Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang Anak adalah amanah dan sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga negara berkewajiban memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Dari sisi perkembangan fisik dan psikis manusia, anak merupakan pribadi yang lemah, belum dewasa dan masih membutuhkan perlindungan. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orantua berkewajiban dan

bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Dalam prakteknya di masyarakat kita melihat sejak dulu hingga kini terdapat banyak pelanggaran terhadap hak-hak anak dalam berbagai bentuknya, dari yang sifatnya terbuka seperti penganiayaan dan pemerkosaan terhadap anak, yang sifatnya tersembunyi seperti perdagangan anak, eksploitasi pekerja anak di jermal, hingga yang tidak disadari dan sering diabaikan, seperti tidak diberikannya akte kelahiran pada anak dan diabaikannya suara atau pandangan anak oleh orang dewasa ketika membuat suatu keputusan yang berdampak pada anak. Pelanggaran hak anak tersebut juga merupakan pelanggaran HAM, karena hak anak merupakan bagian dari HAM.

BAB II PEMBAHASAN

Indonesia senagai salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi hak anak PBB mulai melakukan implementasi kovenan tersebut kedalam undang-undang. Sebelum konvensi ini diratifikasi, hak anak sebelumnya juga telah disinggung di UU. Misalnya masalah tentang HAM sudah disinggung dalam konstitusi, yakni UUD 1945 dan dituangkan dalam Bab X A Pasal 28, serta dalam UU No. 39 / 1999 tentang HAM. Substansi tersebut secara operasional dan lebih rinci tertuang dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Penyusunan kebijakan atau peraturan perundangan di bidang HAM dan hak anak tersebut tidak lepas dari perkembangan yang terjadi di tingkat internasional. Pada tahun 1989 PBB melalui resolusi 44/25 tertanggal 20 Nopember. telah menyepakati sebuah instrumen hukum internasional yakni Konvensi Hak Anak (KHA). Dalam KHA ini, anak adalah pemegang hakhak dasar dan kebebasan sekaligus sebagai pihak yang menerima perlindungan khusus. Selain itu, dan ini pertama kali dalam sejarah PBB, KHA mencakup sekaligus hak-hak sipil, politik, ekonomi, social dan budaya. Karena itulah, konvensi ini paling komprehensif dibandingkan konvensi-konvensi lainnya. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi KHA tersebut melalui

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990, dan sesuai ketentuan pasal 49 (2) KHA, maka Konvensi tersebut dinyatakan berlaku di Indonesia sejak 5 Oktober 1990. KHA pada dasarnya mengacu pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1966, terutama pasal 23 dan 24, dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya tahun 1966, terutama pasal 10. Kedua kovenan tersebut merupakan penjabaran dari Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, disingkat DUHAM), yang ditetapkan Majelis Umum (MU) Perserikatan BangsaBangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948. DUHAM memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan efektif, baik di kalangan rakyat negara-negara anggota PBB sendiri maupun di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka.

Indonesia telah meratifikasi dua konvensi atau kovenan tersebut sekaligus, yaitu Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Ekosob) melalui UU No. 11 Tahun 2005 dan Kovenan Hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol) melalui UU No. 12 Tahun 2005. Dalam

