Anda di halaman 1dari 23

Konflik Antar Suku di Indonesia

TUGAS ILMU SOSIAL DASAR


KONFLIK ANTAR SUKU DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :
AKMAL ZAHID
10315437
1TA07

Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan


Universitas Gunadarma
2015

PRAKATA

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang Konflik Antar Suku di
Indonesia ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga saya berterima
kasih pada Bapak Emilianshah Banowo selaku Dosen mata kuliah Ilmu Sosial Dasar yang telah
memberikan tugas ini kepada saya.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai konflik antar suku yang sering terjadi di indonesia yang merupakan
akibat dari prasangka, diskriminasi dan etnosentrisme. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa
di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya.
Saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya mohon
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh

Depok, 27 November 2015


Penyusun

Akmal Zahid

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan terbesar Indonesia memiliki banyak RAS, suku dan budaya beragam.
Menurut badan riset, data suku-suku yang ada di Indonesia mencapai kurang lebihnya lebih dari
300 kelompok suku atau etnik. Namun dikarenakan banyaknya suku yang berbeda dengan
budaya yang berbeda pula, seringkali terjadi konflik yang melibatkan konflik anatar suku yang
menjadi suatu perstiwa yang tidak bisa dihindarkan lagi.
Konflik merupakan hal atau masalah yang lazim atau biasa terjadi di lingkungan masyarakat.
Dimana lagi-lagi perbedaan menjadi latar belakang yang mendasar dalam setiap konflik perang
antar suku di Indonesia. Peperangan antar suku akhir-akhir ini menjadi bahan pekerjaan
pemerintah untuk menetralisir kekisruhan yang sering terjadi khususnya peperangan antar suku.
Konflik tersebut terjadi karena saking beragam nya suku-suku di Indonesia dan berawal dari
banyaknya suku-suku yang ada tersebut konflik-konflik pembeda atau masalah budaya yang
berbeda dan variatif mulai bermunculan.
Salah satu contoh dari konflik yang sempat menarik perhatian adalah perang suku antara suku
Dayak dan Madura. Peperangan antara Suku Dayak dan Madura menimbulkan sebuah
pergeseran moral tentang bagaimana seharusnya saling menghargai perbedaan. Nyawa bukan
lagi menjadi hal yang mahal saat itu. Pemenggalan terhadap kepala manusia saat itu seolah
menjadi bukti bahwa kebencian telah benar-benar mengerikan. Penyebab terjadinya perang
kedua suku ini yaitu karena perbedaan budaya antara Suku Dayak dan Suku Madura, perilaku
yang tidak menyenangkan, pinjam meminjam tanah dan ikrar perdamaian yang dilanggar.
Kejadian ini memang telah lama berlalu. Tapi konflik tersebut bagaimanapun akan tetap
meninggalkan kesan mengerikan yang mendalam bagi masyarakat kedua suku tersebut.
Setiap suku tentu memiliki budaya, adat-istiadat dan kebiasaan tertentu yang beragam.
Keanekaragaman tersebut tentu memabawa dampak dan kosekuensi sosial yang beragam pula.
Jika hal ini tidak dapat disikapi dengan baik maka perbedaan tersebut justru akan terus manjadi
faktor utama penyebab terjadi perang antar suku.Setiap suku akan menginterpretasikan budaya
yang mereka miliki dalam lingkungannya sehingga terciptalah stereotip yang dapat
mengakibatkan lestarinya perbedaan. Penonjolan strereotip suatu suku amat berbahaya. Namun
faktanya, stereotip dan stigma buruk itu tetap hidup. Bahkan, tanpa disadari kian meluas. Bahaya
karena hal ini dapat menimbulkan pepecahan perang antar suku pun menjadi hal yang tak bisa
dihindarkan.
Stereotip orang Madura dalam pengetahuan orang Indonesia kadang identik dengan watak yang
kasar dank keras. Sering menyelesaikan masalah dengan carok, mengakhiri sengketa dengan cara
duel maut yang berunjung kematian. Penyebabnya adalah dendam atau pembalasan pihak
keluarga dan kerabat yang terluka hingga tewas. Walaupun stereotip itu keliru dan berbahaya,
hal tersebut seakan melekat dalam benak keindonesiaan kita. Itulah yang sering memicu
terjadinya kerusuhan etnis atau suku di Indonesia bahkan berkembang menjadi perang antar
suku.
Konflik sering terjadi di kalangan masyarakat karena manusia makhluk sosial dan memiliki
beragam pemikiran dan cara masing-masing untuk bersosialisasi. Konflik tersebut biasanya
terjadi karena hal sepele seperti prasangka negatif tapi berhubung menyangkut RAS atau budaya
maka rasa simpati antar sesama budaya yang membuat peperangan tersebut menjadi bukan hal
yang sepele lagi bahkan hingga terjadinya perang antar suku. Oleh karena itu saya memuat
makalah dengan mengangkat judul Konflik Antar Suku di Indonesia yang merupakan wujud dari
prasangka, diskriminasi dan etnosentrisme.

1.2 Ruang Lingkup Penelitian

Makalah ini akan membahas konflik antar suku di indonesia yang merupakan wujud dari
prasangka, diskriminasi dan etnosentrisme yang masih sangat melekat dalam budaya di
indonesia. Selain itu makalah ini akan membasa penyebab-penyebab lain yang menimbulkan
konflik anatar suku di indonesia serta contoh konflik antar suku yang ada atau pernah terjadi di
indonesia
1.3 Manfaat dan Tujuan

Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu memberikan pengetahuan tetang konflik antar suku
yang terjadi di indonesia juga faktor penyebab terjadi konflik antar suku tersebut.
Sedangkan tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk menyadarkan masyarakat pentingnya
untuk tidak berburuk sangka, mendiskriminasi ataupun terlalu etnosentris yang menjadi
penyebab utama terjadinya konflik antar suku di indonesia.

BAB II

ISI

2.1 Landasan Teori

A. Pengertian Konflik

Secara umum pengertian Konflik adalah suatu masalah sosial yang timbul karena adanya
perbedaan pandangan yang terjadi di dalam masyarakat maupun negara.
Pengertian Konflik menurut Robbins, Konflik adalah suatu proses yang dimulai bila satu pihak
merasakan bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif atau akan segera memengaruhi
secara negatif pihak lain.
Menurut Alabaness, Pengertian Konflik adalah kondisi yang dipersepsikan ada di antara pihak-
pihak atau lebih merasakan adanya ketidaksesuaian antara tujuan dan peluang untuk mencampuri
usaha pencapaian tujuan pihak lain.
Dari kedua pengertian konflik yang disampaikan pakar di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa Konflik adalah proses yang dinamis dan keberadaannya lebih banyak menyangkut
persepsi dari orang atau pihak yang mengalami dan merasakannya. Dengan demikian jika suatu
keadaan tidak dirasakan sebagai konflik, maka pada dasarnya konflik tersebut tidak ada dan
begitu juga sebaliknya.

