Anda di halaman 1dari 4

Pemimpin Sederhana nan Bijaksana dari Dinasti Umayyah

“Umar bin Abdul Aziz”


“Wahai Amirul Mukminin, jadilah seperti orang yang tengah mengobati lukanya, dia menahan
pedih sesaat karena dia tidak ingin memikul penderitaan panjang. Bersabar di atas penderitaan
dunia lebih ringan daripada memikul ujiannya. Orang yang cerdas adalah orang yang berhati-hati
terhadap godaan dunia.”
(Nasihat Hasan Al Bashri kepada Umar bin Abdul Aziz)

Semangat pagi Sobat Alka..,


Mutiara Akhlak kembali lagi. Pada edisi kali ini, mari kita meneladani salah satu
amirul mukminin dari Dinasti Umayyah.
Amirul mukminin merupakan sebuah gelar, yang memiliki arti “Pemimpin Orang –
Orang Beriman”. Setelah Rasulullah Saw wafat, umat Islam dipimpin oleh para Khulafaur
Rasyidin. Setelah para Khulafaur Rasyidin tiada, kepemimpinan umat Islam dilanjutkan oleh
Kekhalifahan Umayyah. Kekhalifahan Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama setelah
masa Khulafaur Rasyidin.
Dinasti Umayyah memiliki peran penting dalam perkembangan Islam. Kekhalifahan
ini pernah dipimpin oleh tokoh – tokoh berpengaruh. Salah satu khalifah Dinasti Umayyah
yang memiliki teladan dan peran penting dalam kemajuan peradaban Islam adalah beliau
“Umar bin Abdul Aziz”. Siapakah beliau?
Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah Dinasti Umayyah sejak tahun 717 M sampai
dengan 720 M. Seorang yang wara’, sederhana, egaliter, tawadhu, telaten, sabar, adil dan
yang terpenting pembela kaum dhuafa. Periode kepemimpinan yang tergolong singkat bila
dibanding dengan khalifah Dinasti Umayyah yang lain. Namun demikian, meski hanya ± 3
tahun menjabat sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz berhasil membawa kemajuan dalam
peradaban Islam, hingga beliau mendapatkan julukan sebagai khulafaur rasyidin kelima.
Abu Hafs Umar Ibn Aziz bin Marwan bin Hakam bin Ash bin Umayyah, atau
yang lebih kita kenal dengan “Umar bin Abdul Aziz” adalah khalifah ke-8 (delapan) Dinasti
Umayyah. Umar bin Abdul Aziz lahir di Madinah pada Selasa, 26 Shafar 62 H/ 4 November
682 M (ada yang berpendapat 63 H/684 M). Ayahnya bernama Abdul Aziz bin Marwan bin
Al Hakam, seorang gubernur di Mesir selama beberapa tahun. Sedangkan ibunya bernama
Ummu Ashim, keturunan dari khalifah Umar bin Khattab.
Sejak kecil Khalifah Umar bin Abdul Aziz memiliki kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan. Oleh karenanya, beliau senantiasa menjaga dan bermajlis ilmu di Madinah.
Pada waktu itu kota Madinah merupakan kota yang bergemerlap kebaikan dari para ulama’,
foqoha’, serta orang – orang yang sholih. Beliau semangat dalam ilmu sejak dini, dan hal
awal yang ia pelajari dari para ulama’ adalah adab.
Adab merupakan hal dasar yang harus dimiliki pada setiap diri pelajar. “Ilmu tanpa
adab seperti api tanpa kayu bakar, dan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh” ( Adabul Imla’
wal Istimla’ [2], dinukil dari Min Washaya Al Ulama li Thalabatil Ilmi [10] ). Berbekal
mempelajari adab sebelum ilmu, khalifah Umar bin Abdul Aziz tumbuh dengan hati yang
tawadhu’, bertakwa kepada Allah dan takut untuk berbuat salah. Meskipun putra seorang
gubernur beliau tidak pernah merasa enggan untuk meminta maaf terlebih dahulu, bahkan
untuk kesalahan kecil yang beliau perbuat. Hal tersebut menjadikan ia, seorang imam yang
faqih, mujtahid, ahli hadits, hafidz yang taat kepada Allah Swt.
Seorang pembaharu dalam Islam pada masa penghujung seratus tahun pertama,
merupakan julukan yang diberikan oleh sebagian ulama kepada Umar bin Abdul Aziz.
Khalifah ke-8 Dinasti Umayyah ini adalah sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat.
Seorang pemimpin yang mampu meredakan konflik yang tengah terjadi di masyarakat pada
masa itu.
Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai Gubernur Madinah pada masa Khalifah Al-
Walid. Penempatannya sebagai gubernur Madinah ini diharapkan dapat menjadi jembatan
untuk meredakan ketegangan antara penduduk wilayah tersebut dengan klan Umayyah. Hal
tersebut berbuah, dengan pendekatan Umar bin Abdul Aziz yang lembut. Ia membentuk
dewan Syura yang bertugas bersama dirinya menggerakkan pemerintahan provinsi Madinah.
Setelah diberhentikan sebagai gubernur Madinah, Umar bin Abdul Aziz menjadi penasehat
utama khalifah pada masa Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik.
Pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah kedelapan dari Dinasti
Umayyah mengalami proses yang panjang. Dalam Ngaji Filsafat Edisi 210 Seri The
Philosopher King: Umar bin Abdul Aziz dikisahkan oleh Fahruddin Faiz, pembaiatan Umar
bin Abdul Aziz dilakukan pada 719 M/99 H. Tatkala pengumumman khalifah berikutnya
(penerus Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik) disampaikan, semua senang kecuali Umar bin
Abdul Aziz sendiri. Menjadi pemimpin umat adalah ujian terbesar bagi Umar bin Abdul
Aziz. Dalam proses pembaiatan Umar bin Abdul Aziz terlebih dahulu meminta kepada
jamaah untuk memulai pemilihan ulang, namun jamaah menolak. Hal ini membuat Umar bin
Abdul Aziz bahwasanya dia tidak bisa menghindari penunjukkan dirinya sebagai penerus
kepemimpinan umat Islam pada masa itu.
Umar bin Abdul Aziz pun menyampaikan kebijakannya dalam menata umat Islam.
Sebagian pesan Umar bin Abdul Aziz pada saat pembaiatan adalah sebagai berikut
“... Kaum muslimin, siapa yang mendekat kepadaku, hendaknya dia mendekat dengan
lima perkara, jika tidak, maka janganlah mendekat: Pertama, mengadukan hajat orang yang
tidak kuasa untuk mengadukannya, kedua, membantuku dalam kebaikan sebatas
kemampuannya, ketiga, menunjukkan jalan kebaikan kepadaku sebagaimana aku dituntut
untuk meniti jalan tersebut, keempat tidak melakukan ghibah terhadap rakyat, dan kelima
tidak menyangkalku dalam urusan yang bukan urusannya. ....” (Umar bin Abdul Aziz wa
Siyasatuhu fi Radd al-Mazhalim, Hal: 102)
Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah dari Dinasti Umayyah yang mewariskan upaya
damai antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah. “Allah menjaga tanganku dari peristiwa
itu. Tetapi apakah aku tidak boleh membersihkannya dengan lidahku?” Itulah hal yang
dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz dalam upaya untuk menyudahi konflik antara dua
keluarga besar.
Pada masa itu sebelum era kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, setiap khotbah dalam
salat Jumat diakhiri dengan memaki – maki Ali. Hal ini terkait rivalitas Bani Umayyah dan
Bani Hasyim, serta sejarah panjang yang melibatkan pendiri Dinasti Umayyah, Muawiyah
bin Abu Sufyan, juga putranya yaitu Yazid bin Muawiyah.
Ali bin Abi Thalib adalah sosok yang dijamin masuk surga, pemimpin yang dicintai
Allah, salah satu orang terkasih Rasulullah. Jadi, tradisi caci maki yang telah cukup lama
terjadi pada masyarakat pada masa itu harus dihentikan. Begitulah pendapat dari khalifah
Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin yang berani untuk memulai sebuah langkah besar.
Hal inilah yang kemudian menjadi awal pijakan setiap kali khotbah Jumat dibacakan Surah
An-Nahl: 90

۞ ‫َو اْلُم ْنَك ِر َو اْلَبْغ ِي َيِع ُظُك ْم َلَع َّلُك ْم َتَذَّك ُرْو َن‬ ‫ِاَّن َهّٰللا َيْأُم ُر ِباْلَع ْد ِل َو اِاْل ْح َس اِن َو ِاْيَتۤا ِئ ِذ ى اْلُقْر ٰب ى َو َيْنٰه ى َع ِن اْلَفْح َش ۤا ِء‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran,
dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran”

Pemimpin yang baik adalah dia yang mengajak kepada kebaikan, ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya serta dia yang tidak meninggalkan rakyatnya. Wibawa dengan hati yang
lembut bukan keras hati dan penuh arogansi. Umar bin Abdul Aziz adalah sosok pemimpin
yang kita rindukan dewasa ini, yang mampu menjadi jembatan antar pihak yang berselisih.
Sobat Alka, generasi harapan bangsa Indonesia, mari bersama kita teladani beliau
Umar bin Abdul Aziz. Mengutamakan adab sebelum ilmu yang lain, senantiasa bertawakal
kepada Allah serta tawadhu’. Semoga Allah mudahkan langkah kita dalam meneladani beliau
khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Sumber:
- Umar Ibn Abdul Aziz dalam Ensiklopedia Islam
- https://tirto.id/kisah-umar-bin-abdul-aziz-sejarah-gaya-kepemimpinan-
keteladanan-

Anda mungkin juga menyukai