Anda di halaman 1dari 107

HIDUNG

Adhonia Nelson Parumpa


Anastasia LN Sumenda
Hilda Momot

ANATOMI & FISIOLOGI HIDUNG &


SINUS PARANASAL

HIDUNG & SINUS PARANASAL


HIDUNG LUAR (Nasus eksternus): dorsum
nasi, apeks nasi, radiks nasi, ala nasi.
HIDUNG DALAM (Nasus internus): Rongga
hidung dan septum nasi
SINUS PARANASAL: Sinus maksila, Sinus
frontal, Sinus (sel-sel) etmoid, Sinus sfenoid
3

HIDUNG LUAR
(Nasus eksternus)
radiks nasi
dorsum nasi,
apeks nasi,
ala nasi,
kolumela,
nares anterior

Kerangka Hidung
TH
KLH
KAM
x

Tulang Hidung(TH)
Prosesus frontalis os maxila
Prosesus nasalis os frontal
Tulang Rawan Hidung:
Kartilago lateral superior
(KLH)
Kartilago lateral inferior/
Kartilago alaris mayor
(KAM), kaki medial (x) &
lateral(y)
Kartilago alaris
minor(KAMn)
Tepi anterior kartilago
septum

HIDUNG DALAM
(Nasus Internus)
Rongga hidung
Konka nasi inf.(KI)
Konka nasi med.
(KM)
Konka nasi sup.(KS)
Septum nasi(SPT)

KS
KM
SPT
KI

RSE

KS

MS

SF
KM

SS

OT

9
MM

KI

MI

SINUS SFENOID(SS), SINUS FRONTAL(SF),KONKA INFERIOR(KI), KONKA


MEDIUS(KM), KONKA SUPERIOR(KS), MEAT SUPERIOR(MS), MEAT
MEDIUS(MM), MEATUS INFERIOR(MI), OSTIUM TUBA EUST.(OT), RESESUS
SFENO-ETMOID(RSE)

10

11

KERANGKA SEPTUM NASI

Kartilago
kuadrangularis
(anterior) (KK)

LP

KK

x
KM

KP

Tulang vomer (V)


(Belakang)

Lamina
Perpendikularis
tulang etmoid
(atas) (LP)
Krista maksila dan
palatina
(bawah)(KM,KP)
Kaki medial KAM (x)

12

LP

KK

KP

KM

13

Dinding Rongga
Hidung

KM

KI

septum

Konka (tonjolan tulang, dilapisi


mukosa): konka inferior(KI),
medius(KM) dan superior(KS)
Meatus nasi:
Meatus nasi inferior: antara dasar
rongga hidung dengan konka inferior
Meatus nasi medius: antara konka
inferior dan medius
Meatus nasi superior: antara konka
medius dan superior

14

KOMPLEK
OSTIO-MEATAL
Prosesus unsinatus,
infundibulum etmoid,
hiatus semilunar, bula
etmoid, agger nasi, resesus
frontal.
Unit fungsional tempat
ventilasi & drenase dari
sinus- sinus.

16
EA

EP

SfP

PM

ARTERI PADA SEPTUM DAN DINDING


RONGGA HIDUNG:
Arteri penting :
etmoidalis anterior(EA) dan etmoidalis posterior(EP),
Sfenopalatina(SfP), palatina mayor(PM).
Pleksus Kiesselbach di area Little di bagian depan
septum nasi

Perdarahan hidung
Bag. Atas rongga hidung : a. etmoid ant. & post.
Bag. Bawah rongga hidung: ujung a. palatina
mayor & a. sfenopalatina
Bag. Depan hidung
: cabang2 a. fasialis

Pleksus Kiesselbach
Anastomosis dari
cabang2 a.
sfenopalatina, a.
etmoid ant., a. labialis
sup., a. palatina
mayor.
Letak superficial &
mudah cedera oleh
trauma.

