Anda di halaman 1dari 7

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN PERMATA


Jalan Ramung-Buntul, Wih Tenang Uken
Email : kuapermata@gmail.com
Redelong (24582)

NASKAH MATERI
YANG DISAMPAIKAN PADA PESERTA PENYULUHAN
9

Kerukunan Beragama dalam Perspektif Islam

Kerukunan beragama memiliki banyak sekali definisi. Ada banyak perspektif dalam memaknai
kerukunan beragama, juga ada banyak sekali teori yang muncul dari banyak tokoh.

Sebenarnya, apa arti kerukunan beragama dan bagaimana bentuk kerukunan beragama dalam
perspektif Islam? Dalam mewujudkan kerukunan umat beragama, ada beberapa langkah yang
dapat diwujudkan, salah satunya adalah dengan sikap toleransi.

Sikap Toleransi
Kata tolerasi berasal dari bahasa Belanda, tolerantie, dan kata kerjanya adalah toleran.
Sedangkan dalam bahasa Inggris, toleransi berasal dari kata toleration dan kata kerjanya
adalah tolerate.

Kata toleran memiliki makna bersikap mendiamkan. Sebagai misal, toleransi agama yang
membolehkan perbedaan dalam ideologi, ras, dan lain sebagainya. Perbedaan tersebut didiamkan
dan tidak diganggu gugat.

Dalam pengertian yang lebih luas, toleransi bisa diartikan sebagai sifat atau sikap menenggang
yakni menghargai, membiarkan, dan membolehkan sebuah pendirian berupa pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan lain sebagainya yang lain atau bertentangan
dengan pendiriannya sendiri.

Dalam bahasa Arab toleransi biasa disebut dengan kata ikhtimal, tasamuh yang artinya sikap
membiarkan, lapang dada. Samuha, yasmuhu, samhan, wasimaahan, wasamaahatan,
artinya adalah murah hati, suka berderma.
Jadi, toleransi beragama bisa diartikan sebagai sikap saling menghargai yang disertai dengan
sabar menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain.

Kesalahan memahami arti toleransi bisa mengakibatkan talbisul haq bil bathil yakni
mencampuradukan antara hak dan batil, suatu sikap yang sangat terlarang dilakukan seorang
Muslim.

Pada prinsipnya, semua agama besar memiliki ajaran toleransi di dalamnya. Sebagai misal,
dalam Islam, ajaran tentang toleransi langsung ditegaskan Allah Swt. melalui firman-Nya:

Quran Surat al-Kafirun

َ‫قُ ْل َٰ َيَٰٓأَيُّ َها ْٱل َٰ َكف ُِرون‬

qul yā ayyuhal-kāfirụn

Katakanlah: Hai orang-orang kafir,

‫َل أ َ ْعبُد ُ َما ت َ ْعبُد ُو َن‬


َٰٓ َ

lā a’budu mā ta’budụn

Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.

ُ ‫ع ِبد ُونَ َما َٰٓ أ َ ْعبُد‬


َ َٰ ‫َل أَنت ُ ْم‬
َٰٓ َ ‫َو‬

wa lā antum ‘ābidụna mā a’bud

Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.

‫ع َبدت ُّ ْم‬ َ ‫َل أَن َ۠ا‬


َ ‫عا ِبد ٌ َّما‬ َٰٓ َ ‫َو‬

wa lā ana ‘ābidum mā ‘abattum

Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,

ُ ‫ع ِبد ُونَ َما َٰٓ أ َ ْعبُد‬


َ َٰ ‫َل أَنت ُ ْم‬
َٰٓ َ ‫َو‬

wa lā antum ‘ābidụna mā a’bud


dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.

‫ِين‬ َ ‫لَكُ ْم دِينُكُ ْم َول‬


ِ ‫ِى د‬

lakum dīnukum wa liya dīn

Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.

Dikisahkan oleh Ibnu Ishak dalam sirahnya dan juga Ibnu Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad: ketika
Nabi Muhammad Saw. kedatangan utusan Nasrani dari Najran berjumlah 60 orang.

Di antaranya adalah 14 orang yang terkemuka termasuk Abu Haritsah Al-Qomah, sebagai guru
dan uskup. Maksud kedatangan mereka adalah ingin mengenal Nabi Muhammad Saw. dari
dekat.

Benarkah Muhammad adalah seorang utusan Tuhan dan bagaimana dan apa sesungguhnya
ajaran Islam. Mereka juga ingin membandingkan antara Islam dan Nasrani.

Mereka ingin bicara dengan Rasulullah Saw. tentang berbagai masalah agama. Mereka sampai di
Madinah saat kaum muslimin telah selesai shalat Ashar. Mereka pun sampai di masjid dan akan
menjalankan sembahyang pula menurut cara mereka.

Para sahabat pun heboh. Mengetahui hal tersebut, maka Nabi Muhammad Saw. Berkata:
“Biarkanlah mereka!”, maka mereka pun menjalankan sembahyang dengan cara mereka dalam
masjid Madinah.

Dikisahkan pula bahwa para utusan tersebut memakai jubah dan kependetaan yang serba
mentereng. Mereka menganakan pakaian kebesaran dengan selempang yang warna-warni.

Peristiwa di atas menunjukan toleransi Nabi Muhammad Saw. kepada pemeluk agama lain.
Walaupun dalam dialog antara Rasulullah Saw, dengan utusan Najran itu tidak ada kesepakatan.

Mereka tetap menganggap bahwa Nabi Isa As adalah anak Tuhan dan Rasulullah
Saw. berpegang teguh bahwa Isa adalah utusan Allah St. dan sebagai Nabi, Isa adalah manusia
biasa. Para utusan tersebut tetap dijamu oleh Rasulullah Saw. dalam beberapa hari.

Pada sisi lain, ketika awal kedatangan Rasulullah Saw. di Madinah, beliau mengadakan
perjanjian dengan tiga klan Yahudi di Madinah untuk saling menjaga integritas wilayah
Madinah.
Perjanjian itu dikenal dengan Piagam Madinah atau bisa dalam bahasa Arab disebut
sebagai Mitsaq al-Madinah. Ketika lewat iringan jenazah orang Yahudi, Rasulullah Saw. berdiri
sebagai penghormatan atas sesama manusia yang dimuliakan Allah Swt.

Pada masa itu, budaya dialog antar umat beragama hidup dan berkembang. Hal tersebut terbukti
dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang secara khusus mengajak dialog kepada ahli kitab
dari umat Yahudi dan Nasrani.

Ketika datang rombongan umat Nasrani Najran sebanyak 15 orang yang dipimpin oleh Abu al-
Harits, Rasulullah Saw. berdialog dengan mereka dalam berbagai permasalahan agama dan
politik.

Ketika datang panggilan shalat yang ditanda dengan adzan, Rasulullah Saw. mempersilakan
mereka untuk “shalat” sesuai dengan tata cara yang mereka yakini di salah satu bagian dari
Mesjid Nabawi, sedangkan Rasulullah Saw. dan para sahabat melakukan shalat di bagian lain
dari Masjid Nabawi.

Toleransi dalam Sejarah


Masyarakat yang terbuka dan egaliter juga terwujud pada pusat-pusat peradaban Islam, seperti
Baghdad, Cordova, Tunisia, Kairo, dan tempat-tempat lainnya pada masa keemasan Islam.

Louis Gardet, salah satu orientalis yang berasal Prancis, menyebut model masyarakat Islam
klasik dengan masyarakat inklusif yakni masyarakat yang mampu menerima berbagai bentuk
keberagaman dan keberbedaan serta mengakomodasinya ke dalam berbagai tatanan maupun
infrastruktur yang ada di masyarakat.

Sejak abad ke-9 sampai abad ke-13 M, ibukota-ibukota pemerintahan Islam menjadi pusat
penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Peradaban terbentuk dengan gagah dan
menakjubkan.

Karya-karya monumental lahir di tangan-tangan intelektual Islam dalam berbagai disiplin ilmu;
filsafat, budaya, sejarah, sastera, musik dan berbagai cabang ilmu agama.

Sejarah mencatat, kemajuan-kemajuan pada waktu itu tidak saja dirasakan oleh intelektual Islam,
tapi juga intelektual agama lain. Sebagai misal, umat Yahudi, Nasrani, Shabi’un, dan Majusi.

Di Andalusia atau yang sekarang menjadi negara Spanyol misalnya, tiga agama yang bersumber
dari ajaran Ibrahim As yakni Yahudi, Kristen, dan Islam hidup bersama dalam atmosfir toleransi.
Esensi toleransi ini juga mempengaruhi kota-kota di sekitarnya, seperti Toledo, Granada, dan
Cordova. Salah satu pemikir Yahudi yang bernama Musa ibn Maimun (Maimonides) melahirkan
karya-karya besarnya.

Karya-karyanya tersebar dalam bidang psikologi, matematika, kedokteran, bahasa, teologi,


dan filsafat yang bisa diadopsi oleh masyarakat Yahudi. Di sinilah dimulai sejarah perbandingan
agama-agama.

Suasana ini juga berimbas ke pasar-pasar dengan adanya pertemuan- pertemuan dialogis antar
pelajar, tokoh agama, pedagang, dan masyarakat pasar lainnya. Peristiwa-peristiwa seperti ini
semakin membuat keakraban sesama masyarakat.

Pengalaman sejarah tersebut membuktikan bahwa kehidupan yang harmonis, damai dan tenteram
antar etnis dan agama bukan sesuatu yang utopis. Namun, bukan berarti bahwa keharmonisan,
kedamaian dan ketentaraman tersebut tanpa konflik.

Masyarakat yang plural dengan perbedaan kepentingan, struktur sosial, ekonomi, etnis, dan
agama tentunya ada terjadi gesekan yang menimbulkan riak-riak perpecahan.

Oleh karena itu, sikap saling menghormati dan menghargai atau yang biasa disebut sebagai
toleransi diharapkan bisa mereduksi konflik sedini mungkin. Toleransi adalah hal sederhana dan
sangat mudah untuk mempraktikannya.

Muhammed Arkoun menyatakan bahwa ada dua syarat untuk dapat menancapkan nilai-nilai
toleransi. Pertama, kemauan individu untuk bertoleransi. Kedua, keterkaitan kemauan individu
ini dengan kepentingan sosial.

Arkoun adalah salah satu intelektual Islam yang melakukan reinterpretasi terhadap tradisi yang
ada. Selain itu, umat Islam juga mesti bersikap terbuka dan dialogis dengan budaya lain.

Sikap termuka tersebut dilakukan dengan tidak memutuskan diri dari prinsip-prinsip etika dalam
Al-Qur’an. Metode yang Arkoun tawarkan disebut sebagai Kritik Epistimologi terhadap “Nalar
Islam”.

Metode tersebut memiliki tujuan untuk membongkar bangunan dan kontruksi keberagamaan
Islam yang sudah jumud dan tidak relevan lagi dengan semangat Al-Quran.

Muhammad Iqbal mencatat dalam The Reconstruction of Relegious Thought in Islam (1986)
bahwa usaha pembongkaran Mohammed Arkoun adalah untuk membuka cakrawala dan
wawasan keberagamaan dalam Islam secara lebih terbuka, demokratis dan inklusif.
Budaya toleransi harus ditanamkan dari individu. Sejak dini, tiap-tiap individu harus dididik
untuk menerima dan mencintai orang lain. Jangan sampai perbedaan suku, ras, dan agama
menimbulkan api kebencian.

Latihan-latihan tersebut bisa bersumber dari pergaulan yang luas dan kosmopolit. Semakin
banyak orang mengenal pluralitas budaya dan tradisi lain, maka cara pandangnya akan semakin
terbuka dan bijak.

Benih-benih toleransi juga mesti dipupuk dengan banyak membaca tradisi dan
pengetahuan. Untuk memahami orang lain, seseorang dituntut untuk banyak mengkaji karakter
orang lain, bukan untuk mencari-cari kesalahan dan kelemahan, tetapi memperkaya wawasan
dan mencari hikmah.

Setiap individu harus mempunyai kemauan yang kuat untuk memperluas wawasan dan
pergaulan. Setiap orang harus memahami bahwa orang-orang yang ada di sekitar kita sebenarnya
adalah saudara-saudara kita yang dilahirkan dari lain ibu.

Sebab, persaudaraan tidak hanya didasarkan pada ikatan darah, namun juga agama, bangsa, dan
kemanusiaan. Bukankah kemanusiaan adalah agama yang menyatukan seluruh orang di dunia?

Pada level yang lebih mendalam, sikap toleransi atau kerukunan beragama akan menimbulkan
kesadaran dalam diri seseorang bahwa kepercayaan religius bukanlah sesuatu yang hanya
bersifat lahiriyah, melainkan harus berakar dalam hati orang yang bersangkutan.

Pengertian “munafik” yang ada dalam banyak agama menunjuk pada kesadaran tersebut.
Kelakuan lahiriyah sesuai dengan ketentuan agama tidak cukup: hanya kalau orang dalam
hatinya memang percaya, dia betul-betul beragama.

Maka, memaksakan orang menganut agama yang tidak diyakininya juga melanggar keagamaan
si pemaksa sendiri, karena menyangkal bahwa iman harus berakar dalam hati.

Agama adalah jalan menuju keselamatan, bukan permusuhan. Oleh karena itu, menjalankan
sikap toleransi adalah hal yang tidak perlu dipertanyakan lagi sebab di mana pun manusia
berada, sikap saling menghargai harus menjadi yang utama.

Di zaman modern ini, kesadaran tersebut bisa dirumuskan dalam prinsip kebebasan beragama.
Prinsip ini bukan berarti sebagai pengakuan hak orang untuk seenaknya memilih di antara
agama-agama tanpa ada dasar keyakinan. Namun, kebebasan di sini adalah menurut keyakinan
masing-masing.
Dalam hal ini, negara wajib menjamin bahwa setiap orang dan golongan dapat beragama sesuai
dengan apa yang diyakini mereka sendiri. Implikasi prinsip kebebasan beragama seperti ini
adalah prinsip non- diskriminasi.

Negara adalah institusi yang memiliki kewajiban untuk melindungi kepercayaan atau agama
warga negaranya. Sebab, setiap orang memiliki hak untuk menganut kepercayaan atau agama
yang mereka yakini.

Penyuluh Agama Islam Non PNS

Muslim

Sumber : https://bincangsyariah.com/kalam/kerukunan-beragama-dalam-perspektif-islam/

Anda mungkin juga menyukai