Anda di halaman 1dari 11

Model Alternatif Dari Winland dan Pittman Untuk Penilaian

Reservoir Karbonat di Indonesia

Heru Atmoko, Agus Priyantoro, Agus Sudaryanto dan Herry Suhartomo


(PPPTMGB “LEMIGAS)

Abstrak
Dalam batuan karbonat besaran kualitas reservoir dipengaruhi oleh lingkungan pengendapan
dan proses diagenasa oleh kerena itu studi yang lebih detail perlu dilakukan untuk mengetahui
property batuan dalam skala besar dari lingkungan pengendapan dan skala yang lebih kecil lagi dari
data petrografi untuk mengetahui kuantifikasi dari sisi kapsitas aliran dan kapasitas penyimpanannya
(hydraulic rock typing).
Metoda Winland atau Pittman untuk mengetahui kapasitas aliran dan penyimpanan suatu
batuan (hydraulic rock typing) dirasa belum tepat jika diterapkan ke reservoir-reservoir karbonat di
Indonesia dikarenakan mereka membuat hubungan empiris berdasarkan batuan karbonat dan klastik
dari luar Indonesia.
Alternatif yang dilakukan dalam studi ini adalah membuat atau membangun model yang sama
dengan apa yang dilakukan oleh Winland dan Pittman akan tetapi menggunakan percontoh batuan
reservoir batuan karbonat (data mercury capillary pressure/MICP) yang berasal dari Jawa barat,
Sumatera Selatan dan Sulawesi.
Studi menghasilkan bahwa ukuran leher pori yang diwakili oleh saturasi merkuri 32% (R32)
dalam batuan karbonat merupakan cerminan kualitas batuan diamana fluida masih bisa mengalir.
Dari persamaan R32 yang dihasilkan kemudian dicoba untuk diaplikasikan pada suatu
lapangan di Sumatera Selatan untuk memvalidasi persamaan tersebut.

1. Pendahuluan
Dewasa ini lebih dari 50% kandungan hidrokarbon ditempat terdapat pada batuan karbonat
dan dalam batuan karbonat tersebut lebih dari 60% nya hidrokarbon masih tertinggal didalamnya
setelah melalui tahapan pengurasan pertama (primary recovery). Potensi masih banyaknya
hidrokarbon dalam batuan karbonat tentunya harus disertai pemahaman yang baik tentang batuan
karbonat tersebut.
Lingkungan pengendapan dan proses diagenesa merupakan faktor utama yang berpengaruh
terhadap kualitas reservoirnya terutama besaran porositas dan permeabilitas. Besaran permeabilitas
sangat tergantung dari pori-pori yang saling terkoneksi oleh leher pori (pore throat). Setiap ukuran
pori akan mempunyai hubungan dengan ukuran lehernya (throat size). Beberapa metoda telah
dikembangkan untuk mengetahui hubungan empiris antara porositas, permeabilitas dan ukuran leher
pori (pore throat size) salah satunya oleh H.D Winland dari Amoco Oil Company (1980). Winland
menguji 312 sample (terdiri dari batuan karbonat dan batupasir) dari lapangan Spindle, Colorado. Dia
melakukan analisa regresi multiple pada saturasi merkuri 30%, 40% dan 50%. Hasilnya adalah dia
menemukan bahwa sistem pori yang efektif yang mendominasi aliran dalam batuan sesuai atau sama
dengan kondisi saturasi merkuri 35%. Selanjutnya Pittman (1992) menguji metoda Winland pada
sample-sample yang telah dikoreksi untuk gas slippage pada batupasir klastik. Pittman melakukan
perbaikan dari metoda Winland dengan mengembangkan sebuah teknik agar lebih akurat dalam
menentukan cara bukaan pori (pore aperture).
Hubungan empiris yang telah ada (Winland atau Pittman) seringkali masih kurang sesuai jika
diterapkan pada reservoir-reservoir karbonat di indonesia. Oleh kerena itu data tekanan kapiler dari
merkuri (MICP) yang berasal dari Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sulawesi digunakan untuk
dibuatkan alternatif model atau hubungan antara permeabilitas, porositas dan ukuran leher pori yang
sama yang dilakukan oleh Winland dan Pittman.

2. Teori dan Metodologi


Tekanan kapiler adalah perbedaan tekanan sepanjang interface antara dua fluida yang tidak
bisa tercampur (immiscible fluid) dan didefinisikan sebagai :

𝑃𝑐 = 𝑃𝑛𝑜𝑛−𝑤𝑒𝑡𝑡𝑖𝑛𝑔 − 𝑃𝑤𝑒𝑡𝑡𝑖𝑛𝑔 𝑝ℎ𝑎𝑠𝑒 ................................. (1)

Pada sistem minyak-air, air merupakan fasa yang membasahi sedangkan untuk sistem gas-
minyak, minyak merupakan fasa yang membasahi. Merkuri yang merupakan fluida yang tidak
membasahi (non-wetting) pada pengukuran MICP ini diinjeksikan dengan tekanan kedalam sample
batuan. Fase saturasi fluida yang tidak membasahi (non wtting saturation phase) ditentukan oleh
volume dari merkuri kedalam sample batuan pada variasi tekanan. Dalam penginjeksian atau
pembuatan kurva drainage, merkuri diinjeksi sampai volume pori tidak tersaturasi seminimum
mungkin (Gambar-1, kurva1). Volume tersebut lebih kurangnya mencerminkan saturasi air sisa di
batuan reservoir. Untuk mendapatkan kurva imbibisi, tekanan yang diaplikasikan di lepas sampai
kondisi tekanan ruangan tercapai (Gambar-1, kurva2). Kurva imbibisi mewakili sejumlah merkuri yang
masih tersisa dalam sample batuan (residual saturation).
Radius leher pori batuan (pore throat radii) pada pengukuran MICP dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut ini :

𝑃𝑐 = 2𝛾𝑐𝑜𝑠𝜃/𝑟 .................................................................(2)

Dimana :

γ = tegangan muka
θ = sudut kontak fluida
r = radius efektif

Beberapa penulis (contoh: Pittman, 1992) mencatat pentingnya tekanan kapiler untuk
memperkirakan harga permeabilitas ketika menggunakan persamaan Winland atau yang sejenis
dimana porositas, permeabilitas dan tekanan kapiler diikut sertakan. Ukuran leher pori bisa
mengindikasikan kualitas reservoir. Tantangannya adalah untuk identifikasi pada kondisi saturasi
non-wetting yang bagaimana yang mempunyai hubungan dengan ukuran leher pori.
Tekanan kapiler yang mengindikasikan ukuran leher pori yang mempunyai relevansinya
dengan permeabilitas dari beberapa penulis (Winland, 1980 ; Swanson, 1981; Katz and Thompson,
1986) menggunakan bagian yang datar/lurus dari kurva tekanan kapiler (Gambar-2) untuk membuat
hubungan matematika antara dimensi batuan atau parameter ukuran leher pori dan permeabilitas.
Karena definisi ukuran leher pori ditempatkan pada bagian yang datar, maka tekanan kapiler adalah
hampir sama. Sebagai konsekuensinya, ukuran leher pori pada saturasi air yang sesuai adalah
hampir sama.
Metoda lainnya adalah menggunakan seksi vertikal/oblique pada tekanan kapiler (Timur,
1968; Granberry and Keelan, 1977; Purcell, 1949) seperti yang diilustrasikan pada Gambar-2. Para
penulis tersebut mempertimbangkan titik yang paling terpercaya (reliable) untuk mengukur ukuran
leher pori adalah pada kondisi saturasi air sisa.
R35 dari Winland dalam hal ini sangat berbeda apa yang dipaparkan oleh Timur dan penulis
lainnya yang memperkirakan ukuran leher pori dari kondisi saturasi air sisa dikarenakan ukuran leher
pori yang dihutung oleh Winland pada saturasi non-wetting 35% (Haro, 2004).
Metoda yang sering digunakan oleh komunitas geoscience untuk menilai kualitas reservoir
dengan dasar ukuran leher pori adalah yang dari Winland. Metoda ini menghubungkan porositas,
permeabilitas dan ukuran leher pori pada 35% fasa saturasi non-wetting.
Metoda R35 Winland
H.D Winland dari Amoco menggunakan tekanan kapiler dari merkuri (MICP) untuk
membangun hubungan empiris antara porositas, permeabilitas dan ukuran leher pori pada batuan
reservoir di lapangan Spindle, Colorado. Winland menguji 312 sample yang mempunyai perbedaan
water-wet untuk mengevaluasi potensi sealing. Percobaan dari Winland memperlihatkan bahwa
sistem pori yang efektif yang mendominasi aliran dalam batuan sesuai atau sama dengan kondisi
saturasi merkuri 35%. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut mengapa pada kondisi
saturasi merkuri 35% tetapi hal tersebut mencerminkan rata-rata ukuran leher pori sebesar 0.5 µm
(mikron).
Hartmann dan Beaumont (1999) mendiskripsikan R35 sebagai ukuran leher pori (disebut
bukaan pori/pore aperture dari non-wetting phase) adalah sebanding dengan masuknya saturasi 35%
ke leher pori. Setelah 35% saturasi sisa dari sistem pori adalah tidak mempunyai kontribusi lagi ke
aliran dengan kata lain hanya mempunyai kontribusi terhadap penyimpanan (storage).
Persamaan Winland yang dihasilkan dari sample-sample yang ada dan dipublikasikan oleh
Kolodzie (1980) adalah sebagai berikut :

𝐿𝑜𝑔𝑅35 = 0.732 + 0.588 (𝐿𝑜𝑔𝐾) − 0.864 (𝑙𝑜𝑔∅) ………………(3)

dimana :
K = Permeabilitas udara (mD)
ᶲ = Porositas (%)
R35 = Diameter ukuran leher pori pada saturasi merkuri 35% (micron)

Metoda Pittman
Pittman (1992) menguji metoda Winland pada sample-sample yang sudah terkoreksi untuk
gas slippage pada batuan pasir klastik pada rentang umur ordovician sampai tertiary. Pittman
melakukan perbaikan dari metoda Winland dengan mengembangkan sebuah teknik agar lebih akurat
dalam menentukan cara bukaan pori (pore aperture).
Teknik apex-nya didasari beberapa analisis dari kurva MICP yaitu, entry pressure,
displacement pressure dan treshold pressure merupakan ungkapan yang berhubungan dengan
bagian awal dari kurva injeksi merkuri. Entry pressure (tekanan masuk) pada gambar kurva injeksi
merkuri adalah titik pada saat dimana merkuri pertama kali masuk kedalam pori batuan. Titik ini
mengindikasikan dari bukaan pori yang besar (Robinson, 1966).
Schowalter (1979) mengenali masalah ini dan mengambil kesimpulan bahwa adalah sangat
penting untuk menentukan kebutuhan tekanan ke yang menghubungkan serat/sel dari non-wetting
fluid melalui bukaan pori yang saling berhubungan dari batuan. Dia juga mendefinisikan istilah
displacement pressure sebagai tekanan pada saturasi merkuri 10% untuk digunakan dalam
mengevaluasi perangkap hidrokarbon. Katz dan Thompson (1986,1987) mendefinisikan threshold
pressure sebagai tekanan dimana merkuri membentuk hubungan sepanjang sample. Mereka berdua
mengindikasikan bahwa pengukuran threshold pressure sesuai dengan inflection point (titik
perubahan) dari kurva injeksi merkuri (Gambar-3).
Threshold pressure, yang didefinisikan oleh Katz dan Thompson (1987) sesuai dengan titik
perubahan pada saat dimana kurva menjadi cembung/melengkung keatas. Swanson (1977)
menentukan titik perubahan (inflection point) pada kurva injeksi merkuri seperti titik puncak/tertinggi
dari hiperbola pada gambar log-log dari saturasi bulk volume dan tekanan kapiler seperti terlihat pada
Gambar-3.4 dan garis 45o adalah tangent dari hiperbola di titik puncak/ tertinggi.
Pittman membuat kurva dari saturasi merkuri dengan tekanan kapiler merkuri untuk lebih
mengakuratkan definisi dari point inflection seperti terlihat pada Gambar-3.4. Dengan metoda yang
lebih akurat, Pittman menemukan bahwa sistem pori yang efektif yang mendominasi aliran melalui
batuan sesuai atau sama dengan ukuran leher pori pada saat dimana saturasi merkuri sebesar 36%.
Hasil dari Pittman ini adalah mirip dengan apa yang sudah dihasilkan oleh Winland R35. Sebagai
penjelasan Pittman menulis, Winland menemukan korelasi yang baik untuk menjadi R35 karena
merupakan rata-rata dari bentuk dari bukaan pori yang diukur dan dimana pori yang saling
berhubungan dibangun/dibuat terhadap point of serving sebagai sistem pori yang efektif yang
mendominasi aliran dideskripsikan oleh Swanson (1981).

3. Hasil dan Diskusi


Sebanyak 20 data MICP yang tersebar datanya dari sumur-sumur lapangan di Jawa barat,
Sumatera Selatan dan Sulawesi dicoba untuk dianalisa pada penentuan titik Apex-nya (titik puncak),
yaitu dengan melakukan plot antara saturasi merkuri dengan saturasi merkuri dibagi dengan tekanan
kapiler-nya seperti yang dilakukan oleh Pitmaan. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar-5.
Agak sulit untuk menentukan titik puncaknya dalam kasus ini karena beberapa kurva tidak
jelas terlihat titik puncaknya (terlihat mendatar), akan tetapi bisa dianalisa rentang harganya saturasi
merkurinya. Dari gambar tersebut terlihat rentang harga titik puncak berkisar antara 15% - 47%
saturasi merkuri dengan harga rata-rata titik puncak pada saturasi merkuri sekitar 32%.
Setelah diketahui saturasi merkuri 32% yang dianggap cukup mewakili dan mempunyai
korelasinya antara ukuran leher pori dengan permeabilitas dan porositas maka persamaan empiris
regresi multiple dari R32 dapat diestimasi. Tabel-1 berikut memperlihatkan data ukuran leher pori
pada saturasi merkuri 32% (R32), porositas dan permeabilitas untuk dilakukan analisa multiple
regresi dari data MICP berbagai lapangan di Indonesia. Hasil persamaan empiris untuk analisa
regresi tersebut diatas adalah sebagai berikut :

𝐿𝑜𝑔𝑅32 = 0.1942 + 0.5767(𝐿𝑜𝑔𝐾) − 0.2742 (𝐿𝑜𝑔 ∅) ………………(4)

Atau

𝐿𝑜𝑔𝐾 = −0.3367 + 0.475(log ∅) + 1.734 (𝐿𝑜𝑔𝑅32) ……………….(5)

Aplikasi di Lapangan
Model persamaan yang didapatkan kemudian diaplikasikan kedalam data core (percontoh)
dari Lapangan RB formasi karbonat Baturaja Sumatera Selatan. Komposisi batuan karbonat pada
lapangan tersebut disusun oleh butiran bioclast, dan lumpur karbonat (lime mud). Butiran bioclast
meliputi pecahan koral, intraclast, ganggang merah, foram besar, foram benthos, echinoderm,
plntonik, moluska dan sebagian bioclast tidak teridentifikasi (rusak) akibat proses diagenesa. Lumpur
karbonat dan lempung teridentifikasi dalam jumlah yang bervariasi dan sebagian sudah mengalami
neomorphism menjadi mikrit. Lempung detrital umumnya berbentuk laminasi-laminasi yang umumnya
ditemukan berasosiasi dengan facies yang kaya platy coral.
Hasil petrografi dan CT-scan pada Gambar-6 memperlihatkan jenis pore type yang telah
dipilah berdasarkan adanya proses diagenesa dan event tektonik yaitu vuggy yang tidak
berhubungan/separate vuggy porosity (Gambar-6a), interparticle-fracture porosity (Gambar-6b),
vuggy yang saling terkoneksi/touching vuggy porosity (Gambar-6c), interparticle-vuggy porosity
(Gambar-6d) dan interparticle porosity (Gambar-6e).
Hasil pada Gambar-7 dan Gambar-8 memperlihatkan hubungan porositas-permeabilitas serta
hubungannya terhadap ukuran leher pori (pore throat size) dari persamaan yang didapatkan pada
batuan karbonat yang ada di Indonesia untuk masing-masing facies (rock fabric) dan pore type. Pada
Gambar-7 terlihat korelasi yang buruk antara facies (rock fabric) dengan hubungan porositas-
permeabilitas dan ukuran leher pori. Korelasi yang buruk ini disebabkan adanya proses diagenesa
dan ada tidaknya kandungan lempung pada batuan karbonat lapangan RB tersebut. Pada Gambar-8
terlihat adanya korelasi yang lebih baik antara pore type dengan hubungan porositas-permeabilitas
dan ukuran leher pori.
Hubungan pore type dengan ukuran leher pori dari hasil yang ada (Gambar-8) terlihat dapat
dibagi menjadi dua (2) bagian yaitu ukuran leher pori antara 10 µm sampai 100 µm adalah untuk pore
type vuggy yang saling berhubungan (touching vuggy) sedangkan ukuran leher pori <10 µm untuk
pore type vuggy yang tidak berhubungan (separate vuggy), interparticle dan interparticle-fracture.
Perbandingan dilakukan antara model persamaan yang didapatkan untuk batuan karbonat di
Indonesia dengan persamaan Winland. Gambar-9 memperlihatkan hubungan pore type dengan
porositas-permeabilitas serta ukuran leher pori. Dari Gambar-9 tersebut terlihat bahwa pore type
vuggy yang saling berhubungan memiliki ukuran leher pori antara 2 µm sampai 10 µm sedangkan
untuk pore type vuggy yang tidak berhubungan, interparticle dan interparticle-fracture memiliki ukuran
leher pori < 2 µm.
Terjadi ketidak konsistenan antara model yang diambil dari Winland jika diaplikasikan
kedalam batuan karbonat di Indonesia (sementara masih untuk kasus pada lapangan RB formasi
Baturaja Sumatera Selatan). Pada pore type touching vuggy (Gambar-6c) terlihat adanya ukuran
leher pori dari hasil petrografi sampai 100 µm. Pada model Winland ukuran leher pori untuk pore type
touching vuggy maksimal adalah hanya 10 µm. Pada model persamaan yang dibuat untuk batuan
karbonat di Indonesia terlihat lebih sesuai dengan hasil analisa petrografi dan CT-scan dimana
ukuran leher pori untuk pore type jenis tersebut berkisar antara 10 µm sampai 100 µm. Begitu juga
untuk pore type separate vuggy (Gambar-6a) dari hasil petrografi terdiri dari mud karbonat (warna
abu-abu kecokelatan) dan vuggy yang tidak berhubungan (warna biru) mempunyai ukuran leher pori
yang sangat kecil.
Untuk pore type separate vuggy dan interparticle porosity model persamaan Winland masih
cukup konsisten untuk diterapkan pada contoh kasus lapangan RB ini sedangkan untuk pore type
touching vuggy model dari Winland tidak bisa diaplikasikan.

4. Kesimpulan dan Saran


Dari hasil tulisan ini dapat ditarik beberapa kesimpulan :

1. Persamaan alternatif dari Winland dan Pittman selesai dibangun dan untuk kasus pada
lapangan RB formasi karbonat Sumatera Selatan terlihat cukup konsisten pada jenis pore type
vuggy yang saling terkoneksi (touching vuggy porosity).

2. Perlu dilakukan pemilahan berdasarkan jenis pore type dari data MICP sehingga persamaan
yang didapatkan bisa cukup mewakili untuk batuan karbonat di Indonesia.

3. Dibutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi mengenai persamaan yang didapatkan dari
tulisan ini agar bisa digunakan pada batuan karbonat yang lain di Indonesia.

Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada management atas pemakaian data MICP dari
lapangan di Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sulawesi serta rekan-rekan yang ikut membantu
dalam penyelesaian tulisan ini.

Daftar Pustaka

1. Bogs.S.Jr, 1987, Principles of Sedimentology and Stratigrafi, Merril Publishing Company, A


Bell & Howell Company, Columbus, Ohio.

2. Dunham, R.J., 1962, Clasification of Carbonate Rocks According To Textural Depositional,


dalam Ham, W.E., 1962, Clasification Of Carbonate Rocks-a symposium, November 1962,
108-121 pp., American Assosiation Of Petroleum Geologist, Tusla, Oklahoma, USA
3. Folk, R.L., 1959, Spectral Subdivision of Limestone, dalam Ham, W.E., 1962, Clasification Of
Carbonate Rocks-a symposium, November 1962, 62-84 pp., American Assosiation Of
Petroleum Geologist, Tusla, Oklahoma, USA

4. Lafage, S., 2008, An Alternative to The Winland R35 Method for Determining Carbonate
Reservoir Quality, A Thesis, Submitted to the Office of Graduate Studies of Texas A & M
University, USA., in Partial fulfilment of the requirement for degree of Master of Science

5. Rushing, J.A., Newsham, K.A., and Blasingame, T.A., 2008, Rock Typing – Keys
Understanding Productivity in Tight Gas Sands, Paper SPE 114164
Gambar-1. Kurva Mercury Injection Cappilary Pressure MICP

Gambar-2
Ukuran Leher Pori Dari Tekanan Kapiler (Nelson, 1994; Haro, 2004)
Gambar-3
Gambar MICP Memperlihatkan inflection point dan Threshold Pressure (Pittman, 1992)

Gambar-4
Plot log-log Hyperbolic dari MICP Memperlihatkan Titik Puncak/Apex (Pittman, 1992)
Gambar-5
Penentuan “Apex” dari Plot Saturasi Merkuri Dengan Saturasi Merkuri per Tekanan Kapiler Merkuri
(Pittman, 1992)

Separate Vuggy (A) Interparticle-fracture/ Vuggy,


810.33 m R-59 intercrystalline, fracture (D)

822.35 m R-53

Interparticle/intercrystalline fracture (B)


825.05 m R-53
Interparticle/intercrystalline (E)
822 .00m R-59

Touching vuggy/vuggy, fracture (C)


820.0 m R-53

= Hasil CT-Scan

= Hasil Petrografi

Gambar-6
Jenis-jenis Pore Type Pada Lapangan RB Formasi Baturaja
10000
Wackestone
Packestone

1000 Floatstone
Rudstone

100 µm
100
50 µm
Permeability, mD

10 µm
10

2µm

0.5 µm
1

0.1 µm

0.1

0.01
1 10 100

Porosity, %

Gambar-7
Hubungan Facies (Rock Fabric) Dengan Porositas-Permeabilitas dan Ukuran Leher Pori
Menggunakan Persamaan Karbonat di Indonesia

10000

Separate Vuggy
Touching Vuggy
1000 Interparticle
Interparticle-Fracture
100 µm
100
50 µm
Permeability, mD

10 µm
10
2 µm

0.5 µm
1

0.1 µm

0.1

0.01
1.000 10.000 100.000

Porositas, %

Gambar-8
Hubungan Pore Type Dengan Porositas-Permeabilitas dan Ukuran Leher Pori
Menggunakan Persamaan Karbonat di Indonesia
10000

Separate Vuggy
Touching Vuggy
10 µm
1000 Interparticle
Interparticle-Fracture

100 2 µm
Permeability, mD

10
0.5 µm

0.1 µm

0.1

0.01
1 10 100

Porositas, %

Gambar-9
Hubungan Pore Type Dengan Porositas-Permeabilitas dan Ukuran Leher Pori
Menggunakan Persamaan Winland

Anda mungkin juga menyukai