Anda di halaman 1dari 14

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN

PENYESUAIAN SOSIAL PADA PENYANDANG CACAT TUBUH DI BALAI BESAR


REHABILITASI SOSIAL BINA DAKSA
PROF. DR. SOEHARSO SURAKARTA

Fitriana Dyah Sandhaningrum, Sri Wiyanti, Salmah Lilik


Program Studi Psikologi FK UNS

ABSTRAK
Remaja penyandang cacat tubuh dihadapkan pada masalah pergaulan yang berhubungan erat
dengan penerimaan dan penolakan terhadap kehadirannya, baik oleh teman sebaya atau
orang yang lebih tua. Penanaman konsep diri positif pada diri remaja penyandang cacat
tubuh sangat diperlukan untuk menghadapi keberhasilan seseorang dalam mengatasi
persoalan dan penyesuaian dirinya. Remaja penyandang cacat tubuh juga membutuhkan
dukungan sosial untuk menghadapi segala permasalahannya sehingga mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan
dukungan sosial dengan penyesuaian sosial pada remaja penyandang cacat tubuh. Hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah (1) ada hubungan antara konsep diri dan
dukungan sosial dengan penyesuaian sosial pada remaja penyandang cacat tubuh, (2) ada
hubungan antara konsep diri dengan penyesuaian sosial pada remaja penyandang cacat
tubuh, dan (3) ada hubungan antara dukungan sosial dengan penyesuaian sosial pada remaja
penyandang cacat tubuh.
Penelitian ini adalah penelitian populasi, karena terbatasnya jumlah populasi yaitu
remaja penyandang cacat tubuh yang berumur 16 s/d 21 tahun di Balai Besar Rehabilitasi
Sosial Bina Daksa Prof. Dr. Soeharso Surakarta hanya 50 orang. Oleh karena itu 50 orang
tersebut semuanya digunakan sebagai sampel penelitian, sehingga pengambilan sampel
dengan purposive sampling. Metode pengumpulan data menggunakan skala konsep diri,
skala dukungan sosial dan skala penyesuaian sosial. Berdasarkan analisis regresi dua
prediktor menunjukkan bahwa ada hubungan antara konsep diri dan dukungan sosial dengan
penyesuaian sosial pada remaja penyandang cacat tubuh dengan Ry(1,2) = 0,689, Freg =
21,296 dengan p < 0,05. Koefisien korelasi rx1y adalah 0,590 dan p < 0,05 dan rx2y adalah
sebesar 0,685 dengan p < 0,05.
Kesimpulan dari analisis data tersebut adalah adanya hubungan antara konsep diri
dan dukungan sosial dengan penyesuaian sosial pada remaja penyandang cacat tubuh dan
ada hubungan positif antara konsep diri dengan penyesuaian sosial pada remaja penyandang
cacat tubuh serta ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan penyesuaian sosial
pada remaja penyandang cacat tubuh. Besarnya sumbangan efektif (SE%) kedua variabel
bebas secara bersama-sama adalah 47,5%.

Kata kunci: remaja penyandang cacat tubuh, konsep diri, dukungan sosial, penyesuian
sosial.

20
A. Pendahuluan
Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof. Dr. Soeharso
Surakarta adalah unit pelaksana teknis di bidang rehabilitasi sosial bina daksa di
lingkungan Departemen Sosial Republik Indonesia yang berada di bawah dan
bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial.
Siswa BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta tahun ajaran 2008/2009 berjumlah 350
orang berkisar antara umur 16 th sampai dengan 35 tahun. Para siswa berasal dari berbagai
daerah di Indonesia. Selama ± 1 tahun para siswa tinggal di asrama dan memperoleh
berbagai macam pelatihan ketrampilan sesuai dengan bidang yang diminati, antara lain:
menjahit, bengkel motor, salon kecantikan, karawitan, musik, dan lain-lain. Para siswa
tidak lagi memperoleh pendidikan seperti di Sekolah Luar Biasa ataupun sekolah umum
melainkan diberikan berbagai macam pelatihan ketrampilan sebagai bekal menghadapi
dunia kerja.
Kondisi fisik bagi remaja merupakan standar untuk berinteraksi dengan orang lain.
Remaja yang menderita cacat tubuh lebih sulit menerima keadaan pada dirinya dan
seringkali menjadi tidak yakin dengan dirinya sendiri, karena pada masa remaja kondisi
fisik dan bentuk tubuh memiliki arti yang sangat penting. Remaja yang mengalami
kekurangan pada bagian fisiknya akan mengalami hambatan di dalam melakukan tugas
perkembangan seperti mencapai hubungan baru dengan teman sebaya, mencapai peran
sosial, menerima keadaan fisik, menggunakannya secara efektif, mempersiapkan karier
ekonomi, perkawinan dan keluarga, serta berusaha mencapai kemandirian emosional
(Hurlock, 1999). Menurut Mangunsong (dalam Kusuma, 2005) remaja yang menderita
cacat tubuh akan merasa tidak memiliki kepercayaan diri dan mempengaruhi keadaan
psikologisnya, yaitu tidak memiliki keyakinan tentang dirinya sendiri dan gambaran
keberhasilan dirinya sehingga berpengaruh terhadap konsep diri yang dimiliki oleh
remaja. Hal tersebut berakibat tidak dimilikinya konsep diri yang positif pada diri remaja
penyandang cacat tubuh sehingga remaja merasa minder, memiliki gambaran yang suram
terhadap masa depan dan tidak yakin akan kemampuan yang dimiliki.
Masyarakat cenderung mengasihi penyandang cacat tubuh dan beranggapan bahwa
mereka tidak dapat melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang normal pada
umumnya, bahkan tidak jarang masyarakat mengejek, mempergunjingkan keadaan
penyandang cacat tubuh tersebut. Pada penyandang cacat tubuh dalam masyarakat juga
sering dipandang sebagai sosok yang tidak berdaya dan tidak dapat mengerjakan sesuatu
yang berarti sehingga terjadi diskriminasi.
Pandangan stereotip terhadap penyandang cacat tubuh, mereka dianggap tidak
beruntung, kehidupannya terhambat terganggu dan akan hancur. Pandangan masyarakat
semacam ini dapat berpengaruh pada konsep diri, kemauan, dan motivasi. Pandangan
yang kurang menguntungkan ini akan mengakibatkan tumbuhnya perasaan tidak mampu,
putus asa, tidak berharga, tidak percaya pada diri sendiri, merasa rendah diri, cemas, dan
khawatir yang justru akan menghambat penyandang cacat tubuh untuk melakukan
hubungan interpersonal.
Fuhrmann (dalam Dewi dkk, 2004) mengemukakan bahwa konsep diri adalah
konsep dasar tentang diri sendiri, pikiran, dan opini pribadi, kesadaran tentang apa dan
siapa dirinya, dan bagaimana perbandingan antara dirinya dengan orang lain serta
bagaimana idealisme yang telah dikembangkannya. Bagi masing-masing individu,
pemilikan konsep diri tidak sama antara satu dengan yang lain karena individu
mempunyai keunikan dan ciri yang berbeda. Bila seseorang mempunyai konsep diri yang
negatif, maka akan cenderung mempunyai harapan rendah terhadap keberhasilan
melakukan suatu tugas. Seseorang yang mempunyai konsep diri positif akan memiliki
keyakinan bahwa dirinya mampu melakukan tugas tertentu, di dalam hal ini konsep diri
berperan menentukan keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam mengatasi persoalan
dan penyesuaian dirinya (Hurlock, 1993).
Penyandang cacat bergaul dan berhadapan dengan para pengasuh, pembina, guru
yang mempunyai peranan sebagai pengganti orang tua. Sehubungan dengan kondisi
khusus yang dimiliki, seperti didukung oleh kurangnya perhatian pengasuh, kurangnya
fasilitas fisik, ketatnya disiplin dan hukuman yang dijalankan dan harus mengikuti
program ketrampilan di pusat rehabilitasi, maka dimungkinkan muncul konsep diri yang
negatif, sehingga seringkali dijumpai adanya penyimpangan sikap dan perilaku remaja
penyandang cacat tubuh.
Hurlock (1993) mengemukakan bahwa, dukungan atau kurangnya dukungan akan
mempengaruhi kepribadian anak melalui konsep diri yang terbentuk. Pola terbentuknya
konsep diri pada remaja bukan bawaan dari lahir, tetapi konsep diri terbentuk melalui
proses, dan proses pembentukan konsep diri didukung oleh orang lain dan lingkungan
melalui pengalaman-pengalaman yang didapat dari lingkungan.
Remaja secara umum termasuk penyandang cacat tubuh membutuhkan bantuan
dan bimbingan serta pengarahan dari orang tua atau orang dewasa lainnya untuk
menghadapi segala permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan proses perkembangan,
sehingga mereka dapat melalui dan menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi secara
wajar, sehingga mereka mampu menyesuaikan diri. Caplan (dalam Cohen, 1985)
menegaskan bahwa kehadiran sumber-sumber dukungan yang sesuai merupakan
determinan utama bagi penyesuaian diri, sementara itu ketidakhadiran dukungan dapat
menimbulkan kesepian dan kehilangan, juga dapat menganggu proses penyesuaian diri.
Remaja penyandang cacat tubuh yang mendapatkan dukungan sosial yang tinggi
akan memiliki konsep diri positif dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Remaja yang demikian juga memiliki pandangan yang optimis terhadap kehidupannya
karena yakin akan kemampuannya dalam mengendalikan situasi dibandingkan dengan
remaja yang kurang mendapatkan dukungan sosial. Orang yang kurang mendapat
dukungan sosial cenderung merasa tidak puas dengan kehidupannya (Sarason dkk, 1986).
Remaja penyandang cacat tubuh dihadapkan pada masalah pergaulan yang
berhubungan erat dengan penerimaan dan penolakan terhadap kehadirannya, baik oleh
teman sebaya atau orang yang lebih tua. Untuk menghindari hal tersebut, remaja
penyandang cacat tubuh perlu memiliki sikap, perasaan, dan tingkah laku yang menunjang
dirinya diterima oleh lingkungan. Selain itu penyandang cacat tubuh harus mampu
menyesuaikan diri berperilaku sesuai dengan masyarakat atau lingkungan sekitarnya dan
dapat menjalanlankan fungsi sosialnya.
Pentingnya penanaman konsep diri positif dan dukungan sosial dari guru dan orang
tua pada remaja penyandang cacat tubuh sehingga mereka mempunyai keyakinan diri dan
pandangan positif tentang dirinya serta yakin akan kemampuannya sehingga
mempermudah dalam berinteraksi sosial dan melakukan penyesuaian sosial di lingkungan
asrama menjadi motivasi dalam penelitian ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan
dukungan sosial dengan penyesuaian sosial pada remaja penyandang cacat tubuh. Selain
itu, untuk mengetahui ada atau tidak adanya hubungan antara masing-masing variabel
bebas dengan variabel tergantung.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis yaitu berupa informasi bagi remaja penyandang cacat tubuh dan
orangtua dalam mengantisipasi segala perubahan pada usia remaja dengan melakukan
penyesuaian sosial yang positif serta diharapkan dapat memberikan masukan bagi para
praktisi dibidang psikologi dalam penanganan permasalahan penyimpangan perilaku
remaja penyandang cacat tubuh baik secara kuratif maupun berupa tindakan preventif.

B. Dasar Teori
1. Penyesuaian Sosial
Schneiders (1985) berpendapat bahwa penyesuaian sosial adalah sejauh mana
individu mampu bereaksi secara sehat dan efektif terhadap hubungan, situasi, dan
kenyataan sosial yang merupakan kebutuhan kehidupan sosial. Pengertian di atas dapat
diartikan bahwa individu harus mengadakan reaksi, interaksi, berhubungan dengan
individu lain yang ada di dalam suatu kelompok untuk memenuhi kebutuhan sosial.
Meichati (1983) mengatakan bahwa penyesuaian sosial dapat berlangsung
karena ada dorongan untuk memenuhi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan ini adalah
untuk mencapai keseimbangan antara tuntutan sosial dengan harapan yang ada dalam
dirinya. Penyesuaian sosial diartikan sebagai kesanggupan individu untuk bereaksi
secara efektif dan harmonis terhadap realitas siosial yang sehat, dapat menghadapi
pribadi lain dengan cara membina persahabatan yang baik.
Khaeruddin (dalam Warastuti, 2002) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial
adalah tingkah laku penyesuaian diri terhadap lingkungan yang memiliki beberapa
aturan dan norma yang mengatur tingkah laku dalam lingkungan sosial. Lingkungan
merupakan kumpulan individu yang mempunyai suatu norma atau aturan yang berlaku
di dalamnya. Orang yang masuk dalam lingkungan tersebut harus mewujudkan diri
terhadap norma yang ada. Norma atau aturan tersebut berlaku mengikat untuk setiap
individu yang ada dalam suatu lingkungan.
Hurlock (1993) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai keberhasilan
seseorang untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri terhadap orang lain pada
umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Orang yang dapat menyesuaikan
diri dengan baik mempelajari berbagai ketrampilan sosial seperti kemampuan untuk
menjalin hubungan secara diplomatis dengan orang lain, baik yang teman maupun
orang yang tidak dikenal sehingga sikap orang lain terhadap mereka menyenangkan.
Afifudin (dalam Murtini, 2001) menyebutkan bahwa penyesuaian sosial adalah
usaha untuk menciptakan situasi dan kondisi yang serasi antara seseorang dengan
masyarakat sekitarnya sehingga terjadi hubungan yang berbentuk timbal balik yang
harmonis antara keduanya.
Hurlock (1993) mengemukakan aspek-aspek dalam penyesuaian sosial, antara
lain:
1) Penampilan nyata. Bila perilaku sosial anak, seperti yang dinilai berdasarkan
standar kelompok, memenuhi harapan kelompok, dia akan menjadi anggota yang
diterima kelompok.
2) Penyesuaian diri terhadap kelompok. Anak yang dapat menyesuaikan diri dengan
baik terhadap berbagai kelompok baik kelompok teman sebaya maupun kelompok
orang dewasa, secara sosial dianggap sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri
dengan baik.
3) Sikap sosial. Anak harus menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang
lain, terhadap partisipasi sosial, dan terhadap perannya dalam kelompok sosial, bila
ingin dinilai sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik secara
sosial.
4) Kepuasan pribadi. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial, anak
harus merasa puas terhadap kontak sosialnya, terhadap peran yang dimainkannya
dalam situasi sosial, baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota.
Kriteria penyesuaian diri yang baik seperti adanya konsep diri yang baik,
mudah menjalin persahabatan, toleransi, mematuhi norma yang berlaku dan rasa puas
dalam aktivitas kelompok. Orang yang berhasil melakukan penyesuaian diri yang baik
jika dirinya mampu memahami dan menerima keadaan dirinya, baik kelebihan
maupun keterbatasannya sehingga dengan mudah bisa menjalin hubungan yang
menyenangkan ketika berada di dalam suatu lingkungan.

2. Konsep Diri
Konsep diri merupakan sesuatu yang ada dalam diri sendiri, jadi pandangan
dari dalam (Gunarsa, 1985). Konsep diri dapat diartikan dengan bagaimana individu
melihat dirinya sendiri. Atkinson, dkk. (1991) mengungkapkan konsep diri adalah
gambaran, ide, perasaan dan sikap yang dimilikinya seseorang tentang dirinya. Konsep
diri individu tidak sama antara yang satu dengan yang lain, tergantung bagaimana
individu memberikan gambaran terhadap dirinya. Pudjijoyanti (1993) menyatakan
bahwa konsep diri adalah sikap dan pandangan individu terhadap keadaan dirinya.
Bila individu menilai dirinya kurang baik, maka individu akan menganggap remeh dan
membayangkan kegagalan usahanya, sedangkan bila individu menilai dirinya bai atau
positif maka individu akan optimis terhadap usahanya dan berusaha mengatasi
kesulitan sehingga bertambah kemungkinannya untuk sukses.
Konsep diri berasal dari bahasa Inggris self concept, yaitu suatu konsep dari
seseorang mengenai dirinya sendiri yang dapat dirasakan, dipikirkan dan dinilai oleh
dirinya sendiri sehingga selalu bertindak sesuai dengan konsep yang demikian
tersebut. Konsep diri tidak langsung dapat diamati seperti halnya perilaku dan ekspresi
seseorang. Manifestasi konsep diri tercermin dalam pola perilakunya. Hurlock (1993)
menjelaskan konsep diri adalah konsep seseorang dari siapa dan apa dia itu. Konsep
diri merupakan bayangan cermin, yang ditentukan sebagian besar oleh peran dan
dihubungkan dengan orang lain, dan apa yang kiranya reaksi orang lain terhadapnya.
Brooks (dalam Rakhmat, 1991) mendefinisikan bahwa konsep diri merupakan
pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri boleh bersifat
psikologis, sosial dan fisik. Dengan demikian konsep diri bukan hanya gambaran
deskriptif tentang diri kita, namun juga penilaian atas diri kita secara fisik, psikis dan
sosial.
Craven (2002) menyatakan bahwa konsep diri yang positif akan berhubungan
dengan afeksi terhadap diri sendiri (self worth) dan penerimaan diri. Perasaan terhadap
diri sendiri yang positif disertai penerimaan diri, akan membuat perkembangan
individu dalam konteks kemasyarakatan, termasuk dalam dunia kerja, menjadi optimal
melalui pengenalan tahap-tahap perkembangan dengan pemahaman cerdik,
pengambilan keputusan yang matang, pengaturan diri yang bertanggung jawab dan
moral yang otonom.
Aspek-aspek konsep diri menurut Berzonsky, 1981 (dalam Yektiningsih,
2001), antara lain:
1) Aspek fisik, meliputi penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimilikinya,
seperti tubuh, pakaian, benda miliknya, dan sebagainya.
2) Aspek psikis, meliputi pikiran, perasaan, dan sikap yang dimiliki individu terhadap
dirinya sendiri.
3) Aspek sosial, meliputi bagaimana peran sosial yang dimainkan oleh individu dan
sejauh mana penilaiannya terhadap kinerjanya.
4) Aspek moral, meliputi nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang memberikan arti dan
arah bagi kehidupan sesungguhnya.
Konsep diri bukan hanya faktor keturunan dan terbentuk secara bertahap sejak
lahir yang berkembang seiring dengan perkembangan manusia, sebagai hasil dari
berbagai faktor yang dinamis baik yang berasal dari diri individu, keluarga maupun
lingkungan. Ciri konsep diri yang positif adalah pengetahuan yang luas dan
bermacam-macam tentang diri, pengharapan yang realitas dan harga diri yang tinggi
(Calhoun & Acocella, 1995). Fitts (dalam Rakhmat, 1991) menyebutkan ciri-ciri
individu yang mempunyai konsep diri rendah adalah tidak menyukai dan menghormati
diri sendiri, memiliki gambaran yang tidak pasti terhadap dirinya, sulit mendefinisikan
diri sendiri dan mudah terpengaruh oleh bujukan dari luar, tidak memiliki pertahanan
psikologis yang dapat membantu menjaga tingkat harga dirinya, mempunyai banyak
persepsi diri yang saling berkonflik, merasa aneh dan asing terhadap diri sendiri
sehingga sulit bergaul, mengalami kecemasan yang tinggi, serta sering mengalami
pengalaman negatif dan tidak dapat mengambil manfaat dari pengalaman tersebut.
3. Dukungan Sosial
Sarason, Sarason & Shaerin (1986) mendefinisikan dukungan sosial sebagai
keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat
dipercaya. Dari interaksi ini individu menjadi tahu bahwa orang lain memperhatikan,
menghargai dan mencintai dirinya. Individu membutuhkan dukungan, terutama dari
orang-orang terdekat. Etzion (1984) memberikan pengertian bahwa dukungan sosial
adalah hubungan yang bersifat interpersonal yang memiliki ciri-ciri bantuan atau
pertolongan dalam bentuk fisik, perhatian, emosional, pemberian informasi dan pujian.
Dukungan yang diperoleh individu bisa berupa dukungan fisik, dan dukungan psikis
berupa perhatian, emosional, pemberian informasi dan pujian.
Johnson & Johnson (1991) mendefinisikan dukungan sosial sebagai
keberadaan orang lain yang dapat memberikan bantuan, dorongan, penerimaan, dan
perhatian kepada seseorang. Pemberian dukungan membantu individu mengahdapi
situasi yang menimbulkan ketegangan. Dukungan sosial adalah adanya perasaan
dihargai, dicintai, diperhatikan dan dipercaya oleh orang lain, seperti dukungan
emosional, dukungan informatif, dukungan instrumental, dan penilaian yang dapat
bermanfaat bagi individu, karena bersifat menolong atau membantu individu untuk
dapat memecahkan masalahnya (Hartanti, 2002).
House & Khan (1985) mendefinisikan dukungan sosial sebagai suatu bentuk
hubungan sosial yang bersifat menolong dengan melibatkan aspek-aspek emosi,
informasi, bantuan instrumen, dan penilaian.
1) Dukungan emosional (afeksi, penghargaan, keprcayaan, perhatian dan perasaan
didengarkan). Dukungan emosional merupakan pemberian dukungan berupa
ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang-orang yang
bersangkutan.
2) Dukungan penilaian atau penghargaan (pengakuan, umpan balik, dan
perbandingan sosial). Dukungan penilaian adalah ungkapan hormat secara positif
kepada seseorang, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan
individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain.
3) Dukungan informasi. Dukungan informasi berupa pemberian nasehat, informasi
dan pengarahan, saran, petunjuk-petunjuk dan umpan balik.
4) Dukungan instrumental. Dukungan instrumental berupa pemberian bantuan alat,
keuangan dan peluang waktu. Dukungan ini bersifat langsung. Misalnya bantuan
pekerjaan, pekerjaan dan keuangan.
Sumber dukungan sosial dapat berupa orang yang dekat dengan individu
(Thoits, 1986). Dukungan yang diharapkan banyak ditemukan oleh setiap individu
adalah dukungan dari orang tua, guru, teman dan anggota keluarga lainnya.
Seluruh uraian diatas menjelaskan bahwa secara teoritik terlihat adanya
hubungan konsep diri dan dukungan sosial akan mempengaruhi penyesuaian sosial
yang dilakukan remaja penyandang cacat tubuh. Sekolah menjadi salah satu faktor
yang penting karena merupakan tempat utama untuk para siswa tinggal dan melakukan
seluruh kegiatan sekolah maupun kegiatan sehari-hari. .

C. Metode Penelitian
1. Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsep diri dan dukungan sosial dan
variabel tergantung dalam penelitian ini adalah penyesuaian sosial pada remaja
penyandang cacat tubuh. Definisi operasional dari masing-masing variabel tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Konsep diri adalah pandangan, penilaian maupun perasaan seseorang terhadap
dirinya sendiri. Variabel ini disusun berdasarkan indikator konsep diri dari Berzonsky,
1981 (dalam Yektiningsih, 2001) dan diungkap dengan skala konsep diri yang
meliputi aspek fisik, psikis, sosial dan moral. Apabila skor yang diperoleh subjek
tinggi memberikan indikasi bahwa konsep diri yang dimiliki tinggi (positif), demikian
juga sebaliknya bila skor yang diperoleh rendah maka memberikan indikasi bahwa
konsep diri yang dimiliki juga rendah (negatif).
b. Dukungan sosial (social support) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
hubungan interpersonal dan hubungan sosial yang bersifat menolong dan dapat
membantu mengurangi beban individu dalam menghadapi masalah. Variabel ini
disusun berdasarkan indikator dukungan sosial dari House & Khan (1985) dan
diungkap dengan skala dukungan sosial yang meliputi aspek-aspek, antara lain:
dukungan emosional, dukungan penilaian, dukungan informatif dan dukungan
instrumental yang diperoleh individu. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek
penelitian, berarti memberikan indikasi bahwa semakin tinggi pula tingkat dukungan
sosial yang diperoleh individu. Semakin rendah skor yang diperoleh subjek penelitian,
maka memberikan indikasi semakin rendah pula dukungan sosial yang diperoleh
individu.
c. Penyesuaian sosial adalah hubungan timbal balik antara individu yang satu dengan
individu yang lain dalam suatu hubungan lingkungan yang memilki norma yang
mengikat setiap individu yang ada dalam lingkungan tersebut. Variabel ini disusun
berdasarkan indikator penyesuaian sosial dari Hurlock (1997) dan diungkap dengan
skala penyesuaian sosial yang meliputi aspek-aspek antara lain: penampilan nyata,
penyesuaian diri terhadap kelompok, sikap sosial, dan kepuasan pribadi. Semakin
tinggi skor yang diperoleh subjek penelitian, berarti memberikan indikasi semakin
tinggi (baik) pula tingkat penyesuaian sosial yang dilakukan individu. Semakin rendah
skor yang diperoleh subjek penelitian, maka memberikan indikasi semakin rendah
(buruk) pula penyesuaian sosial yang dilakukan individu.

2. Subjek
Penelitian ini adalah penelitian populasi, karena terbatasnya jumlah populasi
yaitu remaja penyandang cacat tubuh yang berumur 16 s/d 21 tahun di Balai Besar
Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof. Dr. Soeharso Surakarta hanya 50 orang. Oleh
karena itu 50 orang tersebut semuanya digunakan sebagai sampel penelitian, sehingga
pengambilan sampel dengan purposive sampling. Pengambilan data dilakukan pada
bulan April 2009.
3. Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga buah skala, yaitu
skala konsep diri, skala dukungan sosial dan skala penyesuaian sosial. Model skala
yang digunakan pada skala konsep diri, skala dukungan sosial dan skala penyesuaian
sosial pada remaja penyandang cacat tubuh adalah model likert yang telah
dimodifikasi menjadi empat kategori jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S),
Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pernyataan dalam skala penelitian
ini mengandung aitem favorable (mendukung) dan unfavorable (tidak mendukung).
Pemberian skor untuk aitem favorable bergerak dari empat sampai satu untuk SS, S,
TS dan STS, sedangkan skor untuk aitem unfavorable bergerak dari satu sampai empat
untuk SS, S, TS dan STS. Semua alat ukur ini sebelum digunakan diujicobakan untuk
mencari validitas dan reliabilitasnya. Analisis data menggunakan analisis regresi
ganda dengan dua prediktor melalui program SPSS for windows versi 16.0.
Reliabilitas skala dianalisis dengan menggunakan metode konsistensi-internal
Cronbach Alpha, sedangkan validitas menggunakan pendekatan validitas isi dan
kemudian dicari korelasi item-totalnya.
Skala penyesuian sosial terdiri dari 20 item dengan korelasi item-total (rbt)
bergerak dari 0,310 sampai dengan 0,633 dan koefisien reliabilias alpha = 0,862. Skala
konsep diri teridri dari 25 item dengan korelasi item-total (rbt) bergerak dari 0,311
sampai dengan 0,661 dan koefisien reliabilias alpha = 0,897. Skala dukungan sosial
terdiri dari 21 item dengan korelasi item-total (rbt) bergerak dari 0,306 sampai dengan
0,602 dan koefisien reliabilias alpha = 0,886.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian adalah dengan
analisis regresi berganda dengan dua prediktor dan korelasi Pearson yang diolah
dengan program program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16.0.
Analisis regresi berganda dengan dua prediktor digunakan untuk mengetahui
korelasi antara konsep diri dan dukungan sosial dengan penyesuaian sosial pada
remaja penyandang cacat tubuh. Uji korelasi digunakan untuk menguji hubungan
antara masing-masing variabel bebas yaitu konsep diri dan dukungan sosial dengan
variabel tergantung yaitu penyesuaian sosial pada remaja penyandang cacat tubuh. Uji
korelasi yang digunakan adalah korelasi Pearson karena jumlah sampel penelitian
yang digunakan jumlahnya lebih dari 30.

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Bedasarkan hasil analisis regresi menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara konsep diri dan dukungan sosial dengan penyesuaian sosial pada remaja
penyandang cacat tubuh secara bersama-sama dengan Ry(1,2) = 0,689, Freg = 21,296 dan
p<0,05. Hasil uji korelasi product moment pearson antara konsep diri dengan penyesuaian
sosial pada remaja penyandang cacat tubuh menunjukkan hubungan positif yang
signifikan dengan rx1y = 0,590 dan p<0,05. Korelasi antara dukungan sosial dengan
penyesuaian sosial pada remaja penyandang cacat tubuh menunjukkan adanya hubungan
positif yang signifikan dengan rx2y = 0,685 dan p<0,05. Konsep diri dan dukungan sosial
menyumbang sebesar 47, 5 % terhadap penyesuaian sosial pada remaja penyandang cacat
tubuh di BBRSBD Prof. Dr. Soeharos Surakarta. Ini menunjukkan bahwa masih ada 52,5
% pengaruh variabel lain terhadap penyesuaian sosial pada remaja penyandang cacat
tubuh selain konsep diri dan dukungan sosial.
Adanya korelasi yang positif dan signifikan antara konsep diri dan dukungan sosial
secara bersama-sama dengan penyesuaian sosial pada remaja penyandang cacat tubuh
menunjukkan bahwa konsep diri dan dukungan sosial mempunyai peranan penting dalam
menentukan perilaku. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Fuhrmann (1990)
bahwa konsep diri adalah variabel yang akan ikut menentukan bagaimana individu
menerima, merasakan dan merespon diri dan lingkungannya. Seperti yang dinyatakan oleh
Shiffer dkk (1997) bahwa konsep diri merupakan hal yang penting dalam kepribadian,
karena konsep diri merupakan inti atau faktor primer dalam kepribadian dan dianggap
sebagai kunci yang mengatur dan mengarahkan perilaku manusia.
Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian Partosuwido (1992) yang
menemukan bahwa orang yang konsep dirinya tinggi memiliki penyesuaian diri tinggi,
sedangkan orang yang konsep dirinya rendah, penyesuaian dirinya juga rendah. Remaja
penyandang cacat tubuh yang mempunyai konsep diri positif akan memiliki keyakinan
bahwa dirinya mampu melakukan tugas tertentu, di dalam hal ini konsep diri berperan
menentukan keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam mengatasi persoalan dan
penyesuaian sosialnya (Hurlock, 1991).
Dukungan sosial berkorelasi positif dan signifikan dengan penyesuaian sosial dan
merupakan faktor penting untuk memprediksi penyesuaian sosial pada remaja penyandang
cacat tubuh di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta. Hasil penelitian ini mendukung
teori-teori yang dikemukakan bahwa peran dukungan sosial yang diterima subjek akan
sangat membantu dalam proses penyesuaian sosial, karena kehadiran sumber-sumber
dukungan yang sesuai memang dapat membantu penyesuaian individu dalam mengahadpi
peristiwa-peristiwa yang menekan (Caplan dalam Cohen dkk, 1988). Dukungan sosial
yang diberikan dapat membantu remaja penyandang cacat tubuh melakukan penyesuaian
sosial yang lebih baik tehadap lingkungan sosialnya dan membantu membentuk
kepribadian remaja yang tangguh menghadapi berbagai tuntutan lingkungan di masa-masa
selanjutnya (Maharani, 2003).
Remaja penyandang cacat tubuh di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa
Prof. Dr. Soeharso Surakarta yang mendapat dukungan sosial yang tinggiakan mengalami
hal-hal positif dalam hidupnya, memiliki self esteem yang tinggi dan self concept yang
lebih baik serta tingkat kecemasan yang lebih rendah. Remaja yang demikian juga
memiliki pandangan yang optimis terhadap kehidupannya karena yakin akan
kemampuannya dalam mengendalikan situasi dibanding remaja yang rendah dukungan
sosialnya. Orang yang kurang mendapat dukungan sosial cenderung merasa tidak puas
dalam kehidupannya (Sarason dkk, 1983). Secara singkat dapat dikatakan bahwa
penyesuaian sosial remaja penyandang cacat tubuh di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina
Daksa Prof. Dr. Soeharso Surakarta diprediksi dari konsep diri dan dukungan sosial baik
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
E. Penutup
1. Kesimpulan
Penelitian ini membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara konsep
diri dan dukungan sosial dengan penyesuaian sosial pada remaja penyandang cacat tubuh
secara bersama-sama dengan Ry(1,2) = 0,689, Freg = 21,296 dan p<0,05. Hasil uji korelasi
product moment pearson antara konsep diri dengan penyesuaian sosial pada remaja
penyandang cacat tubuh menunjukkan hubungan positif yang signifikan dengan rx1y =
0,590 dan p<0,05. Korelasi antara dukungan sosial dengan penyesuaian sosial pada remaja
penyandang cacat tubuh menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan dengan
rx2y = 0,685 dan p<0,05. Konsep diri dan dukungan sosial menyumbang sebesar 47, 5 %
terhadap penyesuaian sosial pada remaja penyandang cacat tubuh di BBRSBD Prof. Dr.
Soeharos Surakarta. Ini menunjukkan bahwa masih ada 52,5 % pengaruh variabel lain
terhadap penyesuaian sosial pada remaja penyandang cacat tubuh selain konsep diri dan
dukungan sosial.
2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai
berikut:
a. Pihak sekolah dapat memfasilitasi para siswanya untuk mengikuti perlombaan dan
mengembangkan kreativitasnya. Selain itu juga memberikan umpan balik atas perilaku
para siswanya berupa penilaian positif berupa pujian dan hadiah atas keberhasilan dalam
menegrjakan suatu tugas maupun penilaian negatif berupa teguran atau hukuman bagi
mereka yang berperilaku negatif. Penyesuaian sosial remaja penyandang cacat tubuh,
ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh konsep diri dan dukungan sosial, tetapi juga
motivasi, kepercayaan diri dan aktualis asi diri individu. Oleh karena itu, pihak sekolah
bisa menyelenggarakan kegiatan yang menunjang peningkatan motivasi, kepercayaan diri,
dan aktualisasi diri, misalnya dengan mengadakan Achievment Motivation Training,
peningkatan keagamaan lewat ESQ atau siraman rohani rutin. Pihak sekolah bisa
mengusahakan suatu ruang khusus sebagai tempat untuk para siswa yang ingin curhat
pada pembina atau guru.
b. Penyandang cacat tubuh perlu memiliki konsep diri positif sehingga mampu
memahami dan mengenali kelebihan dan kekurangan dirinya agar dapat menyesuaikan diri
dan meraih cita-cita yang diharapkan sesuai dengan kemampuan dengan cara:
a) Berpikir positif tentang keadaan yang dialaminya,
b) Bersyukur atas apa yang telah dianugerahkan oleh Allah swt kepada dirinya,
c) Percaya bahwa setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan
d) Menanamkan keyakinan atas kemampuan diri ”Aku Pasti Bisa”
e) Mengenali bakat dan ketrampilan yang disukai, kemudian melatihnya secara
rutin sehingga mempunyai kekuatan yang bisa ditonjolkan dari dalam dirinya
dan bisa dikembangkan sehingga menghasilkan suatu produk yang bermanfaat
dan bernilai.
Para penyandang cacat dapat melakukan penyesuaian diri yang baik, dengan cara
memahami dan menerima keadaan dirinya, baik kelebihan maupun keterbatasannya
sehingga berani untuk berkenalan dengan mudah bisa menjalin hubungan yang
menyenangkan ketika berada di dalam suatu lingkungan. Penyesuaian diri yang baik bisa
terjadi dengan mengikuti tuntutan dalam suatu kelompok.
c. Bagi pihak keluarga, perlunya pemberian dukungan sosial yang cukup dari pihak
keluarga penyandang cacat tubuh kepada putra putrinya dengan membangun komunikasi
yang baik dengan anak sehingga anak nyaman untuk berkeluh kesah tentang perasaannya.
Penyandang cacat tubuh dihadapkan pada permasalahan psikis dan sosial berkaitan
dengan kecacatan yang dialami sehingga keluarga senantiasa memberikan perhatian penuh
dan menanamkan konsep diri positif pada anak dengan memberikan respon positif atas
keberhasilan anak dan membahas bersama tentang kekurangan atau hambatan apabila
anak mengalami kegagalan sehingga penyandang cacat tidak putus asa.
d. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperluas populasi dan memperbanyak
sampel agar ruang lingkup dan generalisasi penelitian menjadi lebih luas dan mencapai
proporsi yang seimbang serta memperhatikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi
konsep diri dan dukungan sosial dengan penyesuaian sosial para penyandang cacat tubuh
seperti motivasi, kepercayaan diri, kemandirian, aktualisasi diri, status sosial dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti A. B., Santoso, S. W., Utami, M. S. 2000. Hubungan antara Dukungan Keluarga
dengan Penyesuaian Diri Perempuan pada Kehamilan Pertama. Universitas Gajah
Mada. Jurnal Psikologi, No. 2 : 84 – 95.

Asyanti, S., Sofiati, M., Sudardjo. 2002. Penyesuaian Sosial di Sekolah pada Siswa-Siswi
SLTP Penderita Asma. Indigenous. Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi Vol. 6, No. 1:
52 – 58.

Atkinson, R. L., Atkinson, R. C., Smith, E. E., Bem, D. J. 1991. Pengantar Psikologi.
Batam. Interaksa.

Azwar, Saifudin. 2005. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_____________. 2008. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Brehm, S.S. and Kassin, S.M. 1990. Social Psychology. New Jersey: Houghton Miffin,
Co.

Burns, R.B. 1993. Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku
(terjemahan). Jakarta. Penerbit Arcan.

Calhoun, J.P., Acocella, J.R. 1995. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan
Kemanusiaan. Semarang: IKIP Semarang Press.

Chaplin, J.P. 1995. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Cohen, S., Syrne, S.L. 1985. Social Support and Health. London: Academic Press Inc.

Craven. 2002. Chapter 2: The Multidimensional Structure of Self Concept and Its
Relationship to other Construct.
Http://edweb.uws.edu.au/self/Theses/Craven/Chapter 2.pdf

Daldjon, A. 1985. Rumah Sejahtera. Bandung. Alumni.

Daradjat,Z. 1985. Kesehatan Mental. Jakarta: PT. Gunung Agung


Dewi, E. K., Listiara, A., Widodo, P. B., Ediati, A., rusmawati, D. 2004. Studi Komparasi
Konsep Diri ditinjau dari Latar Belakang Budaya dan jenis Kelamin pada Siswa
Sekolah Menengah di Semarang dan Wonosobo. Jurnal Psikologi UNDIP Vol. 1,
No. 2: 144 – 159.

Etzion, D. 1984. Moderating Effect of Social Support on The Stress – Burn Out
Relationship journal of Applied Psychology. Vol. 15: 157 – 175.

Fuhrmann, B.S. 1990. Adolescence, Adolescents. Illinois:Scott,


106
Foresman/Little Higher Education.

Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Gunarsa, S.D. 1985. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.

Hadi, S. 1992. Metode Research Jilid II. Yogyakarta. Andi Offset.

______. 1995. Analisis Regresi. Yogyakarta. Andi Offset.

Hartanti, 2002. Peran Sense of Humor dan Dukungan Sosial pada Tingkat depresi
Penderita. Dewasa Pasca Stroke. Anima (Indonesian Psychological Journal) Vol.
17. No. 2. Hal 107 – 119 Bulan Januari.

Havighurst, R.J. 1967. Development Task and Education. New York: David McKay.

House, J. S. and Khan, R. L. 1985. Measures and Concept of Social Support: Social
Support and Health. Cohen, S. and Syme, S. L. (Eds) Orlando: Academic Press
Inc.

Hurlock, E.B. 1993. Perkembangan Anak. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

______.1999. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan


(Terjemahan Instiwidayanti dan Soedjarwo). Jakarta: Erlangga.
Johnson, D. W. and Johnson, F. P. 1991. Joining Together: Group Theory and group
Skills. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Kail, J dan nelson, W. 1991. Behavior Disorder of Children 2nd. Engelewood, Cliffs, New
Jersey: Prenticehall.

Kusuma, Y.D. 2005. Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Kepercayaan Diri dengan
Kecenderungan Fobia Sosial pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh. Skripsi.
(Tidak diterbitkan). Surakarta. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Latipun. 2004. Psikologi Eksperimen edisi dua, Universitas Muhamadiyah Malang Press:
Malang.

Maharani, O. P. 2003. Hubungan Antara Dukungan Sosial Ayah Dengan Penyesuaian


Sosial pada Remaja Laki-laki. Jurnal Psikologi, no 1, 23-35. UGM.
Meichati, S. 1983. Kesehatan Mental: Dasar-dasar Praktis Bagi Pengetahuan dan
Kehidupan Bersama. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Monks, F. J., Knoers, A. M. P. , dan Haditono, S. R. 1999. Psikologi Perkembangan.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Murtini. 2001. Hubungan antara Intensitas komunikasi Remaja dan Orang Tua dengan
Penyesuaian Sosial. Skripsi. (Tidak diterbitkan). Surakarta. Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Mu’tadin, Z. 2002. Strategi Koping. http://www.e-psikologi.com. 12 Oktober 2005.

Nugroho, B.A. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS.
Yogyakarta: Andi Offset.

Nugroho, S. 2004. Meretas Siklus Kecacatan: Realitas yang Terabaikan. Surakarta:


Yayasan Talenta The Ford Foundation.

Partosuwido, S.R. 1992. Penyesuaian Diri Mahasiswa Dalam Kaitannya Dengan Konsep
Diri, Pusat Kendali dan Status Perguruan Tinggi. Disertasi (Tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana UGM.

Pudjijogyanti, R. C. 1993. Konsep Diri dalam Pendidikan. Jakarta: Penerbit Arcan.

Rackmat, J. 1991. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakara

Rusmawati, D., Widodo, P. B. 2004. Studi Korelasi Konsep Diri dan Keyakinan Diri
dengan Kewirausahaan pada Mahasiswa Prodi Psikologi FK UNDIP Semarang.
Jurnal Psikologi UNDIP Vol. 1, No. 1: 59 – 72.

Sarason, I.G., Sarasom, B.R., Shearin, E.N. 1986. Social Support as an Individual
Difference Variable: Its Stability, Origins, and Relational Aspects. Journal of
Personality and Social Psychology. Vol. 10. No. 4, Halaman 845 – 855.

Schneiders,A. A. 1985. Personal Adjustment and Mental Health. Holt, Rinehart and
Winston. New York.

Shiffer, N., Sauer, J., Nadelman, L. Relation Between Self-Concept and Classroom
Behavior in Two Informal Elementary School. Journal of Educational Psychology,
69, 349 – 359.

Soemantri, T. S. 1995. Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Thoits, P.A. 1986. Social Support as Coping Assistance. Journal of Consulting and
Clinical Psychology. 54.4. hal: 416 – 423.

Tuhumena, Hellen A. B. 2006. Upaya membentuk Konsep Diri yang Positif Dalam
Rangka Menurunkan Kecenderungan Berperilaku agresif Pada Remaja. Fakultas
Psikologi Universitas Putra bangsa. Jurnal Psikologi. Vol. 17, No. 1.

Warastuti, D. 2002. Perbedaan Penyesuaian Sosial di Sekolah antara Tipe Kepribadian


Ekstrovert dan Introvert pada Siswa Sekolah Menengah Umum. Skripsi. (Tidak
diterbitkan). Surakarta. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Yanti, D.P. 2008. Konsep Diri Positif dan Konsep Diri Negatif. Wordpress.com

Yektiningsih, D. 2001. Hubungan Antara Konsep Diri dengan Perilaku Seksual Remaja.
Skripsi. (Tidak diterbitkan). Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai