Anda di halaman 1dari 12

Edisi 50 - Juni 2008

Kenaikan harga BBM Didikte Bank Dunia Untuk Kepentingan Pemodal Besar

Penanggung Jawab: Henry Saragih Pemimpin Umum: Zaenal Arifin Fuad Pemimpin Redaksi: Achmad Yakub; Dewan Redaksi: Ali Fahmi, Agus Rully, Tejo Pramono, M Haris Putra, Indra Lubis, Irma Yani; Redaktur Pelaksana: Cecep Risnandar Redaktur: Muhammad Ikhwan, Tita Riana Zen, Wilda Tarigan, Syahroni; Reporter: Elisha Kartini Samon, Susan Lusiana (Jakarta), Tyas Budi Utami (Jambi), Harry Mubarak (Jawa Barat), Muhammad Husin (Sumatera Selatan), Marselinus Moa (NTT). Sekertaris Redaksi: Tita Riana Zen Keuangan: Sriwahyuni Sirkulasi: Supriyanto, Gunawan; Penerbit: Serikat Petani Indonesia (SPI) Alamat Redaksi: Jl. Mampang Prapatan XIV No.5 Jakarta Selatan 12790. Telp: +62 21 7991890 Fax: +62 21 7993426 Email: pembaruantani@spi.or.id website: www.spi.or.id

DAFTAR ISI
Kenaikan harga BBM didikte Bank Dunia untuk kepentingan pemodal besar Nelayan Cirebon minta pembatalan kenaikan BBM

4-5 6

Pemerintah harus melaksanakan pembaruan agraria untuk menggenjot produksi pangan nasional 7 Otonomi desa dan ancaman kapitalisme global SBI: Apindo pro pasar dan anti buruh

Redaksi menerima tulisan, artikel, opini yang berhubungan dengan perjuangan agraria dan pertanian dalam arti luas yang sesuai dengan visi misi Pembaruan Tani. Bila tulisan dimuat akan ada pemberitahuan dari redaksi.

8 9

Pembaruan Tani - Juni 2008

UTAMA

Longmarch tolak kenaikan BBM


Palembang (2/6), Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Selatan melakukan longmarch dari Bundaran Air Mancur sampai ke DPRD Sumsel untuk menuntut pembatalan kenaikan harga BBM. Aksi tersebut dilakukan bersamasama dengan sejumlah elemen organisasi rakyat lainnya seperti Walhi Sumsel, Sarekat Hijau Indonesia, Solidaritas Perempuan, FNB, PBT, Pergerakan Nasional, KKDB, SDB, KPI, FMN, Aman Sumsel, Puspa, YKMP, KIPPDA, AMMPB, UPLINK, Kobar 9, OWA I n d o n e s i a , L e m b a r, A m p e r a Bersatu, Sahabat Walhi Sumsel LP3HAM. Di gedung DPRD Sumsel, perwakilan dari massa aksi diterima oleh fraksi PDIP Perjuangan. Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Tolak Kenaiakan BBM tersebut menunutut pemerintah untuk mencaabut kebijaan Kenaikan harga BBM, nasionalisasi dan atau tinjau ulang kontrak karya perusahaan tambang asing di Indonesia, tolak penggusuran rakyat miskin, tolak privatisasi BUMN dan hapus utang luar negeri. Selain itu aliansi menunutut terpenuhinya hak-hak demokratis rakyat seperti pembaruan agraria untuk Rakyat sesuai UUPA No 5 Th. 1960, akses pekerjaan bagi pemuda dan mahasiswa, merealisasikan 20% APBN/APBD untuk pendidikan, kesehatan murah dan berkualtas, keselamatan ruang hidup dan bencana lingkungan dan perlindungan anak dan perempuan. Mimbar bebas SPI Sumsel Sehari sebelumnya, SPI Sumsel menggelar mimbar bebas, orasi politik, pentas seni rakyat dan pembacaan petisi untuk menyikapi soal kenaikan harga BBM di halaman Monumen Perjuangan Rakyat Palembang (MONPERA). Pada kesempatan itu, Ketua SPI Sumsel, Rahman, secara tegas menolak kebijakan kenaikan BBM. Menurut dia kebijakan tersebut merupakan bentuk penetrasi kapitalisme internasional dan neoliberalisme. Kenaikan harga BBM dampak dari pemberlakuan perdagangan bebas yang dipaksakan kaum neoliberal melalui sistem asistensi World Bank. Segera cabut kebijaan ini dan berikan bantuan langsung tanah untuk petani sebagai bentuk pengentasan kemiskinan yang hakiki dan mendidik daripada bantuan langsung tunai, tegas Rahman. Sementara itu, Anggota Majelis Nasional Petani (MNP) JJ. Polong menyerukan agenda Program Pembaruan Agraria (PPAN) yang sejati harus segera dilaksanakan. Kembalikan negara indonesia kepada budaya agraris dengan praktek pertanian berkelanjutan, hidupkan lumbung-lumbung pangan guna mengatasi krisis pangan daripada menghibur rakyat dengan BLT, kata Polong. Polong juga mengatakan dengan adanya lumbung pangan yang kuat, gejolak ekonomi nasional akibat BBM dan kenaikan harga lainnya dapat diantisipasi. Terakhir dia menyerukan untuk melakukan p e r l a wa n a n t e r h a d a p k a u m neoliberalisme dan kapitalisme internasional dari pelosok hingga dunia.

UTAMA

Pembaruan Tani - Juni 2008

Kenaikan harga BBM didikte Bank Dunia


Langkah kenaikan harga BBM (premium, solar dan minyak tanah) akhirnya dilakukan pemerintah pada Jumat malam (23/05), tidak peduli dengan keberatan sebagian besar masyarakat.Pemerintah mengumumkan melalui menteri terkait seperti menteri keuangan, menteri ESDM, menteri perdagangan, menkokesra, mensos, serta beberapa orang lainnya seperti jubir presiden, direktur pertamina dan beberapa ahli dari departemen perekonomian. Secara resmi kenaikan BBM rata-rata sebesar 28,7%. Atas kebijakan itu, Serikat petani Indonesia (SPI) menolak tegas kenaikan harga BBM dan meminta kepada pemerintah untuk segera mencabut kebijakan tersebut. SPI mencatat bahwa p e m e r i n t a h a n S B Y- J K t e l a h menaikan harga jual BBM sebanyak tiga kali, dengan kumulatif kenaikan hampir 200%. Sementara resep bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp. 100.000 adalah bersifat sementara untuk memperlambat makin penderitaan rakyat. Pemerintah dengan berbagai alasan melalui iklannnya dimedia massa (24/05) menyatakan bahwa akibat kenaikan harga BBM ditingkat internasional tidak dapat dihindari untuk menaikan harga di nasional, demikian juga bahwa harga BBM di Indonesia masih terlalu rendah. Padahal nyatanya harga BBM kita tidak terlalu murah. Jika dibandingkan dengan Malaysia Rp 5.310/liter. Rata-rata pendapatan per kapita di Malaysia sekitar 4 kali lipat dari negara kita. Dampak bagi petani Disisi lain, pemerintah hanya menaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah petani rata-rata sebesar 9 % , artinya antara ongkos produksi dengan penadapatan yang diperoleh tidak imbang. Bagi petani, kenaikan harga BBM artinya juga kenaikan biaya produksi. Menurut catatan SPI bagi petani kecil atau buruh tani setidaknya biaya produksi selain benih dan pupuk juga meliputi harga sewa tanah, sewa traktor dan pompa air demikian juga pengolahan hasil panen seperti usaha penggilingan padi dan ongkos angkut. Misalnya Sebuah traktor tangan berkekuatan 8.5 PK membutuhkan solar sebanyak 18 liter/ha untuk pengolahan lahan sampai siap tanam yang memerlukan waktu 18 jam. Semua kenaikan itu akan dibebankan kepada petani, seperti yang telah terjadi pada kenaikan BBM pada tahun 2005. Saat ini, sewa tanah di Cirebon Jawa Barat naik 100%, yaitu dari Rp. 5 juta/ha/tahun menjadi Rp. 10 juta/ha/tahun, demikian juga sewa traktor mencapai Rp. 500 ribu. Dengan kenaikan harga-harga tersebut, petani tidak akan mendapat keuntungan dari usaha pertanian mereka. Didikte Bank Dunia SPI menilai kenaikan harga BBM ini merupakan hasil dari asistensi langsung Bank Dunia. Hal ini terungkap dalam dokumen utang pemerintah Indonesia kepada Bank Dunia pada program energy and mining development, Loan No. 4712-IND mulai tahun 2003 hingga Desember 2008. Dimana program utang sebesar $ 141 juta USD, bertujuan untuk menghilangkan subsidi bahan bakar kepada rakyat. Sehubungan dengan APBN, sebagaimana dapat disimak dalam rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004 2009, pemerintah sejak semula sudah merencanakan untuk menekan volume subsidi dari 6,7 persen Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2004, menjadi hanya 0,3 persen PDB pada 2009. Artinya, penghapusan subsidi BBM memang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari. Dalam rangka itu, sudah sejak jauh-jauh hari pula, melalui penerbitan UU No. 22/2001 tentang minyak dan gas bumi, pemerintah berupaya agar harga BBM secara

Pembaruan Tani - Juni 2008

UTAMA

untuk kepentingan pemodal besar


legal diserahkan ke mekanisme pasar. Artinya kebijakan menaikan harga BBM bukan sekedar merespon situasi ekonomi global belaka. Namun tidak lepas dari sistem ekonomi neoliberal yang dipraktekan oleh para mafia barkeley. Dimana diseluruh sendi kehidupan masyarakat akan di liberalisasi, diprivatisasi dan dideregulasi untuk memenuhi kebutuhan mekanisme pasar untuk kepentingan pemodal. Hal ini juga terjadi pada kebijakan listrik, air dan pertanian. Khusus migas maka tidak aneh bila pada kenaikan BBM Oktober 2005 kemudian diikuti dengan dibukanya tempat pengisian bahan bakar milik TNC, seperti Shell dan Petronas di Indonesia. Tuntutan SPI Untuk mengatasi krisis energi dan pangan sekarang ini Serikat Petani Indonesia (SPI) memberikan jalan sesuai mandat konstitusi yakni: 1. Segera laksanakan program pembaruan agraria yang seperti telah di janjikan Presiden SBY sejak awal tahun 2007 lalu. Dengan demikian 13 juta keluarga tani miskin bisa bekerja dan menghidupi keluarganya dengan terjamin. Demikian juga pembaruan agraria artinya ada perombakan secara struktural atas kepemilikan, penguasaan dan penggunaan atas sumber-sumber alam termasuk pertambangan untuk kepetingan nasional. 2. Hentikan perluasan perkebunan non pangan oleh perusahaan dan orientasi eksport, sebaliknya pemerintah harus mendorong pertanian pangan berbasis keluarga dan orientansi pemenuhan kebutuhan lokal dan nasional. Dengan demikian memberikan insentif bagi petani pangan, terutama yang melaksanakan pertanian berkelanjutan; dan dengan itu menghentikan subsidi bagi usaha pertanian yang tidak berkelanjutan (pertanian korporasi dan monokultur). 3. Segera bangun lumbung pangan. 4. Kebijakan penghematan energi dengan pajak tinggi bagi kalangan yang menggunakan energi yang besar. 5. Mendorong kembali rakyat pedesaan yang kembali menjadi penghasil energi, yang akibat dari sistem neoliberalis menjadi konsumen energi. 6. Pergunakan secara maksimal teknologi energi yang merakyat, murah dan massal seperti tenaga air, angin, matahari, gelombang laut dan biogas. 7. Hentikan utang dan tolak bayar utang najis.