mukadimah dari kedua kovenan tersebut, nampak sangat bersamaan yaitu menitikberatkan bahwa hak bersumber dari martabat yang melekat pada manusia, dan oleh karenanya kewajiban negara berdasarkan Piagam PBB untuk memajukan penghormatan secara universal dan pentaatan terhadap hak asasi dan kebebasan manusia. Substansi hak anak yang terdapat dalam KHA yang dimantapkan melalui UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juga memuat ketentuan-ketentuan sanksi pidana pelanggaran hak anak. Selain itu UU tersebut juga dengan jelas menyatakan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Keberadaan berbagai instrumen hukum tingkat internasional yang telah diratifikasi pemerintah tersebut, jika dilihat secara utuh bukanlah merupakan instrumen yang terpisah-pisah tetapi terintegrasi, karena pasal-pasal yang memuat berbagai hak yang ada dalam masing-masing instrumen tersebut saling berkaitan. Hal itu tidak lepas dari permasalahan hak yang ada di lapangan pun juga tidak bisa dipisah-pisahkan. Misalnya, pendidikan dan informasi yang memiliki hubungan filosofis yang sangat erat, masing-masing terdapat dalam kovenan yang berbeda. Pendidikan berada dalam ranah hak ekonomi, sosial dan budaya, sedangkan informasi berada dalam ranah hak sipil dan politik. Demikian pula pasal-pasal atau hak-hak yang ada dalam KHA, meskipun menggunakan istilah atau pengelompokan/kluster hak yang berbeda-beda, namun secara substansif ada keterkaitan yang sangat erat antar kluster. Hal ini perlu dikemukakan, mengingat dalam KHA terdapat beberapa kluster hak substansif anak yang penamaan dan pengelompokannya berbeda dengan Kovenan Hak Sipol dan dan Kovenan Hak Ekosob. Pengelompokan tentang isi KHA ke dalam 8 kluster oleh Komisi Hak Anak PBB dilakukan dengan pertimbangan mempermudah pemahaman publik serta dalam penyusunan laporan implementasinya kepada PBB. Delapan (8) kluster isi KHA tersebut adalah sebagai berikut :

1. Langkah-langkah Implementasi Umum 2. Definisi tentang Anak 3. Prinsip-prinsip Umum 4. Hak Sipil dan Kebebasan 5. Lingkungan keluarga dan Pengasuhan Alternatif; 6. Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar; 7. Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Budaya; dan 8. Upaya-upaya Perlindungan Khusus.

Salah satu kluster dalam KHA tersebut yang menjadi materi buku Pedoman ini adalah Kluster Hak Sipil dan Kebebasan bagi Anak. Kluster ini sangat penting karena berbagai permasalahan anak di Indonesia terjadi karena masih rendahnya penghormatan, pemenuhan,dan perlindungan hak sipil dan kebebasan anak ini. Selain itu kluster hak sipil dan kebebasan ini memiliki berbagai arti penting seperti yang dijelaskan berikut.

Arti Penting Hak Anak Hak anak terdiri dari beberapa hak yang diatur dalam pasal-pasal terpisah, yakni : 1. Nama dan Kewarganegaraan 2. Mempertahankan Identitas 3. Kebebasan Berpendapat 4. Kebebasan Berpikir, Berkesadaran (Berhati Nurani) dan Beragama 5. Kebebasan Berserikat dan berkumpul secara damai 6. Perlindungan Terhadap Kehidupan Pribadi (Privasi) 7. Akses kepada Informasi yang Layak 8. Perlindungan dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat

Pengelompokan hak-hak dan kebebasan anak, tidaklah bersifat kaku dan eksklusif karena ada keterkaitan substantif yang sangat erat, baik antar pasal dalam satu kluster, antar pasal dalam kluster yang berbeda. Begitu juga dengan keterkaitan substantif antar kovenan / konvensi / instrumen hukum internasional yang berbeda. Misalnya pasal 7 dan pasal 8 dalam kluster hak

sipil dan kebebasan anak memiliki isu substansial yang bersinggungan, yakni menyangkut isu identitas anak. Dalam dua kluster yang berbeda dari KHA, juga ditemukan singgungan isu substansial, yakni isu yang disinggung dalam kluster 4 tentang Hak Sipil dan Kebebasan Anak dengan kluster 5 tentang Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif. Begitu juga dalam Kovenan yang berbeda juga terdapat contoh singgungan isu substansial yang sama. Misalnya dalam KHA serta dalam Kovenan Ekosob, terdapat kewajiban untuk menyediakan pendidikan dasar secara gratis dan hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari eksploitasi. Berikut adalah uraian tentang penjabaran hak-hak beserta arti pentingnya yang terdapat dalam kluster hak sipil dan kebebasan bagi anak, baik terhadap negara/pemerintah, masyarakat maupun arti pentingnya bagi anak itu sendiri. Hak Pertama adalah hak atas nama dan kewarganegaraan. Makna penting dari hak atas nama dan kewarganegaraan merupakan hak mendasar dan pertama yang dimiliki oleh seorang anak. Nama dan kewarganegaraan menunjukkan identitas yang dimiliki setiap orang dan

statusnya sebagai warga dari suatu negara yang akan menjamin pemenuhan hak-haknya. Dari sisi negara, hak tersebut merupakan kewajiban bagi negara untuk memenuhinya dan menjadi bukti pengakuan hukum dari negara terhadap warganya. Hak Kedua adalah hak mempertahankan identitas. Seorang anak berhak untuk

mempertahankan identitasnya dan negara menghormati hak warganya dalam mempertahankan identitasnya tersebut, termasuk kaitannya dengan hubungan keluarga. Apabila ada pihak-pihak yang hendak melakukan perampasan atau pemalsuan identitas seorang anak, maka negara akan memberi bantuan dan perlindungan yang layak dengan tujuan menetapkan kembali dengan cepat jati dirinya. Hal ini sebagai langkah awal bagi anak dalam mengembangkan jati dirinya untuk tumbuh kembang secara wajar. Implementasi dari kedua hak tersebut diwujudkan dalam bentuk pemberian akte kelahiran dan pencatatan yang harus dilakukan untuk diregistrasi oleh negara dalam catatan sipil kependudukan seorang anak sebagai salah satu warga negaranya. Pencatatan kelahiran sendiri memiliki empat azas, yakni (1) universal, (2) permanen, (3) wajib, dan (4) kontinyu. Azas universal berarti pencatatan kelahiran harus diselenggarakan atau menjangkau seluruh wilayah kedaulatan negara dan semua penduduk bagi semua peristiwa penting. Azas permanen berarti pelaksanaan pencatatan kelahiran harus diselenggarakan dengan sebuah sistem yang permanen. Institusi yang menyelenggarakan harus bersifat permanen untuk menjamin kontinyuitas

pelayanan. Azas wajib berarti pemerintah wajib menyelenggarakan pencatatan kelahiran, dan penduduk atas perintah hukum wajib melaporkan setiap peristiwa kelahiran pada jangka waktu tertentu. Atas keterlambatan pelaporan tersebut dikenakan sanksi. Azas kontinyu atau berkelanjutan berarti pencatatan kelahiran harus dilakukan tanpa jeda waktu sejak sistem diberlakukan. Dari operasional sistem yang berkelanjutan ini akan dihasilkan data peristiwa penting yang lengkap, akurat dan mutakhir. Bagi negara atau pemerintah, arti penting dari kedua hak pertama tersebut yang terdapat dalam akte kelahiran adalah sebagai berikut : Menjadi bukti bahwa negara mengakui atas identitas seseorang yang menjadi warganya Sebagai alat dan data dasar bagi pemerintah untuk menyusun anggaran nasional dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan perlindungan anak. Arti penting bagi anak yang terdapat dalam kepemilikan akte kelahiran, adalah sebagai berikut : merupakan bukti awal kewarganegaraan dan identitas diri pertama yang dimiliki anak menjadi bukti yang sangat kuat bagi anak untuk mendapatkan hak waris dari orangtuanya mencegah pemalsuan umur, perkawinan di bawah umur, tindak kekerasan terhadap anak, perdagangan anak, adopsi ilegal dan eksploitasi seksual anak secara yuridis berhak untuk mendapatkan perlindungan, kesehatan, pendidikan, pemukiman, dan hak-hak lainnya sebagai warga negara

Sedangkan bagi masyarakat, arti penting hak anak yang terdapat dalam kepemilikan akte kelahiran adalah sebagai berikut : alat pembuktian status perdata seseorang dan menunjukkan hubungan hukum antara anak dengan orangtuanya mempermudah dalam mengurus hal-hal yang sifatnya administratif, seperti syarat pendaftaran sekolah, mencari pekerjaan setelah dewasa, menikah dan lain-lain terwujudnya tertib sosial yang menyangkut kejelasan identitas setiap warga masyarakat

Hak ketiga adalah hak anak untuk menyatakan pendapat. Arti penting dari hak tersebut bagi negara dan pemerintah adalah sebagai elemen penting bagi terwujudnya negara dan pemerintahan yang demokratis, di mana setiap warga negara termasuk anak memiliki hak yang

sama untuk menyatakan pendapatnya. Pemerintah juga bisa memperoleh gambaran permasalahan, kebutuhan dan aspirasi yang murni dari kelompok anak itu sendiri, yang sebelumnya lebih sering disuarakan oleh orang dewasa. Bagi anak sendiri, arti penting dari hak untuk menyatakan pendapat tersebut adalah sebagai berikut : merupakan perwujudan dari hak anak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka meningkatkan harga diri dan percaya diri anak mengembangkan bakat dan ketrampilan memperbesar akses pada berbagai peluang Bagi masyarakat arti penting dari hak anak untuk menyatakan pendapatnya adalah pandangan dari orang dewasa tentang berbagai macam hal termasuk masalah anak tidak selamanya benar. Pandangan anak dapat menjadi pandangan alternatif untuk dipertimbangkan. Hak keempat adalah kebebasan berpikir, berkesadaran (berhati nurani, dan beragama. Arti penting dari hak tersebut bagi negara atau pemerintah adalah memudahkan terwujudnya sebuah negara atau pemerintahan yang maju yang menghargai pluralitas warganya dan tidak diskriminatif. Bagi anak arti penting dari hak tersebut adalah agar anak dapat mengembangkan kecerdasan jamak (logika matematika, linguistik verbal, body kinestetik, visual spasial, naturalis, interpersonal, intrapersonal, kecerdasan musikal dan kecerdasan spiritual). Bagi masyarakat, arti penting dari hak tersebut bisa menciptakan masyarakat yang kreatif, toleran dan saling menghargai terhadap berbagai perbedaan yang dimiliki warganya, serta tidak ada dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya.

Hak kelima adalah kebebasan berorganisasi atau berserikat dan berkumpul secara damai. Arti penting dari hak tersebut bagi negara atau pemerintah serta masyarakat adalah terbukanya proses sosial yang demokratis sejak dini bagi reproduksi kepemimpinan bangsa dan masyarakat, karena kebebasan berorganisasi tersebut bisa melahirkan calon-calon pemimpin bangsa yang mempunyai basis pengalaman berorganisasi yang baik dan bukan berdasarkan pada basis keturunan. Bagi anak arti penting dari hak kelima ini adalah untuk mengenal, memahami dan melatih bagaimana cara berorganisasi sejak dini, melatih kepemimpinan anak dan melatih anak dalam bermasyarakat.

Hak keenam adalah perlindungan terhadap kehidupan pribadi (privasi). Arti penting dari hak tersebut bagi negara atau pemerintah adalah negara atau pemerintah akan dipandang mampu melindungi warganya, khususnya kelompok anak dari campur tangan pihak-pihak lain yang bisa merugikan kepentingan anak. Arti penting bagi anak adalah terjaganya kehidupan pribadi atau privasinya sehingga bisa terhindar dari segala bentuk pemaksaan dan diskriminasi yang dalam jangka panjang bisa menumbuhkan kepercayaan diri anak. Sedangkan bagi masyarakat, arti pentingnya adalah adanya instrumen sosial dan hukum yang membuat warganya merasa lebih tenteram dan bebas dari ancaman terhadap kehidupan pribadinya. Hak ketujuh adalah akses kepada informasi yang layak. Bagi negara atau pemerintah, selain menjadi dasar bagi perlunya disusun instrumen peraturan atau kelembagaan yang bisa menjamin akses informasi kepada warga negara juga memberikan perlindungan khususnya kepada kelompok anak dari informasi-informasi yang berdampak negatif pada anak. Arti penting bagi anak adalah menambah pengetahuan umum, memperluas wawasan dan juga terhindar dari dampak negatif yang bisa ditimbulkan dari keterbukaan informasi. Sedangkan bagi masyarakat, keterbukaan akses tersebut selain di satu sisi akan mempercepat kemajuan suatu masyarakat tapi di sisi lain juga menumbuhkan kekawatiran akan dampak negatif, sehingga mendorong ditumbuhkan dan diperkuatnya kembali norma-norma dan nilai-nilai sosial yang dapat membendung dampak negatif keterbukaan informasi. Hak kedelapan atau terakhir dari rumpun hak sipil dan kebebasan anak adalah perlindungan dari penyiksaan dan penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Arti penting dari hak tersebut bagi negara atau pemerintah adalah bisa mendorong peningkatan perhatian dan kepekaan pemerintah terhadap hak anak-anak yang berhadapan dengan hukum sejak awal proses penangkapan anak sebagai tersangka pelaku tindak pidana hingga selama anak menjalani proses hukuman. Hal tersebut perlu ditegaskan karena selama ini terdapat pemahaman yang terbatas dari para aparat penegak hukum tentang hak anak serta keterbatasan penyediaan fasilitas rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan membuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap hak anak pelaku tindak kriminal. Bagi anak arti pentingnya adalah supaya anak tidak terhambat proses tumbuh kembangnya serta supaya hak-hak dasar lainnya tetap terjamin meskipun anak dalam proses hukum. Bagi masyarakat sendiri, pola-pola penghukuman terhadap anak yang melakukan kesalahan yang terjadi di

masyarakat, seperti yang terdapat dalam keluarga atau sekolah bisa diarahkan pada hukumanhukuman yang sifatnya mendidik dan bukan menyiksa anak. Melihat begitu luasnya lingkup permasalahan yang terkandung dalam hak sipil dan kebebasan anak (HSDKA) serta arti pentingnya pemahaman akan isu tersebut, maka dibutuhkan suatu pedoman pemenuhan umum hak sipil dan kebebasan anak yang diperuntukkan bagi semua pemangku kepentingan di bidang anak di Indonesia, terutama bagi instansi pemerintah di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, yang menjadi perwakilan dari negara yang memiliki kewajiban utama dalam pemenuhan HSDKA. Pengertian pemenuhan dalam hal ini bersifat integratif dan komprehensif, yang meliputi upaya penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak anak, khususnya hak sipil dan kebebasan. Meskipun didasari oleh landasaran universal melalui instrumen-instrumen hukum internasional, HSDKA sangat memperhatikan akar budayanya, yakni budaya bangsa Indonesia. Pedoman ini bertujuan agar semua pemangku kepentingan dapat memahami permasalahan HSDKA yang mencakup prinsip-prinsip dan ketentuan normatif, kebijakan nasional, situasi pemenuhan HSDKA, program dan peran dari masing-masing pemangku kepentingan, sehingga mereka dapat memenuhi kewajibannya dan terlibat dalam upaya pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak di Indonesia.

Landasan Hukum 1. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28 dan 29 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, pasal 2 3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita 4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 Tentang Kependudukan, pasal 6 dan 8 5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, pasal 14 dan 18 6. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pasal 5, 24, 51, 60 dan 63 7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Anti Penyiksaan 8. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia (HAM), pasal 1-5, 14, 17, 18, 23-25, 29, 34, 36, 52, 56, 58, 60, 66 dan 70 9. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, pasal 14 dan 16

10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pasal 1-6, 10, 13, 16-18, 20-24, 27, 28, 42, 43, 54-56, 59, 77-80 dan 86 11. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 4, 5 dan 12 12. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pasal 5-11, 13, 23-25 13. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 14. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik 15. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, pasal 4 dan 21 16. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, pasal 27 17. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak dan

Dasar pemikiran dan signifikansi perlunya pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak di Indonesia sudah memiliki kejelasan. Landasan hukum yang dipergunakan juga sudah cukup lengkap, demikian pula arah kebijakan yang dikembangkan sudah cukup komprehensif. Kesemuanya itu diharapkan akan lebih memudahkan dalam penyusunan program-program di bidang pemenuhan hak dan kebebasan sipil. Namun demikian, agar program-program yang disusun bisa lebih tepat dan berbasiskan pada permasalahan dan kebutuhan di lapangan maka dipandang perlu untuk melihat situasi pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak yang ada di masyarakat. Analisis situasi terhadap pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak Indonesia secara komprehensif untuk saat ini sebetulnya masih relatif sulit untuk dilakukan, karena terbatasnya data dan informasi yang tersedia, baik yang berupa laporan maupun hasil-hasil kajian. Yang dilakukan dalam hal ini lebih pada penyebutan kembali pasal-pasal terkait dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, maupun peraturan atau produk hukum lain yang terkait, yang diikuti dengan penggambaran secara umum tentang situasi pemenuhan hak sipil dan kebebasan bagi anak Indonesia, dengan menggunakan data-data yang bisa diperoleh maupun hasil pengamatan secara umum.

Hak dasar anak

1. Nama dan Kewarganegaraan Hak atas nama dan kewarganegaraan merupakan hak dasar yang melekat pada setiap anak yang wajib diberikan negara. Identitas anak diberikan segera setelah anak itu lahir secara gratis. Negara wajib memberikan identitas anak karena negara memberikan bukti hukum bahwa seseorang itu ada dan untuk mengenalinya diperlukan nama. Sementara kewarganegaraan merupakan alat bukti hukum bahwa seseorang adalah warga negara yang akan terkait dengan status, perlindungan dan hak serta kewajiban anak yang bersangkutan. Hak ini dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 5, 27 dan 28; UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan pada pasal 27 serta UU No. 12 / 2006 tentang Kewarganegaraan pasal 5. Dari paparan di muka sebenarnya terlihat bahwa landasan yuridis bagi pemenuhan hak atas nama, kewarganegaraan dan hak untuk mempertahankan identitas sudah sangat kuat dan petunjuknya juga sangat jelas. Namun hal tersebut tetap membutuhkan peraturan-peraturan yang lain yang bisa mendukung maupun yang lebih bersifat operasional serta peningkatan sarana dan prasarana kelembagaan yang bisa memperluas jangkauan pelayanan pengurusan hingga tingkat kecamatan dan kelurahan. Prinsip universal, permanen, dan kontinyu sudah diaplikasikan di Indonesia secara utuh. Namun prinsip wajib dikenakan kepada 2 (dua) pihak, yakni pemerintah yang wajib menyediakan sistem pencatatan kelahiran, dan penduduk yang wajib melaporkan peristiwa penting kelahiran. Jadi kewajiban dikenakan pada kedua belah pihak.

2. Hak Mempertahankan Identitas Hak ini terdapat dalam pasal 40 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak; UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan serta UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO). Situasi tentang permasalahan pemenuhan hak anak untuk mempertahankan identitas belum bisa dideskripsikan secara komprehensif mengingat keterbatasan data yang tersedia. Namun perhatian terhadap permasalahan ini menjadi semakin urgen jika mengingat beberapa perkembangan terakhir sebagai berikut :

1. Adanya perubahan sosial yang begitu cepat yang menyebabkan meningkatnya urbanisasi dan migrasi, yang sering memunculkan tindak pidana pemalsuan identitas seseorang untuk berbagai tujuan, termasuk tindak pidana perdagangan orang. Pemalsuan identitas dilakukan baik dengan menaikkan usia anak dari usia yang sebenarnya maupun dengan merubah nama anak untuk tujuan mempermudah dalam memperoleh paspor untuk keperluan mendapatkan pekerjaan 2. Meningkatnya frekuensi kejadian bencana alam dan sosial, termasuk kerusuhan yang membawa resiko hilangnya tanda bukti identitas seseorang sehingga rawan untuk terjadinya pemalsuan identitas 3. Masih ditemukannya praktek kebijakan negara yang diskriminatif seperti yang terdapat dalam kasus perkawinan campuran atau perkawinan adat yang tidak diakui negara, sehingga identitas anak hasil perkawinan tersebut juga belum bisa diakui secara tuntas.

3. Kebebasan Menyatakan Pendapat Hak ini tercantum dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 10 dan 56, serta dalam UUD 1945 pasal 28E dan Perpres No. 7/2005 (Lihat Lampiran 1). Dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 disebutkan bahwa : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal tersebut berlaku secara umum, termasuk di dalamnya adalah kelompok anak. Namun demikian, sesuai dengan UU No. 10 Tahun 1992 tentang Kependudukan, prinsip dasar berekspresi dan berorganisasi pada anak juga perlu didekati dari 4 matra, yakni anak sebagai pribadi/personal, anak sebagai penduduk, anak sebagai warga negara dan anak sebagai bagian dari komunitas masyarakat. Dengan empat matra tersebut, kebebasan berekspresi dan berorganisasi pada anak dapat diposisikan secara tepat dan tidak tanpa batas. Dalam implementasinya di lapangan, melihat upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak, seperti pemerintah pusat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan media massa sejak era reformasi bergulir, terdapat perkembangan positif dalam pemajuan hak-hak anak secara umum dan khususnya hak partisipasi anak yang memberi peluang bagi anak untuk berekspresi dan berorganisasi. Namun skalanya masih sangat terbatas dan implementasi lebih lanjut masih menemui banyak kendala.

4. Kebebasan Berpikir, Berkesadaran dan Beragama Dalam UU Perlindungan Anak, pasal yang terkait dengan kebebasan berpikirm

berkesadaran dan beragama adalah pasal 6, 42, 43, 56 dan 86. Sedangkan dalam UU Adminduk terlihat dalam pasal 105. Gambaran tentang situasi implementasi di lapangan dalam hal kebebasan berpikir, berkesadaran/berhati nurani dan beragama masih jauh dari harapan. Permasalahan tentang hak-hak tersebut belum menjadi isu publik dan masih terbatas pada wacana dan walaupun secara normatif hak-hak tersebut benar-benar dijamin oleh negara. Permasalahan lain yang terjadi adalah ketika negara atau masyarakat tidak memfasilitasi pemenuhan hak beragama warganya, padahal pasal 28E UUD 1945 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya dan dalam UU Sisdiknas juga telah disebutkan hak siswa untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianut. Sebagai akibatnya dalam bidang pendidikan di mana anak tidak bisa mendapatkan pendidikan sesuai dengan agama/kepercayaannya itu. Hal ini terjadi ketika negara atau pemerintah serta lembaga pendidikan atau sekolah belum mampu menyediakan guru agama yang sesuai dengan agama siswa yang menjadi minoritas di suatu sekolah atau ketika sekolah yang berlatarbelakang agama tertentu tidak menyediakan guru agama bagi siswa yang memiliki agama berbeda dengan latar belakang keagamaan dari sekolah tersebut.

5. Kebebasan Berserikat dan Berkumpul Secara Damai Pasal-pasal yang terkait dengan masalah kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai terlihat pada UUD 1945 pasal 28 E (3), UU Perlindungan pasal 56, serta Perpres No. 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. Meskipun

disebutkan dalam UU Perlindungan Anak, namun dalam kenyataannya belum ada kebijakan yang tertuang dalam peraturan-peraturan yang memfasilitasi pelaksanaannya. Implementasi hak ini dalam kenyataannya tak bisa dilepaskan dari hak anak untuk menyatakan pendapatnya, yang situasinya sudah banyak disinggung sebelumnya. Untuk hak ini, situasi di lapangan sendiri menunjukkan bahwa sejak lama sudah terdapat berbagai organisasi yang beranggotakan anak-anak, meskipun tidak menggunakan batasan usia anak seperti yang terdapat dalam UU Perlindungan Anak. Beberapa contoh di antaranya adalah Ikatan Remaja Muhammadiyah, Ikatan Pelajar NU, meskipun keduanya berada dalam payung

organisasi induknya yang lebih besar sudah mulai dirintis berdirinya forum-forum anak. Sedangkan organisasi anak yang baru berdiri, seperti Forum Anak, Dewan Anak atau nama yang lainnya sudah mulai banyak dirintis di beberapa daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Mereka beranggotakan anak dengan batasan usia di bawah 18 tahun dan berfungsi sebagai wadah perwakilan anak dan penyalur aspirasi anak. Beberapa mereka sudah diakui keberadaannya oleh pemerintah daerah setempat dan memiliki akses untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada gubernur. Yang masih perlu menjadi perhatian adalah masih banyaknya OSIS yang tidak aktif, padahal potensi manfaatnya sangat besar bagi pembentukan kepribadian dan kepemimpinan anak di masa depan.

6. Perlindungan Kehidupan Pribadi (Privasi) Dalam UU Perlindungan Anak, pasal yang mendekati adalah pasal 64 ayat 3 (b). Dalam kenyataan di lapangan, kehidupan pribadi (privasi) anak tidak pernah menjadi isu publik, sehingga sulit digali data atau informasi mengenai hal itu. Kecuali jika gangguan atau serangan terhadap kehidupan pribadi anak disamakan dengan kekerasan terhadap anak, maka masalah ini sudah menjadi isu publik dan banyak data dan informasi mengenai hal itu. Secara kultural, kehidupan pribadi anak bukan menjadi suatu norma atau nilai di masyarakat. Oleh karenanya yang sering terjadi adalah campur tangan orang dewasa dalam urusan anak dan sudah merupakan hal yang umum. Dengan alasan untuk mencegah anak dari mengkonsumsi barang-barang terlarang, seperti buku dan gambar atau narkoba, orangtua tanpa memberitahu anak menggeledah tas atau telpon genggam anaknya, membaca surat anaknya. Hal tersebut juga dilakukan oleh pihak sekolah yang bekerjasama dengan kepolisian. Di berbagai daerah budaya untuk campur tangan dan mengekang anak masih terus dijadikan alasan untuk mendisiplinkan anak dan mendidik anak-anak tidak menjadi malas. Menurut pandangan mereka, anak-anak tidak perlu dikasihani dan diberi kelonggaran.

7. Akses Kepada Informasi Yang Layak Dalam UU Perlindungan Anak, pasal yang terkait dengan masalah akses informasi yang layak bagi anak adalah pasal 10. Terdapat dua pengertian dalam perolehan informasi pada anak, yakni hak anak untuk memperoleh informasi yang memadai dan hak anak untuk bebas dari dampak negatif yang ditimbulkan dari perolehan informasi tersebut.

8. Perlindungan dari penyiksaan dan penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Dalam UU Perlindungan Anak pasal-pasal yang terkait dengan hak tersebut adalah pasal 4, 13, 16-18, 56 dan pasal 80. Di Indonesia permasalahan hukuman yang tidak manusiawi terhadap anak-anak masih banyak terjadi. Dalam permasalahan anak-anak yang berhadapan dengan hukum, perlakuan yang diberikan terhadap anak-anak tersebut masih banyak yang melanggar peraturan yang telah dibuat serta Konvensi Hak Anak. Dalam memperkarakan anak baik sebagai pelaku ataupun korban, walaupun sudah diakui dalam UU 2/2002 tentang Kepolisian, terkadang anak-anak masih diperlakukan oleh para penegak hukum sebagai orang dewasa dan dikenai hukuman layaknya orang dewasa. Sehingga penerapan diskresi dan diversi pada anak-anak masih amat kurang dalam kasus-kasus yang melibatkan mereka.

KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai