Anda di halaman 1dari 20

ISSN 2088-3153

TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN


Mensinergikan Pembangunan Ekonomi
Volume 2
Nomor 3 Maret 2012 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Perkembangan Kewirausahaan di Sumatera Barat Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM 2012 Opini Pakar: Kontribusi Swasta dalam Membangun Bangsa

TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN


KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN
VOLUME 2 NOMOR 3 - MARET 2012

REDAKSI
Pembina Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Pengarah Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Koordinator Bobby H. Rafinus Djoko Waluyo Kontributor Tetap Edi Prio Pambudi M. Edy Yusuf Mamay Sukaesih Tri Kurnia Ayu Rista Amallia Windy Pradipta Arin Puspa Nugrahani Ruth Nikijuluw Ahmad Fikri Aulia Alexcius Winang Komite Kebijakan KUR Kontributor Edisi Ini Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Universitas Andalas Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Sumbar Sofjan Wanandi UMKM di Sumatera Barat
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat didownload pada website www.ekon.go.id

DAFTAR ISI
Editorial Rubrik Agenda Koordinasi Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM 2012 Rubrik Ekonomi Makro Krisis Gerus Ekspor Indonesia Perkembangan Inflasi Rubrik Ekonomi Internasional Krisis Global dan Prospek Sektor Ketenagakerjaan 2012-2016 Rubrik Keuangan Pemantauan Perbankan: Efek Kredit Terhadap Rasio Kecukupan Modal Analisis Perbankan Syariah Rubrik APBN Antisipasi Lonjakan Harga Minyak Dunia dalam APBN Rubrik Kebijakan dan Regulasi Ekonomi UU JPSK Siap Bergulir Rubrik Utama Perkembangan Kewirausahaan Provinsi Sumatera Barat Liputan Wawancara: Peran Kewirausahaan bagi Perekonomian Sumatera Barat Hasil Observasi Kewirausahaan di Padang Rubrik Penyaluran KUR Realisasi Penyaluran KUR Februari 2012 Opini Pakar Kontribusi Swasta dalam Membangun Bangsa 1

4 5

7 8

10

11 12 13

15

16

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan diterbitkan dalam rangka meningkatkan pemahaman pimpinan daerah terhadap perkembangan indikator ekonomi makro dan APBN, sebagai salah satu Direktif Presiden pada retreat di Bogor, Agustus 2010

EDITORIAL
Dalam kesempatan bertatap muka dengan generasi muda, Menko Perekonomian menekankan pentingnya semakin banyak wirausaha bagi kemajuan ekonomi Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini menyebut generasi muda yang memilih menjadi wirausaha sebagai pahlawan nasional. Hal ini menunjukkan besarnya harapan peningkatan peran pengusaha untuk dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Harapan tersebut bertolak dari keinginan untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Prof. Michael Porter, pakar manajemen terkemuka, menyampaikan bahwa suatu negara memiliki daya saing apabila produktivitas usahanya meningkat, baik yang berorientasi ekspor maupun lokal. Hal ini dapat dicapai melalui penguatan kapabilitas dunia usaha dan kecanggihan industri lokal. Keduanya menjadi penentu bagi keberhasilan Indonesia beralih dari klasifikasi negara yang bergantung pada sumber daya alam (factor driven)
Indikator Ekonomi

kepada negara yang bertumpu pada industri yang efisiensi (efficiency driven). Dalam laporan Global Competitiveness Report yang diterbitkan setiap tahun oleh World Economic Forum terdapat enam pilar untuk menilai efisiensi suatu perekonomian. Berdasarkan laporan tersebut terdapat dua pilar dimana Indonesia relatif tertinggal yaitu kesiapan teknologi dan efisiensi pasar tenaga kerja. Di samping itu masih terdapat dua pilar lain yang harus dikerjakan pada level factor driven yaitu kelembagaan dan infrastruktur. Kelemahan kelembagaan yang perlu diperbaiki menurut survey Ease of Doing Business antara lain ketentuan terkait dengan pendirian perusahaan baru dan kepastian kontrak. Kelambatan memperbaiki empat pilar ini menjadi penyebab turunnya ranking Indonesia pada tahun 2011 menjadi 46 dibanding 44 pada tahun 2010. Selain kurangnya infrastruktur, menurut laporan Global

Competitiveness Report faktor penghambat utama dunia usaha yang lain adalah korupsi dan birokrasi pemerintah yang tidak efisien. Pada sisi lain berbagai program pembinaan UKM dilancarkan Pemerintah seperti kredit program dan pelatihan serta fasilitas pajak. Hubungan pemerintah dan dunia usaha semacam ini merupakan bentuk ekonomi biaya tinggi yang menghambat kenaikan daya saing. Pengusaha merupakan kelompok masyarakat yang memiliki kesempatan dan kemampuan melakukan initial transition. yaitu meningkatkan posisi Indonesia ke tingkat innovation driven. Untuk itu perlu komitmen bersama pengusaha dan aparatur pemerintah untuk menghilangkan lingkaran biaya ekonomi tinggi di atas. Upaya bersama ini mengingatkan pada pesan Mohammad Hatta bahwa "Jatuh bangunnya negara ini sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. (BHR)

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

Rubrik Agenda Koordinasi

Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM 2012


Harga minyak dunia kian fluktuatif. Ketegangan di Timur Tengah akibat sanksi nuklir Iran telah mendorong kenaikan harga minyak di pasar internasional hingga USD 123,81 (harga minyak Brent pada 1 Maret 2012). Tersiar kabar ledakan pipa minyak di Saudi Arabia dan terganggunya lalu lintas minyak di selat Hormuz yang merupakan jalur distibusi sekitar 17 juta barel minyak per hari pada 2011 (seperenam minyak mentah global) memicu lonjakan harga minyak dunia. Indonesia termasuk dalam negara net importer minyak sejak 2004 karena konsumsi BBM-nya sudah melebihi kapasitas produksi. Akibatnya, Indonesia harus mengimpor minyak atau BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam Negeri. Sebagai gambaran dengan tingkat produksi minyak sekitar 900 ribu barel per hari dan kebutuhan minyak/BBM Indonesia mencapai 1,3 juta per hari, maka setiap hari Indonesia harus mengimpor minyak/BBM setidaknya 400 ribu barel. Perkembangan harga minyak dunia berpengaruh terhadap harga BBM domestik. Harga minyak ICP Indonesia pada Februari 2012 sebesar US$ 122,17/barel. Sementara dalam APBN 2012, asumsi harga minyak ICP sebesar US$ 90/barel. Berdasarkan hasil perhitungan Kementerian Keuangan, kenaikan harga minyak ICP sebesar US$ 1/barel akan berdampak terhadap fiskal (net fiscal impact) sebesar minus 0,90 pada tahun 2012. Sebagai dampak dari kenaikan harga minyak dunia, perbedaan harga keekonomian (harga produksi ditambah dengan pajak pertambahan nilai dan pajak bahan kendaraan bermotor) semakin jauh dari harga BBM bersubsidi. Akibatnya beban subsidi energi membengkak. Subsidi BBM tahun 2012 diperkirakan akan mencapai Rp 191,1 triliun bila harga BBM tidak disesuaikan (tanpa kebijakan pengendalian subsidi BBM). Sehingga total defisit APBN dan APBD diperkirakan mencapai lebih dari 3% dari PDB (berpotensi melanggar UU No.17/2003). Saving dari subsidi BBM dapat digunakan untuk membiayai infratruktur. Pembengkakan defisit fiskal akan meningkatkan resiko bagi perekonomian nasional. Peningkatan resiko fiskal dapat mengancam kesinambungan fiskal yang menjadi jangkar bagi kestabilan ekonomi nasional. Kesinambungan fiskal dan kesehatan APBN merupakan

Perkembangan Subsidi BBM

Pengeluaran Premium dan Solar 2011 Per Rumah Tangga per Bulan

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

Rubrik Agenda Koordinasi

indikator utama yang dilihat para investor dan pelaku pasar dalam melakukan transaksi bisnis dan ekonomi serta berinvestasi di Indonesia. Meningkatnya risiko investasi dan menurunnya confidence terhadap prospek perekonomian nasional akan menyebabkan terjadinya pelarian modal secara tiba-tiba (suddent reversal) obligasi negara, atau meningkatnya aksi flight to quality. Selain untuk menyelamatkan APBN 2012, harga BBM juga menjadi jangkar untuk upaya redistribusi pendapatan. Sebagian besar subsidi BBM dinikmati oleh kelompok menengah ke atas. Berdasarkan data Susenas Maret 201, pengeluaran premium dan solar 2011 per rumah tangga per bulan terbesar adalah penduduk menengah ke atas. Kelompok rumah tangga dengan tingkat pendapatan tertinggi mengkonsumsi BBM lebih banyak. Data Susenas 2009 menunjukkan konsumsi BBM motor rata-rata 18,7 liter per bulan sementara pemilik mobil 113,1 liter per bulan. Harga BBM menjadi kunci penting untuk mendorong diversifikasi energi dari BBM ke sumber energi lain (bagian dari kebijakan energi). Tanpa penyesuaian harga BBM, penggunaan energi lain menjadi tidak menarik. Harga BBM untuk premium dan solar di Indonesia merupakan termurah dibandingkan dengan negara kawasan pada Maret 2012. Dengan kenaikan

harga BBM menjadi Rp 6.000/liter pun, harga BBM Indonesia masih tergolong murah dibandingkan dengan negara kawasan. Harga BBM yang murah dapat memancing penyelundupan atau penyalahgunaan. Kebijakan pengendalian subsidi BBM direncanakan mulai pada 1 April 2012 yakni dengan menaikkan harga jual BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500/liter atau dari Rp 4.500/liter menjadi Rp 6.000/liter. Rencana kebijakan kenaikan harga subsidi BBM tersebut berdampak terhadap inflasi dan kemiskinan. Berdasarkan perhitungan Tim Pengendalian Inflasi, kebijakan kenaikan harga subsidi BBM sebesar Rp 1.500/ liter akan menyebabkan inflasi 2012 diatas target 4,5%1%. Dampak berlangsung singkat maksimal 3 bulan dan dalam waktu 12 bulan inflasi 2013 diperkirakan akan sudah kembali ke dalam kisaran 4,5%1%. Dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi dapat diminimalkan apabila disertai dengan langkah kebijakan guna mempertahankan daya beli masyarakat, peningkatan pasokan bahan pangan serta meningkatkan sarana dan prasarana infrastruktur. Kenaikan harga BBM dapat berdampak pada kenaikan harga pangan dan meningkatnya kebutuhan pengeluaran penduduk miskin, sehingga daya beli

penduduk miskin menurun. Oleh karena itu, diperlukan adanya program kompensasi. Dampak sosial ekonomi kenaikan harga BBM dapat dikurangi dengan adanya program kompensasi. Program kompensasi antara lain (1) penambahan frekuensi jatah beras untuk rakyat miskin dari 12 kali per tahun menjadi 14 kali per tahun dengan harga tebus tetap Rp 1.600 per kilogram; (2) pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) berupa dana tunai senilai Rp 150.000 per bulan kepada 18,5 juta rumah tangga yang mencakup 30% rumah tangga dengan tingkat sosial ekonomi terendah di Indonesia; (3) penambahan beasiswa untuk rumah tangga miskin selama enam bulan; (4) kompensasi untuk sektor transportasi sebesar Rp 5 triliun, agar kenaikan tiket angkutan kelas ekonomi tidak melonjak sejalan dengan kenaikan harga Premium dan Solar. (MS dan CM)

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

Rubrik Ekonomi Makro

Krisis Gerus Ekspor Indonesia Memasuki tahun 2012, pertumbuhan ekspor Indonesia sedikit meningkat, setelah selama tiga bulan, sejak September 2011, terus mengalami penurunan pertumbuhan (lihat grafik 3). Meskipun sedikit meningkat, pertumbuhan ekspor tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan impor. Dengan demikian, surplus neraca perdagangan Indonesia cenderung mengecil sejak September 2011. Dari hasil laporan BPS, nilai ekspor Indonesia Januari 2012 mencapai USD 15,5 miliar atau tumbuh 6,1% (yoy). Peningkatan ekspor terjadi baik pada komoditas migas 13,7% (yoy) dan nonmigas 4,4% (yoy). Ekspor nonmigas Indonesia masih didominasi oleh kelompok bahan bakar mineral (17,3%) serta kelompok lemak dan minyak hewan/nabati (17,1). Penolakan ekspor CPO dari Pemerintah Amerika dengan alasan proses produksi yang tidak ramah lingkungan ternyata tidak memberi pengaruh signifikan. Amerika bukan negara tujuan ekspor utama CPO Indonesia, melainkan ke India dan Cina. Untuk ekspor migas, terjadi peningkatan pertumbuhan ekspor gas dan minyak mentah masing-masing sebesar 31,6% (yoy) dan 8,2% (yoy). Sedangkan ekspor hasil minyak turun signifikan sebesar 24,1% (yoy). Tidak hanya ekspor, pertumbuhan impor mengalami penurunan yang cukup signifikan sejak September 2011 (lihat grafik 3). Pertumbuhan impor tersebut sempat naik mencapai 24,3% (yoy) di akhir tahun 2011, namun kembali turun pada Januari 2012 dan hanya tumbuh 16% (yoy). Pada Januari 2012, baik impor migas dan nonmigas mengalami kenaikan masing-masing sebesar 0,6% (yoy) dan 20,8% (yoy). Impor nonmigas Indonesia masih didominasi oleh impor bahan baku yang mencapai 71,9%. Ketergantungan industri dalam negeri akan impor tercatat masih cukup besar. Diikuti impor barang modal dan konsumsi yang masing-masing memberi kontribusi sebesar 20,4% dan 7,7%. Berdasarkan negara tujuan ekspor nonmigas, Jepang kembali menjadi negara tujuan ekspor terbesar Indonesia pada Januari 2012 setelah selama semester akhir 2011 posisinya digantikan oleh Cina. Porsi ekspor Indonesia ke Jepang mencapai 12,8%, sedangkan ekspor ke Cina mengalami penurunan tercatat 10, 9% dari total ekspor nonmigas. Upaya diversifikasi pasar tujuan ekspor menghadapi krisis global terlihat dari penurunan pangsa ekspor ke sejumlah kawasan. Untuk kawasan ASEAN dan Eropa, dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terjadi penurunan nilai ekspor, masing-masing sebesar minus 9,3% dan minus 11% (yoy). Sedangkan ekspor ke India terus meningkat dengan pangsa pasar 9,16% dari total ekspor nonmigas Indonesia atau tumbuh 45,6% (yoy) pada Januari 2012. Selain ke India, terjadi peningkatan ekspor ke Australia dan Taiwan. Dengan demikian, Neraca Perdagangan Indonesia Januari 2012 mencapai surplus USD 923,4 juta. Surplus perdagangan ini terdiri dari surplus nonmigas sebesar USD 938,3 juta yang harus dikurangi defisit migas sebesar USD 14,9 juta. (TKA)

Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

Rubrik Ekonomi Makro

Perkembangan Inflasi
Tekanan inflasi IHK Februari 2012 lebih rendah dari bulan sebelumnya, melanjutkan tren penurunan inflasi pada awal tahun 2012. Inflasi IHK Februari 2012 tercatat sebesar 0,05% (mtm) atau 3,56% (yoy). Rendahnya inflasi Februari terutama karena berlanjutnya deflasi kelompok volatile food yang lebih besar dari pola historisnya. Pada Februari 2012, kelompok volatile food mengalami deflasi sebesar minus 0,94% (mtm), lebih dalam dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya, minus 0,48% ( mtm). Deflasi yang cukup tajam pada kelompok volatile food terutama terjadi di wilayah Sumatera, disebabkan oleh tingginya pasokan komoditas hortikultura baik yang bersumber dari domestik (memasuki masa panen) dan juga dari impor yang terindikasi meningkat ditengarai sebagai antisipasi pedagang menjelang implementasi UU Hortikultura pada pertengahan Maret mendatang. Namun demikian hingga bulan laporan, beras masih menjadi penyumbang dominan inflasi volatile food. Sepanjang Februari 2012 inflasi beras melambat 0,80% (mtm), terendah selama 3 bulan laporan, sejalan dengan di mulainya panen di beberapa daerah menjelang panen raya pada MaretApril mendatang. Kondisi lain yang mendukung perlambatan inflasi beras adalah diteruskannya Operasi pasar (OP) BULOG sepanjang Februari hingga mencapai 206,16 ribu ton, dan impor beras yang telah mencapai 1,891 juta ton (Agustus 2011Februari 2012) atau sekitar 99,5% dari nilai kontrak impor beras. Realisasi inflasi inti menjadi 4,31% (yoy) pada Februari 2012 dari sebelumnya 4,29% (yoy) karena peningkatan harga emas perhiasan dan energi. Secara komponen, inflasi inti traded kecuali emas dan inti nontraded mengalami perlambatan sejalan dengan nilai tukar rupiah yang stabil, ekspektasi inflasi yang masih terjaga, respon sisi penawaran yang masih memadai, dan didukung berlanjutnya tren penurunan harga pangan global. Inflasi kelompok administered prices menjadi 0,24% (mtm) atau 2,88% (yoy) dari 0,43% (mtm) atau 2,96% di bulan sebelumnya, terutama dampak kenaikan tarif cukai rokok per 1 Januari 2012. Komoditas yang berkontribusi memberikan sumbangan inflasi adalah rokok, bensin (khususnya dari bensin non-subsidi) dan bahan bakar rumah tangga. Ke depan, tekanan inflasi pada triwulan II dan akhir 2012 diperkirakan meningkat dan berpotensi melampaui sasaran sebesar 4,5%1%, terkait rencana kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi. Berdasarkan simulasi, kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi memberikan dampak inflasi. Namun demikian dampak kenaikan harga BBM dapat lebih rendah jika pemerintah menyalurkan penghematan subsidi BBM tersebut melalui kebijakan yang dapat mempertahankan atau meningkatkan daya beli masyarakat, meningkatkan produksi dan pasokan bahan pangan, serta peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur. (Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi)

Perkembangan Inflasi

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

Rubrik Ekonomi Internasional

Krisis Global dan Propek Sektor Ketenagakerjaan 2012-2016


Prospek perlambatan aktivitas ekonomi dunia serta krisis yang terjadi di pasar tenaga kerja global dalam 3 tahun terakhir berpotensi mengancam peningkatan angka pengangguran global. International Labor Organization (ILO) dalam laporan Global Employment Trend 2012 menemukan bahwa krisis global telah mengakibatkan kenaikan pengangguran sejumlah 27 juta pekerja dari sejak awal krisis. Kelompok usia muda terkena dampak terbesar dari krisis. Bersamaan dengan kondisi tersebut, prospek pasar dalam penyerapan tenaga kerja juga melemah. Sepanjang krisis global, pemulihan investasi di negara maju berjalan lambat akibat permasalahan sektor keuangan dan penurunan konsumsi masyarakat. Sementara itu, di negara berkembang, pertumbuhan investasi sangat kuat, melebihi ekpansi produksi. Namun demikian, kelompok ini juga dihadapkan kondisi dimana investasi tak selalu mampu menciptakan lapangan kerja sebanyak dahulu. Implikasinya peningkatan investasi di negara berkembang tak dapat diharapkan untuk menurunkan angka pengangguran global. Dengan tren tersebut, penciptaan lapangan kerja ke depan belum dapat diprediksi, sehingga menimbulkan ancaman pengangguran. Risiko pengangguran akibat krisis paling besar menghantam kelompok usia muda. Dengan tingkat pengangguran usia 15-24 tahun selama krisis mencapai 12,7%. Jumlah pengangguran kelompok ini naik lebih dari 4 juta sejak tahun 2007, menjadi 74,8 juta di tahun 2011. Lebih jauh lagi, ILO memprediksi 6,4 juta penduduk usia muda telah menyerah mencari pekerjaan dan keluar dari pasar tenaga kerja. Hal ini sebagian disebabkan ketidakmampuan sistem pendidikan dan pelatihan untuk mengikuti cepatnya fase transformasi struktural yang terjadi dan perubahan keahlian/skill yang diminta pasar tenaga kerja. Mencermati tantangan dan risiko di masa depan, ILO memiliki 3 skenario prospek ketenagakerjaan (lihat grafik 1). Dalam proyeksi baseline, tingkat pengangguran tetap 6% pada 20122016, jumlah pengangguran di 2012 akan bertambah 3 juta, dan naik menjadi 206 juta di 2016. Skenario kedua, jika tingkat pertumbuhan global jatuh di bawah 2%, maka pengangguran akan meningkat menjadi 204 juta pada tahun 2012. Sementara itu, dengan skenario yang lebih moderat, ILO mengasumsikan adanya resolusi yang cepat atas krisis utang euro, sehingga pengangguran global tahun 2012 akan mencapai 1 juta lebih rendah dari skenario baseline di 2012. Untuk mempercepat pemulihan dalam pertumbuhan ekonomi dan pasar tenaga kerja global, ILO menyarankan alternatif kebijakan untuk mendorong penciptaan lapangan kerja, antara lain: 1) Koordinasi kebijakan global; 2) Pengaturan kembali sistem keuangan; 3) Orientasi kebijakan yang efektif dalam mendukung pertumbuhan lapangan kerja 4) Meningkatkan belanja publik tanpa menciptakan resiko sustainaibiltas anggaran 5) Mendorong investasi swasta
Tingkat pengangguran - scenario baseline Tingkat pengangguran - scenario downside

Tren dan Proyeksi Ketenagakerjaan Global

Jumlah pengangguran - scenario downside

Jumlah pengangguran - scenario baseline

(APN)
Tingkat pengangguran - scenario upslole Tingkat penganggurandengan scenario mendorong Investasi

