Anda di halaman 1dari 14

BAB 5. PEMBAHASAN 5.

1 Pengelolaan Limbah Rumah Tangga Dusun Lingkungan Kulon Pasar merupakan salah satu dusun yang berada di kelurahan Jember Kidul Kecamatan Kaliwates. Dusun ini terletak di tengah pusat perbelanjaan Kabupaten Jember, tepatnya berada di depan Pasar Tanjung, pasar terbesar di Kabupaten Jember. Kondisi pemukiman di dusun ini sangat padat, perumahan warga berhimpitan dan hampir keseluruhan warga tidak memiliki halaman. Beberapa warga yang memiliki halaman, keadaan halamannya sudah tidak memiliki tanah melainkan sudah disemen permanen. Keseluruhan jalan di pemukiman warga pun tidak ada yang masih tanah melainkan sudah dalam keadaan semen yang permanen, ini disebabkan dibawah jalan pemukiman digunakan sebagai selokan dan saluran pembuangan limbah tinja. Lokasi pemukiman ini terletak tepat di bantaran Sungai Jompo. Limbah Rumah Tangga adalah limbah yang berasal dari dapur, kamar mandi, cucian, limbah bekas industri rumah tangga dan kotoran manusia (Anonim. 2005). Pengelolaan limbah rumah tangga Dusun Lingkungan Kulon Pasar secara umum yang didapatkan dari hasil observasi dan kuesioner masih memiliki beberapa permasalahan. Berdasarkan hasil kuesioner responden memiliki kategori nilai baik dan cukup, namun berdasarkan hasil observasi masih banyak yang memiliki kategori buruk. Rendahnya hasil observasi disebabkan banyak responden yang tidak memiliki tempat sampah, septic tank dan melakukan pembuangan sampah langsung ke sungai. 5.2 5.2.1 Pengelolaan Limbah Padat Alur Pengelolaan Limbah Padat Menurut UU No 18 Tahun 2008 Alur pengelolaan limbah padat terdiri dari 2 tahapan yaitu sebagai berikut:
1. Pengurangan Sampah

Pengurangan sampah meliputi beberapa kegiatan yaitu sebagai berikut: a. Pembatasan timbulan sampah Pembatasan timbulan sampah dapat dilakukan dengan mengurangi pemakaian sampah dan mendaur ulang sampah yang bisa didaur ulang. Misalnya sampah plastik bekas air mineral dapat didaur ulang menjadi tempat pensil atau pot bunga, atau tas kresek yang bagus bisa digunakan sebagai tempat belanja kembali. Dari hasil pengamatan yang dilakukan ada beberapa responden yang sudah menjual kembali botol plastik yang
75

76

digunakan, namun sebagian besar responden yang lain langsung membuang sampah plastik yang dihasilkan. Hal lain yang bisa dilakukan adalah menggunakan bahan yang lebih tahan lama. Bahan yang digunakan responden sudah menggunakan bahan yang tahan lama seperti dari bahan kaca untuk alat makanan, dan plastik yang kuat sebagai alat makanan dan memasak.
b. Pendauran ulang sampah

Pendauran ulang sampah anorganik sudah dilakukan beberapa responden yaitu menjual borol bekas air mineral dan botol bekas minuman ringan ke pengumpul, sehingga limbah plastik sudah terkelola dengan baik. Pendaurulangan sampah organik belum dilakukan oleh keseluruhan responden. Seluruh sampah organik langsung dibuang ke sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu. c. pemanfaatan kembali sampah Sebagian kecil responden sudah memanfaatkan kembali limbah plastik yang dihasilkan, namun pemanfaatan ini tidak seharusnya dilakukan karena sampah yang dimanfaatkan kembali adalah sampah plastik dan styrofoam menjadi tempat makanan dan minuman kembali.
2. Penanganan sampah

Penanganan sampah meliputi beberapa tahapan yaitu sebagai berikut:


a. Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan

jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah Limbah padat rumah tangga dihasilkan dari beberapa kegiatan antara lain kegiatan memasak, makan, mencuci, berkebun, dan lain sebagainya. Dalam Lingkungan Kulon Pasar karakteristik limbah padat yang dihasilkan adalah mayoritas limbah organik yaitu sisa bahan makanan dan sisa makanan yang dijual responden. Sampah anorganik yang dihasilkan oleh responden adalah sampah plastik bekas sisa makanan ringan dan bahan makanan, kresek sisa tempat belanja, plastik tempat deterjen atu sabun, dan beberapa sampah kertas. Volume timbulan sampah dari masing-masing responden memiliki jumlah yang berbeda, ini disebabkan jumlah anggota keluarga responden yang beragam serta aktivitas responden yang berbeda, seperti ada responden yang satu rumah memiliki 10 anggota keluarga dan ada responden yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang makanan sehingga timbulan sampahnya jauh lebih banyak dibandingkan responden yang lain. Volume timbulan sampah yang dihitung mencakup keseluruhan dalam satu rumah. Volume sampah keseluruhan yang dihasilkan oleh responden adalah 70,2 kg

77

dengan jenis sampah yang dihasilkan adalah mayoritas sampah organik seperti sisa bahan makanan dan sisa makanan. Sampah yang dihasilkan masing-masing responden dikumpulkan dalam satu tempat yaitu di dalam tas kresek berukuran besar yang biasa dibuat warga untuk mengumpulkan hasil belanja, ini disebabkan mayoritas responden tidak memiliki tempat sampah pribadi. Pengumpulan sampah ini dilakukan hingga volume sampah memenuhi tas kresek tersebut. Sampah tidak dipilah berdasarkan karakteristiknya yaitu organik dan anorganik. Sampah yang dihasilkan dikumpulkan menjadi satu tempat. Namun untuk sampah plastik seperti bekas botol air mineral, bekas minuman ringan dipisahkan dan dijual kembali. Hanya saja plastik-plastik yang lain seperti kemasan makanan ringan, bahan makanan, peralatan mandi langsung dikumpulkan menjadi satu bersama sampah yang lain di dalam tas kresek.
b. Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber

sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu Sistem pengumpulan merupakan rangkaian untuk memindahkan sampah dari sub sistem pewadahan ke sub sistem tempat penampungan sementara ( TPS ). Tahap pengumpulan ke TPS menggunakan jasa pengangkutan sampah melalui gerobak sampah yang keliling di perumahan warga. Namun, tidak ada jasa pengangkut sampah di lingkungan pemukiman ini, jasa pengangkut sampah berhenti 2 tahun yang lalu karena masyarakat enggan membayar jasa pengangkutan sampah, sehingga sampah yang dihasilkan dari masing-masing responden tidak dikumpulkan menjadi satu dalam satu tempat komunal atau TPS, melainkan langsung dilakukan pembuangan sendirisendiri. Letak TPS dan pemukiman berjarak kurang lebih 500 meter, namun jalan yang dilalui memiliki topografi yang menanjak dan harus menyebrangi jalan raya, alasan ini membuat responden enggan melakukan pembuangan sampah ke TPS. Sistem pengangkutan lain adalah pengangkutan sampah pasar yang tepat berada di depan pemukiman responden, pengangkutan sampah pasar dilakukan 2 kali dalam sehari, namun responden juga enggan menumpuk sampah di tempat pengumpulan sampah pasar dengan alasan pihak pengelolaa pasar tidak mengijinkan penumpukan sampah di pasar selain sampah pasar. Sampah yang sudah terkumpul masing-masing di rumah responden langsung dibuang ke sungai tanpa melalui proses pengolahan. Sebagian responden membuang sampah setiap hari ke sungai namun sebagian kecil lagi membuang sampah lebih dari dua hari ke sungai, ini disebabkan volume sampah yang

78

dihasilkan tidak terlalu banyak, sehingga responden menunggu tas kresek untuk membuang sampah dalam keadaan penuh.
c. Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat

penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir Sistem pengangkutan sampah dari TPS pada umumnya dilakukan dengan Truk, baik dengan jenis bak terbuka maupun dengan Arm-roll Truck dengan kapasitas 8m3, bak truck dapat digerakkan secara hidrolik sehingga proses bongkar sampah bisa efektif. Sub sistem ini untuk mengangkut sampah dari TPS menuju tempat pembuangan akhir (TPA). Sistem pengangkutan dikatakan berhasil apabila tidak ada lagi sampah yang tercecer disana sini. Namun keseluruhan responden di pemukiman ini tidak ada yang melakukan pembuangan sampah ke TPS sehingga tidak ada tahapan pengangkutan yang dilakukan oleh responden.
d. Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah

Pembuangan sampah akhir terpadu adalah pembuangan sampah ke TPA. Tahap awal ketika sampah yang dibawa menuju TPA menggunakan Truk, Dump Truk, maupun Arm Roll unit penimbangan dan pencacatan jumlah sampah yang masuk serta ritasi alat angkut. Kemudian dilanjutkan dengan pengaturan pembuangan sampah (zoning) lokasi. Kegiatan pemilhan sampah dilakukan oleh pemulung yang berada di lokasi tersebut, dan barang-barang yang bisa di daur ulang, atau digunakan kembali diambil dan secara periodik dijual kepada lapak. TPA terdekat dari lokasi ini adalah TPA Pakusari dan pengelolaan sampah di TPA tersebut masih berfungsi dengan baik. Namun karena tidak ada proses pengumpulan dan pengangkutan sampah maka pembuangan sampah tidak sampah ke TPA, melainkan langsung dibuang ke sungai.
e. Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil

pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman. Sampah yang dihasilkan tidak melewati suatu proses pengolahan, melainkan langsung dibuang ke sungai. Sampah yang dihasilkan oleh keseluruhan responden langsung dibuang ke sungai tanpa melewati proses pengolahan, sehingga dapat disimpulkan pengembalian ke media lingkungan yang dilakukan tidak aman.

5.2.2

Dampak Sampah yang Tidak Terkelola

79

Tempat sampah yang dimiliki responden adalah berupa barang bekas seperti bekas panci plastik, bekas tempat cat, atau bekas timba plastik. Sehingga bahan yang digunakan masih kuat dan mudah dibersihkan. Hanya saja keadaan tempat sampah tersebut tidak menggunakan penutup sehingga dapat mengundang vektor dan rodent. Menurut Soemirat (2004 )Vektor merupakan serangga penyebar penyakit sehingga keberadaannya sangat mengganggu bagi manusia. Salah satu penyakit yang dapat disebabkan oleh vektor adalah dysenteri yang disebabkan oleh S. Shigae yang dibawa oleh lalat Musca Domestica, Pest yang disebabkan oleh Pasteurella Pestis yang dibawa oleh pinjal tikus X. Cheopis, dan masih banyak lagi. Jika pembuangan sampah dilakukan lebih dari 2 hari akan semakin banyak mengundang kehadiran vektor karena vektor semakin menyukai bahan yang membusuk. Dengan demikian pembuangan sampah harus dilakukan setiap hari untuk menghindari pembusukkan dan penimbunan sampah yang berlebihan. Indikator tempat sampah selanjutnya adalah pemisahan sampah organik dan anorganik, hanya saja pada semua responden tidak ada pemisahan sampah. Semua sampah dibuang menjadi satu baik organik dan anorganik. Pengelolaan limbah padat harus memperhatikan karakteristik dan kandungan yang terdapat di dalam limbah padat tersebut. Limbah padat yang mengandung bahan organik dapat membusuk dengan adanya aktivitas mikroorganisme baik pengurai. Dengan demikian dalam pengelolaannya menghendaki kecepatan, dalam pengumpulan maupun

pemusnahannya. Pembusukan limbah padat organik akan menghasilkan antara lain gas CH4, dan H2S yang bersifat racun bagi tubuh. Selain beracun, H2S juga berbau busuk sehingga secara estetis tidak dapat dibenarkan. Tetapi, bagi lingkungan limbah padat ini relatif kurang berbahaya karena dapat terurai dengan sempurna (Dwiyatmo, 2007). Menurut Soemirat (2008) limbah padat yang mengandung bahan organik dan tidak mengandung B3 dapat diproses secara biologi untuk mengurangi volumenya ataupun dapat juga untuk memperoleh produk yang berguna seperti kompos maupun biogas. Hasil dari pengolahan ini dapat berupa pupuk kompos maupun biogas. Namun, cara ini berpotensi mengeluarkan bau yang tidak sedap. Limbah padat organik yang merupakan sisa makanan dapat diolah menjadi animal feeding (makanan ternak). Daerah ini tidak memiliki ternak sehingga cara yang mudah adalah digunakan sebagai kompos, hal ini bisa dilakukan secara kolektif seluruh RT dan dijadikan usaha bersama apalagi banyak ibu yang memiliki profesi sebagai ibu rumah tangga. Limbah anorganik seperti plastik serta penggunaan deterjen, sampo, cairan pemutih, pewangi dan bahan kimia lainnya relatif lebih sulit untuk dihancurkan. Jika kuantitas dan intensitas limbah domestik ini masih dalam batas normal, alam masih mampu melakukan

80

proses kimia, fisika, dan biologi secara alami. Namun, peningkatan populasi manusia telah menyebabkan peningkatan kuantitas dan intensitas pembuangan limbah sehingga membuat proses penguraian limbah secara alami menjadi tidak seimbang. Bila hal ini terjadi secara terus menerus, Soemarwoto (1991) memperkirakan akan terjadi peningkatan kadar BOD, COD, N dan K di sungai-sungai, peningkatan jumlah bakteri coli pada sumur dan sumber air penduduk lainnya dan pada akhirnya dapat memacu pertumbuhan gulma air. Ledakan pertumbuhan ini menyebabkan oksigen, yang seharusnya digunakan bersama oleh seluruh hewan/tumbuhan air, menjadi berkurang. Ketika tanaman air tersebut mati, dekomposisi mereka menyedot lebih banyak oksigen. Sebagai akibatnya, ikan akan mati, dan aktivitas bakteri menurun. Penumpukkan sampah plastik dan anorganik lainnya selain dapat menurunkan kualitas air sungai, juga bisa mengakibatkan banjir. Sampah anorganik yang tidak bisa terdegradasi menumpuk di sepanjang sungai sehingga mempersempit daerah aliran sungai dan mengakibatkan terjadinya pendangkalan dari lumpur yang terbawa, jika sungai tidak bisa menerima kuantitas air yang semestinya pada akhirnya air sungai akan meluber atau meluap dan menyebabkan banjir. Dari hasil wawancara banyak masyarakat yang masih menggunakan sampah plastik dan styrofoam sebagi tempat makan kembali, namun juga ada yang langsung membuangnya ke sungai. Sampah plastik yang langsung dibuang akan mengakibatkan penumpukan sampah yang semakin banyak karena sifat sampah plastik yang sulit untuk terdegradasi. Untuk itu pemakaian sampah plastik harus dibatasi, misalnya dengan cara reduse dan reuse. Kita sebagai masyarakat bisa mengurangi pemakaian sampah plastik dan styrofoam dengan membeli bahan plastik yang awet sehingga jauh lebih memiliki fungsi yang tahan lama, atau mengolah bahan plastik menjadi fungsi baru seperti menjual pada tukang loak atau menjadikannya pot bunga, tempat pensil dan kerajinan yang lain. Pengolahan limbah juga dapat dilakukan dengan cara-cara yang sederhana lainnya misalnya, dengan cara mendaur ulang, dijual kepasar loak atau tukang rongsokan yang biasa lewat di depan rumah rumah. Cara ini bisa menjadikan limbah atau sampah yang semula bukan apa-apa sehingga bisa menjadi barang yang ekonomis dan bisa menghasilkan uang. Dapat juga dijual kepada tetangga kita yang menjadi tukang loak ataupun pemulung. Barang-barang yang dapat dijual antara lain kertas-kertas bekas, koran bekas, majalah bekas, botol bekas, ban bekas, radio tua, TV tua dan sepeda yang usang. Beberapa jenis sampah plastik dan styrofoam tidak boleh digunakan kembali sebagai tempat makan, sebab Selain mempunyai banyak keunggulan, ternyata kemasan plastik menyimpan kelemahan yaitu kemungkinan terjadinya migrasi atau berpindahnya zat monomer dari bahan plastik ke dalam makanan, terutama jika makanan tersebut tak cocok dengan

81

kemasan atau wadah penyimpannya. Pada makanan yang dikemas dalam kemasan plastik, adanya migrasi ini tidak mungkin dapat dicegah 100% (terutama jika plastik yang digunakan tidak cocok dengan jenis makanannya (Hartomo, 1992). Migrasi monomer terjadi karena dipengaruhi oleh suhu makanan atau penyimpanan dan proses pengolahannya. Semakin tinggi suhu tersebut, semakin banyak monomer yang dapat bermigrasi ke dalam makanan. Semakin lama kontak antara makanan tersebut dengan kemasan plastik, jumlah monomer yang bermigrasi dapat makin tinggi (Hartomo, 1992). Monomer yang perlu diwaspadai yaitu vinil klorida, akrilonitril, metacrylonitil, vinylidene klorida serta styrene. Monomer vinil klorida dan akrilonitril cukup tinggi potensinya untuk menimbulkan kanker pada manusia. Vinil klorida dapat bereaksi dengan guanin dan sitosin pada DNA sedangkan akrilonitril bereaksi dengan adenin. Vinil asetat telah terbukti menimbulkan kanker tiroid, uterus dan hati pada hewan. Akrilonitril menimbulkan cacat lahir pada tikus yang memakannya. Monomer lain seperti akrilat, stirena dan metakriat serta senyawa turunannya, seperti vinil asetat, polivinil klorida, kaprolaktam, formaldehida, kresol, isosianat organik, heksa metilandiamin, melamin, epodilokkloridin, bispenol dan akrilonitril dapat menimbulkan iritasi pada saluran pencernaan terutama mulut, tenggorokan dan lambung. Aditif plastik jenis plasticizer, stabilizer dan antioksidan dapat menjadi sumber pencemaran organoleptik yang membuat makanan berubah rasa serta aroma dan bisa menimbulkan keracunan (Hartomo, 1992). 5.2.3 Solusi Solusi yang mungkin dapat diterapkan adalah melakukan pengelolaan sampah secara terpadu dengan kerja bakti masyarakat. Masyarakat dapat mengumpulkan sampahnya ke dalam wadah plastik bekas dan secara komunal dikumpulkan dalam satu tempat, pengumpulan bisa dilakukan langsung dipasar sehingga sampah akan diangkut bersamaan dengan pengangkutan sampah pasar. Masyarakat dapat bekerja sama dengan pihak pengelola pasar misalnya melakukan musyawarah terkait proses pengangkutan sampah. Sampah organik yang menjadi timbulan sampah terbesar dapat diolah menjadi kompos atau biogas yang nantinya dapat digunakan masyarakat secara pribadi atau dijual kepada pihak lain. Hasil penjualan dapat digunakan sebagai pembangunan fasilitas yang diperlukan misalnya pembuatan SPAL komunal, septic tank komunal, ataupun jasa pengangkutan sampah. Bagi sampah anorganik dapat dijual kembali atau diolah menjadi kerajinan. Kerajinan yang dapat dihasilkan seperti tas, sajadah, tikar, dan benda lainnya. Hasil kerajinan atau penjualan kembali juga dapat menambah penghasilan masyarakat secara pribadi.

82

5.3 5.3.1

Pengelolaan Limbah Cair Alur Pengelolaan Limbah Cair Pengelolaan limbah cair melalui beberapa proses yaitu sebagai berikut:
1. Sumber limbah cair

Sumber limbah cair pada pemukiman Lingkungan Kulon Pasar berasal dari aktivitas mandi dan buang air besar, mencuci, serta memasak. Semua limbah yang berasal dari aktivitas tersebut mayoritas berasal dari dapur, kamar mandi dan jamban. Sistem pembuangan air limbah menggunakan SPAL yang kemudian mengalir ke selokan serta menggunakan septic tank untuk pengolahan limbah tinja. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang telah dilakukan sebagian besar responden memiliki jamban, namun sebagian besar pula tidak memiliki septic tank. Responden yang tidak memiliki septic tank melakukan pembuangan limbah tinja ke sungai menggunakan pipa paralon. Responden tidak membangun septic tank karena biaya dalam pembangunan septic tank relatif mahal serta minimnya lahan untuk pembangunan septic tank. Aktivitas mencuci dan mandi pada sebagian besar responden dilakukan di kamar mandi pribadi yang dimiliki oleh responden tersebut, dan sebagian kecil lainnya melakukan aktivitas mandi di sungai dan mencuci di halaman, namun jika air sungai tidak pasang maka responden mencuci di sungai. Halaman yang dimiliki responden memiliki lantai yang kedap air terbuat dari bahan semen, sehingga limbah cair langsung dibuang ke selokan tertutup yang berada di sepanjang jalan pemukiman. Kamar mandi yang dimiliki oleh responden sudah memiliki kriteria yang baik yaitu luas lantai minimal 1,2 m2, dinding kedap air karena terbuat dari batu bata atau tembok, lantai kedap air karena sebagian masyarakat sudah menggunakan keramik, lantai tidak licin, lubang ventilasi cukup atau lebih dari 10% namun ada beberapa yang memiliki lantai kurang bersih yakni banyak tanah dan berlumut, ini disebabkan responden masuk ke kamar mandi menggunakan sandal yang kotor dan jarang membersihkan kamar mandi. 2. Pembuangan limbah cair dari sumber limbah cair Pembuangan limbah tinja dari beberapa responden dibuang ke septic tank pribadi yang dimiliki oleh beberapa responden tersebut, namun sebagian responden langsung membuang limbah tinja ke sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu. Pembuangan limbah cair non kakus dibuang responden melalui SPAL yang dimiliki masing-masing responden dan langsung disalurkan ke selokan tertutup yang berada di bawah jalan umum pemukiman. Keadaaan jalan seluruh pemukiman sudah berlantai semen, sehingga keadaannya sudah kedap air. Di bawah jalan tersebut terdapat dua saluran yaitu SPAL yang menjadi satu dengan selokan, dan saluran

83

satunya lagi adalah untuk excreta. Tiap jarak 2 meter terdapat lubang kecil kurang lebih berdiameter 10 meter untuk mengalirkan air hujan ke dalam selokan. Selokan langsung bermuara ke sungai tanpa pengelolaan terlebih dahulu. Responden yang memiliki lokasi rumah terletak tepat di bantaran sungai menyalurkan SPAL--nya langsung ke sungai. 3. Pengolahan limbah cair Pengolahan limbah cair hanya terjadi pada beberapa limbah tinja yang dibuang ke septic tank. Menurut Notoatmodjo (2003) Septic tank terdiri dari tangki sedimentasi yang kedap air, sebagai tempat tinja dan air buangan masuk dan mengalami dekomposisi. Di dalam tangki ini tinja akan berada selama beberapa hari. Selama waktu tersebut tinja akan mengalami 2 proses yaitu prose kimiawi dan proses biologis. Proses kimiawi yaitu akibat penghancuran tinja akan direduksi dan sebagian besar (6070%) zat-zat padat akan mengendap di dalam tangki sebagai sludge. Zat-zat yang tidak dapat hancur bersama-sama dengan lemak dan busa akan mengapung dan membentuk lapisan yang menutup permukaan air dalam tangki tersebut. lapisan ini disebut scum yang berfungsi mempertahankan suasana anaerob dari cairan di bawahnya, yang memungkinkan bakteribakteri anaerob dapat tumbuh subur, yang akan berfungsi pada proses berikutnya. Dalam proses biologis terjadi dekomposisi melalui aktivitas bakteri anaerob dan fakultatif anaerob yang memakan zat-zat organik dalam sludge dan scum. Hasilnya, selain terbentuknya gas dan zat cair lainnya, adalah juga pengurangan volume sludge, sehingga memungkinkan septic tank tidak cepat penuh. Kemudian cairan enfluent sudah tidak mengandung bagian-bagian tinja dan mempunyai BOD yang relatif rendah. Cairan enfluent ini akhirnya dialirkan keluar melalui pipa dan masuk ke dalam tempat perembesan. Pendapat lain dikemukakan Suriawiria (1996), bahwa salah satu cara pengelolaan tinja manusia adalah dengan penggunaan tanki septik (septic tank) dan resapannya. Dengan cara ini maka buangan yang masuk ke dalam bejana/tangki akan mengendap, terpisah antara benda cair dengan benda padatannya. Benda padatan yang mengendap di dasar tangki dalam keadaan tanpa udara, akan diproses secara anaerobik oleh bakteri sehingga kandungan organik di dalamnya akan terurai. Akibatnya, setelah kurun waktu tertentu, umumnya kalau tangki septik tersebut sudah penuh dan isinya dikeluarkan, maka sisa padatan sudah tidak berbau lagi, seperti halnya kalau kotoran/tinja tersebut dibiarkan di luar tangki septik. Yang tetap menjadi masalah adalah untuk benda cairan setelah padatannya dipisahkan, karena di dalam cairan tersebut masih akan terkandung sejumlah mikroba, yang mungkin masih bersifat patogen (dapat menyebabkan penyakit). Karenanya salah satu cara pemecahan yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan resapan, untuk mengalirkan benda cairan setelah benda padatnya

84

mengendap. Cara resapan yang digunakan adalah dengan membuat lapisan yang terdiri dari batu kerikil di bawah tanah sehingga air yang meresap masih mendapatkan suplai oksigen (aerobik), sehingga mikroba patogen akhirnya akan terbunuh. Keadaan septic tank responden berbeda dengan teori yang ada yaitu seluruh responden memiliki dinding kedap air, dan tidak ada responden yang memiliki pipa yang berfungsi sebagai sirkulasi udara. Seluruh responden juga memiliki tutup septic tank yang kedap air dan memiliki pipa penghubung yang menghubungkan septic tank dengan closet. Seluruh septic tank yang dimiliki warga adalah septic tank permanen sehingga tutup septic tank dibuat permanen yang tidak bisa dibuka lagi. Septic tank responden memiliki lantai yang tidak kedap air yang berfungsi sebagai sumur peresapan. Lantai yang tidak kedap air menjadi pori-pori bagi air untuk merembes kedalam tanah dan dapat beresiko mencemari sumber air tanah. Limbah cair non kakus tidak memiliki pengolahan karena limbah cair non kakus langsung dibuang ke sungai tanpa ada proes pengolahan terlebih dahulu, begitu juga dengan limbah tinja bagi responden yang tidak memiliki septic tank langsung dibuang ke sungai tanpa pengolahan. 4. Pembuangan akhir limbah cair Limbah tinja yang terkelola di dalam septic tank tidak memiliki bak peresapan sehingga proses pengolahan berhenti di dalam septic tank tersebut. Limbah cair non kakus tidak melalui proses pengolahan langsung dibuang ke sungai melalui selokan dan beberapa responden langsung dari SPAL pribadi yang dimiliki masing-masing responden. 5.3.2 Dampak Pengelolaan Limbah Cair yang Tidak Terkelola Menurut Suparmin (2002) air limbah rumah tangga terdiri dari 3 fraksi penting salah satunya adalah tinja dan tinja merupakan fraksi yang paling berbahaya karena di dalamnya mengandung mikroba patogen, karena tinja atau kotoran manusia merupakan media sebagai tempat berkembang dan berinduknya bibit penyakit menular (misal kuman/bakteri, virus dan cacing). Mayoritas responden memiliki jamban, namun hanya sebagian kecil responden yang memiliki septic tank sehingga pembuangan limbah tinja langsung dialirkan ke sungai. Seluruh responden yang memiliki septic tank memiliki jarak kurang dari 10 meter antara septic tank dengan sumber air, alasan dari pendeknya jarak septic tank ini adalah padatnya pemukiman warga dan Septic tank yang dimiliki warga tidak memiliki lubang udara, ini disebabkan septic tank yang dimiliki warga adalah septic tank permanen yang tidak bisa dikuras. Lubang udara berfungsi sebagai saluran udara septic tank. Udara di dalam septic tank memiliki kadar bau yang cukup menyengat, suhu cukup hangat dan memiliki tekanan. Udara

85

yang dihasilkan dari proses degradasi limbah adalah gas metana, CH4, yang memiliki suhu cukup hangat dan sangat bermanfaat bagi lingkungan ketika terlepas ke udara (Rahayu, 2008). Apabila septic tank tersebut tidak memiliki lubang udara atau tersumbat maka udara di dalam septic tank tersebut akan terkurung dan dengan suhu yang cukup hangat lambat laun akan mengeringkan limbah cair yang menempel di pori-pori dinding septic tank. Selain itu, keadaan tersebut akan membunuh bakteri pengurai alamiah, dan tekanan yang ada di dalam septic tank akan membuat limbah cair dan air limbah menjadi tertekan sehingga air limbah akan naik dan mencari lubang untuk menyalurkan dan melepaskan tekanan gas yang ada di dalam septic tank. Hal ini yang menyebabkan kloset menjadi membludak atau ada tekanan balik ketika air di kloset di-flush karena adanya tekanan gas dari proses degradasi limbah oleh bakteri pengurai yang tidak bisa keluar akibat tidak adanya lubang udara (Rahayu, 2008). Keadaan seperti tersebut di atas umumnya terjadi jika pori-pori dinding septic tank telah tertutup dan atau limbah cair tersebut menempel, mengering dan mengeras. Proses limbah cair yang mengering bisa dihambat dengan adanya lubang udara karena selain gas metana dapat cepat terlepas ke udara, suhu dan tekanan di dalam septic tank menjadi lebih rendah dan stabil sehingga limbah cair yang menempel tersebut tetap lunak dan mudah untuk didegradasi yang akhirnya pori-pori dinding septic tank tidak tertutup (Rahayu, 2008). Solusinya adalah dengan membuka lubang udara yang tersumbat atau membuat saluran udara di permukaan atas septic tank tersebut. Septic tank tetap membutuhkan udara yang tersirkulasi dengan baik dan lancar sesuai dengan kondisi ketimbangan alam yang ada di dalam septic tank tersebut. Udara di dalam septic tank yang terlepas akan mendapat suplai udara akibat sirkulasi alamiah. Dengan demikian usia bakteri alamiah semakin lama, keseimbangan alam, tekanan dan suhu lebih stabil sehingga usia septic tank menjadi lebih panjang (Rahayu, 2008). Hal ini tidak bisa diterapkan di pemukiman ini karena septic tank tertutup secara permanen. Lantai dari masing-masing septic tank juga tidak kedap air. Sehingga air dapat meresap melalui pori-pori tanah dan mencemari tanah serta sumber air di sekitar septic tank. Jarak septic tank dari sumber air yaitu sumur kurang dari 10 meter. Menurut Suparmin (2002) jarak minimal bak dan sumber air adalah 10 meter, yaitu jarak maksimal yang tidak dapat ditempuh bakteri patogen, sehingga sebelum mencapai jarak 10 meter bakteri sudah berhenti bergerak. Jarak sumber air yang kurang dari 10 meter dapat diduga terjadinya pencemaran oleh bakteri yang merembes melalui pori-pori tanah. Bakteri akan mencemari air tanah yang menjadikan air tanah mengandung beberapa bakteri patogen. Jika air tanah tersebut dijadikan masyarakat sebagai air minum maka dapat diduga bakteri yang terkandung dalam rembesan air tanah dapat

86

ikut terminum oleh manusia. Air yang tercemar bakteri patogen bisa mengakibatkan berbagai penyakit bagi manusia yang mengkonsumsinya, antara lain Thypus abdominalis, parathypus, Cholera, Dysenteri, Hepatitis A, Poliomyelitis, dan berbagai parasit usus (Rahayu, 2008). Sebagian besar masyarakat yang memiliki jamban namun tidak memiliki septic tank membuang limbah tinja langsung ke sungai tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. jamban yang dimililiki masyarakat sudah memenuhi kriteria jamban yang baik, seperti keseluruhan sudah menggunakan tipe wadah leher angsa, lantai kedap air yakni sebagian besar sudah menggunakan keramik, dinding terbuat dari bahan yang tahan lama yakni menggunakan batu bata atau tembok, tersedia air bersih, lantai tidak licin dan bersih, serta memiliki ventilasi yang cukup. Hanya saja ada beberapa masyarakat yang memiliki kondisi lantai licin dan kotor bahkan berlumut. Ini disebabkan masyarakat jarang mebersihkan kamar mandi. Kriteria jamban yang baik ini tidak ditunjang dengan sarana pembuangan air limbah tinja yang baik pula, hal ini disebabkan sedikit masyarakat yang memiliki septic tank, sehingga pembuangan limbah tinja tetap bermuara di sungai tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Pembuangan limbah tinja ke sungai menggunakan selokan yang terbuat dari pipa paralon, keterangan ini didapat dari pengakuan responden karena kondisi saluran tertutup secara permanen. Sebagian kecil masyarakat yang tidak memiliki jamban, melakukan aktivitas buang air besar di sungai, sungai yang sama digunakan masyarakat sebagai pembuangan limbah rumah tangga baik cair dan padat. Pembuangan air limbah rumah tangga terutama tinja tidak boleh dibuang sembarangan karena dapat mengakibatkan pencemaran bagi lingkungan sekitarnya. Sehingga pada dasarnya pembuangan limbah memiliki tujuan dan pembuangan limbah ke sungai ini sudah tidak memenuhi kriteria dari tujuan pembuangan air limbah. Menurut Entjang (2000) pembuangan limbah cair seharusnya bertujuan untuk perlindungan terhadap ikan yang hidup dalam kolam ataupun di kali, menghilangkan tempat berkembang biaknya bibit-bibit penyakit (cacing dan sebagainya) dan vektor penyebab penyakit (nyamuk, lalat dan sebagainya), serta menghilangkan adanya bau-bauan dan pemandangan yang tidak sedap. Namun pada kenyataannya pembuangan limbah tinja ini dapat membunuh biota-biota yang ada di sungai, dapat membuat tempat berkembangbiaknya bibit penyakit dan bisa menginfeksi manusia yang kontak dengan air sungai tersebut, misalnya responden yang melakukan BAB di sungai, serta dapat menyebabkan bau-bauan yang tidak sedap akibat kandungan amoniak yang terkandung di limbah tinja dan air seni atau yang lebih dikenal dengan istilah excreta. Campuran tinja dan urin disebut excreta, sedangkan campuran excreta dengan air bilasan toilet disebut dengan

87

black water. Mikroba patogen banyak terdapat pada excreta. Excreta ini merupakan cara transport utama bagi penyakit bawaan air (Mulia, 2005). Alerts dan Santika (1987) menyatakan amonia dalam air permukaan berasal dari air seni, tinja dan oksidasi zat organik secara mikrobiologis yang berasal dari buangan pemukiman penduduk. Pendapat ini didukung oleh Kumar De (1997) yang menyatakan bahwa limbah domestik mengandung amonia. Amonia tersebut berasal dari pembusukan protein tanaman/hewan dan kotoran. Jika amonia diubah menjadi nitrat maka akan terdapat nitrit dalam air. Hal ini terjadi jika air tidak mengalir, khususnya di bagian dasar. Nitrit amat beracun di dalam air, tetapi tidak bertahan lama. Kandungan nitrogen di dalam air sebaiknya di bawah 0,3 ppm. Kandungan nitrogen di atas jumlah tersebut mengakibatkan ganggang tumbuh dengan subur. Jika kandungan nitrat di dalam air mencapai 45 ppm maka berbahaya untuk diminum. Nitrat tersebut akan berubah menjadi nitrit di perut. Keracunan nitrit akan mengakibatkan wajah membiru dan kematian. Hal ini deperparah dengann keadaan masyarakat yang menggunakan sumur sebagai sumber air mencuci, masak, bahkan minum. Ada beberapa alternatif pengelolaan excreta yaitu on-site, off-site, atau community onsite. Pada pengelolaan on-site, excreta ditampung dan diolah pada jamban yang berada di sekitar rumah. Pada pengelolaan off-site, excreta dialirkan ke tempat pengolahan untuk mengalami pengolahan selanjutnya. Sedangkan pada community on-site, pengelolaan dilakukan pada sekelompok komunitas secara kolektif. Namun ketiga jenis pengelolaan tersebut sulit dilakukan di daerah pemukiman padat. Hal ini disebabkan minimnya lahan kosong di daerah tersebut, dan padatnya kepemilikan sumur oleh responden sehingga pembuatan septic tank dapat berpotensi mencemari sumur responden. Alasan klasik yang lain yang diakui responden adalah keterbatasan biaya. Sama halnya dengan pengelolaan limbah tinja, pengelolaan limbah cair non kakus responden juga tidak memiliki pengolahan. Air limbah yang berasal dari SPAL responden termasuk ke dalam golongan grey water yaitu limbah rumah tangga non kakus seperti buangan yang berasal dari kamar mandi, dapur yang mengandung sisa makanan dan tempat cuci. Saat ini grey water hampir dari semua kompleks perumahan di Indonesia dibuang langsung ke selokan tanpa diolah terlebih dahulu, dan selokan yang dimiliki pemukiman ini langsung dibuang ke sungai. Grey water mengandung zat pencemar antara lain Unsur N (Amonium, Nitrat, Nitrit, Organik N), Unsur P (Phospat), BOD (Biological Oxygen Demand), Zat Organik Detergen, dsb. Kadar zat pencemar tersebut tinggi, sehingga dengan proses dekomposisi timbul bau tidak sedap ke lingkungan, juga bisa mencemari air tanah disekitarnya (Hidayat, 2007).

88

Beberapa bahan tambahan pada detergen, seperti Linear Alkaly benzene Sulfonate (LAS), surfaktan, Chlorin dan golongan amonium kuartener bisa menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan. Hal ini beresiko bagi masyarakat yang melakukan aktivitas mencuci dan mandi di sungai. Golongan ammonium kuartener bisa membentuk senyawa nitrosamin yang bersifat karsinogenik, iritasi pada kulit, memperlambat proses penyembuhan dan katarak pada orang dewasa. Contoh lain adalah kandungan phospat pada detergen yang bisa menimbulkan eutrofikasi, atau ledakan alga diperairan. Contoh sederhana, busa yang ditimbulkan bisa menghambat kontak oksigen di udara dengan air, akibatnya oksigen terlarut turun dan matinya organisme perairan (Dhave, 2011). Dampak lain yang dapat terjadi adalah masuknya bakteri patogen yang disebabkan oleh pembuangan limbah tinja ke sungai ke dalam tubuh manusia melalui kulit dan mulut, bakteri ini dapat menginfeksi tubuh manusia dan menyerang sistem pencernaan. Penyakit yang dapat menginfeksi manusia tersebut antara lain Thypus abdominalis, parathypus, Cholera, Dysenteri, Hepatitis A, Poliomyelitis, dan berbagai parasit usus (Rahayu, 2008). 5.3.3 Solusi Solusi yang mungkin dapat dilakukan oleh masyarakat adalah pembuatan SPAL dan septic tank komunal. Namun solusi ini membutuhkan kesepakatan dari semua warga karena pembuatan fasilitas ini sangat mahal. Masyarakat dapat melakukan musyawarah terlebih dahulu hingga mencapai keputusan mufakat apakah pembangunan ini dapat dilakukan. Solusi lain yang juga menguntungkan masyarakat adalah pembuatan biogas dari limbah tinja, namun masih membutuhkan biaya. Jika solusi ini dapat diterapkan, masyarakat pada akhirnya dapat menerima keuntungan sendiri dari hasil biogas ini.

Anda mungkin juga menyukai