Anda di halaman 1dari 44

BAB 1. PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Dari sekian banyak macam rodentia yang dikenal, maka yang terpenting dari sudut kesehatan lingkungan ialah tikus, karena binatang mengerat jenis ini, senang bersarang dengan membuat terowongan di daerah permukiaman manusia. Dengan demikian kemungkinana pindahnya penyakit yang dibawa tikus kepada manusia cukup besar, baik karena gigitan yang dilakukan ataupun melalui gigitan vektor yang kebetulan menempel pada tubuh binatang tersebut (Aswar, 1979). Tikus dan mencit adalah hewan mengerat (rondensia) yang lebih dikenal sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang digudang dan hewan penggangu yang menjijikan di perumahan. Belum banyak diketahui dan disadari bahwa kelompok hewan ini juga membawa, menyebarkan dan menularkan berbagai penyakit kepada manusia, ternak dan hewan peliharaan. Rodensia komensal yaitu rodensia yang hidup didekat tempat hidup atau kegiatan manusia ini perlu lebih diperhatikan dalam penularan penyakit. Penyakit yang ditularkan dapat disebabkan oleh infeksi berbagai agen penyakit dari kelompok virus, rickettsia, bakteri, protozoa dan cacing.Penyakit tersebut dapat ditularkan kepada manusia secara langsung oleh ludah, urin dan fesesnya atau melalui gigitan ektoparasitnya (kutu, pinjal, caplak dan tungau) (Depkes, tanpa tahun). 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam praktikum ini adalah bagaimanakah cara mengidentifikasi rodent dan mengawetkan tikus ? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mahasiswa mampu Mengetahui cara mengidentifikasi rodent dan mengawetkan tikus.

1.3.2

Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui alat dan bahan serta prosedur dalam pembuatan media pengawetan tikus. b. Untuk mengidentifikasi tikus yang sudah diawetkan c. Untuk mengetahui perbedaan habitat dan morfologi masing-masing spesies tikus. 1.4 Manfaat Praktikum mampu membuat media pengawetan tikus dan

1. Mahasiswa

mempraktikkannya. 2. Mahasiswa mampu mengidentifikasi berbagai jenis tikus yang sudah diawetkan.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tikus Tikus merupakan hewan menyusui (kelas mamalia) yang mememiliki peranan penting dalam kehidupan manusia, baik yang bersifat menguntungkan maupun merugikan. Sifat menguntungkan terutama dalam hal penggunaannya sebagai hewan percobaan. Sifat merugikan yaitu dalam hal posisinya sebagai hama pada kmoditas pertanian, hewan penganggu rumah dan gudang, serta penyebar dan penular (vektor) dari berbagai penyakit manusia. (Swastika, 2003) 2.1.1 Klasifikasi Para zoologi (ilmu hewan) sepakat untuk menggolongkan tikus ke dalam ordo Rodentia (hewan yang mengerat) subordo Myomorpha, famili Muridae, dan sub famili Murinae. Untuk lebih jelasnya, tikus dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Dunia Filum Sub Filum Kelas Subklas Ordo Sub ordo Famili Sub famili Genus : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mammalia : Theria : Rodentia : Myomorpha : Muridae : Murinae : Bandicota, Rattus, dan Mus

Ordo Rodentia merupakan ordo yang terbesar dari Kelas Mammalia karena memiliki jumlah spesies yang terbanyak yaitu 2.000 spesies atau 40% dari 5.000 spesies untuk seluruh kelas Mammalia. Dari 2.000 spesies Rodentia ini, hanya kurang lebih 160 spesies tikus yang ada di Indonesia dan

hanya 9 spesies paling berperan pada sebagai hama tanaman, permukiman, dan vector pathogen pada manusia. Kesembilan spesies itu adalah (Swastika, 2003) : a. Bandicota indica (wirok besar) b. Bandicota bengalensis (wirok kecil) c. Rattus novergicus (tikus riul) d. Rattus rattus diardi (tikus rumah) e. Rattus tiomanicus (tikus pohon) f. Rattus argentiventer (tikus sawah) g. Rattus exulans (tikus ladang) h. Mus musculus (mencit rumah) i. Mus caroli (mencit ladang) 1. Biologi Anggota Muridae ini dominan disebagian kawasan didunia. Potensi reproduksi tikus dan mencit sangat tinggi dan ciri yang menarik adalah gigi serinya beradaptasi untuk mengerat (mengerat + menggigit benda-benda yang keras). Gigi seri ini terdapat pada rahang atas dan bawah, masing-masing sepasang. Gigi seri ini secara tepat akan tumbuh memanjang sehingga merupakan alat potong yang sangat efektif. Tidak mempunyai taring dan graham (premolar). Karakteristik lainnya adalah cara berjalannya dan perilaku hidupnya. Semua rodensia komensal berjalan dengan telapak kakinya. Beberapa jenis Rodensia adalah Rattus norvegicus, Rattus rattus diardi, Mus musculus yang perbandingan bentuk tubuhnya. Rattus norvegicus (tikus got) berperilaku menggali lubang ditanah dan hidup dilibang tersebut. Sebaliknya Rattus rattus diardii (tikus rumah) tidak tinggal ditanah tetapi disemak-semak dan atau diatap bangunan. Bantalan telapak kaki jenis tikus ini disesuaikan untuk kekuatan menarik dan memegang yang sangat baik. Hal ini karena pada bantalan telapak kaki terdapat guratan-guratan beralur, sedang pada rodensia penggali bantalan telapak kakinya halus Mus musculus (mencit) selalu berada di dalam bangunan, sarangnya bisa ditemui di dalam dinding, lapisan atap (eternit), kotak. penyimpanan atau laci. (Depkes)

Kebiasaan dan habitat. Habitat dan kebiasaan jenis tikus yang dekat hubungannya dengan manusia adalah sebagai berikut : a. R. norvegicus Menggali lubang, berenang dan menyelam, menggigit benda-benda keras seperti kayu bangunan, aluminium dan sebagainya. Hidup dalam rumah, toko makanan dan gudang, diluar rumah, gudang bawah tanah, dok dan saluran dalam tanah/roil atau got. b. R. ratus diardii Sangat pandai memanjat, biasanya disebut sebagai pemanjat yang ulung, menggigit benda-benda yang keras. Hidup di lubang pohon, tanaman yang menjalar. Hidup dalam rumah tergantung pada cuaca. c. Rattus argentiventer Habitat tikus ini umumnya di permukaan tanah, persawahan, padang rumput, perkebunan dan semak belukar. Pemukiman, gudang maupun areal sekitar persawahan yang cukup pakannya merupakan tempat hidupnya. (Depkes)

Kemampuan alat indera dan fisik Rodensia termasuk binatang nokturnal, keluar sarangnya dan aktif pada malam hari untuk mencari makan. Untuk itu diperlukan suatu kemampuan (Depkes) a. Kemampuan alat indera Rodensia mempunyai daya cium yang tajam, sebelum aktif/keluar dari sarangnya ia akan mencium-cium dengan menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan. Mengeluarkan jejak bau selama orientasi sekitar sarangnya sebelum meninggalkannya. Urin dan sekresi genital yang 1) Mencium yang khusus agar bebas mencari makanan dan menyelamatkan diri dari predator (pemangsa) pada suasana gelap.

memberikan jejak bau yang selanjutnya akan dideteksi dan diikuti oleh tikus lainnya. Bau penting untuk Rodensia karena dari bau ini dapat membedakan antara tikus sefamili atau tikus asing. Bau juga memberikan tanda akan bahaya yang telah dialami. (Depkes) 2) Menyentuh Rasa menyentuh sangat berkembang dikalangan rodensia komensal, Indra ini untuk membantu pergerakannya sepanjang jejak di malam hari. Sentuhan badan dan kibasan ekor akan tetap digunakan selama menjelajah, kontak dengan lantai, dinding dan benda lain yang dekat sangat membantu dalam orientasi dan kewaspadaan binatang ini terhadap ada atau tidaknya rintangan didepannya. (Depkes) 3) Mendengar. Rodensia (Depkes) 4) Melihat. Mata tikus khusus untuk melihat pada malam hari, Tikus dapat mendeteksi gerakan pada jarak lebih dari 10 meter dan dapat membedakan antara pola benda yang sederhana dengan obyek yang ukurannya berbeda-beda. Mampu melakukan persepsi/perkiraan pada jarak lebih 1 meter, perkiraan yang tepat ini sebagai usaha untuk meloncat bila diperlukan. 5) Mengecap. Rasa mengecap pada tikus berkembang sangat baik. Tikus dan mencit dapat mendeteksi dan menolak air minum yang mengandung phenylthiocarbamide 3 ppm, pahit dan senyawa racun. b. Kemampuan fisik. R. norvegicus adalah binatang penggali lubang. Lubang digali untuk tempat perlindungan dan sarangnya. Kemampuan menggali dapat mencapai 2-3 meter tanpa kesulitan. 1) Menggali sangat sensitif terhadap suara yang mendadak. Disamping itu, rondesia dapat mendengar dan mengirim suara ultra.

