Anda di halaman 1dari 6

Penggunaan Kortikosteroid Pada Syok Septik

Dr. A Husni Tanra dan Dr. M ID Sjattar


Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang

PENDAHULUAN Syok septik adalah sindroma klinik yang dicetuskan oleh masuknya produk mikroba ke dalam vaskuler, sehingga mcnyebabkan kegagalan pada mikrosirkulasi, penurunan perfusi jaringan dan abnormalnya metabolisme seluler 1-4 . Brill dan Libman pada tahun 1899 untuk pertama kalinya mclaporkan satu kasus bakteremia Gram Negatif s . Banyak terminologi digunakan untuk syok septik antara lain: syok cndotoksin, syok Gram Negatif, syok bakteremia dan syok scptikemia 1,6,7 . Selain oleh mikroba Gra. Negatif, syok septik dapat juga disebabkan oleh mikroba Gram Positif, fungus maupun spirochac1,2.4.6.8.9 . Menurut Wright 2,10 pemberian kortikosteroid pada syok septik tetap kontroversial. Namun demikian banyak peneliti telah mclihat keuntungan pemberi-

Vasodilatasi yang terjadi memberikan gambaran hangat dan kemerahan, di samping menyebabkan penurunan tekanan darah. Akibatnya terjadi stimulasi baroreseptor yang menyebabkan dibebaskannya zat vasoaktif 5-hidroksi triptantin. adrenalin dan nor-adrenalin. baik neural maupun humoral 1-4 . Sampai fase ini kita masih berada pada fase awal syok septik yang disebut juga warm shock1-4,8 .
GAMBAR I. PATOFISIOLOGI "WARM SHOCK"

an kortikosteroid dosis tinggi pada syok septik 5,7,11-19

Makalah ini akan membicarakan mengenai patofisiologi, perubahan scluler, subscluler dan organ. hubungan antara kcrusakan organ dengan efek metabolik syok septik dan efek kortikosteroid sebagai terapi ajuvan pada syok septik. PATOFISIOLOGI Pembebasan endotoksin dari mikroba yang sudah mati diduga menjadi pencetus utama terjadinya syok septik 1-4,6,5 Endotaksin merupakan stimulan antigen yang kuat, yang menyebabkan ia berikatan dengan antibodi (lg-G, Ig-M) membentuk kompleks endotoksin antibodi1,2,6 . Selanjutnya komplemen akan diaktifkan baik melalui classic pathway ataupun melalui alternative pathway 6 . Efek selanjutnya terjadi pelepasan zat vasoaktif seperti histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin dan "slowreacting-substance of anaphylactoid" (SRS-A) 1,2,4, 8, 9 . Pelepasan zat vasoaktif ini menyebabkan dilatasi arteriol, venokonstriksi, bronkokonstriksi dan peninggian permeabilitas membrana kapiler 1-4,6,8,9 *) MAKALAH telah diajukan pada Simposium Kortikosteroid sebagai
obat penyelamat, Ujung Pandang, 8 September 1984.

Efek samping pembebasan zat vasoaktif ini secara terus menerus, menyebabkan konstriksi pada precapillary sphincter

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

dan post capillary venular sphincter 1,2 . Akibatnya, sebagian darah tidak lagi melalui jaringan tetapi melalui shunt arteri vena yang menyebabkan jaringan berada dalam keadaan hipoksia iskemik 1,2. Hipoksia jaringan memaksa jaringan mempertahankan fungsinya, terutama dengan metabolisme anerobik yang menghasilkan asam laktat. Asidosis Iaktat lama kelamaan menyebabkan precapillary sphincter tidak dapat lagi mempertahankan tonusnya. Sebaliknya, post capillary venular sphincter masih sanggup mempertahankan tonusnya karena memang biasa bekerja dalam suasana yang lebih asam2 . Relaksasi precapillary sphincter dan tetap konstriksinya post capillary venular sphincter ini menyebabkan pooling darah pada mikrosirkulasi, sehingga jaringan mengalami suatu stagnant hypoxia 2 . Tekanan hidrostatik kapiler meninggi, serta kerusakan endotel menyebabkan meningginya permeabilitas pembuluh darah. Kedua faktor ini menyebabkan kebocoran cairan ke ruang intersisial dan intraselular, yang menyebabkan hipovolemia hebat, sehingga manifestasi klinik syok menjadi lebih jelas 2 .
GAMBAR II. PATOFISIOLOGI "COLD SHOCK"

membran sel yang mempertinggi difusi cairan ke dalam sel yang terlihat dalam bentuk edema sel secara mikroskopis. Ini segera diikuti dengan pembengkakan lisosom fungsi mitokondria, sehingga proses respirasi intraseluler makin terganggu dan asam laktat makin menumpuk' 1,2 . Perubahan membrana lisosom berlanjut dengan rusaknya membrana ini, yang menyebabkan dibebaskannya enzim-enzim yang dapat mcnghancurkan struktur makromolekul sel scperti protein, lipid dan asam nukleat yang berakhir dengan kematian sel 5,13 . Matinya sel menyebabkan pcmbcbasan isinya ke dalam cairan ekstraseluler, terus ke sel tetangganya yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan dan organ5,13 . Endotoksin mendepresi proses glukoncogenesis yang menambah beratnya penumpukan asam laktat dan penurunan produksi ATP 2 .
GAMBAR III. Asidosis metabolik pada syok septik

Gangguan fungsi hati dari "cold Penurunan drastis aliran darah hati pada awal shock" menyebabkan kegagalan elemen retikulocndotelial hati untuk mendetoksifikasi dengan akibat tcrdistribusinya cndotoksin kc seluruh tubuh5.12,13 Disfungsi hati kemudian ternyata memegang posisi kunci yang menentukan beratnya manifestasi klinik suatu syok septik,5,12,13,14,20 Gangguan fungsi ginjal Penurunan aliran darah ginjal menyebabkan gangguan fungsi ginjal dalam hal pengaturan keseimbangan asam basa13 Apabila ini tidak cepat ditanggulangi, dapat terjadi nekrosis tubulus ginjal yang makin memperberat asidosis laktat, yang terjadi akibat akumulasi metabolit nitrogen dan toksin-toksin13 Gangguan fungsi paru Banyak teori telah dimajukan untuk menerangkan kelainan paru pada sepsis 2 . Namun demikian tidak ada satu pun teori yang dapat menjelaskan kelainan paru ini pada semua kasus sepsis, sehingga diduga hal lni disebabkan oleh kombinasi beberapa mekanisme. Agregasi trombosit menyebabkan pembebasan serotonin, prostaglandin, enzim lisosom, heparin releasing factors dan faktor lain yang menyebabkan meningginya permeabilitas vaskuler paru2 . Produk koagluasi seperti fibrin atau fibrin degradation product (FDP) juga memperlihatkan efek yang merusak paru karena mempertinggi tekanan hidrostatik vaskuler paru 2 . Pembebasan katekolamin akibat syok merangsang lipolisis yang
Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985 43

PERUBAHAN STRUKTUR SEL, SUBSELULER DAN


ORGAN

Perubahan struktur sel dan subseluler Gangguan perfusi jaringan menyebabkan metabolisme anerobik yang menumpuk asam laktat, dan penurunan produksi ATP. Penurunan ATP menyebabkan penurunan fungsi

menyebabkan peninggian konsentrasi asam lemak bebas. Ini menyebabkan sintesa "plasminogen activator inhibitors" oleh hati yang mengganggu proses fibrinolitik dan mengakibatkan mikroemboli pada paru yang makin mempertinggi permeabilitas vaskuler paru.
GAMBAR IV. Kelainan paru pada sepsis

Gangguan pembekuan Hemolisis intravaskuler dapat terjadi karena bakteremia. Dapat juga terjadi secara sekunder karena reaksi antigenantibodi di dalam pembuluh darah yang menyebabkan ikterus pra hepatik. Liver failure dapat terjadi karena septikemia atau sepsis intra abdomen yang menyebabkan ikterus intra hepatik. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) terjadi karena di trigger oleh lesi pada dinding kapiler l '2 ' 8 , atau sekunder sebagai akibat efek endotoksin 2 .

Di sini, proses koagulasi diaktifkan di dalam darah yang sementara bersirkulasi, dengan menggunakan faktor-faktor bekuan seperti protrombin, proakselerin, globulin antihemofilik, fibrinogen dan trombosit membentuk fibrin. Penggunaan faktor bekuan ini yang menimbulkan gejala perdarahan. Di lain pihak pembentukan fibrin menyebabkan pelepasan aktivator plasminogen yang akan merubahnya menjadi plasmin. Plasmin ini akan mencerna fibrin dan faktor bekuan lainnya seperti fibrinogen, globulin antihemofilik dan proakselerin yang menambah beratnya gejala perdarahan. Fibrin dipecah menjadi fibrin degradation product (FDP) 2 . Akhirnya dikenal pula teori yang mengkambinghitamkan lipid-A-endotoksin 2 . Lipid-A ini mengaktifkan complement cascade yang menyebabkan agregasi trombosit pada kapiler paru. Agregasi ini membebaskan radikal aktif yang toksik karena dapat berinteraksi satu sama lain, merusak DNA dan membrana sel yang berakhir dengan kerusakan pada kapiler paru?. Akibat lain kerusakan endotel paru, cairan yang kaya akan protein dapat tertimbun pada alveolus dan intersisial paru yang menyebabkan hipoprotenemia 2 . Gangguan fungsi pankreas Penurunan perfusi pankreas menyebabkan gangguan fungsi pankreas dalam kontrol hormonal metabolisme karbohidrat dan pembentukan myocardial depressat factors (MDF) 11, ' 13 . Pembebasan MDF dari pankreas menyebabkan bertambahnya vasokonstriksi sirkulasi splanikus dan juga kardiodepresi l2 . Akibatnya terjadi gangguan fungsi jantung yang menyebabkan kolaps sirkulasi dan makin jeleknya perfusi jaringan 13 :
44 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

HUBUNGAN ANTARA KERUSAKAN ORGAN DAN EFEK METABOLIK DARI SYOK SEPTIK Fase awal syok septik (warm shock) ditandai dengan peningkatan metabolisme yang menyebabkan peningkatan suhu tubuh l-4 ' 6 ' 8 . Katekolamin dan glukagon menstimulir miokardium, meningkatkan sekresi hormon adrenal (dan mungkin juga kelenjar tiroid) yang memacu metabolisme secara umum. Akibat kebutuhan enersi yang sangat tinggi pada fase awal dari syok septik, terjadi peningkatan pemecahan glikogen. oksidasi glukosa dan glukoneogenesis l '2 . Sebaliknya pada fase lanjut syok septik, dapat ditemukan keadaan hipoglikemia karena berbagai hal 12,13,16,19 Balis et al dan Hinshaw et al melaporkan bahwa endotoksemia menyebabkan penurunan perfusi hati sehingga menyebabkan inhibisi terhadap proses glukoneogenesis 16 Menurut Williamson et al 11 , endotoksin secara langsung atau tidak langsung melakukan inhibisi terhadap enzim fruk-

tose -1.6difosfatase atau mengaktifkan enzim fosfofruktokinase. Hal ini mempertinggi konsentrasi fruktosa difosfat dan menurunkan konsentrasi fruktosa -6 fosfat dan glukosa -6 fosfat. Peninggian konsentrasi fruktosa difosfat bekerja sebagai positive feedback signal untuk mengaktifkan enzim piruvatkinase yang menyebabkan penurunan konsentrasi fosfo-enol -piruvat, menurunkan produksi glukosa dan mempertinggi penggunaan ATP I1 Untuk jelasnya dapat dilihat skema pada Gambar.
GAMBAR VI. Efek endotoksin terhadap metabolisme karbohidrat

skema pada Gambar VII. Schuler11 berspekulasi, cepatnya pemecahan glikogen pada binatang percobaan yang mengalami endotoksemia disebabkan baik karena meningka.tnya glukogenolisis dan penekanan terhadap glukoneogenesis. Ia juga mendapatkan pada hati yang diisolasi dari monyet yang mati karena endotoksemia, peninggian konsentrasi asam laktat dan fruktosa difosfat, serta penurunan konsentrasi fruktosa -6fosfat, glukosa6-fosfat dan fosfoenolpiruvat yang bermakna.
GAMBAR VII. Efek endotoksin terhadap glikogenolisis hati

Bitensku et a111 telah memperlihatkan bahwa endotoksin melakukan stimulasi terhadap adenilsiklase yang peka terhadap rangsangan katekolamin. Sehingga jelaslah, setiap rangsangan terhadap pelepasan katekolamin merupakan stimulus yang mempertinggi kecepatan glikogenolisis hati dengan mengaktifkan sistem fosfosrilase hati. Untuk jelasnya dapat dilihat

Diketahui juga bahwa glukoneogenesis merupakan proses yang banyak memakai enersi 12 . Dua langkah pertama ke arah pembentukan ATP adalah oksidasi glukosa menjadi asam piruvat, yang diikuti dengan masuknya asam piruvat ke dalam siklus Krebs melalui asetil -koenzim A. Sehingga akan terjadilah lingkaran setan dalam hal penurunan produksi glukosa, menyebabkan penurunan produksi enersi yang menyebabkan makin menurunnya produksi glukosa dan seterusnya 12 . Schu1er12 juga telah membuktikan pada hati monyet yang mati karena endotoksemia, penurunan konsentrasi ATP dan ADP dan sebaliknya peningkatan konsentrasi AMP. Menurut Schumer11 ada 3 kemungkinan yang dapat menyebabkan penurunan konsentrasi ATP dan ADP posmortem ini, yaitu : 1) Akibat kondisi yang amat hipoglikemia, sangat sedikit glukosa yang tersedia untuk oksidasi sel, sehingga sedikit juga produksi asam laktat oleh sel dan yang kemudian masuk ke dalam siklus Krebs untuk diproduksi sebagai enersi. 2) Kemungkinan tidak cukupnya tersedia oksigen bagi sel untuk menjaga fungsi mitokondria yang normal, sehingga walaupun asam laktat cukup diproduksi, tetapi siklus Krebs yang membutuhkan oksigen tidak bekerja dengan lancar, dengan akibat produksi enersi juga berkurang. 3) Hipotensi menyebabkan tidak cukup adekuatnya aliran pada mikrosirkulasi yang menyebabkan terganggunya perfusi jaringan untuk transportasi baik oksigen maupun substrat yang dapat menghasilkan enersi ke dalam sal. Hipoksia jaringan menyebabkan penurunan metabolisme
Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985 45

autocannibalism 2 .

aerobik, sebaliknya meningkatkan metabolisme anaerobik, yang menyebabkan penumpukan asam laktat dan penurunan drastis penyediaan adenosin tri fosfat (ATP) pada jaringan 5,11,12,13,20,21 Penurunan kemampuan oksidasi glukosa memaksa lemak untuk menjadi sumber enersi utama pada 22 stres dan sepsis . Hal ini dimungkinkan karena efek katekolamin dan glukagon yang meninggikan siklus adenosin mono fosfat (cAMP) dalam lemak yang mempertinggi aktifitas lipolisis untuk hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol22 . Makin berat sepsis, makin besar pengaruh glukagon yang menyebabkan makin meningginya konsentrasi asam lemak bebas dan benda-benda keton 22 . Apabila stres lebih berat lagi, akan terjadi inhibisi terhadap masuknya asetil - koenzim-A ke dalam siklus Krebs yang menyebabkan makin meningginya konsentrasi benda-benda keton 22 . Inilah yang menyebab kan pada sepsis akan ditemukan peninggian rasio beta-hidroksibutirat terhadap asetoasetat dalam darah hati, ginjal dan jaringan lainnya 22 . Meningginya konsentrasi benda-benda keton akibat meningginya aktifitas lipolisis memperberat asidosis laktat yang 11,12,14,22 sudah terjadi karena hipoksia jaringan Di samping lipolisis lemak, terjadi juga peningkatan penggunaan protein scbagai sumber enersi yang menyebabkan balans nitrogen yang negatif 22 . Sumber utama pemecahan protein dalam keadaan septikemia ini adalah otot, sehingga konsentrasi protein di hati dan ginjal hampir tidak berubah 22 Hal inilah agaknya yang menyebabkan penderita dengan septikemia biasanya mengalami penurunan berat badan, masa otot, hipoalbuminemia yang biasa juga disebut sebagai septic

EFEK KORTIKOSTEROID SEBAGAI TERAPI AJUVAN PADA SYOK SEPTIK Walaupun kortikosteroid telah digunakan sebagai terapi ajuvan pada syok septik lebih dari 10 tahun, kontroversi mengenai untung-rugi dan berguna - tidaknya diberikan pada penderita septikemia terus berlanjutssampai dewasa ini 5,13,14,15 Schumer11,14 Schuler 12 , Lefer 5,13 Hinshaw 7,15 , Lillehei 23 dan banyak peneliti lainnya melihat bahwa pemberian adrenokortikoid dini pada sepsis mempertinggi kemungkinan hidup pada binatang percobaan dan penderitanya. Lofer 5,13 berhipotesis, efek perlindungan yang diberikan oleh kortikosteroid pada syok disebabkan karena efek hemodinamik dan metaboliknya dalam memperbaiki sistem sirkulasi. Lozman 24 melaporkan peninggian curah jantung dan penurunan resistensi vaskuler periferi pada penderita trauma kapitis yang diberinya metilprednisolon -sodium -suksinat 30 mg/Kg BB dini. Peninggian curah jantung meninggikan aliran darah ke organ dan memperbaiki perfusi jaringan 24 . Perfusi jaringan lebih diperbaiki lagi karena penurunan resistensi vaskuler periferi. Peninggian curah jantung ini antara lain disebabkan karena adanya efek inotropik positif 5 , peninggian aliran darah koroner 13 , dan percepatan aliran darah regional 24 . Perbaikan sirkulasi hati oleh glukokortikoid mencegah iskemia pada hati 13 , lesi pada hati dan penumpukan fibrin pada sinusoid hati 5 . Lefer & Verrier5 dan Lillehei 23 berpendapat, kortikosteroid mencegah vasokonstriksi hebat melalui berbagai jalan, antara lain : 1. Menghambat transmisi impuls saraf pada serabut postgang46 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

lionik saraf simpatik utamanya pada reseptor alfa. 2. Memperbaiki integritas pembuluh darah kecil sehingga mencegah kebocoran ke dalam mikrosirkulasi. 3. Menurunkan agregasi trombosit sehingga mencegah atau memperbaiki stagnant hypoxia pada mikrosirkulasi. Hubay et a125 berpendapat pula bahwa kortikosteroid menurunkan fiksasi komplemen sehingga menyebabkan intervensi terhadap produksi zat vasoaktif yang dicetuskan akibat fiksasi komplemen. Di lain pihak, Schumer 11,14 melihat bahwa kortikosteroid mencegah aktifitas produk fiksasi komplemen. Akibat kedua efek inilah agaknya kortikosteroid dilaporkan mempunyai efek antiendotoksin. Menurut Alho, Motsay dan Lilehei 26 perbaikan perfusi periferi karena pemberian kortikosteroid melindungi lisosom dengan jalan menstabilkan membrana lisosom. Lefer 13 berpendapat, dosis farmakologik dari glukokortikoid secara bermakna mencegah : 1. Akumulasi enzim lisosom di dalam darah. 2. Lepasnya enzim lisosom ke dalam jaringan splanikus seperti hati dan pankreas. 3. Peningkatan aktifitas enzim ekstralisosomal. 4. Pembengkakan dan vakuolisasi lisosom. Mela13 memperlihatkan efek pemeliharaan fungsi mitokondria, sedangkan McConn 13 menunjukkan terjadinya perbaikan transpor oksigen sesudah pemberian kortikosteroid pada syok septik. Perbaikan aliran darah otak sesudah pemberian kortikosteroid memperbaiki metabolisme di otak 13,19. Perbaikan aliran darah pankreas mencegah pembentukan myocardial depressant factors (MDF), dan memperbaiki perubahan kontrol hormonal dari metabolisme karbohidrat yang disebabkan oleh endotoksin 13,14 Wilson17 melihat, pemberian glukokortikoid menyebabkan terpeliharainya integritas kapiler paru yang menjamin pertukaran gas. Berry & Holtzman 16 melaporkan bahwa pemberian kortikosteroid menyebabkan stimulasi glukoneogenesis di hati. Schuler 12 mendapatkan, pemberian kortikosteroid menyebabkan suport metabolisme karbohidrat. Menurut Schumer 12 , pemberian deksametason. atau metilprednisolon mencegah endotoksin untuk menghambat , glukoneogenesis dan kerusakan metabolik lainnya. Efek ini diduga disebabkan karena terjadinya sintesis enzim-enzim kunci untuk proses glukoneogenesis atau karena efeknya yang mencegah endotoksin menekan enzim-enzim ini. Sehingga karenanya, kortikosteroid mencegah penumpukan asam laktat. Bagaimana "uptake" glukokortikoid oleh jaringan? Salah satu keuntungan pemberian glukokortikoid adalah, uptake dalam jumlah besar dari darah dilakukan oleh hati. paru, jantung, ginjal dan pankreas. Proses uptake ini terjadi pada pH fisiologis 3 . Kira-kira 95% metilprednisolon yang di uptake oleh jantung berada pada sel miokardium dan lisosom. 90% dari jumlah ini tetap berada di sana sesudah 3 jam dalam bentuk metilprednisolon yang aktif. Sehingga apabila diberikan dalam dosis farmakologik, molekul steroid berakumulasi dalam organ vital selama syok dan akan memberikan reaksi selama membahayakan. Menurut Schloerb et al 16 mikroba terdistribusi ekstensif pada organ -organ. Untuk membunuh mikroba ini, transportasi

antibiotika ke organ harus adekuat. Agaknya inilah salah satu alasan mengapa penggunaan kortikosteroid pada syok septik harus dalam dosis tinggi (massive dose). Selain karena semua jaringan memerlukannya, efeknya dalam memperbaiki aliran darah regional dan sistemik menyebabkannya sangat berguna apabila diberikan bersama-sama antibiotika, karena memperbaiki distribusi antibiotika ke seluruh jaringan. Selain diberikan dalam dosis tinggi, tidak diperlukan suatu tapering off sepanjang diberikan dalam waktu yang relatif singkat (24 48 jam). Manfaat deksametason dosis tinggi telah dibuktikan oleh Schumer 14 dalam menurunkan angka kematian penderitanya. Ia melakukan penelitian retrospektif dan prospektif penggunaan deksametason secara double blind yang melibatkan 500 penderita syok septik. Ia mendapatkan kematian sebanyak 38% pada kelompok prospektif, dan 43% pada kelompok retrospektif yang tidak diberinya deksametason. Sedangkan pada penderita yang diberinya deksametason, kematian ini masingmasing 10% dan 14%. Namun demikian, harus diingat, penggunaan kortikosteroid pada syok septik merupakan pengobatan tambahan dan bukan pengobatan definitif. Sehingga tindakan penatalaksanaan syok septik yang "klasik" seperti koreksi gangguan hemodinamik untuk memperbaiki pernafasan, sirkulasi, fungsi ginjal, gangguan asam basa dan pemberian antibiotika harus tetap dilaksanakan dengan berpedoman pada semboyan avoid late overtreatment but early overtreatment.
KEPUSTAKAAN

16. 17. 18. 19.

20.

21. 22.

23. 24. 25. 26.

Hinshaw LB, Geller BK, Archer LT et aL Recovery from lethal Escherichia coil shock in dogs. Surg Gynecol Obstet, 1979; 149 : 545. Wilson J. Treatment or prevention of Pulmonary cellular damage with Pharmacologic Doses of Corticosteroid. Surg Gynecol Obstet, 1972; 134 : 675. Wilson RF and Fisher RR The hemodynamic effects of Massive Steroids in the Clinical Shock. Surg Gynecol Obstet, 1968; 127 : 769. Emerson TE and Raymond RM. Methylprednisolone in the Prevention of,Cerebral Hemodynamic and Metabolic Disorders During Endotoxin Shock in the Dog. Surg Gynecol Obstet, 1979; 148 : 361. Johnson GJ, McDevitt NB, Proctor HJ. Erythrocyte 2,3-Diphosphoglycerate in Endotoxic Shock in the Subhuman Primate. Response to Fluid and/or Methylprednisolone Succinate. Ann Surg, 1974; 180 : 783. Baue AE. Recent Developments in the Study and Treatment of Shock. Surg Gynecol Obstet, 1968; 127 : 849. Sjattar M ID, Tanra AH. Nutrisi parenteral pada penderita bedah, makalah dibawakan pada Kuliah Instruksional untuk Ahli Bedah, Muktamar Nasional IKABI ke VIII, Ujung Pandang 9 12 Juli 1984. Lilehei RC, Longerbeam JK, Block JH et al. The Nature of Irreversible Shock; Experimental and Clinical Observations. Ann Surg, 1964; 160 : 682. Lozman J, Dutton RE, English M et al. Cardiopulmonary adjustments .following Single High Dosage Administration of Methylprednisolone in Traumatized Man. Ann Surg, 1975; 181 : 317. Hubay CA, Weckesser EC, Levy RP. Occult Adrenal Insufficiency in Surgical Patients. Ann Surg, 1975; 181 : 325. Alho A, Motsay GJ, and Lilehei RC. dikutip dari kepustakaan 21.

1. Cavanagh D, Rao P. Shock. In: Obstetric Emergencies, Ed by Cavanagh D et. al, 3rd ed., 1982; 26. 2. Sjattar M ID. Syok septik dan penatalaksanaannya. Simposium Syok pada KPIK ke V Fak Kedokteran Univ Hasanuddin Ujungpandang 31 Agustus 1983. 3. Kirby RR. Pathophysiology and Treatment of Shock. American Society of Anesthesiologists Refresher Course. 1973; 1:69. 4. Knuppel RA, Rao PS and Cavanagh D. Septic Shock in Obstetrics. Clin Obstet & Gynecol, 1984; 27 : 3. 5. Lefer AE. Recent Developments in the Study and Treatment of Shock. Surg Gynecol Obstet, 1968; 127 : 849. 6. Tehupeiory E. Aspek imunologi syok septik. KPIK ke IV Fak Kedokterap Univ Hasanuddin Ujungpandang 25 29 Agustus 1981. 7. Hinshaw LB, Coalson JJ, Benjamin BA et al. Escherichia coli shock in the baboon and the response to adrenocorticoid treatment Surg Gynecol Obstet, 1978; 147 : 545. 8. Wardle N. Shock Bacteraemic and endotoxic shock. Br J Hosp Medicine. March 1979; 223. 9. Cox PJ. Septic shock. Postgraduate Doctor-Asia. May 1982; 125. 10. Wright RC. Sepsis. paper presented at Kongres Nasional Pertama Perhimpunan "Critical Care Medicine" Indonesia, Jakarta 25 - 27 Nopember 1982. 11. Schumer W. Indications for Use of Corticosteroid Agents in Treatment of Shock. In: Critical Care Medicine Manual. Ed by Weil MH and Daluz PL, 1st ed. 1978; 137. 12. Schuler JJ, Erve PR, Schumer W. Glucocortocoid Effect on Hepatic Carbohydrate Metabolism in the Enditoxic-Shocked Monkey. Ann Surg, 1976; 183 : 345. 13. Lefer AR Mechanisme of Action of Glucocorticoid in Shock. 1977. 14. Schumer W. Steroid in the Treatment of Clinical Septic Shock. Ann Surg, 1976;184 : 333. 15. Hinshaw LB, Geller BK, Archer LT et al. In vitro effects of methyl prednisolone sodium succinate and E. coli organisms in baboon blood. Circ Shock, 1978; 5 : 271.

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985 47

Anda mungkin juga menyukai