masuk ke dunia berkualitas, syaratnya adalah bahwa
sesuatu itu harus terasa sangat baik bagi Anda dan memenuhi setidaknya satu
atau lebih kebutuhan dasar Anda. Dalam menentukan segala sesuatu yang masuk
dalam dunia berkualitas, tidak perlu kita terlalu mempertimbangkan standar
masyarakat tentang apa saja yang penting dan yang tidak. Gambaran dunia
berkualitas adalah unik dan spesifik untuk setiap orang. Jika Anda bisa hidup di
dunia berkualitas Anda, hidup akan sempurna buat Anda, tapi sayangnya, Anda
tidak bisa tinggal di sana.
Murid kita juga mempunyai gambaran dunia berkualitas mereka. Tentunya sebagai
guru kita ingin mereka memasukkan hal-hal yang bermakna dan nilai-nilai
kebajikan yang hakiki ke dalam dunia berkualitas mereka. Bila guru dapat
membangun interaksi yang memberdayakan dan memerdekakan murid, maka
murid akan meletakkan dirinya sendiri sebagai individu yang positif dalam dunia
berkualitas karena mereka menghargai nilai-nilai kebajikan.
1.4.a.4.5. Restitusi - Lima Posisi Kontrol
5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam
melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat
Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer.

1. Penghukum
Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang
yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah
memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam
lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata:
“Patuhi aturan saya, atau awas!”
“Kamu selalu saja salah!”
“Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”
Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa
berhasil, yaitu cara dia.

Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-
nunjuk menghardik):
“Terlambat lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang
tepat waktu?”Tanyakan kepada diri Anda:Bagaimana perasaan murid bila guru
berbicara seperti itu pada saat muridnya datang terlambat?
Hasil:
Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif. Bisa jadi sesudah
kembali duduk, murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya.
Lebih buruk lagi, sepulang sekolah, murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru
dan akan menggores kendaraan tersebut dengan paku.

2. Pembuat Merasa Bersalah


Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah
akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman,
bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:
“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”
“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”
“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”
Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid
merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.

Pembuat Merasa Bersalah (Nada suara memelas/halus/sedih, bahasa tubuh:


merapat pada anak, lesu):
“Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah berjanji dengan ibu tidak akan terlambat
lagi. Kamu kenapa ya senang sekali mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa
sekali.”
Bagaimana perasaan murid bila ditegur seperti cara ini?
Hasil:
Murid akan merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu atau bapak
gurunya. Murid akan merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup
membahagiakan orang lain. Kadangkala sikap seperti ini lebih berbahaya dari sikap
penghukum, karena emosi akan tertanam rapat di dalam, murid menahan perasaan.
Tidak seperti murid dalam dengan guru penghukum, di mana murid bisa
menumpahkan amarahnya walaupun dengan cara negatif. Murid tertekan seperti
inilah yang tiba-tiba bisa meletus amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau
orang lain.

3. Teman
Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya
mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun
positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru
di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi
seseorang. Mereka akan berkata:
“Ayo bantulah, demi bapak ya?”
“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”
“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.
Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu
maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid
merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha. Hal lain yang mungkin timbul
adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru
lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.

Teman (nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada
murid, mata dan senyum jenaka)
“Adi, ayolah, bagaimana sih kamu. Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan,
kenapa terlambat lagi? (sambil tertawa ringan). Ya, sudah tidak apa-apa, duduk dulu
sana. Nanti Pak Guru bantu. Kamu ini.” (sambil senyum-senyum).
Bagaimana perasaan murid dengan sikap guru seperti ini?

Hasil:
Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang
positif, hanya saja di sisi negatif murid menjadi tergantung pada guru tersebut. Bila
ada masalah, dia merasa bisa mengandalkan guru tersebut untuk membantunya.
Akibat lain dari posisi teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu bila yang menyuruh
adalah guru tersebut, dan belum tentu berlaku yang sama dengan guru atau orang
lain.
4. Pemantau
Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab
atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada
peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi,
kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang
yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:
“Peraturannya apa?”
“Apa yang telah kamu lakukan?”
“Sanksi atau konsekuensinya apa?”
Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat
digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan
stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi pemantau sendiri berawal dari teori stimulus-
respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.

Pemantau (nada suara datar, bahasa tubuh yang formal):


Guru: “Adi, tahukah kamu jam berapa kita memulai?”
Adi: “Tahu Pak!”
Guru: “Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah mengerti konsekuensi yang
harus dilakukan bila terlambat?”
Adi: “Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat nanti dan
mengerjakan tugas ketertinggalan saya.”
Guru: “Ya, benar, nanti pada saat jam istirahat kamu harus tinggal di kelas untuk
menyelesaikan tugas yang tertinggal tadi. Saya tunggu”
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Hasil:
Murid memahami konsekuensi yang harus dijalankan karena telah melanggar salah
satu peraturan sekolah. Guru tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan,
menjadi marah atau membuat merasa berbuat salah. Murid tetap dibuat tidak
nyaman yaitu dengan harus tinggal kelas pada waktu jam istirahat dan mengerjakan
tugas. Guru tetap harus memantau murid pada saat mengerjakan tugas di jam
istirahat karena murid tidak bisa ditinggal seorang diri
5. Manajer
Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama
dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya,
mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri.
Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau,
dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi
tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi
manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu
kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya
sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun
kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat
konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki
kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)
“Apakah kamu meyakininya?”
“Jika kamu meyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”
“Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”
“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita
membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya
memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke
kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.
Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke posisi
Teman atau Pemantau, karena murid yang ditangani belum siap diajak berdiskusi
atau diundang melakukan restitusi. Namun perlu disadari tujuan akhir dari 5 posisi
kontrol seorang guru adalah pencapaian posisi Manajer, di mana di posisi inilah
murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas
segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan
yang positif, nyaman, dan aman.

Manajer (nada suara tulus, bahasa tubuh tidak kaku, mendekat ke murid):
Guru: “Adi, apakah kamu mengetahui jam berapa sekolah dimulai?”
Adi: “Tahu Pak, jam 7:00!”
Guru: “Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki
masalah ini?”
Adi: “Saya bisa menanyakan teman saya Pak, untuk mengejar tugas yang
tertinggal.”
Guru: “Baik, itu bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah untuk kamu agar
bisa hadir tepat waktu ke sekolah?”
Adi: “Tidak Pak, saya bisa hadir tepat waktu.”
Guru: “Baik. Saya hargai usahamu untuk memperbaiki diri”
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Pada posisi Manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu marah, tidak
perlu meninggikan suara, apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid, berkacak
pinggang, atau bersikap seolah-olah menyesal, tampak sedih sekali akan perbuatan
murid ataupun bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman murid.
Fokus ada pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau orang tua. Murid
sudah mengetahui adanya suatu masalah, dan sesuatu perlu terjadi. Bila guru
mengambil posisi Pemantau, guru akan melihat apa konsekuensinya apa
peraturannya? Namun pada posisi Manajer, guru akan mengembalikan tanggung
jawab pada murid untuk mencari jalan keluar permasalahannya, tentu dengan
bimbingan guru.
1.4.a.4.6. Restitusi - Segitiga Restitusi
Sisi 1. Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity)
Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang
gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Anak yang
melanggar peraturan karena sedang mencari perhatian adalah anak yang sedang
mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun
ada benturan. Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya dalam
posisi gagal. Kalau kita ingin ia menjadi reflektif, maka kita harus meyakinkan si
anak, dengan cara mengatakan kalimat-kalimat ini:
o Berbuat salah itu tidak apa-apa.
o Tidak ada manusia yang sempurna
o Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu.
o Kita bisa menyelesaikan ini.
o Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa yang salah, tapi Bapak/Ibu ingin
mencari solusi dari permasalahan ini.
o Kamu berhak merasa begitu.
o Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat dirimu sendiri?
Kalau kita mengatakan kalimat-kalimat diatas, akan sangat sulit, bahkan hampir
tidak mungkin, buat anak untuk tetap membangkang. Para guru yang bertugas
mengawasi anak-anak saat mereka bermain di halaman sekolah, menyatakan
bahwa bila mereka mengatakan kalimat tersebut yang mungkin hanya butuh 30
detik, bisa mengubah situasi yang sulit menjadi kooperatif.
Ketika seseorang merasa sedih dan emosional, mereka tidak bisa mengakses
bagian otak yang berfungsi untuk berpikir rasional, seperti yang Bapak Ibu CGP
telah pelajari di modul 1.2 tentang konsep otak 3-in-1 (Triune). Saat itulah ketika kita
harus menstabilkan identitas anak. Sebelum terjadi hal-hal lain yang bisa
memperburuk keadaan, kita sebaiknya membantu anak untuk tenang dan kembali
ke suasana hati dimana proses belajar dan penyelesaian masalah bisa dilakukan.
Tentu akan sulit melakukan restitusi bila, anak yang berbuat salah terus berfokus
pada kesalahannya. Ada 3 alasan untuk ini, pertama rasa bersalah menguras
energi. Rasa bersalah membutuhkan energi yang sama dengan energi yang
dibutuhkan untuk mencari penyelesaian masalah. Kedua, ketika kita merasa
bersalah, kita mengalami identitas kegagalan. Dalam kondisi ini, orang akan
cenderung untuk menyalahkan orang lain atau mempertahankan diri, daripada
mencari solusi. Ketiga, perasaan bersalah membuat kita terperangkap pada masa
lalu dimana kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita hanya bisa mengontrol
apa yang akan terjadi di masa kini dan masa datang.