2) Memanjat R. komensal adalah pemanjat yang ulung. Tikus atap atau tikus rumah yang bentuk tubuhnya lebih kecil dan langsing lebih beradaptasi untuk memanjat dibandingkan dengan tikus riol/got. Namun demikian, kedua spesies tersebut dapat memanjat kayu dan bangunan yang permukaannya kasar. Tikus got dapat memanjat pipa baik di dalam maupun di luar. 3) Meloncat dan melompat. R.norvegicus dewasa dapat meloncat 77 cm lebih (vertikal). Dari keadaan berhenti tikus got dapat melompat sejauh 1,2 meter. M. musculus meloncat arah vertikal setinggi 25 cm. 4) Menggerogoti. Tikus menggerogoti bahan bangunan, kayu, lembaran almunium maupun campuran pasir, kapur dan semen yang mutunya rendah. 5) Berenang dan menyelam. Baik R. norvegicus, R. rattus dan M. musculus adalah perenang yang baik. Tikus yang disebut pertama adalah perenang dan penyelam yang ulung, Perilaku yang semi akuatik, hidup di saluran air bawah tanah, sungai, dan areal lain yang basah.

2.1.2

Morfologi Morfologi tikus digunakan untuk identifikasi jenis-jenis tikus secara kaulitatif dan kuantitatif.

Tabel 2.1 Perbedaan morfologi kualitatif Rattus norvegicus, Rattus argentiventer, dan Rattus rattus diardii Morfologi R.norvegicus R.rattus diardii R. argentiventer kualitatif Tekstur Kasar dan agak panjang Agak kasar Agak kasar rambut Bentuk hidung Kerucut terpotong Kerucut kerucut Bentuk badan Silindris, membesar ke silindris silindris belakang Warna badan Coklat hitam kelabu Coklat hitam Coklat kelabu bagian kelabu kehitaman pungung Warna badan Coklat kelabu pucat Coklat hitam Kelabu pucat bagian perut kelabu Warna ekor Coklat hitam Coklat hitam Coklat hitam habitat Gudang,selokan, rumah Rumah, gudang Sawah Sumber : Priyambodo, 1995

Tabel 2.2 Perbedaan morfologi kuantitatif Rattus norvegicus, Rattus argentiventer, dan Rattus rattus diardii Morfologi R.norvegicus R.rattus diardii R. argentiventer kuantitatif Bobot tubuh Panjang kepala+badan Panjang ekor Panjang total Lebar daun telinga 150 - 600 gram 150 - 250 mm 160 - 210 mm 310 - 460 mm 18 - 24 mm 60 - 300 gram 100 - 210 mm 120 - 250 mm 220 - 460 mm 19 23 mm 70 300 gram 130 - 210 mm 110 160 mm 240 - 370 mm 19 22 mm

Morfologi kuantitatif Panjang

R.norvegicus telapak 40 - 47 mm

R.rattus diardii 30 37 mm

R. argentiventer 32 39 mm

belakang Lebar gigi 3,3 mm Jumlah puting 6 (3+3) Sumber : Priyambodo, 1995

3 mm 5 ( 2+3)

3 mm 6 (3+3)

Gambar 1. Perbedaan Morfologi Tikus

Gambar 2. Tikus got

Gambar 3. Tikus Sawah

Gambar 4. Tikus rumah 2.2 Perilaku Makan Dalam proses mengenali dan mengambil pakan atau yang disediakan manusia, tikus dan mencit tidak langsung memakan semuanya, tetapi mencicipi terlebih dahulu sebagian pakan untuk melihat reaksi yang terjadi di dalam tubuhnya. Ika setelah beberaa saat tidak ada reaksi yang membahyakan bagi dirinya, maka tikus akan memakan dalam jumlah yang lebih banyak , demikian seterusnya samaai pakan tersebut habis. Dengan adanya perilaku pencicipan makanan ini, maka pengelolaan tikus secar kimiawi dengan menggunakan umpan beracun dari golongan racun akut (bekera dengan cepat) perlu diberikan umpan pedahuluan (pre baiting) yaiut umpan yang tidak mengandung racun. Hal ini bertujuan untuk mengundang dan

10

membiasakan tikus dengan umpan yang diberikan sehingga pada saat diberi umpan yang mengandung racun (akut) tikus tersebut mau makan dalam jumlah yang cukup sampai pada dosis mematikan (lethal dose). Umpan pendahuluan ini tidak perlu diberikan jenis racun yang digunakan adalah dari golongan racun kronis atau antikoagulan yang bekerja dengan lambat. Sifat tikus yang mudah curiga atau berhati-hati terhadap setiap benda yang baru ditemuinya, termasuk pakan, disebut dengan neofibia. Adapun sifat tikus yang enggan memakan umpan beracun yang diberikan karena tidak didahului dengan umpan pendahuluan disebut dengan jera umpan (bait-shyness) atau jera racun (poison-shyness). Selain itu tikus memiliki sifat menyimpan/ menimbun pakan dan bahan lain di dalam sarangnya. Anak tikus mulai mengenal berbagai rasa pakan dari rasa susu induknya dan bau atau rasa sisa pakan dari wajah dan tubuh induknya. Setelah disapih, tikus muda akan mengikuti tikus yang lebih tua untuk belajar mengenal jenis pakan yang dapat diterima, sekaligus mengenal jenis pakan yang membahayakan dirinya. Aktifitas tikus dalam mencari makan memiliki dua puncak, yaitu sekitar 1-2 jam setelah matahari terbenam dan sekitar 1-2 jam sebelum terbit fajar. Hal itu berhubungan dengan bentuk pertahanan diri arena sebagian besar musuh alami tikus (utamanya manusia) aktif di siang hari. Meskipun demikian, aktifitas ini dapat bergeser tergantung dari puncak ketersediaan pakan. Misalnya di kandang kuda, tikus aktif makan pada jam 3-5 sore berkaitan dengan ketersediaan kotoran kuda (Singgih, 2006). 2.3 Perilaku Sosial Perilaku sosial tikus mencakup teritorial (wilayah kekuasaan) dan hierarki. Tikus jantan mempunyai kedudukan yang tinggi pada keadaankepadatan populasi rendah sampai sedang, baik dalam mempertahankan sarang, jalur jalan, dan tikus betina ayng hidup bersama dengannya. Pada saat populasi meningkat, kompetisi sosial memaksa tikus jantanlainnya berkendudukan lebih rendah untuk segera keluar dari populasi tersebut. Dengan demikian, tikus jantan tersebut mencari areal baru dan bersama-sama dengan tikus betinamembentuk populasi baru.

11

Tikus betina yang sedang bunting tua atau sedangg menyusui mempunyai perilaku yang sama dalam mempertahankan sarang. Perilaku tikus di dalam mempertahankan wilayah kekuasaannya menghasilkan penyebaran populasinya sehingga pemanfaatan ruang lingkup dan sumberdaya menjadi lebih ektif dan efesien. (Priambodo, 2003) 2.4 Reproduksi Tikus merupakan hewan yang mempunyai kemampuan reproduksi yang sangat tinggi, terutama bila dibandingkan dengan hewan menyusui lainnya. Hal ini ditunjang oleh beberapa factor sebagai berikut (Singgih, 2006) : 1. 2. 3. 4. 5. Matang seksual yang cepat yaitu antara 2-3 bulan. Masa bunting yang singkat yaitu antara 21-23 hari. Masa menyusui yang singkat yaitu selama 28 hari. Terjadi post partum oestrus yaitu timbulnya birahi kembali segera Dapat melahirkan anak sepanjang tahun tanpa mengenal musim

