Anda di halaman 1dari 16

TUGAS STUDI LINGKUNGAN HIDUP GLOBAL

PERAN INDONESIA DALAM (SIMULTANEOUS EXTRAORDINARY MEETINGS OF THE CONFERENCE OF PARTIES TO THE BASEL, ROTTERDAM AND STOCKHOLM CONVENTIONS (EXCOPS)

The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. If the red x still appears, y ou may hav e to delete the image and then insert it again.

DISUSUN OLEH : NADIAH APRILIANI 08-032 KELAS C

UNIVERSITAS NASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK HUBUNGAN INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Isu pemanasan global masih terus diperbincangkan, dunia pun

menanggapinya melalui Konperensi PBB untuk Perubahan Iklim ke 15 (COP 15 UNFCCC) Kopenhagen, dan telah menghasilkan Copenhagen Accord (kesepakatan Kopenhagen). Indonesia menilai, Kesepakatan Kopenhagen telah berhasil

mengkodifikasi komitmen masing-masing negara pihak untuk melakukan aksi-aksi menanggulangi perubahan iklim, terutama mengurangi emisi gas rumah kaca. Untuk aksi mitigasi di negara berkembang, negara maju berkomitmen menyediakan dana yang berasal dari dana publik dan dana swasta, bilateral, multilateral, dan sumber-sumber inovatif. Dimana sebagaian besar dana tersebut akan disalurkan melalui Copenhagen Green Climate Fund sebagai operating entity mekanisme pendanaan UNFCCC, dengan struktur governance yang berimbang antara negara maju dan negara berkembang. Kerjasama global dalam menangani isu-isu lingkungan global, tidak berhenti pada pertemuan UNFCCC. Melalui forum United Nations Environment Programme (UNEP) di Nusa Bali, Indonesia berhasil mempertemukan tiga konvensi, yakni Konvensi Basel, Konvensi Rotterdam dan Konvensi Stockholm. Sinergisitas tiga konvensi PBB ini berhubungan dengan pengelolaan bahan kimia dan limbah berbahaya beracun. Negara-negara yang menghasilkan limbah B3, tidak semua memiliki teknologi pemusnahan limbah elektronika. Padahal di setiap negara industri bisa menghasilkan ribuan kontainer setiap harinya, dan ini sangat

membahayakan manusia juga dunia terkait pada isu pemanasan global yang akan menghambat pembangunan berkelanjutan. Dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, masih banyak yang harus dibenahi. Sebab pembangunan berkelanjutan tidak hanya pada konsep ekonomi yang menghasilkan profit, tetapi bagaimana pemerintahan internasional dapat memberikan perhatian lebih terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta mengupayakan sumber-sumber pembiayaan bagi investasi lingkungan.

B. Pokok Masalah Isu lingkungan hidup global masih menjadi suatu masalah yang tidak pernah selesai. Banyak negara telah bekerja sama dengan membentuk konvensi-konvensi maupun perjanjian-perjanjian dalam rangka mewujudkan lingkungan hidup global yang lebih baik. Adapun pada tahun 2010 yang lalu Indonesia menjadi tuan rumah dalam forum United Nations Environment Programme (UNEP) di Nusa Bali, Indonesia berhasil mempertemukan tiga konvensi, yakni Konvensi Basel, Konvensi Rotterdam dan Konvensi Stockholm. Sinergisitas tiga konvensi PBB ini berhubungan dengan pengelolaan bahan kimia dan limbah berbahaya beracun. Berdasarkan pada latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan suatu pokok permasalahan, yaitu Bagaimana peran Indonesia sebagai tuan rumah dalam Pertemuan Simultan Luar Biasa Konperensi Para Pihak Konvensi Basel, Rotterdam dan Stockholm Stockholm (Simultaneous Extraordinary Meetings of the Conference of Parties to the Basel, Rotterdam and Stockholm Conventions (ExCOPs)? .

C. Kerangka Teori 1. Diplomasi Lingkungan Konsep Diplomasi Lingkungan ini berasal dari dua kata yaitu diplomasi dan lingkungan, berikut ini pengertian diplomasi dan lingkungan: Secara garis besar menurut S.L Roy, Diplomasi adalah Diplomasi adalah seni mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain. Definisi tersebut jika ditinjau dari konteks hubungan internasional tampaknya lebih mengena.Tetapi secara

konventional, diplomasi diartikan sebagai salah satu usaha untuk memperjuangkan internasional1 Berdasarkan pengertian dari Undang-Undang Dasar No.23 Tahun 1997 menyatakan bahwa: Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perilaku kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Menurut Andreas Pramudianto menjelaskan bahwa diplomasi dan lingkungan hidup merupakan istilah yang dapat dikaitkan dan berkembang menjadi Diplomasi Lingkungan (Environmental Diplomacy) sehingga pengertiannya menjadi: Ilmu dan seni yang mempelajari dan menangani isu-isu lingkungan hidup untuk mencapai kesesuaian dengan kepentingan nasional (atau kepentingan kepentingan nasionalnya dikalangan masyarakat

K.J. Holsti, International Politics A Frame Work For Analysis Third edition, Practice Hall of India, New delhi, 1978, hal.82-83

dan kebijakan entitas bukan negara) terutama kebijakan politik luar negeri dan politik dalam negeri di bidang lingkungan hidup suatu negara.2 Sehingga diplomasi lingkungan dapat mencakup dari persoalan pencemaran udara, limbah B3, pencemaran laut, perdagangan satwa langka, perubahan iklim, bioteknologi dan keamanan hayati hingga persoalan-persoalan seperti nuklir, pemukiman, pembangunan berkelanjutan, sumber daya air, energi dan lain-lain

BAB II PEMBAHASAN

Nama Indonesia kembali berkibar dimata masyarakat Internasional karena dinilai telah memberikan kontribusi positif bagi sejarah penanganan isu-isu lingkungan hidup tingkat internasional. Menyusul Konperensi ke 15 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim di Kopenhagen Denmark, Desember 2009 silam, Indonesia justru ditetapkan menjadi tuan rumah bagi dua pertemuan internasional dibawah naungan Program Lingkungan Hidup PBB, UNEP (United Nations Environment Progrramme). Dua perhelatan PBB tersebut, pertama adalah Pertemuan Simultan Luar Biasa Konperensi Para Pihak Konvensi Basel, Rotterdam dan Stockholm Stockholm (Simultaneous Extraordinary Meetings of the Conference of Parties to the Basel, Rotterdam and Stockholm Conventions (ExCOPs), yang berlangsung pada 22 hingga 24 Pebruari di Nusa Dua Bali. Dan kedua, adalah Sessi Khusus 11 Dewan Pemerintahan UNEP/Forum Kementerian Lingkungan Global (11th Special Session

Pramudianto, Andreas , Diplomasi Lingkungan:Teori dan Fakta,UI-Press, Jakarta, 2008, hal 20

of the UNEP Governing Council/Global Ministerial Environment Forum), yang berlangsung pada 24 hingga 26 Pebruari di tempat yang sama. Tema yang diangkat pada pertemuan kali ini adalah Lingkungan dalam Sistem Multilateral. Secara umum, pertemuan UNEP di Nusa Dua Bali berhasil dengan baik. Tidak hanya prosesnya berjalan lancar, tapi juga sukses dalam pencapaian hasil, jelas Gusti M Hatta. Memang, beberapa agenda yang diperjuangkan Indonesia pada akhirnya diterima para pihak. Misalnya, mengenai pentingnya sinergitas tiga konvensi PBB yang berhubungan dengan pengelolaan bahan kimia dan limbah berbahaya beracun. Terselenggaranya Pertemuan Simultan Luar Biasa Konperensi Para Pihak dari tiga konvensi, yakni Konvensi Basel, Konvensi Rotterdam dan Konvensi Stockholm adalah peristiwa langka yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah. Indonesia akan tercatat dalam sejarah sebagai negara pertama yang berhasil mempertemukan para pihak dari tiga konvensi tersebut dalam satu pertemuan bersama, atas semangat kebersamaan, tegas Gusti M Hatta yang juga menjabat President of COP 9 Basel Convention. Keberhasilan ini tentu semakin melengkapi success story yang telah ditorehkan Indonesia sebelumnya seperti dalam bentuk Bali Roadmap yang menjadi dasar utama negosiasi perubahan iklim dan `Bali Declaration on Waste Management and Human Health` yang diadopsi sebagai Resolusi WHO (World Health Organization). Besarnya harapan masyarakat internasional terhadap Indonesia agar dapat memainkan peranan penting dalam menyikapi berbagai isu lingkungan global, juga tercermin dalam sikap negara-negara di kawasan Asia yang memberikan

mandat kepada Indonesia untuk memimpin negosiasi pada forum United Nations Environment Programme (UNEP) di Nusa Dua Bali ini. Dalam Konvensi Basel, Kelompok Asia akan bernegosiasi berbagai kelompok dalam konvensi, yakni kelompok Asia yang dipimpin Indonesia, kelompok Afrika, kelompok Amerika Latin, dan kelompok Eropa. Bagi Indonesia, hal ini sangat penting untuk melindungi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup dari dampak perpindahan lintas batas B3. Rangkaian pertemuan UNEP selama sepekan di Nusa Dua Bali secara umum memang berhasil membangkitkan kembali optimisme yang sempat memudar paska Konperensi 15 Perubahan Iklim di Kopenhagen Denmark. Menurut Menteri Luar Negeri, Marty M Natalegawa, untuk mencapai hasil yang ideal memang masih membutuhkan serangkaian dialog panjang. Masih perlu pertemuan-pertemuan lanjutan, dan Indonesia siap memfasilitasinya, tegas Marty M Natalegawa kepada pers sesuai menggelar Informal High Meeting yang dihadiri para pimpinan delegasi.

A. Hasil Yang dicapai Pertemuan selama sepekan akhirnya menghasilkan beberapa keputusan dan kesepakatan yakni:3 a. Mengenai sinergi dari tiga konvensi (Basel, Rotterdam dan Stockholm) disepakati perlunya kegiatan bersama (joint activities), audit bersama (joint audits), fungsi manajerial bersama (joint managerial function), pelayanan
3

Serasi, Lima Langkah Strategis Hadapi perubahan Iklim, Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Edisi 01/2010, h.12.

bersama (joint services), sinkronisasi siklus pembiayaan (synchronization of budget cycles) dan review mechanisme. Dengan langkah-langkah yang sinergis ini, diharapkan kegiatan ketiga konvensi tersebut lebih efisien. Kedepan enam hal tersebut akan jadi acuan dalam pengelolaan konvensi kimia dan limbah. Tapi mengenai sekretariatnya, masing-masing tetap punya sendiri. b. Adanya 6(enam) keputusan yaitu: 1. Platform kebijakan sains antar pemerintah untuk keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem (Intergovermental Science-Policy Platform on

Biodiversity and Ecosystem Services/IPBES); 2. Keputusan tentang Laut (Decision on Ocean); 3. Pembiayaan untuk bahan-bahan kimia dan limbah (Financing option for Chemical and Wastes); 4. Keputusan mengenai regulasi lingkungan hidup (Decision on Environmental Law) 5. Tata pemerintah untuk lingkungan hidup dunia (International Environmental Governance); 6. Peningkatan koordinasi pada sistem PBB, termasuk kelompok manajemen lingkungan hidup (Enhanced Coordination Across the UN system, including the Environment Management Group)

c. Kesepakatan tentang Deklarasi Nusa Dua (Nusa Dua Declaration) Tercapainya kesepakatan tentang Platform Kebijakan Sains Antar Pemerintah untuk Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem (Intergovermental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services/IPBES),

didasari pertimbangan akan perlunya peningkatan hubungan antara kajian ilmiah dengan kebijakan di bidang keanekaragaman hayati dan ekosistem (improving the Science-Policy interface for biodiversity and ecosystem services). Hal ini akan disampaikan pada pertemuan Conference of the Parties (COP) ke 10 dari Convention on Biodiversity yang akan dilaksanakan di Nagoya Jepang Oktober 2010 dan pada pertemuan General Assembly PBB pada bulan September 2010. Sedangkan Keputusan pada Kelautan merupakan usulan Pemerintah Indonesia dan Serbia juga dapat diterima dengan baik oleh semua pihak, dengan beberapa catatan dan perbaikan yang juga sejalan dengan posisi Indonesia.

Proses konsultasi tentang opsi pembiayaan bagi upaya penanganan bahan kimia dan limbah yang dilakukan oleh negara-negara anggota juga berjalan dengan baik. Proses tersebut menekankan pada kebutuhan untuk memberikan perhatian pada upaya-upaya untuk meningkatkan prioritas politik yang terkait dengan pengelolaan bahan kimia dan limbah yang tepat, serta meningkatnya kebutuhan akan akses pembiayaan yang berkelanjutan, terprediksikan, cukup dan terjangkau, bagi pengelolaan bahan kimia dan limbah. Secara substansi draf Guideline for the Development of Domestic Legislation on Liability, Response Action and Compensation for Damage Caused by Activities Dangerous to the Environment dan Guidelines for the Development of National Legislation on Access to Information, Public ersifat sukarela dan tidak mengikat (voluntary and nonlegally binding).4

Ibid.,h.13

Kedua draf tersebut menjadi pedoman penyusunan peraturan nasional di bidang tanggung jawab, aksi tanggap dan kompensasi kerugian akibat kegiatan yang berbahaya bagi lingkungan hidup serta pengembangan hukum nasional di bidang akses informasi, partisipasi publik dan keadilan. Tujuan penyusunan kedua draf dimaksud adalah untuk memberikan pedoman umum bagi negara-negara khususnya negara berkembang dalam mengembangkan peraturan perundang-undangan baik ditingkat pusat maupun di daerah, sesuai dengan Prinsip 10 Deklarasi Rio tahun 1992. Dalam proses konsultasi tingkat menteri telah dibahas dua isu yaitu keanekaragaman hayati dan ekosistem serta Ekonomi Hijau. Untuk isu

keanekaragaman hayati dan ekosistem telah dibahas antara lain peningkatan hubungan kajian ilmiah dengan kebijakan, International Year Biodiversity (IYB), target kehilangan keanekaragaman hayati pada tahun 2010 serta The Economics of Ecosystem and Biodiversity (TEEB).5 Sedangkan dalam pembahasan dan diskusi tentang konsep Ekonomi Hijau (Green Economy)6 telah dilakukan melalui serangkaian sesi Ministerial Roundtable secara paralel. Konsep tersebut yang diperkenalkan oleh UNEP sebagai sebuah konsep pembangunan yang memberikan perhatian lebih terhadap pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta mengupayakan sumber-sumber pembiayaan bagi investasi lingkungan. Hal lain yang juga disepakati adalah Deklarasi Nusa Dua yang merupakan komitmen dari para Menteri Lingkungan mencakup isu-isu lingkungan global, yaitu perubahan iklim (climate change), pembangunan berkelanjutan (sustainable
5 6

Ibid. http://www.iisd.ca/unepgc/unepss11/feb22.html, diakses pada tanggal, 25 Mei 2011, 20.35.

development),

international

environmental

governance

and

sustainable

development, ekonomi hijau (green economy) dan keanekaragaman hayati dan ekosistem (biodiversity and ecosystem). Deklarasi Nusa Dua merupakan usulan Indonesia dan Serbia yang kemudian diangkat menjadi usulan dari President of the Governing Council UNEP. B. Pertemuan Bilateral Selama di Nusa Dua Bali, Menteri Lingkungan Hidup Gusti M Hatta juga melakukan pertemuan bilateral dengan 15 negara untuk membicarakan kerjasama bilateral yakni dengan delegasi dari negaranegara Norwegia, Swiss, Jerman, Jepang, Perancis, Iran, Aljazair, Finlandia, India, Iran, Korea, Malaysia, Meksiko, Namibia, Somalia, Inggris, Jepang. 7 Dari pertemuan bilateral itu, Jerman yang sudah memberi bantuan dana untuk program lingkungan hidup, bermaksud melanjutkan kerjasama dengan Indonesia. Sementara Aljazair yang saat ini memimpin Organisasi Persatuan Africa (OAU) menyampaikan dukungan kepada Indonesia dan menawarkan kesediaannya untuk membantu Indonesia menjalin kerjasama dengan negara-negara Afrika.

C. Peran Indonesia dalam Mencegah Masuknya Limbah B3 Menteri Lingkungan Hidup RI, Prof. Dr. Ir. Gusti Muhammad Hatta meminta Pemerintahan Daerah memperketat pengawasan di pelabuhan-pelabuhan. Ini untuk mencegah limbah bahan berbahaya beracun (B3) dari luar negeri masuk ke

Op.cit.

Indonesia. Didalam undang-undang, impor limbah B3 sudah tegas dilarang, kata Gusti M Hatta kepada wartawan di Nusa Dua Bali.8 Sementara Ketua Eksekutif Jaringan Konvensi Basel, Jim Puckett, menyatakan setiap hari tidak kurang 5.200 kontainer limbah berbahaya didaratkan di Hongkong untuk kemudian dikirimkan ke negara pengimpor limbah. Ada yang dilakukan secara legal namun tidak kurang yang ilegal. 80 persen dari angka kontainer itu berasal dari Amerika Serikat untuk dikirim ke China. Bahkan baru-baru ini ada sembilan kontainer limbah berbahaya ilegal dikirim dari Massachusetts ke Indonesia, katanya, kepada pers, di Nusa Dua, Bali. Kehadiran Jim Puckett di Nusa Dua Bali adalah untuk dua forum internasional, yaitu Pertemuan Simultan Luar Biasa Konperensi Para Pihak Konvensi Basel, Rotterdam, dan Stockholm (ExCOP), pada 22-24 Pebruari dan Pertemuan ke-11 Sesi Khusus Dewan Pemerintahan UNEP/Pertemuan Menteri Lingkungan Hidup Global (GC-UNEP/GMEF) pada 24-26 Pebruari. Menurut Puckett, keberhasilan kerja mekanisme dalam Konvensi Basel telah terbukti. Salah satunya pada kasus sembilan kontainer dari AS ke Indonesia itu. Oleh Indonesia, limbah berbahaya itu dikirim kembali ke negara asal sekalipun AS tidak turut menandatangani konvensi itu, katanya. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal PBB/Direktur Eksekutif Program Lingkungan Hidup PBB, Achim Steiner, seluruh industri elektronika di dunia harus bertanggung jawab tentang limbah elektronika yang jumlahnya pertumbuhannya mencapai 40 juta ton setahun.

Ibid.

Angka itu jelas sangat besar, bukan hanya karena limbahnya saja tetapi juga karena langsung bisa membahayakan manusia. Industri harus bisa mengembangkan teknologi pemusnahan limbah elektronika mereka, katanya. Di China, kata Achim Steiner, limbah dari telepon seluler bekas mencapai 2,3 juta ton pada 2010 dan di Amerika Serikat hingga tiga milyar ton pada tahun sama. India menghasilkan limbah lemari es bekas hingga 100.000 ton pada 2008, dan 11.400 ton di Kenya. Dalam laporan kerjanya, Ketua Komisi Konvensi Basel UNEP, Katarina K Piery, bahkan menilai terjadi peningkatan yang tajam dalam empat tahun terakhir. Hal itu disumbang agresivitas pemasaran dan pembaruan produk-produk elektronika oleh industri di seluruh dunia. Menurut Steiner, membangun sistem daur ulang domestik dan tepat itu memang sangat rumit. Selain terkait pembiayaan, juga perlu transfer teknologi canggih dari negara maju ke negara berkembang. Ini jelas tidak mudah, kata Steiner. Dikatakannya, untuk menerapkan satu sistem pengolahan limbah elektronika yang tepat bagi satu negara bisa mengurangi secara berarti emisi gas rumah kaca, menambah lapangan kerja, dan menghemat pemakaian sejumlah besar logam penting. Terkait dengan kepentingan nasional, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai terpanjang di dunia, jelas sangat rentan terhadap perdagangan limbah berbahaya. Karena itu pemerintah daerah diharapkan untuk memperketat pengawasan terhadap pelabuhan, terutama pelabuhan-pelabuhan yang jarang dipantau aparat, ujar Gusti M Hatta.

Untuk itu, Deputi IV Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya Beracun (B3) dan Limbah B3,9 Imam Hendargo Abu Ismoyo mengingatkan seluruh pemerintah daerah agar lebih mewaspadai pelabuhanpelabuhan rakyat yang kemungkinan dapat dijadikan pemasukkan limbah B3 ke Indonesia. Apalagi di tengah kekurangan kapasitas sumber daya manusia dan pendanaan untuk melakukan pengawasan. Kapasitas SDM kita terbatas. Kapasitas angkatan laut kita juga terbatas termasuk pendanaan kita juga yang sangat terbatas, ujar Imam Hendargo Abu Ismoyo yang juga menjabat Alternate Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan UNEP ini. Menurut Imam, para petugas pelabuhan patut mewaspadai upaya memasukkan limbah elektronik seperti telepon genggam dan komputer bekas dengan kedok ekspor barang bekas pakai. Ekspor barang bekas tersebut biasanya hanya akal-akalan perusahan asing yang ingin membuang limbahnya ke Indonesia. Kewaspadaan, kata Imam, terutama kepada Amerika dan China. Sebab saat ini, dua negara tersebut merupakan produsen sampah elektronik terbesar di dunia. Saat ini China telah memproduksi sampah elektronik sebesar 2,3 miliar ton. Sedangkan Amerika telah memproduksi sampah elektronik 3 miliar ton per tahun. Saat ini beberapa perusahan Indonesia telah bekerja sama dengan pemerintah untuk meminimalisir sampah elektronik. Mengenai aspek regulasi, lanjut Imam Hendargo, selama ini negara-negara berkembang termasuk Indonesia menjadi salah satu importir terbesar E-Waste (Electronic Waste)10 karena ketidakmampuan mengatur regulasi mengenai hal tersebut. Karena itu, mengingat permasalahan EWaste semakin lama semakin berkembang, Indonesia seharusnya memiliki regulasi
9

10

http://www.menlh.go.id/, diakses pada tanggal 20 Mei 2011, 13.00 Op.cit.

khusus soal itu. Payungnya sudah ada, tapi atas nama limbah B3, diperlukan regulasi lebih jauh lagi, seperti peraturan menteri, dan peraturan sektor lain yang khusus terhadap E-Waste, ujarnya. Ditambahkannya, saat ini eksportir E-Waste tidak lagi terbatas negara-negara besar seperti Amerika, tapi juga dari negara tetangga.

BAB III KESIMPULAN

Kepemimpinan Indonesia dalam Simultaneous Extraordinary Meetings of the Conferences of the Parties to the Basel, Rotterdam and Stockholm Conventions (ExCOPs) merupakan tonggak sejarah penting dalam upaya untuk mengurangi tumpang tindih di antara berbagai kesepakatan dan kerjasama internasional bidang lingkungan hidup, khususnya yang berada di bawah koordinasi United Nations Environment Programme (UNEP). Tujuan pelaksanaan ExCOPs adalah mengupayakan sinergi bidang

administrasi dan program kegiatan di antara tiga konvensi yang mengatur mengenai bahan kimia dan limbah berbahaya tersebut, yaitu Konvensi Stockholm (produksi dan penggunaan bahan kimia), Konvensi Rotterdam (perdagangan bahan kimia) dan Konvensi Basel (pergerakan lintas batas limbah berbahaya dan pembuangannya). Terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah ExCOPs merupakan wujud nyata diplomasi lingkungan hidup dan penghargaan dunia terhadap peran Indonesia dalam kerjasama internasional bidang lingkungan hidup. Indonesia tidak hanya peduli pada isu lingkungan hidup global namun yang lebih penting adalah komitmen dan kesediaan Indonesia dalam menangani isu lingkungan hidup global.

Anda mungkin juga menyukai