Anda di halaman 1dari 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sel Darah Merah Sel darah merah yang matang sangat mudah dikenali disebabkan oleh morfologinya yang unik. Pada keadaan normal, bentuk sel darah merah adalah dwicekung dengan diameter purata 8m, ketebalan 2m dan volumenya sekitar 90fL. Ia tidak mempunyai nukleus atau mitokondria, dan 33% daripada kandungannya terdiri daripada protein tunggal yaitu hemoglobin. Tanpa nukleus dan jalur metabolik protein, sel ini mempunyai masa hidup yang singkat yaitu selama 100-120 hari. Tetapi, struktur sel darah merah matang yang unik ini memberikan daya lenturan yang maksimal saat sel ini melewati pembuluh darah yang sempit (Hillman, Ault dan Rinder, 2005). Hampir kesemua kebutuhan tenaga intrasellular didapat lewat metabolisme glukosa, yang bertujuan untuk mengekalkan hemoglobin dalam kondisi larut dan reduksi, menyediakan sejumlah 2,3-diphosphoglycerat (2,3-DPG) yang mencukupi dan untuk menghasilkan adenosine triphosphate (ATP) bagi mempertahankan fungsi membran (Hillman, Ault dan Rinder, 2005).

2.2 Hemoglobin Terdapat sekitar 280 juta molekul hemoglobin di dalam setiap sel darah merah (Tortora dan Derickson, 2006). Hemoglobin adalah sejenis protein dengan berat molekul 64.500 dalton, terdiri daripada 4 rantai polipeptida. Setiap satunya mengandung satu pigmen non-protein berbentuk seperti cincin yang disebut sebagai kelompok heme aktif (Hillman, Ault dan Rinder, 2005). Pada bagian tengah dari cincin heme ini terdapat satu ion ferous, Fe2+ yang boleh mengikat satu molekul oksigen, lalu membolehkan satu molekul hemoglobin berikatan dengan empat molekul oksigen (Tortora dan Derickson, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Repiratory motion of hemoglobin adalah proses pengikatan dan pelepasan molekul oksigen dari hemoglobin yang melibatkan perubahan spesifik pada struktur molekularnya. Apabila hemoglobin berubah dari bentuk deoxyhemoglobin kepada bentuk oxyhemoglobin, karbon dioksida, CO 2 dan 2,3-DPG akan terlepas dari posisi asalnya yaitu di antara rantai globin lalu membuka molekul heme untuk menerima oksigen. Seterusnya, oksigen yang berikatan dengan salah satu kelompok heme akan meningkatkan afinitas dari kelompok heme yang lain kepada oksigen. Interaksi inilah yang menyebabkan terjadinya bentuk sigmoid pada kurva disosiasi oksigen (Hillman, Ault dan Rinder, 2005). Kadar hemoglobin normal yang terdapat di dalam satu sel darah merah adalah sekitar 32pg. (mean cell hemoglobin, MCH = 32 2pg). Proses sintesis hemoglobin yang normal memerlukan cadangan zat besi yang mencukupi dan produksi protoporphyrin dan globin yang normal. Proses sintesis protoporphyrin dimulai di dalam mitokondria dengan pembentukan delta aminolevulenic acid (ALA) daripada glycine dan succinyl-CoA yang berasal dari siklus asam sitrat. Seterusnya, proses dilanjutkan dengan pembentukan porphobilinogen, uroporphyrin dan coproporphyrin yang terjadi di sitoplasma sel. Dua molekul ALA bergabung membentuk porphobilinogen yang mengandung satu rantai pyrrole. Melalui proses deaminasi, empat prophobilinogen digabungkan menjadi hydroxymethyl bilane, yang kemudiannya dihidrolisis menjadi uroporphyrin. Uroporphyrin kemudiannya mengalami dekarboksilasi menjadi coporphyrin. Enzim coporphyrin oxidase mengoksidasi coporphyrin kepada protpoporphyrinogen. Protoporphyrinogen seterusnya dioksidaksikan membentuk protoporphyrin. Proses terakhir adalah penggabungan rantai protoporphyrin dengan ion ferous, Fe2+ lalu membentuk molekul Heme. Proses ini berlaku di dalam mitokondria (Hillman, Ault dan Rinder, 2005). Rantai globin pula digabungkan oleh ribosom sitoplasmik yang dikawal oleh dua kluster gene pada kromosom 11 dan 16. Hasil akhirnya adalah molekul globin yang tetramer yaitu dua rantai -globin dan dua rantai non--globin. Penggabungan molekul hemoglobin ini berlaku di sitoplasma sel. Terdapat sebilangan kecil zat besi, protoporphyrin dan rantai globin bebas yang tersisa selepas proses sitesis hemoglobin selesai. Zat besi tersebut disimpan sebagai ferritin dan porphyrin pula diubah kepada zinc (Hillman, Ault dan Rinder, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Siri reaksi komplek ini dipicu oleh hormon erythropoietin. Tingkat sintesis hemoglobin (rate of hemoglobin synthesis) ditentukan oleh ketersediaan transferrin iron dan kadar heme di intrasellular. Proses sintesis hemoglobin berlaku secara maksimal di sumsum tulang yang lebih matang. Penghentian sintesis heme ditandai dengan penurunan ekspresi dari reseptor transferrin pada membran, diikuti dengan penurunan regulasi (downregulation) sintesis heme dan globin (Hillman, Ault dan Rinder, 2005).

2.3 Kurva Disosiasi Hemoglobin-Oksigen Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen adalah ilustrasi kepada hubungan antara kadar saturasi hemoglobin (percent saturation of hemoglobin) dengan tekanan parsial oksigen. Tekanan parsial oksigen merupakan faktor penting dalam menentukan kuantitas oksigen yang berikatan dengan hemoglobin. Semakin tinggi tekanan parsial oksigen maka semakin banyak oksigen yang berikatan dengan hemoglobin. Apabila hemoglobin yang tereduksi (reduced hemoglobin) ditukar sepenuhnya kepada oxyhemoglobin, maka hemoglobin dikatakan sebagai tersaturasi penuh (Tortora dan Derickson, 2006). Kadar saturasi hemoglobin adalah saturasi rata-rata hemoglobin yang berikatan dengan oksigen. Sebagai contoh, jika dua molekul oksigen yang berikatan dengan satu molekul hemoglobin, maka disebut kadar saturasi oksigen adalah 50%, karena satu molekul hemoglobin bisa mengikat 4 molekul oksigen (Tortora dan Derickson, 2006). Pada kondisi normal, darah arteri memasuki jaringan-jaringan tubuh dengan tekanan parsial oksigen 95 mmHg dan saturasi hemoglobin yang melebihi 97%. Aliran balik vena daripada jaringan pula mempunyai tekanan oksigen sebesar 40 mmHg dengan saturasi hemoglobin 75-80% (Hillman, Ault dan Rinder, 2005). Walaupun tekanan parsial oksigen merupakan faktor yang penting dalam menentukan kadar saturasi hemoglobin, terdapat beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Faktor-faktor ini akan memberikan dampak terhadap kurva disosiasi hemoglobin-oksigen secara keseluruhan dengan menyebabkan kurvanya bergeser ke arah kiri (afinitas meningkat) atau ke arah kanan (afinitas berkurang). Faktor-faktor tersebut

Universitas Sumatera Utara

adalah keasaman (pH), tekanan parsial karbon dioksida dan zat 2,3-diphosphoglycerat (2,3DPG) (Tortora dan Derickson, 2006). Saat pH darah menurun, kurva disosiasi hemoglobin-oksigen akan bergeser ke kanan, menunjukkan bahawa hemoglobin kurang tersaturasi walaupun berada di tekanan parsial oksigen tinggi. Perubahan ini dinamakan sebagai Borh effect, dimana hemoglobin bertindak sebagai buffer. Borh effect berkerja dengan kedua-dua cara yaitu; peningkatan ion H+ dalam darah akan menyebabkan oksigen terlepas dari hemoglobin, dan oksigen yang berikatan dengan hemoglobin akan menyebabkan ion H+ terlepas dari hemoglobin. Apabila produksi asam metabolit (asam laktat dan asam karbonat) dan CO 2 jaringan meningkat, keasaman darah akan meningkat lalu terjadinya asidosis yang menyebakan kurva disosiasi bergeser ke kanan. Maka, afinitas hemoglobin terhadap oksigen melemah, menyebabkan oksigen senang terlepas daripada hemoglobin dan masuk ke jaringan (Tortora dan Derickson, 2006). Karbon dioksida memiliki sifat asam. Maka, apabila ia berikatan hemoglobin, akan terjadi dampak yang sama pada kurva disiosiasi (kurva begeser ke kanan). Pada kondisi tekanan parsial karbon dioksida meningkat, hemoglobin akan lebih mudah untuk melepaskan oksigen. Tekanan parsial karbon dioksida dan pH darah merupakan faktor yang terkait karena pH darah yang rendah (keasaman) adalah pengaruh dari peningkatan tekanan parsial karbon dioksida. Maka, peningkatan tekanan parsial karbon dioksida akan menyebabkan kurva disiosiasi bergeser ke kanan (Tortora dan Derickson, 2006). 2,3-diphosphoglycerat (2,3-DPG) adalah bahan yang terdapat di dalam sel darah merah yang berfungsi untuk menurunkan afinitas hemoglobin terhadap oksigen, lalu membantu pelepasan oksigen daripada hemoglobin. 2,3-DPG diproduksi di dalam sel darah merah dan ia merupakan hasil daripada proses glikolisis, yaitu pemecahan glukosa untuk menghasilkan adenosine triphosphate, ATP (Tortora dan Derickson, 2006). Produksi 2,3DPG akan meningkat apabila terjadinya desaturasi hemoglobin seperti hipoksia, gagal jantung atau anemia (Hillman, Ault dan Rinder, 2005). Peningkatan intaselular 2,3-DPG akan menyebabkan kurva disosiasi bergeser ke kanan dan menyediakan mekanisme kompensasi yang bagus untuk anemia kronis dan hipoksia. Metabolisme 2,3-DPG juga dipengaruhi oleh asidosis atau alkalosis sistemik.

Universitas Sumatera Utara

Perubahan awal berupa pergeseran kurva disosiasi ke kanan pada pasien asidosis akan diperbaik dalam batas waktu 12-36 jam seterusnya berupa pengurangan kadar 2,3-DPG. Maka, Bohr effect akan dibalikkan oleh kadar 2,3-DPG yang rendah dan menyebabkan kurva disosiasi kembali menjadi normal (Hillman, Ault dan Rinder, 2005). Selain itu, terdapat satu lagi kondisi yang bisa mempengaruhi kurva disosiasi hemoglobin-oksigen yaitu hipoksia. Salah satu penyebab hipoksia adalah peningkatan kadar saturasi karbon monoksida,CO darah. Pada kondisi hipoksia yang disebabkan oleh peningkatan kadar CO, kurva disosiasi akan mengalami pergeseran ke kiri akibat dari terbentuknya carboxyhemoglobin. Pergeseran kurva disosiasi ke kiri akan meningkatkan afinitas daripada hemoglobin terhadap oksigen dan menyebabkan lebih sedikit kadar oksigen yang dihantar ke jaringan (Braunwald, 2005)

2.4 Karbon monoksida Karbon monoksida adalah sejenis gas yang tidak berwarna dan tidak berbau yang merupakan hasil daripada pembakaran bahan yang mengandung karbon seperti arang, gas dan kayu. Ia terdiri dari satu atom karbon yang secara kovalen berikatan dengan satu atom oksigen. Dalam ikatan ini, terdapat dua ikatan kovalen dan satu ikatan kovalen koordinasi antara atom karbon dan oksigen. Gas karbon monoksida dapat ditemukan di dalam asap pembakaran, asap dari kendaraan dan juga asap rokok (Tortora dan Derickson, 2006). Apabila gas karbon dioksida memasuki sirkulasi darah, ia akan berikatan dengan hemoglobin sama seperti oksigen. Tetapi, ikatan karbon monoksida terhadap hemoglobin adalah 250 kali lebih kuat berbanding pengikatan oksigen terhadap hemoglobin (Guyton dan Hall, 2006). Maka, pada konsentrasi sekecil 0.1% sahaja pun (P co = 0.5mmHg), karbon monoksida akan berikatan dengan separuh daripada total hemolgobin di dalam darah dan mengurangkan kapasitas membawa oksigen darah sebesar 50% (Tortora dan Derickson, 2006). Apabila hal ini berlanjutan, tubuh akan menjalankan mekanisme kompensasi berupa peningkatan proses erythropoiesis sebagai usaha untuk meningkatkan kadar penghantaran

