Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HUKUM PENITENSIER

SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA : KEBIJAKAN


HUKUM PIDANA KURUNGAN SEBAGAI PENGGANTI DENDA

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Syaifullah Yophi A, SH., MH

DISUSUN OLEH:
INDIRA CHAIRINA (2209124323)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
RIAU 2024

17
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah resume jurnal yang berjudul “Sistem Pemidanaan Di Indonesia :
Kebijakan Hukum Pidana Kurungan Sebagai Pengganti Denda”.
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya,
tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak,
terutama kepada Ibu Rahma Yulian, selaku dosen pembimbing mata kuliah yang
telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pengerjaan makalah ini.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik


dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena
itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah ini. Kami berharap semoga makalah yang kami susun
ini memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Riau, 25 Maret 2024

Penulis

ii 18
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii


18
DAFTAR ISI ............................................................................................................
.. iii
19
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................5
1.3 Tujuan....................................................................................................................................6
BAB II.............................................................................................................................................7
PEMBAHASAN..............................................................................................................................7
2.1 Sistem Pemidanaan di Indonesia Saat Ini..............................................................................7
2.1 Sistem Pemidanaan Terkait Pidana Denda Digantikan Pidana Kurungan..........................10
BAB III..........................................................................................................................................15
KESIMPULAN..............................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................16

iii
19
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup
manusia yang memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan
ketentraman hidup bagi masyarakat. Oleh karena itulah, hukum mengenal
adanya adagium ibi societes ibi ius. Adagium ini muncul karena hukum
ada karena adanya masyarakat dan hubungan antar individu dalam
bermasyarakat. Hubungan antar individu dalam bermasyarakat merupakan
suatu hal yang hakiki sesuai kodrat manusia yang tidak dapat hidup
sendiri karena manusia adalah makhluk polis, makhluk yang
bermasyarakat (zoon politicon).1
Semua hubungan tersebut diatur oleh hukum, semuanya adalah
hubungan hukum (rechtsbetrekkingen).2 Maka untuk itulah dalam
mengatur hubungan - hubungan hukum pada masyarakat diadakan suatu
kodifikasi hukum yang mempunyai tujuan luhur yaitu menciptakan
kepastian hukum dan mempertahankan nilai keadilan dari subtansi hukum
tersebut. Sekalipun telah terkodifikasi, hukum tidaklah dapat statis karena
hukum harus terus menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang
berkaitan dengan hukum publik karena bersentuhan langsung dengan
hajat hidup orang banyak dan berlaku secara umum.
1

1
Darji Darmodiharjo & Shidarta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hlm. 73.
2
L.J. van Apeldoorn, 2000, Pengantar Ilmu hukum, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 6.

1
Oleh karena persoalan hukum pidana yang dikupas atau dibahas
dalam hukum penitensier adalah menyangkut masalah pidana dan
pemidanaan, maka hukum penitensier itu sendiri dalam arti sempit dapat
2
diartikan sebagai segala peraturan-peraturan positif mengenai sistem
pidana (strafstelsel). Sedangkan dalam arti luas, hukum penitensier dapat
diartikan sebagai bagian hukum pidana yang menentukan dan memberi
aturan tentang sanksi (sistem sanksi) dalam hukum pidana, yang meliputi
baik strafstelsel maupun maatregelstelsel (sistem tindakan) serta
kebijaksanaan.3 Jadi dalam usaha untuk mempertahankan dan
menyelenggarakan ketertiban, serta melindunginya dari pelanggaran-
pelanggaran terhadap berbagai kepentingan hukum, maka negara diberi
hak dan kekuasaan untuk menjatuhkan pidana serta hak dan kekuasaan
untuk menjatuhkan tindakan dan kebijaksanaan.
Hukum pidana di negara kita selain mengenal pidana perampasan
kemerdekaan juga mengenal pidana yang berupa pembayaran sejumlah
uang. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana
denda. Kedua pidana pokok tersebut menurut sistem yang dianut Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dapat dijatuhkan
sekaligus, tetapi bersifat alternatif yaitu harus dipilih salah satu antara
pidana perampasan kemerdekaan atau pidana denda, tidak boleh kedua-
duanya dijatuhkan secara kumulatif atau bersama-sama.
KUHP tidak mengenal perumusan sanksi pidana secara kumulatif
yaitu perumusan ancaman pidana dengan redaksional kata hubung dan.
Lamintang sebagaimana dikutip oleh Mulyadi (2008: 299) menyatakan
bahwa ketentuan stelsel pemidanaan KUHP tidak mengenal kumulasi dari

