Anda di halaman 1dari 16

MALARIA

Jimmy Sakti

Epidemiologi
Penyebaran malaria dapat berlangsung pada ketinggian wilayah yang sangat bervariasi, dari 400 meter di bawah permukaan laut hingga 2600 meter di atas permukaan laut. P. vivax memiliki wilayah penyebaran yang luas, dari wilayah beriklim dingin, subtropis, sampai wilayah beriklim tropis. P. falciparum jarang ditemukan di wilayah beriklim dingin, tetapi paling sering ditemukan pada wilayah beriklim tropis. Di Indonesia, secara umum spesies yang paling sering ditemukan adalah P. falciparum dan P. vivax.

Etiologi
Ada 4 spesies dari genus Plasmodium menyebabkan infeksi malaria pada manusia, yaitu P. falciparum, P. vivax, P. ovale, dan P. malariae. Namun, sebagian besar kematian hanya disebabkan oleh P. falciparum saja. ,
P. falciparum, menyebabkan penyakit malaria tertiana maligna (malaria tropica) yang sering menjadi malaria yang berat/malaria serebral, dengan angka kematian yang tinggi. Menyebabkan parasitemia yang meningkat jauh lebih cepat dibandingkan spesies lain dan merozoitnya menginfeksi sel darah merah dari segala umur (baik muda maupun tua). P. vivax, menyebabkan malaria tertiana benigna (malaria vivax), cenderung menginfeksi selsel darah yang muda (retikulosit). P. ovale, jarang dijumpai, menyebabkan malaria tertiana benigna (malaria ovale). Predileksinya terhadap sel-sel darah merah mirip dengan P. vivax (menginfeksi sel darah muda). P. malariae, penyebab malaria kuartana, ditandai dengan serangan panas yang berulang setiap 72 jam. Diduga cenderung menginfeksi sel-sel darah yang tua.

Tidak menutup kemungkinan seseorang diinfeksi lebih dari satu spesies secara bersamaan, sehingga disebut infeksi campuran. Paling banyak disebabkan oleh dua spesies, terutama P. falciparum dan P. vivax atau P. falciparum dan P. malariae. Infeksi campuran biasanya dijumpai di wilayah-wilayah yang mempunyai tingkat penularan malaria yang tinggi.

PATOGENESIS
Patogenesis malaria sangat dipengaruhi oleh faktor parasit (intensitas transmisi, densitas parasit, dan virulensi) dan faktor host (tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status gizi dan imunologi). Parasit dalam eritosit secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam pertama (permukaan eritrosit menampilkan Ring-erythtocyte surface antigen/RESA yang menghilang setelah masuk stadium matur) dan stadium matur pada 24 jam kedua (permukaan membran eritrosit menonjol membentuk knob dengan Histidine Rich-protein-1/HRP-1 sebagai komponen utamanya). Selanjutnya, bila eritrosit tersebut mengalami merogoni, toksin malaria (glikosilfosfatidilinositol/GPI) akan dilepaskan oleh merozoit dan merangsang pelepasan TNF- dan IL-1 dari makrofag. , Setelah itu, akan terjadi proses di bawah ini:

Cytoadherence Pada proses ini terjadi perlekatan antara eritrosit stadium matur pada permukaan endotel vaskuler. Pada kondisi normal, permukaan sel darah merah memiliki permukaan bermuatan negatif yang kurang berinteraksi dengan permukaan sel endotel. P. falciparum akan memacu pembentukan tonjolan pada permukaan eritrosit yang mengandung PfEMP-1, yaitu molekul adhesif yang merekat di permukaan knob eritrosit sebagai protein transmembran. , Kemudian molekul PfEMP-1 akan melekat dengan molekul-molekul adhesif di permukaan endotel vaskuler, seperti CD36, trombospondin, Intercelullar Adhesion Molecule 1 (ICAM-1), Vascular Cell Adhesion Molecule 1 (VCAM-1), Endothelial Leukocyte Adhesion Molecule 1 (ELAM-1), dan glycosaminogycan chondroitin sulfate A. PfEMP-1 merupakan protein-protein hasil ekspresi genetik oleh sekelompok gen yang berada di permukaan knob. Sekuestrasi Cytoadherence menyebabkan eritrosit matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi, tetapi tinggal dalam jaringan mikrovaskuler organ (sekuestrasi). , Hanya malaria falsiparum saja yang mengalami sekuestrasi, karena pada jenis lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer . Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti dengan hatir, ginjal, paru, jantung, usus, dan kulit. Sekuestrasi ini diduga memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat. Rosetting Rosetting ditandai dengan eritrosit matur berkelompok, diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang non-parasit. Plasmodium yang dapat melakukan cytoadherence juga dapat melakukan rosetting. Rosetting menyebabkan obstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya cytoadherence.

