Filsafat Matematika
Filsafat Matematika
net/publication/344615805
Filsafat Matematika
CITATIONS READS
0 1,247
1 author:
Mahyuddin K. M. Nasution
University of Sumatera Utara
235 PUBLICATIONS 806 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Mahyuddin K. M. Nasution on 21 December 2020.
Mahyuddin K. M. Nasution? ,
1 Pengantar
Matematika, sesuatu yang sulit dimaknai ketika sekedar kata yang mengungkap-
kan nama suatu pengetahuan saja. Matematika secara konsep memerlukan nalar
yang mengikuti bahasa yang menyatakannya. Rumusan bahasa Matematika tidak
saja sebagai penunjuk bagi dasar sains, tetapi juga memiliki esensi sendiri.
Hakikat membentuk matematika itu sendiri, dan perluasan darinya ke berba-
gai cabang keilmuan. Secara alamiah matematika memiliki nama yang berbeda
dalam bahasa berbeda mengikuti penyebutan dan pemahaman serta kepentingan
manusia yang menggunakannya, namun secara prinsip nama-nama itu memiliki
hakikat yang sama [1].
Matematika membenarkan sesuatu secara abstraksi mengikuti nalar [2]. Se-
lain matematika, filsafat suatu pengetahuan yang mencari kebenaran secara
mendalam, walaupun selalu tidak tuntas. Penggabungan kedua kata ini meng-
hasilkan suatu ungkapan filsafat matematika, yang mendorong suatu pema-
haman tentang matematika dan filsafat [3]. Paradoks menjadi contoh dari per-
soalan interaksi antara matematika dan filsafat, yang memungkinkan untuk
mengungkapkan filsafat matematika. Dengan begitu, memungkinkan untuk me-
mahami pertanyaan-pertanyaan. Filsafat mungkin dapat menjawab banyak per-
soalan secara mendalam, tetapi juga banyak pertentangan, matematika men-
?
Sintesa: Suatu Catatan, 1, 1984
2 M. K. M. Nasution
jawab dengan tuntas dengan bukti-bukti. Uraian tentang ini dimulai dari pema-
haman terhadap matematika dan filsafat, melalui sejarah dan pemikiran-pemikir.
Adi-matematika mencoba menjawab kebutuhan tentang metodologi dari mate-
matika. Pada bagian akhir, adalah melengkapi pertanyaan melalui diskusi untuk
mencari beda atau menentukan kesamaan antara matematika dan filsafat.
Sebut saja matematika untuk menamakan apa yang akan dijelaskan berikut. Is-
tilah yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu µαθηµα (baca máthēma) memiliki
makna sebagai ilmu yang membahas tentang struktur, susunan, dan hubungan
yang melibatkan perhitungan, pengukuran, dan perumusan bentuk. Matema-
tika berdasarkan penelusuran paling tua menghadirkan geometri abstrak seba-
gai bukti awal [4], yaitu mengikuti nalar yang dipraktekkan oleh bangsa Baby-
lonia dan bangsa Mesir selama berabad-abad. Pada masa itu, salah seorang
dari tujuh orang arif Yunani, bernama Thales, dari Miletus (terletak di sebelah
pantai barat negara Turki sekarang) [5], telah mengubah petunjuk praktis dari
pengukuran yang telah dipraktekkan itu menjadi bukti matematis langkah demi
langkah sebagaimana yang terdapat pada ilmu ukur pada saat ini. Thales telah
membuktikan enam dalil pokok geometri. Dalil bahwa kedua sudut alas dari
suatu segitiga sama kaki, misalnya, adalah sama besarnya [6]. Pada sisi lain,
Thales mencari unsur tunggal yang menjadi dasar perubahan atau memben-
tuk jagat ini. Sebagaimana satu titik menjadi garis dengan menghadirkan titik
lain, hakikat ini mengungkapkan bilangan berdampingan dengan geometri [7].