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

Rubrik Keuangan

Pemantauan Perbankan : Efek Kredit Terhadap Rasio Kecukupan Modal


Sebagai lanjutan pemantauan terhadap sektor perbankan pada rubrik perbankan kali ini dilakukan simulasi CAR (Capital Adequacy Ratio) pada beberapa bank swata nasional yakni Bank Tabungan Negara, Bank Permata, Bank Mutiara, Bank Niaga dan Bank Danamon. Simulasi ini menggunakan beberapa skenario dengan tingkat NPL (Non-Performing Loan) yang semakin bertambah. CAR menunjukkan kemampuan bank memenuhi potensi kerugian di masa yang akan datang, dalam simulasi ini terkait dengan bertambahnya kredit yang bermasalah (NPL) dalam jumlah yang signifikan. Berdasarkan laporan Bank Umum kepada Bank Indonesia, untuk Bank Tabungan Negara seperti terlihat dalam tabel CAR aktual sebesar 16,99 % dengan nilai NPL sebesar 3,48% pada Bulan Januari 2012. Setelah disimulasikan tanpa merubah komponen modal, CAR semakin menurun ke angka 13,22% pada NPL 20% atau terjadi penurunan sebesar 377 basis poin. Bank Permata dengan CAR actual sebesar 15,33% dengan NPL 2,22% pada bulan Januari 2012, setelah disimulasikan pada tingkat NPL 20% CAR turun sampai pada level 12,97%, atau menurun sebesar 236 basis poin. Sementara untuk Bank Mutiara, CAR actual cenderung lebih rendah dibandingkan dengan bank lainnya, yakni sebesar 10,10% dan NPL aktual sebesar 15,33%, setelah disimulasikan dengan NPL 20% maka CAR menurun ke level 8,78% atau menurun sebesar 131 basis poin. Untuk Bank Niaga dengan CAR aktual sebesar 16,02% dan tingkat NPL sebesar 2,79% setelah disimulasikan CAR mengalami penurunan ke tingkat 13,52% pada NPL 20%, atau mengalami penurunan sebesar 250 basis poin. Selanjutnya Bank Danamon dengan tingkat CAR paling tinggi diantara bank yang disimulasikan yakni sebesar 19,31% dengan NPL 2,78% pada bulan Januari 2012, setelah disimulasikan ke tingkat NPL 20%, maka CAR menurun ke level 16,43% atau menurun sebesar 288 basis poin. Dari data pada tabel 1 apabila dibandingkan antara NPL pada level 5% dan 20% penurunan CAR paling signifikan terjadi pada Bank Tabungan Negara, yakni sebesar 264 basis poin, sedangkan Bank Mutiara memiliki dampak penurunan CAR yang paling kecil di antara bank yang disimulasikan yakni menurun sebesar 179 basis poin. Hal ini ditengarai karena pada Bank dengan CAR yang tinggi cenderung memiliki penurunan NPL yang signifikan. Apabila dilakukan perbandingan NPL pada level 7.5% dan 10%, pada Bank Tabungan Negara selisih CAR sebesar 48 basis poin, sementara pada Bank Mutiara hanya sebesar 16 basis poin. Semakin besar tingkat NPL tentu akan mereduksi selisih penurunan NPL. Namun pada Bank Danamon dampak peningkatan NPL lebih rendah dibandingkan dengan Bank Tabungan Negara yakni sebesar 36 basis poin. Hal ini ditengarai karena struktur modal Bank Danamon yakni Rp. 18,836 trilyun lebih tinggi dibandingkan dengan modal Bank Tabungan Negara yakni sebesar Rp. 7,583 trilyun. Selisih ini tentunya akan memberikan dampak yang signifikan mengingat rasio kecukupan modal cenderung elastis ketika jumlah modal yang lebih kecil dibagi dengan pertambahan resiko rata-rata tertimbang pada tingkat yang sama. Meskipn CAR Bank Mutiara memiliki penurunan yang kecil namun dari segi kuantitas setelah melalui simulasi dibandingkan Bank Lainnya, Bank Mutiara memiliki CAR yang paling rendah yaitu 8,78%, apabila skenario dilanjutkan Bank Mutiara cenderung lebih rentan menyentuh batas minimum penyediaan modal dari Bank Indonesia yakni sebesar 8%. Secara umum CAR beberapa bank swasta diperkirakan masih cukup tahan dalam mengantisipasi tekanan peningkatan risiko kredit.(AWS)

Tabel 1. Simulasi Pengaruh NPL terhadap CAR


NPL
NPL Aktual CAR Aktual NPL 5%

BTN
3,48 16,99 15,86 15,35 14,87 14,42 14,00 13,60 13,22

Permata
2,12 15,33 14,66 14,35 14,05 13,76 13,49 13,22 12,97

Mutiara
5,51 10,10 10,14 9,56 9,40 9,24 9,08 8,93 8,78

Niaga
2,79 16,02 15,31 14,98 14,67 14,36 14,07 13,79 13,52

Danamon
2,78 19,31 18,50 18,12 17,75 17,40 17,07 16,74 16,43

NPL 7.5% NPL 10% NPL 12.5% NPL 15% NPL 17.5% NPL 20%

Sumber : Bank Indonesia, diolah, Januari 2012

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

Rubrik Keuangan

Analisis Perbankan Syariah Indikator perbankan syariah pada bulan Desember 2011 mengalami peningkatan dari bulan sebelumnya. Pertumbuhan pembiayaan mengalami peningkatan dan masih didominasi oleh sektor lain-lain. Tingkat pertumbuhan DPK secara yoy mengalami sedikit penurunan tetapi secara mtm merupakan yang tertinggi selama tahun 2011. Rasio NPL juga mengalami penurunan dan mencapai level terendah pada tahun 2011. Kinerja positif perbankan syariah ini tidak terlepas dari kekhawatiran terhadap situasi ekonomi Eropa sehingga membuat masyarakat beralih dari bank konvensional yang sedang mengalami tekanan. Pertumbuhan pembiayaan meningkat pada bulan Desember 2011 sebesar 50,56%. Meskipun turun dibandingkan bulan Oktober yang mencapai 53,57%, pertumbuhan pembiayaan bulan Desember 2011 masih lebih tinggi dibandingkan pada awal tahun 2011 sebesar 47,91%. Komposisi pembiayaan menurut sektor ekonomi per Desember 2011 masih sama dengan Desember 2010. Pembiayaan sektor lain-lain masih merupakan yang terbesar disusul pembiayaan jasa dunia usaha dan perdagangan, restoran, dan hotel. Secara rasio terhadap total, pembiayaan lain-lain mengalami peningkatan dari 33,59% pada Desember 2010 menjadi 42,05% pada Desember 2011. Sedangkan pembiayaan dunia usaha serta perdagangan, hotel, dan restoran pada Desember 2011 mengalami penurunan masing-masing menjadi 24,97% dan 9,53% dari Desember 2010 masingmasing sebesar 33,59% dan 29,68%. Tingkat pertumbuhan pembiayaan musyarakah masih jauh lebih tinggi dari pertumbuhan pembiayaan mudharabah. Pertumbuhan DPK pada bulan Desember 2011 sebesar 50,07% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan pertumbuhan awal tahun yang mencapai 58,46% (yoy). Pertumbuhan DPK tertinggi terjadi pada bulan Maret yang mencapai 68,62%. Meskipun mengalami penurunan, tingkat pertumbuhan DPK tetap berada di level tinggi dan bahkan mampu tumbuh 9,37% (mtm) yang merupakan pertumbuhan tertinggi pada level mtm 2011. Pertumbuhan DPK ini turut didorong oleh pertumbuhan deposito mudharabah yang hingga bulan Desember mencapai Rp 57 triliun untuk Rupiah dan Rp 1,27 triliun untuk valas. Ini berarti potensi kerugian semakin rendah karena return mudharabah selama ini cukup stabil (Prabowo, 2009). Rasio non performing loan (NPL) pada bulan Desember 2011 mengalami penurunan menjadi 2,52% atau terendah pada tahun 2011. Jika dibandingkan terhadap bulan November, meskipun terjadi penurunan kredit macet (lost) dan diragukan (doubtful), kredit kurang lancar (sub-standard) mengalami peningkatan dari Rp 1.055 miliar menjadi Rp 1.075 miliar. Sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa keadaan ekonomi sangat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap perbankan syariah. Krisis Eropa membuat perbankan dengan sistem konvensional di Asia sejak kuartal III tahun 2011 mengalami tekanan. Pengetatan likuiditas menyebabkan adanya perlambatan pertumbuhan kredit di perbankan konvensional sehingga masyarakat beralih menggunakan bank syariah. (AFA)

Grafik Rasio NPL, Pertumbuhan DPK, dan Pertumbuhan Kredit

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

Rubrik APBN

Antisipasi Lonjakan Harga Minyak Dunia dalam APBN Protes nuklir Iran ditengarai menjadi penyebab lonjakan pada harga minyak dunia. Memasuki tahun 2012, harga minyak dunia mengalami tren meningkat. WTI Crude Oil sempat hampir menembus level USD 110/barel, sementara Brent Crude Oil bergerak di sekitar level USD 125/barel. Tren harga minyak di pasar dunia tersebut menimbulkan kekhawatiran para pelaku pasar atas lonjakan harga minyak sebagaimana pernah terjadi pada krisis global tahun 2008 dimana Brent Crude Oil sempat menembus level USD 147/barel. Selain masalah geopolitik di kawasan Timur Tengah, pelaku pasar juga mengkhawatirkan keberlangsungan suplai minyak dunia yang kian menipis. Kekhawatiran para pelaku pasar tersebut dicoba ditepis oleh Menteri Perminyakan Saudi Arabia, Ali Naimi. Naimi dalam Financial Times menjelaskan bahwa suplai minyak dunia saat ini lebih aman dibandingkan tahun 2008. Oleh karenanya, menurut Naimi pergerakan minyak dunia saat ini tidak normal dan tidak dapat dibiarkan. Terkait dengan hal tersebut, Naimi meyakini bahwa Saudi Arabia memiliki kapasitas untuk menambah suplai sebesar 2,5 juta barel/hari yang dapat mengamankan kondisi suplai minyak dunia. Terlepas dari upaya pemerintah Saudi Arabia dalam meyakini pelaku pasar. Para analis menilai pergerakan harga minyak dunia saat ini dapat berdampak negatif bagi perekonomian global. Banyak ekonom memperkirakan kenaikan harga minyak dunia akan menghambat proses penyelesaian masalah krisis utang di Eropa dan AS. Lembaga riset Oxford Economics memprediksi risiko aksi militer terhadap Iran akan berdampak pada kenaikan harga minyak dunia hingga level USD 200/barel, penurunan harga saham global sebesar 20%, pelambatan pendapatan dan konsumsi di negaranegara maju, serta lonjakan inflasi di negara berkembang. Di dalam negeri, gejala lonjakan harga minyak dunia ini telah diantisipasi oleh pemerintah pertama-tama melalui perubahan asumsi dasar makro dalam rancangan APBN-P 2012. Harga minyak dunia yang sebelumnya dipatok sebesar 90 US $/barel naik menjadi 105 US $/barel. Selain itu, asumsi lifting minyak juga mengalami revisi dari yang sebelumnya sebesar 950 ribu barel/hari turun menjadi 930 ribu barel/hari. Kenaikan harga minyak dunia berpotensi menekan ruang fiskal karena sangat terkait dengan kebijakan subsidi. Pemerintah juga berencana untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Rencana kenaikan harga BBM ini dilakukan melalui perhitungan yang cermat dengan tidak melupakan dampak kebijakan tersebut terhadap masyarakat. Untuk itu, seiring dengan kebijakan kenaikan harga BBM, dalam rancangan APBN-P 2012, pemerintah telah mengalokasikan dana kompensasi. Program kompensasi yang direncanakan akan efektif per April 2012 ini meliputi program pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), subsidi transportasi yang dilakukan beriringan dengan penambahan skema transportasi, serta penambahan subsidi beras raskin selama 2 bulan. Selain anggaran kompensasi, pemerintah juga mengalokasikan biaya pembatasan BBM dan konversi ke Bahan Bakar Gas (BBG). Alokasi ini dimaksudkan agar subsidi BBM dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat yang tepat serta sebagai dukungan mewujudkan kebijakan energi nasional yang berkelanjutan. Turbulensi harga minyak dunia juga turut mempengaruhi ketahanan fiskal nasional melalui perubahan alokasi belanja pemerintah. Untuk itu, dalam rangka menjaga kapasitas fiskal, pada rancangan APBN-P 2012, pemerintah melakukan upaya pengurangan belanja pemerintah melalui pemotongan belanja kementerian/lembaga yang bersifat non modal (terutama belanja barang) sebesar 27,5 T rupiah. Langkahlangkah tersebut di atas diharapkan dapat meminimalisir dampak lonjakan harga minyak dunia pada perekonomian nasional. (RA dan RN)

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

Rubrik Kebijakan dan Regulasi Ekonomi

UU JPSK Siap Bergulir Akhir Februari lalu, rapat koordinasi terbatas yang membahas RUU JPSK antara Pemerintah, Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan telah sepakat mengirimkan draft final RUU kepada DPR melalui Sekretariat Negara. Rakortas yang dihadiri oleh Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan, Komisaris dan Direksi LPS, Gubernur Bank Indonesia dan beberapa pejabat dari Sekretariat Negara telah sepakat dengan poinpoin penting karena RUU JPSK memang dibutuhkan sebagai landasan hukum untuk pengambilan kebijakan penting dalam upaya penyelamatan perekonomian nasional di situasi krisis. Dengan pengalaman krisis 2008 lalu, RUU JPSK menegaskan bahwa pengambilan keputusan penyelamatan ekonomi nasional di masa krisis adalah sebuah kebijakan yang berisiko dan membawa konsekuensi, sehingga konsekuensi dari pengambilan keputusan penyelamatan ekonomi dianggap sebagai biaya penyelamatan dan bukan sebagai kerugian negara. Penegasan ini penting agar pengambil keputusan dapat bersikap strategis dan bebas dari tuntutan atas risiko kebijakan karena dalam situasi krisis membutuhkan pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat. RUU JPSK berupaya mengalokasikan semua sumber daya keuangan ketika harus menyelamatkan sistem keuangan domestik dari krisis melanda seperti pembelian Surat Utang Negara oleh Bank Indonesia meskipun tetap mempertimbangkan dampak kebijakan quasi-fiskal (pembiayaan fiskal melalui kebijakan moneter). Secara umum, RUU JPSK mengatur dua kondisi, yaitu pencegahan dan penanganan krisis dengan tujuan untuk menciptakan dan memelihara sistem keuangan nasional. Pengaturan dalam RUU?ini meliputi upaya penanggulangan, yakni (1) permasalahan Bank, (2) permasalahan Perusahaan Asuransi, dan (3) gejolak dan krisis Pasar SBN domestik dalam kondisi sistem keuangan tidak normal, yaitu melalui pencegahan dan penanganan krisis. Penanggulangan permasalahan bank dan/atau perusahaan asuransi dalam rangka pencegahan krisis dilakukan dengan mekanisme: (a) pemberian Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) dan (b) Penyertaan Modal Sementara (PMS) untuk perbankan. Sedangkan bagi perusahaan asuransi dilakukan melalui mekanisme pemberian pinjaman dan Penyertaan Modal Sementara (PMS). Apabila terjadi krisis pasar SBN domestik yang ditetapkan oleh Forum Stabilisasi Sistem Keuangan (FSSK), upaya penanganan krisis pasar SBN domestik dilakukan dengan cara: (a) pembelian kembali SBN dalam rangka stabilisasi pasar SBN domestik dengan menggunakan dana Sisa Anggaran Lebih (SAL) oleh Pemerintah, (b) pembelian SBN oleh Bank Indonesia, dan/atau (c) upaya lainnya berdasarkan Keputusan FSSK. RUU JPSK juga memanfaatkan sumber pembiayaan internasional yang bertujuan untuk meredam efek tular dari krisis eksternal. Skema pemanfaatan akan diatur lebih lanjut dengan peraturan teknis. Beberapa skema penyelamatan krisis baik yang terjadi secara sistemik dan tidak sistemik telah diatur dalam RUU tersebut. Lahirnya UU JPSK nantinya akan melengkapi aturan yang menjaga sistem perekonomian khususnya di sektor keuangan. UU ini pun akan saling melengkapi UU Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengambilan keputusan strategis di Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK). Kita berharap pembahasan RUU JPSK dapat berjalan lancar karena aturan ini sangat dibutuhkan seperti halnya keberadaan Instalasi Gawat Darurat (IGD) di dalam sebuah Rumah Sakit. Sekalipun mengandung resiko dan dalam situasi penuh kepanikan krisis, para pengambil keputusan harus dapat bekerja dengan tenang karena adanya payung hukum yang melindungi. (EP2)

