Edisi 52 (Juni 2008)
Edisi 52 (Juni 2008)
Kenaikan harga BBM Didikte Bank Dunia Untuk Kepentingan Pemodal Besar
Penanggung Jawab: Henry Saragih Pemimpin Umum: Zaenal Arifin Fuad Pemimpin Redaksi: Achmad Yakub; Dewan Redaksi: Ali Fahmi, Agus Rully, Tejo Pramono, M Haris Putra, Indra Lubis, Irma Yani; Redaktur Pelaksana: Cecep Risnandar Redaktur: Muhammad Ikhwan, Tita Riana Zen, Wilda Tarigan, Syahroni; Reporter: Elisha Kartini Samon, Susan Lusiana (Jakarta), Tyas Budi Utami (Jambi), Harry Mubarak (Jawa Barat), Muhammad Husin (Sumatera Selatan), Marselinus Moa (NTT). Sekertaris Redaksi: Tita Riana Zen Keuangan: Sriwahyuni Sirkulasi: Supriyanto, Gunawan; Penerbit: Serikat Petani Indonesia (SPI) Alamat Redaksi: Jl. Mampang Prapatan XIV No.5 Jakarta Selatan 12790. Telp: +62 21 7991890 Fax: +62 21 7993426 Email: pembaruantani@spi.or.id website: www.spi.or.id
DAFTAR ISI
Kenaikan harga BBM didikte Bank Dunia untuk kepentingan pemodal besar Nelayan Cirebon minta pembatalan kenaikan BBM
4-5 6
Pemerintah harus melaksanakan pembaruan agraria untuk menggenjot produksi pangan nasional 7 Otonomi desa dan ancaman kapitalisme global SBI: Apindo pro pasar dan anti buruh
Redaksi menerima tulisan, artikel, opini yang berhubungan dengan perjuangan agraria dan pertanian dalam arti luas yang sesuai dengan visi misi Pembaruan Tani. Bila tulisan dimuat akan ada pemberitahuan dari redaksi.
8 9
UTAMA
UTAMA
UTAMA
UTAMA
AGRARIA 7
Pemerintah harus melaksanakan progran pembaruan agraria atau memabagi-bagikan tanah kepada petani untuk menggenjot produksi pangan nasional. Hal ini penting dilakukan agar Indonesia bisa keluar dari kemelut krisis pangan yang ditandai dengan m e l a m b u n g n ya h a r g a - h a r g a pangan dunia. Hal tersebut mengemuka dalam Seminar N a s i o n a l Pe t a n i M e n j a wa b Masalah Krisis Pangan yang diselenggarakan Serikat Petani Indonesia (SPI) di Jakarta, Rabu (14/5). Beberapa bulan terakhir, hargaharga pangan seperti beras, kedelai, minyak goreng dan jagung terus mengalami kenaikan. Kondisi ini tentunya sangat menyulitkan rakyat banyak. Disisi lain, pemerintah sebagai penentu kebijakan tidak berbuat banyak. Solusi yang ditawarkan pemerintah tidak menyentuh inti persoalan. Pemerintah melalui Deptan hanya berusaha menggenjot produksi dengan solusi-solusi teknis seperti mendatangkan benih hibrida impor dan intensifikasi pertanian. Pa d a h a l p e r s o a l a n ya n g
sebenarnya adalah petani kita tidak mendapatkan insentif yang layak untuk menanam. Bahkan lebih dari setengah petani kita adalah petani gurem dan petani yang tidak mempunyai lahan. Oleh karena itu, program pembaruan agraria harus segera dilaksanakan. Tidak ada tawar menawar lagi, jika pemerintah ingin menjaga stabilitas persediaan dan harga pangan dalam negeri, maka pemerintah harus bersungguhsungguh melakukan perluasan lahan tanaman pangan melalui program pembaruan agararia, tandas Ketua Umum SPI, Henry Saragih di sela-sela seminar. Selain itu, Henry juga menekankan bahwa pemerintah harus bisa mengendalikan harga untuk menjamin harga minimal di tingkat petani dan harga maksimal di tingkat pedagang agar setiap rakyat Indonesia dapat memperoleh pangan secara terjangkau, namun juga tidak merugikan para petani akibat rendahnya harga jual. Tidak seperti saat ini, dimana hargaharga bahan pokok seluruhya diserahkan pada mekanisme pasar global yang dikendalikan
perusahaan-perusahaan multinasional. Menurut Henry, pembaruan agraria merupakan suatu upaya korektif untuk menata ulang struktur penguasaan, susunan kepemilikan dan penggunaan sumber-sumber agraria yang timpang. Pembaruan agraria tidak hanya berbicara masalah tanah saja, namun keseluruhan faktor yang menjadi alat produksi seperti air, benih, permodalan, teknologi dan alat pertanian, dan pasar. Dalam pelaksanaannya pembaruan agraria umumnya didahului dengan land reform (redistribusi kepemilikan, penguasaan dan pengaturan penyakapan tanah). Hal ini dikarenakan tanah sebagai faktor utama yang bisa mewadahi sumber-sumber agraria lainnya. Penguasaan sumber-sumber agraria yang merata berfungsi sebagai penyedia lapangan pekerjaan yang dibutuhkan oleh rakyat dan bangsa Indonesia, mengingat hingga saat ini persentase terbesar penduduk Indonesia masih bekerja di sektor pertanian. Lapangan pekerjaan memberikan kapasitas bagi
PENDAPAT
PENDAPAT 7
demokrasi desa dan sistem penggajian perangkat desa saja. Memang masalah pemerintahan adalah isu kritis sebagai salah satu faktor yang bisa menunjang pada akses sumber daya alam bagi masyarakat desa, namun demikian dalam implementasinya di komunitas akar rumput masih banyak masyarakat desa yang justru tidak mempedulikan Undang-Undang dalam pelaksanaan pemerintahannya. Dalam pelaksanaan pemerintahan desa sebagian besar masyarakat desa memiliki pluralisme tersendiri meskipun sebagian besar bentuk kelembagaannya sudah mengikuti format resmi. Oleh karena pluralitas itulah maka peran undang-undang disini justru tidak diperlukan. Kalaupun untuk menentukan masalah wewenang pemerintah desa dalam hubungannya dengan pemerintahan yang ada diatasnya, maka peraturan turunan undangundang sebelumnya sudah cukup untuk mengatur hal-hal tersebut. Ditetapkannya RUU desa yang memberikan legitimasi otonomi desa tanpa menjelaskan sampai mana wewenang yang diberikan untuk pemerintahan desa justru akan membahayakan kedudukan desa itu sendiri. Hal ini justru malah akan memberikan celah yang lebih besar bagi kepentingan kapitalisme global untuk menyita kekayaan alam yang seharusnya menjadi milik rakyat desa. Dengan melihat gencarnya agenda kapitalisme di Indonesia saat ini, seharusnya desa menjadi suatu bentuk pertahanan kuat dalam melawan segala bentuk perampasan dan penindasan. S a j o g j o m e n g a t a k a n b a h wa otonomi desa yang harus dibangun tidak bisa dikontekskan sebagai kekuasaan pemerintah desa yang benar-benar mandiri. Justru yang perlu dibangun sekarang adalah bagaimana desa-desa membangun jaringan dan memperkuat solidaritas dengan desa-desa disekelilingnya untuk membetuk pertahanan bersama. Hal yang mendesak dilakukan sekarang adalah menyiapkan bagaimana masyarakat desa bisa mandiri dengan mengalihkan pemberian akses kekayaan alam dari tangan para penguasa ketangan rakyat. Penulis adalah staf di Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia
Ditetapkannya RUU desa yang memberikan legitimasi otonomi desa tanpa menjelaskan sampai mana wewenang yang diberikan untuk pemerintahan desa justru akan membahayakan kedudukan desa itu sendiri. Hal ini justru malah akan memberikan celah yang lebih besar bagi kepentingan kapitalisme global untuk menyita kekayaan alam yang seharusnya menjadi milik rakyat desa.
Desentralisasi merupakan salah satu kebijakan yang didorong oleh Bank Dunia. Kebijakan ini disinyalir digunakan sebagai upaya untuk mempercepat proses p r i va t i a s a i , l i b e r a l i s a s i d a n deregulasi untuk kepentingan para penguasa modal yang menjadi stake holder penting dalam tubuh lembaga keuangan ini. Sebagai suatu simpulan, masalah desentralisiasi dan otonomi sampai ke desa sesungguhnya seperti dua mata pedang bisa jadi baik dan bisa jadi fatal. Dari berbagai penelitian dan realitas yang terjadi sekarang ini, desentralisasi dan otonomi saat ini cenderung memiliki banyak sisi negatifnya dibandingkan dengan sisi positifnya. Otonomi desa tidak akan lepas dari konteks relasi antara desa dengan supradesa. Hal ini karena desa menjadi bagian dari negara yang juga menjalankan sejumlah kewajiban yang dibebankan oleh negara. Karena itu, lebih sekadar swadaya,
Indonesia hidup dalam kemiskinan. 63,58 persen diantaranya adalah rakyat yang tinggal di pedesaan dan 70 persennya adalah rakyat tani (BPS, 2007). Kondisi ini telah mengakibatkan semakin menipisnya insentif dari sektor pertanian yang akhirnya mendorong pada peningkatan angka pengangguran dan angka urbanisasi. Kemiskinan yang terjadi dipedesaan inilah merupakan muara dari tidak tersedianya akses terhadap alatalat produksi baik itu berupa akses terhadap sumber daya alam, teknologi, dan juga masalah pasar. Dalam konteks RUU desa, undang-undang ini tidak menjawab permasalahan tersebut. Undang-undang desa hanya berfokus pada masalah pemerintahan dan lembaga demokrasi desa yang substansinya pun tidak jauh berbeda dengan u n d a n g - u n d a n g s e b e l u m n ya kecuali pada bentuk lembaga
10
NASIONAL
Sepuluh tahun sudah reformasi berhembus, namun nasib buruh masih saja terombang-ambing. Pembebasan rakyat dari belenggu rezim otoriter Orde Baru ternyata hingga kini tidak pernah mampu melahirkan tatanan ekonomi politik yang berpihak kepada rakyatnya. Kegagalan negara untuk menegakkan hak-hak konstitusi rakyat atas pangan, pekerjaan dan penghidupan yang layak masih saja menjadi bualan di siang bolong. Hal ini masih diperparah ketika pemerintah bersama pengusaha domestik mulai menyelundupkan paket-paket liberalisasi tenaga kerja dan pengebirian gerakan buruh ke dalam peraturan-peraturan ketenagakerjaan dan kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang ramah terhadap investasi asing.
Instruksi Presiden No 3 Tahun 2006 yang memuat tentang paket perbaikan iklim investasi di Indonesia telah menjadi pemicu atas liberalisasi besarbesaran modal asing di Indonesia. Tak jera dengan kegagalan pemerintah untuk merevisi UU Ketenakerjaan No.13 Tahun 2003, pemerintah tempo lalu malah mengesahkan UU Penanaman Modal No.25 Tahun 2007, yang telah berakibat terhadap ancaman industri nasional serta juga semakin menghantui serikat buruh terhadap ancaman penutupan pabrik dan PHK Massal. Ironisnya, krisis energi yang berimbas terhadap krisis ekonomi dunia, telah melahirkan krisis pangan di berbagai belahan dunia, termasuk jutaan rakyat Indonesia yang semakin terjerat dalam kemiskinan dan
kelaparan. Namun, situasi ini ternyata malah diperparah lagi dengan rencana pemerintah untuk menaikan harga BBM. Melihat dan mempelajari muatan yang terkandung dalam UU Penanaman Modal 25/2007 dan rencana pemerintah untuk menaikan harga BBM, sudah seharusnya momentum ini bukan hanya direspon oleh penolakan gerakan buruh saja, namun seluruh pengusaha nasional harusnya mengambil sikap tegas atas kondisi saat ini. Perlakuan yang sama antara investasi asing dengan investasi domestik yang termuat dalam Pasal 5 UUPM adalah suatu bentuk kegagalan pemerintah untuk menciptakan ketahanan pembangunan ekonomi nasional yang independen dan tangguh. Belum lagi, naiknya harga
NASIONAL
ketenagakerjaan (UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/ Serikat Pekerja, UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) sampai kemunculan UU Penanaman Modal No.25 tahun 2007 semakin menegaskan bahwa sampai saat ini buruh/pekerja sebagai bagian dari rakyat pekerja bersama kaum tani, buruh, nelayan dan kaum miskin perkotaan tidak pernah dianggap sebagai sumber daya nasional untuk menjadi subyek pembangunan ekonomi di negri ini. Dengan ini kami dari Serikat Buruh Indonesia Jabodetabek yang tergabung dalam Organisasi Buruh Nasional Serikat Buruh Indonesia dan bersama para pembela HAM pro buruh Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menegaskan dan menuntut: 1. Apindo untuk mendesak pemerintah agar segera membasmi praktek-praktek ekonomi biaya tinggi dan berhenti untuk menumbalkan kesejahteraan dan hak-hak buruh/pekerja. 2. Tolak pelembagaan Bipartit Nasional dan Hapuskan Sistem kerja Kontrak dan Outsourching. 3. Berikan hak-hak konsitusi buruh sebagai warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak dan Tolak PHK. 4. Pemerintah untuk bertanggung jawab atas dampak bencana sosial ekonomi nasional dengan memenuhi kenaikan upah buruh tiap tahunnya sesuai dengan kehidupan yang layak.
11
12
WILAYAH
Wahidin