3
Muladi dan Barda Nawawi Arief , Teori-teori dan kebijakan pidana, Alumni, Bandung, Hlm.1

2
pidana pokok yang diancamkan bagi suatu tindak pidana tertentu
khususnya pidana penjara dengan pidana denda atau pidana kurungan
dengan pidana denda. Hal ini merupakan prinsip dasar pidana pokok dan
hanya berlaku bagi tindak pidana umum yang bersumber pada KUHP.
Pertimbangan pembentuk undang-undang mengenai prinsip dasar
pidana pokok tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Memorie van
Toelichting (MvT) WvS Belanda adalah bahwa menjatuhkan dua jenis
pidana pokok secara bersamaan tidak dapat dibenarkan karena pidana
perampasan kemerdekaan itu mempunyai sifat dan tujuan yang berbeda
dengan jenis pidana denda (Lamintang, 1984: 47).
Seorang pelaku disamping dihukum pidana penjara dapat pula
sekaligus dihukum pidana denda yang jumlahnya dapat mencapai
milyaran rupiah. Terlebih bagi kejahatan-kejahatan di luar KUHP yang
dari segi akibatnya sangat membahayakan bangsa dan negara. Sejumlah
kejahatan antara lain seperti di bidang korupsi, penyelundupan,
perbankan, pajak, asuransi narkotika, psikotropika, dapat mengakibatkan
runtuhnya negara dari dalam.
Fakta menunjukkan bahwa sudah demikian banyak pidana denda
yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan baik berdasarkan KUHP
maupun perundang-undangan di luar KUHP, akan tetapi hasilnya masih
jauh dari yang diharapkan. Padahal jika pidana denda itu dapat
dilaksanakan dengan baik, niscaya jika hasilnya dikumpulkan, dapat
memberikan banyak pemasukan bagi negara dan hal tersebut sangat
disayangkan, meskipun hal itu hanya merupakan tujuan sekunder dari
penjatuhan putusan pidana denda.
Pasal 10 KUHP menyatakan bahwa pidana terdiri atas pidana
pokok yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana
denda, serta
3
pidana tambahan yaitu : pencabutan beberapa hak yang tertentu,
perampasan barang yang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Berdasarkan hal tersebut maka pidana denda merupakan salah satu pidana
pokok dan hal ini termuat dalam pasal 10 KUHP tersebut.
Pembaruan hukum pidana dalam rangka penyempurnaan sistem
pemidanaan masih terus dilakukan. Dari sekian banyak hal yang akan
diperbarui, satu hal penting dalam sistem pemidanaan yang juga krusial
disediakan dalam pembaruan hukum pidana Indonesia adalah sistem
pemidanaan struktural. Ini merupakan hal yang sebetulnya patut
dimasukkan dalam konsep pembaruan hukum pidana. Menurut Barda
Nawawi Arief, hukum pidana seharusnya tidak hanya berfungsi
fragmenter, tapi harus totalitas dan struktural. Selama ini hukum pidana
Indonesia yang merupakan turunan langsung dari Weetboek van
Straftrecht (WvS) Belanda masih memberlakukan hukum pidana secara
individual, padahal model ini sudah mulai dianggap tidak proporsional
lagi.
Fakta menunjukkan bahwa telah banyak putusan pidana denda yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Bantul terhadap pelaku kejahatan baik
berdasarkan KUHP maupun perundang-undangan di luar KUHP, akan
tetapi hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Hal tersebut dikarenakan
para terpidana lebih cenderung memilih untuk menjalani pidana kurungan
pengganti karena adanya pilihan hukum tersebut. Akibat adanya pilihan
hukum yang demikian itu, banyak terpidana yang dijatuhi pidana denda,
lebih cenderung memilih menjalani pidana kurungan. Mereka cenderung
berpikir bahwa lebih enak menjalani pidana kurungan beberapa bulan dari
pada harus mengeluarkan uang dalam jumlah banyak terlebih dalam
kondisi ekonomi seperti ini. Para terpidana merasa seolah-olah pidana
denda itu sudah dibayar lunas dengan menjalani pidana kurungan tersebut.
4
1.2 Rumusan Masalah
Hukum Acara Pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 ternyata tidak mengenal upaya paksa terhadap terpidana yang
dihukum untuk membayar sejumlah uang. KUHAP hanya mengenal
penyitaan yang dilakukan di dalam tingkat penyidikan, tetapi tidak
mengenal sita eksekusi yang dilakukan dalam rangka melaksanakan
putusan pengadilan. Penyitaan yang dilakukan oleh penyidik, tujuannya
untuk menyita barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana, dan
barang sitaan ini bermanfaat untuk kepentingan pembuktian di
pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, KUHAP pada Bab XIX
tentang Pelaksanaan Putusan Pengadilan mengatur tentang eksekusi
pidana denda yang menentukan mengenai batas waktu pelunasan
pembayaran saja, sebagaimana ditetapkan Pasal 273 KUHAP sebagai
berikut:
1. Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana
diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut,
kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika
dilunasi.
2. Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut
pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
Ketentuan Pasal 273 KUHAP di atas terlihat jelas hanya mengatur
batas waktu eksekusi pidana denda saja, dan tidak mengatur lebih lanjut
mengenai apa upaya paksanya agar terpidana dapat membayar denda yang
dijatuhkan oleh hakim. Terpidana yang tidak dapat atau tidak bersedia
membayar denda tidak dapat dipaksa oleh Kejaksaan selaku pelaksana
putusan pengadilan, walaupun misalnya terpidana mempunyai harta