Universitas Sumatera Utara

oksigen ke jaringan. Maka, kadar hemoglobin akan meningkat dan menjadi lebih tinggi berbanding pada kondisi normal. Salah satu penyebab terjadinya hipoksia akibat peningkatan kadar karbon monoksida adalah merokok (Adamson dan Longo, 2006).

2.5 Merokok Merokok adalah tindakan mengisap asap yang berasal daripada pembakaran tembakau, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Sebatang rokok yang sedang dibakar mempunyai temperatur sebesar 900C pada ujung yang dibakar dan 30C pada ujung yang dihisap (Sitepoe, 2000). Menurut Harissons (1987) dalam Sitepoe (2000), terdapat dua komponen pada asap rokok yaitu komponen gas sebesar 85% dan komponen partikulat sebesar 15% (komponen yang bersama gas dan mengalami kondensasi). Asap rokok pula dapat dibagi menjadi dua yaitu asap mainstream dan asap sidestream. Asap mainstream adalah asap yang diisap melalui mulut (oleh perokok) manakala asap yang diembus oleh perokok dan asap yang terbentuk pada ujung rokok yang terbakar disebut asap sidestream. Individu yang berada disekitar perokok yang terisap asap sidestream disebut sebagai perokok pasif.

2.6 Menjadi Perokok Conrad dan Miller (1986) dalam Sitepoe (2000) menyatakan bahawa, terdapat dua penyebab utama seseorang menjadi perokok yaitu dorongan psikologis dan dorongan fisiologis. Secara psikologis, perokok merasakan bahwa dengan merokok, ia dapat mengalihkan kecemasan, menunjukkan kejantanan (bangga diri) dan menunjukkan kedewasaan. Sedangkan, dorongan fisiologis pula timbul akibat dari nikotin yang terdapat di dalam rokok yang menyebabkan terjadinya adiksi sehingga seseorang ingin terus merokok. Umumnya, individu mula merokok akibat dari pengaruh lingkungan seperti melihat teman-teman dan diajari oleh teman-teman. Selain itu, ada juga yang merokok dengan kemauan sendiri karena ingin menunjukkan bahawa dirinya telah dewasa (umumnya pada

Universitas Sumatera Utara

anak-anak). Bermula dari perokok pasif (mengisap asap rokok orang lain yang merokok), mereka kemudiannya menjadi perokok aktif karena menjadi ketagih akibat dari nikotin yang terdapat di dalam rokok (Sitepoe, 2000). Menurut WHO (2010) perokok dikategorikan kepada tiga kelompok yaitu perokok ringan, sedang dan berat. Perokok ringan adalah individu yang merokok sebanyak 1-10 batang rokok sehari, sedangkan perokok sedang pula menkonsumsi rokok sebanyak 11-20 batang rokok sehari. Individu yang merokok melebihi 20 batang rokok dalam sehari pula dikategorikan sebagai perokok berat.

2.7 Bahan Baku Rokok Komponen utama rokok adalah tembakau. Tembakau yang digunakan untuk membuat rokok di Indonesia adalah tembakau yang ditanam dan diproduksi di berbagai daerah di Indonesia, baik sebagai komoditi dalam negeri maupun komoditas macanegara. Rokok yang menggunakan tembakau sebagai komponen utamanya disebut sebagai rokok putih. Di Indonesia, terdapat sejenis rokok yang dikenal sebagai rokok keretek, yang mana selain dari tembakau, cengkeh juga digunakan sebagai komponen utama untuk menghasilkan rokok jenis ini. Satu-satunya negara di dunia yang menghasilkan rokok dengan bahan baku tembakau dan cengkeh adalah Indonesia (Sitepoe, 2000). Istilah tembakau yang digunakan sebagai komponen utama rokok merujuk kepada daun tembakau kering yang dirajang maupun tidak dirajang. Terdapat dua jenis tembakau yang ditanam di Indonesia yaitu tembakau Virginia yang penanamannya banyak dijumpai di Pulau Jawa dan tembakau Deli, yang banyak ditanam di Tanah Deli, Sumatera Utara sejak tahun 1864 (Sitepoe, 2000). Cengkeh yang digunakan untuk memproduksikan rokok keretek ditanam di Indonesia dan diproduksikan dari bunga cengkeh (Sitepoe, 2000). Menurut Wise dan Guerin (1986) dalam Sitepoe (2000) cengkeh akan dikeringkan, kemudian digiling serta dicampur ke dalam tembakau dengan perbandingan tembakau dengan cengkeh 60:40.

Universitas Sumatera Utara

2.8 Bahan Kimia di Dalam Tembakau dan Rokok Menurut Robert (1988) dalam Sitepoe (2000), terdapat lebih dari 3040 jenis bahan kimia yang dijumpai di dalam daun tembakau kering. Bahan-bahan ini berasal dari pertumbuhan daun tembakau itu sendiri, misalnya bersumber dari tanah, udara dan bahan kimia yang digunakan semasa penanaman tembakau maupun semasa proses pembuatan rokok. Hal ini bermaksud, komposisi kimia pada daun tembakau juga dipengaruhi oleh cara pemprosesan dan kawasan tempat penanaman tembakau tersebut. Menurut Robert (1988) dalam Sitepoe (2000), pada waktu rokok dibakar, maka akan terbentuk pula bahan kimia lain hasil reaksi dari proses pembakaran yang terjadi. Asap rokok mainstream dikatakan mengandung 4000 jenis bahan kimia. Bahan kimia ini dibedakan menjadi fase partikulat dan fase gas. Fase partikulat terdiri daripada nikotine, nitrosamine, N nitrosonornikotin, polisiklik hidorkarbon, logam berat dan karsinogenik amine. Sedangkan, fase yang dapat menguap atau seperti gas adalah karbon monoksida, karbon dioksida, benzene, amonia, formaldehid, hidrosianida dan lain-lain.

2.9 Hubungan Merokok dengan Kadar Hemoglobin Darah Dalam penelitiannya, Nodenberg (1990) menyatakan kadar hemoglobin darah ratarata pada perokok adalah 1560.4 g/L dan pada bukan perokok adalah 1530.5 g/L. Maka, dia mengambil kesimpulan penelitiannya bahwa merokok menyebabkan terjadinya peningkatan kadar hemoglobin darah. Hasil penelitian ini disokong lagi dengan maklumat yang dinyatakan oleh Adamson (2005) yang menyatakan terjadinya peningkatan kadar hemoglobin darah pada perokok berat. Peningkatan ini terjadi karena reflek dari mekanisme kompensasi tubuh terhadap rendahnya kadar oksigen yang berikatan dengan hemoglobin akibat digeser oleh karbon monoksida yang mempunyai afinitas terhadap hemoglobin yang lebih kuat. Maka, tubuh akan meningkatkan proses hematopoiesis lalu meningkatkan produksi hemoglobin, akibat dari rendahnya tekanan parsial oksigen, PO 2 di dalam tubuh.

Universitas Sumatera Utara

Bjork (2000) mendapatkan hal yang sebaliknya di dalam penelitiannya. Studi epidemiologi yang dilakukan menunjukkan bahawa merokok adalah faktor resiko kepada terjadinya sindroma myelodisplastik dan anemia refraktori. Penelitian ini menunjukkan terjadi peningkatan resiko relatif terhadap anemia refraktori (odd ratio,OR 2.5; 95% confidence interval, CI=1.2-5.6). Maka, dapat dikatakan bahawa merokok bisa menyebabkan terjadinya penurunan kadar hemoglobin darah.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai