Anda di halaman 1dari 9
masuk hutan bergabung dengan barisan Qahhar Muzakkar di bawah bendera DI/TII. Secara otomatis, MTI berhenti beroperasi. Alasan Muin bergabung dengan DI/TII sangat mendasar, kekacauan politik akibat Sukarno merangkul PKI dalam pemerintahannya, di lain pihak kerinduannya untuk menerapkan syariat Islam secara totalitas.® Selama masuk hutan bersama DI/TH, Muin Yusuf tahun 1961 pemah menjabat sebagai Hakim Agung, dalam perjalanan selanjutnya terjadi persaingan kekuasaan sesama elite DI/TH, khususnya antara Qahhar Muzakkar dengan Bahar Mattaliu. Dengan konflik internal yang kian meruncing antara dua pembesar secara langsung membawa petaka antar sesama, bahkan terjadi perang fisik dari kedua belah pihak. Di saat terjadi perang antar kedua kubu, dan pasukan Mattaliu terjepit oleh tentara Qahhar dan TNI di lain pihak, lalu muncul amnesty dari Presiden Sukarno bagi para anggota DI/TII yang ingin kembali bergabung dalam pengkuan NKRI. Saat itu, Mattaliu dan pasukannya meminta fatwa pada Muin Yusuf, apakah akan melanjutkan perjuangan mengangkat senjata di hutan dalam wadah DI/TII yang juga sedang konflik sesama atau menerima amnesty dari pemerintah RI yang ditawarkan presiden Sukarno? Muin Yusuf memfatwakan bahwa lebih baik menerima tawaran dari pemerintah RI yang mudharatnya lebih ringan daripada melanjutkan perjuangan di tengah hutan. Nampaknya keputusan ini merujuk pada kaidah ushul fiqhi “akhaffic al-dhararain” jika dua masalah terpaksa dihadapi maka lebih baik memilih masalah yang lebih ringan. Peristiwa ini berlaku pada tahun 1969, tahun di mana Muin Yusuf kembali dalam dekapan Ibu Pertiiwi. Pada saat yang sama PKI sudah dibubarkan, maka Gurutta Muin Yusuf kembali membenahi lembaga pendidikannya yang pernah ia rintis sebelum masuk hutan, Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Namun, tidak hanya menjadi pendidik, kali ini ia terjun dalam politik praktis dengan memilih Partai Nahdhatul Ulama sebagai kendaraannya, pilihannya itu membawanya menjadi anggota DPRD Sidrap wakil dari Partai NU tahun 1971. Masa Orde ‘Muhammad Hasrun & St. khadijah, AGH. Muin Yusuf: Ulama Pejuang dari Sidenreng, dalam Muhammad Ruslan dan Waspada Santing, Ulama Sulawesi Shalatan, Biografy Pendidikan & Dakwah, Makassar: Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Sulsel 2007, him. 100. ° Abd, Rahim Razaq, K.H. Muin Yusuf: Perjuangan, Pemikiran, dan Pengaruhnya di Sulawesi Selatan UIN Alauddin Makassar: Disertasi tidak diterbitkan, 2013, hlm. 124 masuk pada level ini adalah hanya orang pilihan, hanya satu tingkat di atas kelas Tsanawiyah, yaitu kelas halagah khusus untuk para calon ulama. Dan Muin Yusuf setelah menyelesaikan studinya pada tingkatan Tsanawiyah dan langsung menlanjutkan pada kelas kaderisasi ulama selama setahun, dan kedua jenjang pendidikan tertinggi di MAI Sengkang pun telah dilewatinya pada tahun 1937, atau hanya empat tahun berguru sama Al-Bugisi Pada tahun selesainya di MAI Sengkang, Muin Yusuf langsung melanjutkan pendidikan formalnya di Normal School, atau Normal Islam yang ada di Pangkajene. Di sekolah Islam modern ini ia bersentuhan dengan para ulama pembaharu seperti Syekh Ahmad Khasib, Idris Saleh, Darwis Amini, dan Kasim Bahar. Namun, hanya dua tahun di Pangkajene, Normal Islam pun pindah ke Pinrang, tepatnya pada tahun 1939 dan berganti nama menjadi Muallimat Ulya, dan Muin pun ikut pindah hingga ia menamatkan sekolahnya pada tahun 1942. Setelah itu, ia kembali ke kota kelahirannya di Rappang, berkat kedalaman ilmu dan prilakunya yang mencerminkan seorang ulama muda pada zamannya dimana saat itu baru berusia 22 tahun, namun sudah didaulat menduduki jabatan Qadhi, yang sesungguhnya merupakan kedudukan paling tinggi di sebuah kerajaan terkait hal ihwal keagamaan, Qadhi juga sekaligus bertindak sebagai muftiS Tahun 1947, Muin Yusuf mengundurkan diri sebagai Qadhi karena ingin menunaikan ibadah haji, dengan perjalanan yang menggunakan kapal laut, maka pasti membutuhkan waktu yang lama, dan ketika sampai di Makkah, pada saat bersamaan, Madrasah Al-Falah membuka pendaptaran bagi mahasiswa baru. Tentu saja, mereka yang lulus adalah orang pilihan dari berbagai negara, atau mereka yang. telah belajar betahun-tahun di Haramayn pada tingkat lebih rendah, seperti I’dadiyah, Ibtida’iyah dan Tsanawiyah. Peluang ini tidak disia-siakan oleh Muin Yusuf, ia ingin melihat sejauh mana kemampuannya untuk bersaing dengan mahasiswa dari berbagai latar belakang lembaga pendidikan dan etnis. Ternyata ia lulus tes dan diterima masuk pada jurusan Perbandingan Madzhab (mugdranah baen al- madzahib). Muin Yusuf belajar di Darul Falah sebagai mahasiswa selama dua tahun dan dinyatakan lulus pada tahun 1949, 5 Ibid, hlm, 99, Mengenal Lebih Dekat KH Abdul Muin Yusuf (1920-2004) Oleh: Dr Ilham Kadir MA* Tidak diragukan lagi bahwa Anregurutta Haji Muhammad As’ad Al-Bugisi (1907- 1952) adalah ulama muktabar dan kesohor yang telah banyak mencetak tunas-tunas baru harapan bangsa. Lewat lembaga pendidikan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di Sengkang di bawah asuhan Al-Bugisi, maka lahirlah ulama-ulama yang luar biasa jasanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu di antara ulama paling berpengaruh di Sulawesi Selatan akan penulis ketengahkan. Jebolan MAI Sengkang kali ini mengantar kita bertemu dengan Abdul Muin Yusuf, seorang ulama, pejuang, dan mufassir. Perjalanan dakwah, sosok pribadi, dan jalan hidupnya sangat layak menjadi panutan bagi siapa pun, terlebih mereka yang sedang menapaki jalan dakwah. Muin Yusuf dilahirkan di Rappang, Kabupaten Sidrap tepat pada 21 Mei 1920. Ayahnya, Muhammad Yusuf berasal dari Bulu Patila, Sengkang, Wajo. Sedangkan ibunya Sitti Khadijah berasal dari Rappang. Pada usia 7 tahun ia sudah mulai belajar mengaji pada guru ngaji kampung yang bernama Haji Patang, dan setelah masuk pada usia 10 tahun, Muin kecil memulai pendidikan dininya dengan bersekolah di Indlandsche School atau Sekolah Dasar zaman Belanda pada pagi hari, sedangkan di sore harinya ia belajar di Sekolah Muhammadiyah Sidrap, kemudian pindah ke Madrasah Ainur Rafieg, sekolah agama ini didirikan pada tahun 1931 oleh Syekh Ali Mathar alumni Haramayn yang awalnya merupakan guru di Madrasah Muhammadiyah. Perpindahan Ali Mathar ini disebabkan adanya perbedaan paham keagamaan antara dirinya dengan Muhammadiyah. Muin Yusuf adalah anak saudara dari Ali Mathar, dan ketika sang paman mendirikan sekolah ia pun mengikutinya dan meninggalkan sekolah Muhammadiyah! Sekolah Muhammadiyah tersebut telah berdiri sejak tahun 1928, dirintis oleh Syekh Mansur Al-Yamani berasal dari Solo dan merupakan ipar dari Syekh Ali Mathar. Al-Yamani " Abd, Rahim Razaq, K.H, Muin Yusuf: Perjuangan, Pemikiran, dan Pengaruhnya di Sulawesi Selatan UIN Alauddin Makassar: Disertasi tidak diterbitkan, 2013, hlm. 109. tidak sendiri dalam membangun dan mengembangkan Sekolah Muhammadiyah sebab dibantu oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang masyhur dengan nama Hamka? Ketika Majelis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan keputusan untuk warganya bahwa dalam menunaikan shalat tarwih cukup dengan 8 rakaat, maka pendapat ini ditentang oleh Syekh Ali Mathar, di sinilah perselisihan itu bermula yang pada akhirnya Ali Mathar keluar dari Sekolah Muhammadiyah dan mendirikan sekolah sendiri dengan nama Madrasah Ainur Rafieq? Walaupun telah mundur sebagai guru di Sekolah Muhammadiyah, Syekh Ali Mathar tetap saja masuk mengajar di dalam kelas bila Buya Hamka memerintahkannya. Hamka pula yang awalnya menyarankan pada Ali Mathar untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri. Dan ketika Madrasah Ainur Rafieq berdiri, Muin Yusuf adalah salah satu murid pertamanya. Ali Mathar adalah orang pertama yang menanamkan dasar agama kepada Muin Yusuf. Intensitas pertemuan antara paman dengan ponakan itu tidak hanya berlangsung di dalam kelas, pada waktu siang bahkan malam, Muin Yusuf kerap berada di bawah bimbingan Syekh Ali Mathar, tidak jarang pula ia menginap di rumah paman sekaligus gurunya itu. Hubungan kekerabatan sekaligus guru dan murid ini telah mewarnai corak pemikiran keagamaan Muin ‘Yusuf pada masa yang akan datang. Dengan sekolah di/ndlandsche School dan Ainur Rafieq di usia anak-anak telah menjadikan Muin Yusuf sebagai anak yang sarat pengetahuan di usia dini* Pada tahun 1933, setelah menyelesaikan pendidikannya di /ndlandsche School dan Ainur Rafieq, Muin Yusuf berangkat ke Sengkang untuk melanjutkan studinya di MAI yang merupakan asuhan Al-Bugisi, di lembaga pencetak ulama nomor wahid di Indonesia Timur ini, ia langsung masuk pada level kelas Tsanawiyah, yang sebenarnya mereka yang langsung 2 Lihat biografi singkat Hamka dalam Ramayusli dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam: Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005, him. 261 * Ibid, him. 110. + Muhammad Hasrun & St. khadijah, AGH. Muin Yusuf: Ulama Pejuang dari Sidenreng, dalam spada Santing, Ulama Sulawesi Shalatan, Biografy Pendidikan & Dakwah, : Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Sulsel 2007, him. 97. Kemampuan Muin Yusuf bertanding dan bersanding dengan berbagai mahasiswa dengan berbeda latar pendidikan dan negara membuktikan bahwa memang kualitas pendidikan kaderisasi ulama di Indonesia pada abad ke-20 tidak kalah dari mereka yang belajar di Haramayn atau negara-negara Arab lainnya, Kenyataan ini pun menguatkan analisa Mahmud Yunus bahwa alumni Haramayn yang kembali ke Indonesia lalu menditikan lembaga pendidikan di daerah asalanya mampu melahirkan ulama yang setara dengan lulusan Haramayn sendiri bahkan ada yang lebih hebat! Kiprahnya di Masyarakat Di usianya yang ke-22 tahun, setelah selesai belajar di Muallimat Ulya, Muin Yusuf telah menjadi seorang Qadhi yang ketika itu menggantikan mertuanya Syekh Ahmad Jamaluddin yang sebelumnya menjabat sebagai Qadhi di Sidenreng, Jabatan sebagai Qadhi benar-benar dimanfaatkan untuk memberikan dakwah dan pencerahan bagi masyarakat luas tanpa ada hambatan, sebab otoritas keagamaan berada dalam genggamannya. Dengan kearifan yang tinggi, diramu dengan metode-metode dakwah yang disesuikan kondisi zaman membuat Anregurutta Muin Yusuf dicintai oleh ummat dan dhormati oleh raj Selain sebagai Qadhi dan dai struktural, Muin Yusuf juga tidak melupakan tugasnya untuk mendidik para anak-anak usia sekolah dengan mendirikan sekolah yang ia namai, Madrasah Ibtida ivah Nashrul Hag pada tahun 1942, ia membina sekolah ini selama dua tahun karena berbalik haluan, memutuskan untuk turut maju di medan perang dengan memanggul senjata melawan Belanda dan sekutunya, perjuangannya itu membawanya mendapat penghargaan sebagai veteran Demikian pula, setelah selesai kuliah di Madrasah Al-Falah pada jurusan Perbandingan Madzab, tepatnya pada tahun 1949 ia langsung mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTV). Sekolah ini berkembang pesat dalam tempo yang cukup singkat, sayang hanya bertahan lima tahun kemudian, pada tahun 1954 Muin memutuskan untuk © Mahmud Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1996, him. 53. 7 Abd. Rahim Razag, K.H. Muin Yusuf: Perjuangan, Pemikiran, dan Pengaruhnyadi Sulawesi Selatan. UIN Alauddin Makassar: Disertasi tidak diterbitkan, 2013, hlm, 109. MAI Sengkang dan murid Al-Bugisi. Sebelumnya, pada tahun 1949, pernah juga menghasilkan karya berjudul, Al-Khotbah al-Minbariyah, dan pada tahun 1953 ia menghasilkan karya Figh Mugaranah.' Dalam bersikap dan berprinsip, Muin Yusuf dikenal tidak kenal kompromi dan tidak akan tunduk jika merasa berada dalam pihak yang benar. Bahkan, ia pernah mengajak para ulama untuk walk our saat terjadi pertemuan ulama seindonesia di Jakarta. Sudharmono saat itu yang menjabat sebagai Pimpinan Golkar sangat jarang mengucapkan salam ketika memulai pidatonya, dan Muin Yusuf membuat kesepakatan pada para ulama yang hadir dalam pertemuan itu, jika dalam pidato Sudharmono tidak mengucapkan salam mereka akan meninggalkan ruangan, dan terjadilah apa yang direncanakan Anregurutta, walk out bersama ulama lainnya. Ulama mufassir ini juga tipe yang memiliki kepribadian sederhana, dia hanya menerima pemberian sesuai kebutuhannya, karena itu pemberian yang dianggap mewah akan ditolak dengan baik. Hal ini terbukti ketika menolak pemberian mobil pribadi sebagai Pembina Golkar, dan mobil dinas selaku Ketua MUI Sulsel dua priode. la hidup penuh kesederhanaan, walaupun pernah menduduki beberapa jabatan dengan dapat hidup lumayan nyaman, tapi itu semua ia tolak. Ia hanya tinggal bersama keluarga dalam rumah yang sangat sederhana di mana tempat tidur pribadinya itu berhubung langsung dengan ruang belajar para santri. Sulit dipercaya jika itu adalah kediaman mantan anggota DPRD, pernah menjabat sebagai Pimpinan Golkar, dan menduduki Ketua MUI Propinsi Sulsel selama dua priode, namun begitulah seorang ulama, hidupnya benar-benar hanya untuk mengayomi ummat, membawa suluh penerang bagi segenap pengikut Nabi Besar Muhammad S.A.W. Ulama besar ini menghembuskan nafas terakhirnya di tanah kelahirannya Rappang tepat pada 23 juni 2004. "Ibid, him, 109, Pondok Pesantren Al-Urwatul Utsqa adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang telah memberikan kontribusi besar terhadap dunia pendidikan dan pembinaan generasi muda di Sulwesi Selatan, baik pada masa kepemimpinan Muin Yusuf maupun generasi pelanutnya. Tingginya animo masyarakat untuk mengirim anaknya ke Pesantren Al-Urwatul Utsqa karena dinilai lembaga pendidikan ini mampu menjawab tantangan zaman dengan mengikuti kebutuhan generasi pada zamannya Ada pun kurikulum yang digunakan di pesantren ini adalah merujuk pada kurikulum Departemen Agama dan dipadu dengan kurikulum khusus pesantren, termasuk kelas-kelas halaqah dengan menggunakan kitab-kitab tertentu, seperti Kitab Fikih karya Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Mugtashid, diajarkan pula Hadits Arbain an-Nawawi, dan kitab-kitab klasik karya ulama muktabar lainnya. Kini alumni Pesantren Al-Urwatul Utsqa bertebaran di berbagai daerah dan berkiprah di berbagai ranah kehidupan, menebarkan kebenaran, melanjutkan cita-cita Gurutta Muin Yusuf. Selain mendirikan dan mengasuh Pesantren Al-Urwatul Utsqa di Sidenreng, Muin Yusuf sulit mengelak untuk berkiprah di luar daerahnya dengan skala yang lebih luas. Maka, ketika forum ulama memintanya untuk memimpin MUI Sulsel priode 1985-1990, amanah itu pun diterima dan dijalankan dengan ikhlas penuh manfaat. Ketika priode pertama kepemimpinannya di MUI Selesai, Prof. Ahmad Amiruddin yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan dan Mayjen Nana Narundana selaku Panglima Kodam VII Wirabuana meminta kesediaannya kembali memimpin MUI satu priode lagi, tahun 1990- 1995, maka ia pun menerima dengan penuh tanggung jawab. Muin Yusuf adalah sosok figur ulama yang dapat menyatukan ummat walaupun terdiri dari berbagai organisasi dan madzhab yang berbeda-beda. Ketika menjabat sebaga Ketua MUI Sulsel (1985-1995) inilah Muin Yusuf melahirkan magnum opusnya, berupa karya tulis yang mencerminkan bahwa dirinya memang ulama mujtahid berupa Tafsir Al- ini adalah kitab tafsir berbahasa daerah Qur'an dalam bahasa Bugis yang terdiri dari 11 j yang kedua lengkap 30 juz, setelah milik Gurutta Daud Ismail, keduanya merupakan alumni "Ibid, him. 103. Baru, Muin bergabung dengan Partai Golkar, ia berperan menjadi Pembina dan sama sekali tidak berniat duduk sebagai anggota legislatif sebagaimana yang pernah ia lakukan pada Partai NU, keberadaannya di Golkar murni sebagai strategi dakwah yang sangat jitu. Ketika ditanya, kenapa ia bergabung dengan Golkar, maka ia menjawab bahwa dalam partai berlambang pohon beringin itu banyak anak-anaknya yang perlu dijaga, diayomi, dan dibina agar tidak salah jalan dan tetap memperjuangkan kebenaran. Bahkan, saat ditawari sebuah mobil dinas sebagai fasilitas khusus dari jabatannya sebagai Pembina Golkar, ia tolak, cukuplah ini menjadi bukti bahwa keberadaannya di partai penguasa Orde Baru itu hanya demi kepentingan dakwah.!” Pada masa Orde Baru pula, Gurutta Muin Yusuf mendirikan Yayasan Madrasah Pendidikan Islam (YMPI) yang masih eksis sampai saat ini. Selanjutnya, Alumni Darul Falah ini mendirikan Sekolah Menengah Islam (SMI) yang dalam perjalanannya berubah menjadi Sekolah Guru Islam Atas (SGIA), kemudian menjadi Pendidikan Guru Agama (PGA), dan bermetamorfosis menjadi Sekolah Persiapan IAIN (SP-IAIN), alumni perguruan ini telah tersebar di seantero nusantara dalam berbagai lapangan posisi hingga pada tahun 1974, SP- TAIN ditutup.!! Pada tahun 1974, Muin Yusuf tidak kehabisan akal untuk mendirikan wadah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, mencetak warga negara yang shaleh dan beradab. Kali ini ia mendirikan pesantren 4/-Urwatul Utsqa di Kelurahan Benteng, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap. Siswa SP-IAIN yang belum selesai saat ditutup oleh pemerintah, dilebur menjadi santri ke dalam Pondok Pesantren Al-Urwatul Utsqa. Pondok yang awalnya hanya terdiri dari bangunan bambu itulah Muin pernah berujar, Di pondok inilah saya ingin mewakafkan sisa hidup saya. Perkataannya itu telah ia buktikan dengan menunjukkan komitmennya sebagai ulama pendidik yang hidup berbaur dengan santrinya "© Ibid, him, 126. " Muhammad Hasrun & St. khadijah, AGH. Muin Yusuf: Ulama Pejuang dari Sidenreng, dalam Pen tup Ulama sebagai pewaris para nabi, dan nabi tidak meninggalkan harta dan uang, tetapi meninggalkan ilmu, dengan ilmu itu manusia mengambil manfaat. Para ulama adalah manusia yang diberi hidayah dan anugrah dari Allah untuk melanjutkan kerja-kerja kenabian: mengajar umat agar hidup sesuai ketentuan yang Allah gariskan, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Perintah dan larangan Allah disampaikan oleh para ulama sebagai pemegang otoritas. Maka kedudukan ulama di tangah masyarakat sangatlah mulia dan kita wajib memuliakan ulama, KH Muin Yusuf sudah memberikan contoh nyata, bagaima scharusnya seorang ulama berkiprah di tengah masyarakat, termasuk memberikan teladan dalam memandang dunia. Kesederhanannya menjadi bukti nyata bahwa ulama itu yang dikenang adalah ilmu dan adabnya, padisseneng na ampa-ampe madeceng. Wallahu A’lam! *Penulis Disertasi “Konsep Pendidikan Kader Ulama Anregurutta Muhammad As‘ad Al- Bugisi [1907-19

Anda mungkin juga menyukai