5
kekayaan yang mencukupi atau melebihi nilai pidana denda, namun

6
Kejaksaan tetap tidak dapat berbuat apa-apa terhadap harta terpidana.
Adapun yang sering terjadi dalam praktek, petugas Kejaksaan hanya
menanyakan pembayaran denda kepada terpidana, kemudian jika tidak
dibayar terpidana dieksekusi pidana kurungannya.
Ketentuan dalam KUHAP tersebut sesungguhnya merupakan
sebuah kekurangan dalam Hukum Acara Pidana terutama yang
menyangkut eksekusi pidana denda. Guna mengatasi kelemahan tersebut
di atas maka peraturannya harus dirubah, agar perubahannya dapat
mencapai tujuannya, maka yang pertama harus dipikirkan adalah upaya
untuk melaksanakan pidana denda secara nyata. Diperlukan adanya upaya
yang dapat memaksa agar terpidana dapat membayar denda, meskipun hal
itu bukan pekerjaan yang mudah.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem pemidanaan di Indonesia saat ini ?
2. Bagaimana sistem pemidanaan terkait pidana denda diganti dengan
pidana kurungan ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sistem pemidanaan di Indonesia saat ini
2. Untuk mengetahui sistem pemidanaan terkait pidana denda diganti
dengan pidana kurungan.

7
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sistem Pemidanaan di Indonesia Saat Ini


Andi Hamzah (1986) memberikan arti sistem pidana dan
pemidanaan sebagai susunan (pidana) dan cara pemidanan. M.
Sholehuddin menyatakan, bahwa masalah sanksi merupakan hal yang
sentral dalam hukum pidana karena seringkali menggambarkan nilai-nilai
sosial budaya suatu bangsa. Artinya pidana mengandung tata nilai (value)
dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan yang tidak baik, apa
yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa
yang dilarang.
Sistem merupakan jalinan dari beberapa unsur yang menjadi satu
fungsi. Sistem pemidanaan memegang posisi strategis dalam upaya untuk
menanggulangi tindak pidana yang terjadi. Sistem pemidanaan adalah
suatu aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana
dan pemidanaan. Apabila pengertian sistem pemidanaan diartikan secara
luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim,
maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup
keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana
hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret
sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.
Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum
pidana subtantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana
dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. Dengan demikian
dapatlah dikatakan bahwa pemidanaan tidak dapat terlepas dari jenis-jenis
pidana yang diatur dalam hukum positif suatu negara. Pemidanaan yang

8
dilakukan oleh suatu masyarakat yang teratur terhadap pelaku kejahatan
dapat berbentuk menyingkirkan atau melumpuhkan para pelaku tindak
pidana, sehingga pelaku tersebut tidak lagi menggangu di masa yang akan
datang.
Prof, van Hammel mengartikan pidana (straf) menurut hukum
positif sebagai suatu penderitaan yang bersifat khusus. Penderitaan
tersebut menurut van Hammel dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang
untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penangung jawab
ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, penderitaan itu
dikenakan semata- mata karena orang tersebut telah melanggar suatu
peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.
Hakim memang harus mempertimbangkan tuntutan penuntut umum,
namun ia sama sekali tidak terikat dengan tuntutan itu. Tidak jarang kita
temui dalam kasus-kasus konkrit hakim menjatuhkan pidana jauh lebih
rendah atau lebih tinggi dari apa yang dituntut oleh penuntut umum.
Namun tidak jarang pula hakim sepakat atau konform dengan tuntutan
penuntut umum. Orang tidak dapat dikenakan sanksi berupa pidana di luar
apa yang telah ditentukan di dalam Undang-undang. Oleh karena itu dalam
hal penjatuhan pidana, hakim terikat pada jenis-jenis sanksi pidana yang
telah ditetapkan dalam undang-undang. Ini sudah merupakan pendirian
dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang secara tegas
menentukan, bahwa perbuatan menambah jenis-jenis pidana yang telah
ditentukan dalam Pasal 10 KUHP dengan lain-lain jenis pidana adalah
terlarang.
Hukum pidana Indonesia menentukan jenis-jenis sanksi pidana atas
pidana pokok dan pidana tambahan. Hal tersebut secara tegas dirumuskan
di dalam Pasal 10 KUHP yang berbunyi:
Pidana terdiri atas:
9
1. Pidana Pokok:
a) Pidana mati
b) Pidana penjara
c) Pidana kurungan
d) Pidana denda
e) Pidana Tambahan
f) Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman putusan hakim.
Kemudian, pada tahun 1916 dengan Undang-undang Nomor 20
tahun 1946, Hukum pidana Indonesia mengenal suatu jenis pidana
pokok yang baru, yaitu apa yang disebut pidana tutupan. Pidana
penutupan ini pada hakikatnya adalah pidana penjara. Namun dalam
mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan
penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka
hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Inilah semua jenis pidana
yang ada di dalam KUHP sekarang.
Sebagaimana telah dijelaskan aebelumnya, bahwa pidana mati
masih tercantum didalam K.U.H.Pidana. Pada setiap delik yang
diancam dengan pidana mati selalu tercantum alternatif pidana seumur
hidup atau pidana penjara sementara dua puluh tahun, jadi hakim dapat
memilih antara tiga kemungkinan tersebut melihat bentuk delik itu,
maka pidana mati hanya dijatuhkan terhadap delik yang benar dianggap
berat saja, dalam hal pidana mati yang dijatuhkan terpidana dapat
mengajukan grasi kepada Presiden, apabila terpidana tidak memohon
grasi kepada Presiden berarti Presiden menyetujui eksekusi pidana mati
tersebut.

1
Dengan demikian, bahwa sistem pemidanaan yang tercantum
dalam K.U.H Pidana mengenal dua macam sistem yaitu, sistem
pemidanaan alternatif dan sistem pemidanaan tunggal. Alternatif
artinya bahwa hakim dalam memutuskan perkara boleh memilah dalam
menjatuhkan putusannya, sedangkan sistem pemidanaan tunggal
diartikan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusannya harus sesuai
dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal tersebut.
Penjatuhan pidana mati menurut pemidanaan dalam K.U.H
Pidana, selalu dialternatifkan dengan jenis pidana lainnya yaitu pidana
penjara, baik pidana penjara seumur hidup maupun pidana penjara
selama-lamanya 20 tahun (pidana penjara sementara waktu 20 tahun),
hal ini dapat dilihat dalam perumusan Pasal 340 K.U.H Pidana tentang
pembunuhan berencana. Sistem pemidanaan yang bersifat tunggal
sebagaimana di anut K.U.H Pidana dapat dilihat dalam pasal 489 ayat
(1) Buku ke III K.U.H Pidana tentang pelanggaran terhadap keamanan
umum bagi orang dan barang.

