Anda di halaman 1dari 28

Insidensi Faktor Risiko, dan Hasil dari

Enteritis, Tiflitis, dan Kolitis pada


Anak-anak dengan Leukemia Akut
Amy Shafey, MD, Marie-Chantal Ethier, BSc, Jeffrey
Traubici, MD, Ahmed Naqvi, MD, dan Lillian Sung, MD, PhD

Pendahuluan

Pediatri

Leukemia
Limfoblastik
Akut

Januari 1999
Januari
2008

Terdapat
enteritis,
tiflitis, atau
kolitis

Pendahuluan

7.3% pasien ALL dan


14.6% pasien AML

Enteritis 8 pasien
Tiflitis 15 pasien
Kolitis 9 pasien
Enterokolitis 9 pasien

Pendahuluan
25 pasien
dipaparkan dengan
kortikosteroid
sebelumnya

35 pasien
mengalami demam
dan neutropenia
bersamaan dengan
episode tersebut

3 pasien tidfak
menerima terapi
apapun dan tidak
mengalami
masalah berarti

48 pasien diterapi
dengan
mengistirahatkan
usus total dan
antibiotic spectrum
luas

Komplikasi
1. Sepsis pada 7
pasien
2. Obstruksi usus
pada 3 pasien

Anak-anak

enterokoli
tis
tiflitis
colitis

Etiologi

Imunosupresa
n
Cedera
mukosa
Infeksi bakteri
Edema usus
Pembengkaka
n pembuluh
darah
Nekrosis
jaringan

Sekitar 5%-10% anak-anak dengan


kanker akan mengalami komplikasi
ini selama terapi.
Mortalitas pada pasien bisa
mencapai 10% hingga 100%.

Anak-anak dengan leukimia


limfoblastik akut (ALL) dan
leukimia mieloid akut (AML) bisa
menjadi faktor resiko khusus
terhadap komplikasi-komplikasi
GI yang berhubungan dengan
paparan kortikosteroid, periode
neutropenia yang
berkepanjangan, seringnya
pemberian antibiotik, dan
episode infeksi berulang.

Hanya sedikit data yang diketahui


mengenai insidensi, faktor resiko,
dan hasil pada pasien dengan
enteritis, tiflitis, dan kolitis dengan
terapi kontemporer.

Tujuan kami adalah untuk


mendeskripsikan insidensi, faktor
resiko, gejala, terapi, dan hasil dari
enteritis, tiflitis, dan kolitis pada
anak-anak dengan leukimia akut.

Bahan dan Metode


Pasien
Kriteria inklusi: berusia 1 hingga 18 tahun
yang didiagnosis dengan ALL atau AML antara
Januari 1999 sampai Januari 2008.
Kriteria eksklusi: kurang dari 1 tahun saat
diagnosis dan pasien-pasien dengan ALL-B
matang (L3) dan leukimia promielositik.

Bahan dan Metode


Desain Studi
Modalitas radiologis apapun yang mencakup ultrasonografi, tomografi
terkomputerisasi (CT), dan radiografi polos ikut ditinjau.
Kasus-kasus diklasifikasikan sebagai enteritis, tiflitis, kolitis, atau
enterokolitis
Kasus akan dipilih jika penebalan radiografik yang signifikan dilaporkan oleh
radiologis yang memeriksa.
Untuk semua pasien dengan enteritis, tiflitis, kolitis, atau enterokolitis, maka
gambaran klinisya, terapi, dan hasilnya akan dirangkum dari grafik pasien.
Tanggal onset dari episode komplikasi ditentukan sebagai hari pertama
munculnya gejala-gejala gastrointestinal, Tanggal akhirnya ditentukan
sebagai hari terakhir munculnya gejala atau hari terakhir terapi.

Bahan dan Metode

Statis
tik

Demografik, gambaran klinis, terapi,


dan hasilnya digambarkan dalam
bentuk proporsi untuk variabelvariabel kategorikal dan dalam bentuk
median dengan rentang interquartil
(IQR) untuk variabel-variabel kontinyu.
Proporsinya akan dibandingkan pada
pasien ALL dan AML menggunakan tes
X2.
Analisis dilakukan menggunakan
program statistik SAS

Hasil
Selama periode studi, ada 449 pasien dengan ALL dan
89 pasien dengan AML yang memenuhi syarat.
Ada 46 pasien yang mengalami 51 episode enteritis,
tiflitis, kolitis, atau enterokolitis selama rentang waktu
studi. Empat pasien mengalami episode berulang: 3
pasien mengalami sebanyak 2 episode, dan 1 pasien
mengalami 3 episode.
Di antara 46 pasien, komplikasinya secara signifikan
lebih jarang pada pasien dengan ALL (33/449, 7.3%) jika
dibandingkan dengan pada AML (13/89, 14.6%; P =
0.04).

Hasil
Keadaan yang terjadi terdiri atas enteritis (8, 15.7%),
tiflitis (15, 29.4%), kolitis (19, 37.2%), dan enterokolitis
(9, 17.6%).
Secara khas, komplikasi terjadi segera setelah diagnosis
dari leukimia, dengan median waktu dari onset leukimia
sampai terjadinya komplikasi adalah 3.0 bulan (IQR, 1.0
sampai 9.0).

Hasil
Menurut fase terapi, pada kelompok ALL, episode komplikasi bisa terjadi sebelum
inisiasi kemoterapi (n = 3), selama induksi (n = 7), konsolidasi (n = 4), intensifikasi
lambat (n = 7), dan fase pemeliharaan (n = 12), dan juga saat menerima kemoterapi
karena penyakit kambuh (n = 3).
Lebih spesifik, episode komplikasi terjadi pada beberapa fase berikut ini: induksi
berbasis deksametason (n = 3), induksi berbasis prednison (n = 4), konsolidasi
berbasis siklofosfamid dan sitarabin (n = 2), intensifikasi lambat berbasis
deksametason (n = 5), dan intensifikasi lambat berbasis non-deksametason (n = 2).
Pada kelompok AML, episode terjadi saat induksi (n = 7), atau saat
konsolidasi/intensifikasi (n = 8).

Hasil
49% pasien telah terpapar dengan kortikosteroid selama 14
hari sebelum onset dari episode komplikasi.
Steroid yang paling sering digunakan adalah deksametason
Ketika enteritis, tiflitis, atau kolitis telah terdiagnosis, steroid
tetap dilanjutkan atau diberikan pada 22 kasus (43.1%).
Pemberian kemoterapi sistemik non-kortikosteroid selama 30
hari sebelum onset episode terjadi pada 39 (76.4%) pasien.

Hasil

Hasil

Demam merupakan hal yang sangat umum ditemui dan 28


(54.9%) mengalami demam saat onset episode.
Gejala-gejala umum yang lain saat datang adalah nyeri perut,
diare, muntah, dan mual.
Ada 3 episode yang digambarkan hanya dengan demam tanpa
gejala-gejala gastrointestinal; ada yang memunculkan semua
gejala diare, muntah, atau distensi abdomen.
Satu episode merupakan episode asimptomatik dan merupakan
temuan yang tidak sengaja dari pencitraan radiologis ketika
menindak lanjut infeksi Aspergillus.
Diare merupakan gejala yang paling umum ditemukan pada
episode ini.
Tiga puluh lima (68.6%) pasien mengalami demam dan
neutropenia selama episode.

Hasil
Modalitas radiologis yang digunakan untuk mendeteksi
komplikasi ini sebagian besar adalah ultrasonografi (30,
58.8%), diikuti dengan CT scan (18, 35.5%) dan
radiografi polos (3, 5.9%).
Tidak ada kasus yang didiagnosis dengan MRI. Kultur
positif ditemukan pada 27 (52.9%) episode.
Tujuh spesimen feses positif mengandung toksin
Clostridium difficile, dan 5 spesimen positif
mengandung Torovirus.
Lima kultur darah positif untuk Staphylococcus
koagulase negatif dan 4 kultur darah positif
mengandung Escherichia coli.

Hasil
Sebagian besar pasien tidak diijinkan untuk makan atau minum dan
menerima nutrisi parenteral total.
Hampir semua pasien diterapi dengan antibiotik spektrum luas dan
sekitar 14% ada di unit perawatan intensif (ICU).
Meskipun demikian, ada pasien yang tidak menerima terapi apapun,
termasuk tidak dilarang untuk makan dan minum, tidak menerima nutrisi
parenteral total, ataupun antibiotik.
Dua dari pasien ini menjalani pemeriksaan radiologis yang dilakukan
untuk keluhan nyeri perut saat kunjungan di klinik, sedangkan 1 pasien
mengalami mual dan nyeri perut saat masuk rumah sakit untuk keperluan
kemoterapi.
Ketiga episode tersebut mengalami pemulihan gejala tanpa komplikasi
lebih lanjut.

Hasil
Komplikasi yang paling sering adalah sepsis
sementara pada 7/51 (13.7%) episode, dengan 3/51
(5.9%) diantaranya kemungkinan disebabkan oleh
komplikasi dan obstruksi gastrointestinal pada 3/51
(5.9%).
Satu pasien memerlukan tindakan bedah untuk
drainase abses yang berhubungan dengan tiflitis yang
menghasilkan pemulihan abses dan tidak ada
komplikasi lebih lanjut.

Hasil
Dua pasien meninggal dalam periode 2
minggu setelah diagnosis mengalami
episode komplikasi.
Seorang pasien berusia 2.5 tahun
dengan ALL telah menyelesaikan fase
konsolidasi.

Diskusi

8.6% dari anak-anak dengan leukemia akut


mengalami enteritis, tiflitis, kolitis, atau enterokolitis,
dan komplikasi-komplikasi ini lebih umum terjadi
pada AML jika dibandingkan dengan ALL.

Komplikasi ini secara khas terjadi pada awal terapi


dan bisa terjadi sebelum inisiasi kemoterapi.

Demam, diare, muntah, dan nyeri perut merupakan


gejala yang paling umum. Infeksi oleh patogenpatogen gastrointestinal dan bakteremia secara
relatif umum terjadi.
Terakhir, hasilnya akan baik dengan menggunakan
managemen konservatif, beberapa pasien tidak
memerlukan terapi apapun.

Diskusi
Temuan kami mirip dengan studi dengan pusat tunggal baru-baru ini yang dilakukan di Inggris, di mana dilakukan
peninjauan catatan medis 596 anak dengan kanker yang menjalani pemeriksaan radiologis untuk masalah nyeri
perut.
Tiflitis ditemukan pada 11.6% pasien yang menerima kemoterapi.

Sebaliknya, El-Matary et al mengidentifikasi 9/410 (2.2%) anak dengan kanker yang mengalami tiflitis
menggunakan kriteria diagnostik demam, nyeri perut, penebalan dinding perut >0.4 cm dan neutropenia.
Prevalensi enteritis, tiflitis, dan kolitis yang lebih tinggi dalam penelitian kami kemungkinan berhubungan dengan
penentuan diagnosis yang hanya berdasarkan pada kriteria radiologis, gambaran dari enteritis dan kolitis sebagai
tambahan pada tiflitis, dan pembatasan pada populasi hanya pada anak-anak dengan leukimia akut, dari pada jika
melakukannya pada semua anak dengan kanker.
McCarville et al meninjau catatan medis dari 3171 anak-anak yang didiagnosis dengan tiflitis yang dikonfirmasi
dengan klinis dan radiologis. Gejala utama yang didapatkan pada penelitian tersebut adalah demam (84%), nyeri
perut (92%), dan peningkatan sensitivitas perut terhadap nyeri (82%), serta diare (72%).

Diskusi
Meskipun banyak studi mengandalkan konfirmasi radiologis menggunakan CT atau
ultrasonografi, tidak didapatkan adanya ketentuan radiologis yang tegas untuk
menetapkan adanya tiflitis atau enterokolitis.
Penebalan dinding usus >3 mm menggunakan CT atau ultrasonografi telah
dianggap sebagai sebuah kriteria diagnostik oleh beberapa peneliti.
Dukungan untuk pendekatan ini datang dari sebuah studi mengenai enterokolitis
neutropenia di mana diamati hubungan antara derajat ketebalan dinding usus dan
lamanya durasi gejala.
Pasien dengan ketebalan dinding usus >10 mm memiliki angka mortalitas yang
secara signifikan lebih tinggi (60%).

Diskusi
Studi kami menggambarkan bahwa
kortikosteroid yang paling sering
diberikan sebelum terjadinya
episode komplikasi adalah
deksametason.
Studi sebelumnya telah menunjukkan
bahwa deksametason berhubungan
dengan komplikasi infeksius dan
toksisitas yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan prednison.
Patofisiologi mengenai hubungan
tersebut tidak jelas.

Diskusi
Managemen konservatif yang terdiri dari pengistirahatan usus,
nutrisi parenteral, dan antibiotik spektrum luas berhubungan
dengan hasil yang baik.

Kasus yang istimewa, observasi dari 3 pasien yang tidak


menerima tatalaksana namun akhirnya tidak menunjukkan
komplikasi memperjelas bahwa beberapa anak mungkin tidak
memerlukan terapi, meskipun identifikasi yang akurat
mengenai kasus khusus yang demikian bukanlah hal yang
mudah.

Beberapa anak bisa dengan aman melanjutkan terapi


kortikosteroid.

Diskusi
Kekuatan dari studi kami
adalah jumlah yang besar
dari anak-anak dengan
leukimia yang terlibat.

Karena sifat retrospektif


dari studi kami, gejalagejala hanya diketahui
jika terdokumentasi di
dalam grafik pasien.

Terapi dari masalah ini


tidak distandardisasi, dan
dengan demikian. Kami
tidak tau komponen mana
dari terapi yang
merupakan komponen
yang paling penting untuk
kesembuhan.

Karena diagnosis
mengandalkan
pemeriksaan radiologis,
studi kami tidak bisa
mengidentifikasi adanya
komplikasi pada anakanak yang tidak
menjalani pemeriksaan
radiografi.

Kesimpulan
Enteritis, tiflitis, dan kolitis merupakan komplikasi yang umum terjadi pada
anak-anak dengan ALL dan AML.
Adanya demam, diare, nyeri perut merupakan gejala-gejala yang umum dan
seharusnya bisa mengarahkan dengan tepat ke diagnosis-diagnosis tersebut.
Pasien secara umum memiliki hasil yang baik dengan managemen konservatif.
Beberapa pasien mungkin tidak memerlukan terapi apapun.
Penelitian lebih lanjut sebaiknya berfokus pada identifikasi dari kriteria
diagnostik minimal dan strategi managemen optimal untuk pasien-pasien ini.

Anda mungkin juga menyukai