UTAMA

Pembaruan Tani - Juni 2008

Nelayan Cirebon Meminta Pembatalan Kenaikan BBM


Cirebon (2/6), para nelayan seakan tidak bisa tinggal diam melihat perkembangan kondisi akibat kenaikan harga BBM. Bagi mereka, kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepentingan nelayan jelas tidak bisa ditolerir lagi. Sebagai wujud solidaritas terhadap nasib rakyat yang semakin terpuruk, para nelayan yang tergabung dalam Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Kabupaten Cirebon mendatangi kantor DPRD Cirebon. Aksi itu merupakan bentuk penolakan para nelayan terhadap kebijakan kenaikan BBM. Lebih dari 500 nelayan yang merupakan perwakilan nelayan sekabupaten Cirebon Senin (2/6) siang ini mendatangi Kantor DPRD Cirebon menuntut pemerintah membatalkan kenaikkan BBM dan menolak program bantuan l a n g s u n g t u n a i ( B LT ) d a n mengganti subsidi BBM untuk n e l a ya n C i r e b o n . Pa s a l n ya , kebijakan ini tidak bisa mengatasi masalah akses nelayan terhadap BBM. Pencabutan subdisidi dengan menaikkan harga BBM akan mengorbankan nelayan, dan BLT sudah terbukti tidak banyak menolong, kata Caskum, ketua Serikat Nelayan Tradisional (SNT) Cirebon yang tahun lalu telah bergabung dengan SNI Cirebon. Selain Muhammad Reza, Sekjend SNi, tampak di tengah massa aksi adalah Kajidin, Presidium Nasional SNI yang juga nelayan Indramayu, yang hadir untuk menunjukkan dukungan. Dalam askinya, para nelayan membawa dua replika perahu sebagai simbol tidak bisa melaut karena tidak kuat membeli BBM. Selain meminta pembatalan kenaikan BBM, para nelayan meminta pemerintah mencabut UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), yang mengatur tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). UU ini semakin memperparah pencabutan hak-hak masyarakat pesisir dalam mengakses sumberdaya baik di permukaan laut, badan air maupun di bawah dasar laut. UU ini tidak memberikan ruang bagi masyarakat pesisir khususnya nelayan untuk melakukan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir, semua akses sumberdaya kelautan praktis akan dikuasai pemilik modal, tutur Muhammad Reza. Para nelayan juga meminta pemerintah mencabut peraturan meteri No. 6/2008 tentang legalisasi trawl yang dinilai akan membawa kerusakan alam laut. Sebaliknya, mereka meminta pemerintah untuk tidak menggadaikan nasib rakyat ke pasar bebas dan memberikan perlindungan hukum bagi nelayan tradisional. Elshinta

Nelayan Gunung Kidul tidak bisa melaut karena BBM mahal

Pembaruan Tani - Juni 2008

AGRARIA 7

Pemerintah harus melaksanakan pembaruan agraria


Untuk menggenjot produksi pangan nasional
masyarakat untuk membangun kehidupan yang mandiri. Pengelolaan dan pembangunan sektor pertanian yang dikelola oleh rakyat memiliki peranan yang lebih besar dalam mengatasi kemiskinan dan kelaparan baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan dibandingkan sektor ekonomi lainnya. Pembangunan sektor pertanian yang kuat merupakan basis bagi pembangunan ekonomi rakyat yang kuat. Pendapat diatas dikuatkan oleh S a r wa d i , K e t u a S P I J a m b i . Menurut dia yang dibutuhkan petani saat ini adalah akses terhadap tanah. Tanpa tanah petani tidak bisa berproduksi secara optimal. Saat ini, petani hanya menjadi buruh penyewa tanah sementara penguasaan tanah masih dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar dan tuan tanah. Akses terhadap Benih Pada kesempatan yang sama, Dwi Andreas Santoso, dosen dan peneliti IPB mengatakan tentang pentingnya penguasaan benih oleh petani. Menurutnya benih berkontribusi sangat besar dalam proses produksi pertanian. Apabila petani tidak menguasai benih akan sulit untuk menegakkan kedaulatan petani. Saat ini, pengusaan benih tanaman pangan dunia dikuasai oleh 5 perusahaan multinasional. Mereka membentuk kartel yang mengeksploitasi petani. Monsanto menguasai 90 persen bibit transgenik, tandas Andreas. Kondisi perbenihan seperti ini sudah tidak sehat. Oleh karena itu perlu usaha keras petani untuk bisa menguasai teknologi pembuatan benih dan melawan hegemoni perusahaan-perusahaan besar. Cecep Risnandar

Pemerintah harus melaksanakan progran pembaruan agraria atau memabagi-bagikan tanah kepada petani untuk menggenjot produksi pangan nasional. Hal ini penting dilakukan agar Indonesia bisa keluar dari kemelut krisis pangan yang ditandai dengan m e l a m b u n g n ya h a r g a - h a r g a pangan dunia. Hal tersebut mengemuka dalam Seminar N a s i o n a l Pe t a n i M e n j a wa b Masalah Krisis Pangan yang diselenggarakan Serikat Petani Indonesia (SPI) di Jakarta, Rabu (14/5). Beberapa bulan terakhir, hargaharga pangan seperti beras, kedelai, minyak goreng dan jagung terus mengalami kenaikan. Kondisi ini tentunya sangat menyulitkan rakyat banyak. Disisi lain, pemerintah sebagai penentu kebijakan tidak berbuat banyak. Solusi yang ditawarkan pemerintah tidak menyentuh inti persoalan. Pemerintah melalui Deptan hanya berusaha menggenjot produksi dengan solusi-solusi teknis seperti mendatangkan benih hibrida impor dan intensifikasi pertanian. Pa d a h a l p e r s o a l a n ya n g

sebenarnya adalah petani kita tidak mendapatkan insentif yang layak untuk menanam. Bahkan lebih dari setengah petani kita adalah petani gurem dan petani yang tidak mempunyai lahan. Oleh karena itu, program pembaruan agraria harus segera dilaksanakan. Tidak ada tawar menawar lagi, jika pemerintah ingin menjaga stabilitas persediaan dan harga pangan dalam negeri, maka pemerintah harus bersungguhsungguh melakukan perluasan lahan tanaman pangan melalui program pembaruan agararia, tandas Ketua Umum SPI, Henry Saragih di sela-sela seminar. Selain itu, Henry juga menekankan bahwa pemerintah harus bisa mengendalikan harga untuk menjamin harga minimal di tingkat petani dan harga maksimal di tingkat pedagang agar setiap rakyat Indonesia dapat memperoleh pangan secara terjangkau, namun juga tidak merugikan para petani akibat rendahnya harga jual. Tidak seperti saat ini, dimana hargaharga bahan pokok seluruhya diserahkan pada mekanisme pasar global yang dikendalikan

perusahaan-perusahaan multinasional. Menurut Henry, pembaruan agraria merupakan suatu upaya korektif untuk menata ulang struktur penguasaan, susunan kepemilikan dan penggunaan sumber-sumber agraria yang timpang. Pembaruan agraria tidak hanya berbicara masalah tanah saja, namun keseluruhan faktor yang menjadi alat produksi seperti air, benih, permodalan, teknologi dan alat pertanian, dan pasar. Dalam pelaksanaannya pembaruan agraria umumnya didahului dengan land reform (redistribusi kepemilikan, penguasaan dan pengaturan penyakapan tanah). Hal ini dikarenakan tanah sebagai faktor utama yang bisa mewadahi sumber-sumber agraria lainnya. Penguasaan sumber-sumber agraria yang merata berfungsi sebagai penyedia lapangan pekerjaan yang dibutuhkan oleh rakyat dan bangsa Indonesia, mengingat hingga saat ini persentase terbesar penduduk Indonesia masih bekerja di sektor pertanian. Lapangan pekerjaan memberikan kapasitas bagi

PENDAPAT

Pembaruan Tani - Juni 2008

Otonomi desa dan ancaman globalisasi kapitalisme


SUSAN LUSIANA
Munculnya tuntutan dari masyarakat adat untuk menjadikan masyarakat adat yang berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya serta muculnya kritikan terhadap penyeragaman bentuk desa model jawa telah menjadikan isu otonomi desa sebagai isu penting dalam agenda dan kebijakan sistem pemerintahan di Indonesia. Terkait dengan masalah legalitas, hingga saat ini pemerintah masih belum memiliki format otonomi desa yang jelas, dimulai dari UU No.22/1948 hingga UU No.32/2004 ternyata belum menjelaskan secara pasti bagaimana posisi dan kewenangan s e r t a b e n t u k o t o n o m i ya n g diberakan kepada desa. Oleh karenanya, muncullah inisiasi untuk mengeluarkan RUU Desa sebagai pecahan dari UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah. RUU ini ditujukan untuk menjadikan desa sebagai daerah otonomi tingkat III yakni sebagai unit pemerintan lokal yang otonom sesuai dengan prinsip desentralisasi (desa otonom). Lahirnya RUU desa juga terkait dengan kelemahan-kelemahan pengaturan desa dalam UU No.32/2004 terutama menyangkut peletakan kewenangan Desa sebagai kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan kepada Desa. Artinya, hingga saat ini, kewenangan desa tergantung pada kemauan pemerintah daerah untuk mendelegasikan kewenangannya. Menghadapi permasalahan tersebut, RUU Desa merekomendasikan bentuk desa otonom sebagai bentuk desa di Indonesia. Adapun desa otonom merupakan bentuk yang tidak begitu jauh berbeda dengan bentuk saat ini disebagian besar pedesaan di Jawa (transisi dari desa adat-desa administratif). Syarat terjadinya desa otonom adalah terjadinya pembagian urusan pemerinath kepada desa dengan jelas serta memungkinkan akses rakyat yang lebih luas terhadap sumber daya alam yang ada. Namun, benarkah dengan adanya RUU desa maka rakyat desa akan semakin mudah dalam mengakses sumber-sumber agraria sebagai manifestasi dari kedaulatan rakyat itu sendiri? RUU desa merupakan satu dari tiga rancangan perundangundangan yang diinisiasi oleh Democratic Reform Support Program (DRSP)-program pendorong pembaruan demokrasiUSAID dalam rangka memuluskan proses desentralisasi di Indonesia. Bersama dengan, RUU Desa menjadi satu kebijakan pecahan dari UU No.32 /2004 tentang pemerintahan daerah. Seperti halnya undang-undang pemerintahan daerah, RUU ini berkutat dalam masalah tata kelola pemerintahan desa dan lebih m e n yo r o t i d e s a d a r i a s p e k ketatanegaraanmenentukan posisi, peran dan kewenangan pemerintahan desa dalam pemerintahan. Saat ini RUU ini sedang menjalani konsultasi publik di Sumatera dan Makassar. Lahirnya RUU desa ini tak lepas dari agenda desentralisasi yang hingga saat ini belum tuntas. Desentralisasi adalah sebagai suatu cara/alat untuk mewujudkan keseimbangan politik, akuntabilitas pemerintah lokal, dan pertanggungjawaban pemerintah lokal. Prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai hal tersebut diataranya pemerintah daerah harus berotonomi. Otonomi daerah sendiri bisa diakui ketika daerah memiliki teritorial kekuasaan yang jelas, memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) sendiri, memiliki badan perwakilan yang mampu mengontrol eksekutif daerah, dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui suatu pemilihan yang bebas. Sebagai suatu alat, desentralisasi sendiri adalah suatu hal yang bebas nilai. Artinya, baikburuknya desentralisasi adalah tergantung dari pelaku dan subjek yang menjalankan desentralisasi itu sendiri. Namun untuk kasus di Indonesia, pengalaman desentralisasi dan otonomi daerah bisa menjadi cermin bagi dilaksanakan tidaknya desentralisasi dan otonomi hingga tingkat desa. Hasil Penelitian CIFOR pada tahun 2007 di Kutai Barat menyebutkan bahwa desentralisasi menyebabkan peningkatan kegiatan ekploitatif oleh seperti pembalakan liar dan penambangan batubara oleh perusahaanperusahaan penambangan baik yang legak ataupun illegal. Hal tersebut menyebabkan adanya peningkatan konflik antara masyarakat dan perusahaan. Konflik juga muncul akibat meningkatnya jumlah kepemilikan individu yang akhirnya memunculkan ketimpangan sosial. Pola kehidupan ekonomi juga ditandai dengan adanya peningkatan kekayaan jangka pendek dan ketergantungan yang besar terhadap pasar dan perkebunan sawit. Kedua hal ini menyebabkan masyarakat kehilangan strategi penghidupan alternatif. Secara umum adanya desentralisasi di Kutai Barat telah menurunkan kondisi ekonomi meskipun dalam hal pelayanan publik (Jalan, gedung pemerintahan, fasilitas kesehatan dan pendidikan) terjadi peningkatan. Ini disinyalir karena pembanguan yang dilakukan tidak menjawab permasalahan yang ada di masyarakat. Pembangunan infrastruktur dan kelengkapan lainnya cenderung ditujukan untuk menarik para investor yang bergerak dibidang ekstraktif. Contoh lainnya yang menunjukkan dampak negatif dari Desentralisasi adalah hasil Penelitian Smeru di Sulawesi selatan pada tahun 2003. Dalam laporan penelitian tersebut, disebutkan bahwa desentralisasi telah telah memberikan ruang bagi anggota DPRD yang korup untuk mengkorupsi hak-hak rakyat. Hal ini berimbas pada menurunnya pelayanan publik. Dari total pengaduan yang masuk kepada YLKI Sulawesi Selatan pada tahun 2000-2001, 70 persen diataranya adalah pengaduan menyangkut pelayanan publik, selain itu adanya desentralisasi. Setelah UU No. 22/1999 dilaksanakan banyak tulisan yang menunjukkan kemacetan dalam hubungan antara propinsi dan kabupaten/kota dirasakan menurun. Hal ini disebabkan oleh t i n g g i n y a t i n g k a t pembangkangan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Hasil penelitian lainnya di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa selama dua tahun pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah belum ada tanda-tanda kecenderungan pelayanan pemerintah kepada masyarakat akan menjadi lebih baik. Sementara itu laporan dari Sarwadi, salah satu anggota SPI yang menjadi anggota BPD di Jambi menyebutkan bahwa kecenderungan korupsi di lingkungan penyelenggara negara memiliki kecendurangan yang meningkat. Desentralisasi juga telah memunculkan raja-raja kecil yang memiliki kekuasaan di daerah. Menurut Bank Dunia (2006) Indonesia menjadi satu-satunya negara yang melakukan desentralisasi dengan proses yang sangat cepat apabila dibandingkan negara lainnya dikawasan asia timur dan asia pasifik. Terlalu cepatnya proses desentralisasi di

Pembaruan Tani - Juni 2008


I n d o n e s i a p a d a a k h i r n ya menunjukkan bahwa otonomi daerah yang merangsang pemekaran daerah ini menimbulkan kesan disintegrasi NKRI, padahal merubah struktur kepemerintahan dan menciptakan keakraban sosial baik dalam lingkungan desa ataupun dalam wilayah makro nasional dibutuhkan dalam jangka waktu yang lama (Tjondronegoro, 2007). Tergesa-gesanya desentralisasi yang dilakukan di Indonesia patut dicurigai sebagai salah satu upaya penyerobotan kekayaan bangsa oleh segelintir orang tertententu. Dari dampak-dampak negatif desentralisasi diatas dapat ditarik k e s i m p u l a n b a h wa d e n g a n semakin terbukanya kewenangan daerah maka semakin terbuka pula kapitalisme global datang menyusupi dan menggerogoti kekayaan alam nusantara yang seharusnya menjadi milik rakyat. Ketika otonomi daerah sudah mulai berlaku, maka lembaga keuangan internasional dengan mudahnya memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah secara langsung, selain itu, investasi disektor sektor strategis dan ekstratif sudah semakin sulit dikendalikan. Alih-alih m e n j a d i k a n r a k ya t s e m a k i n sejahtera, desentralisasi dan otonomi daerah yang terjadi saat ini justru malah membuat rakyat bersaing dengan perusahaanperusahaan besar dalam mengakses kekayaan alam Indonesia. Hal ini juga terkait dengan aturan dan kewenangan daerah dalam mengatur masalah investasi. Pada PP. No.38/2007 tertulis bahwa khusus untuk urusan pemerintahan bidang penanaman modal, penetapan kebijakan dilakukan sesuai peraturan yang berlaku. Artinya, ada kemungkinan dan celah bagi kapitalisme global melalui peraturan ini. Kecurigaan ini terbukti dengan dikeluarkannya UU No.25/2007 tentang penanaman modal yang diturunkan dalam PP No.111/2007. Didalam PP ini diatur sejumlah kepemilikan investor asing dalam sektor-sektor strategis termasuk sektor pertanian. Selanjutnya, bersamaan dengan UU tersebut, saat ini pemerintah tengah mengatur RUU tentang penetapan lahan pertanian pangan abadi yang d i d a l a m n ya m e n g a k o m o d i r kemitraan antara petani dengan perusahaan agribisnis. Pada saat ya n g b e r s a m a a n , B P N d a n Bappenas dengan dibiayai oleh Bank Dunia dan ADB tengah menyusun RUU pertanahan yang disinyalir akan membuka pasar tanah di Indonesia. Oleh karenanya bisa dibayangkan apabila otonomi semacam otonomi daerah diberikan kepada desa sementara itu desa sendiri masih belum memiliki kekuatan dan ketangguhan yang cukup untuk membendung kapitalisme global ini. Saat ini ketika terjadi otonomi daerah, desa-desa sudah banyak mengalami eksploitasi dari perusahaan industri karena adanya SDA dan tenaga kerja murah. Sikap waspada terhadap upaya desentralisasi saaat ini juga bisa dilihat dari sisi kepentingan lembaga atau institusi yang mendorong desentralisasi. otonomi desa merupakan persoalan. Desa, khusus-nya pemerintah desa, mempunyai hak bila berhadapan dengan negara, se-baliknya ia mempunyai kewajiban dan tanggungjawab kepada masyarakat desa. Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah sejauh mana otonomi dan kewenangan yang harus diberikan ke desa? dan Bagaimana kesiapan masyarakat dan para pemimpinnya dalam menjalankan otonomi ini? Realitas masyarakat Kondisi sosial ekonomi masyarakat desa seringkali menjadi sorotan utama bagi para pengambil kebijakan. Sayangnya, banyak orang yang terjebak dengan tidak melihat akar permasalahan apa ya n g s e b e n a r n ya t e r j a d i d i Pedesaan. Lebih dari 37 juta rakyat

PENDAPAT 7
demokrasi desa dan sistem penggajian perangkat desa saja. Memang masalah pemerintahan adalah isu kritis sebagai salah satu faktor yang bisa menunjang pada akses sumber daya alam bagi masyarakat desa, namun demikian dalam implementasinya di komunitas akar rumput masih banyak masyarakat desa yang justru tidak mempedulikan Undang-Undang dalam pelaksanaan pemerintahannya. Dalam pelaksanaan pemerintahan desa sebagian besar masyarakat desa memiliki pluralisme tersendiri meskipun sebagian besar bentuk kelembagaannya sudah mengikuti format resmi. Oleh karena pluralitas itulah maka peran undang-undang disini justru tidak diperlukan. Kalaupun untuk menentukan masalah wewenang pemerintah desa dalam hubungannya dengan pemerintahan yang ada diatasnya, maka peraturan turunan undangundang sebelumnya sudah cukup untuk mengatur hal-hal tersebut. Ditetapkannya RUU desa yang memberikan legitimasi otonomi desa tanpa menjelaskan sampai mana wewenang yang diberikan untuk pemerintahan desa justru akan membahayakan kedudukan desa itu sendiri. Hal ini justru malah akan memberikan celah yang lebih besar bagi kepentingan kapitalisme global untuk menyita kekayaan alam yang seharusnya menjadi milik rakyat desa. Dengan melihat gencarnya agenda kapitalisme di Indonesia saat ini, seharusnya desa menjadi suatu bentuk pertahanan kuat dalam melawan segala bentuk perampasan dan penindasan. S a j o g j o m e n g a t a k a n b a h wa otonomi desa yang harus dibangun tidak bisa dikontekskan sebagai kekuasaan pemerintah desa yang benar-benar mandiri. Justru yang perlu dibangun sekarang adalah bagaimana desa-desa membangun jaringan dan memperkuat solidaritas dengan desa-desa disekelilingnya untuk membetuk pertahanan bersama. Hal yang mendesak dilakukan sekarang adalah menyiapkan bagaimana masyarakat desa bisa mandiri dengan mengalihkan pemberian akses kekayaan alam dari tangan para penguasa ketangan rakyat. Penulis adalah staf di Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia

Ditetapkannya RUU desa yang memberikan legitimasi otonomi desa tanpa menjelaskan sampai mana wewenang yang diberikan untuk pemerintahan desa justru akan membahayakan kedudukan desa itu sendiri. Hal ini justru malah akan memberikan celah yang lebih besar bagi kepentingan kapitalisme global untuk menyita kekayaan alam yang seharusnya menjadi milik rakyat desa.

Desentralisasi merupakan salah satu kebijakan yang didorong oleh Bank Dunia. Kebijakan ini disinyalir digunakan sebagai upaya untuk mempercepat proses p r i va t i a s a i , l i b e r a l i s a s i d a n deregulasi untuk kepentingan para penguasa modal yang menjadi stake holder penting dalam tubuh lembaga keuangan ini. Sebagai suatu simpulan, masalah desentralisiasi dan otonomi sampai ke desa sesungguhnya seperti dua mata pedang bisa jadi baik dan bisa jadi fatal. Dari berbagai penelitian dan realitas yang terjadi sekarang ini, desentralisasi dan otonomi saat ini cenderung memiliki banyak sisi negatifnya dibandingkan dengan sisi positifnya. Otonomi desa tidak akan lepas dari konteks relasi antara desa dengan supradesa. Hal ini karena desa menjadi bagian dari negara yang juga menjalankan sejumlah kewajiban yang dibebankan oleh negara. Karena itu, lebih sekadar swadaya,

Indonesia hidup dalam kemiskinan. 63,58 persen diantaranya adalah rakyat yang tinggal di pedesaan dan 70 persennya adalah rakyat tani (BPS, 2007). Kondisi ini telah mengakibatkan semakin menipisnya insentif dari sektor pertanian yang akhirnya mendorong pada peningkatan angka pengangguran dan angka urbanisasi. Kemiskinan yang terjadi dipedesaan inilah merupakan muara dari tidak tersedianya akses terhadap alatalat produksi baik itu berupa akses terhadap sumber daya alam, teknologi, dan juga masalah pasar. Dalam konteks RUU desa, undang-undang ini tidak menjawab permasalahan tersebut. Undang-undang desa hanya berfokus pada masalah pemerintahan dan lembaga demokrasi desa yang substansinya pun tidak jauh berbeda dengan u n d a n g - u n d a n g s e b e l u m n ya kecuali pada bentuk lembaga

10

NASIONAL

Pembaruan Tani - Juni 2008

SBI: APINDO pro pasar dan anti buruh

Sepuluh tahun sudah reformasi berhembus, namun nasib buruh masih saja terombang-ambing. Pembebasan rakyat dari belenggu rezim otoriter Orde Baru ternyata hingga kini tidak pernah mampu melahirkan tatanan ekonomi politik yang berpihak kepada rakyatnya. Kegagalan negara untuk menegakkan hak-hak konstitusi rakyat atas pangan, pekerjaan dan penghidupan yang layak masih saja menjadi bualan di siang bolong. Hal ini masih diperparah ketika pemerintah bersama pengusaha domestik mulai menyelundupkan paket-paket liberalisasi tenaga kerja dan pengebirian gerakan buruh ke dalam peraturan-peraturan ketenagakerjaan dan kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang ramah terhadap investasi asing.

Instruksi Presiden No 3 Tahun 2006 yang memuat tentang paket perbaikan iklim investasi di Indonesia telah menjadi pemicu atas liberalisasi besarbesaran modal asing di Indonesia. Tak jera dengan kegagalan pemerintah untuk merevisi UU Ketenakerjaan No.13 Tahun 2003, pemerintah tempo lalu malah mengesahkan UU Penanaman Modal No.25 Tahun 2007, yang telah berakibat terhadap ancaman industri nasional serta juga semakin menghantui serikat buruh terhadap ancaman penutupan pabrik dan PHK Massal. Ironisnya, krisis energi yang berimbas terhadap krisis ekonomi dunia, telah melahirkan krisis pangan di berbagai belahan dunia, termasuk jutaan rakyat Indonesia yang semakin terjerat dalam kemiskinan dan

kelaparan. Namun, situasi ini ternyata malah diperparah lagi dengan rencana pemerintah untuk menaikan harga BBM. Melihat dan mempelajari muatan yang terkandung dalam UU Penanaman Modal 25/2007 dan rencana pemerintah untuk menaikan harga BBM, sudah seharusnya momentum ini bukan hanya direspon oleh penolakan gerakan buruh saja, namun seluruh pengusaha nasional harusnya mengambil sikap tegas atas kondisi saat ini. Perlakuan yang sama antara investasi asing dengan investasi domestik yang termuat dalam Pasal 5 UUPM adalah suatu bentuk kegagalan pemerintah untuk menciptakan ketahanan pembangunan ekonomi nasional yang independen dan tangguh. Belum lagi, naiknya harga

Pembaruan Tani - Juni 2008


BBM tentunya akan disusul dengan kenaikan biaya-biaya lainnya yang otomatis akan berakibat pada peningkatan jumlah pembiayaan ongkos produksi itu sendiri. Untuk itu, menjadi tidak rasional kemudian, ketika Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) justru malah mencoba memecah dan mengebiri solidaritas gerakan buruh dengan mendorong pelembagaan bipartit nasional. Yang harus dicatat sebelumnya, bahwa radikalisasi gerakan buruh akan tetap terus tumbuh ketika kondisi perekonomian nasional dan kondisi kerja mereka tidak pernah berpihak kepada kaum buruh/pekerja itu sendiri. Apalagi pola-pola penyelesaian dan pernyataan Sofyan Wanandi dengan menggunakan stigmatisasi radikalisasi gerakan buruh sebagai gerakan diinspirasikan pemikiran karl marx, adalah sesuatu hal yang tidak logis dan sangat berbau pola-pola Suhartois ala Orde Baru yang sudah lama dikritik oleh banyak gerakan rakyat pada saat itu. Menyoal respon Apindo, yang diutarakan oleh Sofyan Wanandi selaku Ketua Apindo terkait rencana pemerintah untuk menaikan harga BBM, bahwa jangan sampai ada PHK di tiap-tiap pabrik adalah suatu ilusi besar yang coba disodorkan ke dalam pikiran gerakan buruh hari ini. Seperti yang telah dijelaskan di muka, sudah seharusnya Apindo sangat berkepentingan terhadap rencana pemerintah terhadap kenaikan harga BBM saat ini. Banyak data sudah menyebutkan bahwa high cost economy atau biaya ekonomi tinggi perusahaan justru lebih disebabkan karena panjangnya pungli birokrasi terhadap proses produksi dan distribusi suatu perusahaan. Tegasnya, pernyataan Apindo harusnya lebih ditujukan kepada penolakan rencana pemerintah untuk menaikan harga BBM. Sebab, tingginya nominal suatu upah bagi buruh/pekerja, sebetulnya hanya membebani sebagian kecil dari seluruh ongkos produksi yang dikeluarkan oleh pengusaha. Untuk itu, dengan adanya kebijakan liberalisasi modal asing, praktekpraktek kapitalisme rente, pungli birokrasi serta rencana kenaikan harga BBM untuk kesekian kalinya sudah seharusnya membuat pengusaha nasional mempuyai argumentasi yang cukup untuk mengecam kebijakan pemerintah bukannya malah mengelabui gerakan buruh untuk digiring perlahan-lahan untuk mendukung kebijakan pemerintah yang anti rakyat. Jutaan buruh di negri ini sadar betul bahwa dengan kenaikan harga BBM dan melambungnya harga-harga bahan pokok dan transportasi, ini merupakan berita buruk bagi buruh di republik ini. Sebab mereka yakin, bahwa naiknya harga-harga itu tidak akan pernah sebanding dengan besaran kenaikkan upah yang akan mereka terima tiap bulannya. Tegasnya, krisis global hari ini secara otomatis akan berpengaruh terhadap kesejahteraan kaum buruh dalam mendapatkan penghidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya. Sebab, dengan ketetapan upah yang tidak pernah naik secara signifikan akan menyebabkan daya beli buruh semakin rendah dan sulit menjangkau gejolak tingginya harga pangan yang akan semakin dipicu dengan kenaikan harga BBM yang akan digagas oleh pemerintah nanti. Dan tentunya, seiring turunnya daya beli masyarakat dan menurunya produktifitas nasional tentu akan berakibat terhadap lesunya pasar dan pertumbuhan ekonomi nasional. Sekiranya, kemesraan Apindo dengan beberapa konfederasi buruh nasional pada Munas Apindo beberapa waktu yang lalu, untuk menyelesaikan perselisihan industrial secara baik-baik dan kooperatif serta mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah, justru semakin menegaskan bahwa sampai hari ini tidak ada karakter pengusaha nasional yang berjiwa nasionalis dan populis. Dan situasi ini, semakin menegaskan bahwa negara secara perlahan-lahan sedang melakukan cuci tangan atas sekian problem perburuhan hari ini. Dan keberadaan seluruh peraturan

NASIONAL
ketenagakerjaan (UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/ Serikat Pekerja, UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) sampai kemunculan UU Penanaman Modal No.25 tahun 2007 semakin menegaskan bahwa sampai saat ini buruh/pekerja sebagai bagian dari rakyat pekerja bersama kaum tani, buruh, nelayan dan kaum miskin perkotaan tidak pernah dianggap sebagai sumber daya nasional untuk menjadi subyek pembangunan ekonomi di negri ini. Dengan ini kami dari Serikat Buruh Indonesia Jabodetabek yang tergabung dalam Organisasi Buruh Nasional Serikat Buruh Indonesia dan bersama para pembela HAM pro buruh Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menegaskan dan menuntut: 1. Apindo untuk mendesak pemerintah agar segera membasmi praktek-praktek ekonomi biaya tinggi dan berhenti untuk menumbalkan kesejahteraan dan hak-hak buruh/pekerja. 2. Tolak pelembagaan Bipartit Nasional dan Hapuskan Sistem kerja Kontrak dan Outsourching. 3. Berikan hak-hak konsitusi buruh sebagai warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak dan Tolak PHK. 4. Pemerintah untuk bertanggung jawab atas dampak bencana sosial ekonomi nasional dengan memenuhi kenaikan upah buruh tiap tahunnya sesuai dengan kehidupan yang layak.

11

12

WILAYAH

Pembaruan Tani - Juni 2008

Polisi mengusir petani penggarap di Desa Ponowareng, Kabupaten Batang


Kondisi petani penggarap di Desa Ponowareng semakin mengenaskan. Kini para petani harus menghadapi beberapa oknum aparat kepolisian dari polsek Tulis yang menjadi beking tuan tanah untuk mengusir mereka dari lahan garapan. Hal itu, diungkapkan beberapa orang petani kepada Ketua majelis Nasional Petani Mugi Ramanau sabtu (31/5) di rumah mereka. Menurut keterangan Suroso, petani beraktivitas dilahan yang mereka garap selama ini. Tiba-tiba datang beberapa orang oknum aparat kepolisian yang mendampingi tuan tanah dan beberapa orang preman menyuruh para petani untuk meninggalkan sawah. Mereka juga mengancam petani agar tidak kembali untuk menggarap tanah tersebut. Mereka juga mengancam apabila petani tidak mau meningalkan lahan tersebut maka polisi akan menangkap dan memenjarakan para petani. Hal ini membuat takut para petani sehingga para petani bergegas meningalkan sawah. Polisi yang membekingi tuan tanah berasal dari K a n i t r e s k r i m Po l s e k . Beberapa orang petani sempat kesal dan mengecam ulah oknum polisi yang menjadi beking tersebut. Tiga hari sebelumnya, selasa ( 27/5), para petani juga di datangi para preman yang menyuruh mereka untuk meninggalkan lahan garapan. Para preman tersebut kembali membuat pengerusakan dengan membabati tanaman bunga melati milik Kastro, Rotani dan Tarmono, yang luas nya mencapai seperempat hektar. Namun sampai saat ini petani tetap mempertahankan lahan garapan mereka. Para petani berpendapat sebelum ada keputusan final tentang legitimasi tanah, mereka akan tetap beraktivitas seperti biasa dan tetap menggarap. Walaupun selalu dibayangi dan dihantui rasa ketakutan karena mendapatkan tekanan dari beberapa pihak. Padahal menurut petani lahan tersebut adalah satu-satunya tumpuan hidup, dan tidak tahu harus berbuat apalagi seandainya mereka harus keluar dari lahan. Petani berharap agar pemerintah mau mengerti dan memberikan solusi terhadap permasalahan konflik agraria tersebut. DPC SPI kab.Batang terus b e r u p a ya u n t u k m e m b a n t u permasalahan petani. Setelah menyambangi kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Batang kini giliran gedung dewan juga di datangi untuk mencari solusi tentang permasalahan tersebut, Rabu ( 28/5). Ketua Majelis Nasional Petani MNP SPI, Mugu Ramanu di dampingi anggota MNP Sugiatmo dan sekretaris DPC SPI kab. Batang mengadakan audensi dengan Ketua dan wakil Ketua DPRD Batang. Di depan wakil rakyat delegasi menceritakan tentang kronologi kejadian sengketa tanah tersebut. SPI juga mendesak permasalahan tersebut segera diselesaikan agar tidak menimbulkan konflik horizontal. Setelah sekitar I jam pertemuan, Ketua DPRD Kab. Batang Purwanto mengatakan pihaknya akan segera menindaklanjuti permasalahan tersebut dan memanggil instansi terkait untuk duduk satu meja dan membahasnya.

Wahidin

Anda mungkin juga menyukai