Anda di halaman 1dari 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/228203927

Kebijakan Pembangunan Ekonomi Berbasis Sumberdaya Alam dan Lingkungan


(Economic Development Policy Based Natural Resource and Environment)

Article in SSRN Electronic Journal · July 2011


DOI: 10.2139/ssrn.1964085

CITATION READS

1 8,920

2 authors:

Mahipal Mahipal Yudi Wahyudin


Universitas Pakuan Universitas Djuanda
22 PUBLICATIONS 32 CITATIONS 111 PUBLICATIONS 234 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Community Based Management and Development View project

Marine Policy and Development View project

All content following this page was uploaded by Yudi Wahyudin on 23 October 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Wawasan Tridharma: Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XXIII Juli 2011| 1

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI BERBASIS


SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
Oleh:
MAHIFAL, SH., MH. dan YUDI WAHYUDIN, M.Si.

ABSTRAKSI

Pelaksanaan pembangunan daerah akan selalu terkait dengan kemampuan daerah


untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal bagi sebesar-
besarnya manfaat pembangunan dan pengembangan daerahnya. Sumberdaya lokal
dimaksud dalam hal ini meliputi sumberdaya manusia, sumberdaya alam,
sumberdaya modal (financial), serta teknologi yang digunakan. Kemampuan daerah
untuk mengelola sumberdaya lokal ini sangat terkait dengan bagaimana good
governance menjadi pilar pelaksanaannya.

Pemerintah daerah harus dapat menempatkan fungsinya selaku pemberi pelayanan


terhadap masyarakat (optimal services for community). Oleh karena itu, proses
perencanaan pembangunan yang dilakukan seyogyanya menerapkan proses
perencanaan pembangunan dari bawah. Proses perencanaan dari bawah merupakan
salah satu media pemerintah untuk dapat menyosialisasikan secara terfokus dan
terpadu terhadap suatu proses dan implementasi pembangunan. Dalam hal ini,
masyarakat diajak untuk dapat memahami secara sukarela (voluntary understanding)
tentang tata cara melakukan perencanaan dan proses implementasi pembangunannya.

Penempatan masyarakat sebagai faktor penentu dalam pembangunan ekonomi ini


sangat diperlukan karena sesuai dengan konsep pembangunan ekonomi berdasarkan
prinsip-prinsip pemerataan, keadilan dan kesejahteraan sosial. Selain itu, konsep
subjek dan objek pembangunan ini juga sesuai dengan motto pembangunan nasional,
yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Penerapan kebijakan pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan


lingkungan ini sangat perlu diimplementasikan secara nasional pada seluruh daerah
di Indonesia, mengingat peran daerah di era otonomi daerah sangat signifikan dalam
rangka mendukung dan mewujudkan cita-cita pembangunan nasional, yaitu
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

Kata kunci: pembangunan, sumberdaya alam, good governance, perencanaan,


pemerataan, keadilan

PENDAHULUAN

Salah satu isu besar mengapa Indonesia perlu melakukan reformasi di segala
bidang adalah adanya persoalan kurang optimalnya pelaksanaan pengelolaan
pemerintahan yang menyebabkan munculnya persoalan-persoalan lain yang
terkait, seperti praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang kerap menimbulkan
tidak optimalnya proses pembangunan ekonomi, politik dan sosial. Dan pada
akhirnya persoalan tersebut berdampak terhadap munculnya ketidakpuasan
masyarakat atas kebijakan dan upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah
yang memang cenderung bersifat top down dan kurang memperhatikan kebutuhan
dasar masyarakat sesungguhnya.

ISSN 0215-8256 STT No. 2009/SK/DITJEN PPG/STT/1994

Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1964085


Wawasan Tridharma: Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XXIII Juli 2011| 2

Munculnya otonomi daerah setidaknya diharapkan akan mampu memberikan


pengaruh perubahan, dikarenakan otonomi daerah memberikan kesempatan
kepada pemerintah lokal untuk dapat berfungsi sebagai subjek dan objek
pembangunan daerahnya sekaligus. Melalui otonomi daerah diharapkan
pembangunan daerah lebih memperhatikan masyarakatnya, melalui program-
program pembangunan yang betul-betul sesuai dengan yang dibutuhkan
masyarakatnya.

Akan tetapi otonomi daerah tidaklah cukup memberikan jaminan apakah


pelaksanaan pembangunan daerah dapat dilakukan sesuai dengan yang diharapkan
masyarakat. Pelaksanaan pembangunan daerah akan selalu terkait dengan
kemampuan daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya lokal secara
optimal bagi sebesar-besarnya manfaat pembangunan dan pengembangan
daerahnya. Sumberdaya lokal dimaksud dalam hal ini meliputi sumberdaya
manusia, sumberdaya alam, sumberdaya modal (financial), serta teknologi yang
digunakan. Kemampuan daerah untuk mengelola sumberdaya lokal ini sangat
terkait dengan bagaimana good governance menjadi pilar pelaksanaannya.
Melalui penerapan good governance diharapkan dapat mewujudkan pemerintah
daerah yang memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Dwiyanto (2005: 1)
menyebutkan bahwa dengan memiliki praktik governance yang lebih baik, maka
kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semakin
rendah dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga.

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang berusaha


bangkit kembali setelah krisis ekonomi melanda negeri belasan ribu pulau ini.
Belum lagi krisis ekonomi teratasi, Indonesia kembali dilanda berbagai bencana
yang kemudian menguras perhatian dan fokus program pembangunan nasional
menjadi program rehabilitasi dan penanggulangan bencana. Perhatian dan fokus
program ini mau tidak mau menyedot berbagai dana pembangunan dan pada
gilirannya semakin menambah beban pemerintah untuk dapat menstimulasi geliat
perekonomian nasional.

Kendati demikian, Indonesia tetap berusaha mengimbangi proses pembangunan


melalui berbagai program yang bukan hanya program rehabilitasi dan
penanggulangan saja, melainkan juga sedikit demi sedikit mendorong
berkembangnya minat investasi di berbagai bidang. Dengan tetap mengusung
tujuan dan sasaran pembangunan nasional dengan berlandaskan pada Trilogi
Pembangunan, maka Indonesia tetap mencoba untuk tetap bertahan dan perlahan
bangkit dari berbagai keterpurukan yang memporakporandakan sistem
perekonomian dan menghambat program pembangunan nasional. Trilogi
Pembangunan Nasional dalam hal ini diantaranya adalah (i) adanya pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat; (ii) pertumbuhan ekonomi yang tinggi; dan (iii) stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis (Pramono, 1997: 1).

Pelaksanaan pembangunan nasional selain juga menempatkan program


rehabilitasi dan penanggulangan bencana alam sebagai fokus perhatian
pemerintah, maka program pengembangan di bidang ekonomi juga menjadi skala

ISSN 0215-8256 STT No. 2009/SK/DITJEN PPG/STT/1994

Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1964085


Wawasan Tridharma: Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XXIII Juli 2011| 3

prioritas utama dalam pembangunan nasional di segala bidang. Pramono (1997: 1)


menyebutkan bahwa sasaran umum dari pembangunan di bidang ekonomi adalah
untuk terciptanya perekonomian yang mandiri dan andal dengan peningkatan
kemakmuran rakyat yang merata. Untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan bidang ekonomi tersebut maka pembuatan kebijakan moneter
diarahkan untuk mendorong agar lembaga-lembaga keuangan dapat meningkatkan
volume dana masyarakat. Hal tersebut didasarkan pada alasan bahwa dana
masyarakat mempunyai peran penting dalam proses pembangunan negara. Selain
berfungsi sebagai modal utama dalam rangka pembangunan suatu negara maka
dana masyarakat tersebut juga memiliki dampak positif yang berupa mengurangi
tingkat ketergantungan negara terhadap sejumlah pinjaman asing baik yang
berasal dari suatu organisasi keuangan internasional ataupun dari negara-negara
asing lainnya (Pramono, 1997: 1-2). Pembuatan kebijakan hendaknya harus
didasarkan pada beberapa pertimbangan yang tepat dan proporsional. Hal ini
bertujuan agar pelaksanaan kebijakan tersebut tidak menimbulkan dampak yang
merugikan bagi masyarakat. Selain itu, faktor pengawasan juga merupakan hal
yang sangat diperlukan dalam proses implementasi kebijakan yang telah dibuat.

Selain pengaturan melalui sarana kebijakan, diperlukan juga sarana penunjang


lainnya yang dapat mendukung pelaksanaan pembangunan di bidang ekonomi.
Adapun sarana penunjang yang dimaksud adalah dengan dibuatnya tatanan
hukum yang mampu mendorong, mengarahkan dan mengendalikan berbagai
kegiatan pembangunan di bidang ekonomi. Pembentukan tatanan hukum tersebut
merupakan bagian dari politik hukum nasional yang mengamanatkan untuk
melakukan pembuatan dan pembaruan terhadap produk-produk hukum yang
sesuai dengan tingkat perubahan masyarakat.(Mahfud, 1998: 9; Manan, 1996: 14).

Pada dasarnya, proses pembentukkan dan perubahan produk hukum yang


disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat merupakan
refleksi dari sifat norma hukum sebagai suatu norma dinamis (Setiyono, 2001: 70).
Hukum sebagai alat kontrol sosial akan selalu berubah dan berkembang seiring
dengan berkembangnya suatu masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh kaum Savignian yang menjelaskan bahwa hukum yang bersifat
ideal adalah hukum yang akan selalu beradaptasi dengan tingkat perkembangan
masyarakat (Hujjbers, 1984: 118).

Mengingat bahwa kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan yang dimiliki


Indonesia merupakan penyumbang utama devisa negara dan saat ini program
pembangunan yang dilakukan terfokus pada program rehabilitasi, penanganan
bencana, dan pemulihan stabilitas ekonomi, maka perlu kiranya didesain sebuah
kebijakan pembangunan ekonomi yang berbasis sumberdaya alam dan lingkungan,
sehingga kebijakan yang dibuat harus memperhatikan aspek keberlanjutan ekologi,
kesejahteraan rakyat dan kemapanan ekonomi dengan memanfaatkan sumberdaya
alam dan lingkungan secara terpadu dan berkelanjutan. Dan implementasi
kebijakan pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan ini
seoptimal mungkin harus dilakukan secara holistik dan terfokus, baik di tingkat
nasional, regional maupun lokal.

ISSN 0215-8256 STT No. 2009/SK/DITJEN PPG/STT/1994


Wawasan Tridharma: Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XXIII Juli 2011| 4

URGENSI OTONOMI DAERAH BAGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN

Otonomi Daerah

Dalam bukunya berjudul „Politik dan Otonomi Daerah“, Agustino (2005)


membahas tentang bagaimana era reformasi yang dimulai bulan Mei 1998 telah
menghasilkan prestasi yang luar biasa. Agustino (2005) lebih lanjut menyebutkan
bahwa era reformasi telah mengembalikan kebebasan pers, kebebasan
mengutarakan pendapat (khususnya pendapat-pendapat yang bersebrangan dengan
pemerintah), kebebasan berkumpul dan berserikat, dan terselenggaranya
pemilihan umum yang secara egaliter diakui sebagai pemilu demokratis
dibandingkan pemilihan-pemilihan umum Orde Baru.

Akan tetapi proses reformasi yang telah berjalan selama ini masih menemui
berbagai kesulitan dan persoalan implementasi sehingga memunculkan berbagai
pertanyaan yang pada gilirannya menyangsikan kemurnian tujuan reformasi
seperti yang diharapkan sebelumnya, bahkan sebagian kalangan mengkhawatirkan
proses reformasi ini malahan dapat menjadi lebih buruk dari Orde Baru (Agustino,
2005). Salah satu faktor yang paling berpotensi menguatkan pendapat sebagian
kalangan tersebut adalah tidak berkelanjutannya proses reformasi yang dibangun,
sehingga menurut Agustino (2005) perlu kiranya proses reformasi ini dijalankan
dengan cara-cara yang reformis dan demokratis juga. Lebih jauh Agustino (2005)
menyebutkan bahwa tujuan dan prioritas reformasi tidak boleh hanya ditetapkan
secara terbatas oleh elite-elite pembuat kebijakan saya, tetapi juga seyogyanya
dapat dibuat melalui diskusi dan konsultasi yang melibatkan seluruh warga
masyarakat, dimana salah satu jalannya adalah melalui pertukaran wacana yang
bersifat konstruktif.

Proses reformasi sedikit banyak memberikan arti yang sangat penting bagi
berjalannya demokratisasi pemerintahan, melalui pemberian desentralisasi ke
daerah yang seluas-luasnya. Proses ini kemudian dikenal sebagai era otonomi
daerah. Otonomi daerah sendiri sebenarnya merupakan bentuk reformasi
pemerintahan yang pada jaman Orde Baru dinilai sangat sentralistik dan
cenderung otoriter. Legge (1963) dalam Agustino (2005) menganalisis tiga faktor
gejala lahirnya semangat kedaerahan („daerahisme“), yaitu : (i) kebutuhan
memproyeksikan identitas etnis daerahnya sebagai manifestasi dari akar
pemerdekaan Indonesia tahun 1945 sekaligus jalan aktualisasi kedaerahan
masing-masing; (ii) adanya kecemasan akan „imprerialisme Jawa“. Penelitian di
beberapa daerah menunjukkan adanya keluhan bahwa sejumlah cabang
pemerintah pusat didominasi oleh pejabat-pejabat Jawa; dan (iii) kurang
berimbangnya pembagian manfaat pengelolaan sumberdaya alam di beberapa
daerah pengekspor, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Selanjutnya Agustino (2005) menyebutkan bahwa ketiga unsur inilah yang


memberikan dasar kokoh yang melahirkan pentingnya otonomi atau desentralisasi.
Dan, dalam era reformasi ini pulalah lahir satu paket undang-undang yang
kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Otonomi Daerah. Paket undang-

ISSN 0215-8256 STT No. 2009/SK/DITJEN PPG/STT/1994


Wawasan Tridharma: Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XXIII Juli 2011| 5

undang ini adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Kedua undang-undang tersebut kemudian mengalami perubahan dan revisi yang
dituangkan secara tersirat dan tersurat dalam Undang-Undang Otonomi Daerah
2004 melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Otonomi daerah sendiri sebenarnya bukanlah barang baru dalam dunia


pemerintahan di Indonesia. Dwiyanto (2005) mencatat bahwa sejak didirikan
pada tahun 1945, Republik Indonesia menjanjikan kehidupan yang bebas dan
otonom dari intervensi asing, dan selanjutnya kehidupan propinsi dan
kabupaten/kota yang juga relatif lebih otonom. Namun janji ini belum
sepenuhnya terwujud karena perjalanan dan cita-cita kesepakatan kolektif bangsa.

Desentralisasi Mendorong Percepatan Pembangunan di Daearah

Terbitnya Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999 yang merupakan revisi


atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah yang selanjutnya juga mengalami revisi dengan dikeluarkannya Undang-
Undang Otonomi Daerah Tahun 2004 merupakan sejarah perjalanan
pembangunan otonomi daerah di Indonesia. Dwiyanto (2005) menyebutkan
bahwa otonomi propinsi dan kabupaten/kota ada karena pemerintah pusat (negara)
mendesentralisasikan wewenang pengelolaan publik kepada pemerintah propinsi
dan kabupaten. Terdapat beberapa alasan perlunya pemerintah pusat
mendesentralisasikan kekuasaan kepada pemerintah propinsi dan kabupaten/kota,
sebagai berikut:

(1) Dari segi politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mengikutsertakan


warga dalam proses kebijakan, baik untuk kepentingan daerah sendiri
maupun untuk mendukung politik dan kebijakan nasional melalui
pembangunan proses demokrasi di lapisan bawah. Dalam hal ini ada
kesetaraan dan partisipasi politik. Ini juga merupakan media pendidikan
politik untuk belajar berdemokrasi secara nyata.
(2) Dari segi manajemen pemerintahan, desentralisasi dapat meningkatkan
efektivitas, efisiensi dan akuntabilitas publik, terutama dalam penyediaan
pelayanan publik.
(3) Dari segi kultural, desentralisasi dimaksudkan untuk memperhatikan
kekhususan, keistimewaan atau kontekstualitas suatu daerah, seperti
geografis, kondisi penduduk, perekonomian, kebudayaan ataupun latar
belakang sejarahnya.
(4) Dari segi pembangunan, desentralisasi dapat melancarkan proses formulasi
dan implementasi program pembangunan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan warga. Ketika pemerintah propinsi atau kabupaten
mempunyai kewenangan untuk merumuskan sekaligus
mengimplementasikan kebijakan pembangunan di daerahnya, maka
kebijakan tersebut akan lebih efektif dibandingkan jika wewenang ini

ISSN 0215-8256 STT No. 2009/SK/DITJEN PPG/STT/1994


Wawasan Tridharma: Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XXIII Juli 2011| 6

dipegang oleh pemerintah pusat. Mengingat kedudukannya yang berada di


daerah, maka pemerintah daerah seharusnya lebih peka terhadap persoalan
dan kebutuhan masyarakat setempat.
(5) Dilihat dari kepentingan pemerintah pusat sendiri, desentralisasi dapat
mengatasi kelemahan pemerintah pusat dalam mengawasi program-
programnya.
(6) Dilihat dari segi percepatan pembangunan, desentralisasi dapat
meningkatkan persaingan (perlombaan) antar daerah dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat sehingga mendorong pemerintah lokal
untuk melakukan inovasi guna meningkatkan kualitas pelayanannya
kepada warga.

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI BERBASIS SUMBERDAYA


ALAM DAN LINGKUNGAN

Pengertian Pembangunan

Pengertian pembangunan sebenarnya sangat tergantung pada konteks dan


pemahaman atau persepsi seseorang terhadap terminologi pembangunan itu
sendiri. Menurut Budiman (2000) kata pembangunan sudah menjadi kata kunci
bagi segala hal. Secara umum, kata pembangunan diartikan sebagai usaha untuk
memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang
dimaksud terutama adalah kemajuan material. Maka, pembangunan seringkali
diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang
ekonomi.

Menurut Budiman (2000) pemaknaan pembangunan berdasarkan persepsi


masyarakat kecil sangat beragam. Pada sebagian masyarakat kecil, pembangunan
merupakan mala petaka yang mendamparkan hidup mereka. Hal ini dikarenakan
kenyataan bahwa akibat adanya pembangunan, mereka harus terusir dari tempat
tinggal mereka yang menjadi lahan pembangunan. Demikian pada sebagian
masyarakat kecil lain, pembangunan merupakan penghambat mereka untuk
mendapatkan penghasilan. Hal ini dikarenakan kenyataan bahwa akibat adanya
pembangunan di desa, mereka harus bekerja bakti hingga seharian dan
menyebabkan hilangnya kesempatan mereka untuk memperoleh pendapatan pada
hari itu.

Pembangunan dalam konteks otonomi daerah merupakan salah satu fungsi


Pemerintah Daerah. Menurut Supriatna (1993) fungsi Pemerintah Daerah tidak
lagi semata-mata untuk menjaga keamanan dan ketertiban, tapi juga ditujukan
untuk memberikan pelayanan-pelayanan untuk mengimbangi perkembangan
tuntutan-tuntunan pelayanan dari masyarakat moderen. Lebih lanjut Supriatna
(1993) menuturkan bahwa di dunia berkembang, terlepas dari aktivitas pemberian
pelayanan, Pemerintah Daerah juga diharapkan menjalankan peran utama untuk
melaksanakan pembangunan di daerah-daerah.

ISSN 0215-8256 STT No. 2009/SK/DITJEN PPG/STT/1994


Wawasan Tridharma: Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XXIII Juli 2011| 7

Prof. Davey seperti disebutkan Supariatna (1993: 30) mengelompokkan fungsi


Pemerintah Daerah ke dalam lima kelompok fungsi, yaitu: (i) pemberian
pelayanan, (ii) fungsi pengaturan, (iii) fungsi pembangunan, (iv) fungsi
perwakilan, dan (v) fungsi koordinasi dan perencanaan. Terkait dengan fungsi
inilah penting kiranya bagi daerah untuk dapat berbenah dan mempersiapkan
kapasitas dan kapabilitasnya untuk dapat melaksanakan fungsi pembangunan
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di era otonomi daerah ini. Hal ini
dikarenakan adanya kewajiban moral dari pemerintah daerah untuk menciptakan
kesejahteraan sosial yang diusahakan melalui program pembangunan.

Supriatna (1993) selanjutnya mengemukakan bahwa dalam kaitan dengan peranan


yang dijalankan oleh Pemerintah Daerah muncul beberapa pernyataan mendasar,
diantaranya:

(1) Apakah Pemerintah Daerah memang mempunyai kapasitas untuk


menjalankan pembangunan?
(2) Apakah Pemerintah Daerah telah dilengkapi dengan sumber-sumber
(resources) yang mencukupi untuk menjalankan peranannya tersebut?
(3) Sejauhmana Pemerintah Daerah diberi kewenangan/prakarsa (discreation),
baik secara politik maupun finansial?

Untuk menjawab ketiga pernyataan tersebut di atas, perlu kiranya melakukan


perbandingan dan analisis situasi disesuaikan dengan Teori Riggs (1964). Teori
Riggs menyatakan tentang masyarakat prismatik (prismatic society) sebagai
model yang umum di masyarakat dunia ketiga. Dalam teorinya Riggs
menyebutkan bahwa suatu masyarakat yang prismatik ditandai dengan beberapa
ciri atau karakteristik : (i) tingginya tingkat formalisme, (ii) tumpang tindih
(overlapping), (iii) adanya hak-hak istimewa (particularism), (iv)
keanekaragaman (heterogenity), dan (v) norma-norma masyarakat yang
bermacam-macam (polynormatism).

Selain itu, Teori Riggs juga mengungkapkan bahwa ciri pemerintahan dalam
masyarakat yang prismatik cenderung untuk lebih menekankan pada
pembangunan birokrasi dibandingkan pembangunan politik yang pada akhirnya
akan melemahkan kontrol sosial dan menguatkan dominasi dari birokrasi. Pada
akhirnya kondisi ini mengakibatkan bertumpuknya kekuasaan dan sumberdaya di
tangan birokrasi. Lebih lanjut Teori Riggs juga menyatakan bahwa elit yang
berkuasa mempergunakan birokrasi sebagai instrumen untuk mengontrol
Pemerintah Daerah, dengan memberikan sedikit predikat desentralisasi dan
otonomi daerah. Dan, kondisi inilah yang menghambat Pemerintah Daerah
berperan aktif dalam pembangunan (Supriatna, 1993: 31-32).

Pembangunan sendiri dapat diukur melalui beberapa pendekatan, diantaranya


yaitu (i) kekayaan rata-rata, (ii) pemerataan, (iii) kualitas kehidupan, (iv)
kerusakan lingkungan, dan (v) keadilan sosial dan kesinambungan (Budiman,
2000). Kekayaan rata-rata dihitung berdasarkan rasio Product Domestic Bruto
(PDB) terhadap jumlah penduduk per tahun. Dalam konteks daerah, kekayaan
rata-rata daerah dapat dihitung berdasarkan rasio Product Domestic Regional

ISSN 0215-8256 STT No. 2009/SK/DITJEN PPG/STT/1994


Wawasan Tridharma: Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XXIII Juli 2011| 8

Bruto (PDRB) terhadap jumlah penduduk daerah kabupaten/kota pada suatu tahun
tertentu.

Pemerataan dapat diukur dengan menggunakan pendekatan perbandingan


terhadap tiga kelompok penduduk, yaitu penduduk termiskin, penduduk
menengah dan penduduk terkaya, dengan cara menghitung secara sederhana
berapa persen PDB diraih oleh 40% penduduk termiskin, berapa persen PDB
diraih oleh 40% penduduk menengah dan berapa persen PDB diraih oleh 20%
penduduk terkaya. Selain itu, pemerataan juga dapat diukur dengan menggunakan
perhitungan Indeks Gini. Dengan demikian dapat dikatakan, bangsa atau negara
yang berhasil melakukan pembangunan adalah mereka yang di samping tinggi
produktivitasnya, penduduknya juga makmur dan sejahtera secara relatif merata
(Budiman, 2003).

Kualitas kehidupan dapat didekati melalui penggunaan tolok ukur PQLI (Physical
Quality of Life Index). Tolok ukur PQLI ini diperkenalkan Moris seperti
disebutkan Budiman (2000) mengukur tiga indikator, yaitu: (1) rata-rata harapan
hidup, (2) rata-rata kematian bayi, dan (3) rata-rata prosentasi dan melek huruf.

Kerusakan lingkungan dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan untuk


mengukur sejauh mana kerusakan lingkungan dapat diminimalisir oleh adanya
pembangunan. Oleh karena itu dalam hal ini perlu kiranya dipertimbangkan
faktor-faktor kerusakan lingkungan sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan.
Faktor kerusakan lingkungan tersebut, misalnya kerusakan terhadap sumberdaya
alam, polusi akibat limbah industri, dan sebagainya (Budiman, 2003).

Lebih lanjut Budiman (2000) menyebutkan bahwa keadilan sosial dan


berkesinambungan dapat dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan
melalui unsur-unsur seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan merata serta
berkesinambungan. Berkesinambungan dalam hal ini dilihat dari tidak adanya
kerusakan sosial yang dapat diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tidak
seimbang atau timpang, serta tidak adanya kerusakan lingkungan yang
diakibatkan oleh tidak ramahnya pembangunan terhadap kelestarian sumberdaya
alam dan lingkungan.

Desain Kebijakan Pembangunan Ekonomi di Era Otonomi Daerah

Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah ini mau tidak mau sangat
memerlukan pendekatan yang baik dan tepat agar proses pembangunan yang
dilakukan benar-benar sejalan dengan semangat implementasi good governance.
Oleh karena itu, perlu kiranya pembangunan ekonomi ini direncanakan secara
matang dan mengedepankan prinsip-prinsip pemerataan, keadilan dan
kesejahteraan bersama.

Wahyudin (2005) menyebutkan bahwa perencanaan adalah langkah penting yang


harus dilaksanakan dalam suatu proses pembangunan. Secara sederhana,
perencanaan pembangunan didefinisikan sebagai target-target kuantitatif yang
mencakup semua aspek utama pembangunan yang ingin dicapai dalam suatu

ISSN 0215-8256 STT No. 2009/SK/DITJEN PPG/STT/1994


Wawasan Tridharma: Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XXIII Juli 2011| 9

periode tertentu. Fungsi penting dalam perencanaan pembangunan adalah untuk


memengaruhi, memberikan arah dan dalam beberapa hal diharapkan mampu
mengendalikan perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
pada kurun waktu tertentu. Perencanaan pembangunan yang baik adalah
perencanaan yang mampu mengakomodasi aspirasi dan partisipasi aktif
masyarakat dalam proses perencanaannya.

Seiring dengan bergulirnya otonomi daerah dan semangat reformasi, perencanaan


pembangunan yang baik seyogianya beranjak dari realitas sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat, serta harus aspiratif dan responsif terhadap kebutuhan
masyarakat. Dalam kaitan ini, suatu proses perencanaan pembangunan hendaknya
disusun dengan melibatkan masyarakat yang terkait (stakeholders). Hal ini sangat
penting dilakukan agar segenap program yang berhasil dirancang merupakan buah
pemikiran dari para stakeholders yang pada gilirannya akan menambah semangat
kebersamaan dalam kerangka upaya pengejewantahannya (Wahyudin, 2005).

Perencanaan pembangunan yang disusun berdasarkan pendekatan di atas


memerlukan suatu wadah atau media yang diharapkan dapat membantu
pemerintah dalam menyusun suatu perencanaan pembangunan yang bersifat
aspiratif dan bottom up planning. Para perencana di mana pun tentunya tidak
asing lagi dengan istilah bottom up planning (perencanaan dari bawah). Ini
merupakan salah satu pendekatan perencanaan yang disusun dan digali secara
partisipatif dari bawah (grass root). Sebagai sebuah pendekatan perencanaan,
tentunya sangat memerlukan suatu metode pelaksanaan yang dapat dilakukan
secara cepat, tepat dan sesuai dengan maksud dan tujuan dilaksanakan kegiatan
tersebut (Wahyudin, 2005).

Kebijakan pembangunan Indonesia selama ini dinilai senantiasa diarahkan pada


target pertumbuhan (target growth oriented). Padahal fenomena yang terjadi di
Indonesia kurang menunjukkan iklim yang positif, sehingga sentuhan
pembangunan ekonomi di level grass root seringkali terabaikan dan cenderung
gagal serta tidak menyentuh permasalahan mendasar masyarakat Indonesia.
Platform pembangunan semacam ini pada pasca Pemilu 2004 ke depan sudah
seharusnya digeser, sehingga target pembangunan Indonesia bukanlah sekedar
mengejar pertumbuhan ekonomi belaka. Oleh karena itu, setting ekonomi yang
dibangun seyogianya berpijak pada kebutuhan riil masyarakat dan berorientasi
pada keberadaan sumberdaya yang selama ini dimanfaatkan sebagai sumber
penghidupan masyarakat Indonesia, seperti sumberdaya kelautan, pertanian dan
perkebunan, serta kehutanan (Wahyudin, 2004). Lebih lanjut Wahyudin
menyebutkan bahwa fokus pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan
lingkungan ini seyogyanya harus menjadi perhatian dasar pemerintah dalam
menentukan sumber-sumber devisa potensial dan pembangunan ekonomi
kerakyatan.

Sejarah telah membuktikan, kekuatan ekonomi rakyat mampu bertahan semasa


krisis moneter 1997. Ekonomi rakyat benar-benar tahan banting. Dengan
demikian, krisis moneter 1997 setidaknya menjadi saksi sejarah dan sekaligus
pelajaran sangat berharga, bahwa pengembangan ekonomi berbasis kerakyatan

ISSN 0215-8256 STT No. 2009/SK/DITJEN PPG/STT/1994


Wawasan Tridharma: Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XXIII Juli 2011| 10

mampu bertahan dalam badai krisis moneter. Sementara di lain pihak, syarat
mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah
berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di
bidang budaya (Usman, 2007).

Dalam hal ini ekonomi berbasis kerakyatan ini lebih cenderung merupakan
ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan. Banyak realitas sejarah
menggambarkan bahwa ekonomi rakyat yang disokong oleh sektor-sektor
pertanian, perikanan, kehutanan dan perkebunan tetap mampu bertahan
memberikan kontribusi penghidupan masyarakat Indonesia di saat-saat terjadinya
krisis.

Realitas empirik dari kekuatan ekonomi rakyat dapat dilihat dalam dinamika
ekonomi riil masyarakat. Realitas menunjukkan bahwa ekonomi kerakyatan
merupakan kegiatan ekonomi yang menghidupi kita. Setiap hari yang kita
hidangkan di meja makan adalah bahan-bahan hasil produksi rakyat. Beras sampai
garam, sayur-mayur sampai bumbu, merupakan produksi perekonomian rakyat,
bukan produksi ekonomi konglomerat. Jadi, perekonomian rakyatlah yang
menghidupi, dan menjadi pendukung kehidupan bangsa selama ini. Jika sekiranya
perekonomian nasional terus-menerus menghadapi krisis, ekonomi rakyat akan
masih bisa hidup, betapapun subsistemik. Malah, sejak zaman perjuangan fisik
melawan kolonial, ekonomi rakyat yang memberi "makan" para pejuang kita
(Usman, 2007).

Terlepas dari pemakaian istilah ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan yang
digunakan dalam wacana, yang jelas, ekonomi kerakyatan menurut (Usman,
2007) dapat didefinisikan sebagai sektor ekonomi yang berisi kegiatan-kegiatan
ekonomi rakyat. Sementara perekonomian rakyat adalah sistem ekonomi di mana
rakyat dan usaha-usaha ekonomi kerakyatan berperan integral dalam
perekonomian nasional. Misalnya, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua
di bawah kepemimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat, berdasarkan
aturan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di bumi adalah
pokok-pokok kemakmuran rakyat.

Wahyudin (2004) menyebutkan pentingnya dukungan pemerintah atas empat hal


dalam kerangka pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan
lingkungan, khususnya pembangunan kelautan dan perikanan, yaitu (i) adanya
kebijakan makro yang berorientasi pada pengembangan aktivitas ekonomi yang
berbasis sumberdaya alam dan lingkungan; (ii) penyediaan infrastruktur dan
fasilitas pendukung lainnya; (iii) dukungan penelitian dan pengembangan
teknologi; dan (iv) pengembangan pola agribisnis.

Dukungan Kebijakan Makro

Pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan di Indonesia


memerlukan kebijakan makro yang efektif dan efisien terutama untuk
menempatkan pengembangan berbagai aktivitas dan bisnis ini sebagai salah satu
prime mover pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan di

ISSN 0215-8256 STT No. 2009/SK/DITJEN PPG/STT/1994


Wawasan Tridharma: Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XXIII Juli 2011| 11

Indonesia. Oleh karena itu, disain kebijakan ekonomi makro Indonesia seoptimal
mungkin harus berpihak pada proses pengembangan bisnis dan aktivitas sektor ini
dalam rangka memberikan keleluasaan ruang pertumbuhan dan pengembangan
bisnis secara efektif dan efisien. Terlebih dalam rangka menghadapi era
perdagangan bebas yang mau tidak mau harus dihadapi secara optimal. Salah satu
kebijakan makro yang dapat diberikan, misalnya, dengan memberikan proteksi
terhadap datangnya (impor) komoditas (misal, price protection, tax, dan
sebagainya) dan menjaga supply produk lokal agar tetap kontinu.

Pemerintah selaku pembuat kebijakan diwajibkan memberikan perhatian yang


lebih besar lagi terhadap pengembangan bisnis ini. Dalam hal ini, pemerintah
harus memberikan keleluasaan kepada masyarakat Indonesia untuk menggarap
dan memproduksi berbagai komoditas secara bebas dengan perhitungan tanpa
takut mengalami kerugian. Kebebasan tersebut harus dibarengi dengan adanya
pemberian property right yang efisien secara ekonomi. Efisien secara ekonomi
akan terwujud jika property right yang dimiliki masyarakat menunjukkan sifat
universal (universality), eksklusif (execlusive), dapat diperjualbelikan secara sah
(transferable) dan memperoleh jaminan keamanan (enforceability).

Selain itu, pemerintah diharapkan memberikan insentif, berupa pemberian kredit


lunak yang diintegrasikan dengan sistem pembinaan berkala dan kontinu,
sehingga pemberian kredit tidak hanya dijadikan sebagai charity saja. Pemerintah
dalam hal ini diharapkan juga mampu memberikan jaminan keamanan bahwa
komoditas yang dihasilkan mempunyai pasar yang kontinu dan jika dimungkinkan
harga jualnya mempunyai harga dasar atau harga break even point bagi para
pembudidaya. Dalam hal ini, diharapkan pemerintah dapat memberikan
justifikasi penetapan harga minimal pembelian, tentunya harus tetap
mempertimbangkan cost-benefit aktivitas ekonomi yang dibangun.

Dukungan Infrastruktur dan Fasilitas Pendukung

Pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan di Indonesia


memerlukan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya, karena infrastruktur
dan fasilitas pendukung ini merupakan hal yang sangat krusial bagi
pengembangan aktivitas ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan.
Pemerintah dalam hal ini diharapkan dapat menyediakan prasarana dan sarana
jalan, telekomunikasi, energi dan sebagainya. Bahkan diharapkan pemerintah
dapat membangun sistem prasarana jalan yang mampu menghubungkan pusat-
pusat produksi kelautan dan perikanan dengan kapasitas jalan yang dapat dilalui
kontainer-kontainer.

Selain itu, sistem transportasi yang ramah terhadap pengembangan bisnis berbasis
sumberdaya alam dan lingkungan juga diperlukan. Ramah dalam hal ini diartikan
bahwa alat atau sarana dan prasarana transportasi tersebut terbilang efektif dalam
mengangkut dan mendistribusikan komoditas yang dihasilkan. Dalam hal ini
ketakutan bahwa komoditas yang diangkut rusak dan kurang terjaga dapat
dihindarkan. Disamping efektif, diharapkan prasarana dan sarana transportasi

ISSN 0215-8256 STT No. 2009/SK/DITJEN PPG/STT/1994


Wawasan Tridharma: Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XXIII Juli 2011| 12

terbilang efisien secara ekonomi. Artinya bahwa dari sisi cost tidak terlalu
memberatkan para produsen berbasis sumberdaya alam dan lingkungan.

Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan di Indonesia


juga memerlukan dukungan penelitian dan pengembangan teknologi.
Pengembangan teknologi ini diarahkan untuk menghasilkan teknologi tepat guna
terutama bagi upaya pengembangan komoditas yang bernilai jual tinggi (high
value) dan mempunyai peluang untuk bersaing di pasar domestik maupun
internasional.

Pengembangan teknologi dalam hal ini tidak saja berkutat dalam pengembangan
teknis ekstraksi semata, melainkan juga semua faktor terkait dalam hal teknologi
pengolahan, teknologi distribusi atau pengangkutan, dan teknologi-teknologi
terkait lainnya. Hal terpenting lainnya adalah adanya teknologi penanggulangan
dan pencegahan penyakit serta peningkatan kualitas produk, baik bagi produk
mentah maupun produk olahan. Hal ini sangat perlu untuk dilakukan agar
kualitas produk yang dihasilkan dapat bersaing secara kompetitif di pasar lokal
dan internasional.

Pendekatan Agribisnis

Pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan di Indonesia


memerlukan pendekatan pengembangan yang dapat mengakomodasi secara
integral dan efisien setiap aktivitas produksi, pasca panen, distribusi dan
pemasaran, yaitu pendekatan sistem agribisnis berbasis sumberdaya alam dan
lingkungan. Sesuai dengan sifat dan karakteristik komoditas SDA yang
mempunyai tingkat rentanitas tinggi terhadap varibel waktu, maka pengembangan
teknologi produksi, pasca panen, strategi pemasaran, sistem angkutan produk dan
sebagainya menjadi bagian yang harus diperhatikan sebagai prasyarat
pengembangan bisnis berbasis SDA dan lingkungan di Indonesia ini.

Sistem agribisnis berbasis SDA dan lingkungan ini akan sangat tergantung pada
seberapa besar pemerintah mampu mendorong sektor swasta untuk dapat
berpartisipasi dalam pelaksanaannya. Aktivitas produksi yang dijalankan akan
sangat membutuhkan modal dan pembinaan bisnis agar dapat berkembang,
mandiri dan berkelanjutan. Dalam hal ini yang dapat dilakukan pemerintah
adalah menyiapkan agar kebijakan makro seperti yang digambarkan di muka
dapat diimplementasikan.

Ketika produksi berjalan, maka produk atau komoditas yang dihasilkan harus
dijual dan dalam hal ini jelas ketersediaan pasar sangat diperlukan. Dalam hal ini,
penting dikembangkan agar pasar utama adalah industri pengolahan dalam negeri.
Diharapkan melalui stimulans terhadap berkembangnya sektor industri
pengolahan dapat mengatasi persoalan pentingnya penyediaan pasar yang
membutuhkan bahan mentah untuk diolah. Selanjutnya hasil olahan juga perlu
pasar agar produktivitas usaha pengolahannya dapat kontinu, maka yang perlu

ISSN 0215-8256 STT No. 2009/SK/DITJEN PPG/STT/1994


Wawasan Tridharma: Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XXIII Juli 2011| 13

dilakukan adalah memberikan jaminan bahwa produk olahan yang dihasilkan


mempunyai daya saing yang tidak kalah dengan produk olahan dari luar, sehingga
kembali lagi pasar lokal dapat diambil sebagai pasar utama penjualan produk
olahan ini.

Implikasi Kebijakan Pembangunan Ekonomi Berbasis Sumberdaya Alam


dan Lingkungan

Kebijakan pemerintah untuk memfokuskan pembangunan ekonomi masyarakat


pada kebijakan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan menurut
Wahyudin (2004) dapat membawa konsekuensi terhadap kemampuan berproduksi
dan konsumsi masyarakat. Deskripsi implikasi kebijakan pemerintah tersebut
tidak lain akan mengikuti solusi Don Kanel tentang bagaimana Double Squeeze
berlaku pada penerapan kebijakan yang terfokus pada kebijakan pertanian.
Teorama Don Kanel ini akan berlaku bilamana kebijakan dan syarat-syarat
efisiensi ekonomi (property right) yang jelas dan sistem pembangunan ekonomi
yang berorientasi pada SDA, seperti dikemukakan sebelumnya terjadi. Sehingga,
dapatlah diprediksi bahwa in the long run penerapan kebijakan ekonomi yang
demikian itu akan membuat kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya yang
bermata pencaharian di sektor-sektor berbasis sumberdaya alam dan lingkungan
akan meningkat.

Peningkatan penghidupan akibat adanya peningkatan produktivitas dan


pendapatan ini akan mendorong dan memberikan dampak turunan bagi beberapa
hal krusial dalam aktivitas ekonomi. Pertama, peningkatan pendapatan dan
penghidupan ini akan mendongkrak tingkat daya beli masyarakat akan barang dan
jasa (consumption) sedikit demi sedikit. Kedua, kemampuan daya beli ini juga
akan dibarengi oleh kemampuan untuk menyimpan (saving) dan alokasi dana
untuk re-investasi atau pengembangan usaha. Ketiga, pengembangan usaha yang
dilakukan in the long run akan mendorong peningkatan produktivitas yang pada
gilirannya akan meningkatkan pendapatan yang kemudian akan kembali
dialokasikan untuk konsumsi, saving, pengembangan usaha dan seterusnya
(Wahyudin, 2004).

Peningkatan daya beli masyarakat (consumption) di sisi lain secara signifikan


akan mendorong peningkatan transaksi jual-beli barang dan jasa. Peningkatan
transaksi ini secara teoritis akan meningkatkan investasi sektor riil, terutama yang
berkaitan dengan produksi barang dan jasa yang merupakan kebutuhan
masyarakat Indonesia. Dalam hal ini terjadi penggunaan kapital yang dihasilkan
akibat adanya transaksi dan konsumsi masyarakat tanpa harus melalui sistem
kredit atau pinjaman usaha dari lembaga keuangan. In the long run, peningkatan
daya beli masyarakat akan meningkatkan tingkat investasi yang pada gilirannya
akan meningkatkan perekonomian Indonesia. Peningkatan perekonomian ini
secara signifikan akan meningkatkan peran pemerintah untuk memberikan
pelayanan publik, berupa pembangunan nasional (pengembangan fasilitas publik)
dan sebagainya (Wahyudin, 2004).

ISSN 0215-8256 STT No. 2009/SK/DITJEN PPG/STT/1994


Wawasan Tridharma: Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XXIII Juli 2011| 14

PENUTUP

Pembangunan ekonomi sangat memerlukan pendekatan yang tepat dan baik serta
didukung oleh berjalannya sistem kepemerintahan yang baik (good governance)
yang memberikan dukungan kuat terhadap segenap aktivitas ekonomi kerakyatan.
Di era otonomi daerah ini, penting kiranya menempatkan masyarakat sebagai
subjek dan objek pembangunan. Sebagai subjek berarti bahwa masyarakat terlibat
secara langsung dalam proses perencanaan dan implementasi pembangunan,
sedangkan sebagai objek adalah menempatkan masyarakat sebagai target utama
pembangunan yang ditujukan untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat
dalam kerangka pembangunan nasional secara menyeluruh.

Pemerintah daerah harus dapat menempatkan fungsinya selaku pemberi pelayanan


terhadap masyarakat (optimal services for community). Oleh karena itu, proses
perencanaan pembangunan yang dilakukan seyogyanya menerapkan proses
perencanaan pembangunan dari bawah. Proses perencanaan dari bawah
merupakan salah satu media pemerintah untuk dapat menyosialisasikan secara
terfokus dan terpadu terhadap suatu proses dan implementasi pembangunan.
Artinya, di sini masyarakat diajak untuk secara bersama membangun wilayahnya
dan melalui forum atau media lainnya dapat disosialisasikan beragam
implementasi program pembangunan (baik yang telah, sedang dan akan
dilaksanakan) berdasarkan skala prioritas dan waktu, di samping juga masyarakat
diajak untuk dapat memahami secara sukarela (voluntary understanding)
bagaimana cara melakukan perencanaan dan proses implementasinya.

Penempatan masyarakat sebagai faktor penentu dalam pembangunan ekonomi ini


sangat diperlukan dan hal ini juga sesuai dengan konsep pembangunan ekonomi
nasional yang mengedepankan pembangunan berdasarkan prinsip-prinsip
pemerataan, keadilan dan kesejahteraan sosial. Selain itu, konsep subjek dan
objek pembangunan ini juga sesuai dengan motto pembangunan nasional, yaitu
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Penerapan kebijakan pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan


lingkungan ini sangat perlu diimplementasikan pada seluruh daerah di Indonesia.
Mengingat peran daerah di era otonomi daerah sangat signifikan dalam rangka
mendukung dan mewujudkan cita-cita pembangunan nasional, yaitu mewujudkan
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. Politik dan Otonomi Daerah. Serang: Untirta Press, 2005.
Budiman, Arief. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT.Gramedia
Pustaka Utama, 2000.
Riggs, FW. Administration in Developing Countries. Boston, 1985.
Dwiyanto, Agus (Editor). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan
Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005.

ISSN 0215-8256 STT No. 2009/SK/DITJEN PPG/STT/1994


Wawasan Tridharma: Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XXIII Juli 2011| 15

Huijbers, Theo. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta : Yayasan


Kanisius, 1984.
Mahfud M.D, Moh. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta : Pustaka LP3ES
Indonesia, 1998).
Manan, Bagir. Politik Perundang-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi
Liberalisasi Perekonomian. Lampung : Makalah Seminar Sosialisasi UU
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, 1996.
Pramono, Nindyo. Sertifikasi Saham PT. Go Public dan Hukum Pasar Modal di
Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997.
Sedarmayanti. Good Governance (Kepemerintahan yang baik). Bandung:
Mandar Maju, 2003.
Setiyono. Aspek Hubungan Internasional Sebagai Faktor Pengubah Hukum.
Jakarta : Majalah Hukum Trisakti Nomor 39, 2001.
Supriatna, Tjahya. Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah. Jakarta: Bumi
Aksara, 1993.
Usman, Ali. Meneguhkan Kembali Ekonomi Kerakyatan. Jakarta : Artikel pada
Kolom Opini Harian Suara Karya, Edisi Kamis, tanggal 24 Mei 2007.
Wahyudin, Yudi. Kebijakan Pembangunan Kelautan Pasca Pemilu. Jakarta:
Artikel pada Kolom Opini Harian Suara Karya, Edisi Rabu, tanggal 26
Mei 2004.
Wahyudin, Yudi. Merencanakan Pembangunan secara Partisipatif. Jakarta:
Artikel pada Kolom Opini Harian Umum Suara Karya, Edisi Senin, 30
Mei 2005.

BIODATA
Mahifal, SH., MH adalah staf pengajar pada Universitas Pakuan Bogor. Penulis
dilahirkan di Bogor pada tanggal 30 Mei 1975. Gelar Sarjana Hukum (SH)
diperoleh pada tahun 1998 dari Universitas Pakuan Bogor, sedangkan gelar
Master Hukum (MH) diperoleh dari perguruan tinggi yang sama pada tahun 2008.

Yudi Wahyudin, M.Si. adalah Peneliti Senior pada Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB). Penulis dilahirkan di
Bogor pada tanggal 13 Maret 1974. Gelar kesarjanaan dari Institut Pertanian
Bogor pada tahun 1997, sedangkan gelar master diperoleh dari perguruan tinggi
yang sama pada tahun 2005. Saat ini penulis aktif sebagai tenaga ahli di beberapa
lembaga pemerintahan dan swasta, baik pusat maupun daerah, dengan konsentrasi
keahlian di bidang kebijakan pembangunan dan ekonomi sumberdaya alam dan
lingkungan.

ISSN 0215-8256 STT No. 2009/SK/DITJEN PPG/STT/1994

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai