Materi Modul 1.4
Materi Modul 1.4
4
1.4.a.4.1. Disiplin Positif dan Nilai-nilai Kebajikan Universal
1. TEORI KONTROL
Selanjutnya psikiater dan pendidik, Dr. William Glasser dalam Control
Theory yang kemudian hari berkembang dan dinamakan Choice Theory,
meluruskan beberapa miskonsepsi tentang makna ‘kontrol’.
Ilusi guru mengontrol murid.
Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu
jikalau murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun
tampaknya guru sedang mengontrol perilaku murid, hal demikian terjadi
karena murid sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu bentuk kontrol
guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Teori Kontrol
menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, bahkan terhadap
perilaku yang tidak disukai.
Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat.
Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha
untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah
suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam jangka waktu tertentu,
kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya, dan mencoba untuk
menolak bujukan kita atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung pada
pendapat sang guru untuk berusaha.
Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat
menguatkan karakter.
Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada
identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka.
Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif. Kadang kala sulit bagi
guru untuk mengidentifikasi bahwa mereka sedang melakukan perilaku ini,
karena seringkali guru cukup menggunakan ‘suara halus’ untuk
menyampaikan pesan negatif.
Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.
Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung
jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun yang
dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan berdasarkan
sebuah pengukurn kinerja. Pada saat itu pula, orang dewasa akan
menyadari bahwa perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu
panjang, dan sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk.
STIMULUS RESPON
Bagaimana seseorang bisa berubah dari paradigma Stimulus-Respon
kepada pendekatan teori Kontrol? Stephen R. Covey (Principle-Centered
Leadership, 1991) mengatakan bahwa,
“..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap
atau perilaku Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama
kita, maka kita perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana
Anda melihat dunia, bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah
paradigma Anda, skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu
tentang realitas”.
HUKUMAN
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki
kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan
karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses
kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka,
dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan,
dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen,
1996).
hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Anak atau murid tidak tahu apa
yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru
yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu
kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya.
Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun psikis, murid/anak disakiti oleh
suatu perbuatan atau kata-kata.
Sementara disiplin dalam bentuk konsekuensi, sudah terencana atau sudah
disepakati; sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Umumnya
bentuk-bentuk konsekuensi dibuat oleh pihak guru (sekolah), dan murid
sudah mengetahui sebelumnya konsekuensi yang akan diterima bila ada
pelanggaran. Pada konsekuensi, murid tetap dibuat tidak nyaman untuk
jangka waktu pendek. Konsekuensi biasanya diberikan berdasarkan suatu
data yang umumnya dapat diukur, misalnya, setelah 3 kali tugasnya tidak
diselesaikan pada batas waktu yang diberikan, atau murid melakukan
kegiatan di luar kegiatan pembelajaran, misalnya mengobrol, maka murid
tersebut akan kehilangan waktu bermain, dan harus menyelesaikan tugas
karena ketertinggalannya. Peraturan dan konsekuensi yang mengikuti ini
sudah diketahui sebelumnya oleh murid. Sikap guru di sini senantiasa
memonitor murid.
Penghargaan Menghukum
o Penghargaan ‘menghukum’ mereka yang tidak mendapatkan
penghargaan. Misalnya dalam sistem ‘ranking’. Mereka yang
mendapatkan ranking kedua akan merasa paling ‘dihukum’.
o Memberikan penghargaan dan hukuman adalah hal yang sama, karena
keduanya mencoba mengendalikan perilaku seseorang.
o Karena orang pada dasarnya tidak suka dikendalikan, dalam jangka waktu
lama, penghargaan akan terlihat sebagai hukuman.
o Jika suatu penghargaan diharapkan, namun Anda tidak mendapatkannya,
Anda akan merasa dihukum
Dr. William Glasser menyatakan, orang yang bahagia akan mengevaluasi diri
sendiri, orang yang tidak bahagia akan mengevaluasi orang lain. 3 Tahap
Evaluasi Diri: 1. Saya tidak suka cara saya berbicara padamu 2. Kesalahan
yang saya lakukan adalah − Saya sebenarnya punya informasi yang kamu
butuhkan − Saya lelah dan saya bicara terlalu cepat − Saya tidak jelas
menyampaikan apa yang saya inginkan − Pemahaman saya berbeda dengan
pemahamanmu 3. Besok lagi saya akan − Menyampaikan informasi yang
saya punya dan kamu butuhkan − Saya akan bicara lebih lambat − Saya akan
bicara lebih jelas tentang keinginan saya − Menyampaikan pemahaman saya
padamu Ketika murid bisa melakukan restitusi diri maka dia akan bisa
mengontrol dirinya dengan lebih baik dengan tujuan yang lebih baik pula.
Ketika Anda berhadapan dengan orang lain, dan melakukan evaluasi diri,
maka 9 dari 10 orang yang diajak bicara juga akan melakukan evaluasi diri
juga. Mungkin akan ada 1 dari 10 orang yang diajak bicara, justru akan
menggunakan kesempatan itu untuk menghukum Anda. Kalau ini terjadi,
tanyakan saja, apakah Anda mau menggunakan kesempatan ini untuk
menjelek-jelekkan saya atau Anda mau membuat situasi ini menjadi lebih
baik. Anda mau ke arah mana? Restitusi fokus pada karakter bukan tindakan
Dalam proses restitusi diri, maka murid akan menyadari dia sedang menjadi
orang yang seperti apa, yang itu adalah menunjukkan fokus pada penguatan
karakter. Ketika guru membimbing murid untuk penguatan karakter, guru
akan mengatakan, “Ibu/Bapak tidak terlalu mempermasalahkan apa yang
kamu lakukan hari ini, tetapi mari kita bicara tentang apa yang akan kamu
lakukan besok. Kamu bisa saja minta maaf, tapi orang akan lebih suka
mendengar apa yang akan kamu lakukan dengan lebih baik lagi. Restitusi
menguatkan Bisakah momen ketika murid melakukan kesalahan menjadi
sebuah momen yang baik? Jawabnya, tentu bisa, asalkan ia bisa belajar dari
kesalahan itu. Apa maksud dari kalimat kita bisa lebih kuat setelah kita belajar
dari kesalahan? Lebih kuat disini maksudnya bukan menekan perasaan kita
dalam-dalam. Kuat disini artinya menyadari apa yang bisa murid ubah, dan
murid benar-benar mengubahnya. Guru bisa bertanya, apa yang dapat kamu
ubah dari dirimu sendiri? Bagaimana kamu akan berubah? Restitusi fokus
pada solusi Dalam restitusi, guru menstabilkan identitas murid dengan
mengatakan, “Kita tidak fokus pada kesalahan, Bapak/ibu tidak tertarik untuk
mencari siapa yang benar, siapa yang salah. Restitusi mengembalikan murid
yang berbuat salah pada kelompoknya Mari kita lihat praktik pendidikan kita
yang seringkali memisahkan anak-anak dari kelompoknya, misalnya seorang
anak TK bersikap tidak kooperatif pada saat kegiatan mendengar dongeng
dari gurunya, anak itu disuruh keluar dari kelompoknya, atau anak itu diminta
duduk di belakang kelas atau di pojok kelas, disuruh keluar kelas ke koridor,
ke kantor guru, seringkali dibiarkan tanpa pengawasan. Kalau ada anak
remaja nakal, orangtua menyuruh pergi dari rumah. Padahal kalau mereka
jauh dari orang tuanya, orang tuanya jadi tidak bisa mengajari mereka dan
mereka tidak belajar nilai-nilai kebajikan. Kalau mereka tidak belajar,
bagaimana nasib generasi kita ke depan? Kalau kita menjauhkan remaja kita,
maka mereka akan putus hubungan dengan kita. Ketika anak berbuat salah,
kita tidak bisa memotivasi anak untuk menjadi baik, kita hanya bisa
menciptakan kondisi agar mereka bisa melihat ke dalam diri mereka. Kita
seharusnya mengajari mereka untuk menyelesaikan masalah mereka, dan
berusaha mengembalikan mereka ke kelompok mereka dengan karakter yang
lebih kuat. Disarikan dari Buku It’s All About WE; Rethinking Discipline using
Restitution, Third Edition,
1.4.a.4.3. Keyakinan Kelas
1.4.a.4.4. Kebutuhan Dasar Manusia dan Dunia Berkualitas
kebutuhan dasar manusia menurut Dr. William Glasser dalam choice theory dibagi
menjadi 5 yaitu
1.kebutuhan untuk bertahan hidup (survival),
2.kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging),
3.kebebasan (freedom)
4. kesenangan (fun)
5. penguasaan ( power)
1. Penghukum
Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang
yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah
memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam
lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata:
“Patuhi aturan saya, atau awas!”
“Kamu selalu saja salah!”
“Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”
Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa
berhasil, yaitu cara dia.
Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-
nunjuk menghardik):
“Terlambat lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang
tepat waktu?”Tanyakan kepada diri Anda:Bagaimana perasaan murid bila guru
berbicara seperti itu pada saat muridnya datang terlambat?
Hasil:
Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif. Bisa jadi sesudah
kembali duduk, murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya.
Lebih buruk lagi, sepulang sekolah, murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru
dan akan menggores kendaraan tersebut dengan paku.
3. Teman
Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya
mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun
positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru
di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi
seseorang. Mereka akan berkata:
“Ayo bantulah, demi bapak ya?”
“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”
“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.
Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu
maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid
merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha. Hal lain yang mungkin timbul
adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru
lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.
Teman (nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada
murid, mata dan senyum jenaka)
“Adi, ayolah, bagaimana sih kamu. Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan,
kenapa terlambat lagi? (sambil tertawa ringan). Ya, sudah tidak apa-apa, duduk dulu
sana. Nanti Pak Guru bantu. Kamu ini.” (sambil senyum-senyum).
Bagaimana perasaan murid dengan sikap guru seperti ini?
Hasil:
Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang
positif, hanya saja di sisi negatif murid menjadi tergantung pada guru tersebut. Bila
ada masalah, dia merasa bisa mengandalkan guru tersebut untuk membantunya.
Akibat lain dari posisi teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu bila yang menyuruh
adalah guru tersebut, dan belum tentu berlaku yang sama dengan guru atau orang
lain.
4. Pemantau
Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab
atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada
peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi,
kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang
yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:
“Peraturannya apa?”
“Apa yang telah kamu lakukan?”
“Sanksi atau konsekuensinya apa?”
Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat
digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan
stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi pemantau sendiri berawal dari teori stimulus-
respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.
Manajer (nada suara tulus, bahasa tubuh tidak kaku, mendekat ke murid):
Guru: “Adi, apakah kamu mengetahui jam berapa sekolah dimulai?”
Adi: “Tahu Pak, jam 7:00!”
Guru: “Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki
masalah ini?”
Adi: “Saya bisa menanyakan teman saya Pak, untuk mengejar tugas yang
tertinggal.”
Guru: “Baik, itu bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah untuk kamu agar
bisa hadir tepat waktu ke sekolah?”
Adi: “Tidak Pak, saya bisa hadir tepat waktu.”
Guru: “Baik. Saya hargai usahamu untuk memperbaiki diri”
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Pada posisi Manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu marah, tidak
perlu meninggikan suara, apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid, berkacak
pinggang, atau bersikap seolah-olah menyesal, tampak sedih sekali akan perbuatan
murid ataupun bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman murid.
Fokus ada pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau orang tua. Murid
sudah mengetahui adanya suatu masalah, dan sesuatu perlu terjadi. Bila guru
mengambil posisi Pemantau, guru akan melihat apa konsekuensinya apa
peraturannya? Namun pada posisi Manajer, guru akan mengembalikan tanggung
jawab pada murid untuk mencari jalan keluar permasalahannya, tentu dengan
bimbingan guru.
1.4.a.4.6. Restitusi - Segitiga Restitusi
Sisi 1. Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity)
Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang
gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Anak yang
melanggar peraturan karena sedang mencari perhatian adalah anak yang sedang
mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun
ada benturan. Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya dalam
posisi gagal. Kalau kita ingin ia menjadi reflektif, maka kita harus meyakinkan si
anak, dengan cara mengatakan kalimat-kalimat ini:
o Berbuat salah itu tidak apa-apa.
o Tidak ada manusia yang sempurna
o Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu.
o Kita bisa menyelesaikan ini.
o Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa yang salah, tapi Bapak/Ibu ingin
mencari solusi dari permasalahan ini.
o Kamu berhak merasa begitu.
o Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat dirimu sendiri?
Kalau kita mengatakan kalimat-kalimat diatas, akan sangat sulit, bahkan hampir
tidak mungkin, buat anak untuk tetap membangkang. Para guru yang bertugas
mengawasi anak-anak saat mereka bermain di halaman sekolah, menyatakan
bahwa bila mereka mengatakan kalimat tersebut yang mungkin hanya butuh 30
detik, bisa mengubah situasi yang sulit menjadi kooperatif.
Ketika seseorang merasa sedih dan emosional, mereka tidak bisa mengakses
bagian otak yang berfungsi untuk berpikir rasional, seperti yang Bapak Ibu CGP
telah pelajari di modul 1.2 tentang konsep otak 3-in-1 (Triune). Saat itulah ketika kita
harus menstabilkan identitas anak. Sebelum terjadi hal-hal lain yang bisa
memperburuk keadaan, kita sebaiknya membantu anak untuk tenang dan kembali
ke suasana hati dimana proses belajar dan penyelesaian masalah bisa dilakukan.
Tentu akan sulit melakukan restitusi bila, anak yang berbuat salah terus berfokus
pada kesalahannya. Ada 3 alasan untuk ini, pertama rasa bersalah menguras
energi. Rasa bersalah membutuhkan energi yang sama dengan energi yang
dibutuhkan untuk mencari penyelesaian masalah. Kedua, ketika kita merasa
bersalah, kita mengalami identitas kegagalan. Dalam kondisi ini, orang akan
cenderung untuk menyalahkan orang lain atau mempertahankan diri, daripada
mencari solusi. Ketiga, perasaan bersalah membuat kita terperangkap pada masa
lalu dimana kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita hanya bisa mengontrol
apa yang akan terjadi di masa kini dan masa datang.