B. Pengertian Suku

Menurut Ensiklopedi Indonesia Etnis berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau
kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama,
bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal
sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat
dan tradisi.

C. Pengertian Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terbentang di khatulistiwa
sepanjang 3200 mil (5.120 km2) dan terdiri atas 13.667 pulau besar dan kecil. Nama Indonesia
berasal dari bahasa Yunani, yaitu Indo yang berarti Indoa dan Nesia yang berarti kepulauan.

D. Pengertian Konflik Antar Suku di Indonesia


masalah sosial yang timbul karena adanya perbedaan pandangan yang terjadi di dalam
masyarakat maupun negara yang dilakukan oleh antar berarti kelompok sosial dalam sistem
sosial atau kebudayaan yang terjadi di Indonesia

2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Konflik Antar Suku


Suatu konflik khususnya yang terjadi antar suku umumnya didasari oleh tiga hal yaitu prasangka,
diskriminasi, dan etnosentrisme. Tiga hal ini menjadi faktor utama yang melatar belakangi
terjadinya koflik antar suku yang berujung kepada perang antar suku. Prasangka yang buruk
terhadap suku lain menjadi sangat umum di indonesia hal tersebut dilatarbelakangi sikap
etnosentrisme suatu suku. Sikap ini menimbulkan prasangka terhadap suku lain sehingga
terjadinya diskriminasi sosial. Diskriminasi sosial yang berkelanjutan inilah yang dapat
menimbulkan konflik yang berujung kepada perang antar suku.Selain disebabkan oleh ketiga hal
itu beberapa ahli juga memaparkan faktor-faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya konflik
antar suku.
Faturochman menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya
konflik etnis terjadi disebuah tempat. Enam hal tersebut antara lain yakni:
1) Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak
2) Perebutan sumber daya
3) Sumber daya yang terbatas
4) Kategori atau identitas yang berbeda
5) Prasangka atau diskriminasi
6) Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).
Konflik antar etnis yang terjadi dapat dikatakan karena kepentingan beberapa oknum atau pihak
yang memang bertujuan untuk mengambil untung dari konflik tersebut. Etnis etnis yang saling
berkonflik sangat mudah di adu domba karena memang sumber daya manusia yang terbatas.
Dalam arti pendidikannya kurang dan tingkat ekonomi yang rendah. Seharusnya dari masing
masing kepala daerah yang ada di wilayah konflik tersebut harus tegas membuat atau
merealisikan kebijkan ketika terjadi sebuah konflik antar etnis.
Dalam konteks Indonesia sendiri, kita kerap kali mendengar terjadinya konflik antar etnis.
Sebenarnya akar dari konflik ini adalah keterbelakangan dari masyarakat di wilayah konflik
tersebut. Sementara itu, Sukamdi menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri
dari tiga sebab utama,yaitu:
1) Konflik muncul karena ada benturan budaya
2) Karena masalah ekonomi politik
3) Karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial.
Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan
terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka sehingga dapat terjadi konflik
diantara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan
budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak
mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan
perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar
belakang budayanya.

Sikap etnosentrisme yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena
ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan.Sebagai tambahan,
pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang
lebih berprasangka, yang akan menjadi konflik.
Berdasarkan tulisan dari Stefan Wolff, bahwa konflik etnis ini sebagian besar terjadi di wilayah
Afrika, Asia, serta sebagian Eropa Timur. Dikatakan bahwa negara-negara Eropa Barat serta
Amerika Utara tidak terpengaruh atas konflik etnis yang terjadi di dunia ini.. Asia dan Afrika
adalah dua benua yang memiliki sejarah peradaban tertua di dunia. dan secara tidak sengaja,
kedua benua ini memiliki berbagai macam etnis,ras, ataupun suku bangsa. Tentu saja hal ini
tidak dapat ditemui di benua Amerika yang merupakan “peradaban baru” bentukan Eropa.
Peradaban-peradaban ini sejak dahulu selalu terlibat perang suku. Celakanya, perang antar suku
dan ras yang terjadi ini menyimpan dendam diantara semua pihak yang bertikai dan masih
terbawa hingga kini.
Dengan demikian, Wolff menyimpulkan bahwa “ethnic conflicts are based on ancient hatreds
between groups fighting in them and that”. Sebagian kecil konflik yang terjadi adalah akibat isu
kontemporer politik ataupun agama.