Respons Imum Terhadap Malaria


Immunitas terhadap malaria falciparum terjadi sangat perlahan. Studi pada tikus menunjukkan perbedaan respon Th1 dan Th2 yang meskipun berbeda, memberi peranan yang sangat penting dalam mengontol penyakit. Antibodi berperan dalam imunitas terhadap sporozoit yang disuntikkan ke nyamuk yang dapat mencegah infeksi hepatosit. Sel CD 8+ dapat menghancurkan parasit yang sudah ada di dalam sel hati. Produksi IFN-y oleh sel CD8+ lebih berperan untuk mengontrol replikasi parasit daripada mekanisme lisis. Diduga sel Th1CD4+ juga memproduksi IFN-y yang berperan pada fase hati. Namun fase eritrosit lebih memerlukan perhatian. Pada fase ini parasit berkembang dan menyertai gejala penyakit. Sel Th1 memproduksi sitokin yang proinflamasi (IL-1,IL-12, IL-18, TNF, dan IFN-) yang memacu aktivasi makrofag dan destruksi sel darah merah yang terinfeksi. Dengan proses infeksi, sel Th2 memacu produksi anibodi spesifik, yang menghambat reinvasi sel darah lebih banyak. Antibodi berperan dalam destruksi sel darah terinfeksi melalui aktivasi komplemen dan memacu makrofag untuk memakannya melalui Fc-R. Antibodi juga membantu sel darah merah agar terhindar dari toksin malaria dan mengalami cytoadherence. Pada infeksi P. falciparum, terjadi produksi sitokin Th1 yang berlebihan. Hal tersebut diperlukan dalam infeksi parasit, akan tetapi sering disertai dengan komplikasi berbahaya yang dapat mengancam nyawa, seperti pada malaria serebral. Pada awalnya, malaria serebral diduga disebabkan oleh kompleks sel darah merah dan parasit yang menempel pada pembuluh darah otak, menimbulkan obstruksi, serta mengurangi asupan darah ke otak. Namun, dewasa ini diketahui bahwa bukan hanya adherens parasit saja yang berperan dalam kerusakan jaringan, penghancuran parasit di dalam otak ternyata juga dapat menimbulkan kerusakan jaringan melalui produksi sitokin proinflamasi TNF- dan IL-1 yang berlebih. Kedua sitokin tersebut pada ambang tinggi dapat menyebabkan eritrofagositosis (anemia), peningkatan sitoadherens kompleks eritrosit-parasit dengan endotel vakuler (malaria serebral), dan gejala klinis lainnya (sakit kepala, demam, gemetar, mialgia, nausea, dll). Sementara itu, IL-10 sangat esensial untuk mencegah kerusakan jaringan otak yang lebih berat. Beberapa kelainan genetik, seperti sickle cell disease, thalassemia, dan defisiensi enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) juga sering dikaitkan dengan resistensi terhadap malaria. Sebagai contoh, penderita sickle cell anemia mengalami penurunan resiko kematian akibat malaria falsiparum berat hingga 6 kali lipat dibanding manusia dewasa normal. Penurunan resiko ini tampaknya berhubungan dengan gagalnya pertumbuhan parasit akibat rendahnya tekanan oksigen (pO2). Di Melanesia, anak-anak dengan -thalassemia sering mengalami malaria pada masa awal hidupnya dan pola infeksi ini tampaknya berpengaruh dalam mekanisme proteksi terhadap malaria yang lebih parah. Pada penderita ovalositosis asal Melanesia, eritrosit yang kaku ternyata dapat menahan invasi merozoit pada infeksi malaria. Sel darah merah uang terinfeksi P. falciparum, menempel pada endotel venula kecil dan menimbulkan penyumbatan mikrovaskular. Parasit yang dhancurkan dapat memacu produksi IL-1 dan TNF dalam kadar tinggi. NO yang diproduksi oleh endotel otak sebagai respons terhadap kadar IL-1 dan TNF dalam kadar tinggi dapat menimbulkan gejala serebral melalui hambatan neuro transmisi.

