Edisi 60 (Februari 2009)
Edisi 60 (Februari 2009)
Petani OKI tolak kebijakan lelang lebak lebung dan perluasan kebun sawit
Deklarasi DPC SPI Cirebon (Hal. 8)
LUAR NEGERI
Jangan serahkan urusan pangan pada perdagangan bebas
NELAYAN
Perkuat organisasi nelayan menuju kedaulatan rakyat
7
Harga Rp. 2000,-
PEMBARUAN TANI
Surplus...
program pemerintah. Surplus beras terjadi tetapi petani tetap miskin. Lebih lanjut lagi, Henry mengatakan kemampuan pemerintah mempertahankan produksi beras di tahun 2009 meragukan. Karena, ketergantungan petani terus terpelihara akibatnya kreatifitas dan kemandirian petani sulit bangkit. Pemerintah hingga hari ini masih menetapkan kebijakan pertanian berdasarkan logika ekonomi pasar. Seharusnya pemerintah juga melakukan pendekatan sosial dan kedaulatan bangsa, mengingat jumlah penduduk yang mencapai 200 juta lebih sangat berbahaya bila tergantung makanannya dengan pasar internasional, tutur Henry. Data meragukan Rencana pemerintah mengekspor beras mulai tahun ini karena adanya surplus antara produksi dan konsumsi, dikhawatirkan hanya komoditas politik pemerintah, terutama menjelang pemilu. Banyak pihak masih meragukan data surplus antara produksi dan konsumsi beras di dalam negeri, mengingat luasnya areal pertanian yang dilanda kekeringan dan banjir sepanjang 2008. Peneliti Organisasi Petani Internasional (La Via Campesina) Tejo Pramono dan Ketua Departemen Komunikasi Serikat Petani Indonesia (SPI), Kamis (22/1) menilai, selama ini tidak pernah ada kejelasan mengenai statistik perberasan nasional, termasuk surplus produksi di dalam negeri. Oleh karena itu, mereka khawatir, rencana ekspor beras yang bersamaan dengan pelaksanaan pemilu, dijadikan komoditas politik dengan mengampanyekan keberhasilan semu di sektor pertanian dan pangan. Saya menilai, surplus dan swasembada beras dijadikan komoditas politik menjelang pemilu. Seolah- olah ada keberhasilan membangun pertanian, tapi itu bagian dari pencitraan diri dengan mengampanyekan keberhasilan semu," papar Tejo. Banjir dan Kekeringan Sementara itu, Cecep meragukan data pemerintah mengenai surplus beras tahun 2008 sebanyak 2,34 juta ton. Keraguan itu terkait banjir dan kekeringan yang melanda sejumlah lahan persawahan. Menurutnya, sepanjang musim kemarau 2008, areal lahan padi yang mengalami kekeringan mencapai lebih dari 150.000 hektare (ha), dan 16.000 ha di antaranya mengalami gagal panen. Sedangkan, areal padi yang terkena banjir pada tahun yang sama mencapai lebih dari 180.000 ha, yang 66.000 ha di antaranya gagal panen. Selain itu, target pemerintah meningkatkan produksi padi sebanyak 5 persen pada 2008 juga tidak tercapai. Produksi hanya bertambah 2-3 persen. Apalagi, tahun 2007 Indonesia masih mengimpor 1,3 juta ton beras, dan tahun sebelumnya mengimpor 1,5 juta ton. "Jadi, angka surplus beras pada tahun 2008 itu mengada-ada," kata Cecep. SPI menyarankan, kalaupun Indonesia surplus beras, sebaiknya pemerintah tidak mengekspornya, mengingat cadangan Bulog sampai saat ini hanya bisa menopang kebutuhan pangan sampai 4 bulan ke depan. "Sebaiknya surplus beras disimpan sebagai persediaan nasional. Kalau dilihat dari konsumsi beras nasional yang mencapai 2,5 juta ton per bulan, surplus sebanyak itu bisa bertahan 1,5 bulan saja," katanya. Kekhawatiran adanya politisasi beras juga disampaikan Ketua Lembaga Pemberdayaan Petani Indonesia (LPPI) Djoko Djarot. Dia mengingatkan, pemerintah selalu membuat laporan yang positif menjelang pemilu. "Data kemiskinan pun dibuat dengan perhitungan atau kriteria tertentu agar jumlahnya berkurang," ujarnya. Dia memberi contoh, jumlah rumah tangga miskin penerima beras untuk rakyat miskin (raskin), misalnya, berkurang dari 19,1 juta keluarga pada 2008, menjadi 17,1 juta keluarga tahun ini. "Pada masa krisis seperti saat ini, penurunan dua juta keluarga miskin sangat tidak masuk akal," kata Djoko.
Penanggung Jawab: Henry Saragih Pemimpin Umum: Zaenal Arifin Fuad Pemimpin Redaksi: Cecep Risnandar; Dewan Redaksi: Achmad Yakub, Ali Fahmi, Agus Rully, Tejo Pramono, M Haris Putra, Indra Lubis, Irma Yani; Redaktur: Muhammad Ikhwan, Tita Riana Zen, Wilda Tarigan, Syahroni; Reporter: Elisha Kartini Samon, Susan Lusiana (Jakarta), Tyas Budi Utami (Jambi), Harry Mubarak (Jawa Barat), Muhammad Husin (Sumatera Selatan), Marselinus Moa (NTT). Sekertaris Redaksi: Tita Riana Zen Keuangan: Sriwahyuni Sirkulasi: Supriyanto, Gunawan; Penerbit: Serikat Petani Indonesia (SPI) Alamat Redaksi: Jl. Mampang Prapatan XIV No.5 Jakarta Selatan 12790. Telp: +62 21 7991890 Fax: +62 21 7993426 Email: pembaruantani@spi.or.id website: www.spi.or.id
PEMBARUAN TANI
AKSI MASSA
PEMBARUAN TANI
KONFLIK AGRARIA
ke kota, menjadi buruh kasar, tukang bangunan atau pekerjaan lainnya, ujar Rohman. Sudah 10 tahunan Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumsel yang dahulunya bernama Serikat Petani Sumatera Selatan (SPSS) menuntut agar Lebak Lebung dikembalikan kepada masyarakat. Dalam kurun waktu itu, beberapa kali perubahan peraturan daerah terjadi. Dari perubahan yang mengatur perlindungan persawahan masyarakat sampai dengan pola penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan. Terjadi perubahan juga, masyarakat diperbolehkan menangkp ikan hasa sebatas kbutuhan makan sehari-hari. Walau prakteknya susah diterapkan. Sampai terakhir, lebak lebung kecil dengan harga dasar di bawah Rp 2,5 Juta tidak dilelang sedangkan yang lainnya tetap di lelang. Pada 25 November tahun lalu, Pemda OKI merevisi Perda Lebak Lebung dengan mengelurkan Perda No. No. 9 tahun 2008 tentang pengelolaan Lebak Lebung dan Sungai. Dengan adanya Perda tersebut lebak lebak lebung dengan kriteria lebih luas tidak dilelang lagi, melainkan dikembalikan
kepada masyarakat setempat dengan pengeturan pengelolaan diatur dalam Peraturan Bupati dan Peraturan Desa. Rohman menuturkan, dengan keluarnya Perda itu lebak yang berada di pemukiman masyarakat dengan radius 500 meter di pedesaan atau 1000 meter di daerah perkotaan tidak lagi di lelang. Begitupun batang hari (sungai) dan arisan (anak sungai) yang berfungsi sebagai jalur transportasi masyarakat juga tidak lagi di lelang, juga lebung buatan. Lebak lebung yang tidak di lelang itu dikembalikan kepada masyarakat dan selanjutnya pengelolannya diatur oleh Peraturan Desa (Perdes), ujarnya seraya menambahkan biaya pengurusan izin penangkapan ikan ditetapkan oleh Perdes dan menjadi Pendapatan Asli Desa. Terus Berjuang Walau Perda telah menyatakan Lebak Lebung dikembalikan kepada masyarakat, Rohman dengan tegas menyatakan, Perjuangan belum selesai. Menjelang lelang lebak lebung yang biasanya dilakukan di penghujung tahun, surat edara bupati tentang pelaksanan Perda itu tidak pernah sampai ke
Kepala Desa dan BPD di Kecamatan Pampangan. Pertemuan Kepala Desa di Kantor Kecamatan Pampangan malah mempertegas issu bahwa seluruh lebak lebung yang ada di Pampangan akan di lelang seperti tahun sebelumnya. Mereka mensinyalir kuat surat pengajuan objek lelang lebak lebung di Pampangan telah diajukan pihak tertentu kepada bupati melalui Dinas Perikanan Kabupaten OKI, tanpa sepengetahuan masyarakat melalui persetujuan Kepala Desa. Menyikapi hal tersebut, pada 24 Desember 2008, 400 massa petani nelayan Pampangan dan Persatuan Kepala Desa Pampangan melakukan demonstrasi massa ke Kantor DPRD Kabupaten OKI. Sekitar 400 massa petani menuntut pengembalian lebak lebung untuk rakyat dengan melaksanakan sungguh-sunguh Perda No 9 tahun 2008. Dalam dialog dengan beberapa anggota DPRD Kabupaten OKI yang juga di hadiri Kepala Dinas Perikanan OKI, berhasil di dapat ketegasan akan pelaksanan Perda No 9 tahun 2008 dan menolak usulan objek lelang lebak lebung yang disinyalir sudah dilakukan oleh
PEMBARUAN TANI
pihak tertentu. Kekhawatiran baru muncul akan terjadinya keributan antar warga dalam mengelola lebak lebung yang dibebaskan. Seharusnya pemerintah daerah melakukan sosialisasi dengan baik, sampai pada pembuatan Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur pengelolan lebang lebung yang tidak dilelang, tegas Rohman. Seminar sehari pada 21 Januari 2009 itu membahas tentang mekanisme pengelolaan, tata cara penangkapan ikan, perizinan, sampai dengan sanksi, yang dituangkan dalam Perdes. Perdes yang satu bisa berbeda dengan desa yang lainnya, disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Bahkan tidak menutup kemungkinan satu desa dengan desa lainnya bekerjasama membaut sebuah Perdes karena Lebak masuk dalam wilayah dua desa, jelas Rohman. Dengan adanya Perdes yang mengatur, lanjut Rohman, diharapkan tidak terjadi konflik antar masyarakat karena pembebasan lebak lebung tanpa sosialisasi yang jelas itu. Dan Perdes itu juga memberi keuntungan bagi masyarakat dengan izin penangkapan ikan yang terbilang murah serta pendapatan hasil Lebak Lebung langsung masuk dalam
Pendapatan Asli Desa (PAD). Selain pemerintahan desa yang harus memahami Perda tersebut, Rohman menuturkan, SPI Sumsel juga mensosialisaskan Perda itu kepada masyarakat luas. Karena menurut hasil pantauan SPI Sumsel sendiri, penyalahgunaan wewenang Kepala Desa masih juga terjadi. Ada saja kepala desa yang sewenang-wenang membentuk sebuah kelompok dan memberi kuasa pengelolaan lebak yang ada di desanya. Sedangkan masyarakat lain tidak boleh menangkap ikan sama sekali, tuturnya. Perkebunan sawit datang Pembebasan Lebak Lebung tanpa sosialisasi yang baik oleh pemerintah daerah sehingga rentan menimbulkan konflik antar masyarakat itu tentu bukanlah sesuatu hal begitu saja membutakan mata perjuangan SPI Sumsel. Ditengah bebasnya lebak lebung dengan konflik antar masyarakat yang sangat rentan terjadi itu, alih fungsi lahan rawa seluas 26 ribu hektar di Kabupaten OKI untuk perkebunan sawit oleh PT Waringin Agrio Jaya sudah berlangsung. Seperti dimuat pada Pembaruan Tani sebelumnya, PT Waringin Agro
Jaya telah mengantongi izin prinsip dan lokasi dari Bupati OKI. Pembukan lahan sawit ini menjadi turunan dari program pemerintah pusat yang bahkan ditopang dengan subsidi dari uang rakyat sendiri di APBN. Begitupun kebijakan pemerintah Sumsel, dengan label daerah Lumbung Pangan, dengan gencar melakukan perluasan lahan sawit dengan prioritas mengalihfungsikan lahan rawa. SPI Sumsel, sebelum keluarnya Perda pembebasan lebak lebung, telah melakukan aksi massa penolakan pembukan lahan perkebunan sawit di lahan rawa, dimana lahan persawahan, lebak lebung, tempat mengembala ternak, dan rumah mereka itu berada. Biro Politik Hukum dan Keamanan SPI Sumsel Hasan, pada saat aksi massa 8 Oktober 2008 lalu, mengatakan, sangat menyayangkan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengubah lahan rawa yang menjadi sumber penghidupan petani menjadi perkebunan sawit. Menurut Hasan, yang juga Kepala Desa Bangsal Kecamatan Pampangan OKI, tempat bertani, menggembala ternak, dan mencari ikan akan hilang menjadi perkebunan sawit. Sudah lama Lebak Lebung
dilelang untuk para pengemin dengan modal yang tidak terkalahkan oleh masyarakat. Lalu alih fungsi lahan rawa seluas 26 ribu hektar telah berjalan, lebak lebung itu pun dibebaskan dengan menempatkan masyarakat setempat di ujung tanduk perselisihan. Lalu di mana keberadaan petani nelayan setempat ? Melihat fakta yang dikemukakan dalam catatan SPI akhir tahun 2008 ; dominasi perusahaan besar terhadap petani atas kepemilikan perkebunan sawit sangat besar. Yakni, 7,283,064 hektar milik perkebunan besar dan hanya 2,6 juta hektar milik 10 juta keluarga petani. Sedangkan di Sumater Selatan sendiri, dari 81 perusahaan perkebunan kelapa sawit, seluruhnya terkait masalah sengketa lahan dengan penduduk setempat. Lahan yang menjadi sengketa dalam perkebunan besar kelapa sawit tersebut seluas 83 ribu ha atau 11 persen dari luas keseluruhan. Sehingga SPI Sumsel dengan tegas menolak kebijakan pemerintah daerah OKI yang seakan-akan membebaskan petani nelayan dari cengkraman mulut buaya pengemin agar masuk ke dalam mulut harimau perusahaan perkebunan sawit.
PEMBARUAN TANI
LUAR NEGERI
PEMBARUAN TANI
NELAYAN
Ratusan petani transmigran lokal Manduamas, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, barubaru ini, berunjuk rasa. Demonstrasi digelar untuk menyambut tim Komisi IV DPR yang datang setelah menerima pengaduan mereka. Para petani meminta anggota Dewan menyelesaikan sengketa tanah dengan PT Nauli Sawit, perusahaan sawit yang saat ini menguasai lahan yang sebelumnya digarap warga seluas 6.000 hektare. Dengan disertai tangis, beberapa wanita petani juga menuntut suami mereka yang ditahan polisi segera dibebaskan. Sengketa lahan antara petani dan PT Nauli Sawit sempat diwarnai anarki, beberapa waktu silam. Bahkan, unjuk rasa sebelumnya diwarnai pembakaran rumah dan penikaman terhadap seorang wartawan. Selain itu, sepuluh petani ditahan karena melakukan perlawanan untuk mempertahankan haknya.
Sekitar 3000 lebih traktor memblokade jalan raya sebagai protes atas kebijakan pemerintah yang merugikan petani di Yunani (27/1). Blokade ini berawal ketika para petani kapas di Lamia membuang hasil pertaniannya ke jalan raya akibat harga kapas yang ditetapkan pemerintah harus mengikuti standar harga Uni Eropa. Aksi itu diikuti oleh para petani lainnya. Sejak Selasa 20 Januari lalu petani menggiring traktor yang biasa digunakan untuk membajak dan membabat rumput ke jalan raya. Para petani ini menuntut kenaikan subsidi, menurunkan harga minyak solar dan tuntutan pembayaran uang pensiun lebih besar. Sebelumnya para petani tomat juga mengeluh karena mereka dikenakan pajak besar dan tidak sesuai dengan penghasilan yang sedikit.
PEMBARUAN TANI
ORGANISASI