Misalnya, jarak antara dua titik pada bidang menjadi ukuran dalam bilangan
satuan. Secara nalar perkembangan pemikiran manusia terbentuk melalui pola
bentuk yang secara riil ada, mengenalinya dan mengungkapkannya dalam hal
lain, sebagaimana geometri menghadirkan bilangan. Banyak pola perhitungan,
mengikuti angka, dalam kehidupan sehari-hari hadir bersama manusia. Setiap
detik membangun menit, menit demi menit membangun satu jam, dan satu jam
berlalu dan jam berikutnya menuturkan hingga satu hari. Tujuh hari terkumpul
dalam satu pekan, atau antara 28 sampai 31 hari membentuk bulan. Bulan demi
bulan berjalan sampai batasnya jumlah hari adalah satu tahun. Seterusnya, is-
tilah yang menggambarkan bilangan secara tidak langsung, membentuk dekade,
abad dan seterusnya.
Thales juga mempersoalkan asal mula, sifat alami, dan struktur dari jagat
raya. Satuan pengetahuan dikenali sebagai kosmologi, yang disebut juga awal-
nya sebagai filsafat alam [8]. Filsafat sebagai bentuk usaha manusia memahami
secara mendalam tentang sesuatu, yaitu istilah yang berasal dari Greek, yaitu
ϕιλoσoϕια (baca philosophia) bermakna cinta kebijaksanaan, kajian persoalan
umum dan mendasar terhadap keberadaan, pengetahuan, nilai, alasan, pikiran,
dan bahasa [9]. Berdasarkan konsep keberadaan, sebagai ilmuan, Thales telah
memahami bahwa bulan bersinar karena memantulkan cahaya dari matahari.
Secara tidak langsung, ini mengungkapkan bahwa matematika dan filsafat hadir
berbarengan.
Filsafat Matematika 3
c2 = a2 + b2 (1)
Rumus pada persamaan (1) dikenali oleh setiap anak sekolah menengah seba-
gai dalil Phytagoras, di mana pembuktian langkah demi langkah secara mate-
matis telah dimuat dalam buku Elements yang disusun oleh Euclides [10]. De-
ngan demikian, konsep bilangan hadir bersama geometri. Dengan kata lain, para
pengikut Phytagoras menyatakan bahwa bilangan merupakan intisari dan dasar
pokok dari sifat-sifat benda, termasuk semua bentuk yang lain, seperti segitiga,
persegi empat, persegi panjang, persegi lima, persegi enam, lingkaran dan lain-
nya. Filsafat yang mengutamakan bilangan ini dipadatkan menjadi suatu dalil
yang berbunyi ”Number rules the universe” [11].
Hubungan erat antara matematika dan filsafat tergambar dalam kosmologi
sebagai ajaran-ajaran tentang jagat raya, dalam matematika melalui geometri
secara khusus dan sedangkan teori bilangan hadir secara alami [12]. Plato menya-
takan bahwa Tuhan senantiasa bekerja dengan metode geometri, dan kemudian
Jacobi melengkapi pernyataan itu dengan suatu ungkapan: ”God ever arithme-
tizes” [13]. Bagaimanapun, semula manusia akan mengenal lebih mudah sesua-
tu melalui bentuk-bentuk (seperti dalam geometri), kemudian mengungkapkan
sifat-sifatnya (seperti di dalam aritmatika) [14]. Dengan kata lain, bahwa manu-
sia menanggapi semua yang direkognisi oleh panca indera manusia berdasarkan
kasus demi kasus, tetapi kemudian mengabstraksinya dalam pemikiran. Ini se-
jalan dengan pendapat ahli astronomi dan fisika James H Jeans yang menyata-
kan bahwa ”the Great Architect of the Universe now begins to appear as a pure
mathematician” [15].
Hubungan timbal balik antara matematika dan filsafat sebagaimana dinyata-
kan dalam formalisasi geometri dan aritmatika mengungkapkan sisi yang berbeda.
Istilah aritmatika dari Greek, terdiri dari dua kata αριθµoζ (baca arithmos) be-
rarti bilangan dan τ εχνη (baca tiké atau techne) berarti seni ilmu pengetahuan.