POLA DEMAM MALARIA


Demam pada malaria ditandai dengan adanya paroksisme, yang berhubungan dengan perkembangan parasit malaria dalam sel darah merah. Puncak serangan demam terjadi bersamaan dengan lepasnya merozoit-merozoit ke dalam peredaran darah (sporulasi). Untuk beberapa hari pertama, pola demam tidak beraturan, baru kemudian polanya yang klasik tampak sesuai dengan spesiesnya. Pada malaria falsiparum, pola demam yang ireguler itu mungkin berlanjut sepanjang perjalanan penyakitnya sehingga tahapan-tahapannya yang klasik dan tidak begitu nyata terlihat. Suatu paroksisme demam biasanya mempunyai tiga stadium yang berurutan, yang terdiri dari: , Stadium Dingin Stadium ini dimulai dengan menggigil dan perasaan sangat dingin. Nadi penderita cepat, tetapi lemah. Bibir dan jari-jari pucat kebiru-biruan (sianotik). Kulitnya kering dan pucat, penderita mungkin muntah dan pada penderita anak-anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung selama 15 menit - 1 jam. Stadium Demam Setelah menggigil, pada stadium ini penderita mengalami serangan demam. Muka penderita menjadi merah, kulitnya kering da dirasakan sangat panas seperti terbakar, sakit kepala bertambah keras, dan sering disertai dengan rasa mual dan muntah-muntah. Nadi penderita menjadi kuat kembali. Biasanya penderita merasa sangat haus dan suhu badan bisa meningkat sampai 40 C. Stadium ini berlangsung selama 2 4 jam. Stadium Berkeringat Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali, sampai membasahi tempat tidur. Namun suhu badan pada fase ini turun dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah normal. Biasanya penderita tertidur nyenyak dan pada saat terjaga, ia merasa lemah, tetapi tanpa gejala lain. Stadium ini berlangsung selama 2 4 jam. Sesudah serangan demam pertama terlewati, terjadi interval bebas demam selama 48-72 jam, lalu diikuti dengan serangan demam berikutnya seperti yang pertama, dan demikian selanjutnya. Gejala-gejala malaria klasik yang sering disebut dengan trias malaria seperti diuraikan di atas tidak selalu ditemukan pada setiap penderita, tergantung pada spesies parasit, umur, dan tingkat imunitas penderita.

Mekanisme Parokisme Demam


Paroksisme demam pada malaria ditentukan oleh waktu yang diperlukan oleh siklus aseksual / skizogoni darah untuk menghasilkan skizon yang matang, yang sangat dipengaruhi oleh spesies Plasmodium yang menginfeksi. Demam terjadi menyusul pecahnya skizon-skizon darah yang telah matang, kemudian masuknya merozoit-merozoit, toksin, pigmen, dan kotoran/debris sel ke peredaran darah,dan akhirnya memicu dihasilkannya TNF oleh makrofag yang teraktifkan. Demam yang tinggi dan beratnya gejala klinis lainnya mempunyai hubungan dengan tingginya kadar TNF dalam darah. Pada malaria vivax dan ovale, skizonskizon pecah setiap 48 jam sekali, sehingga demam timbul setiap hari ketiga, yang terhitung dari serangan demam sebelumnya (malaria tertiana). Pada malaria malariae, pecahnya skizon terjadi setiap 72 jam sekali, sehingga serangan pada terjadi setiap hari keempat (malaria kuartana). Pada malaria falsiparum, kejadiannya mirip dengan malaria vivax, hanya interval demamnya tidak jelas, biasanya panas badan di atas normal tiap hari, dengan puncak demam cenderung mengikuti pola malaria tertiana (malaria subtertiana atau malaria quartana).

Diagnosis Malaria
Pemeriksaan Tetes Darah Pemeriksaan tetes darah sangat penting untuk menemukan adanya parasit malaria dan menegakkan diagnosis. Pemeriksaan satu kali hasil negatif tidak dapat mengesampingkan diagnosis malaria. Pemeriksaan negatif tiga kali, maka diagnosis malaria dapat dikesampingkan. Pemerikasaan darah dapat dilakukan melalui: Tetesan Peraparat Darah Tebal Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria. Hitung parasit dapat dilakukan dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Tetesan Darah Tipis Digunakan untuk indentifikasi jenis plasmodium, bila dengan preparat darah tebal suit diidentifikasi. Kepadatan parasit dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel darah merah. Bila jumlah parasit > 100.000/ul darah menandakan infeksi berat. Tes Antigen: P-F Test Yaitu mendeteksi antigen dari P. falciparum (Histidine Rich Protein II). Deteksi sangat hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitas baik, tidak memerlukan alat khusus. Deteksi dengan antigen vivaks sudah beredar di pasaran yaitu dengan metode ICT. Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase plasmodium (pLDH) dengan cara immunichromatographic telah dipasarkan dengan nama OPTIMAL. Optimal dapat mendeteksi dari 0-200 parasit/ul darah dan dapat membedakan infeksi P. falciparum dan P. vivax. Sensitivitas 95%, lebih tinggi dari deteksi HRP II. Tes ini dikenal sebagai tes cepat (Rapid Test)

Tes Serologi tes serologi mulai diperkenalkan dengan menggunakan tehnik indirect fluorescent antibody test. tes ini berguna untuk mendeteksi antibodi spesifik malaria atau dimana keadaan parasit sangat minimal. Kurang bermanfaat untuk diagnosis karena antibodi baru ada setelah terjadi arasitemia. Manfaat serologi terutama unutk penelitian epidemiologi atau alat uji saring darah. Titer >1:200 dianggap sebagai infeksi baru, dan test >1:20 dinyatakan positif. Metode ini antara lain indirect haemaglutination test, immunoprecipitation techniques, ELISA test, radio-immunoassay. Pemeriksaan PCR Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitas tinggi. Keunggulan tes ini walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini berupa dipakai sebagai saranapenelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.

Tatalaksana
Penderita malaria malariae atau malaria kuartana dapat diobati dengan pemberian klorokuin basa yang akan mengeliminasi semua stadium di sirkulasi darah. Penelitian yang dilakukan Collins dan Jeffrey memperlihatkan bahwa waktu yang diperlukan untuk mengeliminasi P. malariae dalam darah lebih panjang dibandingkan dengan P. falciparum dan P. vivax yang masih sensitif klorokuin. Stadium aseksual P. malariae masih dapat ditemukan sampai hari ke-15 setelah pemberian klorokuin, walaupun akhirnya menghilang dalam darah. Hal tersebut bukan berarti P. malariae resisten terhadap klorokuin. Wernsdorfer menganjurkan pemberian klorokuin basa selama 5 hari dengan dosis total 35mg/kg berat badan untuk penderita yang terinfeksi P. malariae. MaGuire yang melakukan penelitian di Sumatera Selatan melaporkan bahwa P. malariae di daerah tersebut resisten terhadap klorokuin. Penelitian lain memperlihatkan P. malariae sensitif terhadap obat antimalaria baru seperti artemisinin dan pironaridin.

Indikasi P. falciparum yang sensitif klorokuin P. malariae

Obat pilihan pertama Klorokuin fosfat 1 g, selanjutnya 500mg pada 6 jam, 12 jam, 24 jam, dan 36 jam berikutnya. (Total 50 mg/kgBB atau sekitar 3 g/60kgBB dalam 48 jam). Untuk anak diberikan dosis awal 16,7 mg/kgBB, selanjutnya diberikan 8,3 mg/kgBB pada 6 jam, 12 jam, 24 jam, dan 36 jam berikutnya. Dosis total 50mg/kgBB Klorokuin fosfat, dosis seperti di atas dan selanjutnya primakuin fosfat 26,3 mg perhari selama 14 hari (bila G6PD normal) Kina 3 x 650 mg/hari selama 3-7 hari ditambah salah satu obat dibawah ini Doksisiklin 2 x 100 mg/hari selama 7 hari, atau Klindamisin 2 x 600 mg/hari selama 7 hari, atau Sulfadoksin + Primetamin (Fansidar) sekali makan tiga tablet

Obat alternatif -

P. vivax dan P. ovale

P. falciparum resisten terhadap klorokuin, tanpa komplikasi

Meflokuin sekali 750 mg/oral (15mg/kgBB) selanjutnya 500 mg pada 6-8 jam berikutnya Atau Artesuna/artemeter oral, dosis tunggal per hari; 4 mg/kgBB pada hari ke 1, 2 mg/kgBB pada hari ke 2 dan ke 3, 1 minggu/kgBB pada hari 4 sampai 7 Atau Halofantrin oral 500mg tiap 6 jam sebanyak 3x. selanjutnya diulang 1 minggu kemudian

P. falciparum berat atau dengan komplikasi

*)Kuinidin

Glukonat 10 mg/kgBB per infus, dalam 1-2 jam, selanjutnya 0,02 mg/kgBB IV permenit (sampai terapi oral dengan kina dimungkinkan)

Artesunat 2,4 mg/kgBB diberikan IV atau IM, kemudian 1,2 mg/kgBB tiap 12 jam selama 1 hari, dan selanjutnya 1,2 mg/kgBB tiap hari sampai terapi oral dimungkinkan Artemeter 3,2 mg/kgBB IM, kemudian 1,6 mg/kgBB tiap hari sampai terapi oral dimungkinkan

Preventif
Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk individu yang nonimun, khusunya turis nasional maupun internasional. Kemoprofilaksis yang dianjurkan ternyata tidak memberikan perlindungan secara penuh. Oleh karenanya sangat dianjurkan untuk memperhatikan tindakan pencegahan untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk dengan cara : Tidur dengan kelambu sebaiknya dengan kelambu impregnated (dicelup peptisida:pemethrin atau detamethrin) Menggunakan obat pembunuh nyamuk (mosquitos repellents) : gosok, spray, asap, elektrik Mencegah berada di alam bebas dimana nyamuk dapat menggigit atau harus memakai proteksi (baju lengan panjang, kaus/stocking). Nyamuk akan menggigit diantaranya jam 18.00 sampai 06.00. Nyamuk jarang pada ketinggian di atas 2000m Memproteksi tempat tinggal/kamar tidur dar nyamuk dengan kawat anti-nyamuk Bila akan digunakan kemoprofilaksis perlu diketahui sensitivitas plasmodium di tempat tujuan sensitivitas plasmodium di tempat tujuan.

Beberapa Regimen Profilaksis Malaria


Obat Klorokuin fosfat **) Meflokuin Doksisiklin Pemakaian Daerah tanpa P. falciparum resisten Daerah dengan P. falciparum resisten klorokuin Daerah dengan P. falciparum yang resisten dengan banyak obat Dosis Dewasa*) 500mg/minggu 250mg/minggu 100mg/minggu

Klorokuin fosfat + Proguanil

Regimen pilihan, pengganti meflokuin

Klorokuin fosfat 500mg/minggu + Proguanil 200mg/hari

Atovakuon + Proguanil ***)


Primakuin

Regimen pilihan, pengganti meflokuin

Atovakuon 250mg/hari +proguanil 100mg/hari

Profilaksis terminal untuk P. vivax dan P. ovale

15mg (basa) per hari sampai 14 hari setelah kunjungan

*) **) ***)

Obat diberikan 1-2 minggu sebelum memasuki daerah endemik dan dilanjutkan sampai 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemik. (kecuali primakuin, doksisiklin, dan proguanil, yang diberikan 2 hari sebelum memasuki daerah endemik) klorokuin basa setara dengan 3/5 bagian klorokuin sulfat obat diberikan 1 hari sebelum masuk daerah endemik dan dilanjutkan sampai 1 minggu meninggalkan daerah endemik

Komplikasi
Komplikasi jarang terjadi, sindroma nefrotik dilaporkan pada infeksi plasmodium malariae pada anak-anak afrika. Diduga komplikasi ginjal disebabkan oleh adanya deposit komleks imun pada glomerulus ginjal. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan IgM bersama peningkatan titer antibodinya. Pada pemeriksaan fisik dijumpai edema, asites, proteinuria yang banyak, hipoproteinaemia, tanpa uremia dan hipertensi.

Prognosis
Prognosis malaria tergantung dari: Spesies penyebab Kecepatan dan ketepatan diagnosis dan pengobatan Kegagalan fungsi organ kegagalan fungsi organ dapat terjadi pada malaria berat terutama organ-organ vital. Semakin sedikit organ vital yang terganggu dan mengalami kegagalan dalam fungsinya, semakin baik prognosisnya. Kepadatan parasit pada pemeriksaan hitung parasit, semakin padat atau banyak jumlah parasit yang didapatkan, semakin buruk prognosisnya, terlebih lagi bila didapatkan bentuk skizon dalam pemeriksaan darah tepi.

Anda mungkin juga menyukai