Mukosa Hidung
Epitel merupakan:
ciliated pseudo
stratified columnar
epithelium.
Mengandung sel goblet
serta kelenjar serus dan
mukus
Silia berjumlah 25-100/sel
dan selalu mengadakan
gerakan (stroke) ke arah
belakang (koana) untuk
mendorong selimut lendir
ke nasofaring (1300
gerakan/menit)
19

Faal Hidung

Fungsi pernapasan :
Fungsi olfaktoris (penghidu, penciuman)
Fungsi resonasi suara
Fungsi ventilasi dan drainase

20

Fungsi Respirasi
Udara inspirasi menuju sistem respirasi melalui nares
ant. naik ke atas setinggi konka media turun ke
bawah ke arah nasofaring.
Aliran udara dihidung berbentuk arcus.
Udara yg dihirup akan mengalami humifikasi oleh palut
lendir.
Suhu udara yg melalui hidung di atur berkisar 37C

Partikel debu, virus, bakteri & jamur yg terhitup


disaring oleh:
Vibrissae pd vestibulum nasi
Silia
Palut lendir

Partikel2 yg besar akan dikeluarkan dgn refleks


bersin

Fungsi Penghidu
Udara inspirasi masuk ke rongga hidung ke
atap menuju daerah pembauan (regio
olfaktoria).
Merangsang reseptor di ujung syaraf, n.
olfaktorius, pusat penghidu tercium bau.
Bila terjadi buntu hidung (oedem, polip,
tumor), udara tidak dapat mencapai regio
olfaktoria hiposmia/anosmia
23

Fungsi Lain
Fungsi resonansi suara :
Getaran yang dihasilkan pita suara
menimbulkan resonansi pada rongga sinus
suara merdu. Bila buntu hidung sengau
Fungsi drainase dan ventilasi sinus :
Gangguan fungsi sinusitis

24

Refleks Nasal
Mukosa hidung reseptor refleks,
berhubungan dng saluran cerna, kardiovaskuler
& pernapasan.
Iritasi mukosa hidung refleks bersin & napas
berhenti.
Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi
liur, lambung & pankreas.

SINUS PARANASAL
Ada 4 pasang:
SINUS MAKSILA
SINUS FRONTAL
SINUS ETMOID
SINUS SFENOID
Semua mempunyai muara (ostium) ke rongga hidung

26

27

FOTO POLOS

SINUS PARANASAL

sf
se

A foto Water
B foto AP

sm

C foto lateral
D dasar mulut

sm : sinus maksila
sf : sinus frontal
ss : sinus sfenoid
ss

28

se

se : sinus(sel) etmoid

29

30

Sinus Maksila (SM)

Ost

SM
XX
DS

Terletak di tulang
maksila kanan dan kiri
Sinus paling besar
Atap : dasar orbita(X)
Dinding medial sinus =
Dinding lateral rongga
hidung(XX)
Dasar sinus
(DS)berbatasan dengan
akar gigi geraham atas
Ostium di meatus nasi
medius (di KOM)

Sinus Maksila
Sinus paranasal terbesar.
Batas:
Dinding ant.: permukaan fasial os maksila fosa
kanina
Dinding post.: permukaan infra- temporal maksila
Dinding sup.: dasar orbita
Dinding inf.: prosesus alveolaris & palatum

Ostium: sup. dinding medial sinus muara: hiatus


semilunaris melalui infundibulum etmoid.

Sinusitis:
infeksi gigi geligi mudah naik ke atas dasar sinus
berdekatan dgn gigi premolar 1,2, molar 1,2, kadang2 caninus
& molar 3, bahkan akar2 gigi dpt menonjol ke dlm sinus
pembengkakan akibat radang / alergi pd infundibulum
etmoid ostium maksila letak lebih tinggi dari dasar sinus,
drenase hanya bergantung dari gerak silia & melalui
infundibulum yg sempit

Sinusitis maksila dpt menimbulkan komplikasi


orbita

Sinus Frontal (SF)


SF
SF

Pada os frontal (tulang


dahi)
Sepasang, kanan dan
kiri, tidak sama besar,
kadang-kadang hanya
tumbuh sebelah
Ke atas dan belakang
berbatasan dengan fosa
kranii anterior
Ke bawah berbatasan
dengan rongga orbita

33

Sinus Frontal
Terbentuk sejak bulan ke 4 fetus
Berkembang stlh lahir pada usia 8- 10 thn uk.
max. usia 20 thn
Sinus frontal bersekat2 & tepi berlekuk2
Foto Rontgen septum/ lekuk dinding sinus
infeksi
infeksi mudah menjalar pd daerah orbita & fosa
serebri ant.
Ostium: resesus frontal berhub. dgn infundibulum
etmoid

35

Sinus (sel) Etmoid (SE)

SE

SS

SE

SS

Terdiri banyak sel di dalam tulang


etmod, dibagi : grup anterior dan
grup posterior
Grup anterior muaranya ke meatus
nasi medius, Grup posterior ke
meatus nasi superior
Grup ant.: kecil2 & banyak, letak di
depan lempeng yg menghubungkn
bag. Post. Konka media dgn
dinding lateral (lamina basalis)
Grup post.: lebih besar & lebih
sedikit jumlahnya, letak di post.
Lamina basalis

Sinus Sfenoid (SS)


Di tulang sfenoid,
kanan dan kiri
Ostium di resesus
sfeno-etmoid
Batas:

SS

SSS

Sup.: fosa serebri


media & kelenjar
hipofisa
Inf.: atap nasofaring
Lat.: sinus
kavernosusu & a.
karotis interna
Post.: fosa serebri
post. daerah pons
36

Fungsi Sinus Paranasal

Sebagai pengatur kondisi udara


Sebagai penahan suhu
Membantu keseimbangan kepala
Membantu resonasi suara
Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Membantu produksi mukus

PEMERIKSAAN HIDUNG

Alat

Lampu kepala Pinset bayonet

Bunset dan
spirtus

Xilocain spray

Spekulum hidung

spatel

Kaca nasofaring

Kasa

Inspeksi
Pernafasan mulut
Bentuk : simetris/asimetris, bentuk saddle/humped
nose.

Warna : hiperemis/pucat
Oedem
Adanya sekret/darah yang keluar dari hidung.

Palpasi
Dorsum nasi : krepitasi
dan deformitas.
Ala nasi : furunkel
vestibulum (jika nyeri)
Adakah nyeri tekan di
daerah sinus frontalis dan
maksilaris.

Pemeriksaan hidung

Rinoskopi anterior
Alat : spekulum hidung dan lampu kepala

Teknik pemeriksaan:
Spekulum di pegang dengan tangan kiri.
Spekulum dalam posisi horizontal, tangkai lateral,
mulut media.
Mulut sepekulum dimasukan kedalam lubang hidung,
lalu dibuka, setelah pemeriksaan, tutup spekulum
80% lalu di keluarkan.

Rinoskopi anterior
Melihat adanya sekret
Mukosa : hiperemis/pucat
Konka
: oedem/hipertropi
Septum : perforasi/deviasi
Benda asing
Massa
: jumlah, ukuran, permukaan, kosistensi,
warna, mudah berdarah atau tidak
Fenomena molle

Rinoskopi Posterior
Alat : spatel lidah, kaca nasofaring, lampu kepala

Teknik pemeriksaan
Pasien diminta membuka mulut
lidah ditekan kebawah dengan menggunakan
spatel
Kemudian masukan kaca nasofaring yang telah di
hangatkan, kaca menghadap ke atas lalu masukan
kaca antara faring dan palantum molle kanan.

Rinoskopi Posterior
Yang akan dinilai
Bagian septum dan koana
Kaca diputar ke arah lateral untuk menilai:
Konka superior, media, dan inferior meatus
superior dan media.
Kaca diputar ke arah lateral untuk menilai torus
tubarius,muara tuba eustachius dan fossa
rossenmuler.

Pemeriksaan transiluminasi sinus


Alat lampu 6 volt
Sinus frontalis
Cara
Lampu diletakan dibawah sinus frontalis
Sinus normal bila dinding depan terlihat terang.

Pemeriksaan transiluminasi sinus


Sinus Maksilaris
Mulut dibuka lalu masukan lampu kedalam
mulut
Tutup mulut rapat.

Sinus maksilaris normal bila pada daerah dinding depan dibawah orbital
terlihat bayangan terang berbentuk bulann sabit.

Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagaiperadangan pada
salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal
umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga
sering disebut sebagai rinosinusitis
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis,
sedangkan
bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis.

Rinosinusitis di bagi atas 3 macam :


1. Rinosinusitis akut dengan batas sampai 4 minggu
2. Rinosinusitis sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai
3 bulan atau 12 minggu dan
3. Rinosinusitis kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12
minggu. Rinosinusitis kronis adalah peradangan mukosa
hidung dan sinus paranasal yang menetap selama lebih 12
minggu atau 4 kali serangan akut berulang pertahun yang
masing-masing serangan lebih dari 10 hari.

Diagnosis ditegakkan bila:


ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau
1 gejala mayor dan 2 gejala minor
Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan
nasoendoskopi dan foto polos hidung dan sinus
paranasal atau SPN.

Gejala Mayor :
Hidung tersumbat
Sekret pada hidung / sekret belakang hidung /
PND
Sakit kepala
Nyeri / rasa tekan pada wajah
Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)

Gejala Minor :
Demam, halitosis
Pada anak ; batuk, iritabilitas
Sakit gigi
Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa
penuh pada telinga.

Patofisiologi
Adanya
suatu
inflamasi
dan
infeksi
menyebabkandilepasnya mediator diantaranya (vasoaktif
amin, proteases, arachidonic acid metabolit, imun kompleks,
lipopolisakarida dan lain-lain). menyebabkan terjadinya
kerusakan dari mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan
disfungsi mukosiliar.
Adanya disfungsi mukosiliar menyebabkan terjadinya stagnasi
mukus.
Akibatnya bakteri akan mudah untuk berkolonisasi dan proses
inflamasi akan kembali terjadi.

Etiologi
- ISPA virus dan infeksi sekunder bakteri
- Rinogenik : rinitis alergi, rinitis infeksi, rinitis vasomotor,
rinitis medikamentosa.
- Pajanan lingkungan : polusi udara, iritan dan rokok.
- Obstruksi rongga hidung (hipertrofi konka, deviasi septum,
benda asing) atau meatus medius.
- Kelainan anatomi hidung : indfundibulum lebih sempit dari
normal, obstruksi koana oleh jaringan adenoid jinak.
- Trauma sinus, fraktur dan adanya luka tembak.
- Tonsilitis
- Berenang atau menyelam : air terhisap ke dalam sinus.

Pemeriksaan penunjang

Transluminasi
Laboratorium : CRP (C-Reactive Protein; biasa
meningkat pada infeksi bakteri), LED (Laju endap
darah; tanda inflamasi)
Foto polos posisi waters; menilai air fluid level pada
rinosinusitis akut
CT-Scan
Nasoendoskopi, sinuskopi (kalo tersedia).

Tatalaksana
- Rinosinusitis akut
Common cold : pengobatan simtomatis, seperti dekongestan oral
(pseudoefedrin) atau dekongestan topikal (pseudoefedrin HCl) selama 14
hari. Jika tidak ada perbaikan rujuk ke dokter spesialis THT.
- Rinosinusitis non-viral akut
Gejala sedang (tanpa demam > 38C dan nyeri hebat). Dapat diberikan
kortikosteroid dengan tujuan meredakan gejala akut. Jika dalam 48 jam
membaik, terapi dilanjutkan hingga 7-14 hari. Namun setelah 14 hari
tidak ada perbaikan, sebaiknya pasien dirujuk ke dokter spesialis THT.
Gejala berat (dengan demam > 38C dan nyeri hebat). Dapat diberikan
antibiotik lini I seperti amoxicilin 3 x 500 mg PO atau cotrimoxazole,
amoxicilin-klavulanat 3 x 625 mg PO. Kemudian dengan antibiotik lini II
golongan sefalosporin seperti ( cefixime, cefuroxime). Jika dalam 48 jam
membaik, terapi dilanjutkan hingga 10-14 hari. Namun setelah 14 hari
tidak ada perbaikan, sebaiknya pasien dirujuk ke dokter spesialis THT.

- Rinosinusitis kronis
jika endoskopi tidak tersedia: dapat berikan steroid
topikal, obat cuci hidung (NaCl 0,9 %) dan
antihistamin jika alergi (antihistamin H-1 secara
tunggal atau dikombinasi dengan dekongestan oral).
Terapi dievaluasi selama 4 minggu. Jika perbaikan,
terapi dilanjutkan. Jika tidak ada perbaikan, sebaiknya
pasien dirujuk ke dokter spesialis THT.

Alur penatalaksanaan rinosinusitis

RinitisAlergi

Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan


oleh reaksi alergi pada pasien-pasien yang memiliki atopi,
yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar dengan
allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang
sama serta meliputi mekanisme pelepasan mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang serupa
(Von Pirquet, 1986).
Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejalagejala bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen
yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE. (WHO ARIA
tahun 2001).
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung (Dorland,
2002 ).

Gejala Klinis :
- Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada
pagi hari (umumnya bersin lebih dari 6 kali).
- Hidung tersumbat.
- Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang
disebabkan alergi biasanya bening dan encer, tetapi dapat
menjadi kental dan putih keruh atau kekuning-kuningan jika
berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
- Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga
dan tenggorok.
- Badan lemah, tidak bersemangat.

Patofisiologi Rinitis Alergi


1. Fase Sensitisasi

APC= antigen-presenting cell, MHC= Major Histo-compatibility Complex

2. Fase Provokasi/fase alergi

Mediator kimia lain : prostaglandin D2(PG2D), leukotrien D4(LT D4), PAF= Platelet Activating Factor, berbagai sitokin (IL3, IL4,
IL5, IL6,GM-CSF= Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor)

Etiologi
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang diawali
oleh dua tahap sensitisasi yang diikuti oleh reaksi alergi.
Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu :
1. Immediate Phase Allergic Reaction, Berlangsung
sejak kontak dengan allergen hingga 1 jam
setelahnya.
2. Late Phase Allergic Reaction, Reaksi yang
berlangsung pada dua hingga empat jam dengan
puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat
berlangsung hingga 24 jam.

Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi atas :


1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara
pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel
dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa
makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau
tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan
kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau
perhiasan

Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan


penyakit, pemeriksaan fisik dan uji laboratorium.
Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita
dengan riwayat keluarga atopi atau bila ada keluhan
tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas merupakan
kunci mendiagnosis rinitis alergika. uji laboratorium
yang penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji
kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan
eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi
nasal masih terbatas pada bidang penelitian.

Penatalaksanaan
1. Terapi Non-farmakologi
Terapi non-farmakologi yang paling ideal adalah dengan menghindari
alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Terapi Farmakologi (Terapi Simptomatis)
Medikamentosa- Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan
simpatomimetik, kortikosteroid dan antikolinergik topikal.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1 yang merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan
rinitis alergi. Pemberian dapat diberikan dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa


dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
dengan antihistamin atau topikal. pemakaian secara topikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari
terjadinya rinitis medikamentosa. Beraksi pada reseptor
adrenergik pada mukosa hidung untuk menyebabkan
vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan
memperbaiki pernapasan.

Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin,


merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala
kongesti hidung. Efek samping obat ini antara lain hipertensi,
berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala,
kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi
glaukoma atau tirotoksikosis.

Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin,


oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti
hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada
dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang dari
10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa.
Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk
rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas
antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit.

Preparat Kortikosteroid, digunakan sangat luas dalam


pengobatan berbagai penyakit alergi oleh karena sifat anti
inflamasinya yang kuat. Beragam kerja anti inflamasi
kortikosteroid diperantarai oleh pengaturan ekspresi dari
bermacam gen target spesifik.

Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid,


flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat
mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini
merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi
rinitis alergik dan efektif terhadap kongesti hidung. Efeknya
akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat
setelah beberapa hari.

Kortikosteroid oral/IM
deksametason, hidrokortison,
metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan
betametason) untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas
nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika
memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk
menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM.

3. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka


inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat
dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau troklor asetat.
4. Imunoterapi - Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan
ketika pengobatan medikamentosa gagal mengontrol gejala
atau menghasilkan efek samping yang tidak dapat
dikompromi. Imunoterapi menekan pembentukan IgE.
Imunoterapi juga meningkatkan titer antibodi IgG spesifik.
Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi & netralisasi.
Desensitisasi dan hiposensitisasi membentuk blocking
antibody.

Rinitis Vasomotor
Merupakan suatu keadaan idiopatik
Didiagnosis tanpa adanya: infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal dan pajanan obat
Digolongkan menjadi rinitis non-alergi bila
alergen spesifik tidak ditemukan atau
diidentifikasi
Kelainan pada rinitis vasomotor disebut juga:
vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal
vasomotor instability, atau juga non-allergic

Etiologi

Neurogenik (disfungsi sitem otonom)


Neuropeptida
Nitrik oksida
Trauma

Gejala klinik
Gejala sering dicetuskan oleh rangsangan nonspesifik (cth:asap rokok/debu)
Kelainan mempunyai gejala mirip dengan rinitis
alergi
Gejala dapat memburuk pada pagi hari
(perubahan suhu yang ekstrim)
Kelainan-kelaina pada rinitis vasomotor
digolongkan menjadi:
Golongan bersin (sneezers)
Golongan rinore (runners)
Golongan tersumbat (blockers)

Diagnosis
Umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi
Mencari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala
Pada pemeriksaan rinoskop anterior: edem mukosa
hidung, konka berwarna merah gelap gambaran
khas
Permukaan konka licin atau berbenjol (hipertrofi)
Pada rongga hdung erdapat sekret nukoid
Pemeriksaan lab untuk menyingkirkan rinitis
alergi.

Penatalaksanaan
Menghindari faktor pencetus
Pengobatan simtomatis
Dekongestan
Cuci hidung
Kauterisasi konka
Kortikosteroid oral/topikal
Operatif bedah beku, elektrokauter,
konkotomi partial konka inferior.
Neurektomi n.vidianus

Rinitis medikamentosa
Merupakan suatu kelainan hidung berupa
gangguan respon normal vasomotor
akibat dari penggunaan vasokonstriktor topikal
Dalam jangka waktu yang lama
Sumbatan hidung yang menetap

Patofisiologi
Topikal vasokonstriktor
Vasokonstriksi
Rebound dilatation
Toleransi mukosa hidung menghilang
Dilatasi dan kongesti jar.mukosa hidung

Kerusakan yang terjadi pada mukosa


hidung:

Silia rusak
Perubahan ukuran sel Goblet
Membran basal menebal
P.d melebar
Edema stroma
Hipersekresi mukus

Tanda dan gejala


Keluhan hidung tersumbat
Rinore
Pada pemeriksaan: tampak edema/hipertrofi
konka
Sekret hidung berlebihan
Tampon adrenalin edema konka tidak
berkurang

Penatalaksanaan
Hentikan pemakaian obat
Kortikosteroid oral (tappering off)
Dekongestan oral

Benda Asing pada THT


Anamnesa yang jelas
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjuang atas indikasi:
Ro thoraks
Ro soft tissue servikal AP/LAT
Ro esofagus dengan atau tanpa kontras
Tindakan segera: mengeluarkan BA
Cara dan persiapan tergantung lokasi BA

Karsinoma Nasofaring

Epidemiologi

Epidemiologi
Cina Selatan, Hongkong, Singapura, Malaysia
dan Taiwan 10-53 kasus per 100.000 populasi
per tahun
laki-laki : perempuan 2-3:1
usia rata-rata pasien saat didiagnosis KNF
adalah 45-55 tahun
Pasien muda mempunyai survival rate lebih
baik dibandingkan pasien tua.

PATOFISIOLOGI

Manifestasi Klinis
Gejala dapat dibagi dalam lima kelompok, yaitu:
1. Gejala nasofaring
2. Gejala telinga
3. Gejala mata
4. Gejala saraf
5. Metastasis atau gejala di leher

Manifestasi Klinis
Gejala telinga:

rasa penuh di telinga,


rasa berdengung,
rasa tidak nyaman di telinga
rasa nyeri di telinga,
otitis media serosa sampai perforasi membran
timpani
gangguan pendengaran tipe konduktif, yang
biasanya unilateral

Manifestasi Klinis
Gejala hidung:

ingus bercampur darah,


post nasal drip,
epistaksis berulang
Sumbatan hidung unilateral/bilateral

Gejala telinga, hidung, nyeri kepala >3 minggu


sugestif KNF

Manifestasi Klinis
Gejala lanjut Limfadenopati servikal
Penyebaran limfogen
Konsistensi keras, tidak nyeri, tidak mudah
digerakkan
Soliter
KGB pada leher bagian atas jugular superior,
bawah angulus mandibula

Manifestasi Klinis
Gejala lokal lanjut gejala saraf
Penjalaran petrosfenoid dapat mengenai saraf
anterior (N II-VI), sindroma petrosfenoid Jacob
Penjalaran petroparotidean mengenai saraf
posterior (N VII-XII), sindrom horner, sindroma
petroparatoidean Villaret

DIAGNOSIS

Rhinoskopi posterior
Nasofaring direct/indirect
Biopsi
CT Scan/ MRI
FNAB KGB
Titer IgA anti :
VCA: sangat sensitif,
kurang spesifik
EA: sangat kurang
sensitif,
spesifitas
tinggi

DPL
Evaluasi gigi geligi
Audiometri
Neurooftalmologi
Ro Torax
USG Abdomen, Liver
Scinthigraphy
Bone scan

Staging
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM
menurut UICC (2002)

T : tumor primer
T1 : tumor terbatas di nasofaring
T2 : tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/atau fossa hidung

T2a tanpa perluasan ke parafaring


T2b dengan perluasan ke parafaring
T3 : tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 : tumor dengan perluasan intracranial dan/atau keterlibatan saraf
cranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbit
N : pembesaran kelenjar getah bening regional
Nx : tidak jelas adanya keterlibatan kelenjar getah benih (KGB)
N0 : tidak ada keterlibatan KGB
N1 : metastasis pada KGB ipsilateral tunggal, 6 cm atau kurang di
atas fossa supraklabikula
N2 : metastasis bilateral KGB, 6 cm atau kurangm di atas fossa
supraklavikula
N3a
: > 6 cm
N3b
: pada fossa supraklavikula
M : metastasis jauh
M0 : tidak ada metastasis jauh
M1 : ada metastasis jauh

PENGOBATAN
Radioterapi
Stadium dini tumor primer
Stadium lanjut tumor primer (elektif),
KGB membesar
Kemoterapi
Stadium lanjut / kekambuhan sandwich
Operasi
sisa KGB diseksi leher radikal
Tumor ke ruang paranasofaringeal/ terlalu besar
nasofaringektomi

FOLLOW UP
Pemeriksaan klinis, CT Scan ulang 2-3 bulan
setelah radioterapi
Tiap 3 bulan(2 tahun pertama) tiap 6 bulan(2
tahun berikutnya) setiap tahun (10 tahun
pascaterapi)

PERAWATAN PALIATIF

Menghilangkan rasa nyeri obat


Mengontrol gejala
Memperpanjang hidup
Menomorsatukan kualitas hidup

PROGNOSIS
5-years survival rate dengan hanya
diradioterapi:
stadium I (85-95%)
stadium II (70-80%)
stadium III & stadium IV (24-80%)

Tipe WHO: tipe 1 (kurang radiosensitif),


tipe 2 & 3 (radiosensitif)

PROGNOSIS
Faktor yang memperburuk:
stadium lanjut
> 40 tahun
laki-laki
ras Cina
ada pembesaran kelenjar leher
lumpuh saraf otak
tulang tengkorak yang rusak
metastasis jauh

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai