Indonesia, aset perbankan syariah pada September 2011 sudah mencapai Rp 126 triliun, tumbuh 46,55% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp 85,97 triliun. Aset tersebut terdiri dari asset 11 (sebelas) Bank Umum Syariah dan 23 Unit Usaha Syariah senilai Rp 123 triliun. Sedangkan aset 154 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) sebesar Rp 3 triliun. Pertumbuhan fungsi intermediasi yang dijalankan bank syariah juga sangat menggembirakan. Rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (Financing to Deposit Ratio/FDR) bank syariah mencapai kisaran 95 persen, jauh lebih tinggi bila dibanding LDR bank konvensional yang masih berkisar 70-an persen. Hal ini berarti bank syariah secara rata-rata mampu menyalurkan seluruh dana masyarakat yang dihimpun ke dalam pembiayaan. Dengan proyeksi pertumbuhan 40% tahun 2012, diperkirakan aset perbankan syariah akan mencapai diatas Rp 180 triliun. Demikian juga dengan Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah, Dana Pensiun Syariah, Multifinance Syariah, Modal Ventura Syariah, Pegadaian Syariah, Lembaga Keuangan Mikro Syariah juga berkembang pesat meski tidak secepat Perbankan Syariah. Berdasarkan hasil survei Islamic Finance Country Index dari Global Islamic Finance Report tahun 2011 yang dikeluarkan oleh BMD Islamic (konsultan bisnis terkemuka yang berbasis di London) sebagaimana disampaikan Mulya Siregar (2011), industri keuangan syariah Indonesia saat ini menduduki posisi keempat dunia, setelah Iran, Malaysia, dan Arab Saudi. Dan berada di atas sejumlah negara yang selama ini dikenal terkemuka dalam pengembangan keuangan syariah, seperti Uni Emirat Arab, Kuwait, Pakistan, Bahrain, Inggris serta 39 negara penyelenggara keuangan syariah lainnya. Padahal selama ini Indonesia tidak pernah masuk lima besar. Penilaian mencakup jumlah lembaga keuangan syariah, rejim pengaturan syariah, besarnya volume industri hingga kelengkapan regulasi. Kalau diamati kebelakang, pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat tersebut terutama dimulai sejak Amandemen UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang mengakomodasi sistem perbankan syariah. Hal ini kemudian semakin mendapatkan momentum setelah dikeluarkannya ketentuan Bank Indonesia yang memberi izin untuk pembukaan bank syariah yang baru maupun pendiriaan Unit Usaha Syariah (UUS). Pengembangan perbankan syariah semakin kokoh dengan hadirnya payung hukum yang semakin kuat. Payung hukum tersebut antara lain: 1. UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan UU ini menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberi keyakinan bagi masyarakat untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah. Selain itu juga memberikan kepastian arah dukungan pengembangan dengan adanya kewajiban Spin Off dan aturan larangan konversi bank syariah menjadi bank konvensional. 2. UU No. 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. UU ini memberikan kepastian netralitas dalam pengaturan perpajakan (tax neutrality) bagi transaksi keuangan syariah dan berlaku efektif April 2010. 3. Tahun 2010, DPR dan Pemerintah juga telah menyelesaikan masalah lama tentang tagihan double tax bank syariah dengan solusi DTP (ditangung oleh pemerintah) dalam APBN-P 2010. Perkembangan perbankan syariah kemudian juga menjadi pemicu penting perkembangan lembaga keuangan syariah lainnya. Berbagai peraturan dan kebijakan terkait Pasar Modal Syariah, Asuransi Syariah, Dana Pensiun Syariah, dan Multifinance Syariah juga telah diterbitkan meski sebagian besarnya masih berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) atau peraturan Bapepam-LK. Tetapi secara umum sudah banyak yang memberikan ruang dan arah pengembangan. Bahkan terkait dengan pengembangan Pasar Modal Syariah juga telah terbit UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). RUU Asuransi Syariah juga sudah masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional 2010-2014.
Lahirnya berbagai kebijakan dan disahkannya UU diatas menandakan bahwa perkembangan perbankan dan keuangan syariah mendapatkan dukungan yang tinggi, baik dari anggota parlemen, pemerintah (termasuk didalamnya Kementerian Keuangan dan Bappepam LK), Bank Indonesia, dan publik secara luas. Meski harus diakui bahwa derajat dukungan itu bisa jadi memang belum ideal sebagaimana yang diharapkan oleh banyak penggiat ekonomi syariah. Tetapi berbagai dukungan yang telah terbukti tersebut, dengan berbagai derajatnya, harus dipandang sebagai modal dasar penting untuk merumuskan strategic action pengembangan kedepan.
Tumbuh secara Berkelanjutan dan Stabil Teratur, Adil, Transparan dan Akuntabel
Sistem Keuangan
Gambar 1. Tujuan OJK
OJK diharapkan dapat meregulasi dan mensupervisi terkait konglomerasi kepemilikan lembaga jasa keuangan dengan berbagai subsektor yang telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga di dalam sistem keuangan. Selain itu, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen, dan terganggunya stabilitas sistem menjadi pertimbangan penting lahirnya OJK sebagai lembaga pengawasan yang terintegrasi (lihat penjelasan UU OJK). Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional dan juga menjaga kepentingan nasional, baik terkait SDM, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan.
Dari uraian tujuan pembentukan diatas jelas terlihat bahwa eksistensi OJK adalah untuk menciptakan kemaslahatan bagi publik (maslahah ammah). Meski memang tidak ada penyebutan secara implisit terkait dengan amanat pengembangan keuangan syariah dalam UU tetapi secara umum posisi keuangan syariah juga telah mendapat perhatian dalam pembahasan dalam Panitia Khusus RUU OJK, sehingga tidak ada klausul yang menghambat. Tujuan OJK untuk mewujudkan Jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel serta sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat adalah nilai ideal yang juga diinginkan dan dicita-citakan oleh ekonomi dan keuangan syariah (Chapra, 1985; 2000). Secara normatif, dengan demikian terjadi titik temu (melting point) antara tujuan kehadiran OJK dengan nilai ideal yang diharapkan oleh ekonomi syariah.
Selain itu, banyak pakar keuangan telah menyatakan keuangan konvensional yang didominasi oleh kontrak hutang berbasis bunga (interest-based debt contracts) adalah secara inheren telah menciptakan sistem keuangan yang tidak stabil (inherently unstable). Proliferasi inovasi yang cepat dan deregulatsi pada sektor keuangan telah mengakibatkan over-leverage, sebuah kondisi piramida terbalik dimana jumlah kredit yang sangat besar berbasis pada asset riil yang kecil (credit pyramid based on a thin real basis). Karakteristik fundamental dari sistem keuangan konvensional ini, kemudian menyebabkan instabilitas yang tinggi karena sistem keuangan akan terus berayun antara kesehatan (robustness) dan kerapuhan (fragility). Dan gerak bandul ini merupakan bagian integral dari proses yang mengenerate siklus bisnis (business cycles) dengan krisis yang terus berulang (Mirakhor, 2009). Sehingga dengan keyakinan akademik demikian, maka secara objektif untuk menuju sistem keuangan yang teratur, adil, stabil, tumbuh secara berkelanjutan dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat maka tentunya akan mengarah pada adopsi terhadap keuangan syariah. Hal ini juga sejalan dengan munculnya kesadaran baru akan kebutuhan reformasi arsitektur sistem keuangan global yang dipandang rentan dan telah menciptakan serangkaian krisis yang bertubi-tubi beberapa tahun terakhir. Dan kesadaran ini secara umum juga semakin meluas, termasuk dikalangan birokrat pemerintah, anggota parlemen dan pengambil kebijakan lainnya. Hal ini tentunya memberikan optimisime bagi pengembangan keuangan syariah untuk dapat semakin diterima secara luas, termasuk oleh OJK tentunya. Selain itu, dengan regulasi dan pengawasan yang terintegrasi, diharapkan pengembangan keuangan syariah juga semakin seimbang. Pengalaman selama ini, secara umum menunjukkan lembaga keuangan syariah non bank cenderung lambat berkembang, karena dukungan yang belum optimal. Selain itu dalam jangka panjang, pengembangan keuangan syariah yang terlalu banking centric dapat menimbulkan dampak minimnya ketersediaan dana-dana jangka panjang yang dapat mendukung pembangunan infrastruktur yang lazimnya secara nature dapat disediakan oleh lembaga asuransi dan dana pensiun syariah.
b.
Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: 1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; 2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3. sistem informasi debitur; 4. pengujian kredit (credit testing); dan 5. standar akuntansi bank;
dari penyelenggaraan diluar BI. 5. 6. 7. Operasi Pasar Terbuka (Contoh: Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia (SBI)) Alat-alat lalu-lintas pembayaran (Contoh: Ketentuan cek, bilyet giro) Pengaturan dan Pengawasan Sistem Pembayaran (offsite dan onsite supervision) yaitu yang terkait dengan kegiatan kliring, settlement dan RTGS. 1. Pengaturan Sistem Pembayaran kepada bank dan non bank: (a) pengaturan penyelenggaraan kliring dan RTGS; (b) Pengaturan sistem pembayaran lainnya (diluar kliring dan RTGS) dan jasa pendukungnya; (c) Pengaturan settlement; (d) Pengaturan jenis alat pembayaran; (e) Pengaturan failure to settle. 2. Pengawasan Sistem Pemabayaran (offsite dan onsite supervision) kepada bank dan non bank: (a) Pengawasan penyelenggaraan kliring dan RTGS; (b) Pengawasan sistem pembayaran lainnya (diluar kliring dan RTGS) dan jasa pendukungnya; (c) Pengawasan kegiatan usaha bank yang terkait dengan sistem pembayaran seperti kartu kredit, kartu debet, internet banking. Pengaturan Pasar Uang Domestik (Contoh: Ketentuan tentang instrumen Pasar Uang, PIPU)
c.
Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 1. manajemen risiko; 2. tata kelola bank; 3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan 4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
d.
Pemeriksaan bank. 8.
3.
Sumber: Assesment penulis, diolah dari Lampiran Surat Gubernur BI No. 4/8/GBI/DHk tertanggal 21/2/2002 Perihal Masukan berkenaan dengan pengaturan fungsi pengawasan bank dalam Amandemen UU BI dan RUU tentang OJK.
3. Transisi perpindahan SDM pengawasan perbankan dan lembaga keuangan syariah ke OJK. Selain peran DK OJK, peran SDM dalam semua level yang berada didalam OJK akan sangat penting. Bersedianya SDM terbaik Pengawas dari Direktorat Perbankan Syariah BI dan dari Bapepam-LK, yang sudah memahami dan sangat konsern dalam pengembangan perbankan dan keuangan syariah untuk pindah ke OJK kedepan menjadi sangat penting agar keberlanjutan kebijakan selama ini dapat berjalan dengan baik. 4. Masalah iuran lembaga keuangan untuk pelaksanaan tugas OJK. Masalah iuran juga akan dapat membebani industri keuangan syariah jika fee yang dibebankan terlalu berat. Untuk itu kedepan idealnya pembebanan fee perlu didisain sesuai dengan kemampuan dari industri dan juga mempertimbangkan kapasitas dari masing-masing lembaga secara adil.