Anda di halaman 1dari 8

KONFLIK AGRARIA

Petani OKI tolak kebijakan lelang lebak lebung dan perluasan kebun sawit
Deklarasi DPC SPI Cirebon (Hal. 8)

LUAR NEGERI
Jangan serahkan urusan pangan pada perdagangan bebas

NELAYAN
Perkuat organisasi nelayan menuju kedaulatan rakyat

7
Harga Rp. 2000,-

EDISI 60. FEBRUARI 2009

RENCANA EKSPOR MENGADA-ADA

Surplus beras meragukan!


Sejumlah politisi memanfaatkan data surplus beras untuk kepentingan politik sesaat
SPI menilai kondisi pertanian 2008 tidak banyak berubah dari sebelumnya. Realisasi pembangunan pertanian dan pedesaan masih jauh dari perubahan, karena pemerintah masih mempertahankan model agribisnis yang lebih percaya kepada investor besar dari pada kemampuan petani kecil. Hal tersebut disampaikan Ketua Umum SPI, Henry Saragih di Jakarta (21/1). Menurut Henry, arah pembangunan pertanian yang dilakukan pemerintah seperti dituangkan dalam program Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) menghasilkan ketergantungan dan pelambatan disektor pertanian pangan. Sebaliknya perkebunan sawit maju pesat dengan berbagai insentif dan dukungan. Lebih jauh Henry mengatakan, membangun sektor pertanian yang kuat harusnya menjadi momentum yang tepat disaat krisis kapitalisme global seperti saat ini. Karena dengan prediksi PHK besar-besaran pada sektor industri manufaktur maka pertanian menjadi buffer ekonomi yang mumpuni. Konsumsi nasional yang besar harus dipenuhi secara swadaya agar efek domino ekonomi jatuh kepada rakyat bukan sebaliknya. Namun apa yang dilakukan oleh SBY-JK sepanjang 2008 yakni Strategi revolusi hijau terus berlangsung. Alih-alih membangun pertanian, pemerintah malahan sibuk mencitrakan diri dengan mengkampanyekan keberhasilan semu. Henry juga meragukan data surplus beras tersebut. Kita akan membentuk tim investigasi karena ada kecurigaan, surplus beras hanya digunakan untuk pencitraan politik belaka, ujar Henry. Kecurigaan tersebut bukannya tanpa alasan, mengingat setahun sebelumnya Indonesia harus mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton, tapi tiba-tiba saat ini kelebihan 3 juta ton. Terlepas dari perdebatan data terkait surplus beras, SPI menilai bahwa petani tetap menjadi objek
Bersambung ke hal.2

