Anda di halaman 1dari 21

Fedry Saputra

AL-HIKMAH : Jurnal Pendidikan dan Pendidikan Agama Islam p-ISSN 2685-4139


Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) e-ISSN 2656-4327

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN


PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Fedry Saputra
STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh fedrysaputra@yahoo.co.id

Abstrak:

Sejarah pendidikan Islam di Indonesia mencakup fakta-fakta atau kejadian– kejadian yang
berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, baik
formal maupun non formal. Pendidikan masa Belanda memperkenalkan sistem dan metode
baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka
dengan upah yang murah dibandingkan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat
dengan tujuan westernisasi dari kristenisasi yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani.
Pendidikan zaman Jepang disebut “Hakko Ichiu”, yaitu mengajak bangsa Indonesia
bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya. Melalui perjalanan
panjang proses penyusunan sejak tahun 1945-1989 UU nomor 2 tahun 1989, sebagai usaha
untuk mengintegrasikan pendidikan Islam dan umum dengan tujuan mengembangkan
pendidikan Islam haruslah mempunyai lembaga-lembaga pendidikan, sehingga menjadi
"lahan subur" tempat persemaian generasi baru. Pada masa reformasi gelombang
peradaban masa depan merupakan satu kesatuan dari gejolak magma cultural dari dalam
dan kekuatan globalisasi yang menerjang dari luar. Kehidupan pesantren masa depan tidak
terlepas dari kedua gelombang peradaban ini. pendidikan pesantren akan survise dan
menjadi pendidikan alternatif dari masyarakat Indonesia apabila dia peka terhadap
gelombang peradaban tersebut. Oleh karena itu perlu kita kaji apa yang merupakan
kekuatan dan kelemahan dari pendidikan pesantren dan madrasah.

Kata Kunci: Sejarah, Pendidikan Islam, Indonesia, Belanda, Jepang

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) 1


Fedry Saputra

Page
A. Latar Belakang Masalah
Berita Islam di Indonesia telah diterima sejak orang Venesia (Italia) yang bernama Marcopolo
singgah di kota Perlak dan menerangkan bahwa sebagian besar penduduknya telah beragama Islam
(Mansur, 2004). Sampai sekarang belum ada bukti tertulis tentang kapan tepatnya Islam masuk ke
Indonesia, namun banyak teori yang memperkirakannya. Pada umumnya teori-teori tersebut dikaitkan
dengan jalur perdagangan dan pelayaran antara Dunia Arab dengan Asia Timur.Pulau Sumatra misalnya,
karena letak geografisnya, sejak awal abad pertama Masehi telah menjadi tumpuan perdagangan
antarbangsa dan pedagang- pedagang yang datang ke
Sumatra (Alfian, 2005).

Meneliti sejarah bangsa Indonesia tidak akan lepas dari umat Islam, baik dari perjuangan
melawan penjajah maupun dalam lapangan pendidikan. Melihat kenyataan betapa bangsa Indonesia
yang mayoritas beragama Islam mencapai keberhasilan dengan berjuang secara tulus ikhlas
mengabdikan diri untuk kepentingan agamanya disamping mengadakan perlawanan militer.

Perlu diketahui bahwa sejarah pendidikan Islam di Indonesia mencakup fakta-fakta atau
kejadian–kejadian yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia, baik formal maupun non formal. Yang dikaji melalui pendekatan metode oleh sebab itu pada
setiap disiplin ilmu jelas membutuhkan pendekatan metode yang bisa memberikan motivasi dan
mengaktualisasikan serta memfungsikan semua kemampuan kejiwaan yang material, naluriah, dengan
ditunjang kemampuan jasmaniah, sehingga benar-benar akan mendapatkan apa yang telah diharapkan.
B. Pendidikan Islam Masa Penjajahan Belanda
Penaklukan bangsa Barat atas dunia Timur dimulai dengan jalan perdagangan, kemudian dengan
kekuatan militer. Selama zaman penjajahan Barat itu berjalanlah proses westernisasi Indonesia.
Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya adalah untuk
meningkaatkan hasil penjajahannya,bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula di
bidang pendidikan. Mereka memperkenalkan sisitem dan metode baru tetapi sekedar untuk
menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah
dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Apa yang mereka sebut
pemabaharuan pendidikan itu adalah westernisasi dari kristenisasi yakni untuk kepentingan Barat dan
Nasrani. Di samping itu sebagai bangsa penjajah pada umumnya mereka menganut pikiran Machievelli
yang menyatakan antara lain:

1. Agama sangat diperlukan bagi pemerintah penjajah


2. Agama tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukan rakyat.
3. Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan harus dibawa
untuk memecah belah dan agar mereka berbuat untuk mencari bantuan kepada pemerintah.
4. Janji dengan rakyat tak perlu ditepati jika merugikan.
5. Tujuan dapat menghalalkan segala cara.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Pendidikan Dasar

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) 2


Fedry Saputra

2. Sekolah Latin

Page
3. Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
4. Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
5. Sekolah Cina
6. Pendidikan Islam
Pendidikan agama Islam yang telah ada dipondok pesantren, masjid, musholah, atau yang
lainnya tidak membantu pemerintah Belanda menjadi acuan pada waktu itu. Dengan begitu
mereka terapkan berbagai peraturan dan kebijakan diantaranya:

a. Pada tahun 1882 pemeritah Belanda membentuk suatu badan khusus pendidikan Islam yang
mereka sebut priesterraden. Dari nasihat badan inilah pada tahun 1902 pemerinatah Belanda
mengeluarkan peraturan baru yang isinya bahwa orang yang memberikn pengajaran atau
pengajian agama Islam harus terlebih dahulu meminta izin kepda pemerintah Belanda .
b. Tahun 1925 keluar lagi peraturan yang lebih ketat terhadap pendidikan agama Islam yaitu
bahwa tidak semua orang (kiai) boleh memberikan pelajaran mengaji terkecuali telah mendapat
semacam rekomendasi atau persetujuan pemerintah Belanda.
c. Kemudian pada tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya berupa kewenangan untuk
memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinya atau memberikan
pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda yang disebut ordonasi sekolah liar (wilde
school ordonantie)
Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan model barat membawa arti positif bagi perkembangan
pendidkan Islam dan kemajuan masyarakat terjajah.

Orang-orang pribumi yang belajar disekolah-sekolah Belanda menjadi mengenal sistem kelas,
pemakaian meja dan bangku, metode belajr mengajar modern, dan ilmu pengetahuan. Selain itu mereka
juga mengenal surat kabar atau majalah yang sangat bermanfaat untuk mengikuti perkembangan
zaman. Akhirnya dapat melahirkan muslim yang memiliki pola pikir dan wawasan rasional. Pandangan
rasionallah yang menjadi salah satu pendorong untuk mengadakan pembaharuan diberbagai bidang,
diantarnya adalah perubahan dibidang kegamaan.
Pada awal abad ke-20 Indonesia telah dimasuki ole hide-ide pembaharuan pemikir Islam,
sekaligus ide-ide juga memasuki dunia pendidikan. Salah satuyang terlihat dari pembaharuan pendidikan
itu adalah munculnya uapya-upaya pembaharuan dalam bidang materi, metode.

Dampak dari munculnya ide-ide pembaharuan dalam bidang Islam yang tidak lagi beriorentasi
pilah antara ilmu agama dan umum,tetapi setidaknya walaupun belum seimbang, sudah memunculkan
pemikiran untuk mengangap penting kedua ilmu tersebut. Fenomena inilah yang berlangsung pada awal
abad ke20 dan ini menjadi dasar bagi pengembangan penyatuan kedua ilmu ini untuk seterusnya.

Bila diklasikasikan bentuk dan jenis lembaga pendidikan Islam pada masa penjajajhan Belanda
pada awal dan pertengahan abad ke-20, adalah:

1. Lembaga pendidikan pesantren yang masih berpegang secara utuh kepada budaya dan tradisi
pesantren, yakni mengajarkan kitab-kitab klasik sematamata.

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) 3


Fedry Saputra

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) 4


Fedry Saputra

2. Lembaga pendidikan sekolah-sekolah Islam, di lembaga ini di sampingmengajarkan ilmu-ilmu


umum sebagai materi pokoknya, juga mengajarkan ilmu-ilmu agama.
3. Lembaga pendidikan madrasah, lembaga ini adalah mencoba mengadopsi sistem pesantren dan
sekolah, dengan menampilkan sistem baru. Ada unsurunsur yang diambil dari pesantren dan ada
pula unsure-unsur yang diambil dari sekolah.

