Anda di halaman 1dari 7

No.

1 Tahun I, Februari 2012

OJK dan Masa Depan Industri Keuangan Syariah


Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Kamis, 27 Oktober 2011 telah mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan (RUU OJK) menjadi Undang-undang. RUU OJK kemudian disahkan menjadi UU No 21 Tahun 2011 tentang OJK dan ditandatangani Presiden pada tanggal 22 November 2011. Patut dicatat bahwa RUU OJK sudah pernah dibahas oleh Pemerintah dan DPR, selama tiga periode pemerintahan, dan selalu deadlock atau gagal. Pada periode pemerintahan dan DPR 2009-2014, pembahasan draf RUU OJK ini telah berlangsung dalam 433 hari terhitung sejak 18 Agustus 2010 sampai 25 Oktober 2011. Pembahasan dilakukan selama 5 masa sidang setelah mengajukan 3 kali permintaan perpanjangan waktu untuk menyelesaikan 593 daftar inventaris masalah (DIM). Pansus RUU OJK juga telah melakukan kunjungan ke 4 negara dan kunjungan dalam negeri serta menerima pendapat dan masukan dari pakar, akademisi dan praktisi di sektor jasa keuangan yang dinilai dapat memberikan referensi dalam memperkaya proses penyusunan UU ini. Pengesahan UU OJK menandai bahwa pemerintah dan seluruh kekuatan politik yang ada di negeri ini, memandang bahwa kehadiran OJK sangat penting dalam rangka mendisain arsitektur baru sektor keuangan melalui regulasi dan supervisi yang lebih ketat dan sophisticated. Regulasi dan supervisi yang ketat dipandang sangat penting untuk mengurangi risiko krisis yang diakibatkan kelemahan dan kejahatan dalam sektor keuangan (financial sectors misdeeds) yang selama ini terjadi di Indonesia. Regulasi dan supervisi yang terintegrasi juga dipandang penting menginggat perkembangan industri jasa keuangan yang semakin mengglobal dengan disertai munculnya gejala konglomerasi, serta lahirnya produk dan jasa keuangan yang semakin kompleks dan tidak mudah dipahami oleh publik. Dan menjadi sebuah keniscayaan untuk memperkuat institusi regulator dan pengawas sektor keuangan, sehingga dapat melindungi nasabah dan publik secara luas serta memberikan dampak yang positif bagi perekonomian nasional Namun, dibalik berbagai keyakinan tesebut, muncul beberapa keraguan di sebagian publik, apakah OJK mampu merealisasi berbagai harapan itu. Demikian juga dikalangan penggiat ekonomi syariah, kehadiran OJK juga memunculkan pertanyaan, apakah OJK akan mendorong atau malah menghambat perkembangan industri keuangan syariah kedepan. Untuk itu dibutuhkan analisis untuk dapat memahami UU OJK dan berbagai konsideran penting yang dapat dijadikan landasan strategi dan aksi kedepan yang diharapkan dapat mendukung pengembangan industri keuangan syariah. Selain itu juga perlu diidentifikasi berbagai alternatif kebijakan yang perlu mendapat perhatian untuk pengembangan industri kedepan.

Refleksi Perkembangan: Menakar Dukungan


Perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia beberapa tahun terakhir secara umum sangat pesat. Pertumbuhan perbankan syariah dalam lima tahun terakhir, rata-rata mencapai 40%, di atas rata-rata pertumbuhan di dunia yang hanya 10% hingga 15%. Berdasarkan data Bank