10

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

Rubrik Utama

Perkembangan Kewirausahaan Provinsi Sumatera Barat Pada tanggal 19 Maret 2012, Kementerian Koordinator Perekonomian menyelenggarakan Forum Diagnosa Ekonomi (FDE) dengan mengangkat tema Kewirausahaan, di kampus Universitas Andalas, Padang. Kewirausahaan menjadi haluan dalam forum diskusi ini karena perannya yang vital dalam perekonomian termasuk dalam membantu penyerapan tenaga kerja. Sumatera Barat dipilih sebagai lokasi diskusi serta observasi karena dikenal mencetak banyak saudagar handal di tanah air. Forum mencakup sesi pemaparan narasumber dan sesi diskusi. Hadir sebagai narasumber dalam acara ini antara lain perwakilan pemerintah (Bappeda Provinsi Sumatera Barat), industri (KADIN Sumatera Barat), dan akademisi (Ekonom UNAND). Secara ringkas, forum diskusi menyimpulkan tentang kebutuhan untuk mendorong kewirausahaan terutama melalui UMKM dan melalui pembangunan kultur dan minat. Data menunjukkan bahwa jumlah UMKM di Sumbar kini telah 53 juta unit, dimana 50% bergerak di lapangan usaha dagang dan eceran. Dari sisi skala usaha, hampir 90% UMKM berskala mikro. Besarnya jumlah unit usaha telah menciptakan peran penting UMKM bagi perekonomian Sumatera Barat. Data menunjukkan bahwa lebih dari 50% UMKM memiliki peran terhadap PDRB. Kontribusi lain adalah dalam hal penyerapan tenaga kerja, dimana lebih dari 90% tenaga kerja terserap di UMKM. Tantangan dan kendala yang dihadapi UMKM beragam. Bank Indonesia menyoroti permodalan dan pemasaran sebagai kendala utama bagi UMKM. Menurut data Ekonom UNAND, sepanjang tahun 2010, 48,1% kendala UMKM adalah masalah modal, dan 20,6% adalah masalah pemasaran. Mencermati urgensi dari kendala permodalan, pemerintah mentargetkan regulasi untuk pembentukan Lembaga Penjamin Kredit Daerah (LPKD) guna fasilitasi penjaminan kredit Koperasi dan UMKM dapat disahkan tahun ini. Selain itu, dalam rangka mendorong pemasaran yang berkualitas, pemerintah diharapkan dapat bekerja sama dengan pelaku ekonomi lokal serta berperan serta dalam menciptakan pasar bagi produk UMKM. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui penataan besaran alokasi belanja dalam APBD yang pada tingkat tertentu harus dibelanjakan di daerah itu sendiri sehingga dapat meningkatkan permintaan terhadap produk UMKM lokal. Disamping mengatasi kendala di lapangan, upaya mengembangkan kultur kewirausahaan juga diperlukan. Pemerintah, industri, dan institusi pendidikan dapat mengambil peran masing-masing untuk ini. Pemerintah Sumbar memfokuskan upaya ini melalui Gerakan Pensejahteraan Petani. KADIN berkontribusi menggalakkan program magang bagi lulusan SMA. Sementara itu, institusi pendidikan dapat memasukkan kurikulum magang dan mata kuliah kewirausahaan untuk mendorong minat dan kultur kewirausahaan. Pada sesi diskusi, diperoleh kesimpulan tentang perlunya upaya mendorong kewirausahaan yang lebih terfokus, antara lain dengan: a) transfer teknologi yang dapat mendekatkan UMKM pada teknologi; b) science park yang dapat mendekatkan pakar/ahli dengan masyarakat; c) trading house sebagai salah satu solusi atas kendala pemasaran; d) intervensi pemerintah melalui kebijakan yang lebih fokus dan signifikan mendorong kewirausahaan di Sumatera Barat. (APN dan RN)
11

Penyelenggarakan Forum Diagnosa Ekonomi di Universitas Andalas, Padang

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

Rubrik Utama

Liputan Wawancara :
Peran Kewirausahaan bagi Perekonomian Sumatera Barat Paska gempa 30 September 2009, perekonomian Sumatera Barat (Sumbar) mampu tumbuh pesat. Bank Indonesia melaporkan pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Sumbar sebesar 6,22% (yoy) meningkat dari 5,93% pada tahun 2010. Menurut pemerintah Sumbar, pesatnya pemulihan ekonomi tidak terlepas dari peran masyarakat yang secara turun temurun mewarisi semangat kewirausahaan nenek moyang. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai peran kewirausahaan bagi perekonomian daerah yang dikenal sebagai negeri para saudagar ini, tim Tinjauan Ekonomi dan Keuangan pada tanggal 16-19 Maret 2012 melakukan observasi yang diantaranya dengan mewawancarai dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Sumbar. Geliat wirausaha dapat dilihat dari peningkatan jumlah Usaha Mikro Kecil Menengah Besar (UMKMB) yang didominasi UMKM dari 32.946 pada tahun 2005 menjadi 96.377 pada tahun

2011. Pertumbuhan kewirausahaan Sumbar juga tampak lebih cepat dari pertumbuhan masyarakat Sumbar itu sendiri. Hal ini tercermin dari peningkatan proporsi jumlah UMKMB terhadap jumlah penduduk dari 0,91% pada tahun 2005 menjadi 2,18% pada tahun 2011. Lebih jauh lagi, pemda Sumbar menguraikan bahwa jiwa wirausaha masyarakat Sumbar telah muncul sejak dini. Hal ini tercermin dari pelaku-pelaku wirausaha yang didominasi oleh generasi muda. Secara geografis, semangat wirausaha tidak terbatas atau terkonsentrasi pada daerah tertentu seperti daerah perkotaan. Tiga daerah dengan jumlah UMKM tertiggi yaitu kota Padang (18,21%) dari total UMKM Sumbar, Kabupaten Agam (9,27%) dan Kabupaten Padang Pariaman (8,42%). Secara sektoral wirausaha di Sumbar sebagian besar masih bergerak pada sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 63%, Industri Pengolahan 12% serta Pengangkutan dan Komunikasi (11%). Dalam rangka mendukung besarnya semangat wirausaha di Sumbar, pemerintah pusat dan daerah terus melakukan upaya-upaya yang diantaranya mencakup program pengembangan, fasilitas pemasaran dan pembiayaan. Program pengembangan UMKM di provinsi Sumbar terus dikembangkan melalui gerakan terpadu UMKM dengan instansi-instansi terkait; penciptaan wirausaha baru melalui diklat kewirausahaan pada UPT Balai Diklat Koperasi, bimtek, temu usaha dan sosialisasi kewirausahaan; petugas pendamping/BDS/Klinik UKM/KKMB; penyelenggaraan UKM Award; dan

pengembangan inkubator bisnis melalui kerjasama dengan Lembaga Inkubator Bisnis Universitas Andalas. Sedangkan untuk membantu pemasaran, upaya yang dilakukan diantaranya pengembangan pasar tradisional; pencetakan baliho-baliho rendang padang dengan tema Rendang Padang Makanan Paling Lezat di Dunia; dan sentra-sentra pemasaran industri seperti Craft Centre yang baru saja diresmikan oleh Pemda Sumbar pada tanggal 16 Maret 2012 Untuk membantu mengatasi masalah permodalan dalam pengembangan usaha, program-program pemerintah diantaranya terdiri atas program penataan pedagang kaki lima (PKL) melalui bantuan perkuatan modal bekerjasama dengan Koperasi dari tahun 2008-2011 terhadap 9.000 PKL yang dananya berasal dari APBD sekitar Rp 5,3 miliar. Sumber pembiayaan permodalan UMKM lainnya mencakup Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN dan KUR. Hingga Februari 2012, secara kumulatif realisasi KUR oleh tujuh Bank Penyalur KUR di Sumbar sebesar Rp 1,91 triliun kepada 104.110 debitur. Temuan observasi dan data di atas menunjukkan bahwa warisan jiwa kewirausahaan masih dapat dirasakan manfaatnya bagi perekonomian provinsi Sumatera Barat. Kedepannya, dalam era persaingan global, peran kewirausahaan bagi perekonomian Sumbar masih dapat ditingkatkan melalui inovasi usaha. Semoga (RA dan MS)

Achmad Kharisma (Kiri), Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Sumatera Barat

12

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

Rubrik Utama

Hasil Observasi Kewirausahaan di Padang Observasi lapangan yang dilakukan di Sumatera Barat bertujuan untuk memperoleh gambaran secara langsung mengenai kondisi mendasar perkembangan kewirausahaan. Gambaran dari faktor pendorong dilakukan observasi kepada responden secara acak di wilayah Padang dan sekitarnya. Observasi menjaring informasi mengenai indentitas responden, profil usaha, sumber kemampuan wirausaha, minat pengembangan usaha, dan sumber pembiayaan untuk pengembangan usaha. Berdasarkan hasil observasi tersebut, diperoleh gambaran bahwa memang masih terdapat sejumlah persoalan dasar dalam sektor wirausaha di Sumatera Barat, khususnya di Kota Padang. Mayoritas responden berusia lebih dari 40 tahun atau sekitar 57,1% dari total responden. Generasi muda di Padang yang berusia di bawah 20 tahun menunjukkan harapan bagi dunia wirausaha di Sumatera Barat karena jumlahnya mencapai 35,7% atau melebihi responden yang berusia 2040 tahun yang hanya sebesar 7,1%. Sebanyak 85,7% responden memang berprofesi sebagai wirausaha dan sisanya merupakan pelajar atau mahasiswa. Dari sisi gender, mayoritas wirausaha merupakan perempuan yaitu 64,3% dari total responden. Untuk mengembangkan dunia wirausaha, memang tidak diperlukan tingkat pendidikan yang tinggi. Hal ini dapat tercermin dari rata-rata tingkat pendidikan responden berada pada tingkat SMA atau sebesar 50%, kemudian disusul sarjana sebesar 21,4%, tidak tamat SD sebesar 14,3%, dan SMP sebesar 7,1%. Kebanyakan responden memulai usaha sudah sangat lama yaitu lebih dari 10 tahun atau sebesar 64,3% dari total responden dengan mayoritas sektor usaha di bidang industri sebesar 78,6% dan rata-rata menggunakan modal awal di atas Rp 5 juta. Sebanyak 85,7% responden memiliki keluarga yang berwirausaha dengan 64,3% keluarga memiliki usaha yang sama, yaitu industri makanan atau minuman, kerajinan, dan perdagangan. Kebanyakan keluarga responden yang memiliki usaha merupakan saudara kandung (adik atau kakak) dan bukan orang tua. Selain itu, 78,6% responden juga memiliki saudara di luar Sumatera Barat yaitu Jakarta, Medan, Riau, Pekan Baru, dan lain-lain. Sebanyak 57,1% responden mengaku mewarisi kemampuan wirausaha dari keluarga yang mendorong untuk berwirausaha. Dengan kondisi ini banyak usaha responden merupakan usaha turuntemurun. Selain dorongan keluarga, faktor lingkungan juga menjadi pemicu minat berwirausaha. Dukungan pemerintah belum dirasakan oleh mayoritas wirausahawan karena 42,9% responden menyatakan bahwa pemerintah tidak pernah memberi

Beberapa UMKM di Padang (foto responden)

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

13

Rubrik Utama

dukungan. Dari 57,1% responden yang pernah menerima bantuan pemerintah, sebanyak 57,1% responden pernah mendapatkan bantuan pemasaran, 28,6% mendapatkan fasilitas dan penyuluhan, dan hanya 7,1% mendapatkan kemudahan pendanaan. Masyarakat Sumatera Barat memiliki tingkat tabungan yang tinggi sehingga dapat membiayai modal untuk membangun usaha. Sebanyak 57,1% responden menyatakan membangun usaha dengan modal sendiri, dan

sebesar 42,8% responden membangun usaha pinjaman pinjaman bank dan lainnya (pinjaman BUMN dan pinjaman lain). Kebanyakan responden atau sebesar 57,1% memiliki kesulitan untuk mengakses modal, padahal sebanyak 78,6% diantaranya memiliki rencana untuk ekspansi usaha. Hal-hal yang menjadi kendala untuk mengakses modal anta lain perlunya agunan untuk melkukan pinjaman, bunga yang tinggi, kompetisi untuk mendapatkan pinjaman dengan bunga rendah,

persyaratan yang rumit, serta keterbatasan informasi mengenai sumber-sumber pendanaan. Mereka memiliki harapan untuk meminjam dari perusahaan BUMN karena bunga yang rendah tetapi harus bersaing karena dana yang tersedia terbatas. Oleh karena itu, sebanyak 42,9% wirausaha membutuhkan bantuan modal, 14,3% membutuhkan bantuan pemasaran dari pihak pemerintah. (AFA dan Tim Redaksi TEK)