C. Pendidikan Islam Masa Penjajahan Jepang


Kejayaan penjajah Belanda lenyap setelah Jepang berada di Indonesia.Mereka bertekuk lutut
tanpa syarat kepada Jepang.Tujuan Jepang ke Indonesia ialah menjadikan Indonesia sebagai sumber
bahan mentah dan tenaga manusia yang sangat besar artinya bagi kelangsungan perang Pasifik.Hal
ini sesuai dengan cita-cita politik ekspansinya (Mustafa dan Abdullah Ally, 1998).

Mengenai pendidikan zaman Jepang disebut Hakko Ichiu yakni mengajak bangsa Indonesia
bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya.Oleh karena itu pelajar setiap
hari terutama pada pagi hari harus mengucapkan sumpah setia kepada kaisar Jepang, lalu dilatih
kemiliteran.Sistem persekolahan di zaman pendudukan Jepang banyak perbedaannya

dibandingkan dengan penjajahan Belanda (Hasbullah 2001)

Sekolah-sekolah yang ada pada zaman Belanda diganti dengan sistem Jepang.Segala daya
upaya ditujukan untuk kepentingan perang.Murid-murid hanya mendapat pengetahuan yang sedikit
sekali, hampir sepanjang hari hanya diisi dengan kegiatan latihan atau bekerja.

Kegiatan-kegiatan sekolah antara lain:

• Mengumpulkan batu, pasir untuk kepentingan perang;


• Membersihkan bengkel-bengkel, asrama-asrama militer;
• Menanam ubi-ubian, sayur-sayuran di pekarangan sekolah untuk persediaan makanan;
• Menanam pohon jarak untuk bahan pelumas.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat pada zaman Jepang ini yaitu terjadinya perubahan yang
cukup mendasar di bidang pendidikan, yaitu: a) Pelatihan guru-guru:

Usaha penanaman Ideologi Hakko Ichiu melalui sekolah-sekolah dimulai dengan mengadakan
pelatihan guru-guru.Guru-guru dibebani tugas sebagai penyebar ideologi baru tersebut.Pelatihan
tersebut dipusatkan di Jakarta.Setiap kabupaten wajib mengirimkan wakilnya untuk mendapat
gemblengan langsung dari pimpinan Jepang. Gemblengan ini berlangsung selama 3 bulan, jangka
waktu tersebut dirasa cukup untuk menJepangkan para guru.

Dengan demikian, habislah riwayat susunan pengajaran Belanda yang dualistis itu, yang
membedakan dua jenis pengajaran, yakni pengajaran Barat dan pengajaran Bumi Putra.

Hanya satu jenis sekolah rendah yang diadakan bagi semua lapisan masyarakat, yaitu: Sekolah
Rakyat 6 tahun, yang ketika itu populer dengan nama kokumin Gakko. Sekolah-sekolah desa masih
tetap ada dan namanya diganti menjadi sekolah pertama.

Jenjang pengajaran pun menjadi (Hasbullah 2001):

a. Sekolah Rakyat 6 tahun (termasuk sekolah pertama)


b. Sekolah menengah 3 tahun
c. Sekolah menengah tinggi 3 tahun (SMA-nya pada zaman Jepang).

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 5


Fedry Saputra

b) Perubahan-perubahan penting:
a. Hapusnya dualisme pengajaran: berbagai jenis sekolah rendah yang diselenggarakan pada
zaman pemerintahan Belanda dihapuskan sama sekali;
b. Bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi dan bahasa pengantar pada semua jenis sekolah.
Bahasa Jepang dijadikan mata pelajaran wajib dan adat kebiasaan Jepang harus ditaati.
c) Isi pengajaran:
a. Pengajaran dipergunakan sebagai alat propaganda dan juga untuk kepentingan perang;
b. Untuk melipatgandakan hasil bumi, murid-murid diharuskan membuat pupuk kompos atau
beramai-ramai membasmi hama tikus di sawah. Sebagian waktu belajar dipergunakan untuk
menanami halaman sekolah dan pinggir-pinggir jalan dengan tanaman jeruk;
c. Pelatihan-pelatihan jasmani berupa pelatihan kemiliteran dan mengisi aktivitas murid sehari-
hari;
d. Untuk menanamkan semangat Jepang, tiap hari murid-murid harus mengucapkan sumpah
pelajar dalam bahasa Jepang. Mereka harus menguasai bahasa dan nyanyian Jepang. Tiap-tiap
pagi diadakan upacara, dengan menyembah bendera Jepang dan menghormati Istana Tokyo.
e. Agar bahasa Jepang lebih populer, diadakan ujian bahasa Jepang untuk para guru dan pegawai-
pegawai, yang dibagi atas 5 tingkat. Pemilik ini akan mendapat tambahan upah. (Mustafa dan
Abdullah Ally. 1998) Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa
kebijakan antara lain:
1. Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis
menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
2. Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
3. Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran
bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
4. Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar
Muzakkir dan Bung Hatta.
5. Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang
belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan
6. Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan
dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas
besar Islam, Muhammadiyah dan NU Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai
aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan
umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
Tujuan pendidikan Islam ketika zaman penjajahan Jepang antara lain:

a. Azaz tujuan muhamadiyah: mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarnya dan azaz
perjuangan dakwah Islamiyyah dan amar ma’ruf nahi Munkar
b. INS (Indonesische Nadelanshe School) dipelopori oleh Muhammad syafi’I 18991969) bertuan
memdidik anak untuk berpikir rasional, mendidik anak agar bekerja sungguh-sungguh,
membentuk manusia yang berwatak dan menanam persatuan.
c. Tujuan Nahdlatul Ulama’, sebelum menjadi partai politik memgang teguh mahzab empat,
disamping mejadi kemaslahatan umat Islam itu sendiri.

D. Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan (Orde Lama)

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 6


Fedry Saputra

Penyelenggaraan pendidikan agama mendapat perhatikan serius dari pemerintah setelah


Indonesia merdeka, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan
memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja
Komite Nasional Pusat (BPKNP) tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa : Madrasah
dan pesantren pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidian dan pencerdasan rakyat
jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat
perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan dari pemerintah. ( A. Timur Djaelani
1980)

Kenyataan ini timbul karena kesadaran umat Islam yang dalam, setelah sekian lama mereka
terpuruk di bawah kekuasaan penjajah.Sebab pada zaman penjajahan Belanda pintu masuk
pendidikan modern bagi umat Islam terbuka secara sangat sempit. Dalam hal ini minimal ada dua hal
yang menjadi penyebabnya, (A. Ridwan Saidi,1984) yaitu :

a. Sikap dan kebijaksanaan pemerintah kolonial yang amat diskriminatif terhadap kaum muslimin.
b. Politik non kooperatif para ulama’ terhadap Belanda yang memfatwakan bahwa ikut serta dlam
budaya Belanda , termasuk pendidikan modernnya adalah suatu bentuk penyelewengan agama.
Kemerdekaan membuahkan sesuatu yang luar biasa besar manfaatnya bagi kaum muslimin,
terutama di bidang pendidikan modern.Seperti yang tertera dalam tujuan nasional bangsa Indonesia
adalah seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut :
Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. (Endang Sudardja 1984)

Setelah merdeka, pendidikan Islam mendapat kedudukan yang sangat penting dalam sistem
pendidikan nasional. Di Sumatra, Mahmud Yunus sebagai pemeriksa agama pada kantor pengajaran
mengusulkan kepada kepala pengajaran agar pendidikan agama disekolah-sekolah pemerintah
ditetapkan dengan resmi dan guru-gurunya digaji seperti guru umum dan usul pun diterima
(
Muhammad Yunus 1985). Selain itu pendidikan agama disekolah juga mendapat tempat yang
teratur, seksama, dan penuh perhatian. Untuk itu dibentuk Departemen Agama pada tanggal 13
Desember 1946 yang bertugas mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama disekolah umum dan
madrasah serta pesantren-pesantren.

Sekolah agama, termasuk madrasah, ditetapkan sebagai model dan sumber pendidikan
Nasional yang berdasarkan Undang-undang 1945. ekstensi pendidikan agama sebagai komponen
pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-undang pokok pendidikan dan Pengajaran Nomor 4
Tahun 1950, bahwa belajar disekolahsekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri
Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.

Pada tahun 1958 pemerintah terdorong untuk mendirikan Madrasah Negeri dengan ketentuan
kurikulum 30 % pelajaran agama dan 70 % pelajaran umum. Sistem penyelenggaraannya sama
dengan sekolah-sekolah umum dengan perjenjangan (Musyrifah Sunanto, 2005) sebagai berikut :

1. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) setingkat SD lama belajar enam tahun.


2. Nadrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) setingkat SMP lama belajar tiga tahun.
3. Madrasah Aliyah Negeri (MAN) setingkat SMA lama belajar tiga tahun.
Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara formal pada
tahun 1950. Undang-Undang No. 4 1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah
pasal 10 menyatakan bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 7


Fedry Saputra

Agama, sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar. Untuk mendapat pengakuan dari Departemen
Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit
enam jam seminggu secara teratur disamping mata pelajaran umum.

Jenjang pendidikan dalam system madrasah terdiri dari tiga jenjang. Pertama, Madrasah
Ibtidaiyah dengan lama pendidikan 6 tahun. Kedua, Madrasah Tsanawiyah Pertama untuk 4 tahun.
Ketiga, Madrasah Tsanawiyah Atas untuk 4 tahun. Perjenjangan ini sesuai dengan gagasan Mahmud
Yunus sebagai Kepala Seksi Islam pada Kantor Agama Provinsi. (Deliar Noer, 1983) Sedangkan
kurikulum yang diselenggarakan terdiri dari sepertiga pelajaran agama dan sisanya pelajaran umum.
Rumusan kurikulum seperti itu bertujuan untuk merespon pendapat umum yang menyatakan bahwa
madrasah tidak cukup mengajarkan agama dan untuk menjawab kesan tidak baik yang melekat
kepada madrasah, yaitu pelajaran umum madrasah tidak akan mencapai tingkat yang sama bila
dibandingkan dengan sekolah negeri/umum. (Karel A.

Steenbrink 1994)

Perkembangan madrasah yang cukup penting pada masa Orde Lama adalah berdirinya
madrasah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuan
pendiriannya untuk mencetak tenagatenaga profesional yang siap mengembangkan madrasah
sekaligus ahli keagamaan yang profesional. (Maksum 1999) PGA pada dasarnya telah ada sejak masa
sebelum kemerdekaan. Khususnya di wilayah Minangkabau, tetapi pendiriannya oleh Departemen
Agama menjadi jaminan strategis bagi kelanjutan madrasah di Indonesia.

E. Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan (Orde Baru)


Pemerintahan memandang bahwa agama mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting dan
strategis. Peran utama agama sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam pembangunan nasional,
agama juga berpengaruh untuk membersihkan jiwa manusia dan kemakmuran rakyat. (Mahmud Yunus,
1995) Agama sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu, warga dan
masyarakat hingga akhirnya dapat menjiwai kehidupan bangsa dan negara. Perkembangan Lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia

Kholilur Rahman, kholilur@iaiibrahimy.ac.id


Fakultas Tarbiyah, IAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi

Abstract

This research was conducted to describe the history of Islamic educational


institutions on the journey in the history of Indonesia through a long and tiring struggle.
In the colonial era, various ways were done as a frontal effort from The Netherlands to
stop the Islamic education that developed in some Islamic educational institutions which
at that time was formed by pesantren and madrasah.Then on its development result to
the dichotomy of educational institutions in Indonesia.Then on its development resulted
in the dichotomy of educational institutions in Indonesia.This research uses literature
method, which is a technique of collecting data through scientific literacy on the
development of Islamic education institutions in Indonesia with the aim of revealing the
travel side of Islamic institutions.So the results of this study can be useful to be a study of
institutions of education.The result of this research is that many Netherlands colonial
efforts to stop the educational process of Islamic education institutions under the
pesantren and madrasah system.These efforts include the establishment of

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 8


Fedry Saputra

Priesnterraden, a strict supervision of educational processions in Islamic educational


institutions; then published Teacher's Ordinance and Wild School Ordinance, as well as
other efforts discussed in this study.

Keywords: development, educational institution, Islam

PENDAHULUAN
Pendidikan dimulai sejak dimulainya peradaban di bumi. Pendidikan terus berkembang seiring
berkembangnya zaman tanpa henti. Hal ini sejalan dengan sebuah hadits Rasulullah SAW.

‫ِد ْﺣ ﱠﻠﻟا ﻰِﻟإ ِد ْﮭ َﻣ ﻟا َن ِﻣ َم ْﻠِﻌ ﻟا اوُُﺑﻠْط ُ ا‬


Artinya:”Tuntutlah Ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat”.
Hadits tersebut memberikan satu indikasi makna bahwa belajar tak ada batas waktu, jenjang dan usia.
Pendidikan sendiri sebagaimana dicontohkan oleh rasulullah SAW berawal dari keluarga, atau disebut
dengan istilah pendidikan in-formal. Hal tersebut terlihat dari pendidikan keluarga rasulullah dalam
membimbing dan mengarahkan putra angkatnya, yakni sahabat Ali RA. dan Zaid bin Tsabit. Dua tokoh
sahabat dan ulama tersebut memiliki kapasitas dan keilmuan luar biasa, tak lain karena berada dalam
didikan keluarga rasulullah dan Sayyidatina Khadijah.

Kesuksesan rasulullah di dalam mendidik tidak hanya dalam keluarga, bahkan para sahabat kala itu juga
mendapatkan pendidikan dan bimbingan rasulullah di berbagai forum. Dan yang paling populer di dalam
beberapa literasi tentang sejarah pendidikan di masa rasulullah, adalah dilaksanakan di Serambi (Suffah)
masjid yang kemudian di sebut dengan Ashabus Suffah.

Yang pertama kali tinggal di Shuffah adalah kaum Muhajirin. Oleh karena itu, terkadang shuffah ini
melekat dengan mereka hingga juga dikenal dengan sebutan Shuffatul Muhâjirîn. Tempat ini juga
menjadi tempat persinggahan para utusan yang hendak menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk menyatakan keislamannya dan kesiapannya menaati Rasulullah Shalalllahu ‘alaihi wa
salam. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang dipercaya sebagai penanggung jawab orang-
orang yang tinggal di Shuffah, baik yang menetap dalam jangka waktu yang lama ataupun yang sekedar
singgah saja.

Penghuni shuffah ini tidak hanya terdiri dari kaum Muhâjirîn ataupun para utusan saja. Sebagian
Sahabat dari kalangan Anshâr juga menghuninya. Kendatipun mereka telah memiliki rumah di Madinah
dan memiliki harta yang cukup. Kemauan mereka untuk hidup zuhud menjadi alasan mengapa mereka
memilih tinggal di Shuffah. Diantaranya, Ka’ab bin Mâlik al Anshâri Radhiyallahu anhu, Hanzhalah bin Abi
‘Amir Radhiyallahu ‘anhu, dan Hâritsah bin Nu’mân Radhiyallahu anhu.

Begitulah sekelumit sejarah tentang cikal bakal dan perkembangan pendidikan islam di zaman rosulullah
yang terus berlangsung hingga kini. Namun dalam tulisan kali ini penulis tertarik untuk memotret
sejarah perkembangan pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia sebagai lingkup kecil dari
pendidikan Islam. Karena tidak dapat dipungkiri penting sekali untuk mengetahui sejarah perkembangan
pendidikan terutama lembaga pendidikan Islam di Indonesia beserta dinamikanya sehingga kemudian
muncul upaya-upaya dikotomi antara lembaga pendidikan sebagai sebuah agresi terhadap lembaga
pendidikan Islam yang terus berkembang secara mandiri di bawah komando para ulama.Tekanan-
tekanan bangsa kolonial dari berbagai cara, dari membentuk kurikulum sekuler dalam desain kurikulum
nasional, membuat undang-undang pendidikan, ordonansi guru dan ordonansi sekolah liar adalah bukti-
bukti sejarah yang konkrit bahwa lembaga pendidikan Islam melewati sejarah panjang dalam
mempertahankan ciri khasnya yang berbasis keislaman.

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 9


Fedry Saputra

Di tengah upaya “jihad’nya dalam mempertahankan ciri khas kegamaan, pesantren dan madrasah terus
berkembang yang secara kompetitif bersaing dengan lembaga pendidikan umum. Pesantren dan
madrasah juga berupaya mendapatkan payung hukum pendidikan dari pemerintahan Indonesia secara
legal-formal sehingga keberadaan lembaga pendidikan Islam mendapat legimitasi dari pemerintah
Indonesia.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan pustaka, di mana peneliti menela’ah beberapa literasi
sejarah lembaga pendidikan Islam, baik pesantren maupun madrasah dengan tujuan dapat melacak
perkembangan sejarah lembaga pendidikan Islam dan perjuanganya di bawah tekanan ideologi kolonial.

PEMBAHASAN
A. Perkembangan lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan adalah salah satu faktor yang sangat menentukan dan berpengaruh terhadap perubahan
sosial. Melalui pendidikan diharapkan bisa menghasilkan para generasi penerus yang mempunyai
karakter yang kokoh untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa. Dengan demikian,
pendidikan harus benar-benar dimaksimalkan dalam segala aspeknya. Agar pendidikan terlaksana
dengan baik, maka tentunya dibutuhkan media atau forum yang disebut dengan Lembaga.

Lembaga pendidikan merupakan institusi, media, forum, atau situasi dan kondisi tertentu yang
memungkinkan terselenggaranya proses pembelajaran, baik secara terstruktur maupun secara tradisi
yang telah diciptakan sebelumnya (Roqib, 2009: 121). Dinamika lembaga pendidikan terus berkembang
untuk menemukan bentuknya yang ideal dan melalui sejarah panjang, terutama perkembangan lembaga
pendidikan Islam di Indonesia. Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat
para ahli tentang pengertian lembaga pendidikan Islam. Abuddin Nata mengungkapkan bahwa kajian
lembaga pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan
mengenai macammacam lembaga pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa lembaga
pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang
memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik (Nata, 2005).

Pendidikan Islam pada awalnya hanya dipersepsi sebagai materi yang kemudian secara perlahan
berubah dan berkembang juga dipersepsi sebagai institusi. Hal ini tercermin dalam Undang-undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan peraturan pemerintah yang secara
operasional mengatur Undang-undang tersebut. Dengan demikian, penyebutan “pendidikan Islam” bisa
mencakup empat persepsi, yaitu pertama: pendidikan Islam dalam pengertian materi; kedua,
pendidikan Islam dalam pengertian institusi; ketiga, pendidikan Islam dalam pengertian kultur; dan
keempat, pendidikan Islam dalam pengertian pendidikan yang islami (Soebahar, 2013).

Pendidikan Islam dalam pengertian institusi, maka yang dimaksud adalah institusi-institusi pendidikan
Islam, seperti: Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah, dan Madrasah sebagai sekolah Umum berciri khas
Islam (Soebahar, 2013). Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam sudah tidak diragukan
lagi. Ini bisa dilihat dari peran strategis pesantren, diantaranya:

1. pesantren masih diyakini sebagai kiblat bagi umat Islam Indonesia. Ini tidak lepas dari anggapan
masyarakat bahwa menuntut ilmu agama akan lebih mumpuni jika mondok di pesantren;
2. pendidikan pesantren yang telah melengkapi program pendidikannya mampu memberikan
pendidikan integratif (penggabungan) dan komperehensif (menyeluruh). Ini bisa dilihat dari
perpaduan ilmu dengan moralitas santri;

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 10


Fedry Saputra

3. tidak dibatasinya usia peserta didik, pendidikan seumur hidup dengan waktu 24 jam;
4. mengutamakan kejujuran, keikhlasan dan akhlak yang baik dalam proses pembelajaran;
5. persaudaraan sebagai watak santri. Dilihat dari kebersamaan santri dalam pondok pesantren
dengan satu kamar berpenghuni banyak dan makan bersama dengan menu seadanya.
Apabila ditelusuri sejarah pendidikan di Jawa, sebelum datangnya agama Islam telah ada lembaga
pendidikan Jawa kuno yang praktik kependidikannya sama dengan pesantren. Lembaga pendidikan Jawa
kuno itu bernama pawiyatan, di lembaga tersebut tinggal Ki Ajar dengan cantrik. Ki Ajar orang yang
mengajar cantrik orang yang diajar. Kedua kelompok ini tinggal disatu komplek dan di sini terjadilah
proses belajar mengajar. Dengan menganalogikan pendidikan pawiyatan ini dengan pesantren,
sebetulnya tidak terlalu sulit untuk menetapkan bahwa pesantren itu telah tumbuh sejak awal
perkembangan Islam di Indonesia khususnya di Jawa. Sebab model pendidikan pesantren itu telah ada
sebelum Islam masuk yaitu pawiyatan (Daulay, 2009: 21-22).

Dengan masuknya Islam, maka diperlukan sarana pendidikan, tentu saja model pawiyatan ini dijadikan
acuan dengan mengubah sistem yang ada ke sistem pendidikan Islam. Inti dari pesantren itu adalah
pendidikan ilmu agama, dan sikap beragama. Karenanya mata pelajaran yang diajarkan semata-mata
pelajaran agama. Setelah anak didik telah memiliki kecerdasan tertentu, maka mulailah diajarkan kitab-
kitab klasik. Kitab-kitab klasik ini juga diklasifikasikan kepada tingkat dasar, menengah dan tinggi.
Mahmud Yunus membagi pesantren pada tahap-tahap awal itu kepada empat tingkatan, yaitu : tingkat
dasar, menengah, tinggi, dan takhassus. Sistem pendidikan pesantren baik metode, sarana fasilitas serta
yang lainnya masih bersifat tradisional. Administrasi pendidikannya belum seperti sekolah umum yang
dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda, non-klasikal, metodenya sorogan, wetonan hafalan. Menurut
Zamaksyari Dhofier ada lima unsure pokok pesantren: kiai, santri, masjid, pondok dan pengajaran kitab-
kitab klasik (Daulay, 2009: 22).

Pada awal perkembangannya, ada dua fungsi pesantren. Pertama, sebagai lembaga pendidikan; dan
kedua, sebagai lembaga penyiaran agama. Kendatipun kini telah banyak perubahan yang terjadi, namun
inti fungsi utama itu masih melekat pada pesantren. Sampai kini, fungsi asli tersebut tetap dipelihara
oleh pesantren dari pengaruh apa yang disebut modernisasi. Ini mungkin dilakukannya karena pesantren
mempunyai “wilayah sosial” yang mengandung daya resistensi terhadap pengaruh buruk modernisasi.
Di zaman kolonial dahulu pondok pesantren memegang peranan aktif dalam menentang penetrasi
kolonialisme dengan uzlah yakni menutup diri dari pengaruh luar. Peran ini tetap dilanjutkannya, juga
beberapa waktu setelah Indonesia merdeka. Oleh karena sifatnya yang tertutup di masa yang lampau itu
dahulu, pesantren sebagai lembaga pendidikan, kurang dikenal secara nasional. Namun demikian, ketika
membicarakan model pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, pemimpin-pemimpin Indonesia,
antara bulan Oktober 1935 sampai dengan bulan April 1936, pernah bertukar pikiran melalui majalah
Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli dan Wasita, yang kemudian dikumpulkan oleh Akhdiyat K.
Mihardja dalam buku Polemik Kebudayaan 1948 (Ali & Ali, 1995: 146).

Yang menarik dalam Polemik Kebudayaan itu adalah pikiran- pikiran yang dikemukakan oleh Ki Hadjar
Dewantara dan Dr. Sutomo, pemimpin golongan nasionalis, bukan pemimpin Islam, yang menginginkan
agar pesantren dijadikan sebagai model pendidikan nasional. Menurut pendapat mereka, pendidikan
yang diselenggerakan di pesantren, lebih sesuai bagi bangsa Indonesia. Pesantren adalah warisan
budaya Indonesia, karena itu seyogyanya pendidikan pesantren dijadikan model dalam menyusun
perguruan nasional (Ali & Ali, 1995: 146). Dalam perkembangan berikutnya pesantren mengalami
dinamika yang menjadikan pesantren berkembang dari yang tradisional ke modern. Sesuai dengan
kemajuan dan perkembangan zaman, terutama setelah Indonesia merdeka, telah timbul perubahan-
perubahan dalam dunia pesantren. Telah banyak di antara pesantren yang telah menyesuaikan diri

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 11


Fedry Saputra

dengan kemajuan zaman tersebut, kendatipun di sana sini masih ditemukan juga pesantren yang masih
bersifat konservatif (Daulay, 2009: 22).

Sebagai suatu lembaga pendidikan yang hidup di tengah-tengah arus modernisasi, maka agar
eksistensinya tetap bisa dipertahankan maka ada baiknya dikutip pendapat Nurcholish Madjid, bahwa
pesantren diwajibkan oleh tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya dengan
perkembangan zaman untuk membekali mereka dengan kemampuankemampuan nyata yang dapat
melalui pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai. Dibagian ini pun
sebagaimana layaknya yang terjadi sekarang harus tersedia kemungkinan mengadakan pilihan-pilihan
jurusan bagi anak didik sesuai dengan potensi buat mereka. Jadi tujuan pendidikan pesantren kiainya
berada disekitar terbentuknya manusia yang memilki kesadaran setingi-tingginya akan bimbingan agama
Islam (Daulay, 2009: 75).

1. Lembaga Pendidikan Pesantren


Menurut Manfred Ziemek menyebutkan bahwa asal etimologi dari pesantren adalah pesantrian berarti
“tempat santri”. Santri atau murid (umumnya sangat berbeda-beda) mendapat pelajaran dari pemimpin
pesantren (kiai) dan oleh para guru (ulama atau ustadz). Pelajaran mencakup berbagai bidang tentang
pengetahuan Islam. Elemen-elemen pokok pesantren itu adalah : pondok, masjid, santri, pengajaran
kitab-kitab klasik dan kiai. Ada juga yang menyebutkan unsure-unsur pokok pesantren itu hanya tiga,
yaitu : 1. Kiai yang mendidik dan mengajar, 2. Santri yang belajar, 3. Masjid tempat mengaji (Daulay,
2009: 61-62). Ada beberapa alasan pokok sebab pentingnya pondok dalam satu pesantren, yaitu :
pertama, banyaknya santri-santri yang berdatangan dari daerah yang jauh untuk menuntut ilmu kepada
seorang kiai yang sudah termasyhur keahliannya. Kedua, pesantern-pesantren tersebut terletak di desa-
desa di mana tidak tersedia perumahan untuk menampung santri yang berdatangan dari luar daerah.
Ketiga, ada sikap timbal balik antara kiai dan santri, di mana para santri menganggap kiai adalah seolah-
olah orang tuanya sendiri.

Hasil Studi Ronald Alan Lukens Bull (1977), Doktor yang menekuni studi pondok pesantren asal Amerika
Serikat, menunjukkan bahwa sebagai lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren pertama kali dirintis
oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M. Untuk menyebarkan agama Islam di Jawa dan
tokoh yang berhasil mendirikan pesantren adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Pertama kali didirikan
pondok pesantren di kembangkuning yang waktu hanya memiliki tiga orang santri, setelah itu Raden
Rahmat pindah ke Ampel Denta dan mendirikan pondok pesantren yang selanjutnya dikenal dengan
Sunan Ampel. Selanjutnya muncul pesantren-pesantren baru yang digagas oleh para santri dan
putranya, seperti pondok pesantren Giri oleh Sunan Giri, Pondok Pesantren Demak oleh Raden Fatah,
dan pondok pesantren tuban oleh Sunan Bonang (Wahjotomo, 1997:70). Fungsi pondok pesantren pada
awalnya hanya sebagai media islamisasi yang memadukan tiga unsur, yakni: ibadah untuk menanamkan
iman, tabligh untuk menyebarkan Islam, dan ilmu serta amal untuk mewujudkan kegiatan sehari-hari
dalam kehidupan masyarakat (Soebahar, 2013: 34).

Bangunan pondok pesantren terus berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan bertambahnya
santri. Akhirnya dengan bantuan dari masyarakat sekitar yang menaruh simpati, berkembanglah
pemukiman tersebut menjadi “kampus atau kompleks”, tempat para santri beribadah, mencari ilmu dan
berinteraksi dengan kiai sebagai tokoh sentralnya yang menjadi panutan para santri dalam kehidupan
sehari-hari. Itulah sebabnya tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama atau istilah pondok
pesantren. Pondok berarti tempat tinggal, sedang pesantren merupakan penyantrian, yang memiliki dua
arti, yakni tempat santri atau proses menjadi santri (Soebahar, 2013: 35).

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 12


Fedry Saputra

Pesantren sendiri telah menempuh sejarah panjang, dari yang awalnya hanya menyebarkan ilmu
bertransformasi menjadi lembaga yang menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah, membentuk karakter
serta menerima bentuk kurikulum pemerintah dalam rangka menjawab kebutuhan masyarakat dan
zaman, lalu kemudian muncul model-model pondok pesantren, yakni pondok pesantren modern, yakni
pondok pesantren yang terbuka untuk perubahan, maju dan berkembang serta menerima kurikulum
negara, ada pula yang berkomitmen untuk terus mempertahankan tradisi salafi dan konservatif
terhadap dinamika kebutuhan pendidikan, pesantren ini disebut dengan pesantren Salaf.

2. Lembaga Pendidikan Madrasah


Madrasah merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang berbentuk formal. di mana dalam
sistem pembelajarannya diatur secara sistematis. Madrasah adalah lembaga penyelenggara kegiatan
belajarmengajar secara terpadu dan sistematis. Prosedur pendidikannya diatur sedemikian rupa, ada
guru, ada siswa, ada jadwal pelajaran yang berpedoman pada kurikulum, silabus, dan GBPP (Garis-Garis
Besar Program Pengajaran), ada jam-jam tertentu waktu belajar serta dilengkapi dengan sarana dan
fasilitas pendidikan, baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Madrasah atau sekolah merupakan
lembaga pendidikan formal, juga menentukan membentuk kepribadian anak didik yang islami. Bahkan
madrasah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam mendidik peserta didik.
Hal ini cukup beralasan, mengingat bahwa madrasah atau sekolah merupakan tempat khusus dalam
menuntut berbagai ilmu pengetahuan.

Secara historis keberadaan madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari keberadaan masjid.
Sebab, proses pendidikan yang berlangsung di masjid pada periode awal terdapat pendidik, peserta
didik, materi dan metode pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan materi dan kondisi peserta didik.
Hanya saja, dalam mengajarkan suatu materi, terkadang dibutuhkan tanya jawab, pertukaran pikiran,
hingga dalam bentuk perdebatan sehingga metode seperti ini kurang serasi dengan ketenangan dan rasa
keagungan yang harus ada pada sebagian pengunjung-pengunjung masjid. Madrasah sebagai institusi
pendidikan kegamaan di Indonesia memiliki sejarah panjang. Pada zaman penjajahan Belanda,
madrasah didirikan untuk semua warga. Sejarah mencatat, madrasah pertama kali berdiri di Sumatra,
Madrasah Adabiyah (1908, dimotori Syekh Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri Madrasah Schoel di
Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah
Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah Schoel. Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah
di Padang Panjang (1907). Lalu, Madrasah Nurul Uman dididirikan H. Abdul Somad di Jambi.

Madrasah berkembang di Jawa mulai 1912. Ada model madrasahpesantren NU dalam bentuk Madrasah
Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha, dan Muallimin Ulya (mulai 1919); ada madrasah
yang mengapropriasi sistem pendidikan Belanda plus, seperti Muhammadiyah (1912) yang mendirikan
Madrasah Ibtidaiyah, Tsnawiyah, Muallimin, Muballighin, dan madrasah Diniyah. Ada juga model Al-
Irsyad (1913) yang mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan
Tahassus; atau model madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian. Pada awal
masa kemerdekaan RI sampai adanya SKB Tiga Menteri, madrasah dengan persentase lumayan masih
konsisten berdiri di atas orientasinya sendiri. Perubahan struktur sosial kemudian mendorong pesantren
menyesuaikan diri dengan kebutuhan mendasar yang dipolakan oleh sistem pendidikan nasional.
Berbagai komponen bidang studi yang semula belum menjadi wilayah garapan madrasah.

Dahulu madrasah hanya mengenal sistem klasikal dalam bentuk shiff (kelas) satu sampai dengan enam
atau sampai belasan (seperti di Madrasah Mamba’ul Ulum). Kini, pengelolaannya semakin meningkat
dengan sistem manajerial madrasah. Ada komponen kurikulum secara teratur, ketatausahaan yang

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 13


Fedry Saputra

lengkap dan sebagainya. Pendek kata, madrasah mulai berusaha mengembangkan dirinya sesempurna
mungkin, sebagai sisi lain dari sistem pendidikan nasional, terutama pada waktu lembaga ini menjadi
rival Departeman Agama dengan kebijaksanaanya membentuk MWB (Madrasah

Wajib Belajar).

