Anda di halaman 1dari 2

Soft power Indonesia: Islam, Demokrasi dan Modernitas Terdapat dua komponen yang dapat meningkatkan pengaruh dan

prestise suatu negara dalam pergaulan dunia internasional, yaitu hard power dan soft power. Hard power biasanya menyangkut komponen kekuatan militer ataupun komponen-komponen lain yang bersifat tangible (nyata). Sementara soft power menyangkut komponen-komponen yang bersifat intagible (tidak nyata). Joseph Nye mendefinisikan soft power sebagai kekuatan nasional yang didasarkan pada nilai-nilai, ideologi dan ciri-ciri budaya yang secara konkret diperlihatkan melalui kebijakan dan perilaku negara atau produk-produk seperti musik, film, makanan yang dikonsumsi secara luas (Nye, 2002; Jemadu 2008). Tampilnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pertama dan satu-satunya yang terpilih secara demokratis dalam sejarah kepresidenan Indonesia setidaknya memunculkan secercah harapan bagi peningkatan standing position Indonesia di dunia internasional setelah cukup lama berkutat pada masalah domestik akibat krisis 1998. Dalam pidatonya bertajuk an independent and active foreign policy di depan konferensi Indonesia Council on World Affairs (ICWA) pada tahun 2005, Presiden SBY mengatakan bahwa politik luar negeri Bebas Aktif harus menproyeksikan identitas internasional Indonesia, yaitu negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia; negara dengan populasi muslim terbesar di dunia; negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia, dan negara dimana Islam, Demokrasi dan Modernitas dapat berjalan bersama. Islam, demokrasi dan modernitas inilah yang kemudian menjadi soft power Indonesia dalam rangka meningkatkan pengaruh dan prestise-nya di kancah pergaulan internasional. Jika dibandingkan dengan negara-negara muslim dibelahan dunia lainnya, Indonesia merupakan negara yang paling berkompeten memproyeksikan Islam, Demokrasi dan Modernitas sebagai modalitas politik luar negeri dalam kerangka soft power diplomacy. Arnold Toynbee sebagaimana dikutip oleh Juwono Sudarsono dalam artikelnya di media masa KOMPAS (November 2003), memandang Indonesia sebagai bangsa berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang mampu menjawab teorinya yang terkenal dengan challenge and response. Berbeda dengan negara berpenduduk mayoritas Muslim lain di Timur Tengah dan Asia Selatan, Toynbee yakin Islam di Indonesia sanggup menjawab tantangan "modernisasi" dalam bentuk response terbuka, penuh akal sehat, dan percaya diri. Islam di Indonesia membuka diri dan memperbaiki diri berhadapan dengan tuntutan perubahan zaman dengan memanfaatkan ijtihad dan pembaruan ajaran agama sejalan pekembangan ilmu, pengetahuan, dan kemajuan ekonomi. Lebih lanjut Juwono Sudarsono mengungkapkan bahwa Islam di Turki dipandang terlalu sekuler dan dekat Barat, antara lain karena negara itu lama terikat pakta pertahanan NATO dan sedang melamar masuk lingkar Uni Eropa. Islam di Pakistan dinilai terlalu sarat warna permusuhan sektarian dengan India yang berpenduduk mayoritas Hindu, sedangkan Islam di Malaysia terlalu melekat dengan etnis Melayu, jumlahnya terlalu sedikit untuk menjadi perbandingan yang berarti. Islam di negara Timur Tengah terlalu terjerat konflik Arab-Israel dan persaingan strategis antarnegara besar sekitar minyak, gas, dan energi (Juwono Sudarsono, 2003).

Melalui a million friends zero enemy yang menjadi slogan politik luar negeri era SBY, Indonesia berupaya mencitrakan dirinya sebagai negara yang bersahabat dan dapat diterima oleh negara lain. Indonesia berupaya memainkan perannya sebagai bridge-builder antara Islam dan Barat. Melalui slogan itu pula Indonesia berupaya merangkul sebanyak mungkin pihak yang dapat diajak kerjasama dengan Indonesia dalam rangka memproyeksikan soft power Indonesia ke dunia luar. Proyeksi Islam, Demokrasi dan Modernitas sebagai soft power sebenarnya merupakan hal yang tepat, akan tetapi Indonesia harus tetap mengingat bahwa soft power tidak ada artinya tanpa didukung hard power. Oleh karena itu, Indonesia harus terfokus pada dua hal. Pertama, secara intensif Indonesia harus mengkomunikasikan dan mempromosikan kepada dunia luar atas soft power Indonesia, untuk hal ini pemerintah Indonesia sudah melakukan hal yang tepat dengan inisiasi pembentukan forum interfaith dialogue dan Bali Democracy Forum. Kedua, Indonesia harus membenahi dan meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan kapabilitas militer. Jika kedua hal tersebut terlaksana dengan baik, maka bukan hal yang mustahil apabila dimasa depan Indonesia akan menjelma sebagai negara super power dengan perpaduan soft power dan hard power yang memadai. Semoga!!! Further Reading: Jemadu , Aleksius. 2008. Politik Global dalam Teori & Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Juwono Sudarsono, Tiga Sorotan Luar Negeri terhadap Ri. KOMPAS, 2003. ====================== Andhik Beni Saputra (Peneliti FAIR HI FISIP Univ. Riau)

Anda mungkin juga menyukai