(24-48 jam) setelah melahirkan. yang dikenal sebagai hewan poliesterus selama setahun seekor induk tikus mampu melahirkan 3-6 dan maksimal 12 kali. 6. Melahirkan keturunan dalam jumlah yang banyak yaitu berkisar 2 sampai 6 ekor. Kelahiran anak dalam jumlah besar dan dengan dalam frekuensi yang tinggi ini ditunjang oleh kondisi iklim dan cuaca yang optimal (utamanya suhu), pakan yang melimpah, sarang atau tempat tinggal yang memadai (baik), umur dan kondisi induk yang optimal. Dengan ciri-ciri reroduksi tersebut diatas, maka tikus mempunyai potensi untuk meningkatkan populasinya dengan cepat atau mengembalikan tingkat populasinya ke keadaan semula segera setelah jumlahnya menurun akibat pengelolaan (peracunan, perburuan, atau penangkapan) oleh manusia. Pola reproduksi ini akan menunjukkan perbedaan dari tahun ke tahun, walupun pada populasi yang sama. Hal ini sangat bergantung pada keadaan iklim dan cuaca,

12

keadaan alam, musuh alami, jumlah pakan dan sarang termasuk tindakan manusia. (Priambodo, 2003)

Gambar 5. Siklus hidup tikus Tikus jantan dewasa biasanya selalu dalam kondisi siap kawin setiap saat sepanjang tahun (di Negara tropis), meskipun testisnya bias dimasukkan ke dalam rongga perut dalam musim dingin (di Negara subtropis ). Pada musim dingin, tikus jantan dewasa biasanya dalam keadaan tidak subur. Namun pada cuaca yang sangat dinginpun, perkawinan pada tikus masih dapat terjadi walaupun masih diragukan apakah keturunannya dapat lahir dengan selamat atau tidak, kecuali anak-anak tikus tersebut dilahirkan dalam rumah. Dalam memelihara anak-anak didalam awal kehidupannya, tikus betina biasanya membuat sarang di semak-semak, di tajuk pohon, di dalam tanah, atau di dalam rumah yang keadaannya tidak teratur (berantakan). Anak-anak tikus ini disusui oleh induknya sampai umur 4 minggu (disapih). Rerata lama hidup ekologi tikus adalah satu tahun, sementara lama hidup fisiologis sampai mencapai 3 tahun. Lama hidup ekologis adalah kenyataan yang terjadi dilapang dengan kematian yang terjadi karena pengaruh factor luar tubuh tikus seperti predator, pathogen, kanibalisme, perangkap, dan peracunan oleh manusia. Sementara lama hidup fisiologis adalah keadaan tikus mati karena usia

13

tua denga pengaruh faktor dari dalam tubuh itu sendiri yaitu berkurangnya fungsi sel, jaringan dan organ (Priambodo, 2003).

2.5 Pergerakan Aktivitas harian tikus secara teratur bertujuan untuk mencari pakan, mencari pasangan, dan orientasi wawasan. Jarak yang ditempuh relative sama setiap hari dan disebut dengan daya jelajah harian. Selama orientasi kawasan, tikus akan lebih mengenali situasi lingkungan terutama pakan yang disukai, sumber air, dan juga tempat perlindungan untuk menyelamatkan diri. Sifat ingin tahu dari tikus terhadap lingkungan sekitar menjadikan tikus dapat mengenali benda-benda yang menetap dan yang baru (asing) dikenalinya, termasuk disini adalah umpan beracun dan perangkap yang dipasang oleh manusia. Sebagai mamalia yang berukuran kecil, ruang gerak tikus tidak terlalu luas. Hal ini terjadi bila sumber pakan disekitar di tempat tinggalnya cukup memadai. Pada saat cukup pakan, akrivitas harian tikus hanya berada pada kisaran 6-30 meter (sekitar 6 meter untuk mecit). Hal ini juga tergantung pada musim, jenis kelamin, dan jarak sarang dan sumber makanannya. Bila pakan di lapang sudah tidak mencukupi, maka akan terjadi Perpindahan atau migrasi yang dapat mencapai jarak 300 meter atau bahkan lebih. Berdasarkan pertimbangan daya jelajah tikus, maka dapat diperkirakan jumlah tempat umpan yang dibutuhkan untuk satuan luas tertentu dan jarak antar satu tempat umpan dengan tempat umpan yang lainnya. Hal ini dimaksudkan agar pengumpanan yang dilakukan dapat lebih efektif dan efisien (Priambodo, 2003). 2.6 Tanda Kehadiran Tikus Ada beberapa tanda yang dapat diguanakan untuk mengetahui kehadiran tikus antara lain sebagai berikut : a. Feses atau kotoran Bentuk dan ukuran feses dapat digunakan untuk menentukan spesies tikus. Feses dari R. Norvegicus berbentuk gelendong dan biasanya bergerombol.

14

Feses R. Rattus berukuran lebih kecil daripada fese R. Norvegicus , bnetuknay lebih mirip sosis dan letaknya agak terpencar. Keadaan feses apakah masih basah atau sudah kering dapat digunakn untuk mencirikan apakah tikus tersebut masih berada di sekitar tempat tersebut atau tidak. Feses banyak ditemukan pada titik dimana aktivitas tikus sangat tinggi. Misalnya pada runway utama, sudut ruangan, dekat sarang dan sumber makanan (Priambodo, 2003). b. Noda dan bau urin Tikus mengeluarkan bau yang sangat khas, yaitu berupa bau urin dan fesesnya. Hal ini dapat diketahui jika tikus tersebut sudah lama menghuni suatu tempat atau bangunan. Dengan demikian, kehadiran tikus melalui bau tidak dapat dideteksi jika keberadaan tikus masih baru. Urin banyak terdapat pada ranway tikus dan juga pusat aktivitas. Bau tikus merupakan akumulasi dari bau urin dan kelenjar tubuh lainnya. Biasanya tikus membuang urin sambil bergerak, sehingga terdapat garis-garis atau titik-titik urin. Tanpa cahaya hitam, spot urin sudah terlihat dengan jelas. Cahaya ultraviolet dengan cahaya putih dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan urin tikus, yaitu menampakkan warna kuning pada karung goni, warna biru putih pada kantung kertas (Priambodo, 2003).. c. Kerusakan hasil keratan Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus biasanya berhubungan dengan pertumbuhan gigi seri yang terus-menerus sepanjang 0,3-0,4 mm/hari, sehingga perlu dikurangi. Selain itu, tikus perlu mengerat untuk mencari pakan yang tersembunyi di dalam kardus, kotak, atau tempat-tempat penyimpanan lainnya. Berbagai bahan/benda dapat dikerat oleh tikus, yaitu aluminum, mortar, plastik, timah, kabel listrik, kayu, karton, dan kertas. Kerusakan pada bendabenda atau produk tanaman dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies tikus yang menyerangnya. Untuk tikus got pada gejala serangan terdapat bekas keratan gigi serinya selebar 3,5-4 mm, sedangkan untuk mencit rumah hanya

15

selebar 1-2 mm saja. Serangan oleh tikus rumah menunjukkan bekas keratan yang berada diantara keduanya (Priambodo, 2003).. d. Tanda/noda olesan dan ranway Sesuai dengan perilaku tikus yang selalu berjalan pada jalur jalan yang tetap (runway) maka pada jalur jalan tersebut tampak bekas sentuhan badan tikus dengan dinding atau benda-benda yang dilaluinya berupa bercak kotor. Selain itu, tikus juga menimbulkan jejak kaki (foot print) dan jejak ekor (tail print) di lantai, dinding, atau di tempat yang berdebu di dalam rumah atau pada tanah becek (berlumpur) di luar rumah. Ukuran dan bentuk rupa jejak kaki tikus juga dapat dimanfaatkan untuk identifikasi spesies tikus. Utamanya jejak tungkai belakang dimana beban tubuh lebih bertumpu. Dalam keadaan tertentu perlu ditambah alas jejak (berupa triplek, seng, atau karton) yang diberi debu, bedak, tepung, kapur, atau tinta untuk memudahkan menandai jejak kaki, ekor, dan badan tikus. e. Sarang Sarang tikus baik pada benda buatan manusia atau yang alami merupakan pertanda dari kemapanan suatu populasi tikus. Jika pada pintu masuk sarang tersebut ditutupi oleh jarring laba-laba atau reruntuhan puing-puing, maka dapat dipastikan bahwa sarang tersebut sudah ditinggalkan oleh tikus atau sudah tidak digunakan lagi. Untuk mendeteksi sarang tikus apakah masih dihuni atau tidak dapat dilakukan dengan cara menutup semua pintu sarang tersebut dengan gundukan tanah atau benda lain yang ada disana. Kemudian keesokan harinya diamati apakah gundukan tanah tersebut sudah berlubang yang artinya sarang itu masih digunakan oleh tikus adalah jika tikus tersebut bersarang di dalam sumber makanannya. Kehadiran tikus di tempat tersebut biasanya susah untuk dideteksi. f. Tikus hidup atau mati dan suara tikus Untuk dapat melihat tikus hidup yang aktif pada siang hari merupakan hal yang sulit dilakukan karena tikus adalah hewan yang aktif pada malam hari (nokturnal). Namun, jika populasi sudah sangat tinggi, maka pada siang hari

16

pun dapat dijumpai tikus yang aktif mencari makan. Satu ekor tikus yang terlihat di siang hari menandakan ada lebih dari 10 ekor tikus lain bersembunyi di sekitarnya. Jika melihat tikus yang sudah mati perlu diperhatikan apakah bangkainya masih segar atau sudah kering (kaku). Bangkai tikus yang masih segar mencirikan bahwa investasi tikus masih ada, sedangkan bangkai tikus yang sudah kering mencirikan keadaan sebaliknya(Priambodo, 2003). 2.7 Biologi dan pencirian ektoparasit Ektoparasit yang ditemukan menginfestasi rodensia terdiri dari pinjal, kutu, caplak dan tungau. 1. Pinjal Pinjal adalah serangga dari ordo Siphonaptera berukuran kecil (antara 1,5 4 mm), berbentuk pipih dibagian samping (dorso lateral). Kepala-dada-perut terpisah secara jelas. Pinjal tidak bersayap, berkaki panjang terutama kaki belakang, bergerak aktif di antara rambut inang dan dapat meloncat. Serangga ini berwarna coklat muda atau tua, ditemukan hampir di seluruh tubuh inang yang ditumbuhi rambut. Pinjal dewasa bersifat parasitik sedang predewasnya hidup di sarang, tempat berlindung atau tempat-tempat yang sering dikunjungi tikus ( Gambar a ). 2. Kutu Kutu adalah serangga dari ordo Anoplura yang selama hidupnya menempel pada rambut inang Tubuh kutu terbagi 3 bagian yaitu kepala-dadaperut berukuran 0,5 mm 1 mm. Kutu pipih dibagian perut (dorso ventral) dan kepala lebih sempit daripada dada, tidak bersayap dan di ujung kaki kakinya terdapat kuku besar untuk bergantung pada rambut inang bergerak lambat, berwarna putih dan umum ditemukan menempel pada rambut punggung dan perut ( Gambar b). 3. Caplak Caplak adalah sejenis kutu hewan yang termasuk ke dalam kelompok labalaba (Arachnida). Caplak dibedakan dari serangga (insekta) karena

17

kepaladada- perut bersatu menjadi suatu bentuk yang terlihat sebagai badannya (Gambar c). Caplak dibedakan atas keluarga (familia) yaitu Argasidae (caplak lunak) dan Ixodidae (caplak keras). Pada caplak keras dibagian depan (anterior) terlihat ada semacam kepala yang sebenarnya adalah bagian dari mulutnya/capitulum, sedangkan pada caplak lunak bagian mulutnya tidak terlihat dari arah punggung (dorsal). 4. Tungau Tungau adalah Arthropoda yang telah mengalami modifikasi pada anatominya. Kepala-dada-perut bersatu. Ukuran badan 0,5mm-2mm, termasuk ordo Acariformes, familia Trombiculidae. Tungau aktif bergerak dan berwarna putih kekuningan atau kecoklatan. Banyak ditemukan di seluruh tubuh tikus terutama di badan bagian atas dan bawah. Larva tungau berukuran tidak lebih dari 0,5mm, berkaki tiga pasang, bergerak pasif, menempel berkelompok di bagian dalam daun telinga atau pangkal ekor rodensia. Larva tungau trombikulid bersifat parasitik sedang tungau dewasa hidup bebas ( Gambar d ).

Gambar 6. a. pinjal, b. kutu, c. caplak, d. tungau

2.8 Penyakit Yang Disebabkan Tikus Penyakit yang ditularkan oleh tikus atau hewan lainnya ke manusia dan sebaliknya secara umum dikenal sebagai zoonosis. Beberapa penyakit yang dapat ditularkan oleh tikus adalah sebagai berikut : 1. Pes (plague) pes memiliki nama lain plague, sampar, dan la peste. Pes merupakan salah satu penyakit zoonosis pada rodensia yang ditularkan kepada manusia, dan merupakan penyakit menular yang dapat menyebabkan terjadinya wabah. Hal ini

18

terdapat dalam UUNo. 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit, dan pes juga termasuk karantina internasional karena penyebarannya yang sangat cepat dan luas. (Widoyono, 2008) Masa inkubasi penyakit pes berkisar 2-6 hari (tipe bubo) dan 1-72 (tipe paru). Penyakit pes dapat ditularkan melalui car-cara berikut ini . (Widoyono, 2008). Tikus liar (wild rodent) yang terinfeksi digigit oleh pinjal, selanjutnya pinjal mengigit manusia yang sedang berada di hutan. Tikus liar menigigit langsung manusia (pekerja di hutan). Tikus rumah yang darahnya infektif digigit oleh pinjal yang kemudian mengigit manusia ( metode ini adalah penularan yang paling sering). Tikus liar yang infektif digigit oleh pinjal.pinjal kemudian mengigit tikus rumah yang selanjutnya oelh pinjal ditularkan kepada manusia. Manusia yang terinfeksi digigit oleh pinjal yang ad pada manusia, selanjutnyya pinjal tersebut mengigit manusia lainnya. Penularan dari manusia ke manusia terjadi melalui droplet

Sumber :Priyambodo, 1995 Gambar 7. Penyebaran penyakit pes dari tikus ke manusia dan sebaliknya.

19

Gejala dan tanda dari penyakit pes yaitu terdapat demam tanpa sebab yang jelas, dan demam bisa tinggi. Terdapat bubo pada inguinal, femoral, dan ketiak. Gejala penyakit dapat didominasi oleh sesak dan batuk. (Widoyono, 2008). 2. Salmonellosis Salmonellisis secara umum merupakan penyakit pada manusia atau hewan yang disebabkan oleh bakteri dari genus Salmonella yang biasa meracuni makanan. Bakteri salmonella dengan ratusan serotype dapat menginfeksi hewan peliharaan, hewan ternak dan hewan liar (termasuk rodent). Tikus yang terinfeksi oleh bakteri S. typhimurium atau S. enteriditis dapat menyebabkan kematian. Bakteri Salmonella yang diharapkan menjadi agen biologi pengendali tikus, belum memberikan hasil yang memuaskan karena bakteri tersebut juga sangat berbahaya bagi manusia dan hewan lainnya. Gejala yang timbul pada manusia akibat infeksi bakteri ini adalah sakit perut, gastroenteritis (sakit perut) akut, diare, rasa mual, muntah dan demam yang diikuti dengan dehidrasi. Penyebaran penyakit ini dari tikus ke manusia terutama akibat kontaminasi dari feses dan urine tikus pada makanan atau minuman yang dikonsumsi oleh manusia. Gejala yang timbul pada manusia akibat infeksi bakteri ini adalah sakit perut, gastroenteritis (sakit perut) akut, diare, rasa mual, muntah dan demam yang diikuti dengan dehidrasi. Penyebaran penyakit ini dari tikus ke manusia terutama akibat kontaminasi dari feses dan urine tikus pada makanan atau minuman yang dikonsumsi oleh manusia. (Priambodo, 2003). 3. Leptospirosis Leptospirosis adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri leptospira.penyakit ini disebut weil disease, Canicola fever, hemorrhagic jaundice, Mud fever, atau Swineherd disease. Leptospira dapat menyerang semua jenis mamalia seperti tikus, anjing, kucing, landak, sapi, burung, dan ikan. Hewan terinfeksi dapat tanpa gejala smapi meninggal. Manusia yang beresiko tertular adalah yang pekerjaannya berhubungan dengan hewan liar dan hewan peliharaan seperti peternak, petani, petugas laboratorium hewan, dan bahkan tentara. Wanita

20

dan anak di perkotaan sering terinfeksi setelah berenang dan piknik di luar rumah. Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui beberapacara berikut ini: Kontak dengan air, tanah, dan lumpur yang tercemar bakteri. Kontak dengan organ, darah, dan urin hewan terinfeksi. Mengonsumsi makanan yang terkontaminasi. Masa inkubasi leptospirosis adalah 7-12 hari dengan rata-rata 10 hari. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, bakteri akan masuk ke peredaran darah dan beredar ke seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan kerusakkan dimana saja termasuk organ jantung, otak, dan ginjal. (Widoyono, 2008). Gejala penyakit ini ditandai denagn memperlihatkan gejala demam, sakit kepala, bercak merah pada kulit, nyeri otot (myalgia), dan yang agakkhas adalah terjadinyaradang konjungtiva mata (conjunctivitis) (Dharmojono, 2002). . 4. Murine typhus Penyakit ini disebabkan oleh Rickettsian typhi (R. mooseri) yang ditularkan dari tikus ke manusia melalui gigitan pinjal Xenopsylla cheopsis. Gejala penyakit ini pada manusia adalah sakit kepala, kedinginan, prostration, demam dan nyeri di seluruh tubuh. Bintil-bintil merah pada kulit timbul pada hari kelima sampai keenam.

Sumber : Priyambodo, 1995 Gambar 8. Penyebaran penyakit murine typhus


21

5.

Rickettsial pox Rickettsial pox adalah penyakit pada manusia dan mencit yang disebabkan

oleh gigitan tungau Allodermanyssus sanguineus yang menularkan patogen Rickettsia akari. Pada manusia penyakit ini ditandai dengan adanya bercak yang mula-mula berkembang di sekitar gigitam tungau. Seminggu kemudian timbul demam, kedinginan dan sakit kepala. Dua sampai tiga hari kemudian muncul bintik-bintik merah menyerupai cacar pada permukaan tubuh (Priambodo, 2003). 6. Lassa dan Rodent-borne haemorrhagic Fevers Demam lassa adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dari kelompok Arenavirus. Gejalanya tampak selama satu sampai empat minggu berupa malaise, demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, batuk, nausea, muntah, diare, nyeri otot, nyeri di dada dan perut, pembengkakan pada kelenjar limfa, serta pembengkakan pada leher. Penyakit ini terutama disebarkan oleh tikus Mastomys natalensis sebagai vektor utama dari virus. Cara penularan melalui sekresi hidung, feses dan urine tikus. Kejadian penyakit ini terutama dijumpai di daerah Afrika Barat bagian tengah. Demam haemorrhagic di Bolivia ditularkan oleh mencit C. laucha dan C. musculinus. Pathogen dari demam ini juga dari golongan virus (Priambodo, 2003) 7. Lymphocytic choriomeningitis Lymphocytic choriomeningitis adalah penyakit yang disebabkan oleh virus (LCM virus) yang ditularkan ke manusia terutama oleh mencit rumah Mus musculus, melalui kontak dengan feses, urine atau air liur mencit yang mengkontaminasi makanan atau debu. Gejala penyakit ini dimulai dari gejala yang mirip influenza, beberapa hari kemudian timbul gejala meningeal yaitu mengantuk, gangguan refleks, paralysis dan Anastasia kulit (Priambodo, 2003). 8. Rabies Rabies adalah suatu penyakit tyang menyerang sistem saraf pusat. Karena gejalanya yang khas, yaitu penderita menjadi takut air, penyakit rabies sering kali

22

disebut hidrofobia. Rabiesnya merupakan penyakit hewan berdarah panas yang ditularkan kepada manusia (Dharmojono, 2002). Gejala awal biasanya tidak jelas . pasien merasa tidak enak dan gelisah. Gejala yang menonjol adalah rasa nyeri, panas dan gatal disekitar luka, kemudian bisa diikutikejang, sakit kepala, demam dan sulit menelan. Apabila telah mengalami kelumpuhan otot pernapasan maka penderita dapat terancam meninggal (Dharmojono, 2002). Gigitan tikus kadang-kadang dapat menularkan rabies prophylaxis. Diperlukan informasi lebih lanjut untuk mengetahui peranan tikus yang hidup disekitar manusia, sebagai penular rabies pada negara-negara endemik penyakit ini (Priambodo, 2003). 9. Rat-bit Fever Demam karena gigitan tikus ini terutama terjadi pada anak-anak di bawah umur 12 tahun dengan masa inkubasi 1-22 hari menimbulkan gejala kedinginan, demam, muntah dan sakit kepala. Dua pathogen yang dapat menyebabkan penyakit ini adalah bakteri Spirillum minus (termed sodoku) dan Streptobacillus moniliformis (Haverhill fever) (Priambodo, 2003). 10. Trichinosis Penyakit ini disebabkan oleh nematode Trichinella spiralis. Larva dan kistanya menginfeksi otot dan usus halus tikus serta babi. Tikus dapat terinfeksi oleh pathogen ini dengan cara makan daging babi setengah matang yang terdapat pada sampah sisa makanan manusia, sedangkan babi dapat terinfeksi pathogen ini dengan cara makan pakan yang terkontaminasi feses tikus. Pada manusia penyakit ini menimbulkan gejala demam, gastrointestinal (sakit pada lambung dan usus halus), nyeri otot dan eosinophilia. Salah satu cara untuk memutus siklus penyakit ini adalah dengan memasak daging babi sampai betul-betul matang, sebelum dikonsumsi oleh manusia(Priambodo, 2003).

23

Penyakit-penyakit yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan dengan tabel sebagai berikut: Penyakit Pes Tabel 2.3 Nama-nama penyakit dan cara penularan Penyebab Vektor Cara penularan penyakit Bakteri Yersinia Pinjal Melalui gigitan pestis Rickettsia mooser Pinjal Melalui sisa hancuran tubuh pinjal terinfeksi lewat luka akibat garukan Melalui tungau Melalui caplak gigitan gigitan

Murine typhus

Scrub tyohus

Rickettsia

Tungau trombikulid Caplak

Spotted fever Rickettsia conorii group Rickettsiae Sptted fever Rickettsia conorii group rickettsiae Leptospirosis Bakteri Leptospira

Caplak

Melalui gigitan caplak Melalui selaput lendir atau luka dikulit bila terpapar oleh air yang tercemar dengan urin tikus Melalui gigitan tikus atau pencemaran makanan Melalui luka gigitan tikus

Salmonelosis

Salamonella

Demam tikus

gigitan Bakteri Spirillum atau Streptobakcillus Cacing Trichinella spiralis

Trichinosis

Secara tidak langsung, dengan cara memakan hewan pemakan

24

tikus Angiostongiliasis Cacing Angiostrongilus Dengan cara memakan sejenis keong yang menjadi inang perantara penyakit ini Melalui udara yang tercemar feses,urin atau ludah tikus yang infektif

Demam berdarah Virus hantavirus Korea (Hantavirus),

Sumber : DINKES, 2007 2.9 Upaya Pengendalian Metode pengendalian binatang pengerat yang sering dipakai, anatara lain : 1. pemusnahan tikus dengan pemanfaatan musuh alami. Musuh alami binatang pengerat, misalnya anjing, kucing, ular, dan burung pemangsa, semuanya dapat membantu mengurangi jumlah tikus dan tikus besar yang biasanya tidak terbukti membahayakan manusia. Kucing terkadang cukup efektif,tetapi hampir semua kucing sifatnya pemalas dan hanya memakan makanan yang masih baik. 2. Sanitasi. Rumah-rumah yang kotor, banyak sisa-sisa makanan berceceran, banyak sampah terutama garbage akan lebih disenangi tikus-tikus daripada rumah-rumah yang bersih (Etjang, 2000). Lingkungan yang bersih dan sehat merupakan senjata paling ampuh untuk memberantas tikus secara alami. Di beberapa tempat, jumlah tikus sangat bergantung pada banyak tidaknya jimlah makanan dan air serta tempat persembunyian. Semakin banyak makanan, semakin bertambah populasi tikus. Sebaliknya, apabila jumlah makanan berkurang, populasi tikus pun ikut berkurang dengan cepat.

25

Berikut ini beberapa cara untuk menerapkan sanitasi lingkungan (Chandra, 2007): Penyimpanan, pengumpulan, dan pembuangan sampah denagn benar. Penyimpanan bahan makan denagn baik dan benar. Konstruksi bangunan anti tikus, demikian juga dengan gudang dan tempat penimpanan barang. Pemusnahan lubang atau sarang tikus dengan cara menyumbat lubang secara total. 3. Penggunaan peerangkap Penggunaan perangkap merupakan cara pengendalian tikus yang mudah. Cara ini dapat mengurangijumlah tikus komensal tetapi bersifat sementara. Sebaiknya jumlah perangkap diletakkan minimal 5% dari jumlah populasi manusia. Tikus yang terperangkap harus dimusnahkan. Pemusnahan ini dapat dilakukan denagn cara membenamkan mereka ke dalam air. Tikus adalah binatang yang memiliki naluri curiga dan dapat bersifat trap wise dan menghindari umpan perangkap. Oleh karena itu, penangkapan dipandang sebagai metode tambahan dalam pemberantasan binatang pengerat yang lain (Chandra, 2007). 4. Pemanfaatan rodentisida Pengendalian binatang pengerat juga dapat dilakukan denagn menggunakan bahan kimia atau disebut sebagai rodentisida. Terdapat dua jenis rodentisida yang biasa digunakan, antar lain (Chandra, 2007): a. Tipe single dosis (akut) Dosis akut ini sifatnya letal terhadap tikus. Tikus akan mati sesudah makan odentisida ini satu kali. b. Tipe multiple dose (kumlatif) Tipe pengendalian dengan rodentisida semacam ini memerlukan pemberian yang berulang selama 3 hari atau lebih.
26

Golongan rodentisida yang paling sukses untuk digunakan adalah coumarins, contohnya warfarin aplikasinya dapat dicampur dengan umapan atau pakan (Sudarmo, 2001). Terdapat lima senyawa anorganik yang digunakan sebagai racun tikus yaitu seng fosfida, aren trioksida, talium sulfat, fosforus dan barium karbonat. Dua bentuk senyawa fosforus yaitu yang berwarna merah tidak berbahaya sedangkan yang berwarna kuning atau putih dapat merusak hati, ginjal, jantung dan juga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan tubuh secara cepat sehingga sangat berbahaya bagi manusia (Mukono, 2000)

27

BAB 3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Pengawetan Suntik Formalin 3.1.1 Alat a. Jarum suntik ukuran 1 ml (ukuran 26); b. Sarung tangan lateks; c. Masker; d. Kapas; e. Penggaris; f. Alat Tulis; g. Jebakan Tikus (Live Trap); h. Toples; i. Kotak kaca ukuran 50 x 30 x 25 cm sebanyak 1 buah; j. Tas plastik besar. 1.1.2 Bahan a. b. c. d. Rattus rattus diardi (Tikus rumah), Chloroform; Formalin; Ikan tengiri (umpan).

3.2 Prosedur Kerja Penangkapan Tikus

Identifikasi Tikus Pengawetan Tikus Pembuatan Media Bagan 3.1 Prosedur Kerja Identifikasi dan Pengawetan Tikus

28

3.2.1 a. b. c. d. e. f. 3.2.2

Penangkapan Tikus Membersihkan perangkap tikus dengan dicuci menggunakan Menyiapkan umpan tikus menggunakan iakn tengiri yang dibakar; Meletakkan perangkap tikus di gudang karena biasa dilewati atau Biarkan sampai ada tikus yang terperangkap di perangkap yang Jika tikus sudah terperangkap, masukkan kedalam tas plastik besar Setelah 3-5 menit tikus yang telah dibius dan mati dikeluarkan Identifikasi Tikus Identifikasi jenis-jenis tikus dapat dilihat dari morfologi kualitatif dan

detergen kemudian dikeringkan;

ditempati tikus. telah disiapkan. yang telah diberi kapas berchlorofom; untuk diidentifikasi.

kuantitatif. Karakter kualitatif morfologi yang diamati meliputi (Wagiyana, 1997): a. Warna Berdasarkan warna pada rambutnya yang berada bagian dorsal dan ventral, warna di bagian dorsal diamati pada warna badan dan ekor, demikian juga pada warna di bagian ventral. b. Bentuk hidung atau moncong Biasanya dibagi 2 yaitu bentuk kerucut terpotong yang terdapat pada tikus berukuran besar dan bentuk kerucut yang terdapat pada tikus berukuran kecil sampai sedang. c. Bentuk badan Bentuk badan tikus ada yang silindris membesar kebelakang yang biasanya terdapat pada tikus berukuran besar, bentuk silindris terdpat pada tikus yang berukuran kecil sampai sedang. d. Tekstur rambut

29

Dibedakan menjadi kasar dan halus. Tekstur kasar dan panjang biasanya terdapat pada tikus berukuran besar, tekstur halus terdapat pada tikus yang berukuran kecil sampai sedang. Untuk karakter kuantitatif pada tikus yang digunakan sebagai dasar untuk identifikasi meliputi (Priyambodo, 1995) : a. Panjang kepala dan badan (Head and Body = HB) Diukur dengan pennggaris pada posisi terlentang yang dimulai dari ujung hidung sampai pangkal ekor yang ditandai sampai di lubang anus. b. c. Panjang ekor (Tail = T) Pengukuran dimulai dari pangkal ekor sampai ujung ekor. Lebar daun telinga (Ear = E) Pengukuran dilakukan terhadap daun telinga dari arah dalam, dimulai dari lubang telinga sampai ujung daun telinga terjauh. d. e. f. Panjang telapak kaki belakang (Hinf Foot = HF) Diukur dari tumit sampai ujung kuku yang terjauh. Lebar sepasang gigi pengerat (Incisors = I) Diukur di bagian tengah dari sepasang gigi pengerat bagian atas. Jumlah puting susu (Mammary Formula = MF) Dihitung jumlah puting susu di dada (pektoral) dan di bagian perut (inguinal) dinyatakan dalam satuan pasang. 3.2.3 Metode Pengawetan Tikus Secara Kering Dengan kloroform Tikus dibius menggunakan chloroform sampai mati, disuntik dengan formalin sebanyak beberapa kali suntikan pada beberapa tempat di tubuh tikus, dan dilakukan berulang dengan rentang waktu tertentu sampai tikus mongering. Penyuntikan dilakukan dengan dua cara yaitu : a. Penyuntikan Subkutan, untuk mengawetkan daging atau jaringan di bawah kulit. Langkah-langkahnya adalah : 1) Meletakkan tikus di atas kerdus; 2) Menarik kulit dipunggung dan diangkat membentuk lipatan; 3) Menusukkan jarum yang berisi formalin sebanyak 1 ml di balik lipatan kulit, di bawah kulit;
30

4) Setelah seluruh cairan masuk, tekan tempat bekas tusukan agar cairan dapat merata ke bagian tubuh sekitarnya; 5) Penyuntikan dilakukan beberapa kali sampai tikus benar-benar kaku. b. Penyuntikan Intramuscular, untuk mengawetkan otot dan organ bagian dalam dari tubuh tikus. Langkah-langkahnya adalah : 1) Meletakkan tikus di atas kerdus; 2) Memposisikan tikus terlentang; 3) Suntikkan formalin sebanyak 1 ml ke abdomen. Pastikan seluruh jarum suntik masuk ke dalam bagian abdomen agar formalin dapat masuk ke lapisan bawah kulit; 4) Penyuntikan dilanjutkan pada bagian thoraks, paha, lengan, leher, rahang dan ekor; 5) Setelah seluruh cairan masuk, tekan tempat bekas tusukan agar cairan dapat merata ke bagian tubuh sekitarnya; 6) Penyuntikan dilakukan beberapa kali sampai tikus benar-benar kaku dan bagian abdomen serta thoraks mengeras. 3.3 Pengawetan dengan cara pengambilan organ diganti kapas 3.3.1 Alat a. Jarum suntik ukuran 1 ml (ukuran 26); b. Sarung tangan lateks; c. Silet; d. Kapas e. JarumBenang f. Masker; g. Penggaris; h. Alat Tulis; i. Jebakan Tikus (Live Trap); j. Toples; k. Kotak kaca ukuran 50 x 30 x 25 cm sebanyak 1 buah;

31

l. Tas plastik besar. 3.3.2 Bahan a. b. c. d. 3.3.3 3.3.4 Rattus argentiventer (tikus sawah) Chloroform; Formalin; Ikan tengiri (umpan).

Prosedur, penangkapan dan identifikasi seperti penawetan denagn cara suntik formalin Cara kerja 1. Tikus dibius menggunakan chloroform sampai mati. Setelah mati tubuh tikus ditelentangkan. 2. Buat torehan di median perut mulai dari perut pada titik didepan alat kelamin luar kedepan sampai dada. Usahakan tidak menoreh daging perut. Gunakan kapas untuk menyerap cairan tubuh atau darah yang keluar. Lepaskan kulit dari bagian tubuh dengan menggunakan jari tangan. Pada mamalia jantan, potong pangkal penisnya. Teruskan pelepasan kulit sampai bagian pangkal ekor. 3. Pelepasan kulit diteruskan kebagian belakang. Potong pangkal kaki belakang, tetapi upayakan jangan sampai kulit terpotong. Jika pangkal kaki belakang sudah terpotong, tarik pangkal kaki agar terlepas dari kulitnya sampai mencapai tulang perlengananan kaki dan potong pada bagian paha. Bersihkan daging pada bagian betis sehingga tinggal tulangnya. Oleskan formalin pada kulit sebelah dalam dan juga tulang. Sesudah itu tulang kaki dibalut kapas dan dimasukkan kembali pada kulit pembungkusnya. 4. Selanjutnya pengulitan diteruskan kedepan setelah sampai pada kaki depan, keluarkan kaki depan seperti perlakuan pada kaki belakang, potong pada paha. 5. Jika kulit sudah terlepas semua, olesi kulit bagian dalam dengan formalin sampai merata. Hilangkan lemak dan sisa-sisa jaringan pengikat dengan menggunakan silet.

32

6. Buat gulungan kapas tubuh tikus yang dikuliti sebagai pengganti bagian tubuh yang dikeluarkan, sebaiknya agak lebih kecil sedikit supaya mudah memasukkannya. 7. Masukkan kapas kedalam kulit badan kapas dimasukkan ujungnya pada bagian kepala. Selanjutnya tambahkan kapas pada tempat-tempat yang masih kosong sedemikian rupa sehingga seluruh kulit terentang dengan bentuk seperti semula saat binatang masih hidup. 8. Jahit bagian perut yang terbuka. 9. Selanjutnya rentang dan atur kulit pada papan lunak (papan balg) dengan kaki depan dan belakang menghadap kedepan. 10. Setelah posisi tubuh sudah diatur, tancapi jarum pentul pada titik-titik tubuh yang penting sebagai pegangan selama proses pengeringan. Dengan demikian ketika kulit menjadi kering, bentuk kulit tidak berubah atau mengerut. 11. Angin-anginkan spesimen kulit ditempat teduh, hindari cahaya matahari langsung untuk mencegah pengeringan yang cepat dan pelunturan warna rambut. Pengeringan yang cepat dapat menyebabkan kulit mengeriput.

3.3.5

Pembuatan Media

a. Menyiapkan kotak kaca dengan ukuran 50 x 30 x 25 cm. b. Menyiapkan hiasan kotak kaca berupa rumah-rumahan dan tumbuhan mainan. c. Mengatur tikus-tikus yang telah diawetkan dengan hiasannya sesuai dengan habitat dari masing-masing tikus; d. Menutup kotak kaca.

33

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tikus Sawah (Rattus argentiver) 4.1.1 Penangkapan Penangkapan tikus sawah dilakukan di sawah daerah Perumahan Taman Gading Jember. Kami menggunakan perangkap tikus jenis live trap dan umpan berupa ikan tengiri sisa untuk menangkap tikus sawah ini. Proses penangkapan tikus dimulai pada tanggal 1 Desember 2010 dengan cara meletakkan perangkap beserta umpan di sawah pada malam hari dan melihat hasilnya keesokan paginya. Tetapi usaha yang pertama ini belum berhasil. Hal ini disebabkan karena anggota kelompok belum tahu teknik menangkap tikus dan meletakkan perangkap secara acak di sawah yang menurut penduduk setempat sering dilewati tikus. Setelah beberapa kali menemui kegagalan, akhirnya anggota kelompok tahu bagaimana teknik menangkap tikus yang benar. Pada siang hari kami mencari lubang tempat sarang tikus yang ditandai dengan adanya feses, jejak kaki dan sisa-sisa makanan di luar lubang. Kemudian saat senja kami meletakkan perangkap beserta umpan di dekat sarang tikus tersebut. Dan akhirnya pada tanggal 9 Desember 2010 kami berhasil menangkap satu ekor tikus sawah. 4.1.2 Pengawetan Pengawetan tikus sawah dlakukan dengan cara mengganti organ dalam tikus dengan kapas. Pengawetan dilakukan pada tanggal 14 Desember 2010 jam 16.00 WIB. Proses pengawetan dimulai dengan pembiusan tikus. Pembiusan dilakukan dengan cara memasukkan perangkap beserta tikus ke dalam kantong plastik besar. Kemudian kapas yang sudah diberi kloroform dimasukkan ke dalam kantong plastik dan kantong plastik ditutup rapat sampai tidak ada udara keluar. Setelah kurang lebih 5 menit, tikus akan mati. Setelah mati, tikus dikeluarkan dari perangkap dan dimulai proses pengulitan. Tikus ditelentangkan dan dibuat torehan mulai dari perut sampai dada

34

menggunakan silet. Selanjutnya pengulitan dilakukan sesuai langkah-langkah yang tertulis pada Bab3 metode praktikum. Setelah pengawetan selesai, tikus di angin-anginkan beberapa hari sampai kering. Tapi karena selang waktu pengawetan dan presentasi di kelas hanya satu hari, dalam praktikum ini tikus hanya di keringkan selama satu hari sehingga menghasilkan awetan yang kurang kering. Hal ini dapat menyebabkan tikus mengalami pembusukan dan menjadi tidak awet. Dalam melakukan pengawetan dengan cara penggantian organ dalam dengan kapas, anggota kelompok mengalami beberapa kesulitan yaitu proses menguliti yang lama menyebab kulit yang sudah terlebih dahulu dikuliti menjadi kering dan agak mengkerut sehingga mengalami kesulitan pada saat memasukkan kapas dan penjahitan. Selain itu penjahitan juga mangalami kesulitan karena kulit yang tebal sulit untuk ditembus jarum jahit sehingga harus berhati-hati dan telaten pada saat menjahit kulit. Pengawetan dengan cara ini memliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihanya antara lain: a. Bisa mengetahui organ dalam tikus; b. Hasil pengawetan dapat bertahan lebih lama daripada pengawetan dengan cara penyuntikan formalin. Dan kekurangannya antara lain: a. Proses yang dilakukan sulit, apalagi untuk pemula yang tidak pernah melakukan penbedahan; b. Bentuk tubuh hasil pengawetan dapat berbeda dengan aslinya. 4.1.3 Hasil Identifikasi Identifikasi tikus sawah dilakukan setelah pembiusan (sebelum dilakukan pengawetan) pada tanggal 14 Desember 2010 dan setelah pengawetan ketika kuliah Praktikum Kesehatan Lingkungan pada tanggal 16 Desember. Hasil dari identifikasi adalah sebagai berikut:

35

Tabel 4.1 Perbandingan Morfologi Tikus Sawah (Rattus argentiver) Temuan sebelum dan sesudah pengawetan dengan Teori Morfologi R. argentiventer R. argentiventer R. argentiventer (tikus sawah ) (tikus sawah) (tikus sawah) teori temuan sebelum temuan sesudah pengawetan pengawetan Tekstur rambut Agak kasar Kasar Kasar Bentuk hidung Kerucut Kerucut Kerucut Bentuk badan Silindris Silindris Silindris Warna badan bag Coklat kelabu Coklat Coklat punggung kehitaman Warna badan bag Kelabu pucat Kelabu Kelabu perut Warna ekor Coklat hitam Coklat Coklat Habitat Sawah Sawah Sawah Panjang 130 - 210 mm 170 mm 200 mm kepala+badan Panjang ekor 110 160 mm 180 mm 180 mm Panjang total 240 - 370 mm 350 mm 380 mm Lebar daun telinga 19 22 mm 5 mm 10 mm Panjang telapak 32 39 mm 40 mm 35 mm belakang Lebar gigi 3 mm 3 mm 3 mm Jumlah puting 6 (3+3) 6 6 Dari tabel hasil identifikasi di atas, terdapat perbedaan hasil pengukuran pada panjang kepala dan badan, lebar daun telinga dan panjang telapak belakang pada saat sebelum dan sesudah pengawetan. Perbedaan pada panjang kepala dan badan serta perbedaan pada panjang telapak belakang terjadi akibat dari pengawetan yang kurang sempurna. Setelah pengisian badan tikus dengan kapas, badan tikus tidak dapat menjadi sama persis ketika tikus masih hidup, badan tikus menjadi lebih panjang dari sebelumnya. Sehingga hasil pengukuran setelah pengawetan menjadi lebih panjang daripada sebelum pengawetan. Sedangkan telapak kaki tikus setelah pengawetan mengalami pengerutan pada jari-jarinya, sehingga hasil pengukuran setelah pengawetan menjadi lebih pendek daripada sebelum pengawetan. Perbedaan hasil pengukuran pada lebar daun telinga disebabkan pengukuran pada saat sebelum dan sesudah pengawetan dilakukan

36

oleh orang yang berbeda. Ketelitian setiap orang saat pengukuran berbeda-beda, sehingga hasil pengukuran yang dihasilkan pun berbeda. Hasil identifikasi secara kualitas dan kuantitas secara umum telah sesuai dengan teori yang dididapatkan meskipun ada beberapa perbedaan pengukuran yang disebabkan oleh kurang telitinya pengukur. Jadi dapat disimpulkan bahwa tikus hasil temuan adalah tikus dari spesies tikus sawah (Rattus argentiver). 4.2 Tikus Rumah (Rattus rattus diardii) 4.2.1 Penangkapan Penangkapan tikus rumah dilakukan di sebuah rumah yang beralamatkan Perumahan Taman Gading B-25 Jember pada tanggal 1 Desember 2010 malam. Penangkapan menggunakan live trap yang diletakkan di gudang dengan umpan ikan tengiri. Dan pada tanggal 2 Desember 2010 keesokan harinya, tikus rumah berhasil ditangkap. 4.2.2 Pengawetan Pengawetan tikus rumah dilakukan dengan cara penyuntikan formalin pada tanggal 8 Desember 2010 jam 16.00. Seperti pada tikus sawah, terlebih dahulu tikus rumah dibius sampai mati dengan cara memasukan tikus beserta perangkapnya ke dalam kantong plastik besar yang diberi kloroform selama 5 menit. Setelah mati, dilakukan penyntikan formalin ke dalam tubuh tikus. Yang pertama dilakukan penyuntikan subkutan untuk mengawetkan daging atau jaringan di bawah kulit. Penyuntikan subkutan ini dilakukan dengan cara menarik kulit punggung dan diangkkat membentuk lipatan kemudian menyuntikkan formalin sebanyak 1ml di balik lipatan kulit, di bawah kulit. Kemudian dilakukan penyuntikan intramuskular untuk mengawetkan otot dan organ bagian dalam dari tubuh tikus. Penyuntikan intramuskular ini dilakukan pada 9 titik, yaitu abdomen, thoraks, dua buah paha, dua buah lengan, leher, rahang dan ekor. Formalin yang disuntikkan pada masing-masing titik sebanyak 1 ml. Dan setiap selesai penyuntikan, tempat bekas tusukan ditekan agar cairan dapat merata ke bagian tubuh sekitarnya.

37

Kami menggunakan pengawetan dengan cara penyuntikan formalin untuk tikus rumah karena tikus rumah yang berhasil didapatkan berukuran kecil sehingga akan mengalami kesulitan jika menggunakan cara penggantian organ dalam dengan kapas. Pada cara ini anggota kelompok mengalami kesulitan pada saat menggunakan jarum suntik karena anggota kelompok belum pernah menggunakan jarum suntik sebelumnya. Sehingga beberapa kali jarum suntik menembus tubuh tikus dan cairan formalin mengalir keluar. Hal ini menyebabkan rambut tikus menjadi rontok di beberapa bagian. Cara pengawetan ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah: a. b. a. Proses yang dilakukan mudah karena hanya menyuntikkan Hasil pengawetan sama dengan tikus aslinya. Karena memerlukan formalin dalam jumlah yang banyak, maka formalin ke dalam tubuh tikus; Dan kerugiannya adalah: bagi anggota kelompok yang tidak tahan dengan bau formalin menjadi pusing bila menghirup bau formali terus-menerus; b. Bila penyuntikan formalin tidak dilakukan dengan benar dan merata maka organ tikus akan membusuk. 4.2.3 Hasil Identifikasi Identifikasi tikus rumah dilakukan setelah pembiusan (sebelum dilakukan pengawetan) pada tanggal 8 Desember 2010 dan setelah pengawetan ketika kuliah Praktikum Kesehatan Lingkungan pada tanggal 16 Desember. Hasil dari identifikasi adalah sebagai berikut:

38

Tabel 4.2 Perbandingan Morfologi Tikus Rumah (Rattus rattus diardii) Temuan sebelum dan sesudah pengawetan dengan Teori Morfologi R.rattus diardii R.rattus diardii R.rattus diardii teori temuan sebelum temuan sesudah pengawetan pengawetan Tekstur rambut Agak kasar Agak kasar Agak kasar Bentuk hidung Kerucut Kerucut Kerucut Bentuk badan Silindris Silindris Silindris Warna badan bagian Coklat hitam Coklat Coklat pungung kelabu Warna badan bagian Coklat hitam Kelabu Kelabu perut kelabu Warna ekor Coklat hitam Coklat hitam Coklat hitam Habitat Rumah, gudang Gudang Gudang Panjang kepala+badan 100 - 210 mm 120 mm 120 mm Panjang ekor 120 - 250 mm 140 mm 145 mm Panjang total 220 - 460 mm 260 mm 265 mm Lebar daun telinga 19 23 mm 11 mm 13 mm Panjang telapak 30 37 mm 30 mm 30 mm belakang Lebar gigi 3 mm 2 mm 3 mm Jumlah puting 5 ( 2+3) Dari tabel di atas dapat dilihat adanya perbedaan hasil pengukuran pada panjang ekor, lebar daun telinga dan lebar gigi. Perbedaan ini disebabkan pengukuran pada saat sebelum dan sesudah pengawetan dilakukan oleh orang yang berbeda. Ketelitian setiap orang saat pengukuran berbeda-beda, sehingga hasil pengukuran yang dihasilkan pun berbeda. Hasil identifikasi secara kualitas dan kuantitas secara umum telah sesuai dengan teori yang dididapatkan meskipun ada beberapa perbedaan pengukuran yang disebabkan oleh kurang telitinya pengukur. Jadi dapat disimpulkan bahwa tikus hasil temuan adalah tikus dari spesies tikus rumah (Rattus rattus diardii).

39

BAB 5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil identifikasi, diketahui morfologi dari beberapa jenis tikus, antara lain : a. Tikus rumah memiliki hidung yang runcing, warna bulu coklat hitam kelabu, ekor lebih panjang daripada panjang badannya, dan telinga yang relatif lebar; b. Tikus sawah memiliki ekor yang relative pendek dibandingkan badannya, telinganya pendek dan tebal, dan warna bulunya coklat kekuningan; 2. Pada praktikum ini, pengawetan tikus dilakukan secara kering yaitu dengan menyuntikan formalin ke dalam tubuh tikus dan dengan cara mengganti organ dalam dengan kapas. Metode penyuntikan dilakukan dengan dua cara yaitu, penyuntikan subkutan dan penyuntikan intramuscular. Penyuntikan subkutan dimaksudkan untuk mengawetkan daging atau jaringan di bawah kulit. Sedangkan penyuntikan intramuscular dimaksudkan untuk mengawetkan otot dan organ bagian dalam tubuh tikus.

5.2 Saran 1. Dalam meletakkan jebakan sebaiknya benar-benar mengetahui jejak yang biasa dilewati tikus agar penangkapan bisa efesien tanpa menunggu waktu yang lama. 2. Pemakaian formalin dan kloroform harus hati-hati karena merupakan bahan berbahaya, bisa menyebabkan pusing. 3. Dalam melakukan praktikum sebaiknya mengggunakan Alat Pelindung diri yang semestinya.

40

DAFTAR PUSTAKA _______. Tanpa Tahun. Pedoman Pengendalian Tikus. [04

http://www.depkes.go.id/downloads/Pengendalian%20Tikus.pdf November 2009]

Azrul, Aswar, 1979. Pengetahuan ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Pt. Mutiara Sumber Widya Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatn Lingkungan. Jakarta: EGC. Dharmojono. 2002. Leptospirosis -Anthrax-Mulut & Kuku- Sapi Gila. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Entjang, Indan. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti Harsoyo, Singgih. 2006. Hama Permukiman Indonesia. Indonesia: Fakultas Kedokteran Hewan IPB Mukono. 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press. Priyambodo, S. 1995. Pengendalian Hama Tikus Secara Terpadu. Bogor: PT Penebar Swadaya. Sudarmo, S.2001. Pestisida. Yogyakarta: Kanisius Swindle, Michael. 1996. Handbook of Rodent And Rabit Medicine. New York: Elsevier Science Inc.

41

Widoyono. 2008. Epidemiologi, penularan, pencegahan dan pemberantasannya. Surabaya: penerbit Erlangga. Waluyo, Joko. 2006. Biologi. Jember: Jember university Press. Wagiyana.1999. Penuntun Praktikum Vertebrata Hama. Jember: Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Jember Wolff, Jerry. 2007. Rodent societies: an ecological & evolutionary perspective. London: The University of Chicago Press. Yuliarsih, Retno. 2002. Higiene dan Sanitasi Umum dan Perhotelan. Jakarta: PT. Grasindo.

42

LAMPIRAN Gambar Saat Pengawetan:

Tikus Rumah

Tikus Sawah

Pembiusan tikus rumah

Penyuntikkan tikus rumah

Pembelahan tikus sawah

Penjahitan tikus sawah

43

Gambar Praktikum di Lab:

Pemasangan mata palsu pada tikus rumah

Hasil pemasangan mata palsu pada tikus rumah

Tikus sawah yang sudah diawetkan

Pemasangan mata palsu pada tikus sawah

44

Anda mungkin juga menyukai