Bila pada awal kemerdekaan, madrasah pada galibnya menolak campur tangan pemerintah, sikap itu
muncul terutama karena negara baru ini berwatak duniawi dan nasionalistis. Sedangkan madrasah yang
dikelola swasta memiliki tradisi keagamaan. Mulai masa MWB itu, rnadrasah mengakomodasikan sikap.
Subsidi pemerintah dalam bentuk material mulai diterima. Maknanya, ia mulai membuka keterlibatan
pemerintah dalam dunianya. Guru Agama Negeriwalaupun secara selektif-mulai diterima, bahkan
menjadi kebutuhan terutama bagi yang kekurangan tenaga guru.

Ide peningkatan madrasah yang datang dari pemerintah untuk mengubah orientasi kepada pola sistem
pendidikan mulai diterima, sekurangkurangnya dipertimbangkan. Kurikulum mulai dibicarakan bentuk
dan ragamnya yang sesuai dengan peningkatan kualitasnya. Sejak ini, banyak perubahan-perubahan
besar di madrasah. Akan tetapi secara ideal saat itu madrasah masih dapat konsisten pada titik tekan
disiplin ilmunya, walaupun dipandang dari sudut prestasinya mengalami penurunan.

Suatu fenomena lain yang merupakan kelanjutan dari proses itu ialah ketika SKB Tiga Menteri tahun
1975 diterapkan pada madrasah. Sejak itu madrasah dituntut mengikuti berbagai perkembangan sosial
lebih jauh lagi dan beradaptasi dengan pola hidup masyarakat. SKB itu sebenarnya merupakan bentuk
legalisasi saja dari tuntutan itu. Mulailah madrasah menstandarkan kurikulumnya dengan sekolah dan
madrasah negeri. Apalagi setelah terbukanya kesempatan penegerian madrasah atau sekurang-
kurangnya memfilialkan dengan negeri, ujian persamaan negeri dan UUB di madrasah.

B. Dikotomi Pendidikan Agama dan Sekular


Dikotomi dalam bahasa Inggris adalah dichotomy adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua,
bercabang dua bagian (Echols & Shadily, 1992: 180). Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai
pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan (Depdikbud, 1989: 205). Secara terminologis,
dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi
fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia
pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality) (Praktiknya, 1991:
104). Bagi Al- Faruqi, dikotomi adalah dulaisme religius dan kultural (Al-Faruqi, 1982: 37).

Dikotomi adalah merupakan dua hal yang bertentangan yang dalam konteks pembahasan ini adalah
dikotomi yang terjadi antara pendidikan Islam dan pendidikan sekular yang tidak dipungkiri terbentuk
dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini terbukti dengan lahirnya dua lembaga pendidikan berciri
khas berbeda, yakni sekolah dan madrasah. Sekolah merupakan representasi dari sebuah proses
pembelajaran yang menitik beratkan pada pembelajaran umum, sementara madrasah adalah sebuah
lembaga pendidikan yang berciri khas keislaman karena banyak porsi materi agama dari pada materi
umum dan sekular.

Persoalan dikotomi dan dualisme terasa sudah mendarah-daging dalam pendidikan di Indonesia. Hal ini
lantaran dikotomi dan dualisme itu sudah ada sejak lama, tepatnya ketika Belanda menjajah negeri ini
(Saridjo, 1996: 22). Latar belakang munculnya dikotomi dalam pendidikan itu didasarkan pada beberapa
kepentingan Belanda sebagai bangsa penjajah, seperti: untuk meningkatkan pengetahuan mereka
berkaitan dengan ilmu-ilmu umum dan pengetahuan tentang masyarakat Indonesia, keperluan tenaga
pembantu rumah tangga dari penduduk pribumi sehingga mereka diberikan pendidikan secukupnya,

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 14


Fedry Saputra

ingin mendapatkan simpati dari warga penduduk pribumi karena jasa pendidikan yang diberikan,
kepentingan misionaris, dan lain sebagainya (Mestoko, 1979: 41).

Pada era penjajahan Belanda, dikotomi muncul sebagai bentuk deskriminasi Belanda terhadap warga
Indonesia. Ini terlihat dari pendidikan yang tidak seimbang antara belanda dan warga indoneisa. Warga
belanda mendapatkan pendidikan di kelas-kelas khusus, sementara warga Indonesia hanya bisa
menempuh pendidikan di kelas-kelas yang tujuannya tidak untuk mencerdaskan serta meningkatkan
taraf sosial. Akan tetapi, ditujukan untuk mempertahankan perbedaan sosial.

Berbicara lebih jauh tentang pengdikotomian ilmu hal ini sangatlah terkait dengan masalah dikotomi
pendidikan (kelembagaan), sehingga berimbas pada terjadinya dikotomi pendidikan umum dan
pendidikan agama dalam arti kelembagaan yang dimana hal ini merupakan warisan dari zaman kolonial
Belanda, karena anak-anak yang bisa masuk sekolah Belanda sebelum kemerdekaan hanya 6% dan
terbatas bagi anak-anak kaum bangsawan dan saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih madrasah
atau pondok pesantren, yang memang sudah ada sebelum munculnya sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah kolonial Belanda. Karena tekanan politik pemerintah kolonial, maka sekolah-sekolah agama
Islam memisah diri dan terkontak dalam kubu tersendiri.Sehingga dengan sendirinya mulailah
pendidikan terkotak-kotak (dikotomi) antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Bila kita
menoleh sejarah pendidikan Islam maka menurut Azyumardi Azra, hal ini bermula dari historical
accident atau “kecelakaan sejarah”, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada
penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha (Muliawan, 2005:
206-208).

Pemerintah Belanda menerapkan pengawasan dan kontrol yang sangat ketat dan kaku, kontrol yang
ketat ini dijadikan alat politik untuk menghambat dan bahkan menghalang-halangi pelaksanaan
pendidikan Islam, dengan membentuk suatu badan yang khusus yang bertugas mengawasi kehidupan
beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesnterraden (Fauzan, 2004: 164)

Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam adalah penerbitan
Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah.
Tidak setiap orang, meskipun ahli ilmu agama, dapat mengajar di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam
perkembangannya, Ordonansi Guru itu sendiri mengalami perubahan dari keharusan guru adama
mendapatkan surat izin menjadi keharusan guru agama itu cukup melapor dan memberitahu saja
(Maksum, 1999: 115). Peraturan ini mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan
Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, Al-Irsyad, Nahdatul
Watan dan lain-lain.

Selain Ordonansi Guru, pemerintah Belanda mengeluarkan pula peraturan yang dapat memberantas
dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak
disukai oleh pemerintah yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie). Selain itu
untuk lingkungan kehidupan agama Kristen di Indonesia yang selalu menghadapi reaksi dari rakyat, dan
untuk menjaga sekolah umum yang kebanyakan muridnya beragama Islam, maka pemerintah
mengeluarkan peraturan yang disebut netral agama (Zuhairini, et al., 2008: 150).

Dikotomi yang tercipta di zaman kolonial belanda tak bisa lekang bahkan sampai bangsa Indonesia
memproklamirkan kemerdekaanya pada tahun 1945. Oleh karenanya, Departemen Agama tampil untuk
mengarahkan Madrasah agar tidak berjalan sendiri dan mengacu pada Standar yang diberlakukan untuk
sekolah umum. Sehingga pada tahun 1975 menteri agama, menteri dalam negeri dan menteri
pendidikan sepakat untuk mengeluarkan SKB menteri yang bertujuan untuk membuat langkah
konvergensi terhadap Dikotomi lembaga pendidikan di Indonesia.

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 15


Fedry Saputra

C. Usaha konvergensi Lembaga Pendidikan Agama dan Sekular Pada tahun 1972 dan tahun
1974, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No 34/1972 dan Inpres No 15/1974 yang dianggap
melemahkan dan mengasingkan madrasah dan pendidikan nasional yang memunculkan reaksi keras
umat Islam. Untuk meredam reaksi tersebut kemudian muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga
menteri yakni Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri pada
1975 yang mensejajarkan level madrasah dengan sekolah umum, yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang
setingkat dengan SD, Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang setingkat dengan SMP, dan Madrasah Aliyah
(MA) yang setingkat dengan SMA. SKB tiga menteri ini pada hakikanya adalah untuk meningkatkan mutu
pendidikan di madrasah. Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 1975, Bab I Pasal I disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan madrasah dalam keputusan bersama ini adalah lembaga pendidikan yang
menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% di
samping mata pelajaran umum.