2.1 Sistem Pemidanaan Terkait Pidana Denda Digantikan Pidana Kurungan


Pidana denda menurut Pasal 30 KUHP, minimum pidana denda
adalah Rp.25,- (dua puluh lima rupiah), namun maksimumnya tidak
ditentukan secara umum tetapi ditentukan dalam pasal-pasal dari
tindak pidana yang bersangkutan. Pidana denda itu dapat dijumpai di
dalam Buku ke-I dan Buku ke-II KUHP, yang telah diancamkan baik
bagi kejahatan-kejahatan maupun pelanggaran-pelanggaran. Pidana
denda tersebut telah diancamkan di dalam KUHP, baik sebagai satu-
satunya pidana pokok, maupun secara alternatif, baik dengan pidana
penjara saja maupun dengan pidana kurungan saja ataupun secara

1
alternatif dengan kedua jenis pidana-pidana pokok tersebut secara
bersama-sama (BPHN, 2010:19).
Pidana kurungan seperti halnya pidana penjara, merupakan
bentuk dari pidana perampasan kemerdekaan bagi terpidana. Di mana
terpidana dipisahkan dari pergaulan hidup masyarakat dengan
menempatkannya di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dalam
waktu tertentu. Pidana kurungan itu minimal satu hari dan maksimal
satu tahun; dan dalam hal gabungan kejahatan, residive (pengulangan
kejahatan); ketentuan yang terdapat dalam Pasal 52 dan 52a, pidana
kurungan menjadi satu tahun empat bulan sesuai dengan yang tertera
dalam Pasal 18 ayat (2) KUHP.
Orang-orang yang menjalankan pidana kurungan memiliki
beberapa keistimewaan kemudahan di dalam lembaga pemasyarakatan
dibandingkan orang-orang yang menjalankan pidana penjara.
Sementara pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda itu tidak
dengan sendirinya harus dijalankan apabila terpidana tidak membayar
uang dendanya, yaitu apabila hakim dalam putusannya hanya
mengenakan pidana denda saja tanpa menyebutkan bahwa terpidana
harus menjalankan pidana kurungan sebagai pengganti dari pidana
denda yang telah dikenakan, dalam hal terpidana tidak membayar
uang denda yang bersangkutan. Agar seseorang terpidana yang telah
dijatuhi pidana denda kemudian dapat diwajibkan untuk menjalankan
pidana kurungan, dalam hal ia telah tidak membayar uang denda yang
telah ditetapkan oleh hakim, maka di dalam putusan hakim itu secara
tegas harus diputuskan tentang besarnya uang denda yang harus
dibayar oleh terpidana, dan tentang lamanya pidana kurungan
pengganti pidana denda yang harus dijalankan oleh terpidana, yakni
dalam hal ia telah
1
tidak membayar lunas uang denda yang bersangkutan (Lamintang,
2010:11).
Ketentuan mengenai penggantian denda pada UU SPPA
tersebut tentu berbeda dengan Pasal 30 KUHP, di mana pada Pasal 30
KUHP disebutkan bahwa jika denda tidak dibayar maka diganti
dengan kurungan. Apabila pada UU SPPA terdapat ketentuan yang
bertentangan dengan ketentuan KUHP, maka berdasarkan asas hukum
preferensi yakni lex specialis derogat legi generalis, jadi sejak
berlakunya UU SPPA yang seharusnya diberlakukan adalah ketentuan
pada UU SPPA karena merupakan lex specialis atas KUHP yang
merupakan lex generalis.
Berdasarkan fakta hukum di persidangan, laporan penelitian
kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan, dan hal-hal yang
memberatkan dan meringankan dari perbuatan anak, sifat perbuatan
anak masih dapat dibina menjadi lebih baik. Maka hakim memberikan
pidana pada YT dengan dipidana penjara dalam LPKA. YT
merupakan seorang anak yang masih berusia 16 (enam belas) tahun
saat ia melakukan tindak pidana pencabulan tersebut. Pidana denda
pada UU SPPA yang diatur hanyalah apabila dalam hukum materiel
diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, maka pidana
denda diganti dengan pelatihan kerja. Putusan Nomor 29/Pid.Sus-
Anak/2017/PN.Trg tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang
terdapat pada Pasal 71 ayat
(3) UU SPPA, di mana hakim seharusnya mengenakan pidana
pelatihan kerja untuk menggantikan pidana denda. Bahwa berdasarkan
ketentuan sanksi yang diatur pada Pasal 71 ayat (3) UU SPPA,
berkaitan dengan pidana yang dikenakan pada tindak pidana dengan
ancaman yakni pidana kumulatif berupa penjara dan denda, di mana
1
denda hanya dapat digantikan dengan pelatihan kerja, akan tetapi
hakim justru mengenakan pidana kurungan untuk menggantikan denda
terdakwa.
Bentuk konkret dari penyimpangan terhadap pasal-pasal
mengenai penjatuhan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan
tindak pidana dan tidak berkesesuaian dengan ketentuan yang terdapat
pada UU SPPA, terdapat dalam Diktum Putusan Nomor 29/Pid.Sus-
Anak/2017/PN.Trg atas nama terdakwa YT yang diperiksa, diadili,
dan diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Tenggarong. Pada putusan
perkara anak tersebut selain hakim mengenakan pidana penjara, hakim
juga mengenakan pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda
terhadap terdakwa yang masih berusia 16 (enam belas) tahun.
Penjatuhan pidana penjara dan pidana kurungan untuk
menggantikan pidana denda pada Putusan Nomor 29/Pid.Sus-
Anak/2017/PN.Trg tidak sesuai dengan Pasal 64 huruf g UU PA yang
mengatur bahwa perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum dilakukan melalui penghindaran dari penangkapan, penahanan
atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang
paling singkat.
Pidana denda pada UU SPPA yang diatur hanyalah apabila
dalam hukum materiel diancam pidana kumulatif berupa penjara dan
denda, maka pidana denda diganti dengan pelatihan kerja dan bukan
pidana kurungan. Pelatihan kerja adalah pidana yag dikenakan paling
singkat 3 (tiga) bulan hingga 1 (satu) tahun di lembaga penyelenggara
pelatihan kerja yang sesuai usia anak. Penjelasan Pasal 78 ayat (1) UU
SPPA, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “lembaga yang
melaksanakan pelatihan kerja” antara lain balailatihan kerja, lembaga

1
pendidikan vokasi yang dilaksanakan. Misalnya, oleh kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan, pendidikan atau sosial.
Ketentuan sanksi yang diatur pada Pasal 71 ayat (3) UU SPPA
berkaitan dengan pidana yang dikenakan pada tindak pidana dengan
ancaman pidana kumulatif berupa penjara dan denda, dan pidana
denda hanya dapat digantikan dengan pelatihan kerja. Akan tetapi
putusan hakim justru mengenakan berdasarkan Pasal 30 KUHP, hal
ini menandakan bahwa asas kepastian hukum untuk mendasarkan
pada UU SPPA tidak terpenuhi.

1
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan tesebut maka dapat disimpulkan sebagai


berikut:
Putusan hakim ini dinyatakan tidak tepat sebab tidak mendasarkan pada
ketentuan sanksi yang diatur pada Pasal 71 ayat (3) UU SPPA. Berarti asas
kepastian hukum tidak terpenuhi. Saat ada pilihan pidana kurungan itu
menunjukkan adanya asas primum remidium dan tidak memenuhi asas
subsidiaritas. Kemudian asas kesamaan tidak terpenuhi saat pidana kurungan
lebih kompleks dan menambah beban tambahan dan berkebalikan dengan
pelatitan kerja.
Putusan hakim ini tidak tepat jika disesuaikan dengan asas pemidanaan
terdakwa, sebab tidak mempertimbangkan asas perlindungan, asas keadilan,
asas non-diskriminasi, asas kelangsungan hidup terdakwa, asas pembinaan
dan pembimbingan, asas proporsional, asas perampasan kemerdekaan dan
pemidanaan sebagai upaya terakhir, asas penghindaran pembalasan, serta asas
kepentingan terbaik dalam menangani perkara tindak pidana. Begitu juga
dengan tujuan pemidanaan putusan ini menunjukkan penjatuhan pidana
dengan pembalasan daripada perbaikan, dan orientasi pada tujuan pemidanaan
lebih dikedepankan daripada sanksi pidana itu sendiri. Jadi dengan berbagai
alasan tersebut membuktikan bahwa pelatihan kerja lebih tepat dikenakan
daripada pidana kurungan.

1
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia: dari rettribusi ke reformasii.
Jakarta: Pradnya Paramita, 1986,

Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia; Edisi Kedua, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010.

L.J. van Apeldoorn, pengantar Ilmu hukum, Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, 2000

Muladi, Pidana dan Pemidanaan dalam Muladi Dan Barda Nawawi Arief , Teori-teori dan
kebijakan pidana, Bandung: Alumni

Anda mungkin juga menyukai