Makalah Thaharah Kelompok 1

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 45

1

MAKALAH

THAHARAH

Mata Kuliah: Pendidikan Fiqh Islam

Dosen: Jimi Harianto, M.Pd.I

Disusun Oleh:

Amanda Faradila 23020002

Desti Ika Pratiwi 23020007

Fidia 23020009

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

AL ISLAM TUNAS BANGSA BANDAR LAMPUNG

TAHUN AJARAN 2023/202


1

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang “Kufur dan Sihir” ini
yang alhamdulillah tepat pada waktunya. Di dalam makalah ini, kami menguraikaan
mengenai THAHARAH

Ucapan terima kasih kami tujukan kepada segenap pihak yang leh membantu dalam
meyelesaikan makalah ini. Saya menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi saya dan bagi semua pihak pada umumnya, semoga Ridho Allah menyertai
kita semua. Amin Ya Robbal Alamin.

Bandar lampung, 15 Maret 2024

Penyusun
2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................ 2
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................2
2.1 Rumusan Masalah.........................................................................................................3
3.1 Tujuan............................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................5
A. Pengertian dan Pembagian Thaharah........................................................................5
B. Dasar Hukum Thaharah............................................................................................26
C. Syarat wajib Thaharah...............................................................................................28
D. Sarana Melakukan Thaharah....................................................................................29
E. Macam-macam Thaharah..........................................................................................32
F. Cara Thaharah Orang yang Sakit.............................................................................37
G. Fungsi Thaharah........................................................................................................38
H. Hikmah dan Manfaat Thaharah...............................................................................39
BAB III PENUTUP................................................................................................................41
A. Kesimpulan..................................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 42
3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam hukum Islam, soal bersuci dan segala seluk-beluknyatermasuk bagian ilmu
dan amalan yang penting, terutama karena diantara syarat-syarat shalat telah ditetapkan
bahwa seseorang yang akan mengerjakan shalat diwajibkan suci dari hadast dan suci pula
badan, pakaian, dan tempatnya dari najis (H. Sulaiman Rasjid, 2015:13). Sebagaimana
sabda Rasulullah SAW:

‫ ال َيْقَبُل ُهَّللا َص الَة َأَحِد ُك ْم إَذ ا َأْح َد َث َح َّتى َيَتَو َّض َأ‬:‫ َقاَل َر ُسْو ُل ِهَّللا َص َّل هَّللا َع َلْيِه َؤ َس َّلم‬: ‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َرِض ي ُهَّللا َع ْنُه َقَل‬

“Dari Abu Hurairah radialla ‘anhu berkata, Raslullah shalallahu ‘alaihi wa sala
bersabda: “Allah tidak akan menerima sholat salah satu diantara kalian apabila ia dalam
keadaan berhadats hingga kalian berwudhu”. (HR. Bukhari, No: 135, 6954) (Hadits Kedua
dari Kitab Umdatul Ahkam)
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari hal-hal yang kotor sehingga
sebelum memulai aktifitas kita menghadap tuhan atau beribadah haruslah dimulai dengan
bersuci atau membersihkan diri. Jika kita melihat dan membaca dengan teliti hampir
seluruh kitab-kitab fiqh akan diawali dengan bab thaharah, ini menunjukan kepada kita
betapa thaharah menjadi hal yang mendasar dan betapa pentingnya masalah thaharah ini.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam thaharah, kita sebagai muslim harus dan
wajib mengatahui cara-cara bersuci karena bersuci adalah dasar ibadah bagi umat Islam.
Mungkin masih banyak dikalangan orang awam yang tidak tahu persis tentang
pentingnya thaharah. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwasanya ada orang yang tahu
akan thaharah namun mengabaikannya. Maka dari pada itu penulis akan sedikit
menjelaskan pengetahuan penulis tentang thaharah dari berbagai sumber. Mudah-mudahan
saja melalui makalah ini umat Islam sadar akan pentingnya thaharah dan tidak
mengabaikan pentingnya thaharah kembali.
4

2.1 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan tentang Thaharah dapat
dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa pengertian Thaharah?

2. Bagaimana hukum Thaharah?

3. Apa saja macam-macam Thaharah?

4. Apa saja yang termasuk kategori najis?

5. Bagaimana cara membersihkan hadas dan najis?

6. Bagaimana cara Thaharah orang yang sakit ?

3.1 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan pengertian Thaharah

2. Menjelaskan hukum Thaharah

3. Menyebutkan dan Menjelaskan macam-macam Thaharah

4. Menerangkan secara rinci yang termasuk kategori najis

5. Menjelaskan cara membersihkan hadas dan najis

6. Menjelaskan bagaimana cara Thaharah orang yang sakit


5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Pembagian Thaharah


1) Pengertian Thaharah
Thaharah berasal dari bahasa arab yakni ‫ر‬oo‫طه‬- ‫ر‬oo‫ طهرة – يطه‬yang artinya
bersuci. Thaharah berarti kebersihan dan kesucian dari berbagai kotoran (An-
Nawawi, 2009:234). Thaharah secara bahasa adalah bersih dari najis dan kotoran,
baik secara indrawi maupun maknawi (Hasbiyallah, 2014:141). Dalam buku Fiqh
ibadah karangan Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam Dan Prof. Dr. Abdul
Wahhab Sayyed Hawwas secara bahasa ath-thaharah berarti bersih dari kotoran-
kotoran, baik yang kasat mata maupun tidak.
Dalam buku yang lain mengatakan bahwa thaharah secara istilah adalah
bersih dari najis haqiqi yakni khabast atau najis hukmi yakni hadast, definisi yang
dibuat oleh mazhab Maliki dan Hambali sama dengan definisi yang digunakan
oleh ulama mazhab Hanafi mereka mengatakan bahwa thaharah adalah
menghilangkan apa yang menghalangi shalat yaitu hadats atau najis dengan
menggunakan air ataupun menghilangkan hukumnya dengan tanah (Wahbah Al-
zuhaili, 2010:203). Menurut ulama Syafiiyah, thaharah mencakup dua pengertian.
Pertama, melakukan sesuatu yang dibolehkannya shalat, seperti wudhu, mandi,
tayamum, dan menghilangkan najis. Kedua, thaharah berarti menghilangkan
hadats atau najis, sperti tayamum dan mandi-mandi sunnah (Hasbiyallah,
2014:141).
Dari pengertian diatas, kita dapat memahami adanya kesamaan dalam
ikhtilaf (perbedaan pendapat), yakni bahwa thaharah dapat dilakukan dengan
wudhu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis (Hasbiyallah, 2014:142).
Thaharah dibagi menjadi dua macam

1. Thaharah Jiwa

Yaitu membersihkan kemudian menyucikan jiwa dari penyakit penyakit


hati dan dosa-dosa karena maksiat seperti sombong, iri hati (senang melihat
6

orang mendapat musibah dan sedih melihat orang senang Syirik; ujub
(membanggakan diri sendiri); riya (Ingin dilihat ibadahnya oleh orang lain); atau
sum'ah (ingin didengar tentang ibadahnya oleh orang lain).

Thaharah jiwa membersihkannya dengan memper banyak beristighfar dan


bertaubat menuju kepribadian yang ber tazkiyatun nafs (menyucikan diri).

Firman Allah

‫َقْد َأْفَلَح َم ن َز ْك َها‬

"Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh rugi bagi
orang yang mengotorinya." (QS Asy [91]:9-10)

Kenyataannya, tidak ada manusia yang tidak bersalah dan berdosa. Kalau kita
mau mengalkulasikan sebagai bahan muhasabah atau introspeksi diri, berapa
banyak dosa dan kesalahan yang kita lakukan setiap harinya. Mungkin dosa yang
kita lakukan lebih banyak persentasenya daripada kebaikan. Allah dengan sifat
Rahman (pengasih), Rahim (penyayang), dan Ghafur (pengampun) Nyaakan
selalu menerima taubat seorang hamba sebelum nyawanya berada di tenggorokan
(secara pribadi), atau sebelum matahari terbit dari barat (secara umum). Itulah
sebabnya kenapa kita dianjurkan untuk menghiasi diri dengan amal saleh sebagai
bekal kita di akhirat.

2. Thaharah Lahir

Islam dengan universalitasnya menjaga setiap ruang kehidupan manusia baik yang
menyangkut masalah siyasah (politik), ijtimaiyah (kemasyarakatan), iqtisha-
diyah (ekonomi), amniyah (keamanan), bagaimana mengatur negara regional dan
internasionalnya dalam bentuk kepemimpinan 'Ala Minhaj An-Nubuwah' sampai
kepada hal terkecil dalam kehidupan manusia, yaitu yang menyangkut kebersihan,
etika buang air sampai dengan etika makan dan minum.Kebersihan lahir, baik
yang menyangkut kesucian badan, pakaian, dan tempat. Terutama sekali ketika
kita akan melakukan ibadah kepada Allah.

2) Macam - Macam Thaharah


7

 THAHARAH HAKIKIYAH
1. Syubhat madzi dan wadi: Apakah keduanya menyebabkan diwajibkannya
mandi?

Secara umum, para ulama memahami madzi adalah air yang lembut dan lengket yang
keluar saat syahwat seseorang sedang memuncak. Hal ini terjadi, misalnya saat
sepasang suami istri sedang melakukan aktivitas percumbuan atau ketika seseorang
sedang dalam kondisi mengingat hal-hal yang berkaitan dengan persetubuhan atau saat
timbul hasrat untuk melakukan persetubuhan.

Dalam kitab Foth Al-Bari, karya Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Syarah Muslim, karya
Imam An-Nawawi dijelaskan bahwa air madzi adalah air yang keluar dari kemaluan
tanpa disertai rasa lelah setelahnya. Bahkan, bisa jadi seseorang tidak merasakan
keluarnya air tersebut karena tidak memuncrat. Dua hal tersebut bisa terjadi, baik pada
seorang laki-laki maupun perempuan. Namun, hal itu lebih banyak terjadi pada
perempuan.

Berdasarkan berbagai argumentasi dan pendapat para ulama, mereka sepakat bahwa
hukum madzi dan wadi adalah najis. Hal ini sebagaimana ‫ الَم ة‬disebutkan dalam kitab
Al-Majmu’, Imam An-Nawawi dan Al-Mughni Ibnu Qudamah. Hal ini bisa dilihat
dalam sebuah hadis Nabi saw. Yang memerintahkan untuk mencuci kemaluan dari hal
tersebut. Dalam hadis disebutkan,

‫َع ِن اْبِن اْلَح َنِفَّيِةَع ْن َع ِلِّي َقاَل ُك نُت َر ُج اًل َم َّناٌء َو ُكْنُت َأْسَتْح ِيي َأْن َأْس َأَل الَّنِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِلَم َك اِن اْبَنِتِه َفَأَم ْر ُتا‬
‫اْلِم ْقَداَد ْبَناَأْلْس َوِد َفَس َأَلُه َفَقاَل َيْغ ِس ُل َذ َك َرُه َو َيَتَو َّض ُأ‬.

Dari Ibnu Al-Hanafiyah r.a., dari Ali r.a., dia pernah berkata, “Aku adalah seorang
lelaki yang sering mengeluarkan air madzi dan aku malu untuk bertanya hal itu kepada
Nabi saw. Karena posisi putri beliau yang menjadi istriku-kemudian aku menyuruh Al-
Miqdad bin Al-Aswad untuk bertanya hal itu. Lalu, dia pun bertanya kepada beliau dan
beliau menjawab, ‘Hendaknya mencuci kemaluannya, lalu berwudu.” (HR Bukhari
Muslim)

Adapun wadi adalah air yang berwarna putih dan kental. Dia hanya akan keluar setelah
air seni keluar. Menurut kesepakatan para ulama, wadi dihukumi sebagai najis.
8

Sebuah riwayat dari Ibnu Abbas dalam kitab Sunan Al-Baihaqi yang dinyatakan shahih
oleh Al-Albani dan juga kitab Sunan Abu Daud bahwa mani adalah suatu yang
mewajibkan seseorang untuk mandi. Namun tidak demikian dengan madzi dan wadi
karena nash yang ada hanya memerintahkan untuk mencuci kemaluan dan berwudu.
Lihat redaksi hadis berikut ini.