PEMBARUAN TANI

EDISI 60. FEBRUARI 2009

Surplus...
program pemerintah. Surplus beras terjadi tetapi petani tetap miskin. Lebih lanjut lagi, Henry mengatakan kemampuan pemerintah mempertahankan produksi beras di tahun 2009 meragukan. Karena, ketergantungan petani terus terpelihara akibatnya kreatifitas dan kemandirian petani sulit bangkit. Pemerintah hingga hari ini masih menetapkan kebijakan pertanian berdasarkan logika ekonomi pasar. Seharusnya pemerintah juga melakukan pendekatan sosial dan kedaulatan bangsa, mengingat jumlah penduduk yang mencapai 200 juta lebih sangat berbahaya bila tergantung makanannya dengan pasar internasional, tutur Henry. Data meragukan Rencana pemerintah mengekspor beras mulai tahun ini karena adanya surplus antara produksi dan konsumsi, dikhawatirkan hanya komoditas politik pemerintah, terutama menjelang pemilu. Banyak pihak masih meragukan data surplus antara produksi dan konsumsi beras di dalam negeri, mengingat luasnya areal pertanian yang dilanda kekeringan dan banjir sepanjang 2008. Peneliti Organisasi Petani Internasional (La Via Campesina) Tejo Pramono dan Ketua Departemen Komunikasi Serikat Petani Indonesia (SPI), Kamis (22/1) menilai, selama ini tidak pernah ada kejelasan mengenai statistik perberasan nasional, termasuk surplus produksi di dalam negeri. Oleh karena itu, mereka khawatir, rencana ekspor beras yang bersamaan dengan pelaksanaan pemilu, dijadikan komoditas politik dengan mengampanyekan keberhasilan semu di sektor pertanian dan pangan. Saya menilai, surplus dan swasembada beras dijadikan komoditas politik menjelang pemilu. Seolah- olah ada keberhasilan membangun pertanian, tapi itu bagian dari pencitraan diri dengan mengampanyekan keberhasilan semu," papar Tejo. Banjir dan Kekeringan Sementara itu, Cecep meragukan data pemerintah mengenai surplus beras tahun 2008 sebanyak 2,34 juta ton. Keraguan itu terkait banjir dan kekeringan yang melanda sejumlah lahan persawahan. Menurutnya, sepanjang musim kemarau 2008, areal lahan padi yang mengalami kekeringan mencapai lebih dari 150.000 hektare (ha), dan 16.000 ha di antaranya mengalami gagal panen. Sedangkan, areal padi yang terkena banjir pada tahun yang sama mencapai lebih dari 180.000 ha, yang 66.000 ha di antaranya gagal panen. Selain itu, target pemerintah meningkatkan produksi padi sebanyak 5 persen pada 2008 juga tidak tercapai. Produksi hanya bertambah 2-3 persen. Apalagi, tahun 2007 Indonesia masih mengimpor 1,3 juta ton beras, dan tahun sebelumnya mengimpor 1,5 juta ton. "Jadi, angka surplus beras pada tahun 2008 itu mengada-ada," kata Cecep. SPI menyarankan, kalaupun Indonesia surplus beras, sebaiknya pemerintah tidak mengekspornya, mengingat cadangan Bulog sampai saat ini hanya bisa menopang kebutuhan pangan sampai 4 bulan ke depan. "Sebaiknya surplus beras disimpan sebagai persediaan nasional. Kalau dilihat dari konsumsi beras nasional yang mencapai 2,5 juta ton per bulan, surplus sebanyak itu bisa bertahan 1,5 bulan saja," katanya. Kekhawatiran adanya politisasi beras juga disampaikan Ketua Lembaga Pemberdayaan Petani Indonesia (LPPI) Djoko Djarot. Dia mengingatkan, pemerintah selalu membuat laporan yang positif menjelang pemilu. "Data kemiskinan pun dibuat dengan perhitungan atau kriteria tertentu agar jumlahnya berkurang," ujarnya. Dia memberi contoh, jumlah rumah tangga miskin penerima beras untuk rakyat miskin (raskin), misalnya, berkurang dari 19,1 juta keluarga pada 2008, menjadi 17,1 juta keluarga tahun ini. "Pada masa krisis seperti saat ini, penurunan dua juta keluarga miskin sangat tidak masuk akal," kata Djoko.

Penanggung Jawab: Henry Saragih Pemimpin Umum: Zaenal Arifin Fuad Pemimpin Redaksi: Cecep Risnandar; Dewan Redaksi: Achmad Yakub, Ali Fahmi, Agus Rully, Tejo Pramono, M Haris Putra, Indra Lubis, Irma Yani; Redaktur: Muhammad Ikhwan, Tita Riana Zen, Wilda Tarigan, Syahroni; Reporter: Elisha Kartini Samon, Susan Lusiana (Jakarta), Tyas Budi Utami (Jambi), Harry Mubarak (Jawa Barat), Muhammad Husin (Sumatera Selatan), Marselinus Moa (NTT). Sekertaris Redaksi: Tita Riana Zen Keuangan: Sriwahyuni Sirkulasi: Supriyanto, Gunawan; Penerbit: Serikat Petani Indonesia (SPI) Alamat Redaksi: Jl. Mampang Prapatan XIV No.5 Jakarta Selatan 12790. Telp: +62 21 7991890 Fax: +62 21 7993426 Email: pembaruantani@spi.or.id website: www.spi.or.id

PEMBARUAN TANI

EDISI 60. FEBRUARI 2009

Seruan solidaritas untuk rakyat Palestina


Sudah ke sekian kalinya, Israel melancarkan perang agresi ke wilayah negara tetangganya, Palestina. Kejahatan agresi (crime of aggression) serta pengeboman udara ke area pemukiman sipil adalah kejahatan perang (crime of war) yang keduanya merupakan pelanggaran serius hukum humaniter maupun hukum internasional hak asasi manusia. Di mana kejahatan tersebut merupakan yuridiksi dari International Criminal Court berdasarkan Statuta Roma tahun 1998. Kami memandang bahwa perjuangan rakyat Palestina hakekatnya merupakan perjuangan mempertahankan sumber-sumber agraria yang berupa tanah yang terdiri dari apa yang ada di atas dan yang terkandung di bawahnya. Demikian juga perjuangan masyarakat Indonesia mempertahankan tanah-tanah pertaniannya, kawasan perkampungan dan desa dari aneksasi perusahaan transnasional melalui perluasan perkebunan, pertambangan, kehutanan dan kelautan merupakan perjuangan pembaruan agraria. Sikap kepala batu Israel yang tidak mengindahkan proses perdamaian Palestina-Israel, hukum internasional, dan resolusi PBB, jelas akibat posisi kuatnya yang didukung negara agresor Amerika Serikat sehingga Israel kebal terhadap sanksi internasional. Bagi Amerika, inilah ujian pertama bagi presiden Barrack Obama atas sikapnya terhadap perdamaian di Timur Tengah khususnya di Palestina, terhadap tata dunia baru dan terhadap dunia Islam. Gerak Lawan (Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme-Imperialisme) dengan ini menyatakan mengutuk perang kotor Israel. Sekaligus menuntut segera ditariknya serdadu-serdadu Israel dari wilayah Palestina dan menuntut pertanggungjawaban Israel atas korban-korban peluru dan bom-bom Israel. Seruan-seruan solidaritas kepada rakyat Palestina yang diserukan oleh organisasiorganisasi masyarakat di Indonesia, selayaknya ditanggapi oleh pemerintah untuk disuarakan di level internasional. Mengingat mandat dari Pembukaan UUD 1945 bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan perikeadilan, serta salah satu tujuan pendirian negara Indonesia adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selain itu pemerintah Indonesia, dan juga berbagai pemerintahan di dunia lainnya juga memiliki kewajiban internasional HAM sebagaimana yang diatur dalam berbagai perjanjian internasional bidang HAM- guna melindungi penduduk sipil non combantant terlebih lagi anak-anak. Pemerintah Indonesia selain karena mandat-mandat tersebut di atas, juga sebagai negara pemrakarsa Konferensi AsiaAfrika dan Gerakan Non Blok serta pengalaman Indonesia di Dewan HAM dan Dewan Keamanan PBB, seharusnya bisa melakukan tindakan yang lebih maju guna menciptakan perdamaian di Palestina. Pemerintah dapat berinisiatif mengusulkan pemberian sanksi tegas kepada Israel melalui peranannya di organisasi konferensi Islam (OKI), organisasi negara produsen minyak (OPEC), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan memperluas solidaritas KAA menjadi KA3 (Konferensi AsiaAfrika-Amerika Latin) serta revitalisasi Gerakan Non Blok menjadi gerakan anti perang agresi yang mengatasnamakan perang terhadap teroris atau alasan lainnya. Dan yang lebih penting lagi adalah mendorong persatuan di antara faksi-faksi yang bertikai di Palestina khususnya antara FATAH Dan HAMAS. Dan kami gerakan sosial di Indonesia, akan menggalang solidaritas internasional para pembela HAM, gerakan petani, buruh, nelayan, lingkungan serta anti imperialisme dan anti utang luar negeri melakukan kampanye di dalam mekanisme PBB maupun dukungan kemanusiaan lainnya.

AKSI MASSA

Gerak Lawan gelar renungan untuk rakyat Palestina di Bundaran HI


Jakarta, 60 aktivis Gerakan Rakyat Melawan NeokolinialismeImperialisme (Gerak Lawan) menggelar renungan dan doa bersama di Bundaran HI, Jakarta. Diterangi obor dan lilin seadanya, massa juga membawa spanduk bertuliskan \u201cFree Palestine\u201d. Seusai berdoa, mereka menyampaikan tuntutan agar Pemerintah Indonesia pro aktif dalam menghentikan agresi Israel ke Palestina. Selain melakukan doa bersama, massa juga berjalan mengelilingi Bundaran HI. Karena dilakukan tepat ditengah Bundaran, aksi ini tidak membuat kemacetan disekitar Jalan Thamrin yang terkenal cukup padat. Usai doa dan berorasi, tepat pukul 20.25 WIB massa membubarkan diri. Gerak Lawan adalah gabungan organisasi gerakan rakyat di Indonesia yang beroposisi terhadap neoliberalisme. Mereka terdiri dari Serikat Petani Indonesia (SPI), Walhi, Koalisi Anti Utang, IHCS, Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Serikat Buruh Indonesia (SBI), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), LSADI, Institute for Global Justice.

PEMBARUAN TANI

EDISI 60. FEBRUARI 2009

KONFLIK AGRARIA

Petani OKI tolak lelang lebak lebung dan perkebunan sawit


OKI. Air sedang pasang di daerah lebak lebung Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) pada setiap awal tahun. Lahan persawahan tenggelam. Bukan bencana banjir, namun memang demikian adanya setiap tahun saat musim hujan. Dan saat itu, alam memberi berkah lainnya berupa ikan berlimpah di lebak lebung. Begitulah alam yang selalu berpihak kepada petani nelayan yang melestarikannya. Sudah lama Lebak Lebung dengan ikan yang berlimpah didalamnya dilelang oleh Pemda OKI sehingga dikuasai pengemin (pemenang lelang). Sedangkan masyarakat harus membayar dalam jumlah besar kalau ingin menangkap ikan. Misalkan saja di Lebak Pisang seorang akan dikenakan biaya sebesar Rp 1 juta untuk mendapat izin mengkap ikan dengan sat alat tangkap berupa tajur/pancing. Kalaupun tidak mampu membayar, masyarakat diperbolehkan menangkap ikan namun ikan hasil tangkapannya harus dijual kepada pengemin dengan harga yang sangat murah. Masyarakat yang tidak mampu membayar biasanya menagkap ikan menggunakan penilar dan menjual hasil tangkapannya kepada pengemin dengan kisaran harga 25 persen dari harga pasar. Menurut pengakuan masyarakat setempat, ada saja petani nelayan yang membayar untuk menangkap ikan tidak mendapatkan ikan yang cukup untuk mengembalikan modal dan akhirnya terhutang. Mereka terpaksa melakukannya karena banjir sehingga tidak dapat bersawah. Menurut Ketua Pelaksana Wilayah Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Selatan Rohman, Kalau tidak mampu membayar dan merasa keberatan ikan hasil tangkapan dijual dengan harga sangat murah, masyarakat hanya menonton saja orang lain mengeruk hasil ikan yang berlimpah di depan matanya. Sedangkan petani lainnya, kerap kali mencari peruntungan

ke kota, menjadi buruh kasar, tukang bangunan atau pekerjaan lainnya, ujar Rohman. Sudah 10 tahunan Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumsel yang dahulunya bernama Serikat Petani Sumatera Selatan (SPSS) menuntut agar Lebak Lebung dikembalikan kepada masyarakat. Dalam kurun waktu itu, beberapa kali perubahan peraturan daerah terjadi. Dari perubahan yang mengatur perlindungan persawahan masyarakat sampai dengan pola penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan. Terjadi perubahan juga, masyarakat diperbolehkan menangkp ikan hasa sebatas kbutuhan makan sehari-hari. Walau prakteknya susah diterapkan. Sampai terakhir, lebak lebung kecil dengan harga dasar di bawah Rp 2,5 Juta tidak dilelang sedangkan yang lainnya tetap di lelang. Pada 25 November tahun lalu, Pemda OKI merevisi Perda Lebak Lebung dengan mengelurkan Perda No. No. 9 tahun 2008 tentang pengelolaan Lebak Lebung dan Sungai. Dengan adanya Perda tersebut lebak lebak lebung dengan kriteria lebih luas tidak dilelang lagi, melainkan dikembalikan

kepada masyarakat setempat dengan pengeturan pengelolaan diatur dalam Peraturan Bupati dan Peraturan Desa. Rohman menuturkan, dengan keluarnya Perda itu lebak yang berada di pemukiman masyarakat dengan radius 500 meter di pedesaan atau 1000 meter di daerah perkotaan tidak lagi di lelang. Begitupun batang hari (sungai) dan arisan (anak sungai) yang berfungsi sebagai jalur transportasi masyarakat juga tidak lagi di lelang, juga lebung buatan. Lebak lebung yang tidak di lelang itu dikembalikan kepada masyarakat dan selanjutnya pengelolannya diatur oleh Peraturan Desa (Perdes), ujarnya seraya menambahkan biaya pengurusan izin penangkapan ikan ditetapkan oleh Perdes dan menjadi Pendapatan Asli Desa. Terus Berjuang Walau Perda telah menyatakan Lebak Lebung dikembalikan kepada masyarakat, Rohman dengan tegas menyatakan, Perjuangan belum selesai. Menjelang lelang lebak lebung yang biasanya dilakukan di penghujung tahun, surat edara bupati tentang pelaksanan Perda itu tidak pernah sampai ke

Kepala Desa dan BPD di Kecamatan Pampangan. Pertemuan Kepala Desa di Kantor Kecamatan Pampangan malah mempertegas issu bahwa seluruh lebak lebung yang ada di Pampangan akan di lelang seperti tahun sebelumnya. Mereka mensinyalir kuat surat pengajuan objek lelang lebak lebung di Pampangan telah diajukan pihak tertentu kepada bupati melalui Dinas Perikanan Kabupaten OKI, tanpa sepengetahuan masyarakat melalui persetujuan Kepala Desa. Menyikapi hal tersebut, pada 24 Desember 2008, 400 massa petani nelayan Pampangan dan Persatuan Kepala Desa Pampangan melakukan demonstrasi massa ke Kantor DPRD Kabupaten OKI. Sekitar 400 massa petani menuntut pengembalian lebak lebung untuk rakyat dengan melaksanakan sungguh-sunguh Perda No 9 tahun 2008. Dalam dialog dengan beberapa anggota DPRD Kabupaten OKI yang juga di hadiri Kepala Dinas Perikanan OKI, berhasil di dapat ketegasan akan pelaksanan Perda No 9 tahun 2008 dan menolak usulan objek lelang lebak lebung yang disinyalir sudah dilakukan oleh

PEMBARUAN TANI

EDISI 60. FEBRUARI 2009

pihak tertentu. Kekhawatiran baru muncul akan terjadinya keributan antar warga dalam mengelola lebak lebung yang dibebaskan. Seharusnya pemerintah daerah melakukan sosialisasi dengan baik, sampai pada pembuatan Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur pengelolan lebang lebung yang tidak dilelang, tegas Rohman. Seminar sehari pada 21 Januari 2009 itu membahas tentang mekanisme pengelolaan, tata cara penangkapan ikan, perizinan, sampai dengan sanksi, yang dituangkan dalam Perdes. Perdes yang satu bisa berbeda dengan desa yang lainnya, disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Bahkan tidak menutup kemungkinan satu desa dengan desa lainnya bekerjasama membaut sebuah Perdes karena Lebak masuk dalam wilayah dua desa, jelas Rohman. Dengan adanya Perdes yang mengatur, lanjut Rohman, diharapkan tidak terjadi konflik antar masyarakat karena pembebasan lebak lebung tanpa sosialisasi yang jelas itu. Dan Perdes itu juga memberi keuntungan bagi masyarakat dengan izin penangkapan ikan yang terbilang murah serta pendapatan hasil Lebak Lebung langsung masuk dalam

Pendapatan Asli Desa (PAD). Selain pemerintahan desa yang harus memahami Perda tersebut, Rohman menuturkan, SPI Sumsel juga mensosialisaskan Perda itu kepada masyarakat luas. Karena menurut hasil pantauan SPI Sumsel sendiri, penyalahgunaan wewenang Kepala Desa masih juga terjadi. Ada saja kepala desa yang sewenang-wenang membentuk sebuah kelompok dan memberi kuasa pengelolaan lebak yang ada di desanya. Sedangkan masyarakat lain tidak boleh menangkap ikan sama sekali, tuturnya. Perkebunan sawit datang Pembebasan Lebak Lebung tanpa sosialisasi yang baik oleh pemerintah daerah sehingga rentan menimbulkan konflik antar masyarakat itu tentu bukanlah sesuatu hal begitu saja membutakan mata perjuangan SPI Sumsel. Ditengah bebasnya lebak lebung dengan konflik antar masyarakat yang sangat rentan terjadi itu, alih fungsi lahan rawa seluas 26 ribu hektar di Kabupaten OKI untuk perkebunan sawit oleh PT Waringin Agrio Jaya sudah berlangsung. Seperti dimuat pada Pembaruan Tani sebelumnya, PT Waringin Agro

Jaya telah mengantongi izin prinsip dan lokasi dari Bupati OKI. Pembukan lahan sawit ini menjadi turunan dari program pemerintah pusat yang bahkan ditopang dengan subsidi dari uang rakyat sendiri di APBN. Begitupun kebijakan pemerintah Sumsel, dengan label daerah Lumbung Pangan, dengan gencar melakukan perluasan lahan sawit dengan prioritas mengalihfungsikan lahan rawa. SPI Sumsel, sebelum keluarnya Perda pembebasan lebak lebung, telah melakukan aksi massa penolakan pembukan lahan perkebunan sawit di lahan rawa, dimana lahan persawahan, lebak lebung, tempat mengembala ternak, dan rumah mereka itu berada. Biro Politik Hukum dan Keamanan SPI Sumsel Hasan, pada saat aksi massa 8 Oktober 2008 lalu, mengatakan, sangat menyayangkan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengubah lahan rawa yang menjadi sumber penghidupan petani menjadi perkebunan sawit. Menurut Hasan, yang juga Kepala Desa Bangsal Kecamatan Pampangan OKI, tempat bertani, menggembala ternak, dan mencari ikan akan hilang menjadi perkebunan sawit. Sudah lama Lebak Lebung

dilelang untuk para pengemin dengan modal yang tidak terkalahkan oleh masyarakat. Lalu alih fungsi lahan rawa seluas 26 ribu hektar telah berjalan, lebak lebung itu pun dibebaskan dengan menempatkan masyarakat setempat di ujung tanduk perselisihan. Lalu di mana keberadaan petani nelayan setempat ? Melihat fakta yang dikemukakan dalam catatan SPI akhir tahun 2008 ; dominasi perusahaan besar terhadap petani atas kepemilikan perkebunan sawit sangat besar. Yakni, 7,283,064 hektar milik perkebunan besar dan hanya 2,6 juta hektar milik 10 juta keluarga petani. Sedangkan di Sumater Selatan sendiri, dari 81 perusahaan perkebunan kelapa sawit, seluruhnya terkait masalah sengketa lahan dengan penduduk setempat. Lahan yang menjadi sengketa dalam perkebunan besar kelapa sawit tersebut seluas 83 ribu ha atau 11 persen dari luas keseluruhan. Sehingga SPI Sumsel dengan tegas menolak kebijakan pemerintah daerah OKI yang seakan-akan membebaskan petani nelayan dari cengkraman mulut buaya pengemin agar masuk ke dalam mulut harimau perusahaan perkebunan sawit.

PEMBARUAN TANI

EDISI 60. FEBRUARI 2009

LUAR NEGERI

Jangan serahkan urusan pangan pada perdagangan bebas


MADRID. Serikat Petani Indonesia (SPI) mendesak Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan negara-negara peserta KTT Ketahanan Pangan yang sedang bersidang di Madrid, Spanyol, untuk merestrukturisasi sistem pangan global. Pada forum tersebut, Ketua Umum SPI Henry Saragih yang mendapat kesempatan berbicara sebagai perwakilan organisasi petani kecil, menyatakan bahwa dominasi institusi-institusi seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan perusahaan transnasional dalam mengatur sistem pangan global harus diakhiri. Sebagaimana diketahui, dalam forum tersebut Bank Dunia, IMF dan WTO terus mengkampanyekan perdagangan bebas yang dimotori perusahaan transnasional sebagai jalan keluar dari krisis pangan dunia. Padahal, lebih dari 80 persen hasil pangan dunia diproduksi oleh pertanian kecil yang dikelola oleh keluarga petani. Menurut Henry, perdagangan bebas yang dielu-elukan rejim neoliberal telah terbukti gagal menangani masalah pangan dunia selama 30 tahun terakhir. Bahkan pengurangan angka kelaparan pada tahun 2015 seperti yang diamanatkan dalam Milenium Development Goal\u2019s (MDG\u2019s) kemungkinan besar gagal tercapai mengingat sistem pengadaan pangan dunia saat ini dilakukan dengan perdagangan bebas. Lebih lanjut Henry mangatakan, perusahaanperusahaan transnasional yang menjadi tulang punggung dalam perdagangan bebas terlalu rakus dalam mencari keuntungan. Akibatnya, distribusi pangan dunia tidak merata, hanya negara-negara kaya saja yang kebutuhan pangannya tercukupi karena mereka sanggup membelinya. Sedangkan, banyak rakyat yang tinggal di negaranegara ketiga mengalami kelaparan atau pun gizi buruk. Henry menuduh, perusahaanperusahaan transnasional lewat Bank Dunia, IMF dan WTO untuk menekan FAO dan negaranegara ketiga agar mengadopsi usulan perdagangan bebas. Perusahaan-perusahaan tersebut ingin mengambil kesempatan dalam krisis pangan dunia. Mereka berusaha untuk meningkatkan penjualan produkproduk mereka seperti pupuk, pestisida dan benih dengan alasan untuk meningkatkan produksi pangan dunia dalam rangka menyelesaikan krisis pangan. Mereka juga yang mengatur dan mendistribusikan produk hasil pertanian keseluruh dunia lewat mekanisme pasar bebas. Bukan hanya itu, lobi perusahaan transnasional sangat agresif. Mereka membentuk Global Partnership untuk mendesakkan agenda perdagangan bebas kedalam FAO dan forum KTT Pangan Dunia. Atas dasar itu, organisasiorganisasi petani kecil dari seluruh dunia yang tergabung dalam La Via Campesina mengusulkan pengelolaan pangan dunia diatur dengan konsep kedaulatan pangan. Dalam konsep tersebut, petanipetani kecil diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal atau nasional. Masyarakat harus diberikan kedaulatan dalam mengatur kebijakan pangannya masing-masing, seperti menentukan tanaman yang akan ditanamnya, mengembangkan benih lokal sendiri, menggunakan metode bertani yang berkelanjutan dan memproteksi pasar pertaniannya.

PEMBARUAN TANI

EDISI 60. FEBRUARI 2009

NELAYAN

Perkuat organisasi nelayan menuju kedaulatan rakyat


Indonesia merupakan negara maritim dan tercatat sebagai negara kepulauan dengan jumah pulau sebanyak 17.508 buah yang dikelilingi oleh garis pantai sepanjang 81.000 Km dan luas laut sekitar 5,8 juta kilometer persegi dengan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2.78 juta Km2 . Ada sekitar 60 juta Penduduk Indonesia bermukim di wilayah Pesisir dan penyumbang sekitar 22 persen dari pendapatan brutto nasional (GDP). Sumatra Utara adalah salah satu propinsi yang terletak dibagian barat Indonesia dengan potensi laut yang cukup strategis dan memiliki dua kawasan pantai sekaligus yakni Pantai Barat dengan panjang 763.47 Km dan Pantai Timur dengan panjang 545 Km. Data tahun 2006 menunjukkan, jumlah nelayan di Sumatra Utara ada sebanyak 138.678 yang terdiri dari 95.738 bekerja sebagai nelayan penuh; 37.103 bekerja sebagai nelayan sambilan utama dan sebanyak 6.847 adalah nelayan sambilan tambahan. Berdasarkan data tahun 2006, produksi perikanan Sumatra Utara mencapai 421.296.74 ton, terdiri dari 362.082.53 ton ikan laut ; dan 37.375.78 ton ikan darat. Serta 21.283.99 ton ikan budi daya air payau dan budi daya laut sebesar 554.44 ton. Data dan potensi sumber daya pesisir dan laut sebagaimana tergambar diatas adalah sangat strategis bagi pembangunan perekonomian untuk dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kepentingan rakyat di Sumatra Utara khususnya nelayan. Namun di sisi lain kita juga prihatin dengan kondisi kehidupan nelayan di Sumatra Utara yang masih menunjukkan potret kemiskinan yang mencolok dan ancaman kerusakan ekologi pesisir laut yang semakin mengkhawatirkan. Untuk merespons situasi tersebut, pada Desember 2007 organisasi nelayan dari beberapa propinsi melakukan konsolidasi dan mendeklarasikan Serikat Nelayan Indonesia. Untuk mempercepat pembentukan organisasi, telah dibentuk Komite Persiapan Serikat Nelayan Indonesia (KP-SNI) ditingkat nasional dan propinsi, yang bekerja mengkonsolidasikan nelayan dan mempercepat terlaksananya kongres. Komite Persiapan Serikat Nelayan Indonesia Propinsi Sumatera Utara sebagai salah satu pelopor konsolidasi Serikat Nelayan Indonesia, akan melaksanakan Kongres Pertama di Bagan Asahan Pekan, Kabupaten Asahan, pada tanggal 4 5 Januari 2009. Kongres ini akan dihadiri oleh nelayan yang berasal dari Labuhan Batu, Asahan, Batu Bara, Belawan (Medan) , Langkat, Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Selain itu, kongres ini juga dihadiri oleh Ormas dan Ornop yang terlibat mendorong dan memberikan dukungan terhadap lahirnya Serikat Nelayan Indonesia antara lain DPP dan DPW Serikat Petani Indonesia (SPI) Propinsi Sumut, serta Yayasan Sintesa. Serta undangan yang berasal dari organisasi gerakan rakyat, organisasi kemasyarakatan lainnya, pemerintah, akademisi dan tokoh masyarakat. Kongres I Serikat Nelayan Indonesia Sumatera Utara ini mengambil tema, Perkuat Organisasi Nelayan Menuju Kedaulatan Rakyat. Melalui pelaksanaan kongres ini juga akan mendorong percepatan konsolidasi organsasi nelayan ditingkat nasional.

Petani Manduamas menuntut tanah

Ratusan petani transmigran lokal Manduamas, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, barubaru ini, berunjuk rasa. Demonstrasi digelar untuk menyambut tim Komisi IV DPR yang datang setelah menerima pengaduan mereka. Para petani meminta anggota Dewan menyelesaikan sengketa tanah dengan PT Nauli Sawit, perusahaan sawit yang saat ini menguasai lahan yang sebelumnya digarap warga seluas 6.000 hektare. Dengan disertai tangis, beberapa wanita petani juga menuntut suami mereka yang ditahan polisi segera dibebaskan. Sengketa lahan antara petani dan PT Nauli Sawit sempat diwarnai anarki, beberapa waktu silam. Bahkan, unjuk rasa sebelumnya diwarnai pembakaran rumah dan penikaman terhadap seorang wartawan. Selain itu, sepuluh petani ditahan karena melakukan perlawanan untuk mempertahankan haknya.

Petani blokade jalan

Sekitar 3000 lebih traktor memblokade jalan raya sebagai protes atas kebijakan pemerintah yang merugikan petani di Yunani (27/1). Blokade ini berawal ketika para petani kapas di Lamia membuang hasil pertaniannya ke jalan raya akibat harga kapas yang ditetapkan pemerintah harus mengikuti standar harga Uni Eropa. Aksi itu diikuti oleh para petani lainnya. Sejak Selasa 20 Januari lalu petani menggiring traktor yang biasa digunakan untuk membajak dan membabat rumput ke jalan raya. Para petani ini menuntut kenaikan subsidi, menurunkan harga minyak solar dan tuntutan pembayaran uang pensiun lebih besar. Sebelumnya para petani tomat juga mengeluh karena mereka dikenakan pajak besar dan tidak sesuai dengan penghasilan yang sedikit.

PEMBARUAN TANI

EDISI 60. FEBRUARI 2009

ORGANISASI

SPI Cabang Cirebon dideklarasikan


Dewan Pengurus Cabang (DPC) Cirebon resmi dideklarasikan oleh kelompok petani yang mengikuti Musyawarah Cabang di Aula Universitas 17 Agustus, Cirebon (11/1). SPI Cabang Cirebon mencakup 8 kecamatan yang terdiri dari 13 basis kelompok petani. Forum Musyawarah Cabang memilih Mae Azhar sebagai Ketua Badan Pengurus Cabang (BPC) dan Abdul Majid sebagai Majelis Cabang Petani (MCP). Musyawarah cabang yang diikuti dengan pelantikan pengurus baru tersebut, dihadiri oleh Ketua Umum SPI Henry Saragih dan Ketua Departemen Politik SPI Agus Ruly Ardiansyah. Dalam sambutannya Henry mengatakan bahwa DPC SPI Cirebon harus segera mengkonsolidasikan organisai untuk mewujudkan tujuan-tujuan SPI dan memperjuangkan petani. Pengurus SPI juga harus segera mengembangkan usaha-usaha bersama antar petani dalam bentuk koperasi-koperasi. Lebih jauh lagi, SPI sebagai organisasi petani harus memperjuangkan pembaruan agraria sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan UUPA tahun 1960. SPI berjuang untuk memastikan hak-hak petani atas tanah melalui perjuangan pembaruan agraria. Untuk mengatasi ketidakadilan struktural dalam lapangan agraria, pembaruan agraria mutlak harus dilaksanakan. Petani-petani kecil harus mendapatkan lahan garapan bagi keberlangsungan penghidupannya, ujar Henry. Oleh karena itu, Henry menekankan bahwa pengorganisasian kaum tani harus terus dilaksanakan demi mewujudkan cita-cita tersebut. Organisasi adalah alat para petani untuk memperjuangkan pembaruan agraria. Petani harus maju bersama-sama dalam sebuah wadah organisasi yang kuat.

Anda mungkin juga menyukai