Sisi 2. Validasi Tindakan yang Salah (Validate the Misbeh...


Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan
dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah
tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi
kebutuhan tersebut.
Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki
maksud/tujuan tertentu. Seorang guru yang memahami teori kontrol pasti akan
mengubah pandangannya dari teori stimulus response ke cara berpikir proaktif yang
mengenali tujuan dari setiap tindakan. Kita mungkin tidak suka sikap seorang anak
yang terus menerus merengek, tapi bila sikap itu mendapat perhatian kita, maka itu
telah memenuhi kebutuhan anak tersebut. Kalimat-kalimat di bawah ini mungkin
terdengar asing buat guru, namun bila dikatakan dengan nada tanpa menghakimi
akan memvalidasi kebutuhan mereka.
o “Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”
o “Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”
o “Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi
sesuatu yang penting buatmu”.
o “Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan
sikap yang baru.”
Biasanya guru menyuruh anak untuk menghentikan sikap yang tidak baik, tapi teori
kontrol menyatakan bahwa resep itu tidak manjur. Mungkin tindakan guru dengan
memvalidasi sikap yang tidak baik seperti bertentangan dengan aturan yang ada,
namun sebetulnya tujuannya untuk menunjukkan bahwa guru memahami alasan di
balik tindakan murid.
Restitusi tidak menyarankan guru bicara ke murid bahwa melanggar aturan adalah
sikap yang baik, tapi dalam restitusi guru harus memahami alasannya, dan paham
bahwa setiap orang pasti akan melakukan yang terbaik di waktu tertentu. Sebuah
pelanggaran aturan seringkali memenuhi kebutuhan anak akan penguasaan/power
walaupun seringkali bertabrakan dengan kebutuhan yang lain, yaitu kebutuhan akan
kasih sayang dan rasa diterima/love and belonging. Kalau kita tolak anak yang
sedang berbuat salah, dia akan tetap menjadi bagian dari masalah, namun bila kita
memahami alasannya melakukan sesuatu, maka dia akan merasa dipahami.
Para guru yang telah menerapkan strategi ini mengatakan bahwa anak-anak yang
tadinya tidak terjangkau, menjadi lebih terbuka pada mereka. Strategi ini
menguntungkan bagi murid dan guru karena guru akan berada dalam posisi siswa,
dan karena itu akan memiliki perspektif yang berbeda.

Sisi 3. Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief)


Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal.
Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah
divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai
yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan. Pertanyaan-
pertanyaan di bawah ini menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas
atau keluarga.
o Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga?
o Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?
o Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal?
o Kamu mau jadi orang yang seperti apa?
Penting untuk menanyakan ke anak, kehidupan seperti apa nantinya yang mereka
inginkan?
Apakah kamu ingin menjadi orang yang sukses, bertanggung jawab, atau bisa
dipercaya?
Kebanyakkan anak akan mengatakan “Iya,” Tapi mereka tidak tahu bagaimana
caranya menjadi orang seperti itu. Guru dapat membantu dengan bertanya, seperti
apa jika mereka menjadi orang seperti itu. ketika anak sudah mendapat gambaran
yang jelas tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, guru dapat membantu
anak-anak tetap fokus pada gambaran tersebut.

Anda mungkin juga menyukai