2.3 Konflik Antar Suku di Indonesia


A. Konflik Lampung
Lampung merupakan daerah tujuan transmigrasi besar-besaran. Pada zaman belanda, banyak
sekali suku jawa yang dipindahkan ke lampung sehingga saat ini kita dapat menemukan daerah
yang menggunakan bahasa jawa. Masyarakat lampung hanya sedikit namun masyarakat jawa,
bali, sumatera utara, padang, palembang, bugis hingga keturunan cina dan arab banyak yang
menetap disana.
Dengan berbaurnya berbagai macam suku tersebut maka tingkat kecenderungan untuk terjadinya
konflik pun semakin tinggi. Sebenarnya konflik – konflik antar suku sudah sering terjadi di
provinsi lampung baik itu antara suku asli lampung dengan bali seperti yang terjadi saat ini,
maupun jawa dengan bali atau lampung dengan jawa. Kenapa hanya ketiga suku tersebut yang
sering terlibat konflik ? ya memang karena ketiga suku tersebutlah populasinya yang paling
banyak. Di beberapa daerah di lampung kita bisa menemukan sebuah desa yang seluruh
penduduknya berisi orang bali. Di tempat tersebut juga biasanya terdapat sebuah pura besar
tempat mereka melakukan kegiatan agama, sama persis seperti keadaan di bali.
Pada sisi lain masyarakat asli Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil pesenggiri dengan
salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah” yang berarti ramah dan terbuka kepada orang lain,
maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima penduduk pendatang. Tetapi dengan seiring
waktu falsafah hidup tersebut mulai luntur dikarenakan berbagai macam hal.
Suku asli Lampung pada dasarnya bersikap sangat baik terhadap para pendatang, mereka
menyambut baik kedatangan para pendatang tersebut tetapi memang terkadang para pendatang
lah yang sering menyulut amarah penduduk asli lampung. Sebagai tuan rumah, suku asli
lampung tentunya tidak akan tinggal diam jika mereka merasa dihina oleh suku lain apalagi hal
tersebut berkaitan dengan masalah “harga diri”. Berikut ini beberapa perang antar suku yang
pernah terjadi di Lampung :
1) Pembakaran pasa Probolinggo Lampung Timur oleh suku bali.
2) 29 Desember 2010 : Perang suku Jawa / Bali vs Lampung berawal dari pencurian ayam.
3) September 2011 : Jawa vs Lampung
4) Januari 2012 : Sidomulyo Lampung Selatan Bali vs Lampung
5) Oktober 2012 : Sidomulyo Lampung Selatan.
Dari konflik – konflik kecil timbulah dendam diantara para suku – suku tersebut sehingga jika
terjadi insiden kecil bisa langsung berubah menjadi sebuah konflik besar. Pengelompokan suku
di daerah lampung memang sudah terjadi sejak lama, bahkan hal tersebut sudah terjadi sejak
mereka remaja. Di beberapa sekolah didaerah lampung anak – anak suku bali tidak mau
bermain / bersosialisasi dengan anak – anak suku lainnya begitu juga dengan anak – anak dari
suku jawa maupun lampung. Mereka biasanya berkelompok berdasarkan suku mereka sehingga
jika diantara kelompok tersebut terjadi perselisihan tentunya akan melibatkan suku mereka.
Konflik diatas adalah beberapa konflik yang terhitung besar, selain konflik besar yang pernah
terjadi diatas di lampung juga sering terjadi konflik – konflik kecil antar suku namun biasanya
hal tersebut masih bisa diredam sehingga tidak membesar.
B. Konflik Sampit
Kerusuhan yang terjadi di sampit hanyalah salah satu rangkaian peristiwa kerusuhan yang terjadi
oleh suku Madura yang sejak berdirinya Kalimantan Tengah telah melakukan lebih dari 13 kali
kerusuhan besar dan banyak sekali kerusuhan tersebut yang mengakibatkan korban dari pihak
Dayak. Sangat banyak kasus-kasus yang telah memicu pertikaian antara kedua suku ini,yaitu :

1) Pada tahun 1972, seorang gadis Dayak diperkosa. Kasus tersebut hanya diselesaikan dengan
hukum adat.
2) Tahun 1982 terjadi pembunuhan seorang Dayak oleh suku Madura, pelaku tidak tertangkap
karena kemungkinan pembunuh kembali ke pulau Madura.
3) Tahun 1983, pengeroyokan satu orang dayak oleh tiga puluh orang Madura, diadakan
perdamaian antara kepala suku Dayak dan Madura.
4) Tahun 1996, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan dibunuh dengan
kejam dan sadis oleh orang Madura, ternyata hukumannya ringan.
5) Tahun 1997, di desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang
Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40,dengan skor orang Madura mati semua. Padahal
orang Dayak pada saat itu hanya ingin mempertahankan diri dari orang Madura yang jumlahnya
sangat banyak. Kasus ini ditutup dengan hukuman berat bagi orang Dayak.
6) Tahun 1997, anak laki-laki suku Dayak yang bernama Waldi tewas dibunuh oleh orang
Madura yang berjualan sate di daerah itu. Waldi tewas secara mengenaskan dengan lebih dari
tiga puluh tusukan di badannya.
7) Tahun 1998, terjadi lagi pengeroyokan orang Dayak oleh 4 orang Madura. Orang Dayak itu
tewas. Kasus ini tidak terselesaikan karena pengeroyok tidak dapat ditemukan karena
kemungkinan telah kembali ke asalnya.
8) Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh
orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya, namun besok harinya datang
sekelompok suku Madura menuntut agar temannya tersebut dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata
pihak Polresta Palangka Raya membebaskannya tanpa tuntutan hukum.
9) Tahun 1999, kembali terjadi seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura
karena masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati
semua. Sedangkan pembunuh lolos, malahan orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun
karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.
10) Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat,
terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa mengambil
emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban
pada kedua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.
11) Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama Iba oleh
tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka
Raya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Namun para pembacok
tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura. Kronologis kejadian tiga orang
Madura memasuki rumah keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena
katanya mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di gelas, merekamembacoknya, saat istri Iba
mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas
dendam, tapi salah alamat.
12) Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, satu keluarga Dayak mati dibantai oleh orang
Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum.
13) Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 satu orang suku Dayak di bunuh oleh pengeroyok suku
Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum.
14) Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi
pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura,
para pelaku kabur, tidak tertangkap, karena lagi-lagi katanya sudah lari ke Pulau Madura. Proses
hukum tidak ada karena pihak berwenang tampaknya belum mampu menyelesaikannya (tidak
tuntas).
15) Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh karena
dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.
16) Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh diserang
oleh suku Madura. Belum terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan dengan damai
dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan Suku Madura. Kelanjutan peristiwa
kerusuhan tersebut (25 Februari 2001) adalah terjadinya peristiwa Sampit yang mencekam.

Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi premanisme
Etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka (kebetulan orang
Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili oleh aparat penegak hukum. Etnis madura yang juga
punya latar belakang budaya kekerasan ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak
mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai pendatang). Sering terjadi kasus
pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh
orang Madura. Orang Dayak merasa sangat tersudut ditanahnya sendiri. Mereka seolah tidak
dilindungi dari pihak hukum. Sementara orang Madura semakin merasa diatas angin di kota
Sampit. Seakan mereka tidak peduli akan perasaan warga lokal disana. Situsi semakin hari
semakin panas. Orang Madura mempunyai keinginan untuk menjadikan kota Sampit sebagai
kota Sampang ke-2. Mereka melupakan pepatah di tanah Borneo tersebut yaitu, ''dimana tanah
dipijak,disitu langit dijunjung''.
Pada tanggal 18 februari 2002 di sebuah pasar di kota Sampit,seorang ibu yang sedang hamil
dibunuh dengan kejam. Perutnya dibelah dan janin dalam perut ibu tersebut dikeluarkan lalu
dibuang. Darah dari seorang ibu dan janinnya tadi dijadikan tinta untuk menulis di sebuah
spanduk besar yang bertuliskan, ''Sampit sebagai Sampang kedua''. Kejadian ini memang
sepertinya telah direncanakan oleh pihak Madura.Mereka juga berkeliling kota Sampit sambil
meneriakkan ''Matilah kau Dayak''.
Bom molotof pun berjatuhan di rumah-rumah orang Dayak. Tidak sedikit juga mereka
membakar rumah orang Dayak. Orang Dayak menjadi takut dan mereka berlari masuk ke dalam
hutan. Kepala suku mereka telah sangat murka dan memberi ultimatum kepada orang bahwa
apabila dalam 3 hari mereka tidak keluar dari Sampit, maka Dayak akan memerangi warga
Madura. Sudah sangat banyak pengungsi dari pihak Madura dan Dayak. Lebih dari 10.000
pengungsi telah diungsikan ke Surabaya dan ke Palangkaraya. Ultimatum tadipun tidak
dihiraukan oleh warga Madura sehingga terjadilah perang etnis disana.
Suku Dayak berhasil mengambil kembali rumahnya yang hampir diambil oleh suku lain.Banyak
rumah yang terbakar, toko-toko milik kedua etnis tadi lenyap serta kurang lebih 500 korban
tewas. Tidak ada yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Dalam kata lain perang hanya
meninggalkan tangis dan air mata, dan juga kenangan yang sangat menyakitkan.

C. Konflik Papua

Perang dan pertikaian yang terjadi di Indonesia ternyata tidak hanya melibatkan suku asli dan
pendatang. Namun kelompok yang berbeda di suatu daerah pun bisa memicu adanya pertikaian
yang mengorbankan nyawa.
Pada 30 mei 2013, terjadi konflik yang melibatkan suku atas pegunugan dan suku bawah pantai.
Hal ini dipicu oleh aksi pembakaran honai rumah adat papua milik kelompok bawah yang
dilakukan oleh kelompok atas. Hal yang dianggap kecil ini dapat membuat 6 orang tewas dan 21
lainnya dilarikan ke rumah sakit akibat terkena panah.

D. Konflik Poso

Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari
keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli
yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa,
batak, bugis dan sebagainya.
Suku asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya;Morowali dan Tojo Una Una,
adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar toraja yang
menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua
adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan yang disebut juga
denga Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah, sedangkan untuk
kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri, dibagi menjadi dua
kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Bare’e dan kedua adalah Toraja
Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak mempunyai kesamaan bahasa seperti halnya
kelompok pertama.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam dan
Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami
pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adala agama Kristen.
Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di
daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih
dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai kerusuhan
yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun
kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998
dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai kendaraan dan alasan tendesius untuk
kepentingan masing-masing.
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen
keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan Piet I dan
Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan suku. Untuk seterusnya agama
dijadikan tedeng aling-aling pada setiap konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil,
semacam perkelahian antar persona pun bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana.
Semisal, ada dua pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi
beragama Kristen. Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak
terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan masalah
tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang melibatkan banyak orang
dan bahkan kelompok.
Sebelum meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa konflik lanjutan,
sebenarnya Poso pernah mengalami ketegangan hubungan antar komunitas keagamaan (Muslim
dan Kristen) yakni tahun 1992 dan 1995. Tahun 1992 terjadi akibat Rusli Lobolo (seorang
mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi yang juga mantan Muslim) dianggap
menghujat Islam, dengan menyebut Muhammad nabinya orang Islam bukanlah Nabi apalagi
Rasul. Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi akibat pelemparan masjid dan madrasah di
desa Tegalrejooleh sekelompok pemuda Kristen asal desa Mandale. Peristiwa ini mendapat
perlawanan dan balasan pemuda Islam asal Tegalrejo dan Lawanga dengan melakukan
pengrusakan rumah di desa Mandale. Kerusuhan-kerusuhan ”kecil” tersebut kala itu diredam
oleh aparat keamanan Orde Baru, sehingga tak sampai melebar apalagi berlarut-larut.
Memang, setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara wajar. Namun
seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran ”aparat keamanan” yang
sedang digugat disemua lini melalui berbagai isu, kerusuhan Poso kembali meletus, bahkan
terjadi secara beruntun dan bersifat lebih masif. Awal kerusuhan terjadi Desember 1998, konflik
kedua terjadi April 2000, tidak lama setelah kerusuhan tahap dua terjadi lagi kerusuhan ketiga di
bulan Mei-Juni 2000. konflik masih terus berlanjut dengan terjadinya kerusuhan keempat pada
Juli 2001; dan kelima pada November 2001. Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan adanya
keterkaitan antara satu dengan yang lain. Konflik Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta
meninggalkan trauma psikologis yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari
persoalan-persoalan sepele berupa perkelahian antarpemuda.

2.4 Soulusi Penyelesaian Konflik Antar Etnis


Konflik antar etnis di Indonesia harus segera diselesaikan dan harus sudah ada solusi konkritnya.
Dalam bukunya Wirawan dengan judul Konflik dan Menejemen Konflik, Teori, Aplikasi, dan
Penelitian menjelaskan bagaimana cara menyelesaikan konflik antar etnis yang ada di sebuah
Negara. Pertama, melalui Intervensi pihak ketiga. Dimana keputusan intervensi pihak ketiga
nantinya final dan mengikat. Contoh adalah pengadilan. Kedua, Mediasi. Mediasi ini adalah cara
penyelesaian konflik melalui pihak ketiga juga yang disebut sebagai mediator. Ketiga,
Rokosialisasi. Proses penyelesaian konflik dengan transormasi sebelum konflik itu terjadi,
dimana masyarakat pada saat itu hidup dengan damai.
Adapun cara lain dalam menyelesaikan konflik yang ada, yakni:
1) Konflik Itu Harus di Management Menuju Rekonsiliasi
Konflik memang bukan sesuatu yang diharapkan oleh setiap orang yang hidup di dunia ini. Apa
lagi konflik yang bernuansa karena perbedaan agama yang dianut dan pebedaan etnis. Konflik
yang demikian itu memang suatu konflik yang sangat serius. Untuk meredam wajah bahaya dari
konflik itu, maka konflik itu harus dimanagement agar ia berproses ke arah yang positif. Dr. Judo
Poerwowidagdo, MA. Dosen Senior di Universitas Duta Wacana Yogyakarta menyatakan bahwa
proses konflik menuju arah yang positif itu adalah sbb: Dari kondisi yang “Fight” harus
diupayakan agar menuju Flight. Dari kondisi Flight diupaykan lagi agar dapat menciptakan
kondisi yang Flaw. Dari Flaw inilah baru diarahkan menuju kondisi Agreement, terus ke
Rekonsiliasi. Karena itu, masyarakat terutama para pemuka agama dan etnis haruslah dibekali
ilmu Management Konflik setidak-tidaknya untuk tingkat dasar.

2) Merubah Sistem Pemahaman Agama

Konflik yang bernuansa agama bukanlah karena agama yang dianutnya itu mengajarkan untuk
konflik. Karena cara umat memahami ajaran agamanyalah yang menyebabkan mereka menjadi
termotivasi untuk melakukan konflik. Keluhuran ajaran agama masing-masing hendaknya tidak
di retorikakan secara berlebihan.
Retorika yang berlebihan dalam mengajarkan agama kepada umat masing-masing menyebabkan
umat akan merasa dirinya lebih superior dari pemeluk agama lain. Arahkanlah pembinaan
kehidupan beragma untuk menampilkan nilai-nilai universal dari ajaran agama yang dianut.
Misalnya, semua agama mengajarkan umatnya untuk hidup sabar menghadapi proses kehidupan
ini. Menjadi lebih tabah menghadapi berbagai AGHT (ancaman, gangguan, hambatan dan
tantangan) dalam menghadapi hidup ini. Rela berkorban demi kepentingan yang lebih mulia.
Tidak mudah putus asa memperjuangkan sesuatu yang benar dan adil. Tidak mudah mabuk atau
lupa diri kalau mencapai sukses.
Orang yang sukses seperti menjadi kaya, pintar, menjadi penguasa, cantik, cakep, memiliki suatu
power, merasa diri bangsawan. Semuanya itu dapat menyebabkan orang menjadi mabuk kalau
kurang waspada membawa diri. Hal-hal yang seperti itulah yang sesungguhnya lebih
dipentingkan oleh masyarakat bangsa kita dewasa ini.

3) Mengurangi Penampilan Berhura-Hura dalam Kehidupan Beragama.

Kegiatan beragama seperti perayaan hari raya agama, umat hendaknya mengurangi bentuk
perayaan dengan penampilan yang berhura hura. Hal ini sangat mudah juga memancing konflik.
Karena umat lain juga dapat terpancing untuk menunjukan existensi dirinya bahwa ia juga
menganut agama yang sangat hebat dan luhur.

4) Redam Nafsu Distinksi Untuk Menghindari Konflik Etnis.

Setiap manusia memiliki nafsu atau dorongan hidup dari dalam dirinya. Salah satu nafsu itu ada
yang disebut nafsu Distinksi. Nafsu Distinksi ini mendorong seseorang untuk menjadi lebih dari
yang lainya. Kalau nafsu ini dikelola dengan baik justru akan membawa manusia menjadi siap
hidup bersaing. Tidak ada kemajuan tanpa persaingan. Namun, persaingan itu adalah persaingan
yang sehat. Persaingan yang sehat itu adalah persaingan yang berdasarkan noram-norma Agama,
norma Hukum dan norma-norma kemanusiaan yang lainya. Namun, sering nafsu Distinksi ini
menjadi dasar untuk mendorong suatu etnis bahwa mereka adalah memiliki berbagai kelebihan
dari etnis yang lainya.
Nafsu Distinksi ini sering membuat orang buta akan berbagai kekuranganya. Hal inilah banyak
orang menjadi bersikap sombong dan exlusive karena merasa memiliki kelebihan etnisnya.
Untuk membangun kebersamaan yang setara, bersaudara dan merdeka mengembangkkan fungsi,
profesi dan posisi, maka dalam hubungan dengan sesama dalam suatu masyarakat. Dengan
demikian semua pihak akan mendapatkan manfaat dari hubungan sosial tersebut. Di samping
mendapatkan sahabat yang semakin erat, juga mendapatkan tambahan pengalaman positif dari
sesama dalam pergaulan sosial.
Dengan melihat kelebiihan sesama maka akan semakin tumbuh rasa persahabatan yang semakin
kekal. Kalau kita lihat kekurangannya maka kita akan terus merasa jauh dengan sesama dalam
hubungan sosial tersebut

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Beragamnya suku, agama, ras, dan golongan membuat Indonesia sebagai bangsa yang rawan
konflik. Dari ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering kali terdengar jerit tangis bahkan
tetesan darah menyelimuti Tanah Air. Kalau konflik etnis itu terjadi terus terusan dalam sebuah
Negara, maka Negara tersebut dapat dikatakan tidak bisa menciptakan ketentraman dan
keamanan dalam negerinya. Maka dari itu masalah konflik etnis perlu diselesaikan secara cepat
oleh pemerintah. Karena selain Negara yang mengalami kerugian, masyarakat sekitar daerah
konflik tersebut pun akan mengalami kerugian pula
Faktor faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik etnis seperti, kepentingan yang sama
diantara beberapa pihak, perebutan sumber daya, sumber daya yang terbatas, kategori atau
identitas yang berbeda, prasangka atau diskriminasi harus diselesaikan secara demokratik.
Cara-cara seperti rekonsialisasi dan mediasi harus dikedepankan. Penyelesaian konflik tanpa
kekerasan inilah yang harus dilakukan, agar tidak jatuh banyak korban. Kalau masalah konflik
antar etnis telah bisa diselesaikan dengan baik, Negara dan masyarakatnya akan hidup tenang,
tentram, dan aman. Saling menganggap bahwa satu sama lain yang ada didalam Negara adalah
saudara akan membuat

3.2 Saran

1) Semoga dengan adanya makalah ini masyarakat menjadi sadar akan masalah yang dihadapi.
Tidak lagi menjadikan prasangka, diskriminasi dan etnosentrisme sebagai api penyulut konflik
yang ada. Semoga kita menjadi lebih dewasa dalam bertindak apalagi menyangkut masalah suku
ras dan agama.

2) Kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan penulisan makalah di
kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

Pandu Wibowo. Konflik antar etnis penyebab dan solusi. Kompasiana. 28 Juni 2014 [dikutip 27
November 2015]. Tersedia dari :http://www.kompasiana.com/pandu_wibowo/konflik-antar-
etnis-penyebab-dan-solusi_54f6d84fa33311ea608b4a5e
Febrio Valentino.Perang Sampit. Kupasiana. Mei 2013 [dikutip 27 November 2015]. Tersedia
dari : http://kupasiana.psikologiup45.com/2013/05/perang-sampit_2.html
Anhar Wahyu. Perang Suku di Lampung Sebuah Dendam Lama. Personal Website News. 30
Oktober 2012 [dikutip 27 November 2015]. Tersedia
dari :http://www.lintasberita.web.id/perang-suku-di-lampung-sebuah-dendam-lama/
Saatnya yang muda. Sejarah Konflik Poso. Saatnya yang Muda. 28 Januari 2009[dikutip 27
November 2015]. Tersedia dari :https://saatnyayangmuda.wordpress.com/2009/01/28/sejarah-
konflik-poso/
Anne Ahira. Berbagai kasus perang antarsuku di Indonesia dan penyelesaiannya.Tak tau. Tau
untuk berbagi anneahira untuk Indonesia. 28 Juni 2012 [dikutip 27 November 2015]. Tersedia
dari : http://www.anneahira.com/perang-antarsuku-di-indonesia.htm
Ali. Pengertian konflik, macam-macam konflik dan faktor-faktor konflik. Kumpulan Pengertian
Menurut Para Pakar. Maret 2015 [dikutip 27 November 2015]. Tersedia
dari :http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-konflik-faktor-penyebabnya.html#_
Lepank. Pengertian Etnis atau Suku. Kamus Pengertian Arti Definisi Menurut Para Ahli
Terlengkap. Agustus 2012 [dikutip 27 November 2015]. Tersedia
dari :http://www.lepank.com/2012/08/pengertian-etnis-atau-suku.html
Albion Bengkirai. Konflik Antar Suku di Indonesia. This WordPress.com site is the bee's knees.20
Juni 2014 [dikutip 27 November 2015]. Tersedia
dari :https://albionbengkirai.wordpress.com/2014/06/20/konflik-antar-suku-di-indonesia-
tugas-ibd-4/
Bagianku. Inilah pengertian dan definisi Indonesia menurut Para Ahli.Blog network. 28
Desember 2013 [dikutip 27 November 2015]. Tersedia
dari :http://bagian-ku.blogspot.co.id/2013/12/inilah-pengertian-dan-definisi.html

1. PENGERTIAN
Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis,
konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)
dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa
individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut
ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dalam
setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar
anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan
integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan
menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Sehingga konflik antar suku bangsa dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik atau
sacral dari suku tertentu mungkin tidak demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan etnis
tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik antar etnis. Misalnya konflik etnis di
kalimantan antara suku dayak dan suku madura pendatang. Bagi suku madura pendatang
bekerja adalah suatu tuntutan bagi pemenuhan hidup di perantauan. Pekerjaan yang dilakukan
menebang kayu di hutan dan tempat dimana mereka menebang kayu tersebut adalah tempat
yang disakralkan oleh suku dayak. Kesalah fahaman ini menyebabkan terjadinya konflik antar
etnik dayak dan madura yang menelan korban banyak di antara kedua suku yang berkonflik
tersebut.
2. KONFLIK MENURUT PARA AHLI
Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan
sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada. Berbangkitnya keadaan
ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara
berterusan.

Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan
saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing

komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja
sama satu sama lain.
Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi
individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka
secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan
bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi

pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas,
1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan
stres.

Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak
yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan
tujuan.

Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar
dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya
pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993).

Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok
dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan
adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami
(Pace & Faules, 1994:249).
Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi
(Folger & Poole: 1984).
Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai,
alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap
pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).
Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat
disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda (Devito, 1995:381)

3. JENIS KONFLIK ANTAR SUKU / BANGSA


a. Konflik antar etnis “alamiah” yang muncul tanpa keterlibatan atau campur tangan pihak
lain.
b. Konflik antar etnis sebagai buah rekayasa pihak-pihak yang berkepentingan politik.
c. Pertikaian antar etnis akibat “buah provokasi” karena kurangnya daya kritis masyarakat
yang sedang bertikai.

4. FAKTOR TERJADINNYA KONFLIK


a. Primordialisme, yaitu menganggap kelompoknya lebih tinggi dari kelompok lain.
Primordialisme ini sangat berpengaruh apabila terjadi di Indonesia, karena mengingat
Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku.
b. Selanjutnya adalah adanya kesenjangan ekonomi, misal kasus Sampit. Masyarakat asli
tidak menerima adanya perbedaan ekonomi dengan masyarakat pendatang sehingga
memunculkan konflik yang tidak berujung.
c. Selain dua faktor di atas, adanya kesalahpahaman juga mempengaruhi terjadinya konflik,
adanya perbedaan keyakinan (agama) juga bisa menyebabkan konflik antar masyarakat.
d. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan
perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang
memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan
pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor
penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu
sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan
pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu
karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
e. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan
pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan
menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
f. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan,
pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu
yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-
beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang
berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal
pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya
yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh
ditebang . Para petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang
bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon- pohon
ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan.
Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus
dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat
perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial,
dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu,
misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan
kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan
pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar
bidang serta volume usaha mereka.
g. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan
adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau
bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada
masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan
memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya
bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai
yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan
upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi
hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai
kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang
cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan
istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau
mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan
terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan
tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
5. DAMPAK KONFLIK ANTAR SUKU / BANGSA
Terdapat enam dampak yang langsung kelihatan (Brown, 1997, hal. 90).
a. Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik
dengan kelompok lain.
b. Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
c. Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga
dll.
d. Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
e. Dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
6. MENCEGAH TERJADINYA KONFLIK
a. Dengan saling menghormati antar masyarakat, apabila hal ini terwujud maka setiap orang
akan memiliki perasaan yang sama, bahagia karena dihormati sehingga memunculkan rasa
menghormati oranglain.
b. Selanjutnya dengan menjaga kerukunan masyarakat, walaupun mungkin hal ini sulit
mengingat masyarakat Indonesia terdiri dari ratusan suku yang memiliki ciri watak berbeda-
beda namun akan menjadi mudah apabila sudah terbentuk suatu sikap untuk saling menjaga
dan mempertahankan kerukunan baik antar umat beragama, antar etnis, serta antar suku
bangsa yang kuat dari dalam diri masyarakat.
c. Serta dengan berpikir sebelum bertindak, ini penting karena pasti ada akibat dari sebab.
Setiap apa yang kita lakukan pasti menimbulkan suatu akibat, apalagi akibat dari konflik yang
negatif, yaitu korban berjatuhan, hilangnya harta, maka harus selalu memikirkan matang-
matang setiap rencana.
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.undip.ac.id/15012/1/2005MIH4357.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik
MAKALAH TENTANG KONFLIK ETNIS

KONFLIK ETNIS

MAKALAH

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Makalah Ilmu Sosial Budaya Dasar ( ISBD )
Pada Program Study Mata KuliahUmum( MKU )
Universitas Jember

Oleh :

1. NurmaniaIrmala Sari 131810201004


2. SilfianaPuspita Sari 131810201030
3. ImamaSitiMutmainah 131810201032
4. ZilmiKaffah 131810201040

Fakultas Matematika Dan Ilmu pengetahuan Alam


UNIVERSITAS JEMBER
Tahun 2014

DAFTAR ISI

COVER…........................................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB.1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................2
1.3 Tujuan dan Manfaat..................................................................... 2
BAB.2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Konflik Etnis..............................................................3
2.2 Penyebab Konflik antar Etnis..................................................... 4
2.3 Dampak dari Konflik antar Etnis............................................... 5
2.4 Solusi dari Penyebab Konflik antar Etnis.................................. 6
2.5 Contoh Konflik Etnis Di Indonesia............................................. 8
BAB.3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................11

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara bangsa (nation-state) yang sangat majemuk dilihat dari berbagai
dimensi.Salah satu dimensi menonjol dari kemajemukan itu adalah keragaman etnis atau suku bangsa.
Dengan mengacu pada data di Direktorat Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
mencatat bahwa di Indonesia saat ini terdapat 525 kelompok etnis. Dalam sejarahnya, kelompok etnis
tertentu biasanya mendiami atau tinggal di sebuah pulau, sehingga sebuah pulau di wilayah nusantara
sering kali identik dengan etnis tertentu. Pulau Kalimantan, misalnya, identik dengan etnik Dayak (walau
di dalamnya terdapat sekian banyak subetnik, dan karena itu konsep Dayak sesungguhnya hanyalah
semacam sebutan umum untuk penduduk asli Kalimantan). Meskipun begitu, hubungan antara etnis
yang satu dengan etnis yang lain telah berlangsung cukup lama seiring dengan terjadinya mobilitas
penduduk antarpulau, kendati pun masih terbatas antarpulau tertentu yang letak wilayahnya strategis
untuk urusan perniagaan.
Dalam kehidupan masyarakat terdapat beragam adat istiadat, dan kepentingan sehingga sering terjadi
pertikaian. Pertikaian yang berupa konflik disebabkan adanya perbedaan. Hal tersebut akan berdampak
dalam kehidupan masyarakat baik aspek sosial, budaya, hukum, ekonomi, maupun kependudukkan.
Kehidupan manusia di bumi baik secara sendiri-sendiri (individu) maupun kelompok berbeda-beda.
Apabila perbedaan – perbedaan yang ada dipertajam akan timbul pertentangan atau konflik. Konflik
pada dasarnya merupakan fenomena dan pengalaman alamiah. Dalam bentuk ekstrem, berlangsungnya
konflik tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi. Akan tetapi, juga bertujuan
pada taraf pembinasaan eksistensi lawan. Konflik merupakan bagian yang akan selalu ada dalam
masyarakat. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan berakhirnya eksistensi suatu masyarakat. Jadi,
dapat dikatakan sebenarnya konflik bukanlah masalah yang terlalu dikhawatirkan selama kita pahami
tentang penyebab dan cara mengendalikannya. Diantara semua jenis konflik, yang paling berbahaya
adalah konflik antar etnis.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam hal ini adalah:
a. Apa penyebab dari konflik antar etnis?
b. Apa dampak dari konflik antar etnis?
c. Bagaimana solusi dari konflik antar etnis?

1.3 Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan dalam hal ini adalah:
a. Penyebab konflik antar etnis.
b. Dampak dari konflik antar etnis.
c. Solusi dari konflik antar etnis.
Adapun manfaat dalam hal ini adalah:
a. Mengetahui penyebab konflik antar etnis.
b. Mengetahui dampak dari konflik antar etnis.
c. Mengetahui solusi dari konflik antar etnis.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Konflik Etnis
Pengertian etnis atau suku adalah suatu kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan yang
lain berdasarkan akar dan identitas kebudayaan, terutama bahasa. Dengan kata lain etnis adalah
kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering kali dikuatkan oleh kesatuan
bahasa (Koentjaraningrat, 2007). Dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa etnis ditentukan oleh adanya
kesadaran kelompok, pengakuan akan kesatuan kebudayaan dan juga persamaan asal-usul.Etnis
mungkin mencakup dari warna kulit sampai asal ususl acuan kepercayaan, status kelompok minoritas,
kelas stratafikasi, keanggotaan politik bahkan program belajar.
Menurut Brown, kata ‘konflik etnis’ seringkali digunakan secara fleksibel. Bahkan, dalam
beberapa penggunaannya, kata ini justru digunakan untuk menggambarkan jenis konflik yang
sama sekali tidak mempunya basis etnis. (hal. 81) Contohnya adalah konflik di Somalia.Banyak
pihak mengkategorikan konflik yang terjadi di Somalia sebagai konflik etnis.Padahal, Somalia
adalah negara paling homogen dalam hal etnisitas di Afrika. Konflik di Somalia terjadi bukan
karena pertentangan antar etnis, melainkan karena pertentangan antara penguasa lokal satu
dengan penguasa lokal lainnya, yang keduanya berasal dari etnis yang sama.
Disini jelas diperlukan suatu definisi yang cukup spesifik tentang apa yang dimaksud dengan
konflik etnis. Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan
untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan
sosial yang sama (Wattimena, 2008), dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural
itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama.
Kedua hal ini biasanya menjadi ukuran bagi solidaritas dari suatu.

2.2 Penyebab Konflik antar Etnis


Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak
berdirinya.Meskipun demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-
etnik yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang
terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan
tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di
berbagai tempat di penjuru tanah air. Tentunya sebagaimana konflik lain, mencari akar penyebab konflik
antar etnik merupakan kunci dalam upaya meredam konflik dan mencegah terulangnya kembali konflik
serupa. Berbagai perspektif telah memberikan pandangannya, baik itu perspektif politik, ekonomi,
sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan lainnya.Berbagai sebab konflik telah pula
diidentifikasi.Salah satu sebab yang sering ditemukan dalam konflik antar etnik adalah prasangka antar
etnik. Dalam bagian ini akan diketengahkan bagaimana peranan prasangka dalam konflik antar etnik.
Konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab tunggal.Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena
berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga
sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan
setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik,
1. Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak,
2. Perebutan sumber daya
3. Sumber daya yang terbatas,
4. Kategori atau identitas yang berbeda
5. Prasangka atau diskriminasi
6. Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).
Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga
sebab utama:
1. konflik muncul karena ada benturan budaya,
2. karena masalah ekonomi-politik
3. karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial.
Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan
terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka sehingga dapat terjadi konflik diantara yang
satu dengan yang lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali
menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang
dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu
memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme yang kaku
ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami
perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan
menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang akan menjadi konflik.

2.3 Dampak dari Konflik antar Etnis


Konflik dapat berdampak positif dan juga negatif. Dampak positif dari konflik menurut Ralf
Dahrendorf yaitu perubahan seluruh personel di dalam posisi dominasi. Kedua, perubahan keseluruhan
personel di dalam posisi dominasi dan ketiga, digabungnya kepentingan-kepentingan kelas subordinat
dalam kebijaksanaan pihak yang berkuasa. Sedangkan menurut Lewis Coser adalah fungsi konflik yang
positif mungkin paling jelas dalam dinamika ingroup versus outgroup. Kekuatan solidaritas internal dan
integrasi ingroup bertambah tinggi karena tinggkat permusuhan atau konflik dalam outgroup bertambah
besar. Sedangkan dampak negatif dari konflik yaitu keretakkan hubungan antarindividu dan persatuan
kelompok, kerusakkan harta benda benda dan hilangnya nyawa manusia, berubahnya kepribadian para
individu, dan munculnya dominasi kelompok pemenang.
2.4 Solusi dari Konflik Etnis
Dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana.Cepat-
tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta
kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang
muncul. Penyelesaian persoalan dengan pemaksaan sepihak oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi
apabila di sini digunakan tindakan kekerasan fisik, bukanlah cara yang demokratik dan beradab. Inilah
yang dinamakan “main hakim sendiri”, yang hanya menyebabkan terjadinya bentrokan yang destruktif.
Cara yang lebih demokratik demi tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah oleh yang
lebih kuat, adalah cara penyelesaian yang berangkat dari niat untuk take a little and give a little, didasari
itikat baik untuk berkompromi. Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai lewat
negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan yang
telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya konflik,
namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah terjadinya
akibat yang merugikan kelestarian kehidupan yang tenteram.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu :
1. Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal ini
pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh
kedua belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari
dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
2. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang
mengikat.
3. Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga
tercapai persetujuan bersama..
4. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang
seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah
pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur .
5. Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan
mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak kepada siapapun.
Untuk mengurangi kasus konflik sosial diperlukan suatu upaya pembinaan yang efektif dan berhasil,
diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat guna memperkukuh integrasi nasional
antara lain :
a. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.
b. Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun consensus.
c. Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan
dan kesatuan bangsa.
d. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan
pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.
e. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan
bijaksana, serta efektif.
Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
a. Aspek kualitas warga sukubangsa
 Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan
terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor
pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau konflik.
 Perlunya diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip
dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-
masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota sukubangsa
berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan
hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
 Adanya kesediaan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik untuk saling memaafkan dan
melupakan peristiwa yang telah terjadi.
b. Penerapan model Polmas secara sinkron dengan model Patron-Klien.
Terjadinya perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang telah terwujud dalam sebuah konflik fisik
tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur tangan pihak ketiga yang memiliki kapabilitas sebagai
orang atau badan organisasi yang dihormati dan dipercaya kesungguhan hatinya serta
ketidakberpihakannya terhadap kedua belah pihak yang terlibat konflik. Peran selaku pihak ketiga
dimaksud dapat dilakukan oleh Polri sebagai ”juru damai” dalam rangka mewujudkan situasi yang
kondusif dalam hubungan antar sukubangsa dengan memberi kesempatan terjadinya perdamaian
dimaksud seiring berjalannya proses penyidikan yang dilandasi pemikiran pencapaian hasil yang lebih
penting dari sekedar proses penegakkan hukum berupa keharmonisan hubungan antar sukubangsa yang
berkesinambungan. Dalam hal ini, Polri dapat menerapkan metode Polmas dengan melibatkan para
tokoh dari masing-masing suku bangsa Ambon dan Flores yang merupakan Patron dari kedua belah
pihak yang terlibat konflik yang tujuannya adalah agar permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan
secara arif dan bijaksana oleh, dari dan untuk kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal
menghadapi permasalahan- permasalahan lainnya di waktu yang akan dating
.

2.5 Contoh Konflik Etnis Di Indonesia


Salah satu contoh konflik etnis yang terjadi di Indonesia adalah Konflik sampit.Konflik
Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi, karena telah terjadi beberapa insiden
sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar terakhir terjadi antara Desember
1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk Madura pertama tiba
di Kalimantan tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah
kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia.Tahun 2000, transmigran
membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah.[3] Suku Dayak merasa tidak puas dengan
persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif.Hukum-hukum baru
telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di
provinsi ini seperti perkayuan, penambangan dan perkebunan.
Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001.Satu versi mengklaim
bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak.Rumor mengatakan
bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku
Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura.
Skala pembantaian membuat militer dan polisi sulit mengontrol situasi di Kalimantan Tengah.Pasukan
bantuan dikirim untuk membantu pasukan yang sudah ditempatkan di provinsi ini. Pada 18 Februari,
suku Dayak berhasil menguasai Sampit. Polisi menahan seorang pejabat lokal yang diduga sebagai salah
satu otak pelaku di belakang serangan ini.Orang yang ditahan tersebut diduga membayar enam orang
untuk memprovokasi kerusuhan di Sampit.Polisi juga menahan sejumlah perusuh setelah pembantaian
pertama. Kemudian, ribuan warga Dayak mengepung kantor polisi di Palangkaraya sambil meminta
pelepasan para tahanan. Polisi memenuhi permintaan ini dan pada 28 Februari, militer berhasil
membubarkan massa Dayak dari jalanan, namun kerusuhan sporadis terus berlanjut sepanjang tahun.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Apapun juga prosedur dan mekanisme yang dibangun untuk mengantisipasi dan mengatasi konflik, dan
betapapun efektifnya berdasarkan rancangannya, semua itu akan sia-sia saja manakala para warga tidak
hendak mentransformasi dirinya menjadi insan-insan yang berorientasi inklusivisme. Berkepribadian
sebagai eksklusivis, warga tidak hendak menyatukan dirinya, bahkan ia besikap konfrontatif dengan
pihak lain. Bersikap konfrontatif, ujung akhir penyelesaian konflik yang dibayangkan hanyalah “menang
atau kalah”, dan bahwa the winner will takes all serta pula bahwa to the winner the spoil. Matinya yang
kalah akan menjadi rotinya sang pemenang, iemands dood, iemands brood. Apabila konflik yang terjadi
berlangsung pada model yang demikian ini, akibat yang serius mestilah diredam atau dilokalisasi dengan
mencegah untuk menjadi terbatas hanya berkenaan dengan pihak-pihak yang berselisih saja, yang
“pertarungannya” dan “perampasan harta kemenangan” akan diatur berdasarkan aturan-aturan
permainan yang telah ditetapkan bersama (misalnya aturan perundang-undangan) yang telah
dimengerti dan disosialisasikan.

DAFTAR PUSTAKA

http://smartpsikologi.blogspot.comhttp://smartpsikologi.blogspot.com
http://mascondro212.blogspot.com/2014/02/konflik-antar-suku-bangsa-dan
upaya_16.html://mascondro212.blogspot.com/2014/02/konflik-antar-suku
Darmanik, Fritz Hotman S.2009. Sosiologi untuk SMA/MA. Klaten: Intan Pariwara
Nurseno.2007. Kompetensi Dasar Sosiologi 2. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri

Anda mungkin juga menyukai