Indonesia, aset perbankan syariah pada September 2011 sudah mencapai Rp 126 triliun, tumbuh 46,55% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp 85,97 triliun. Aset tersebut terdiri dari asset 11 (sebelas) Bank Umum Syariah dan 23 Unit Usaha Syariah senilai Rp 123 triliun. Sedangkan aset 154 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) sebesar Rp 3 triliun. Pertumbuhan fungsi intermediasi yang dijalankan bank syariah juga sangat menggembirakan. Rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (Financing to Deposit Ratio/FDR) bank syariah mencapai kisaran 95 persen, jauh lebih tinggi bila dibanding LDR bank konvensional yang masih berkisar 70-an persen. Hal ini berarti bank syariah secara rata-rata mampu menyalurkan seluruh dana masyarakat yang dihimpun ke dalam pembiayaan. Dengan proyeksi pertumbuhan 40% tahun 2012, diperkirakan aset perbankan syariah akan mencapai diatas Rp 180 triliun. Demikian juga dengan Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah, Dana Pensiun Syariah, Multifinance Syariah, Modal Ventura Syariah, Pegadaian Syariah, Lembaga Keuangan Mikro Syariah juga berkembang pesat meski tidak secepat Perbankan Syariah. Berdasarkan hasil survei Islamic Finance Country Index dari Global Islamic Finance Report tahun 2011 yang dikeluarkan oleh BMD Islamic (konsultan bisnis terkemuka yang berbasis di London) sebagaimana disampaikan Mulya Siregar (2011), industri keuangan syariah Indonesia saat ini menduduki posisi keempat dunia, setelah Iran, Malaysia, dan Arab Saudi. Dan berada di atas sejumlah negara yang selama ini dikenal terkemuka dalam pengembangan keuangan syariah, seperti Uni Emirat Arab, Kuwait, Pakistan, Bahrain, Inggris serta 39 negara penyelenggara keuangan syariah lainnya. Padahal selama ini Indonesia tidak pernah masuk lima besar. Penilaian mencakup jumlah lembaga keuangan syariah, rejim pengaturan syariah, besarnya volume industri hingga kelengkapan regulasi. Kalau diamati kebelakang, pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat tersebut terutama dimulai sejak Amandemen UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang mengakomodasi sistem perbankan syariah. Hal ini kemudian semakin mendapatkan momentum setelah dikeluarkannya ketentuan Bank Indonesia yang memberi izin untuk pembukaan bank syariah yang baru maupun pendiriaan Unit Usaha Syariah (UUS). Pengembangan perbankan syariah semakin kokoh dengan hadirnya payung hukum yang semakin kuat. Payung hukum tersebut antara lain: 1. UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan UU ini menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberi keyakinan bagi masyarakat untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah. Selain itu juga memberikan kepastian arah dukungan pengembangan dengan adanya kewajiban Spin Off dan aturan larangan konversi bank syariah menjadi bank konvensional. 2. UU No. 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. UU ini memberikan kepastian netralitas dalam pengaturan perpajakan (tax neutrality) bagi transaksi keuangan syariah dan berlaku efektif April 2010. 3. Tahun 2010, DPR dan Pemerintah juga telah menyelesaikan masalah lama tentang tagihan double tax bank syariah dengan solusi DTP (ditangung oleh pemerintah) dalam APBN-P 2010. Perkembangan perbankan syariah kemudian juga menjadi pemicu penting perkembangan lembaga keuangan syariah lainnya. Berbagai peraturan dan kebijakan terkait Pasar Modal Syariah, Asuransi Syariah, Dana Pensiun Syariah, dan Multifinance Syariah juga telah diterbitkan meski sebagian besarnya masih berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) atau peraturan Bapepam-LK. Tetapi secara umum sudah banyak yang memberikan ruang dan arah pengembangan. Bahkan terkait dengan pengembangan Pasar Modal Syariah juga telah terbit UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). RUU Asuransi Syariah juga sudah masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional 2010-2014.

No. 1 Tahun I, Februari 2012

Lahirnya berbagai kebijakan dan disahkannya UU diatas menandakan bahwa perkembangan perbankan dan keuangan syariah mendapatkan dukungan yang tinggi, baik dari anggota parlemen, pemerintah (termasuk didalamnya Kementerian Keuangan dan Bappepam LK), Bank Indonesia, dan publik secara luas. Meski harus diakui bahwa derajat dukungan itu bisa jadi memang belum ideal sebagaimana yang diharapkan oleh banyak penggiat ekonomi syariah. Tetapi berbagai dukungan yang telah terbukti tersebut, dengan berbagai derajatnya, harus dipandang sebagai modal dasar penting untuk merumuskan strategic action pengembangan kedepan.

Apakah OJK akan Menghambat Keuangan Syariah?


UU OJK telah menjadi tonggak sejarah era baru pengawasan sektor jasa keuangan, yang memberi harapan sekaligus menimbulkan kecemasan. Amanat UU, telah menempatkan OJK sebagai lembaga independen, yang akan melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap sektor perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank secara terintegrasi. Pilihan ini merupakan hasil berbagai pembahasan dan perdebatan yang konstruktif, serta kajian yang mendalam terhadap alternatif 3 (tiga) model pengawasan sektor jasa keuangan yang ada di dunia, yakni model pengawasan secara terpisah-pisah (multi supervisors), model pengawasan twin peaks, dan model pengawasan secara terintegrasi (unified supervisory model). Model-model pengawasan tersebut masing-masing memiliki berbagai keunggulan dan kelemahan, dan model terintegrasi dipandang sesuai dengan kebutuhan di Indonesia. Sebagaimana dijabarkan dalam UU OJK Pasal 4, OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel. Selain itu diharapkan juga mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. OJK diharapkan dapat merespon kecenderungan proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial yang telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik terkait produk maupun kelembagaan.

Tumbuh secara Berkelanjutan dan Stabil Teratur, Adil, Transparan dan Akuntabel

Melindungi kepentingan Konsumen dan Masyarakat

Sistem Keuangan
Gambar 1. Tujuan OJK

OJK diharapkan dapat meregulasi dan mensupervisi terkait konglomerasi kepemilikan lembaga jasa keuangan dengan berbagai subsektor yang telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga di dalam sistem keuangan. Selain itu, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen, dan terganggunya stabilitas sistem menjadi pertimbangan penting lahirnya OJK sebagai lembaga pengawasan yang terintegrasi (lihat penjelasan UU OJK). Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional dan juga menjaga kepentingan nasional, baik terkait SDM, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan.

No. 1 Tahun I, Februari 2012

Dari uraian tujuan pembentukan diatas jelas terlihat bahwa eksistensi OJK adalah untuk menciptakan kemaslahatan bagi publik (maslahah ammah). Meski memang tidak ada penyebutan secara implisit terkait dengan amanat pengembangan keuangan syariah dalam UU tetapi secara umum posisi keuangan syariah juga telah mendapat perhatian dalam pembahasan dalam Panitia Khusus RUU OJK, sehingga tidak ada klausul yang menghambat. Tujuan OJK untuk mewujudkan Jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel serta sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat adalah nilai ideal yang juga diinginkan dan dicita-citakan oleh ekonomi dan keuangan syariah (Chapra, 1985; 2000). Secara normatif, dengan demikian terjadi titik temu (melting point) antara tujuan kehadiran OJK dengan nilai ideal yang diharapkan oleh ekonomi syariah.

Gambar 2. Tugas OJK

Selain itu, banyak pakar keuangan telah menyatakan keuangan konvensional yang didominasi oleh kontrak hutang berbasis bunga (interest-based debt contracts) adalah secara inheren telah menciptakan sistem keuangan yang tidak stabil (inherently unstable). Proliferasi inovasi yang cepat dan deregulatsi pada sektor keuangan telah mengakibatkan over-leverage, sebuah kondisi piramida terbalik dimana jumlah kredit yang sangat besar berbasis pada asset riil yang kecil (credit pyramid based on a thin real basis). Karakteristik fundamental dari sistem keuangan konvensional ini, kemudian menyebabkan instabilitas yang tinggi karena sistem keuangan akan terus berayun antara kesehatan (robustness) dan kerapuhan (fragility). Dan gerak bandul ini merupakan bagian integral dari proses yang mengenerate siklus bisnis (business cycles) dengan krisis yang terus berulang (Mirakhor, 2009). Sehingga dengan keyakinan akademik demikian, maka secara objektif untuk menuju sistem keuangan yang teratur, adil, stabil, tumbuh secara berkelanjutan dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat maka tentunya akan mengarah pada adopsi terhadap keuangan syariah. Hal ini juga sejalan dengan munculnya kesadaran baru akan kebutuhan reformasi arsitektur sistem keuangan global yang dipandang rentan dan telah menciptakan serangkaian krisis yang bertubi-tubi beberapa tahun terakhir. Dan kesadaran ini secara umum juga semakin meluas, termasuk dikalangan birokrat pemerintah, anggota parlemen dan pengambil kebijakan lainnya. Hal ini tentunya memberikan optimisime bagi pengembangan keuangan syariah untuk dapat semakin diterima secara luas, termasuk oleh OJK tentunya. Selain itu, dengan regulasi dan pengawasan yang terintegrasi, diharapkan pengembangan keuangan syariah juga semakin seimbang. Pengalaman selama ini, secara umum menunjukkan lembaga keuangan syariah non bank cenderung lambat berkembang, karena dukungan yang belum optimal. Selain itu dalam jangka panjang, pengembangan keuangan syariah yang terlalu banking centric dapat menimbulkan dampak minimnya ketersediaan dana-dana jangka panjang yang dapat mendukung pembangunan infrastruktur yang lazimnya secara nature dapat disediakan oleh lembaga asuransi dan dana pensiun syariah.

No. 1 Tahun I, Februari 2012

Faktor Krusial: OJK dan Keuangan Syariah


Meski secara normatif terjadi titik temu antara tujuan berdirinya OJK dan tujuan ideal pengembangan ekonomi dan keuangan syariah, tetapi dalam implementasinya nanti terdapat beberapa hal yang krusial yang perlu diperhatiakn agar kehadiran OJK dapat mendorong dan tidak menghambat pengembangan keuangan syariah. Setidaknya terdapat 4 hal yang perlu mendapat perhatian secara serius. 1. Pemilihan Anggota Dewan Komisioner (DK). Dalam dinamika kebijakan publik, kebijakan OJK kedepan akan sangat dipengaruhi oleh pandangan dan paradigma berfikir para elit yang duduk di DK OJK. Dan sejauh mana OJK akan berpihak terhadap pengembangan industri keuangan syariah tentunya juga akan ditentukan oleh sejauh mana pemahaman dan keberpihakan dari anggota DK. Dengan demikian kebijakan dan keberpihakan DK OJK terhadap pengembangan keuangan syariah menjadi sangat penting. Untuk itu tentunya diharapkan anggota DK yang terpilih kedepan adalah mereka yang konsern terhadap pengembangan industri keuangan syariah. Selain itu kesuksesan OJK untuk mencapai tujuan ideal yang diharapkan, juga akan sangat ditentukan oleh integritas dan kapasitas dari DK untuk menjaga wibawa OJK. Oleh karena itu, DK OJK kedepan perlu diduduki oleh anak-anak terbaik bangsa Indonesia yang memiliki integritas-moralitas dan kapasitas yang tinggi. Hal ini perlu menjadi perhatian para penggiat ekonomi syariah untuk dapat terlibat baik sebagai kandidat maupun mempengaruhi dalam proses di Panitia Seleksi, keputusan Presiden dan Fit and Proper Test di DPR. 2. Harmonisasi Peran Bank Indonesia dan OJK. Faktor krusial berikutnya yang akan menentukan kesuksesan OJK akan dipengaruhi oleh sejauhmana harmonisasi kebijakan micro prudential yang ada di OJK dan macro prudential yang ada di Bank Indonesia, serta kebijakan yang membutuhkan peran keduanya, sehingga dapat selaras. Kesuksesan OJK kedepan juga membutuhkan dukungan dan kesediaan untuk bekerjasama dan berkoordinasi secara bersungguh-sungguh dari seluruh stakeholder, khususnya pemerintah dan Bank Indonesia. Idealnya untuk dapat mendudukan lebih tegas peran Bank Indonesia, setelah UU OJK terbentuk maka sebenarnya diperlukan amandemen UU Bank Indonesia yang diharapkan dapat memperjelas area peran BI secara lebih tegas. Selain itu kedepan peran Pejabat Ex-Offico dari Bank Indonesia dalam DK OJK juga sangat penting untuk dapat mempengaruhi kinerja OJK. Komisioner OJK juga harus aktif membangun koordinasi. Komunikasi dan koordinasi kebijakan antara BI dan OJK sangat menentukan kedepan, termasuk terkait dalam pengembangan keuangan syariah tentunya. Tabel 1. Mendudukkan Kewenangan Regulasi dan Supervisi Terkait Sistem Perbankan
Wewenang OJK (Pasal 7 UU No. 21 Tahun 2011)
a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan 2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa; 1. 2. 3. 4.

Wewenang Bank Indonesia (Macro prudential regulation)


Ketentuan tentang Giro Wajib Minimum (GWM) Fungsi Lender of Last Resort (Contoh: Ketentuan tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP)) Peraturan devisa (Contoh: Posisi Devisa Netto (PDN) Bank, Ketentuan Non Internasionalisasi Rupiah). Laporan-laporan yang terkait dengan pelaksanaan tugas dibidang monter dan sistem pembayaran, a.l: Laporan Berkala Bank Umum (Khususnya Laporan GWM dan Rincian Neraca Mingguan); Laporan Bulanan Bank; Laporan mingguan Perputaran Kliring

No. 1 Tahun I, Februari 2012

b.

Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: 1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; 2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3. sistem informasi debitur; 4. pengujian kredit (credit testing); dan 5. standar akuntansi bank;

dari penyelenggaraan diluar BI. 5. 6. 7. Operasi Pasar Terbuka (Contoh: Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia (SBI)) Alat-alat lalu-lintas pembayaran (Contoh: Ketentuan cek, bilyet giro) Pengaturan dan Pengawasan Sistem Pembayaran (offsite dan onsite supervision) yaitu yang terkait dengan kegiatan kliring, settlement dan RTGS. 1. Pengaturan Sistem Pembayaran kepada bank dan non bank: (a) pengaturan penyelenggaraan kliring dan RTGS; (b) Pengaturan sistem pembayaran lainnya (diluar kliring dan RTGS) dan jasa pendukungnya; (c) Pengaturan settlement; (d) Pengaturan jenis alat pembayaran; (e) Pengaturan failure to settle. 2. Pengawasan Sistem Pemabayaran (offsite dan onsite supervision) kepada bank dan non bank: (a) Pengawasan penyelenggaraan kliring dan RTGS; (b) Pengawasan sistem pembayaran lainnya (diluar kliring dan RTGS) dan jasa pendukungnya; (c) Pengawasan kegiatan usaha bank yang terkait dengan sistem pembayaran seperti kartu kredit, kartu debet, internet banking. Pengaturan Pasar Uang Domestik (Contoh: Ketentuan tentang instrumen Pasar Uang, PIPU)

c.

Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 1. manajemen risiko; 2. tata kelola bank; 3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan 4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan

d.

Pemeriksaan bank. 8.

Membutuhkan Koordinasi BI dan OJK


1. 2. Permodalan Bank, Pembukaan Kantor Bank Asing, dan Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank (KPMM/CAR). Beberapa Kegiatan Usaha Bank; (i) terkait sumber dana, a.l: (a) penerimaan dana dari luar negeri; (b) penerimaan dana valas; (c) ketentuan PKLN. (ii) Penyediaan dana (Contoh: Ketentuan Bank Garansi untuk Luar Negeri). (iii) Ketentuan transaksi derivative. (iv) Produk perbankan yang juga merupakan alat pembayaran (pengaturan kegiatan usaha bank yang terkait dengan sistem pembayaran seperti kartu kredit, kartu debet, internet banking). Pembinaan dan Pengawasan Bank. (i) Penutupan bank (untuk bank dengan kategori Sistematically Important Bank (SIB) dengan tujuan untuk mencegah systemic risk). (ii) Kriteria SIB adalah bank besar berdasar total asset, memiliki jumlah account yang besar dan memiliki interbank lingkage yang luas.

3.

Sumber: Assesment penulis, diolah dari Lampiran Surat Gubernur BI No. 4/8/GBI/DHk tertanggal 21/2/2002 Perihal Masukan berkenaan dengan pengaturan fungsi pengawasan bank dalam Amandemen UU BI dan RUU tentang OJK.

3. Transisi perpindahan SDM pengawasan perbankan dan lembaga keuangan syariah ke OJK. Selain peran DK OJK, peran SDM dalam semua level yang berada didalam OJK akan sangat penting. Bersedianya SDM terbaik Pengawas dari Direktorat Perbankan Syariah BI dan dari Bapepam-LK, yang sudah memahami dan sangat konsern dalam pengembangan perbankan dan keuangan syariah untuk pindah ke OJK kedepan menjadi sangat penting agar keberlanjutan kebijakan selama ini dapat berjalan dengan baik. 4. Masalah iuran lembaga keuangan untuk pelaksanaan tugas OJK. Masalah iuran juga akan dapat membebani industri keuangan syariah jika fee yang dibebankan terlalu berat. Untuk itu kedepan idealnya pembebanan fee perlu didisain sesuai dengan kemampuan dari industri dan juga mempertimbangkan kapasitas dari masing-masing lembaga secara adil.

No. 1 Tahun I, Februari 2012

Beberapa Kebijakan Akselerasi Kedepan


Selain terkait berbagai faktor krusial OJK diatas, akselerasi industri keuangan syariah kedepan juga akan dan dapat dipengaruhi oleh beberapa Undang-undang dan kebijakan berikut. 1. Dalam Prolegnas 2012, Pemerintah dan DPR telah menyepakati untuk membahas RUU tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaran Ibadah Haji dan RUU tentang Pengelolaan Keuangan haji. Pembahasan RUU ini perlu di pandang penting bagi pengembangan keuangan syariah, mengingat besarnya potensi dana yang berputar dalam aktivitas ritual haji setiap tahun. Dalam UU ini nantinya, diharapkan ada klausul yang tegas untuk penempatan dana haji di perbankan syariah dan penggunaan asuransi syariah untuk jamaah haji. 2. Pemerintah dan DPR juga telah menyepakati untuk membahas beberapa RUU terkait sektor keuangan pada tahun 2012. Beberapa yang penting dan perlu mendapat perhatian agar dapat mendukung keuangan syariah adalah RUU tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasurasian, RUU tentang Lembaga Keuangan Mikro, dan RUU tentang Perubahan Atas UU No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi. Selain itu beberapa RUU yang tidak terkait langsung tetapi dapat memiliki dampak, seperti RUU tentang Jaminan Produk Halal, RUU tentang Perubahan Atas UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, RUU tentang Pembiayaan Perumahan Rakyat, RUU tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, dan RUU tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Tantangannya adalah bagaimana agar nilai-nilai ekonomi dan keuangan syariah dapat dimasukkan dalam berbagai UU tersebut. 3. Akselerasi keuangan syariah sesungguhnya juga membutuhkan keberpihakan dari pemerintah. Keberpihakan pemerintah di Indonesia, saat ini secara umum masih tertinggal dari pemerintah Malaysia. Beberapa kebijakan keberpihakan yang penting kedepan diantaranya adalah perlunyan penempatan dana pemerintah atau konversi beberapa BUMN Perbankan atau BUMN Keuangan. Hal ini tentunya akan mempercepat perkembangan industri keuangan syariah. Perbankan dan Keuangan Syariah juga perlu mendapat akses yang luas untuk dapat terlibat dalam program-program pemerintah, seperti KUR Syariah, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) Syariah, Pembiayaan untuk Pertanian, dll. 4. Kebijakan Pengembangan SDM keuangan syariah juga perlu medapat perhatian serius. Kebijakan pemenuhan kebutuhan SDM dan peningkatan kapasitas menjadi sangat penting karena 5 tahun ke depan diproyeksikan kebutuhan SDM Syariah kurang lebih mencapai 40 ribu orang. Untuk itu dukungan terkait dengan pengembangan pendidikan dasar dan tinggi untuk ekonomi dan keuangan syariah, serta program sertifikasi sehingga melahirkan SDM yang memiliki integritas dan kapasitas yang tinggi menjadi sangat penting. 5. Secara internal industri, perbankan dan keuangan syairah dituntut untuk terus meningkatkan good governance, service excellent, kapasitas teknologi informasi, dan aspek kesesuaian dengan prinsip syariah (sharia compliance). Selain itu dalam rangka meningkatkan kebermanfaatan ekonomi bagi publik dan bangsa, perbankan dan keuangan syariah perlu terus meningkatkan kinerjanya. Wallahualam bishawab. Oleh Azis Setiawan Dosen Keuangan dan Perbankan Syariah SEBI School of Islamic Economics, Tenaga Ahli Anggota Pansus RUU OJK DPR-RI dan Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI). SEBI Policy Brief terbit secara bekala Penerbit: SEBI School of Islamic Economics Dewan Redaksi: Sigit Pramono, Azis Setiawan, Dadang Romansyah, M. Asmeldi Firman, Endang Ahmad Yani, Adril Hakim, Izzudin Abdul Manaf, Sepky Mardian, Fahmi Syahbudin, Ai Nur Bayinah dan Hendro Wibowo Alamat Redaksi: Kampus STEI SEBI, Jl. Raya Bojongsari, Depok, Jawa Barat. 7 Telp. (0251) No. 6655, Fax.I,(0251) 860 4986. E-mail: info@sebi.ac. id, stiesebi@yahoo. com Website: http://www.sebi.ac.id 861 1 Tahun Februari 2012

Anda mungkin juga menyukai