Aritmatika adalah bagian dasar dari teori bilangan, atau cabang matematika
yang terdiri dari kajian bilangan, sifat-sifat operasi tradisionalnya [16].
Interaksi antara matematika dan filsafat itu mengungkapkan padanan kon-
sep, fenomena, dan paradigma pada masing-masing pengetahuan tersebut. Para
matematikawan mempelajari secara abstraksi pengertian tentang ketidakhing-
gaan, probabilitas, dan bilangan, sedangkan para filosof merenungkan soal keaba-
dian, perubahan, dan kuantitas. Dengan kata lain, dalam pembelajaran selalu
terdapat hubungan antara keabadian dan ketetidakberhinggaan, dalam pencari-
an selalu ada hubungan kebetulan dan kemungkinan, atau dalam kajian terdapat
hubungan antara kuantitas dan bilangan [17]. Konsep waktu, seperti satu jam =
60 menit atau satu jam = 360 detik misalnya, menginspirasikan bahwa lingkaran
sebagai bentuk geometri terdiri dari 360 derajat (ditulis 360◦), seperti diperli-
hatkan oleh penunjuk waktu diberbagai tempat, atau bahwa semua bentuk geo-
4 M. K. M. Nasution
metri berkaitan erat dengan ukuran 360◦ . Dengan hadirnya bilangan 360 meng-
ungkapkan bidang matematika baru, yang secara filosofis menalarkan alasan
pembagian lingkaran terbagi menjadi 360 dan ini menyebabkan suatu bidang
keilmuan matematika berdasarkan bilangan dan geometri, yaitu trigonometri
[18]. Astronomer Sumerian bernama Hipparchus telah menyusun tabel trigo-
nometri sebagai alat penjelasan berbeda bentuk-bentuk geometri berdasarkan
bilangan. Trigonometri secara umum melibatkan sistem koordinat sumbu y dan
sumbu x. Sebuah lingkaran terdiri dari 360◦, sistem koordinat membagi lingkaran
menjadi empat bagian. Pada titik asal O sumbu-x dan sumbu-y tegak lurus, dan
terdapat kuadran I, II, III, dan IV, masing-masing pada titik O memiliki sudut
90◦.
Trigonometri adalah bidang matematika yang mengungkapkan hubungan an-
tara sudut dan masing-masing atau kedua-dua sumbu x dan y. Konsep sinus
menyatakan hubungan sudut dengan sumbu y dan garis miring atau jari-jari
lingkaran yang membentuk sudut, yaitu
y
sin θ = (2)
c
fungsi yang menyatakan bahwa rasio dari sisi oposisi sudut, sumbu y, terhadap
hipotenusa, sisi miring c. Konsep kosinus menyatakan hubungan sudut dengan
sumbu x dan garis miring atau jari-jari lingkaran yang membentuk sudut, yaitu
x
cos θ = (3)
c
fungsi yang menyatakan suatu rasio dari sisi adjasen, sumbu x, dengan hipotenu-
sa. Hipotenusa adalah sisi oposisi dengan sudut 90◦ dari segitiga siku-siku. Se-
dangkan hubungan antara sudut dengan sumbu y dan sumbu x menghadirkan
y
tan θ = (4)
x
sin θ
yang juga menyatakan tan θ = cos θ . Walaupun, Hipparchus bukan seorang
filosofer, keteraturan trigonometri terbentuk melalui ontologi yang mensistemasi-
kan konsep-konsep yang berserakan, di mana ontologi adalah suatu metodologi
untuk mengungkapkan keberadaan objek matematika seperti bilangan, him-
punan, fungsi, dan lainnya [19–21]. Kesetaraan ini menyatakan bahwa matema-
tika bukanlah bagian dari atau berasal dari filsafat, dan filsafat pun pada awalnya
menjadi bagian dari matematika, telah mengungkapkan segi-segi persamaan dan
perbedaan antara matematika dan filsafat. Menurut Plato, geometri mengikuti
akal murni, demikian juga filsafat dikatakan mempergunakan akal semata-mata,
di mana kelanjutan dari masing-masing tidak melakukan eksperimen dan tidak
memerlukan peralatan laboratorium.
Apa yang menjadi persamaan antara matematika dan filsafat adalah bahwa
keduanya bergerak pada tingkat rampatan yang tinggi [22]. Kedua-duanya mem-
bahas pelbagai ide yang sangat umum dan biasanya melampaui taraf kekonkri-
tan yang satu demi yang satu. Tidak dipersoalkan kewujudan sesuatu objek
Filsafat Matematika 5
secara benda, selain abstraksi dari objek itu. Misalnya, secara mistik para Phy-
tagorian percaya bahwa bilangan 1 mewakili akal, bilangan 2 mewakili laki-
laki, bilangan 3 diperuntukkan menunjuk perempuan, bilangan 4 menunjukan
keadilan sebagai akibat dari hasilkali dari 2 bilangan yang sama, sedangkan bi-
langan 5 dianggap mencerminkan perkawinan yaitu penambahan angka 2 dan
angka 3 sebagai penggabungan laki-laki dan perempuan. Namun, matematika
tidak membahas umpamanya tentang 2 laki-laki atau lainnya melainkan konsep
bilangan pada umumnya, sebagaimana filsafat tidak mempersoalkan laki-laki
atau perempuan melainkan manusia pada umumnya. Namun begitu, walaupun
sama-sama melibatkan rasionalitas dan mempergunakan metode rasional. Fil-
safat bebas melibatkan rasional apa saja, seorang filosof dapat merenungkan
apa saja sepanjang hal itu merupakan bagian dari pengalaman manusia. Se-
dangkan matematika, bertumpu kepada metode logis yang sifat deduksi. Ma-
tematika fokus kepada hal yang menyangkut besaran baik bilangan maupun
ruang, hubungan, pola, bentuk, dan rakitan atau struktur. Filsafat melakukan
pembuktian dengan melibatkan dialog dengan alasan-alasan yang dapat diterima
akal. Dengan demikian, filsafat cenderung menghasilkan pemaknaan suatu ba-
hasa dengan beragam interpretasi, dan menghasilkan hal-hal berbeda. Perkem-
bangan suatu bahasa, dalam kosakata, lebih cenderung meningkat. Sedangkan
matematika, membuktikan sesuatu dengan telaahan mulai dari konsep sampai
kepada teori, yang selalu bersifat abstraksi, dengan simbol-simbol yang terde-
finisi dalam satu makna dan penafsiran. Semua ini diungkapkan oleh seorang
filosof bernama Alfred Cyril Ewing [23], yaitu
”Firstly, it has not proved possible to fix the meaning of terms in the same un-
ambiguous way in philosophy as in mathematics, so that their mean-
ing is liable imperceptibly to change in the course of an argument
and it is very difficult to be sure that different philosophers are using
the same word in the same sense.”
”Secondly, it is only the sphere of mathematics that we find simple concepts
forming the basis of a vast number of complex and yet rigorously
certain inferences.”
”Thirdly, pure mathematics is hypothetical, i.e. it cannot tell us what is the case
in the actual world, for example, how many things there are in a given
place, but only what will be the case if so-and-so is true, e.g. that there
will be 12 chairs in a room if there are 5+7 chairs. But philosophy
aims at being categorical, i.e. telling us what really is the case; it is
therefore not adequate in philosophy, as it often is in mathematics,
to make deductions merely from postulates or definitions.”
3 Adi-Matematika
Meskipun mengalami kesulitan dalam memahami hubungan antara matematika
dan filsafat, apalagi tentang filsafat matematika [24]: Suatu filsafat matematika
dapatlah melukiskan suatu sudut pandang yang darinya pelbagai bagian dan ke-
pingan matematika memiliki susunan dan terpadu dalam asas dasar. Oleh karena
itu, filsafat matematika adalah untuk menelaah konsep dari dan pembenaran
terhadap asas-asas yang dipergunakan dalam matematika [25].
Matematika, disamping sebagai formalisasi juga memformalisasi bukti secara
matematika untuk semua hal yang berkaitan dengan pemahaman abstraksi. Na-
mun untuk mengungkapkan matematika itu sendiri memerlukan pemahaman
dan hubungan-hubungan. Itu lepas dari hipotesa dan asumsi yang seringkali
bersama metodologi, yaitu hal-hal berkaitan dengan sifat alami dari penjelasan
ilmiah, logika penemuan, teori probabilitas, dan teori pengukuran. Matematika
juga tidak terkait dengan ontologi, yang mendiskusikan konsep-konsep substansi,
proses, waktu, ruang, kausalitas, hubungan akal dan materi, serta status dari
entitas-entitas teoritis [26]. Sementara, terdapat semacam metodologi tersendiri
untuk matematika yang dikenali sebagai adi-matematika, yang berada di luar
matematika. Suatu teori pembuktian yang diformalkan, termasuk di dalamnya
sistem logika simbolik [27]. Misalnya, teori pembuktian dari Hilbert yang me-
nyatakan hal berikut [28]: ”The formalization of mathematical proof by means
of a logistic system makes possible an objective theory of proofs and provability,
in which proofs are treated as concrete manipulations of formulas (and no use
is made of meanings of formulas).” Adi-matematika sebagai paradigma, yaitu
”meta-mathematics is a branch of mathematical logic which studies formal the-
ories and solves problems pertaining to such theories. [29]”
Sistem logika simbolik melengkapi matematika sebagai perangkat yang utuh
menjadi dasar sains dan pengetahuan lainnya [30]. Kelengkapan itu melalui keku-
atan berpikir manusia dalam kewujudan sebagai pernyataan-pernyataan den-
gan landasan kebenaran, dan untuk mengungkapkan landasan kebenaran itu
kadangkala melalui kalimat-kalimat yang mencoba menafsirkan makna secara
mendalam, mungkin saja dalam dialog, dalam pertanyaan-pertanyaan, dan se-
bagainya.
4 Konsep Pertanyaan
Abstraksi yang mengikuti pemikiran secara mendalam menghadirkan paradoks.
Beberapa interaksi matematika dan filsafat melahirkan premis-premis yang tidak
Filsafat Matematika 7
sistematis atau kacau, apa yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan ke-
mudian belum memiliki dasar pemikiran, yaitu ketika pernyataan dengan kebe-
narannya berkontradiksi dengan suatu yang lain. Keganjilan dikotomi menjadi
contoh awal dalam diskusi ini. Menurut Zeno gerak tidaklah mungkin terjadi.
Ketika suatu objek bergerak mencapai suatu jarak tertentu, objek itu harus
menempuh 12 dari jarak itu, dan sebelum menempuh setengah jarak itu harus
pula melewati 12 jarak yang terdahulu lagi. Demikian seterusnya setiap kali ada
1
2 jarak yang harus dilalui terus menerus. Ini berarti ada ruang yang terbagi
dalam dikotomi yang jumlahnya tidak terhingga (. . .) yang mengakibatkan tidak
mungkin ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan hal itu, bergerak
dari satu titik ke titik lain tidaklah mungkin. Namun, pengertian limit, ter-
hadap deret tidak terhingga, memberi jawaban. Ketika banyak bilangan yang
secara umum mengarah ke satu titik, disebut proses konvergensi, maka akan
ada sebuah limit yang merupakan jumlah dari rangkaian itu. Oleh karena itu,
keganjilan dikotomi tidak lagi menjadi paradoks saat ini. Penyelesaian berikut
mengungkapkan: Andaikan objek bergerak 1 (satu) meter dari suatu titik ke
titik lain, deret waktu berhingga menjadi 12 + 14 + 18 + · · ·+ 21n + . . . dan memiliki
limit sebagai = 1, atau
1 1 1 1
+ + + · · · + n + . . . = 1. (5)
2 4 8 2
Keganjilan Achiles adalah paradoks yang hampir mirip dengan keganjilan
dikotomi. Paradoks ini mengungkapkan pelari cepat Archiles tidak mungkin
mengejar seekor kura-kura yang lambat bilamana binatang itu telah berjalan
mendahului pada suatu jarak tertentu. Zeno berpendapat bahwa saat Archiles
mencapai titik berangkat yang pertama dari kura-kura itu, binatang itu telah
maju berjalan menempuh suatu jarak tertentu. Ketika Archiles mengejarnya,
kura-kura telah maju lagi demikian seterusnya, yang mengakibatkan kura-kura
selalu di muka Achiles. Paradoks ini menyangkut tidak hanya jarak tetapi juga
waktu, yang dikenal juga sebagai kecepatan. Dalam hal ini, andaikan pelari
Achilles dapat menempuh 1 km dalam waktu 1 menit dan kura-kura hanya se-
paruh dari kecepatannya tetapi telah bergerak mendahului 1 km di muka, maka
perlombaan Achilles dengan kura-kura itu dapat pula diungkapkan sebagai suatu
seri waktu seperti berikut:1 + 12 + 14 + · · · + 2n−1
1
dan memiliki limit sebagai
1 1 1
1+ + + · · · + n−1 = 2. (6)
2 4 2
Manusia mengenali bentuk-bentuk secara mudah dan pemikiran menafsirkan
itu melalui panca indera. Dengan membataskan kepada ruang dan waktu, bahasa
manusia memberikan pemahaman terhadap makna dari ”ketunggalan”, ”keja-
makan”, ”ketidakhinggaan”, ”ketiadaan”, ”keterbatasan”, ”kekosongan”, dan
lainnya yang memberikan alasan terhadap pertanyaan-pertanyaan ”berapa be-
sar”, ”berapa luas”, ”berapa banyak”, ”berapa lama”, ”berapa kecil”. Kumpul-
an pertanyaan itu bersifat penerapan kepentingan dari manusia [31]. Ini dalam
filsafat merupakan pikiran awal, di mana dalam bahasa, ”kekosongan” wakil
8 M. K. M. Nasution
yang menafsirkan bilangan. Secara filosofis, ketika gambar bermakna seribu kata,
dalam bilangan sering disalah tafsirkan ke dalam grafik.
5 Kesimpulan
rambat ke semua sisi pemikiran manusia yang memerlukan abstraksi agar memu-
dahkan dalam pemahamannya, itulah filsafat matematika di mana matematika
tidak terikat dengannya.
References
1. A. J. Washington, S. H. Plotkin, C, E, Edmond, Essentials of Basic Mathematics,
Menlo Park, California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc., 1981.
2. D. Bergamini, Mathematics, New York: Time, 1963.
3. R. Hersh, ”Some proposals for reviving the philosophy of mathematics”, Advances
in Mathematics, vol. 31, pp. 31-50, 1979.
4. M. J. Greenberg, Euclidean and Non-Euclidean Geometries, 2nd edition, New York:
W. H. Freeman and Company, 1974.
5. D. R. Dicks, ”Thales”, The Classical Quarterly, vol. 9, no. 2, pp. 294-309, 1959.
6. J. L. E. Dreyer, A History of Astronomy from Thales to Kepler: Revised with a
foreword by W. H. Stahl, 2nd edition, New York: Dover Publications, Inc., 1953.
7. J. Singer, ”A theorem in finite projective geometry and some applications to num-
ber theory”, Transactions of the American Mathematical Society, vol. 43, no. 3,
pp. 377-385, 1938.
8. I. Newton, Mathematical Principles of Natural Philosophy, 2nd edition, London,
1802.
9. D. P’Brien, ”Derived light and eclipses in the fifth century,” The Journal of Hel-
lenic Studies, vol. 88, pp. 114-127, 1968.
10. R. C. Archibald, ”The first translation of Euclid’s elements into English and its
source”, The American Mathematical Monthly, vol. 57, issue 7P1, 1950.
11. E. E. Kramer, The Nature and Growth of Modern Mathematics, New York: Oxford
University Press, 1952.
12. C. J. Ando, F. A. Cook, J. E. Oliver, L. D. Brown, S. Kaufman, ”Crustal geometry
of the Appalachian orogeny from seismic reflection studies,” Geological Society of
America Memoir, vol. 158, 1983.
13. M. Y. Young, ”Number in the western world - a bibliography”, The Arithmetic
Teacher, vol. 11, no. 5, pp. 336-341, 1964.
14. J. N. Fujii, Numbers and Arithmetic, New York, Toronto, London: Blaisdell Pub-
lishing Company, 1965.
15. J. T. Rorer, ”The social qualities of mathematics”, The Mathematics Teacher, vol.
27, no. 2, pp. 82-95, 1934.
16. T. C. Crooks, and H. L. Hancock, Basic Technical Mathematics, New York, Lon-
don: Macmillan Publishing Co., Inc. - Collier Macmillan Publishers, 1969.
17. J. T. Clark, ”Remarks on the role of quantity, quality, and relations in the his-
tory of logic, methodology and philosophy of science,” Studies in Logic and the
Foundations of Mathematics, vol. 44, pp. 504-612, 1966.
18. E. P. Vance, Trigonometry, Cambridge 42, Mass: Addison-Wesley Publishing Com-
pany, Inc, 1956.
19. M. M. Zuckerman, Sets and Transfinite Numbers, New York, London: Macmillan
Publishing Co., Inc. - Collier Macmillan Publishers, 1974.
20. R. B. Angel, Relativity: The Theory and its Philosophy, Oxford, New York,
Toronto, Sydney, Paris, Frankfurt: Pergamon Press, 1980.
21. I. Niven, and H. S. Zuckerman, An Introduction to the Theory of Numbers, 4th
edition, New York, Chichester, Brisbane, Toronto: John Wiley & Sons, 1980.
12 M. K. M. Nasution
22. W. R. Knorr, ”On the early history of axiomatics: The interaction of mathemat-
ics and philosophy in Greek antiquity,” Theory Change, Ancient Axiomatics, and
Galileo’s Methodology, in J. Hintikka, D. Gruender, and E. Agazzi, Pisa Conference
Proceedings, vol. 1, 145-186, 1980.
23. A. C. Ewing, The Fundamental Questions of Philosophy, New York: Collier Books,
1962.
24. W. P. Berlinghoff, Mathematics: The Art of Reason, Boston: D. C. Heath, 1968.
25. A. Flew (ed.), A Dictionary of Philosophy, London: Pan Books, 1979.
26. B. van Fraassen, and H. Margenau, ”Philosophy of Science”, in R. Klibansky (ed.),
Contemporary Philosophy: A Survey, vol. II, pp. 7-25, 1968.
27. S. C. Kleene, Introduction to Meta-Mathematics, Amsterdam: North-Holland, 1952.
28. A. Church, ”Proof theory,” in D. D. Runes (ed.), Dictionary of Philosophy, p. 255,
1975.
29. A. Mostowski, ”Tarski, Alfred”, in P. Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philos-
ophy, vol. 8, p. 78, 1967.
30. G. B. Standley, New Methods in Symbolic Logic, Boston: Houghton Mifflin Com-
pany, 1971.
31. R. Rorty, ”Contemporary philosophy of mind.” Synthese, vol. 53, no. 2, pp. 323-
348, 1982.
32. J. N. Fujii, Basic Skills in Mathematics, Waltham, Massachusetts: Blaisdell Pub-
lishing Company, 1967.
33. U. Dudley, Elementary Number Theory, New York: W. H. Freeman and Company,
1969.
34. I. Hacking, Why Does Language Matter to Philosophy? Cambridge, New York,
Melbourne, Cape Town, Singapore, Sao Paulo, Delhi, Dubai, Tokyo, Mexico City:
Cambridge University Press, 1975.
35. C. K. Gordon, Jr., Introduction to Mathematical Structures, Belmont, California:
Dickenson Publishing Company, Inc., 1967.
36. F. P. Preparata, and R. T. Yeh, Introduction to Discrete Structures: For Com-
puter Science and Engineering, Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publish-
ing Company, 1973.
37. J. Crank, Mathematics and Industry, London: Oxford University Press, 1962.