‫ اْلَم ِني َو اْلَوِد ي َو اْلَم ِذ ي َأَّم ا اْلَم ِنُّي َفُهَو اَّلِذ ي ِم ْنُه اْلُغ ْسُل َو َأَّم ا‬:‫َع ْن ُز ْر َع َة َأِبي َع ْبِد الَّرْح َمِن َقاَل َسِم ْع ُت ْبَن َعَّباٍس َيُقوُل‬
‫ اْغ ِس ْل َذ َك َر َك َأْو َم َذ اِكْيَر َك َو َتَو َّض ْأ ُوُضْو َء َك ِللَّص اَل ِة‬: ‫اْلَوِد ي َو اْلَم ِذ ي َفَقاَل‬.

Dari Zur’ah Abu Abdurrahman r.a., dia mengatakan, “Aku pernah mendengar dari Ibnu
Abbas, dia mengatakan, “Mani, wadi, dan madzi. Adapun mani, dia menyebabkan
seseorang wajib untuk mandi, sedangkan wadi dan madzi, dia mengatakan, ‘Cucilah
kemaluanmu dan berwudulah seperti yang kamu lakukan untuk salat.” (HR Baihaqi)

Adapun wadi dan madzi yang keluar maka seseorang diperintahkan untuk mencuci
kemaluannya, kemudian berwudu sebagaimana wudu yang dilakukan untuk
menunaikan salat. Dengan demikian, bagi yang masih menganggap syubhat tiga hal di
atas dapat memperoleh penjelasan tentang hukum yang timbul. Secara otomatis,
keraguan atau kegamangan hukum untuk tiga hal di atas akan terjawab.

2. Syubhat tulang hewan: Apakah tulang hewan yang telah mati adalah suci?

Kulit bangkai binatang bisa menjadi suci setelah proses penyamakan. Sebagaimana
dijelaskan dalam hadis shahih berikut.

‫ َأْثَم ا هاب دبغ فقد طهر‬: ‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬، ‫َع ِناْبِن َعَّباسَقاَل‬

Dari Ibnu Abbas r.a., Rasulullah saw, bersabda, “Kulit apa pun yang telah disamak
maka dia adalah suci.” (HR Nasai).

Sekarang, bagaimana hukum tulang bangkai, kuku, tanduk, cakar termasuk dalam
rambut, dan juga bulunya? Apakah semua itu najis atau suci? Apakah sebagiannya suci
dan sebagian lainnya dihukumi najis?Mengenai masalah ini, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah memaparkan tiga pendapat yang beredar di kalangan ulama.

a. Najis
9

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Syafi’i dalam riwayatnya yang masyhur.
Pendapat ini juga dikatakan oleh Imam Ahmad.

b. Tulang dan sejenisnya adalah najis, tetapi rambut dan sejenisnya dikategorikan
sebagai sesuatu yang suci.

Ini adalah pendapat yang sangat masyhur dari Mazhab Maliki dan Ahmad.

c. Suci

Hukum ini diyakini oleh Imam Abu Hanifah. Pendapat ini juga menjadi salah satu
pendapat Mazhab Maliki dan Ahmad.

Ibnu Taimiyah dalam hal ini lebih meyakini bahwa pendapat yang benar adalah yang
terakhir. Beliau beralasan bahwa asal dari sesuatu adalah suci selama tidak ada dalil
yang menunjukkan kenajisannya.Benda-benda tersebut adalah benda-benda yang baik
dan bukan termasuk barang yang kotor. Oleh karena itu, dia masuk dalam redaksi ayat
yang menunjukkan kehalalannya. Sebaliknya, dia tidak masuk pada apa yang Allah
haramkan, baik dari sisi redaksi maupun makna. Allah hanya mengharamkan bangkai,
sedangkan benda-benda ini tidak termasuk sesuatu yang Allah haramkan, baik secara
lafal maupun makna.Demikian pula jika bulu termasuk bagian dari hewan, pastilah
Rasulullah saw. Tidak akan mengizinkan untuk diambil pada saat binatang yang
bersangkutan hidup. Beliau pernah ditanya tentang suatu kaum yang mengambil punuk
unta dan bokong kambing, Rasulullah saw. Menjawab,

‫َم ا ُقِطَع ِم َن اْلَبِهيَم ِة َوِهَي َح َّيٌة َفِهَي َم ْيَتُة‬.

“Bagian tubuh yang terpisah dari makhluk hidup (hewan) adalah bangkai.” (HR Abu
Daud)

Pendapat yang demikian ini telah menjadi kesepakatan para ulama. Andai kata hukum
bulu itu seperti hukum punuk unta dan bokong kambing, niscaya hukum kita tidak akan
memperbolehkan untuk memotong pada saat binatang masih hidup dan tentu saja tidak
dianggap suci atau halal. Adapun ketika para ulama sepakat bahwa bulu dan wol jika
10

dipisahkan dari binatang itu tetap suci dan halal, bisa dimengerti bahwa dia tidak sama
hukumnya dengan daging.

Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa alasan kenajisannya bangkai itu adalah karena
terhentinya aliran darah yang ada dalam bangkai itu. Adapun sesuatu yang tidak darah
maka tidak akan mengalirkan darah. Jika mati maka tidak ada darah yang berhenti
mengalir. Oleh karena itu, tidak dianggap sebagai sesuatu yang najis. Hal ini berarti
bahwa tulang dianggap tidak najis karena tidak memiliki darah yang mengalir dan tidak
pula bergerak karena kehendaknya sendiri.

3. Syubhat air bekas kucing: Apakah dikategorikan suci dan dapat


menyucikan?

Barangkali kita pernah mendengar bahwa Nabi saw. Sangat menyukai kucing meskipun
beliau juga menyayangi semua binatang. Oleh karena itu, mereka diperlakukan dengan
baik sehingga cenderung memuliakannya. Banyak kisah tentang hewan yang pernah
mendapat perhatian khusus dari beliau, terutama kucing karena dia banyak berkeliaran
dan tinggal di sekitar manusia.Permasalahannya sekarang, bagaimana dengan air bekas
minuman nya, apakah suci sebagaimana badannya? Terdapat sebuah hadis shahih yang
bisa dijadikan alasan untuk menjawab permasalahan ini.

‫نها ليست بنجس إنَها ِم َن الَّطَّواِفيَن َع َلْيُك ْم َو الَّطَّواَفاِت‬.

“Sesungguhnya dia (kucing) tidak najis, dia adalah hewan yang hidup di sekitar kalian.”
(HR Ahmad)

Apakah air liurnya yang tercampur air justru dapat menghantarkan air tersebut kepada
hukum najis?

Banyak orang ragu dengan kondisi air semacam itu. Bahkan, keraguan itu begitu kuat
sehingga menguatkan pemikiran bahwa air yang dimaksud adalah najis. Padahal, dalam
hal ini banyak riwayat menjelaskan sucinya air bekas minum kucing seperti tersebut
dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya berikut ini.
11

‫ َأَّن َأَبا َقَتاَد َة‬،‫ َتْح َت اْبِن َأِبي َقَتاَدَة‬،‫ َد َخ َل َع َلْيَها َفَس َك َبْت َلُه َو ُضْو َءُه‬:‫ َقاَل ِإْس َح اُق ِفي َحِد ْيِثِه‬، ‫َع ْن َكْبَشَة ِبْنِت َكْع ِب ْبِن َم اِلٍك‬
‫ َأَتْع َج ِبيَن َيا ِبْنَت‬: ‫ َفَقاَل‬، ‫ َفَر اِني َأْنُظُر ِإَلْيِه‬: ‫ َقاَلْت َكْبَش ُة‬، ‫ َفَأْص َغى َلَها اِإْل َناَء َح َّتى َش ِرَبْت‬، ‫َفَج اَء ْت ِهَّر ٌة َتْش َر ُب ِم ْنُه‬
‫ ِإَّنَها َلْيَس ْت ِبَنَج ٍس ِإَّنَها ِم َن الَّطَّواِفيَن‬: ‫ ِإَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬: ‫ َفَقاَل‬، ‫ َنَعْم‬: ‫َأِخ ي؟ َقاَلْت‬.

Dari Kabsyah binti Kaab bin Malik, Ishak pernah berkata dalam hadisnya, saat itu dia
adalah istri Ibnu Qatadah, Abu Qatadah pernah menemuinya, kemudian dia pun
menuangkan air untuk keperluan wudunya, namun kemudian datang seekor kucing, lalu
meminumnya. Dalam hal ini Abu Qatadah justru memiringkan wadah air tersebut agar
kucing tersebut bisa menikmati minumnya dan benar-benar meminumnya. Kabsyah
berkata: Dia memperhatikan aku saat aku melihat hal tersebut, lalu dia pun berkata,
“Apakah kamu terkejut dengan hal ini wahai anak saudaraku? Kabsyah menjawab,
“Ya.” Lalu dia mengatakan bahwa Rasulullah saw. Pernah bersabda, “Sesungguhnya
dia (kucing) tidak najis, dia adalah hewan yang hidup- di sekitar kalian.”

Dengan demikian, sudah jelas bahwa syubhat hukum air bekas minum kucing telah
terjawab oleh hadis-hadis di atas.

4. Syubhat mani: Apakah dianggap najis atau suci?

Para ulama berbeda pendapat dalam hukum air mani, antara najis dan suci. Mereka
berpendapat sebagai berikut.

a. Mani adalah najis

Hukum yang diambil oleh pendapat pertama ini diyakini oleh Abu Hanifah dan Malik.
Keduanya mendasarkan pendapatnya pada periwayatan hadis berikut.

‫ َأْخ َبَر ْتِني َأَّنَها َكاَنْت اْلَم ِني ِم ْن َثْو ِب َر ُسْو ِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَيْخ ُرُج َفُيَص ِّلي َو َأَنا‬: ‫َح َّد َثَنا ُس َلْيَم اُن ْبُن َيَس اٍر َقاَل‬
‫َأْنُظُر ِإَلى اْلُبَقِع ِفي َثْو ِبِه ِم ْن َأَثِر اْلَغْس ِل‬.

Sulaiman bin Yasar menceritakan kepada kami, dia berkata, Aisyah pernah
mengabarkan kepadaku bahwa dia pernah mencuci mani dari kain Rasulullah saw. Lalu,
beliau keluar untuk melakukan salat dan aku melihat satu lingkar bekas mani di kain
beliau sebagai bekas cucian. (HR Ahmad)

Dalil lain yang juga mendasari pendapat mereka adalah hadis yang dari Aisyah dalam
Bukhari dan Muslim. Saat ditanya tentang mani yang mengenai baju beliau, lalu dia
12

menjawab, “Aku mencucinya dari baju Rasulullah saw. Beliau kemudian keluar untuk
melaksanakan salat. Bekas cuciannya itu ada pada baju beliau.”

Dari dua periwayatan yang mendasari pendapat ini, secara jelas menunjukkan bahwa air
mani adalah najis. Alasannya adalah mencuci sesuatu tidak mungkin dilakukan, kecuali
pada sesuatu yang dihukumi najis.

b. Mani adalah suci.

Pendapat kedua ini diyakini oleh Imam Syafi’i dan Daud. Adapun dalil yang menjadi
landasaan mereka dalam menentukan hukum kedua ini adalah sebagai berikut.

‫ ُكْنُت َأْفُر ُك اْلَم ِنَّي ِم ْن َثْو ِب الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ُثَّم َيْذ َهُب َفُيَص ِّلي ِفيِه‬: ‫َع ْن َعاِئَشَة َقاَلْت‬.

Dari Aisyah r.a., dia berkata, “Aku pernah mengerik mani dari kain Nabi saw.,
kemudian beliau menuju tempat salat dan salat dengan kain tersebut.” (HR Ahmad)

Dalil lain yang menjadi pedoman ulama pada golongan kedua ini adalah hadis shahih
yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. yang berbicara tentang mani Nabi saw.

‫َع ْن َعاِئَشَة ِفي اْلَم ِني َقاَلْت ُكْنُت َأْفُر ُك ُه ِم ْن َثْو ِب َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬.

Dari Aisyah r.a., dalam hal mani, dia berkata, “Aku mengeriknya dari baju Rasulullah
saw.” (HR Muslim)

Dalil berikut ini pun diambil untuk menguatkan argumentasi kelompok ini, yaitu sebuah
hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a.,

‫ ِإَّنَم ا َك اَن ُيْج ِزُئَك ِإْن َر َأْيَتُه َأْن َتْغ ِسَل‬: ‫ َفَقاَلْت َعاِئَش ُة‬،‫َع ْن َع ْلَقَم َة َو اَأْلْس َوِد َأَّن َر ُج اًل َنَز َل ِبَع اِئَشَة َفَأْص َبَح َيْغ ِس ُل َثْو َبُه‬
‫ َو َلَقْد َر َأْيُتِني َأْفُر ُك ُه ِم ْن َثْو ِب َر ُسْو ِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَر ًك ا َفُيَص ِّلي ِفيِه‬،‫ َفِإْن َلْم َتَر َنَض ْح َت َح ْو َلُه‬،‫َم َك اَنُه‬.

Dari Alqamah dan Al-Aswad bahwa seseorang pernah datang bertamu kepadanya.
Ketika waktu pagi menjelang, dia mencuci bajunya, lalu Aisyah berkata, “Boleh bagimu
untuk mencucinya (mani) pada bagian yang terkena dan kamu melihatnya. Jika kamu
tidak melihat maka percikanlah air di sekitarnya karena sesungguhnya kamu telah
melihatku menggosoknya dari baju Rasulullah saw., beliau kemudian berangkat
melaksanakan salat dengannya.” (HR Muslim)
13

Pendapat kedua dari dua pendapat di atas dibantah oleh golongan lainnya karena mereka
lebih cenderung menghukumi hal tersebut sebagai sesuatu yang najis. Mereka
berpendapat bahwa melakukan pengerikan terhadap sesuatu tidak lantas menunjukkan
kesucian sesuatu. Hal itu hanya menunjukkan tata cara menyucikannya, sebagaimana
cara menyucikan sandal dari najis adalah dengan mengusapkannya atau
menggosokkannya pada tanah.

Berkenaan dengan bantahan mereka, dalam kitab Majmu’ Fatawa disebutkan bahwa
terkadang Aisyah r.a. mengerik mani dan terkadang mencucinya. Hal yang demikian itu
berarti tidak menunjukkan bahwa mani adalah najis karena pada hakikatnya pakaian
dicuci jika terkena lendir, ludah, atau kotoran. Adapun menurut pendapat kebanyakan
ulama dari kalangan sahabat, seperti Sa’ad bin Abi Waqas, Ibnu Abbas, dan yang
lainnya berpendapat bahwa sesungguhnya mani sama dengan lendir dan Judah. Jadi,
bersihkan dia darimu walaupun alat pembersihnya adalah rumput.

Dengan demikian, bisa ditarik titik kejelasan bahwa menghilangkan mani dengan cara
apa pun bukanlah merupakan hal yang wajib.

5. Syubhat khamar: Apakah air khamar itu suci?

Berkenaan dengan suci atau najisnya khamar sebagaimana haram- nya seseorang untuk
mengonsumsinya, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Pendapat mereka terbagi
menjadi dua bagian

a. Khamar adalah najis.

Bagian pertama dari dua hukum yang ditimbulkan oleh khamar ini merupakan pendapat
yang diyakini oleh jumhur ulama, di antaranya adalah empat imam mazhab. Begitu juga
ulama lainnya dalam hal ini memiliki pendapat yang sama dengan mereka. Adapun dalil
yang mereka gunakan sebagai dasar penarikan hukum adalah firman Allah SWT:

‫َياَأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِإَّنَم ا اْلَخ ْم ُر َو اْلَم ْيِس ُر َو اَأْلْنَص اُب َو اَأْلْز اَل ُم ِر ْج ٌس ِم ْن َع َمِل الَّشْيَطِن َفاْج َتِنُبوُه َلَع َّلُك ْم ُتْفِلُحوَن‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban


untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan setan maka hindarilah agar kalian beruntung.” (QS Al-Ma’idah [5]:90)
14

Mereka menafsirkan bahwa kata “or-rijs” yang terdapat dalam ayat tersebut berarti
najis. Mereka pun menghukumi najis pada zat khamar itu sendiri.

b. Khamar adalah suci.

Pendapat kedua ini barangkali terasa aneh terdengar di telinga kita. Namun, pendapat ini
dianut dan diyakini oleh Rabiah, Al-Laits, Al Muzani, yang lainnya dari kalangan ulama
salaf yang dikuatkan pula oleh Asy-Syaukani, Ash-Shan’ani, Ahmad Syakir, dan Al-
Albani.

Adapun pendapat ini dianggap oleh sebagian ulama justru sebagai pendapat yang
rajih. Hal ini berdasarkan uraian sebagai berikut.

1) Ayat di atas tidak ada yang menunjukkan najisnya khamar. Dalam hal ini
ditinjau dari beberapa sisi.
a) Kata “ar-rijs” memiliki banyak makna, sebagaimana tersebut dalam
Lisan Al-‘Arab, An-Nihayah, dan At-Tafasir. Di antaranya adalah
kotoran, haram, kejelekan, azab, laknat, kufur, keburukan, dosa, najis,
dan yang lainnya.
b) Kami tidak hanya mengambil dari satu perkataan ulama salaf. Di antara
mereka ada juga yang menafsirkan bahwa kata “ar-rijs” dalam ayat ini
berarti najis. Dalam hal ini Ibnu Abbas berkata bahwa “ar-rijs” berarti
murka. Sementara itu, Ibnu Zaid berpendapat bahwa “ar-rijs” berarti
keburukan.
c) Kata “or-rijs termaktub dalam Al-Qur’an tidak hanya pada satu tempat.
Dia juga terdapat pada tiga tempat dan tidak satu pun yang memaknai
“ar-rijs” sebagai suatu yang najis, seperti tersebut dalam firman Allah
SWT,

Kata “ar-rijs” dalam ayat ini berarti azab atau siksaan. Demikian halnya yang terdapat
dalam firman Allah SWT yang menjelaskan tentang orang munafik,

‫َفاْج َتِنُبواالِّر ْج َس ِم َن اَأْلْو َثاِن َو اْج َتِنُبوا َقْو َل الُّز ْو ِر‬

Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta. (QS
Al-Hajj [22]: 30)
15

Dikatakan bahwa berhala-berhala adalah sesuatu yan najis karena dia menjadi penyebab
datangnya sesuall yang najis atau azab, sedangkan yang dimaksud bukanlah najis yang
tampak. Jadi, hakikat dari zat batu dan berhala berhala itu tidak najis. Demikian halnya
dalam firman Allah SWT berikut ini mengandung dua kemungkinan.

d) Kata “khamar” termaktub dalam ayat yang berpasangan dengan kata “al-
anshab (berjudi)” dan “al-azlâm (mengundi nasib)”. Semua memiliki
makna “ar-rijs”. Namun, tidak najis secara syar’i seperti yang tertera
dalam firman Allah SWT:

‫ِإَّنَم ا اْلُم ْش ِرُك وَن َنَج ٌس‬

Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah najis....” OS At-Taubah [9]: 28

Hal ini seperti tertera dalam dalil-dalil shahih yang memiliki makna bahwa sebenarnya
orang-orang musyrik tidak najis.

e) Pada dasarnya, pengharaman terhadap khamar tidak menunjukkan hukum najisnya


khamar itu sendiri. Namun, hukum yang dimaksud adalah untuk hukum haram pada
hal-hal tersebut. Oleh karena itu, diharamkannya mengenakan sutra dan emas untuk
laki-laki tidak menunjukkan bahwa keduanya najis sebab keduanya adalah suci, baik
ditinjau secara hukum syar’i maupun ijma’ para ulama.

2) Dalil yang menjadi bagian yang mendasari kesucian khamar adalah hadis berikut.

‫ َو َم ا َش َر اُبُهْم ِإاَّل اْلَفِض ْيُخ اْلُبْسُر‬،‫ ُكْنُت َس اِقَي اْلَقْو ِم َيْو َم ُحِّر َم ِت اْلَخ ْم ُر ِفي َبْيِت َأِبي َطْلَح َة‬: ‫َع ْن َأَنِس ْبِن َم اِلٍك َقاَل‬
‫ َفَجَر ْت ِفي‬: ‫ َأاَل ِإَّن اْلَخ ْمَر َقْد ُحِّر َم ْت َقاَل‬:‫ اْخ ُرْج َفاْنُظْر ! َفَخ َر ْج ُت َفِإَذ ا ُم َناٍد ُيَناِد ي‬: ‫ َفَقاَل‬،‫ َفِإَذ ا ُم َناٍد ُيَناِد ي‬. ‫َو الَّتْم ُر‬
‫ َفَهَر ْقُتَها‬. ‫ اْخ ُرْج َفاْهِرْقَها‬: ‫ َفَقاَل ِلي َأُبْو َطْلَح َة‬،‫ِس َك ِك اْلَم ِد يَنِة‬

Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Dulu aku adalah penuang air minum untuk suatu
kaum pada hari ketika khamar diharamkan di rumah Abu Thalhah. Minumnya mereka
hanyalah perasan kurma mentah dan anggur. Kemudian, seorang penyeru menyerukan,
‘keluar dan lihatlah!” Kemudian, aku pun keluar dan aku melihat ada seseorang yang
menyerukan,

6. Syubhat darah haid, darah manusia, dan darah hewan yang dimakan
dagingnya: Najiskah?
16

a. Darah haid

Darah ini najis menurut kesepakatan para ulama. Hal ini sebagaimana dipaparkan oleh
Imam Nawawi dalam Syarh Muslim 1/588. Adapun yang menjadi dalil mereka adalah
sebagai berikut.

“Asma binti Abu Bakar r.a., dia berkata, seorang perempuan pernah datang kepada Nabi
saw., dia berkata, ‘Salah seorang dari kami pakaiannya ada yang terkena darah haid,
lalu apa yang harus dia Nabi saw. Bersabda, ‘Hendaklah dia menggosoknya, kemudian
dia kerik dengan jari-jari setelah dibasahi air. Kemudian, mencucinya dengan air,
setelah itu dia dapat mengenakannya ketika salat!” (HR Bukhari Muslim)

b. Darah manusia

Permasalahan ini banyak mengundang perbedaan pendapat di kalangan para ulama,


sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al- Qurthubi, Imam Al-Qurthubi; Al Majmu’,
Imam Nawawi; Al-Muhalla, Ibnu Hazm, dan lain-lain. Namun, pendapat yang masyhur
menurut ulama ahli fiqih menyatakan bahwa darah manusia adalah najis. Mereka tidak
memiliki dalil apa pun, kecuali apa yang termaktub dalam Al-Qur’an,

c. Darah hewan yang dimakan dagingnya

Hukum yang diambil untuk hal ini sama dengan hukum yang diambil untuk darah
manusia. Karena dari sisi tidak adanya dalil yang menunjukkan najisnya darah tersebut.
Hukumnya pun dikembalikan kepada hukum asal.

7. Syubhat muntah manusia: Najiskah?

Hukum asal dari segala sesuatu adalah suci. Hukum tidak tergeser oleh hukum apa pun,
kecuali ada dalil lain yang mendasarinya dan tidak bertentangan dengan dalil yang lebih
kuat atau dalil yang sama. Namun, jika belum ditemukan hal semacam itu maka ada
kewajiban untuk mengikuti hukum suatu permasalahan yang hanya memiliki dalil.
Anggapan seperti memberikan pelajaran bahwa Allah SWT telah mewajibkan atas dalil-
dalil hamba-Nya untuk mencuci benda-benda yang dianggap sebagai najis dan
17

keberadaannya dapat menghalangi sahnya salat. Adakah dalil yang melainkan


memperkuat hal ini?

Muntah dan sejenisnya jika dilihat dari sisi ini maka tidak dibenarkan adanya perubahan
pada hukum asal, yaitu suci karena periwayatan dalam hadis Amar: “Sesungguhnya
pakaianmu dicuci karena terkena air seni, kotoran manusia, air muntahan, darah, dan
mani” adalah dha’if dan secara otomatis tidak dapat dijadikan sebagai hujah. Hal ini
sebagaimana disebutkan oleh Syekh Abu Kamal bin As-Sayyid Salim dalam kitabnya
Shahih Fiqih Sunnah.

8. Syubhat vagina basah: Bagaimana hukum cairan yang keluar darinya?

Para ulama berbeda dalam menyikapi permasalahan vagina basah ini, sebagaimana
tersebut dalam Al-Mughni dan Al-Majmu hingga pendapat mereka terbagi menjadi dua
bagian. Vagina basah adalah najis. Hukum pertama ini didasarkan pada segala sesuatu
yang keluar dari vagina. Selain yang keluar dari seorang anak kecil maka adalah sama
dengan madzi. Mereka yakini rajih dengan perincian sebagai berikut. Jika cairan itu
keluar dar perempuan saat berhubungan dengan suaminya atau ketika ada untuk
berjima’ dan semacamnya maka yang demikian itu adalah mada hukumnya adalah najis.
Secara otomatis, mewajibkan seseorang bersun dan secara otomatis pula membatalkan
wudu. Akan tetapi, jika cairan itu keluar dari vagina perempuan pada waktu-waktu
biasa, saat sedang hamil, ketika kerja berat, atau banyak berjalan maka hal ini menuna
hukum asalnya adalah suci karena tidak ada dalil yang najisnya hal keinginan

9. Syubhat perintah memanjangkan kain bagi perempuan hingga terseret:


Najiskah?

Banyak orang mengatakan bahwa kain yang dikenakan hingga terseret adalah najis
karena bersentuhan langsung dengan tanah. Namun, ada pula yang menyakini bahwa itu
bisa disucikan oleh gesekan kain pada tanah yang suci. Hal ini diterangkan dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Turmudzi berikut.

‫ ُقْلُت ُأِلِّم َس َلَم َة ِإِّني اْمَر َأٌة ُأِط يُل َذ ْيِلي َو َأْمِش ي ِفي اْلَم َك اِن اْلَقْد ِر ؟ َفَقاَلْت َقاَل‬: ‫َع ْن ُأِّم َو َلٍد ِلَع ْبِد الَّرْح َمِن ْبِن َعْو ٍف َقاَلْت‬
‫ ُيَطِّهُر ُه َم ا َبْع َد ُه‬: ‫َر ُسْو ُل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلم‬.
18

Dari ibu seorang anak dari Abdurrahman bin Auf, dia berkata, Aku pernah mengatakan
kepada Ummu Salamah, “Sesungguhnya aku adalah seorang yang memanjangkan
pakaianku dan -tak jarang- aku berjalan di tempat yang kotor?” Maka Ummu Salamah
menjawab “Nabi Saw pernah bersabda, Hal itu akan disucikan oleh tanah yang diinjak
setelahnya!”Berdasarkan hadis tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa jika ujung
pakaian perempuan terkena kotoran maka yang demikian itu bisa suci dengan adanya
gesekan (sentuhan) pada tanah yang suci.

10. Bolehkah cairan selain air untuk menghilangkan najis?

Tentang cairan selain air untuk menghilangkan najis masih diperdebatkan oleh para
ulama. Pendapat mereka dalam masalah ini sebagai berikut. Pertama, disyaratkan harus
dengan air untuk menghilangkan najis, tidak boleh dengan yang lainnya, kecuali ada
dalil yang mendasarinya. Pendapat ini dikenal luas di kalangan mazhab Imam Malik
dan Imam Ahmad. Demikian ini pula merupakan mazhab Imam Syafi’i yang baru.
Pendapat ini juga didukung oleh Imam Syaukani dan pengikutnya. Adapun dalil mereka
adalah sebagai berikut.

a. Firman Allah SWT,

... ۱۱ ..... ‫َو ُينِز ُل َع َلْيُك ْم ِّم َن الَّسَم اِء َم اًء ِلُيَطِّهَر ُك ْم ِبِه‬

... dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikanmu dengan
hujan itu ....” (QS. Al-Anfâl [8]: 11)

11. Bagaimana cara istinja seseorang yang menderita beser?

Penderita beser (buang air seni terus-menerus) atau sejenisnya hendaknya beristinja’
dan berwudu setiap kali akan salat. Adapun air seni yang mengenai si penderita tidak
dihukumi apa pun selama waktu salat belum masuk. Inilah pendapat yang paling kuat di
antara dua pendapat ulama dalam masalah ini. Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Ahmad,
Ishaq, Abu Tsaur, dan yang lainnya juga sejalan dengan pendapat ini, sebagaimana
dipaparkan oleh pengarang kitab Shahih Fiqih Sunnah, Syekh Abu Kamal bin As-
Sayyid Salim.
19

Hukum yang diambil untuk kasus orang yang mengalami penyakit seperti ini sama
dengan hukum yang timbul dari perempuan yang sedang istihadah. Dalam hal ini, Nabi
saw. Bersabda:

‫ َفِإَذ ا َذ َهَب َقْد ُرَها َفاْغ ِس ِلْي َع ْنِك الَّد َم َو َص ِّلي‬،‫ َفِإَذ ا َأْقَبَلِت اْلَخْيَض ُة َفَد ِع ي الَّص اَل َة‬،‫ َو َلْيَس ْت ِباْلَخْيَضِة‬،‫ِإَّنَم ا َذ ِلَك ِع ْر ُق‬.

“Sesungguhnya itu adalah darah dari urat dan bukan haid. Jika datang kepadamu masa
haid maka tinggalkanlah salat. Jika telah selesai waktunya maka cucilah darah itu dan
salatlah.” (HR Bukhari Muslim)

Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw. Bersabda:

‫ُثَّم َتَو َّض ِئي ِلُك ِّل َص اَل ٍة َح َّتى َيِج ْي َء َذ ِلَك اْلَو ْقُت‬.

Diriwayatkan pula oleh An-Nasa’i (1/185) dengan lafal, “Maka cucilah darah itu
darimu, kemudian berwudulah dan salatlah” dengan tambahan “Dan berwudulah” ini
adalah riwayat yang syadz seperti yang dianggap cacat oleh An-Nasa’i, Al-Baihani
(1/327), dan Muslim

12. Syubhat menghadap kiblat saat buang air besar: Pantat atau wajahkah
yang menghadap kiblat saat buang air besar?

Secara gamblang kami hendak memaparkan bahwa yang sedang buang hajat tidak boleh
menghadap kiblat atau membelakanginya saat duduk di tempat buang hajat. Hal ini
berdasarkan hadis Abu Ayyub Al-Anshari, Nabi saw. Bersabda:

‫ َو َلِكْن َش ِّر ُقوا ان غربوا‬،‫إذا َأَتْيُتُم اْلَغاِئَط َفاَل َتْسَتْقبُلوا اْلِقْبَلَة َو اَل َتْس َتْد ِبُروَها‬

“Jika kalian hendak buang hajat maka janganlah menghadap kiblat atau
membelakanginya, tetapi menghadaplah ke arah timur atau barat....” (HR Bukhari
Muslim)

13. Benarkah buang air kecil sambil berdiri dilarang?

Berkenaan dengan pembahasan ini, terdapat lima hadis Rasulullah saw. Tiga hadis di
antaranya berderajat shahih, yaitu sebagai berikut.
20

a. Bentuk pengingkaran Aisyah bahwa Nabi saw. Buang air kecil sambil berdiri.

b. Kisah buang air kecilnya Nabi saw. Sambil berdiri.

C. Kisah buang air kecilnya Nabi saw. Sambil duduk.

Adapun dua hadis berikutnya adalah daif, salah satunya adalah larangan buang air kecil
dengan berdiri. Hadis yang lain adalah bentuk celaan terhadap orang yang buang air
kecil dengan berdiri sebagai perbuatan yang kurang beradab.

14. Jika khitan bagi lelaki hukumnya wajib, apakah juga demikian bagi kaum
perempuan?

Khitan atau yang sering kita sebut ‘sunat’ adalah memotong kulit yang menutup bagian
kepala penis atau memotong kulit yang berada di bagian atas vagina. Lihat kitab Al-
Majmu’. Adapun berkenaan hukumnya, para ulama berbeda pendapat

Dalam hal ini.

a. Wajib atas laki-laki dan perempuan.

b. Sunnah bagi keduanya.

c. Wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan.

Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni mengatakan bahwa khitan wajib bagi laki-laki
dan merupakan kehormatan bagi perempuan. Namun, merupakan kewajiban bagi
mereka. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Imam An-Nawawi dalam kitab Al-
Majmu’ juga mengatakan bahwa mazhab yang benar adalah seperti apa yang dijelaskan
oleh Imam Syafi’i dan dikuatkan oleh mayoritas ulama. Khitan adalah wajib bagi laki-
laki dan perempuan.Kita mendapati bahwa pengarang kitab Shahih Fiqih Sunnah,
Syekh Abu Kamal bin As-Sayyid Salim memberikan uraian ringkas tentang hal ini
dengan mengatakan bahwa khitan wajib bagi laki-laki.

 THAHARAH HUKMIYAH
1. Syubhat air yang menetes: Sahkah berwudu menggunakan air yang
menetes dari anggota badan?
21

Air yang menetes dari anggota badan yang dibasuh ketika wudu disebut air musta’mal.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, apakah dia tetap suci dan dapat
menyucikan atau telah berubah menjadi air yang tidak dapat menyucikan?

Dalam kitab Shahih Fikih Sunnah dipaparkan bahwa pendapat Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Umar, Ibnu Umamah, segolongan ulama salaf, pendapat yang masyhur dari madzhab
Imam Malik, salah satu riwayat dari Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, Ibnu Hazm, serta
Ibnu Mundzir adalah pendapat yang diakui paling kuat.

2. Syubhat air bekas: Bolehkah lelaki mandi dengan air bekas yang
digunakan oleh perempuan?

Kaidah al-bara’ah al-ashliyah (sesuatu tetap dalam hukum awal sampai ada dalil yang
menunjukkan adanya perubahan hukum) bisa saja diterapkan jika dipandang tidak
ditemukannya dalil- dalil yang melarang hal tersebut atau dalil-dalil yang ada dianggap
tidak shahih. Dalam permasalahan ini, pendapat para ulama terbagi menjadi dua bagian.

Tidak diperbolehkan bagi laki-laki untuk bersuci dengan air yang telah digunakan oleh
perempuan. Ini pendapat Ibnu Umar, Abdullah bin Sirjis, Ummul Mukminin Juwairiyah
binti Al-Harits, Al-Hasan, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Asy-Sya’bi, dan Daud Azh-
Zhahiri dalam kitab Al Mughni

3. Syubhat niat: Haruskah lafal niat diucapkan dengan jelas?

Niat tempatnya di dalam hati bukan di lisan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan ulama
dalam seluruh ibadah, seperti bersuci, salat, zakat, puasa, memerdekakan budak, jihad,
dan lain sebagainya. Hal yang demikian ini juga yang dipaparkan oleh Syekh Islam
dalam kitab Majmu’ Ar-Rasa’il Al-Kubra.Demikian halnya sebuah keterangan dalam
beberapa kitab memper- kuat pernyataan di atas.Sungguh luhur apa yang dinyatakan
oleh Syekh Islam: Jika seseorang mengucapkan sesuatu dengan lisannya dan tidak
sesuai dengan apa yang diniatkan dalam hatinya maka yang diambil nilainya adalah apa
vang diniatkan dan bukan sesuatu yang keluar dari lisannya. Namun, jika seseorang
mengucapkan dengan lisannya dan sama sekali tidak ada niat dalam hatinya maka hal
22

itu tidak dianggap sah. Hal yang demikian ini sesuai dengan kesepakatan para imam
kaum muslimin karena niat adalah dan keinginan.

4. Syubhat tertib dalam berwudu: Apakah wajib dikerjakan dengan tertib?

Hal yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah menyucikan anggota wudu satu per
satu dengan urut, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam ayat yang
mulia. Membasuh muka, kemudian kedua tangan, mengusap kepala, dan membasuh
kedua kaki. Tertib hukumnya wajib menurut pendapat yang shahih dari dua di kalangan
ulama.

Adapun landasan penarikan hukum yang mereka lakukan adalah sebagai berikut.

a. Huruf ‘Athaf (penghubung) dalam ayat ini tidak menunjukkan keharusan secara
tertib.
b. Hadis dari Ali dan Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa keduanya pernah berkata,
“Aku tidak peduli dengan bagian mana aku memulainya.” (HR Bukhari).
Argumentasi ini terjawab oleh apa yang diungkapkan Imam seperti yang
disebutkan dalam kitab Masail karya Abdullah. Hal yang dimaksud adalah
memulai bagian yang kanan sebelum yang kiri dan tidak mengapa memulai
dengan yang kiri, kemudian yang kanan karena tempat keluarnya bersumber dari
Kitabullah,

... ‫َفاْغ ِس ُلوا ُوُجوَهُك ْم َو َأْيِدَيُك ْم ِإَلى اْلَم َر اِفِق َو اْمَس ُحوا ِبُر ُه َوِس ُك ْم َو َأْر ُج َلُك ْم ِإَلى اْلَكْع َبْيِن‬

Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kakiAl-Ma’idah... (QSA [5]: 6)

Jadi, menurutnya tidak mengapa untuk memulai dengan anggota wudu yang kiri
sebelum anggota wudu yang kanan. Syekh kami berkata, “Walaupun demikian, yang
lebih utama adalah memulai dengan yang kanan dan sesuai dengan sunnah.” Wallahu
A’lam

5. Syubhat bersambung dalam wudu: Apakah wudu wajib dikerjakan secara


bersambung dari satu anggota ke anggota lain tanpa jeda waktu?
23

Pembahasan kita sekarang tentang mengusap anggota wudu tanpa jeda waktu. Dengan
kata lain, membasuh anggota wudu secara kontinu asal bagian yang baru dibasuh tidak
sampai kering sebelum membasuh anggota wudu yang selanjutnya, sesuai ukuran waktu
yang sedang.

Dalam kitab Al-Umm, Al-Majmu’, Kasyf Al-Quna’, Majmu’ Al-Fatawa, Imam Syafi’i
dalam pendapat lamanya (Qaul Qadim) dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad
menyatakan bahwa proses bersambung (berturut-turut) pada pelaksanaan wudu adalah
wajib. Demikian juga yang dipaparkan dan diyakini oleh Imam Malik. Namun, dia
membedakan antara orang yang tidak menyambungnya karena unsur kesengajaan dan
orang yang memang berhalangan. Itulah yang dipilih oleh Syekh Islam.

6. Syubhat tidur yang membatalkan wudu: Apa batasan tidur yang dianggap
membatalkan wudu dan bagaimana kategori tidak membatalkannya?

Berbagai atsar tentang batalnya wudu yang disebabkan oleh tidur secara zahir saling
bertentangan. Ada beberapa hadis yang zahirnya menunjukkan bahwa tidak perlu wudu
sama sekali setelah tidur. Namun, beberapa riwayat yang lain secara mengharuskannya.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Mazhab yang menempuh jalan
kompromi (menggabungkan) antarpendapat atau riwayat dan mazhab yang menguatkan
salah satunya (tarjih).

7. Syubhat menyentuh kemaluan tanpa penghalang: Batalkah wudu


seseorang jika menyentuh kemaluan tanpa ada penghalang?

Dalam permasalahan ini terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama. Ada yang
menggunakan cara tarjih dan ada pula yang menggunakan cara penggabungan dalil.

Pertama, menyentuh kemaluan dinilai tidak membatalkan wudu secara mutlak.Ini


adalah pendapat Imam Abu Hanifah berdasarkan pada salah satu riwayat dari Imam
Malik yang diriwayatkan dari sekelompok sahabat. Adapun uraian dalil-dalil mereka
adalah sebagai berikut.
24

Hadis dari Thalaq bin Ali bahwa seorang lelaki pernah bertanya kepada Rasulullah saw.
Tentang seorang yang menyentuh kemaluannya setelah berwudu. Kemudian, Rasulullah
saw. Menjawab:

‫َهْل ُهَو ِإاَّل َبْض َع ٌة ِم ْنَك‬.

“Bukankah ia (kemaluan) itu adalah bagian dari (tubuh)mu.” (HR Abu Daud, Turmudzi,
dan Nasa’i)

8. Syubhat menyentuh lawan jenis yang bukan mahram: Batalkah wudu


seseorang yang menyentuh perempuan yang mahram?

Dalam masalah ini ada tiga pendapat di kalangan para ulama,

a. Lelaki yang menyentuh perempuan membatalkan wudu secara mutlak. Ini adalah
pendapat Imam Syafi’i yang oleh Ibnu Hazm dan juga merupakan perkataan Ibnu
Mas’ud serta Ibnu Umar.
b. Tidak membatalkan wudu secara mutlak. Ini pendapat dari mazhab Abu Hanifah
dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Ibnu Abbas, Thawus, Al-Hasan, Atha’,
dan Ibnu Taimiyah juga berpendapat sama dengan mereka. Inilah pendapat yang
kuat.
c. Menyentuh perempuan dapat membatalkan wudu jika dibarengi syahwat. Ini
adalah pendapat Malik dan Ahmad pada riwayat yang masyhur dari mereka.

9. Syubhat darah yang keluar dari jalur yang tidak biasanya: Sucikah?

Bagaimana keluar darah bukan dari jalan biasanya, baik itu akibat pembedahan maupun
hijamah (bekam), sedikit atau banyak? Menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat
kalangan ulama adalah tidak membatalkan wudu. Hal yang demikian ini adalah
pendapat Syafi’i dan Malik. Adapun Abu Hanifah lebih memilih bahwa hal ini
membatalkan wudu. Pendapat kedua ini juga diyakini oleh mazhab Hambali, dengan
catatan apabila darah yang keluar banyak.

10. Syubhat membasuh perban, gips, atau yang sejenisnya saat hendak
berwudu: Bolehkah?
25

Dua tangkai kayu atau sejenis ini yang diikatkan dengan kencang sebagai penyangga
tulang yang patah, pada saat ini biasa disebut dengan gips. Seseorang yang salah satu
anggota wudunya, seperti tangan atau kaki terdapat balutan perban atau gips, dia
mengusapnya saja dalam berwudu. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Adapun dalil-dalil yang mereka jadikan pegangan adalah sebagai berikut.

Hadis dari Jabir bin Abdullah r.a. tentang kisah seorang yang terluka di bagian kepala.
Rasulullah saw. Bersabda:

‫ ِإَّنَم ا َك اَن َيْك ِفيِه َأْن َيَتَيَّم َم َو َيْع ِصَر َأْو َيْع ِصَب َشٍّك ُم وَس ى َع َلى ُجْر ِحِه ِخ ْر َقًة ُثَّم َيْمَسَح َع َلْيَها‬.

“Cukup baginya untuk bertayamum dan membalutkan secarik kain pada lukanya,
kemudian mengusap padanya (saat berwudu).” (HR Abu Daud)

Hadis Ibnu Umar r.a., “Barang siapa memiliki luka yang dibalut dengan kain lalu ia
berwudu, hendaklah mengusap balutan tersebut dan membasuh bagian lain di
sekitarnya.” (HR Ibnu Abu Syaibah dan Baihaqi)

11. Syubhat bersetubuh dan air mani: Bagaimana cara menyucikannya?

Para ulama sepakat bahwa kemaluan lelaki yang menyentuh kemaluan perempuan dan
tidak masuk ke dalamnya bukanlah dalam ranah yang mewajibkan mandi. Hadis dari
Ibrahim An Nakha’i ra. Bahwa Rasulullah saw. Pernah ditanya tentang seorang lelaki
yang menyetubuhi istrinya bukan pada kemaluannya. Kemudian, ia mengeluarkan air
mani, beliau menjawab, “Lelaki itu wajib mandi, namun tidak wajib bagi istrinya
melainkan cukup dengan mencuci anggota tubuh yang terkena air mani.” (HR Nasa’i)

Imam An-Nawawi berkata, “Apabila seorang istri memasukkan air mani suaminya ke
dalam kemaluan atau duburnya, kemudian air mani tersebut keluar lagi dari
kemaluannya maka si istri tidak wajib mandi. Inilah pendapat yang benar yang telah
ditetapkan oleh mayoritas ulama.”

Apabila seorang lelaki menyetubuhi istrinya, kemudian si istri mandi dan air mani
suami keluar dari kemaluannya maka si istri tidak wajib mandi. Apakah ia wajib
berwudu? Menurut pendapat mayoritas ulama, ia wajib berwudu karena air mani itu
26

keluar dari salah satu lubang kotoran walaupun pada hakikatnya hukum air mani itu
sendiri adalah suci.

12. Syubhat salat yang dilaksanakan dengan tayamum, kemudian mendapati


air sesaat sebelum salat: Haruskah ia mengulang?

Apakah salat seseorang yang bertayamum dianggap sah apabila ia mendapati air
sebelum melaksanakan salat? Para ulama bersepakat bahwa orang yang bertayamum
setelah melakukan pencarian air dan ia tidak mendapatinya, kemudian ia
menemukannya sebelum melakukan salat maka tayamumnya batal. La tidak boleh
melaksanakan salat dengan tayamumnya tersebut. Kondisinya sama dengan sebelum ia
bertayamum dan ia harus berwudu. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Abdul
Bar. Hendaknya ia membatalkan salatnya dan menggunakan air. Kemudian, memulai
salatnya dari awal.Ini adalah pendapat yang diyakini oleh Abu Hanifah, Ahmad, Ats-
Tsauri, dan Ibnu Hazm.

13. Syubhat seorang perempuan yang mengalami haid pada saat-saat terakhir
sebelum waktu Ashar, sedangkan ia belum menunaikan salat Zuhur:
Wajibkah ia menggadha salat Zuhur ketika sudah suci?

Menurutjumhurulama, apabila seorang perempuan kedatangan haid pada saat-saat


terakhir akan memasuki waktu Ashar, misalnya, sedangkan ia belum melakukan salat
Zuhur maka ketika telah suci, ia wajib menggadha salat tersebut. Sesungguhnya ia
terkena kewajiban salat dan ia wajib menggadhanya apabila memang telah masuk
waktunya dan ia dalam keadaan suci, minimal dalam kurun waktu untuk melakukan
satu rakaat. Allah SWT berfirman:

... ‫ِإَّن الَّصلوَة َكاَنْت َع َلى اْلُم ْؤ ِمِنيَن ِكْتًبا َّم ْو ُقوًتا‬

Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman.” (QS An-Nisa’ [4]: 103)

B. Dasar Hukum Thaharah


H. Abdul Khaliq Hasan mengemukakan salah satu landasan hukum thaharah
adalah surah al Furqan ayat 48
27

‫َو ُه َو ا َّل ِذ ي َأ ْر َس َل ال ِّر َي ا َح ُب ْش ًر ا َب ْيَن َي َد ْي َر ْح َم ِتِه ۚ َو َأ ْن َز ْل َن ا ِم َن ال َّس َم ا ِء َم ا ًء َط ُه و ًر ا‬


Artinya ; “Dia lah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat
sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air
yang Amat bersih,” (Q.S Al-Furqan : 48)

Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsir Al-Munir menjelaskan, maksud ayat ini


adalah Allah SWT menurunkan air yang suci sebagai alat bersuci baik untuk tubuh,
pakaian, maupun yang lain sebab kata thahur berarti sesuatu yang digunakan untuk
thaharah (bersuci), sebagaimana kata wudhu yang di gunakan untuk berwudhu
(Abd.Kholiq Hasan, 2008: 15)
Dan perhatikanlah surah Al-Mudatsir ayat 4 dan 5 yang berbunyi sebagai
berikut
‫َو ِثَياَبك َفَطِّهْر َ َو ٱلُّر ْج َز َفٱْهُجْر‬
Artinya : “(4) Dan pakaianmu bersihkanlah, (5) Dan perbuatan dosa
tinggalkanlah,”

Menurut tafsir al-Jalalain, maksud kalimat “Dan pakaianmu bersihkanlah“


yaitu dari najis, atau pendekkanlah pakaianmu sehingga berbeda dengan kebiasaan
orang-orang arab yang selalu menguntaikan pakaian mereka hingga menyentuh tanah
dikala mereka menyombongkan diri, karena dikhawatirkan akan terkena barang yang
najis. Lafad Ar-Rujza ditafsirkan oleh Nabi Saw. berhala-berhala dan tinggalkanlah
hal itu selama-lamanya. Dari kedua ayat di atas, secara tidak langsung terkandung
anjuran thaharah secara lahiriyah maupun batiniyah. Inti dari ayat ke-4 ialah perintah
thaharah secara lahiriyah, salah satunya membersihkan pakaian ketika hendak
melaksanakan ibadah. Sedangkan ayat selanjutnya merupakan perintah thaharah
secara bathiniyah, dengan cara meninggalkan segala perbuatan dosa.
Thaharah merupakan anak kunci dan syarat sah salat. Dalam kesempatan lain
Nabi SAW juga bersabda:
‫ َو َتْح ِلْيُلَها الَّتْس ِلْيُم‬،‫ َو َتْح ِرْيُمَها الَّتْك ِبْيُر‬،‫ ِم ْفَتاُح الَّص اَل ِة َألََّطَهاَر ُة‬:‫قال عليه الصالة والسالم‬

Artinya; “Nabi Bersabda: Kuncinya shalat adalah suci, penghormatannya adalah


takbir dan perhiasannya adalah salam.”
28

Dan sabda Nabi Saw lainnya:


‫إالبطهور الصالة‬
Artinya: “ Tidak diterima shalat sesorang kecuali dengan kesucian.”

Dari penjelasan ayat-ayat dan hadist tersebut menjelaskan bahwa thaharah


wajib hukumnya, tidak saja karena orang muslim akan menjalankan shalat melainkan
juga dalam semua keadaan, terutama bersuci dari najis dan hadast besar. Di dalam
thaharah, kita juga dianjurkan agar senantiasa menjaga kebersihan lahir dan batin.
Seperti dalam Firman Allah SWT yang berbunyi:

‫َو َيْس َٔـُلوَنَك َع ِن ٱْلَم ِح يِضۖ ُقْل ُهَو َأًذ ى َفٱْعَتِز ُلو۟ا ٱلِّنَس ٓاَء ِفى ٱْلَم ِح يِضۖ َو اَل َتْقَر ُبوُهَّن َح َّتٰى َيْطُه ْر َن ۖ َف ِإَذ ا َتَطَّه ْر َن‬
‫َفْأُتوُهَّن ِم ْن َح ْيُث َأَم َر ُك ُم ٱُهَّللۚ ِإَّن ٱَهَّلل ُيِحُّب ٱلَّتَّٰو ِبيَن َو ُيِحُّب ٱْلُم َتَطِّهِر يَن‬
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri[137] dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci[138]. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu
di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri. (QS.Al-Baqarah:222).

[137] Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh.


[138] Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.

Selain itu juga, kebersihan atau bersuci menjadi media utama mendekatkan diri
kepada Allah SWT karena Allah SWT mencintai orang-orang yang mensucikan
dirinya (Babudin, 2005: 4).

Selain ayat al qur`an tersebut, Nabi Muhammad saw bersabda.


‫﴿ﺮﻮﺍﻩ ﺍحمد‬٠ ‫﴾َالَّنَظاَفٌة ِم َن اِﻻ ْيَم اِن‬

Artinya : “Kebersihan itu adalah sebagian dari iman.”(HR.Ahmad)

C. Syarat wajib Thaharah


29

Setiap mukmin mempunyai syarat wajib untuk melakukan thaharah. Ada hal-
hal yang harus diperhatikan sebagai syarat sah-nya berthaharah sebelum melakukan
perintah Allah SWT SWT. Syarat wajib tersebut ialah :
1. Islam
2 Berakal
3. Baligh
4. Masuk waktu ( Untuk mendirikan solat fardhu ).
5. Tidak lupa
6. Tidak dipaksa
7. Berhenti darah haid dan nifas
8. Ada air atau debu tanah yang suci.
9. Berdaya melakukannya mengikut kemampuan.
(Abu Furqan al-Banjary, 2018)

D. Sarana Melakukan Thaharah


Firman Allah SWT:

‫َي ا َأ ُّيَه ا ا َّل ِذ يَن آ َم ُن وا اَل َت ْق َر ُب وا ال َّص اَل َة َو َأ ْن ُت ْم ُس َك ا َر ٰى َح َّت ٰى َت ْع َل ُم وا َم ا َت ُق و ُل وَن َو اَل ُج ُن ًب ا ِإ اَّل َع ا ِبِر ي‬
‫َس ِب ي ٍل َح َّت ٰى َت ْغ َت ِس ُل واۚ َو ِإ ْن ُك ْن ُت ْم َم ْر َض ٰى َأ ْو َع َل ٰى َس َف ٍر َأ ْو َج ا َء َأ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِم َن ا ْلَغ ا ِئ ِط َأ ْو اَل َم ْس ُت ُم‬
‫ال ِّن َس ا َء َف َل ْم َت ِج ُد وا َم ا ًء َف َت َي َّم ُم وا َص ِع يًد ا َط ِّيًب ا َف ا ْم َس ُح وا ِبُو ُج و ِه ُك ْم َو َأ ْي ِد ي ُك ْم ۗ ِإ َّن ال َّل َه َك اَن َع ُف ًّو ا‬
‫َغ ُف و ًر ا‬
Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu solat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
(jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan berjunub),
terkecuali sekadar berlalu sahaja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit
atau dalam bermusafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah SWT Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
”(Surah Al-Nisa’, 4:43)

1. Macam-Macam Air Yang Digunakan Untuk Thaharah


30

Menurut hukumnya air yang digunakan untuk bersuci terbagi kedalam 4 bagian,
yaitu;
a. Air suci dan menyucikan, yaitu air mutlak artinya air yang masih sewajarnya
dikatakan air atau air yang masih murni, dapat digunakan untuk bersuci tanpa
ada makruh padanya (Mohamad Rifa’i,2001:13). Air seperti ini disebut sebagai
air mutlaq karena jika ia dimutlakkan (pengertiannya tidak dibatasi), maka
masih tetap dinamakan air dan kondisinya serta karakternya sebagai air tidak
berubah, tetap pada kondisi aslinya. Jadi yang air mutlak (air yang suci
mensucikan) adalah air yang suci zat dan esensinya yaitu ketika dimasuki zat
lain ia tidak menjadi najis. Dalam kitab Fiqh Wadhih (Mahmud Yunus,1935:3)
Air yang termasuk dalam kategori ini ada tujuh macam yaitu air hujan, air
sumur, air laut, air sungai, air salju, air mata air (sumbe), air embun. Pada
initinya jika air itu masih tetap dalam kondisi dan karakter awal sebagai air,
tidak berubah satupun dari rasa, warna dan bau maka hukum menggunakan air
ini adalah suci menyucikan tanpa ada keraguan padanya.
b. Air yang suci tetapi tidak menyucikan
‫ َقاَل َر ُس وُل هللا صلي هللا عليه و سلم َال َيْغ َتِس ْل َأَح ُد ُك ْم ِفي الَم اِء‬: ‫َعْن َأبي ُهَر ْيَر َة صلي هللا عليه و سلم َقاَل‬
‫ ُثَّم َيْغ َتِس ُل ِفيِه‬،‫ َال َيُبوَلَّن َأَح ُد ُك ْم ِفي الَم اِء الَّداِئِم اَّلِذ ي َال َيْج ِر ي‬: ‫وِلْلُبَخ اِر ِّي‬. ‫الَّداِئم َو ُهَو ُج ُنٌب َأْخ َر َج ُه ُم ْسِلٌم‬

Artinya; “Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah


shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang dari
kalian mandi (janabah) dalam air yang tenang sedang ia junub.”
(Dikeluarkan oleh Muslim).
Lafazh milik Al-Bukhari, “Janganlah sekali-kali salah seorang kalian
kencing dalam air tenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di
dalamnya.”

Air suci tapi tidak mensucikan atau air musta’mal yaitu air yang telah
digunakan untuk menghilangkan najis meskipun rasa, warna, dan bau tidak
berubah. Air musta’mal tidak dapat digunakan untuk bersuci karena tidak bisa
menyucikan zat lain karena fungsi awalnya adalah sebagai air suci
mensucikan,namun setelah dipakai untuk bersuci maka fungsi tersebut telah
31

hilang,bergantilah ia menjadi air musta’amal yaitu air hasil atau bekas dari
bersuci, Meskipun air tersebut masih tetap dalam kondisi dan karakter awal
dari sebuah air. Namun jika air musta’mal tersedia dalam jumlah yang banyak
sehingga mencapai dua qullah maka hukumnya menjadi suci mensucikan. Air
yang mencapai dua qullah tidak menjadi najis karena ada najis di dalamnya
kecuali jika perubahan karakter sebuah air telihat dengan jelas maka air
tersebut menjadi najis (Wahbah Az Zuhaili, 2010:89) Contoh lain dari air ini
adalah air suci namun hanya tersedia dalam jumlah sedikit. Misalnya segelas
atau hanya segayung.
c. Air makruh yaitu air suci, dapat mensucikan namun makruh di gunakan. Air
yang masuk dalam kategori ini adalah air musyammas yaitu air yang terjemur
oleh matahari dalam bejana selain emas atau perak (H. Sulaiman Rasjid,
2015:16). Hukum makruh yang di maksud adalah jika penggunaan air
musyammas digunakan untuk badan. Jika digunakan untuk tujuan lain seperti
cuci baju, menyiram bunga dan lain-lain maka hukumnya tidak makruh alias
boleh-boleh saja. Karena menurut dugaan menggunakan air musyammas
dapat menyebabkan penyakit kusta.
d. Air mutanajis atau air najis yaitu air yang terkena najis sedang jumlahnya
kurang dari qullah ( Moh Rifa’I,2001:14). Atau mencapai dua qullah atau
lebih tapi karakternya sebagai air sudah berubah dengan jelas, baik dari segi
rasa, warna ataupun bau. Air dua qulllah atau air yang banyak menurut
kebiasaan tidak menjadi najis hanya karena ada najis yang memasukinya
kecuali jika terjadi perubahan pada air tersebut meskipun sedikit. Maka air ini
tidak suci dan tidak mensucikan. Jika perubahan terjadi dengan hilangnya
perubahan karena najis maka air tersebut menjadi suci, jika perubahan
tersebut karena penambahan air suci lain. Namun jika karena hal lain
misalnya minyak kesturi, minyak, debu dan lain-lain maka air tersebut tetap
dalam keadaa tidak suci. Sedangkan air yang tidak mencapai dua qullah jika
kemasuka najis maka air itu dihukumi najis, meskipun air tersebut tidak
berubah sifatnya sama sekali. Ada beberapa pengecualian suatu air tidak
menjadi najis meskipun air tersebut kurang dari dua qullah. pengecualiannya
sebagai berikut:
32

1) Najis yang memasuki air tersebut adalah najis yang tidak dapat dilihat
dengan mata normal
2) Air tersebut kemasukan bangkai yang tidak memiliki darah mengalir
seperti lalat, nyamuk, semut, lebah, kutu binatang, kutu rambut,
kalajengking dan lain-lain. Kecuali jika bangkai tersebut mengubah air
tersebut, atau bangkai tersebut sengaja dilemparkan kedalam air. Jika
bangkai dilemparka dalam keadan hidup maka air tidak menjadi najis
meskipun pada akhirnya ia mati dalam air tersebut.
3) Jilatan kucing pada air menggenang atau pada air yang mengalir. Ini
dikarenakan kucing bukanlah hewan najis.
4) Asap dari barang najis dalam kadar yang sedikit.
5) Debu najis dari kotoran binatang. Debu kotoran tidak dapat menajiskan
anggota tubuh yang basah.

Jika najis padat yang masuk dalam air yang mencapai dua qullah,
maka menurut pendapat yang azhar, diperbolehkan bagi seseorang
mengambil air tersebut dari sisi mana saja, tidak wajib menghindari sisi yang
kena najis, karena keseluruhan air tersebut hukumnya suci. Jika air tersebut
merubah sifat air, maka menurut pendapat yang shohih yaitu:jika jumlah air
yang tersisa tidak berubah sifatnya namun air tersebut kurang dari dua qullah
maka hukum air itu adalah najis. Jika sia air tersebut tidak berubah dan
mencapai dua qullah atau lebih, maka air tersebut suci (Wahbah Az Zuhaili,
2010:91-92)

Dalam sumber lain ada yang disebutAir suci dan mensucikan tetapi haram
memakainya, yaitu air yang diperoleh dari ghasab (mencuri/mengmabil tanpa ijin)

Keterangan :
Dua kullah = 216 Liter. Jika berbentuk bak, maka besarnya = 60cm x 60cm x
60cm.
2. Tanah, boleh menyucikan jika tidak digunakan untuk sesuatu fardhu dan tidak
bercampur dengan sesuatu.
3. Debu, dapat digunakan untuk tayamum sebagai pengganti wudu atau mandi.
33

4. Batu bata, tisu atau benda atau benda yang dapat untuk menyerap bisa digunakan
untuk istinjak.

E. Macam-macam Thaharah
Thaharah terbagi menjadi dua bagian yaitu lahir dan batin. Thaharah lahir
adalah taharah / suci dari najis dan hadas yang dapat hilang dicuci dengan air mutlak
(suci menyucikan) dengan wudu, mandi, dan tayamun. Thaharah batin adalah
membersihkan jiwa dari pengaruh-pengaruh dosa dan maksiat, seperti dengki, iri,
penipu, sombong, ujub, dan ria.
1. Wudhu
a. Pengertian
Menurut bahasa, Wudhu artinya Bersih dan Indah. sedangkan menurut
istilah (syariah islam) artinya menggunakan air pada anggota badan tertentu
dengan cara tertentu yang dimulai dengan niat guna menghilangkan hadast kecil.
Wudhu merupakan salah satu syarat sahnya sholat (orang yang akan sholat,
diwajibkan berwudhu lebih dulu, tanpa wudhu shalatnya tidak sah.
b. Rukun wudhu
1) Niat
2) Membasuh muka (wajah)
3) Membasuh dua tangan sampai ke siku
4) Membasuh sebagian kepala
5) Membasuh dua kaki sampai mata kaki
6) Tertib
Pekerjaan sunnat dalam wudlu
 Membaca basmallah pada permulaan wudlu
 Mendahulukan yang kanan
 Mencuci tangan sampai pergelangan
 Berkumur kumur
 Menghirup air ke hidung
 Menyela nyela diantara jadi tangan dan kaki
 Menyela nyela jnaggut
 Mencuci dua kali dua kali atau tiga kali tiga kali
34

 Menggosok gigi
 Mengusap telinga
 Mengusap leher
 Dan membaca doa setelah wudlu
c. Hal-hal yang membatalkan wudhu :
1) Keluar sesuatu dari kedua pintu atau salah satunya (qubul/dubur)
2) Hilang akal
3) Bersentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan
4) Menyentuh kemaluaun atau pintu dubur dengan telapak tangan
(H. Sulaiman Rasjid, 2015:30-32)
2. Mandi Besar
a. Pengertian Mandi Besar
Menurut bahasa mandi besar yaitu al- ghasl atau al- ghusl (‫ الَغْسل‬-‫)الُغ ْسل‬
yang berarti mengalirnya air pada sesuatu. Menurut istilah yaitu meratakan air
pada seluruh badan dari ujung rambut sampai ujung jari kaki disertai dengan
niat sesuai dengan keperluannya, mungkin untuk menghilangkan hadats besar
atau mandi sunnah. Pengertian mandi besar adalah mandi untuk bersuci dari
hadats besar.
b. Rukun mandi besar
 Niat
 Menyiram air pada seluruh rambut dan kulit
c. Sunnah-sunnah yang dilakukan saat mandi besar :
 Membaca bismillah pada permulaan mandi
 Berwudhu sebelum mandi
 Menggosok-gosok seluruh badan dengan tangan
 Mendahulukan yang kanan dari pada yang kiri
 Berturut-turut
(H. Sulaiman Rasjid, 2015:37)
3. Tayamum
a. Pengertian Tayamum
Tayamum adalah pengganti wudhu yang seharusnya menggunakan air
bersih digantikan dengan menggunakan tanah atau debu yang bersih. Yang
35

boleh dijadikan alat tayamum adalah tanah suci yang ada debunya. Dilarang
bertayamum dengan tanah berlumpur, bernajis atau berbongkah.
Pasir halus, pecahan batu halus boleh dijadikan alat melakukan
tayamum. Orang yang melakukan tayamum lalu shalat, apabila air sudah
tersedia maka ia tidak wajib mengulang shalatnya. Namun untuk
menghilangkan hadas, harus tetap mengutamakan air daripada tayamum yang
wajib hukumnya bila sudah tersedia. Tayamum untuk hadast hanya bersifat
sementara dan darurat hingga air sudah ada.
Tayammum dilakukan oleh orang yang sakit (tidak boleh terkena air),
orang yang sedang dalam perjalanan (musafir), orang yang tidak
mendapatkan air untuk wudlu dan mandi setelah berhadats kecil atau hadats
besar.
Adapun dalilnya sebagai berikut:
‫َو ِإْن ُكْنُتْم َم ْر َض ى َأْو َع َلى َس َفٍر َأْو َج اَء َأَح ٌد ِم ْنُك ْم ِم َن اْلَغاِئِط َأْو اَل َم ْس ُتُم الِّنَس اَء َفَلْم َتِج ُدوا َم اًء َفَتَيَّمُم وا‬
‫َصِع يًدا َطِّيًبا َفاْمَس ُحوا ِبُو ُجوِهُك ْم َو َأْيِد يُك ْم ِإَّن َهَّللا َك اَن َع ُفًّو ا َغ ُفوًرا‬
”Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu
tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af
lagi Maha Pengampun.”(Qs.An-Nisa:43)
b. Tayamun diperbolehkan dengan syarat-syarat berikut :
 Tidak ada air
 Sakit yang tidak boleh kena air
 Telah masuk waktu shalat.
 Memakai debu yang bersih.
 Dalam perjalanan jauh.
 Jumlah air tidak mencukupi karena jumlahnya sedikit.
 Telah berusaha mencari air tapi tidak diketemukan.
 Air yang ada suhu atau kondisinya mengundang kemudharatan.
 Air yang ada hanya untuk minum.
 Air berada di tempat yang jauh yang dapat membuat telat shalat.
 Pada sumber air yang ada memiliki bahaya
36

c. Rukun-Rukun Tayammum :
 Niat dalam hati untuk bertayammum karena Allah.
 Mengusap muka dengan tanah/debu
 Mengusap kedua tangan sampai siku dengan tanah/debu.
Keterangannya ialah ayat diatas
 Menertibkan rukun-rukun
(H. Sulaiman Rasjid, 2015:40)
d. Yang Membatalkan tayammum :
 Semua perkara yang membatalkan wudhu’
 Mendapatkan air sebelum shalat (bagi yang boleh bertanyamum karena
ketiadaan air).

Selain itu, ada cara bersuci tersendiri untuk najis, diantaranya ;


a. Najis mukhafafah yaitu najis ringan, seperti kencing bayi laki-laki yang belum
berumur 2 tahun dan belum pernh makan sesuatu kecuali air susu ibunya ( Moh
Rifa’I, 2001: 14). Untuk membersihkan nya tidak dicuci melainkan hanya
diperciki air saja. Adapun kencing bayi perempuan dihukumi najis dan harus di
siram atau di cuci hingga baunya hilang. Dalam syarah Shahih Muslim, Imam
Nawawi mengatakan: Sesungguhnya memercikkan air pada kencing bayi sudah
memadai selama bayi tersebut semata-mata hanya menyusui pada ibunya.
Apabila bayi tersebut sudah memakan makanan tambahan untuk
mengenyangkan,maka wajib mencucinya tanpa adaperbedaan pendapat di
kalangan ulama. Bagi bayi yang sejak lahir disupai kurma tidaklah ada halangan
untuk memerciki kencingnya,sebab yang demikian itu tidaklah dianggap
memakan makanan tambahan selain air susu ibu.perbuatan menyuapi bayi
dengan kurma adalah sunnah nabi. Jika bayi memakan selain ASI seperti minum
obat atau madu,namun untuk tujuan tertentu,misalnya berobat maka, air
kencingnya tetap dipercikkan bukan di basuh atau di cuci (Maria Ulfa, 2000 :19).
b. Najis mutawasithah yaitu najis sedang. Yaitu najis selain dari bayi dan ajing serta
babi, seperti segala sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur manusia dan
binatang, kecuali air mani, barang cair dan memabukkan,susu hewan yang tidak
hala dagingnya untuk dimakan, bangkai, juga tulang dan bulunya,keculai bangkai
37

ikan dan belalang. Najis mutawasithah trbagi menjadi dua yaitu najis ‘ainiyah
yaitu najis yang dapat diketahui dengan indra atau berwujud. Yang kedua adlah
najis hukmiyah yaitu najis yang tidak Nampak, seperti bekas kencing atau arak
yang sudah kering. Menghilangkan najis ‘ainiyah hukumya wajib hingga rasa
warna dan bau najis tersebut hilang. Membersihkan najis hukmiyah cukup
dengan mengalirkan air di atas najis tersebut dengan satu siraman tanpa
disyaratkan niat.
c. Najis mugalladzah yaitu najis berat seperti anjing dan babi (Moh Rifa’I, 2001:
15). Jilatan dari kedua hewan ini harus dicuci sebanyak tujuh kali yang salah
satunya dicampur dengan tanah. Air liur anjing itu najis,jika ia menjilati sebuah
bejana maka bejana itu pun harus di cuci sebanyak tujuh kali yang salah satunya
dengan menggunakan tanah. Sebagaimana hadits nabi saw
‫قال الّنبي صّلى هللا عليه وسّلم طهور اناء احدكم اذا ولغ فيه الكلب ان يغسله سبع مّرات اوال هّن بالّترا‬
(‫)رواه مسلم‬

Artinya: “Nabi Muhammad saw bersabda: Sucinya tempat (perkakas) salah


seorang dari kamu apabila telah dijilat anjing, hendaklah mensuci benda tersebut
sampai tujuh kali, permulaan tujuh kali harus dengan tanah atau debu.” (HR
Muslim).

Dalam hal ini najis terletak pada mulut dan air liur anjing. Sedangkan bulunya
tidak najis jika dalam keadaan kering. Begitupun babi, keseluruhannya adalah
najis sebagaimana firman Allah SWT dalam QS.Al An’am:145 dan
QS.Almaidah:3. Akan tetapi ulama memperbolehkan menjahit dengan
menggunakan bulu babi (Muhammad Kamil Uwaidah, 1998:14-15).
F. Cara Thaharah Orang yang Sakit
1. Orang yang sakit wajib bersuci dengan air. Ia harus berwudhu jika berhadats
kecil dan mandi jika berhadats besar.
2. Jika tidak bisa bersuci dengan air karena ada halangan, atau takut sakitnya
bertambah, atau khawatir memperlama kesembuhan, maka ia boleh bertayamum.
3. Bila tidak mampu bersuci sendiri maka ia bisa diwudhukan, atau ditayamumkan
orang lain. Caranya hendaknya seseorang memukulkan tangannya ke tanah lalu
38

mengusapkannya ke wajah dan dua telapak tangan orang sakit. Begitu pula bila
tidak kuasa wudhu sendiri maka diwudhukan orang lain.
4. Jika pada sebagian anggota badan yang harus disucikan terluka, maka ia tetap
dibasuh dengan air. Jika hal itu membahayakan maka diusap sekali, caranya
tangannya dibasahi dengan air lalu diusapkan diatasnya. Jika mengusap luka
juga membahayakan maka ia bisa bertayamum.
5. Jika pada tubuhnya terdapat luka yang digips atau dibalut, maka mengusap
balutan tadi dengan air sebagai ganti dari membasuhnya.
6. Dibolehkan betayamum pada dinding, atau segala sesuatu yang suci dan
mengandung debu. Jika dindingnya berlapis sesuatu yang bukan dari bahan
tanah seperti cat misalnya,maka ia tidak boleh bertayamum padanya kecuali jika
cat itu mengandung debu.
7. Jika tidak mungkin bertayamum di atas tanah, atau dinding atau tempat lain yang
mengandung debu maka tidak mengapa menaruh tanah pada bejana atau sapu
tangan lalu bertayamum darinya.
8. Jika ia bertayamum untuk shalat lalu ia tetap suci sampai waktu shalat
berikutnya maka ia bisa shalat dengan tayamumnya tadi, tidak perlu mengulang
tayamum, karena ia masih suci dan tidak ada yang membatalkan kesuciannya.
9. Orang yang sakit harus membersihkan tubuhnya dari najis, jika tidak mungkin
maka ia shalat apa adanya, dan shalatnya sah tidak perlu mengulang lagi.
10. Orang yang sakit wajib shalat dengan pakaian suci. Jika pakaiannya terkena
najis ia harus mencucinya atau menggantinya dengan pakaian lain yang suci.
Jika hal itu tidak memungkinkan maka ia shalat seadanya, dan shalatnya sah
tidak perlu mengulang lagi.
11. Orang yang sakit harus shalat di atas tempat yang suci. Jika tempatnya terkena
najis maka harus dibersihkan atau diganti dengan tempat yang suci, atau
menghamparkan sesuatu yang suci di atas tempat najis tersebut. Namun bila
tidak memungkinkan maka ia shalat apa adanya dan shalatnya sah tidak perlu
mengulang lagi.
12. Orang yang sakit tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya karena ketidak
mampuannya untuk bersuci. Hendaknya ia bersuci semampunya kemudian
melakukan shalat tepat pada waktunya, meskipun pada tubuhnya, pakaiannya
39

atau tempatnya ada najis yang tidak mampu membersihkannya. (Almanhaj,


2018)

G. Fungsi Thaharah
Dalam kehidupan sehari-hari, thaharah memiliki fungsi yaitu :
1. Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal
Kebersihan tidak hanya terbatas pada jasmani dan rohani saja, tetapi juga
kebersihan mempunyai ruang lingkup yang luas. Di antaranya adalah kebersihan
lingkungan tempat tinggal kita bersama-sama ayah, ibu, kakak, adik, dan
sebagainya. Oleh karena itu, agar kita sehat dan betah tinggal di rumah, maka
kebersihan, kerapian, dan keindahan rumah harus dijaga dengan baik. Dengan
demikian, kebersihan lingkungan tempat tinggal yang bersih, rapi, dan nyaman
menggambarkan ciri pola hidup orang yang ber-iman kepada Allah SWT.
2. Menjaga kebersihan lingkungan sekolah
Sekolah adalah tempat kita menuntut ilmu, belajar, sekaligus tempat
bermain pada waktu istirahat. Sekolah yang bersih, rapi, dan nyaman sangat
mempengaruhi ketenangan dan kegairahan belajar. Oleh karena itu, para siswa
hendaknya menjaga kebersihan kelas, seperti dinding, lantai, meja, kursi, dan
hiasan yang ada.
Di samping membersihkan ruang kelas, yang tidak kalah pentingnya adalah
membersihkan lingkungan sekolah, karena kelancaran dan keberhasilan
pembelajaran ditunjang oleh kebersihan lingkungan sekolah, kenayamaan di
dalam kelas, tata ruang yang sesuai, keindahan taman sekolah, serta para
pendidik yang disiplin. Oleh karena itu, kita semua harus menjaga keber-sihan,
baik di rumah maupun di sekolah, agar kita betah serta terhindar dari berbagai
penyakit.
3. Menjaga kebersihan lingkungan tempat ibadah
Kita mengetahui bahwa tempat ibadah seperti masjid, mushalla, atau
langgar adalah tempat yang suci. Oleh karena itu, Islam mengajarkan untuk
merawatnya supaya orang yang melakukan ibadah mendapatkan ketenangan,
dan tidak terganggu dengan pemandangan yang kotor atau bau di sekelilingnya.
Umat Islam akan mendapatkan kekhusyuan dalam beribadah kalau tempatnya
40

terawat dengan baik, dan orang yang merawatnya akan mendapatkan pahala di
sisi Allah SWT.
Dengan demikian, kita akan terpanggil untuk selalu menjaga kebersihan ling
kungan tempat ibadah di sekitar kita. Apabila orang Islam sendiri menga-baikan
kebersihan, khususnya di tempat-tempat ibadah, ini berarti tingkat keimanan
mereka belum seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
4. Menjaga kebersihan lingkungan tempat umum
Menjaga dan memelihara kebersihan di tempat umum dalam ajaran Islam
memiliki nilai lebih besar daripada memelihara kebersihan di lingkungan tempat
tinggal sendiri, karena tempat umum dimanfaatkan oleh orang banyak.
(Djumroni, 2018)

H. Hikmah dan Manfaat Thaharah


Bersuci dari najis adalah sebagai cermin membersihkan kotoran dari badan,
pakaian. tempat, makanan dan lain sebagainya dengan menggunakan alat bersuci,
seperti : air, yang bisa dipakai untuk bersuci. Dengan demikian, maka segala
sesuatunya bersifat bersih dan suci, sehingga bisa diambil hikmahnya didalam
kehidupan setiap hari.
Adapun hikmah dan manfaat bersuci antara lain :
1. Untuk membersihkan badan, pakaian, dan tempat dari hadas dan najis ketika
hendak melaksanakan suatu ibadah.
2. Dengan bersih badan dan pakaiannya, seseorang tampak cerah dan enak dilihat
oleh orang lain
3. Menjadikan, diri manusia dan lingkungannya yang bersih dari segala kotoran
hingga menghindari dari segala penyakit.
4. Menjadikan sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana
disebutkan dalam Al- Qur’an surat Al- Baqoroh ayat : 222.
5. Bisa memperluas pergaulan dengan siapapun karena bersih itu sehat.
6. Mendidik manusia berakhlaq mulia dan menjadi cermin jiwa seseorang, sebab
dengan hidup bersih akan membiasakan diri, untuk berbuat yang terbaik dan
terujibersuci itu adalah sebagaian dark keirnanan seseorang, sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya.
41

7. Sebagai hamba Allah SWT. yang harus mengabdi kepada-Nya dalam bentuk
ibadah maka bersuci merupakan salah satu syarat sahnya sehingga menunjukkan
pembuktian awal ketundukannya kepada Allah SWT.
42

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Thaharah memiliki pengertian secara umum yaitu mengangkat penghalang (kotoran)
yang timbul dari hadas dan najis yang meliputi badan, pakaian, tempat, dan benda-benda
yang terbawa di badan. Taharah merupakan anak kunci dan syarat sah salat, dan
merupakan kunci ibadah kita kepada Allah. Selain itu juga dengan thaharah bisa membuat
hidup kita lebih nyaman karena kita akan selalu bersih. Hukum taharah ialah WAJIB di
atas tiap-tiap mukallaf lelaki dan perempuan.
Syarat wajib melakukan thaharah yang paling utama adalah beragama Islam dan
sudah akil baligh. Sarana yang digunakan untuk melakukan thaharah adalah air suci,
tanah, debu serta benda-benda lain yang diperbolehkan. Air digunakan untuk mandi dan
berwudhu, debu dan tanah digunakan untuk bertayamum jika tidak ditemukan air,
sedangkan benda lain seperti batu, kertas, tisu dapat digunakan untuk melakukan istinja’.
Wudhu’ adalah salah satu ibadah yang dilakukan dengan cara mencuci sebahagian
anggota tubuh dengan air dengan sarat dan rukun sebagai syarat sah sholat yang
dilaksanakan sebelum melaksanakan sholat dan ibadah yang lainnya. Mandi (al-ghusl)
adalah mencuci seluruh tubuh dengan menggunakan air yang disertai dengan rukun mandi.
Sedangkan tayammum adalah mengusapkan tanah ke sebagian anggota tubuh
(muka dan tangan) sebagai ganti wudhu’ yang dilakukan karena adanya uzur bagi orang
yang tidak dapat memakai air, yang mempunyai sarat dan rukun.
Thaharah memiliki fungsi utama yaitu membiasakan hidup bersih dan sehat
sebagaimana yang diperintahkan agama. Thaharah juga merupakan sarana untuk
berkomunikasi dengan Allah Swt. Manfaat thaharah dalam kehidupan sehari-hari yaitu
membersihkan badan, pakaian, dan tempat dari hadas dan najis ketika hendak
melaksanakan suatu ibadah. Hikmah dari thaharah yaitu menjadikan kita terhindar dari
penyakit dan lebih mendekatkan kita dengan Allah SWT.
43

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2010. Fiqh Ibadah.
Jakarta : Amzah.
Ahmad Mujab Mahalli. 2003. Hadits-Hadits Ahkam Riwayat Asy Syafi’i. Jakarta: PT. Al-
Imam
Ibnu Qudamah Al Maqdisi. 2012. Mukhtasar Minhajul Qasidin. Jakarta : Darul Haq.
H.Sulaiman Rasjid. 2015. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Al-gensindo.
Ahmad Reza. 2015. Buku Pintar Thaharah. Yogyakarta : Saufa
Hasbiyallah. 2014. Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Lahmuddin Nasution. 1998. Fiqh 1. Jakarta : Jaya Baru.
Maftuh Ahnan dan Maria Ulfa. 2000. Risalah Fikih Wanita. Surabaya : Terbit Terang.
Mohamad Rifa’i,. 2001. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang : PT.Karya Toha Putra.
Umar Abdul Jabbar. 1998. Mabadi al Fiqh. Surabaya. Raja Grafindo Persada.
Wahbah Az-Zuhaili. 2010. Fiqih Imam Syafi’I. Jakarta : Almahira.
Wahbah Az-Zuhaili. 2010. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Depok : Gema Insani.
Zakiyah Darajat.1995. Ilmu Fiqih. Jakarta : Dana Bakti Wakaf.
Abu Zahwa. Syubhat Seputar Thaharah : Tinta Medina
https://almanhaj.or.id/2205-tata-cara-bersuci-dan-shalat-bagi-orang-yang-sakit.html
https://abufurqan.wordpress.com/2011/11/20/pengertian-pembagian-urgensi-dan-syarat-
wajib-thaharah/
https://fiqihmtssrg.blogspot.co.id/2012/11/fungsi-thaharah-dalam-kehidupan.htm
44

Anda mungkin juga menyukai