Hasil Observasi Kewirausahaan di Sumatera Barat

14

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

Rubrik Penyaluran KUR

Realisasi Penyaluran KUR per Februari 2012


Selama Februari 2012, penyaluran KUR tercatat sebesar Rp. 2,2 T. Selama Januari-Februari 2012, penyaluran KUR tercatat sebesar Rp. 3,9 T. Penyaluran total KUR sejak November 2007 hingga Februari 2012 mencapai Rp. 67,3 T dengan jumlah debitur 5,9 juta UMKM. Rata-rata dari tiap debitur menerima kredit sebesar Rp. 11,3 juta dan tingkat NPL sebesar 2,69%. Bank BRI khususnya KUR Mikro masih merupakan bank penyalur KUR tertinggi. Realisasi penyaluran KUR oleh BPD pada bulan Februari 2012 mencapai Rp 209,1 milliar (M) dengan debitur sebanyak 2.503 UMKM. Tingkat NPL rata-rata untuk BPD sebesar 3,61%. Penyalur KUR tertinggi adalah Bank Jabar Banten dan Bank Jatim. Dilihat dari sektor yang menerima KUR pada bulan Februari 2012, sektor perdagangan masih pada urutan tertinggi mendapatkan KUR. Sementara sektor pertanian dan perikanan sebesar 17%. Berdasarkan sebaran regional, secara komulatif penyaluran tertinggi KUR pada provinsi Jawa Timur sebesar Rp. 10,4 T. Untuk provinsi Jawa Tengah tercatat sebesar Rp 9,9 T. Sedangkan realisasi untuk di luar Jawa masih kurang optimal, hal tersebut diperlihatkan pada provinsi yang mendapatkan penyaluran terendah yaitu pada provinsi Bangka Belitung dan Maluku Utara. Sejak diluncurkannya KUR TKI oleh Presiden pada tanggal 14 Desember 2010, penyaluran KUR TKI masih kurang optimal, terlihat penyaluran masih terpusat di sekitar pulau Jawa, yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur. Tercatat penyaluran KUR TKI hingga Februari 2012 tercatat Rp. 3,5 M dengan jumlah debitur sebanyak 317 TKI. Menurut provinsi, penyaluran KUR TKI tertinggi hingga Februari 2012 adalah provinsi Jawa Timur yang merupakan kantong TKI terbesar, yaitu Rp 1,7 M atau sekitar 50% dari total KUR TKI dengan jumlah debitur 123 TKI. Selanjutnya, provinsi DKI Jakarta tercatat Rp. 1,5 M dengan jumlah debitur 155 TKI dan provinsi Jawa Tengah sebesar Rp. 240 juta dengan jumlah debitur 39 TKI. Hingga Februari 2012, realisasi penyaluran TKI untuk pembiayaan keberangkatan ke negara tujuan yang dibiayai melalui KUR TKI mayoritas adalah Brunai Darussalam sebesar Rp. 1,5 M dengan jumlah debitur sebanyak 156 TKI. Hongkong sebesar Rp 1,4 M dengan debitur sebanyak 77 TKI dan Malaysia sebesar Rp 535 juta dengan jumlah debitur 83 TKI. Realisasi penyaluran KUR TKI menurut lapangan kerja, umumnya para debitur bekerja di negara penempatan pada sektor konstruksi yaitu sebanyak 212 TKI dengan kredit sebesar Rp 1,9 M. Debitur yang bekerja pada sektor rumah tangga sebanyak 74 TKI dengan kredit sebesar Rp. 1,4 M. Pada sektor manufaktur jumlah debitur sebanyak 26 TKI dengan kredit Rp 171 juta dan kredit terendah pada sektor penjaga rumah tangga sebesar Rp 43 juta dengan jumlah debitur 5 TKI. Tahun 2012, Komite Kebijakan KUR akan terus mendorong kerjasama Bank Penyalur daerah untuk peningkatan penyaluran KUR TKI dan sektor produktif.
Sumber: Komite Kebijakan KUR, Kemenko Perekonomian

Penyaluran KUR Menurut Sektor Ekonomi (November 2007-Februari 2012)

(WP dan MS)

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

15

Rubrik Pakar

Kontribusi Swasta dalam Membangun Bangsa

yang melimpah. Kedua, besarnya jumlah penduduk khususnya penduduk kelas menengah menjadikan Indonesia sebagai pasar yang menjanjikan. Kedepannya, minat wirausaha dalam negeri diyakini juga didorong oleh meningkatnya arus investasi asing setelah Indonesia kembali meraih investment grade. Di saat yang sama, hambatan pertumbuhan minat usaha terkait dengan permasalahan investasi yang ada. Dari sisi pengusaha, permasalahan investasi yang menghambat perekonomian jika diurutkan berdasarkan signifikansinya adalah: kepastian hukum, infrastruktur, tenaga kerja, dan birokrasi. Maraknya kasus hukum berdampak negatif pada minat berwirausaha di Indonesia. Sedangkan rencana pembangunan infrastruktur yang salah satunya terangkum dalam MP3EI belum dirasakan realisasinya. Pada saat yang sama, pihak pengusaha merasakan kendala terkait dengan ketenagakerjaan mulai dari tingkat keterampilan tenaga kerja yang dinilai masih rendah sampai hambatan hukum ketenagakerjaan. Bagi pengusaha, butirbutir UU No. 13/2003 yang terkait dengan besarnya pesangon dan sulitnya proses pemutusan kerja menjadi hambatan bagi pertumbuhan industri padat karya di Indonesia. Sedangkan penentuan tingkat upah minimum melalui mekansime tripartit di Indonesia dinilai tidak efektif. Oleh karena itu, pihak pengusaha mengusung pentingnya penguatan mekanisme bipartit dalam penetapan upah. Birokrasi khususnya dalam hal perijinan usaha dinilai masih menjadi hambatan

wirausaha di Indonesia. Banyaknya peraturan yang tumpang tindih dan waktu pengurusan perijinan yang terlalu lama menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi. Sebagai solusi, reformasi birokrasi perlu terus digiatkan baik pada level nasional maupun daerah. Sejauh ini, pihak pengusaha menilai dukungan perbankan dalam permodalan dunia usaha sudah cukup baik. Akan tetapi, perbankan yang mengelola dana masyarakat diharapkan lebih berpihak pada rakyat. Produkproduk perbankan bagi rakyat berpendapatan rendah dinilai masih minim. Untuk mengatasinya, dibutuhkan intervensi pemerintah untuk menggalakkan keuangan inklusif. Namun, program pemerintah seperti KUR dinilai masih belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat karena tingginya tingkat bunga yang dikenakan. Dengan demikian, dibutuhkan peran pemerintah dalam menyediakan kredit dengan bunga terjangkau tanpa meningkatkan risiko perbankan. Terakhir, pihak pengusaha masih merasa kecewa dengan sistem pendidikan yang kurang dalam memenuhi kebutuhan industri dan menumbuhkan minat usaha di Indonesia. Selama ini, kerjasama antara institusi pendidikan dengan dunia usaha dalam pengembangan keterampilan kerja dan wirausaha dinilai masih kurang. Oleh karenanya koordinasi berbagai pihak termasuk swasta dan pemerintah melalui institusi pendidikan untuk meningkatkan keterampilan kerja dan minat wirausaha perlu terus ditingkatkan. (RA dan RN)

Sofjan Wanandi Ketua Umum APINDO

Data makro ekonomi Indonesia menunjukkan kinerja yang baik. Sebagai contoh, tingkat pengangguran menurun seiring dengan meningkatnya investasi. Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri pentingnya peran swasta dalam pembangunan ekonomi. Sofjan Wanandi, Ketua Umum APINDO dalam wawancara dengan tim redaksi Tinjauan Ekonomi dan Keuangan meyakinkan peran swasta sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi. Diperlukan sinergi antara UMKM dan UB (Usaha Besar) dalam optimalisasi peran wirausaha dalam pembangunan ekonomi. Dari sudut pandang pengusaha, pertumbuhan wirausaha di Indonesia terutama dipengaruhi dua hal. Pertama, tren meningkatnya harga komoditas di pasar internasional diyakini dapat menguntungkan investor di Indonesia yang memiliki basis sumber daya alam

16

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2012

DAFTAR ISTILAH

DAFTAR ISTILAH
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga k erja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat

Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain

Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia

Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak

Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya

Untuk informasi lebih lanjut hubungi :

Redaksi Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Gd. PAIK II) Lantai 4 Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta, 10710 Telepon. 021-3521843, Fax. 021-3521836 Email : tinjauan.ekon@gmail.com
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat didownload pada website www.ekon.go.id

Anda mungkin juga menyukai