Dengan terbitnya SKB tiga Menteri tahun 1975, pada fase ini mata pelajaran umum di madrasah di
setiap levelnya lebih banyak, yakni sekitar 70%. Walaupun demikian, kedudukan mata pelajaran agama
tetap memegang peranan yang amat penting seperti tertera dalam kurikulum madrasah Aliyah Tahun
1984, sekitar 30%. Dengan dikeluarkannya SKBTiga Menteri tersebut, maka madrasah memasuki era
baru, yakni era kesetaraan dan kesederajatan antara madrasah dengan sekolah. Ini adalah salah satu
bentuk upaya konvergensi atas dikotomi dua lembaga pendidikan yang berciri khas berbeda.

Dengan demikian pergumulan antara sistem pendidikan nasional dengan sistem pendidikan Islam pun
terus berlangsung, melalui proses yang panjang lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yang diharapkan mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat yang dapat
dijadikan tolak ukur untuk mendekatkan berbagai kutub pendidikan yang dualistis dan dikotomis di
Indonesia.

Akan tetapi kenyataan ini tidak dapat menghilangkan paradigma dualisme dan dikotomi pengelolaan
yang selama ini melingkupi pendidikan nasional. Departemen Agama sebagai otoritas pengelolaan
pendidikan agama berhadapan dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan selaku pengelola
pendidikan umum sehingga muncul persoalan adanya dikotomisasi kurikulum, diskriminasi lulusan,
kebijakan moneter yang tidak seimbang dan lain-lain

Dengan UU. No. 20 Tahun 2003 dan PP. No. 19 Tahun 2005 diharapkan mampu prinsip otonomi yang
diakomodasi adalah adanya pengakuan terhadap otonomi sekolah, di samping penghapusan
diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat serta
pembedaaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Undang-undang dan peraturan
pemerintah tersebut telah memberi peluang yang sama untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan
tidak ada diskriminasi di mata negara, sehingga diharapkan dapat menjembatani dualisme dan dikotomi.

SIMPULAN
Lembaga pendidikan di Indonesia, khususnya lembaga pendidikan Islam terdiri dari lembaga pendidikan
Pesantren dan lembaga pendidikan Madrasah. Pesantren pertama di Indonesia dirintis oleh Syehk
Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M kemudian didirikan oleh Raden Rahmat (sunan Ampel) yang
terus belanjut hingga zaman kolonial belanda menjajah Indonesia. Sistem pendidikan pesantren pada
awalnya, baik metode, sarana prasarana, masih bersifat tradisional karena pesantren cenderung
konservatif dari sistem pendidikan sekular yang dimotori oleh belanda. Namun meski perkembangan
lembaga pendidikan Islam di Indonesia mengalami tekanan yang luar biasa ketat terutama waktu

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 16


Fedry Saputra

penjajahan kolonial belanda pesantren selalu bisa menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga
pendidikan yang konsisten mengajarkan nilai-nilai agama.

Madrasah adalah model kedua dari pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indoenia juga
mengalami perjalanan yang panjang. Tekanan-tekanan dari kolonialisme belanda juga gencar diarahkan
untuk melemahkan sistem pendidikan di madrasah, salah satu bentuk startegi tekanan kolonialisme
adalah terbentuknya dikotomi lembaga pendidikan Islam dan lembaga pendidikan sekular. Kemudian
terbitnya ordonansi guru dan ordonansi sekolah liar. Adalah salah satu bentuk konkrit sejarah bahwa
perjalanan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia tidaklah mulus dan penuh dengan
dinamika kecaman.

DAFTAR RUJUKAN

Al-Faruqi, I. R. 1982. Islamization of Knowledge : General Principles and Workplan Hemdon : HIT

Ali, D. M & Ali, D. H. 1995. Lembaga – lembaga Islam di Indonesia. Jakarta:


Raja Grafindo

Daulay, P. H. 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta :
Kencana

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Echols, M. J & Shadily, H. 1992. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Utama

Fauzan, S. 2004. Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Studi Perkembangan Sejarah


dari Abad 13 hingga Abad 20 M. Bandung: Angkasa

Maksum. 1999. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta : Logos


Wacana Ilmu

Mestoko, S. 1979. Pendidikan Indonesia dari Jaman ke Jaman. Jakarta:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI

Muliawan, U. J. 2005. Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan kembali Dikotomi Ilmu
dan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nata, A. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama

Pratiknya, W. A. 1991. Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Muslih Usa (Ed.),
Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta . Yogyakarta : Tiara Wacana

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 17


Fedry Saputra

Roqib, M. 2009. Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,


Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: LKIS

Saridjo, M. 1996. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Amissco Soebahar, A. H. 2013.
Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordinansi Guru sampai UU Sisdiknas. Jakarta: PT Raja Grapindo
Persada

Zuhairini et al. 2008. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Prof. Ludjito menyebutkan permasalahan yang terjadi dalam Pendidikan Agama Islam
walaupun dari sistem pendidikan nasional cukup kuat, namun dalam pelaksanaannya masih jauh dari
yang diharapkan. Hal ini karena dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :

- Kurangnya jumlah pelajaran agama di sekolah


- Metodologi pendidikan agama kurang tepat. Lebih menitikberatkan pada aspek kognitif daripada
aspek afektif
- Adanya dikotomi pendidikan, meterogenitas pengetahuan dan penghayatan peserta didik
- Perhatian dan kepedulian pemimpin sekolah dan guru terhadap pendidikan agama kurang
- Kemampuan guru agama untuk menghubungkan dengan kehidupan kurang
- Kurangnya penanaman nilai-nilai, tata krama dalam Pendidikan Agama Islam
Seandainya dari enam aspek tersebut bisa ditangani, maka pendidikan agama akan lebih
diperhatikan masyarakat.

1. Pendidikan Agama dan Sistem Pendidikan Nasional

Melalui perjalanan panjang proses penyusunan sejak tahun 1945-1989 UU nomor 2 tahun
1989, sebagai usaha untuk mengintegrasikan pendidikan Islam dan umum. Untuk mengembangkan
pendidikan Islam haruslah mempunyai lembagalembaga pendidikan, sehingga menjadi "lahan subur"
tempat persemaian generasi baru. Artinya pendidikan Islam harus mampu :

- Membedakan akar peserta didik dari semua kekangan dan belenggu


- Membangkitkan indra dan perasaan anak didik sebagai sarana berfikir
- Membekali ilmu pengetahuan
Di samping hal itu peluang untuk berkembangnya pendidikan Islam secara integrasi dalam
Sistem Pendidikan Nasional bisa dilihat dalam beberapa pasal.

a. Pasal 1 ayat 2, pendidikan nasional adalah pendidikan yang terakhir pada kebudayaan bangsa
Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b. Pasal 4, tentang tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang bertakwa dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, pribadi
yang mantap dan mandiri.
c. Pasal 10, pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang
diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, moral dan
ketrampilan.

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 18


Fedry Saputra

d. Pasal 11 ayat 1, jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan
umum, pendidikan kejuruan, keagamaan, kedinasan, akademik dan profesional.
e. Pasal 39 ayat 2, isi kurikulum setiap jenis dan jalur, serta jenjang pendidikan wajib memuat
pendidikan Pancasila, agama dan kewarganegaraan.
f. Pasal 47, ciri khas suatu pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan.

2. Pengintegrasian Pelajaran Agama dan Pelajaran Umum

Integrasi merupakan pembauran sesuatu sehingga menjadi kesatuan, sedangkan integrasi


pendidikan adalah proses penyesuaian antara unsur-unsur yang berbeda sehingga mencapai suatu
keserasian fungsi dalam pendidikan dan integritas pendidikan memerlukan integritas kurikulum atau
secara khusus memerlukan integritas pelajaran. Karena sasaran akhir dari pendidikan (agama) adalah
untuk meciptakan manusia yang bisa mengintegrasikan diri, mampu menggunakan imannya dalam
menjawab tantangan hidup dan mampu memanusiakan sesamanya dengan berbagai kehidupan yang
sejahtera yang dikaruniakan Allah pada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk
memajukan manusia dalam mengambil bagian secara aktif, kreatif dan kritis.

Untuk melaksanakan suatu yang lebih baik dari masa lalu, pelajaran agama dan mata pelajaran
umum ditentukan guru yang memilki integritas keilmuan yang memadai dalam pendidikan. Sehingga
bisa menemukan cara untuk dapat menghubungkan bagian-bagian dari suatu bidang dari suatu
bidang studi, satu pelajaran dengan mata pelajaran yang lain.

F. Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan (Reformasi)


Apabila kita berbicara mengenai pendidikan Islam maka kita akan membicarakan mengenai
pesantren dan madrasah. Menurut para pakar pendidikan Islam bentuk pendidikan yang indigenous
adalah pesantren yang telah hidup dan berada di dalam budaya Indonesia sejak zaman prasejarah
yang kemudian dilanjutkan pada masa Hindu-Budha dan diteruskan pada masa kebudayaan
Islam.Madrasah adalah bentuk pendidikan klasikal yang masuk ke Indonesia sejalan dengan arus
modernisasi Islam.Pesantren yang mempunyai pengertian archaic, juga mempunyai konotasi
kemasyarakatan, bahkan suatu kesatuan ekonomis dan mungkin pula politik selain daripada suatu
masyarakat pendidikan dengan nuansa agama. Madrasah juga lebih berkonotasi kepada cara
penyampaian ilmu maupun agama secara klasikal dan lebih modern. Namun keduanya mempunyai
kesamaan yaitu telah tumbuh dan dimiliki oleh masyarakat sekitar terutama di daerah pedesaan
karena pengaruh historis.Oleh sebab itu pendidikan pesantren dan madrasah cenderung bersifat
tradisional dan ortodoks sungguh pun tidak selalu benar sebagaimana yang kita lihat di dalam
perkembangan pesantren modern seperti Pesantren Tebuireng.

Pesantren dan madrasah adalah milik kebudayaan Indonesia. Dan oleh karena pendidikan
adalah sebenarnya merupakan gagasan kebudayaan, maka mendidik berarti pula menggagas
kebudayaan masa depan. Di sinilah letaknya arti pesantren di dalam membangun kebudayaan masa
depan. Seperti Malik Fadjar mengatakan gelombang peradaban masa depan merupakan satu
kesatuand ari gejolak magma cultural dari dalam dan kekuatan globalisasi yang menerjang dari luar.
Kehidupan pesantren masa depan tidak terlepas dari kedua gelombang peradaban ini. pendidikan
pesantren akan survise dan menjadi pendidikan alternatif dari masyarakat Indonesia apabila dia peka
terhadap gelombang peradaban tersebut. Oleh karena itu perlu kita kaji apa yang merupakan
kekuatan dan kelemahan dari pendidikan pesantren dan madrasah.

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 19


Fedry Saputra

1. Kekuatan Pendidikan Islam : Pendidikan Yang Lahir Dari Masyarakat


Dalam era reformasi dewasa ini dan sejalan dengan gelombang demokratisasi di dunia dan di
Indonesia maka kita berbicara mengenai tuntutan hak rakyat termasuk pendidikan.

2. Kelemahan : Cenderung Kepada Ortodoksi


Apabila kita teliti kekuatan dari pendidikan pesantren dan madrasah justru disitulah pula
terletak kelemahannya. Dalam perjalanan sejarah, sistem pendidikan pesantren dan madrasah telah
terlempar dari mainstream pendidikan baik pada masa kolonial, masa pendudukan Jepang, maupun
pada masa kemerdekaan. Kelemahannya terletak kepada keunikannya bahwa pesantren dan
madrasah tumbuh dari bawah, dari masyarakat sendiri.

Sesuai dengan permasalahan-nya, menurut pendapat penulis pengelolaan pendidikan Islam


meliputi empat bidang prioritas yaitu:

1. Peningkatan kualitas,
2. Pengembangan invonasi dan kreativitas, 3. Membangun
jaringan kerja sama ( networking ), 4. Pelaksanaan otonomi
daerah.

G. Kesimpulan
1. Pendidikan Islam pada zaman kolonial Belanda tidak mendapat rintangan.hal ini ditandai dengan
bermunculannya lembaga-lembaga pendidikan yang semuanya berjalan dengan lancar walaupun
terlihat abiturienya tidak bisa diterima oleh mereka dan yakin kalau kesadaran dari pihak Islam
telah timbul untuk tidak bekerja pada Belanda yang telah menjadi perintang kemajuan bangsa.
Kenyataan seperti ini sayang msih berlaku sampai sekarang sehingga orang-orang Islam kurang
berperan dalam pemerintahan. Hal ini tentu penyebabnya adalah melemahnya kekuatan politik
Islam walaupun Islam di indonesia mencapai jumlah yang sangat banyak.
2. Pada masa Jepang tujuan pendidikan Islam yang pertama adalah menanamkan rasa keIslaman
yang benar guna kepentingan dunia dan Akhirat, dan yang kedua membelah bangsa dan tanah air
untuk memdapatkan kemerdekaan bangsa itu sendiri ataupun kemerdekaan secara manusiawi.
3. Pendidikan masa orde lama yaitu sekolah agama, termasuk madrasah, ditetapkan sebagai model
dan sumber pendidikan Nasional yang berdasarkan Undangundang 1945. ekstensi pendidikan
agama sebagai komponen pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-undang pokok
pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 Tahun 1950, bahwa belajar disekolah-sekolah agama yang
telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar
4. Sitem pendidikdn aorde baru menerapkan system integritas. Integrasi merupakan pembauran
sesuatu sehingga menjadi kesatuan, sedangkan integrasi pendidikan adalah proses penyesuaian
antara unsur-unsur yang berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam pendidikan
dan integritas pendidikan memerlukan integritas kurikulum atau secara khusus memerlukan
integritas pelajaran. Karena sasaran akhir dari pendidikan (agama) adalah untuk meciptakan
manusia yang bisa mengintegrasikan diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab
tantangan hidup dan mampu memanusiakan sesamanya dengan berbagai kehidupan yang
sejahtera yang dikaruniakan Allah pada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan
untuk memajukan manusia dalam mengambil bagian secara aktif, kreatif dan kritis.
5. Pendidikan Islam maka kita akan membicarakan mengenai pesantren dan madrasah. Menurut
para pakar pendidikan Islam bentuk pendidikan yang indigenous adalah pesantren yang telah
hidup dan berada di dalam budaya Indonesia sejak zaman prasejarah yang kemudian dilanjutkan
pada masa Hindu-Budha dan diteruskan pada masa kebudayaan Islam.Madrasah adalah bentuk

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 20


Fedry Saputra

pendidikan klasikal yang masuk ke Indonesia sejalan dengan arus modernisasi Islam.Pesantren
yang mempunyai pengertian archaic, juga mempunyai konotasi kemasyarakatan, bahkan suatu
kesatuan ekonomis dan mungkin pula politik selain daripada suatu masyarakat pendidikan dengan
nuansa agama.

DAFTAR PUSTAKA
Djaelani Timur. Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama. (Jakarta:
Dermaga, 1980)
Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001)

Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jogjakarta: Global Pustaka Utama 2004)

Maksum. Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).

Mustafa dan Abdullah Ally. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Bandung: Pustaka Setia, 1998)

Noer Deliar. Administrasi Islam di Indonesia. (Jakarta : Rajawali, 1983).

Saidi Ridwan. Pemuda Islam dalam Dinamika Pokitik Bangsa 1925-1984. (Jakarta : Rajawali, 1984).
Steenbrink Karel A. Pesantren Madrasah Sekola. (Jakarta: Puasaka LP3ES, 1994) Sudarja Endang, UUD
RI ’45 dalam hubungannya dengan Pendidikan Moral Pancasila. (Bandung : Ghalia Indonesia, 1984).

Sunanto Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005).

Teuku Ibrahim Alfian, Kontribusi Samudra Pasai terhadap Studi Islam Awal di Asia Tenggara,
(Ceninnets: Jogjakarta, 2005)
Tim Penyusun Departemen Agama. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta :DEPAG RI, 1986)

Yunus Muhammad. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1985).

Jurnal AL-HIKMAH Vol 3, No 1 (2021) Page 21

Anda mungkin juga menyukai