Anda di halaman 1dari 7

BAHASA INDONESIA

PERIODISASI SASTRA INDONESIA

DISUSUN OLEH :

NAMA : JULITA PANGESTI

KELAS : XI MIIA 1

GURU PEMBIMBING : IBU ALSINATUN S.Pd

NO. ABSEN : 17

SMA NEGERI 64 JAKARTA

Jl. Cipayung Raya, Rt. 011/02, Cipayung, Jakarta, 13840

Tahun Ajaran 2013/2014


PERIODISASI SASTRA INDONESIA
Periodisasi sastra adalah pembabakan waktu terhadap perkembangan sastra yang
ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya tiap babak waktu (periode) memiliki ciri
tertentu yang berbeda dengan periode yang lain. Periodisasi Sastra Indonesia

Sastra Indonesia berkembang dari waktu ke waktu, bahkan sebelum bahasa Indonesia
diresmikan pada 28 Oktober 1928. Pada zaman dahulu bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa
kerajaan dan bahasa sastra (Purwoko, 2004: 84), hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang
tidak tertulis juga sudah ditemukan sejak abad ke-19. Sementara itu, pondasi pendirian sastra
Indonesia baru tegak berdiri pada tahun 1920-an dengan munculnya Balai Poestaka. Sejak
saat itu sastra berkembang sampai saat ini, sastra Indonesia secara umum terbagi oleh
beberapa periode, yaitu angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan
1950, angkatan 1966, dan angkatan 1970—sekarang. Di era 2000-an seperti sekarang mulai
dikenal cyber sastra, yaitu sastra yang beredar luas di dunia cyber atau internet. Berikut akan
dipaparkan satu demi satu penjelasan terkait periodisasi sastra Indonesia.

1. Zaman Sastra Melayu Lama


Zaman ini melahirkan karya sastra berupa mantra, syair, pantun, hikayat, dongeng,
dan bentuk yang lain. Karya sastra pada kesusastraan lama masih berkisar pada cerita yang
disampaikan dari mulut ke mulut (lisan). Hasil karya sastranya berupa dongeng, mantra, dan
hikayat. Cerita pada masa ini bersifat istana sentries (mengisahkan kehidupan raja-raja).
2. Zaman Peralihan
Zaman ini dikenal tokoh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karyanya dianggap
bercorak baru karena tidak lagi berisi tentang istana danraja-raja, tetapi tentang kehidupan
manusia dan masyarakat yang nyata, misalnya Hikayat Abdullah (otobiografi), Syair Perihal
Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah. Pembaharuan yang ia
lakukan tidak hanya dalam segi isi, tetapi juga bahasa. Ia tidak lagi menggunakan bahasa
Melayu yang kearab-araban.
3. Zaman Sastra Indonesia
a) Angkatan Balai Pustaka (1920—1933)

Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an kegiatannya dikenal
banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah Belanda mendapat
kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun guna
keperluan sekolah bumi putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan masyarakat.
Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur, yang dalam perkembangannya
berganti nama Balai Poestaka, didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan
yang “tepat” bagi penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan
Barat. Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa strategi
signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu
1. Merekrut dewan redaksi secara selektif
2. Membentuk jaringan distribusi buku secara sistematis
3. Menentukan kriteria literer
4. Mendominasi dunia kritik sastra
Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu standar yang
yang lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh
karena itu, para lulusan sekolah asal Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu
mempelajari bahasa Melayu Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya
adalah Armjin Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel
pertamanya yang berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920-an.
Novel yang mengangkat fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi dunia
sastra. Novel-novel lain dengan tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun ciri-ciri karya
sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu
1. Gaya Bahasa : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
2. Alur : Alur Lurus.
3. Tokoh : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).
4. Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.
5. Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang dapat menganggu
kelancaran teks.
6. Corak : Romantis sentimental.
7. Sifat : Didaktis (pendidikan)
8. Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua.
9. Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
10. Puisinya berbentuk syair dan pantun.
11. Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal
pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
12. Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.

Ciri umum angkatan ini adalah tema berkisari tentang konflik adat antara kaum tua
dengan kaum muda, kasih tak sampai, dan kawin paksa, bahan ceritanya dari Minangkabau,
bahasa yang dipakai adalah bahasa Melayu, bercorak aliran romantik sentimental.
Tokohnya adalah Marah Rusli (roman Siti Nurbaya), Merari Siregar (roman Azab dan
Sengsara), Nur Sutan Iskandar (novel Apa dayaku Karena Aku Seorang Perempuan), Hamka
(roman Di Bawah Lindungan Ka’bah), Tulis Sutan Sati (novel Sengsara Membawa Nikmat),
Hamidah (novel Kehilangan Mestika), Abdul Muis (roman Salah Asuhan), M Kasim
(kumpulan cerpen Teman Duduk)
b) Angkatan Pujangga Baru (1933-1942)
Pada tahun1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sultan Takdir Alisjahbana
mendirikan sebuah majalah yang diberi nama Poejangga Baroe. Majalah Poedjangga
Baroe menjadi wadah khususnya bagi seniman atau pujangga yang ingin mewujudkan
keahlian dalam berseni. Poedjangga Baroe merujuk pada nama sebuah institusi literer yang
berorientasi ke aneka kegiatan yang dilakukan para penulis pemula. Majalah ini diharapkan
berperan sebagai sarana untuk mengoordinasi para penulis yang hasil karyanya tidak bisa
diterbitkan Balai Poestaka (Purwoko, 2004: 154).

Selain memublikasikan karya sastra, majalah ini juga merintis sebuah rubrik untuk
memuat esai kebudayaan yang diilhami oleh Alisjahbana dan Armijn Pane. Kelahiran
majalahPoedjangga Baroe menjadi titik tolak kebangkitan kesusastraan Indonesia. S.T.
Alisjahbana, dalam artikel Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru, menjelaskan bahwa
sastra Indonesia sebelum abad 20 dan sesudahnya memiliki perbedaan yang didasari pada
semangat keindonesiaan dan keinginan yang besar akan perubahan.
Adapun karakteristik karya sastra pada masa itu terlihat melalui roman-romannya
yangsangat produktif dan diterima secara luas oleh masyarakat. Pengarang yang paling
produktif yaitu Hamka dan Alisjahbana. Hamka, dalam Mengarang Roman, mengatakan
Roman adalah bentuk modern dari hikayat. Roman memperhalus bahasa yang sebelumnya
sangat karut marut menyerupai kalimat Tionghoa sehingga secara tidak langsung roman-
roman yang ada mampu memicu minat baca masyarakat yang awalnya tidak gemar
membaca.

Berdasarkan isi cerita, tema-tema yang ada memperlihatkan kecenderungan para


pengarang yang membuat tokoh-tokoh dalam ceritanya berakhir pada kematian. Pengaruh
Barat yang sangat kental pada perkembangan sastra Indonesia dalam periode Pujangga Baru
menghasilkan beberapa perbedaan pandangan dalam kalangan sastrawan pada saat
itu.Sebagai contoh, novel pertama yang diterbitkan majalah ini, Belenggu, pernah ditolak
oleh Balai Pustaka karena dianggap mengandung isu tentang nasionalisme dan perkawinan
yang retak. Dengan alasan didaktis, kedua isu budaya tersebut dianggap tidak cocok dengan
kebijakan pemerintah kolonial.

Cirinya adalah :
1) Bahasa yang dipakai adalah bahasa indonesia modern,
2) Temanya tidak hanya tentang adat atau kawin paksa, tetapi mencakup masalah yang
kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum intelek, dan sebagainya,
3) Bentuk puisinya adalah puisi bebas, mementingkan keindahan bahasa, dan mulai digemari
bentuk baru yang disebut soneta, yaitu puisi dari italia yang terdiri dari 14 baris,
4) Pengaruh barat terasa sekali, terutama dari angkatan ’80 belanda,
5) Aliran yang dianut adalah romantik idealisme, dan
6) Setting yang menonjol adalah masyarakat penjajahan.

Tokohnya adalah STA Syhabana (novel Layar Terkembang, roman Dian Tak
Kunjung Padam), Amir Hamzah (kumpulan puisi Nyanyi Sunyi, Buah Rindu, Setanggi
Timur), Armin Pane (novel Belenggu), Sanusi Pane (drama Manusia Baru), M. Yamin
(drama Ken Arok dan Ken Dedes), Rustam Efendi (drama Bebasari), Y.E. Tatengkeng
(kumpulan puisi Rindu Dendam), Hamka (roman Tenggelamnya Kapa nVan Der Wijck).
c) Angkatan ’45
Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia dengan
menampilkan sajak-sajak yang bernilai tinggi memberikan sesuatu yang baru bagi dunia
sastra tanah air. Bahasa yang dipergunakannya adalah bahasa Indonesia yang berjiwa.
Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai
sastra (Rosidi, 1965: 91). Dengan munculnya kenyataan itu, maka banyaklah orang yang
berpendapat bahwa suatu angkatan kesusateraan baru telah lahir. Angkatan ini memiliki
beberapa sebutan, yaitu Angkatan ’45, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar,
Angkatan Perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Sesudah Pujangga Baru, Angkatan
Pembebasan, dan Generasi Gelanggang.

Angkatan ’45 adalah angkatan yang muncul setelah berakhirnya Angkatan Pujangga
Baru. Angkatan ini terbentuk karena Angkatan Pujangga Baru dianggap gagal menjalankan
gagasannya. Pujangga Baru yang semula memiliki gagasan baratisasi sastra Indonesia,
nyatanya hanya mentok pada belandanisasi. Dengan kata lain, tokoh-tokoh atau karya-
karya seni dan sastra yang diambil sebagai acuan dan sumber inspirasi hanya berasal dari
negeri Belanda saja, bukan dari penjuru Barat. Untuk meluruskan persepsi tersebut,
muncullah Angkatan ’45 sebagai gantinya.

Keberadaan angkatan ini erat hubungannya dengan Surat Kepercayaan


Gelanggang. Konsep humanisme universal menjadi acuan Perkumpulan Gelanggang karena
mereka merasa karya-karya yang dibuat oleh Angkatan Pujangga Baru kurang realistis pada
masa itu. Angkatan Pujangga Baru yang beraliran romatis dinilai terlalu utopis dan hanya
mementingkan estetika. Berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45 beraliran
ekspresionisme-realistik. Karya-karya yang dihasilkan bergaya ekspresif, menggambarkan
identitas si seniman dan juga realistis. Dalam hal ini, realistis berarti fungsional atau berguna
untuk masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Angkatan ’45 menganut
pendapat seni untuk masyarakat, sementara Pujangga Baru menganut pendapat seni untuk
seni.

Tema yang banyak diangkat dalam karya-karya seni Angkatan ’45 adalah tema tentang
perjuangan kemerdekaan. Dari karya-karya bertemakan perjuangan itulah amanat yang
menyatakan bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan tak hanya dapat dilakukan melalui
politik atau angkat senjata, tetapi perjuangan juga dapat dilakukan melalui karya-karya
seni.Angkatan ’45 mulai melemah ketika sang pelopor, Chairil Anwar, meninggal dunia.
Selain itu, Asrul Sani, yang juga merupakan salah satu pelopor mulai menyibukkan diri
membuat skenario film. Kehilangan akan kedua orang tersebut membuat Angkatan ’45 seolah
kehilangan kemudinya. Akhirnya, masa Angkatan ’45 berakhir dan digantikan dengan
Angkatan’50.

Angkatan ’45 memiliki gaya yang berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru. Gaya ini
dipengaruhi oleh kondisi politik masing-masing angkatan. Angkatan Pujangga Baru memiliki
gaya romantis-idealis karena pada saat itu perjuangan kemerdekaan belum sekeras yang
dialami Angkatan ’45. Sementara Angkatan ’45 yang terbentuk pada saat gencarnya
perjuangan kemerdekaan memilih gaya ekspresionisme-realistik agar dapat berguna dan
diterima oleh masyarakat. Pada akhirnya, semua angkatan yang ada sepantasnya menyadari
fungsi sosial mereka. Setiap angkatan harus memikirkan letak kebermanfaatan mereka bagi
masyarakat karena mereka hidup dan tumbuh di dalam masyarakat.

Ciri umumnya adalah bentuk prosa maupun puisinya lebih bebas, prosanya bercorak
realisme, puisinya bercorak ekspresionisme, tema dan setting yang menonjol adalah revolusi,
lebih mementingkan isi daripada keindahan bahasa, dan jarang menghasilkan roman seperti
angkatan sebelumnya.
Tokohnya Chairil Anwar (kumpulan puisi Deru Capur Debu, kumpulan puisi bersama
Rivai Apin dan Asrul Sani Tiga Menguak Takdir), Achdiat Kartamiharja (novel Atheis),
Idrus (novel Surabaya, Aki), Mochtar Lubis (kumpulan drama Sedih dan Gembira),
Pramduya Ananta Toer (novel Keluarga Gerilya), Utuy Tatang Sontani (novel sejarah
Tambera)
d) Angkatan 1950
Angkatan ini dikenal krisis sastra Indonesia. Sejak Chairil Anwar meninggal, lingkungan
kebudayaan “Gelanggang Seniman Merdeka” seolah-olah kehilangan vitalitas. Salah satu
alasan utama terhadap tuduhan krisis sastra tersebut adalah karena kurangnya jumlah buku
yang terbit. Sejak tahun 1953 , Balai Pustaka yang sejak dulu bertindak sebagai penerbit
utama buku-buku sastra, kedudukannya sudah tidak menentu (Rosidi, 1965: 137). Sejak saat
itu aktivitas sastra hanya dalam majalah-majalah, seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar
Indonesia, Zenith, Poedjangga Baroe, dll.

Karena sifat majalah, maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang
berupa sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Sesuai dengan
yang dibutuhkan oleh majalah-majalah, maka tak anehlah kalau para pengarangpun lantas
hanya mengarang cerpen, sajak, dan karangan lain yang pendek-pendek (Rosidi, 1965: 138).
Hal itulah yang memunculkan istilah “sastra majalah” pada masa itu. Berikut
pendapat Soeprijadi Tomodihardjo, dalam artikelnya “Sumber-Sumber Kegiatan”1

1. Kesusastraan sedang memasuki masa krisis, masalah kualitas dan kuantitas.


2. Ekspansi ideologi ke dalam dunia seni mengakibatkan banyak orang meninggalkan nilai-
nilai seni yang wajar, dan ideologi politik kian menguat.
3. Seni dan politik adalah pencampuradukan yang lahir dari kondisi masa itu.
4. Pada masa itu pula telah lahir organisasi-organisasi kegiatan kesenian yang mengarahkan
kegiatanya pada seni sastra dan seni drama.
5. Hal ini mengindikasikan seni mendapat perhatian.
6. Kesusastraan berhubungan erat dengan adanya tempat berkegiatan, Jakarta di angggap
sebagai pusatnya. Anggapan ini diluruskan, Jakarta hanya sebagai pusat produksi dan
publikasi

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa angkatan 1950 merupakan angkatan yang
sepi oleh karya karena sastra Indonesia yang ada dianggap sudah tidak lagi memiliki
identitas, kesusasteraan mengalami krisis baik kualitas maupun kuantitas karena lahirnya
pesimisme dan penggunaan seni ke ranah politik yang tidak dibarengi dengan tanggung
jawab.

e) Angkatan ’66
Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa sejak awal pertumbuhannya sastrawan-sastrawan
Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik (Rosidi, 1965: 177). Pada masa
ini sastra sangat dipengaruhi oleh lembaga kebudayaan seperti Lekra dan Manikebu. Pada
tahun 1961 Lekra,organ PKI yang memperjuangkan komunisme, dinyatakan
sebagaiorganisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “politik adalah panglima”.

Sementara Menifes Kebudayaan merupakan sebuah konsep atau pemikiran di bidang


kebudayaan dan merupakan sebuah reaksi terhadap teror budaya yang pada waktu itu
dilancarkan oleh orang-orang Lekra. Manifes kebudayaan di tuduh anti-Manipol dan kontra
Revolusioner sehingga harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia. Pelarangan Manifes
Kebudayaan diikuti tindakan politis yang makin memojokkan orang-orang Manifes
Kebudayaan, yaitu pelarangan buku karya pengarang-pengarang yang berada di barisan.
Adapun buku-buku yang pernah dilarang, antara lain Pramudya Ananta Toer, Percikan
Revolusi, Keluarga Gerirya, Bukan pasar Malam ,Panggil Aku Kartini Saja ,
Korupsi dll; Utuy T. Sontani,Suling, Bunga Rumah makan,Orang-orang Sial, Si
Kabayan dll; Bakri Siregar, Ceramah Sastra, Jejak Langkah , Sejarah Kesusastraan
Indonesia Modern.
Menurut H. B. Jassin, ciri-ciri karya pada masa ini adalah sebagai berikut
1. Mempunyai konsepsi Pancasila
2. Menggemakan protes sosial dan politik
3. Membawa kesadaran nurani manusia
4. Mempunyai kesadaran akan moral dan agama

Ciri umumnya adalah tema yang menonjol adalah protes sosial dan politik, menggunakan
kalimat-kalimat panjang mendekati bentuk prosa.
Tokohnya adalah W.S. Rendra (kumpulan puisi Blues untuk Bnie, kumpulan puisi
Ballada Orang-Orang Tercinta), Taufiq Ismail (kumpulan puisi Tirani, kumpulan puisi
Benteng), N.H. Dini (novel Pada Sebuah Kapal), A.A. Navis (novel Kemarau), Toha Mohtar
(novel Pulang), Mangunwijaya (novel Burung-burung Manyar), Iwan Simatupang (novel
Ziarah), Mochtar Lubis (novel Harimau-Harimau), Mariannge Katoppo (novel Raumannen).
f) Angkatan 70-an sampai sekarang

Pada masa ini karya sastra berperan untuk membentuk pemikiran tentang keindonesiaan
setelah mengalami kombinasi dengan pemikiran lain, seperti budaya. Ide, filsafat, dan
gebrakan-gebrakan baru muncul di era ini, beberapa karya keluar dari paten dengan
memperbincangkan agama dan mulai bermunculan kubu-kubu sastra populer dan sastra
majalah. Pada masa ini pula karya yang bersifat absurd mulai tampak.

Di tahun 1980—1990-an banyak penulis Indonesia yang berbakat, tetapi sayang karena
mereka dilihat dari kacamata ideologi suatu penerbit. Salah satu penerbit yang terkenal
sampai sekarang adalah Gramedia. Gramedia merupakan penerbit yang memperhatikan sastra
dan membuka ruang untuk semua jenis sastra sehingga penulis Indonesia senantiasa memiliki
kreativitas dengan belajar dari berbagai paten karya, baik itu karya populer, kedaerahan,
maupun karya urban. Sementara setelah masa reformasi, yaitu tahun 2000-an, kondisi sastra
tanah air dapat digambarkan sebagai berikut
1. Kritik Rezim Orde Baru
2. Wacana Urban dan Adsurditas
3. Kritik Pemerintah terus berjalan
4. Sastra masuk melalui majalah selain majalah sastra.
5. Sastra bersanding dengan Seni Lainnya, banyak terjadi alih wahana pada jaman sekarang
6. Karya yang dilarang terbit pada masa 70-an diterbitkan di tahun 2000-an, banyak karya
Pram yang diterbitkan, karya Hersri Setiawan, Remy Sylado, dsb.

Seperti seorang anak, Sastra mengalami masa pertumbuhan. Masa pertumbuhan sastra
tidak akan dewasa hingga jaman mengurungnya. Sastra akan terus menilai jaman melalui
pemikiran dan karya sastrawannya. Pada tahun 1970-an, sastra memiliki karakter yang keluar
dari paten normatif. Pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an, sastra memiliki karakter yang
diimbangi dengan arus budaya populer. Pada tahun 2000-an hingga saat ini, sastra kembali
memiliki keragaman kahzanah dari yang populer, kritik, reflektif, dan masuk ke ranah erotika
dan absurditas3.

Anda mungkin juga menyukai