Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta‟ala
kepada nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam sebagai nabi dan rasul
terakhir penutup para nabi untuk menjadi panutan dan pedoman hidup bagi
seluruh umat manusia hingga akhir zaman kelak. Islam juga merupakan agama
yang telah diridhai oleh Allah Subhanahu Wa Ta‟ala seperti firmannya yang telah
termaktub dalam Al-Qur‟an yang berbunyi :
“...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
( Al-Maidah : 3 ) .
Kutipan ayat diatas menjelaskan bahwasannya Allah telah meridhai agama
islam sebagai agama yang sempurna yang akan membawa umat manusia menuju
surganya manakala manusia itu sendiri menjalankan seluruh syari‟at-syariat yang
telah ditetapkan di dalamnya dan menjauhi larangan-larangannya.
Pada zaman modern ini manusia gemar sekali melakukan transaksi jual beli
dalam segi apapun. Sebagaimana yang telah diketahui bahwasannya jual beli
merupakan salah satu perbuatan atau kegiatan yang boleh dilakukan dan
dihalalkan dalam islam.
Sebagaimana Allah berfirman dalam kitab suci Al-Qur‟an :
Artinya :
“...Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
( Al-Baqarah : 275 ) .
Pada zaman modern ini, perkembangan teknologi semakin canggih. Hal itu
memudahkan semua orang untuk bisa saling berinteraksi dan berkomunikasi satu
sama lain dalam jarak jauh salah satunya melalui internet atau yang biasa kita
sebut online. Pengertian dari online sendiri adalah suatu keadaan dimana kita
terhubung atau terkoneksi dengan jaringan internet sehingga kita bisa mengakses
apapun dari internet. Pada masa kini, kita tidak hanya bisa browsing saja melalui
internet tetapi juga bisa melakukan kegiatan transaksi jual beli melalui internet
atau yang biasa disebut jual beli online. Dari pemaparan penulis diatas, maka dari
itu penulis ingin membahas tentang hukum suatu kegiatan transaksi jual beli yang
dilakukan secara online menurut pandangan agama islam sehingga penulis
tertarik untuk mengangkat karya tulis ilmiahnya dengan judul : “Transaksi Jual
Beli Secara Online Dalam Pandangan Hukum Islam”.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Transaksi Jual Beli Online

Gambar II.1 Situs Transaksi Jual Beli Online

1. Definisi Jual Beli


Di zaman modern seperti sekarang ini, banyak sekali orang yang
melakukan bisnis. Salah satunya adalah melalui suatu kegiatan transaksi
jual beli. Transaksi jual beli sendiri berarti suatu kegiatan dimana dua
orang saling terlibat dalam proses pertukaran barang karena adanya saling
ketergantungan terhadap barang tersebut atau adanya kebutuhan terhadap
barang tersebut dan dilakukan dengan syarat yang telah disepakati.1
Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar.
Sedangkan, menurut ilmu fiqh ialah suatu transaksi tukar menukar harta
yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan
kepada orang lain dengan adanya kompensansi tertentu dan dilakukan
dalam koridor syari‟at. Adapun landasan syara‟ atau landasan hukumnya
berasal dari 3 sumber yakni Al-Qur‟an, As-Sunnah dan Ijma‟ ulama.
Beberapa dalil dari Al-qur‟an tentang jual beli diantaranya adalah:
1
Artikel diakses tanggal 29 April 2016, dari http://www.bilvapedia.com/2013/04/pengertian-jual-
beli-dan-ruang.html.

4
5

Artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan batil kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. “
( An-Nisaa : 29 )

“Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan tidak (pula)


oleh jual beli dari dzikrullah, dan melaksanakan shalat serta menunaikan
zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (ketika itu) hati dan
penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat).” An-Nur/24:37
Dan juga Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya tentang


usaha apa yang paling baik; nabi berkata: “Usaha seseorang dengan
tangannya dan jual beli yang mabrur”.

2. Macam-macam Jual Beli


Ada beberapa macam dalam jual beli, yaitu:
a. Bai’ Salam, menurut bahasa salam adalah menyegerakan atau
mendahulukan modal. Secara istilah adalah jual beli sesuatu yang
disebutkan sifatnya pada suatu perjanjian dengan membayar di
muka. Atau pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari,
sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Jual beli salam ini
didasarkan dalam Al-qur‟an dan Hadits: “Hai orang-orang yang
beriman apabila bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”.(Q.S Al-
Baqarah: [2] 282).
Juga didasarkan atas hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas bahwa Rasulullah SAW datang ke Madinah yang
penduduknya melakukan salaf (salam) salam dalam buah-buahan
untuk jangka waktu satu, dua, tiga tahun. Beliau bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia
melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas
pula, untuk jangka waktu yang diketahui.” (Ditakhrijkan oleh
imam yang enam).
6

Adapun rukun Bai’ salam adalah meliputi muslam atau


pembeli, muslam ilaih atau penjual, modal atau uang, muslam fih
atau barang dan shigat atau ucapan.
Dalam perbankan, jual beli salam biasanya dipergunakan pada
pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek,
yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti
padi, jagung dan cabai, dan bank tidak berniat untuk menjadikan
barang-barang tersebut sebagai simpanan, maka dilakukanlah Bai’
salam kepada pembeli kedua, seperti Bulog, pedagang pasar induk
atau grosir. Inilah yang dalam perbankan islam dikenal dengan
Bai’ salam (Jual beli salam).
b. Bai’ Istisna’, yaitu kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat
barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari
pembeli. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem
pembayaran, apakah di muka, melalui cicilan atau ditangguhkan
sampai suatu waktu pada masa yang akan datang. Menurut Jumhur
Fuqaha’, bai’ istisna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad bai‟
salam. Dengan demikian, ketentuan bai‟ istisna mengikuti
ketentuan dan aturan akad bai’ salam.
c. Bai’ murabahah, yaitu jual beli barang pada harga asal dengan
tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ murabahah,
penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan
menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
Misalnya, pedagang eceran membeli pakaian dari grosir dengan
harga Rp.10.000,00, kemudian ia menambah keuntungan sebesar
Rp.5.000,00 dan ia menjual kepada si pembeli dengan harga
Rp.15.000,00. Pada umumnya, si pedagang eceran tidak akan
memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli dan
mereka sudah menyepakati tentang jumlah pakaian, besar
keuntungan yang akan diambil pedagang eceran, serta besarnya
angsuran kalau memang akan dibayar secara angsuran.2

2
Hasbiyallah, Fiqh untuk kelas IX Mts, (Bandung, Grafindo Media Pratama, 2008), h. 25.
7

3. Rukun dan Syarat sah Jual Beli

Menurut ijma‟ para ulama, rukun jual beli ada empat, yaitu:
1. Bai‟ (Penjual)
2. Musytari (Pembeli)
3. Maq‟ud „alaih (Barang yang dijual)
4. Shigat (Ijab dan qabul)
Adapun syarat sah jual beli diantaranya adalah:
1. Syarat sah aqid (Penjual dan pembeli):
a. Berakal (Aqil). Orang yang terganggu jiwanya atau gila, maka
tidak sah jual belinya.
b. Dengan kehendak sendiri (tidak dengan dipaksa).
c. Tidak mubazir. Sebab harta orang yang mubadzir itu di tangan
walinya.
d. Baligh (telah cukup umur / dewasa). Anak kecil yang belum baligh,
maka tidak sah jual belinya. Kalau seandainya seorang yang belum
baligh, namun dia sudah mengerti tentang jual beli sebagian ulama
berpendapat bahwasannya diperbolehkan jual beli barang-barang
yang kecil saja.

2. Uang dan benda yang


dibeli. Syaratnya yaitu:
a. Suci. Barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang
untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum
disamak.
b. Ada manfaatnya. Tidak boleh memperjual belikan barang-barang
yang tidak bermanfaat dan dilarang juga mengambil kembalian dari
barang tersebut karenadalam al-qur‟an telah dijelaskan
bahwasannya hal tersebut termasuk dalam arti menyia-nyiakan
harta yang terlarang.
8

c. Barang itu dapat diserahkan. Tidak sah memperjual belikan suatu


barang yang tidak dapat diserahkan kepada si pembeli, misalnya
ikan yang masih di laut atau harta rampasan perang yang masih ada
di tangan si perampas, barang jaminan yang sedang dijaminkan
karena semuanya mengandung unsur kecurangan atau tipu daya.
d. Barang tersebut kepunyaan si penjual, kepunyaan yang
mewakilinya, atau yang mengusahakan.
Rasulullah SAW bersabda:

Artinya:
“ Tidak sah jual beli mengenai barang yang dimiliki.”
(Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi).
e. Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli, baik dari
zat, bentuk, ukuran dan sifat-sifatnya jelas sehingga diantara
keduanya tidak akan terjadi kecurangan atau saling mengecoh.

3. Lafadz Ijab dan qabul.


“Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka.”
(Riwayat Ibnu Hibban).
Lafadz ijab merupakan ucapan si penjual. Umpamanya, “Saya jual
barang ini dengan harga sekian”. Sedangkan, qabul adalah ucapan si
pembeli. Seperti, “Saya terima barang ini dengan harga sekian.
Keterangannya, ayat al-qur‟an yang menyatakan bahwasannya
jual beli itu atas dasar suka sama suka. Sedangkan, suka sama suka itu
sendiri kita tidak mengetahuinya. Hanya hati masing-masinglah yang
mengetahuinya. Ini pendapat kebanyakan para ulama.
Tetapi Nawawi, Mutawali, Bagawi, dan beberapa ulama yang lain
berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun. Hanya di beberapa
tempat ini merupakan adat kebiasaan. Apabila ini telah menjadi adat
kebiasaan dan sudah dipandang sebagai jual beli, itu saja sudah cukup
karena tidak ada dalil yang mewajibkan lafaz.
Menurut ulama yang mewajibkan lafaz, lafaz itu diwajibkan
memenuhi beberapa syarat:
9

a. Keadaan ijab dan kabul berhubungan. Artinya, salah satu


dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain.
b. Makna keduanya hendaklah sama walaupun lafaz keduanya
berbeda.
c. Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain.
d. Tidak ditentukan waktunya. Sebab, jual beli yang ditentukan
waktunya seperti sebulan atau setahun, maka jual belinya tidak
sah.
Apabila ada rukun atau syaratnya yang tidak terpenuhi, maka jual
beli tersebut dianggap tidak sah. Beberapa uraian di bawah
merupakan contoh jual beli yang tidak sah:
a. Memperjual-belikan air mani hewan jantan
b. Menjual suatu barang yang baru dibelinya sebelum diterima,
karena miliknya belum sempurna (barang masih dalam tanggungan
si penjual, kalau hilang si penjual yang menggantikan).
c. Menjual buah-buahan yang masih belum masak atau yang masih
berada di pohonnya.3

4. Definisi Online

Gambar II.3 Online

Online adalah satu kata yang sangat berkaitan sekali dengan dunia
maya atau lebih tepatnya internet. Online adalah istilah saat kita terhubung
dengan internet atau dunia maya, baik itu terhubung dengan akun media
sosial kita, e-mail dan berbagai jenis akun lainnya yang kita pakai atau
gunakan lewat internet.4
Di zaman yang serba modern ini, segala sesuatunya bisa dilakukan
dengan mudah melalui internet atau online. Tidak hanya saling bertukar
informasi atau berkomunikasi lewat akun media sosial, tapi kita juga bisa
bertransaksi lewat internet atau online. Contohnya, yang sedang marak
dilakukan oleh masyarakat kita adalah transaksi jual beli online. Lewat
online transaksi bisa dilakukan dengan mudah dan tidak ribet. Maka dari

3
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012), h. 283.
4
Artikel diakses tanggal 6 Mei 2016, dari http://www.pengertianku.net/2015/01/pengertian-online-
dan-offline-secara-lebih-jelas.html.
10

itu masyarakat lebih memilih bertransaksi online. Banyak situs yang


menawarkan jual beli secara online contohnya, blibli.com, tokopedia.com,
olx.com, dan masih banyak yang lainnya. Bukan hanya bertransaksi saja,
tapi juga proses transportasi pun bisa dilakukan lewat online. Seperti
perusahaan Gojek yang menyediakan transportasi ojek masyarakat secara
online. Dengan itu, semua menjadi mudah dan cepat. Dengan internet atau
online segala sesuatunya terasa lebih mudah dan tidak susah karena
internet membuka dunia dan tidak ada batas.

B. Hukum Islam

1. Definisi Hukum Islam


Definisi hukum islam pada umumnya disamakan dengan syariat
islam, dalam hal ini disebut syara‟. Syara‟ secara etimologi berarti jalan.
Sedangkan dari segi bahasa, syariat bisa diartikan sebagai aturan yang
dibuat oleh Allah swt.
Secara umum, definisi hukum islam berarti hukum yang bersumber
dari agama islam. Hukum islam juga merupakan bagian dari agama
islam. Selain itu, definisi hukum islam dapat dijelaskan sebagai
keseluruhan ketentuan yang ditetapkan oleh allah swt yang harus ditaati
seorang muslim. Dasar dan kerangka hukum islam ditetapkan oleh Allah
SWT.
Definisi hukum islam, oleh beberapa ulama memiliki pengertian
yang berbeda. Menurut ulama ushul fiqh, definisi hukum islam adalah
doktrin syari‟at yang bersangkutan dengan perbuatan orang mukallaf5,
baik perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan. Definisi
hukum islam menurut ulama fiqh memiliki pengertian yang agak berbeda.
Menurut ulama fiqh, definisi hukum islam adalah efek
(dampak/akibat) yang dikehendaki oleh kitab syari‟at dalam perbuatan-
perbuatan, seperti wajib, sunnah, mubah dan haram.6

2. Pembagian Hukum Dalam Islam


Hukum dalam islam, dibagi menjadi lima:
1. Wajib (Fardhu), adalah suatu keharusan. Pengertiannya, segala
perintah Allah SWT yang harus kita kerjakan.
a. Wajib Syar‟i, adalah suatu ketentuan yang apabila dikerjakan
mendatangkan pahala, sebaliknya jika tidak dikerjakan terhitung
dosa.

5
Orang yang dibebani suatu kewajiban.
6
Artikel diakses tanggal 6 Mei 2016, dari https://forsisftub.wordpress.com/2012/01/31/pembagian-
hukum-islam/.
11

b. Wajib Aqli, adalah suatu ketetapan hukum yang harus diyakini


kebenarannya karena masuk akal atau rasional.
Wajib Aqli dapat dibagi menjadi dua. Pertama, Wajib Aqli
Nazari, adalah mempercayai suatu kebenaran dengan memahami
dalil-dalilnya atau dengan penelitian yang mendalam seperti
mempercayai eksistensi Allah SWT. Yang kedua, Wajib
AqliDharuri, adalah kewajiban mempercayai kebenarannya
dengan sendirinya tanpa dibutuhkan dalil-dalil tertentu, seperti
orang makan jadi kenyang.
c. Wajib „Aini, adalah suatu ketetapan yang harus dikerjakan oleh
setiap muslim, antara lain shalat lima waktu, puasa wajib di bulan
ramadhan, dan lain sebagainya.
d. Wajib Kifayah, adalah suatu ketetapan yang apabila sudah
dikerjakan oleh sebagian orang muslim, maka orang muslim
lainnya terlepas dari kewajiban itu. Akan tetapi jika tidak ada yang
mengerjakannya, maka berdosalah semuanya.
e. Wajib Muaiyyan, adalah suatu keharusan yang telah ditetapkan
macam tindakannya, contoh berdiri bagi yang kuasa ketika shalat.
f. Wajib Mukhayyar, adalah suatu kewajiban yang boleh dipilih dari
bermacam pilihan yang telah ditetapkan untuk dikerjakan, misalnya
denda dalam sumpah, boleh memilih antara memberi makan 10
orang miskin atau memberi pakaian 10 orang miskin.
g. Wajib Mutlaq, suatu kewajiban yang tidak ditentukan waktu
pelaksanaannya, seperti membayar denda sumpah.
2. Sunnah, adalah perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala,
dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.
a. Sunnah Muakkad, adalah sunnah yang sangat dianjurkan, misalnya
shalat tarawih dan shalat idul fitri.
b. Sunnah Ghairu Muakkad, adalah sunnah biasa. Misalnya, memberi
salam kepada orang lain atau berpuasa pada hari senin dan kamis.
c. Sunnah Hai‟ah, adalah perkara-perkara dalam shalat yang
sebaiknya dikerjakan, seperti mengangkat kedua tangan ketika
takbir, mengucapkan Allahu Akbar ketika akan ruku‟ dan sujud
dan sebagainya.
d. Sunnah Ab‟ad, adalah perkara-perkara dalam shalat yang harus
dikerjakan dan kalau terlupakan maka harus melakukan sujud
sahwi, seperti membaca tasyahud awal dan sebagainya.
3. Haram, adalah suatu perkara yang dilarang mengerjakannya, seperti
minum minuman keras, mencuri, judi dan lain sebagainya. Apabila
dikerjakan terhitung dosa. Sebaliknya jika ditinggalkan memperoleh
pahala.
4. Makruh, adalah suatu hal yang tidak disukai atau diinginkan. Akan
tetapi apabila dikerjakan tidak berdosa dan jika ditinggalkan
berpahala.
5. Mubah, adalah suatu perkara yang apabila dikerjakan atau
ditinggalkan tidak berpahala dan tidak juga berdosa.7
7
Artikelini diaksestanggal 9 Mei 2016, dari
https://forsisftub.wordpress.com/2012/01/31/pembagian-hukum-islam/
12

Anda mungkin juga menyukai