Disusun oleh : Willyanto JunaidI H. Ismiar Asthika Tehdi Hemawati Rose Mega Ayu Lestari Sherly Gunawan
Kronologi Kasus A.B.
Susanto Berawal dari keluhan nyeri punggung, Susanto seorang managing partnerdari The Jakarta Consulting Group datang memeriksakan dirinya ke RS Siloam pada Oktober 2005. Kemudian dilakukan pemeriksaan rontgen oleh dokter E. J, SpBS yang dilanjutkan dengan terapi dan penggunaan korset.
Pada Desember 2005, rasa sakit kembali
datang dan A.B. Susanto pun kembali
memeriksakan diri ke RS Siloam. Hasilnya,A.B. Susanto menderita infeksi tulang belakang danbronchitissehingga harus dirawat di rumah sakit selama lima hari.
Setelah dirawat, A.B. Susanto melakukan
kontrol rutin. Saat itulah dr. E. J, SpBS
menyarankan agar Susanto melakukan `injection cement` pada torak/bagian punggung. Susanto diberitahukan bahwa injeksi itu tak berisiko dan tidak memiliki efek samping.
Awalnya Susanto menolak tindakan `injection
cement`namun setelah konsultasi berkali kali
dengan dokter yang menanganinya akhirnya Susanto menyetujui tindakan tersebut dengan alasan dokter yang menanganinya mengatakan bahwa tidak ada resiko dari tindakan tersebut lalu Susant0 menyetujui usulan itu dan berharap akan kesembuhannya. Sesaat sebelum tindakan injeksi dilakukan, perawat meminta Susanto menandatangani persetujuan tindakan medis.
Setelah beberapa hari dilakukan injeksi,
Susanto mengalami kelumpuhan total pada
tungkai kirinya. Ternyata, setelah dikonfirmasi, yang melakukan injeksi bukan dr. E. J, SpBS, melainkan asistennya yaitu dr. J.J.
Keluarga AB Susanto pun jadi tergugah untuk
meminta rekam medis pria yang telah menerbitkan
lebih dari 40 buku tentang menejemen tersebut. Namun setelah diminta berulang kali, pihak RS Siloam menolak dengan alasan rekam medis adalah milik rumah sakit, tidak boleh dibawa keluar. Hal itu membuat AB Susanto dan keluarganya mencari alternatif pengobatan di RS Mount Elizabeth Singapura. "Baru beberapa bulan yang lalu pihak menejemen mau memberikan cacatan medis, tapi masih ada 8 macam berkas lagi yang masih ditahan oleh pihak sakit dan tidak bisa diberikan kepada kami," katanya.
hasil pemeriksaan di RS Mount Elizabeth
menunjukkan bahwa terdapat perubahan di sumsum
tulang belakang kliennya. Hal itu disebabkan bekas peradangan akibat `injecting cement`. Selain injeksi juga dinilai salah sasaran, kelumpuhan pada tungkai kiri disebabkan karena jarum suntik yang menyentuh sumsum tulang belakang. untuk mengatasi kelumpuhan, AB Susanto harus menjalani terapi fisik melalui air. Saat ini pria kelahiran Yogyakarta, 5 September 1950 ini, sudah bisa berjalan kembali dengan memakai tongkat, katanya.
Susanto sudah melaporkan kejadian itu pada
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Anggota Dewan Penasihat Asosiasi Mediator Indonesia itu juga telah mensomasi pihak rumah sakit pada 1 Juli 2009 dan 14 Juli 2009. Namun tidak disambut positif. Dalam surat tanggapannya, RS Siloam Karawaci menyatakan rumah sakit itu berjanji akan memberikan pelayanan yang baik terhadap AB Susanto yang merupakan pasiennya. Akhirnya, Susanto melalui kuasa hukumnya dari Idcc & Associates memilih melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 15 Juli 2009.
Dalam gugatan itu, RS Siloam, dr E.J, SpBS, dr J. J.
didudukkan sebagai tergugat I, II, dan III.
Pihak yang berwenang mengawasi dokter yakni dr A. (Chief Executive Officer) dan dr A. T. (Head of Division Anciliarry Services and Medical Affairs) disasar sebagai tergugat IV dan V. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dan Managing Direktur Lippo Group juga disasar menjadi Turut Tergugat I dan II. Tidak hanya itu, pihak penggugat juga dalam pokok gugatannya menuntut ganti rugi dengan total uang sebesar Rp 181.856.000.000.
Namun gugatan terhadap RS Siloam ditolak
oleh pengadilan negeri Jakarta Utara, Maka
A.B. Susanto mengajukan banding dan melaporkan kasusnya ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Pada tanggal 3 juni 2010 Majelis memutuskan
dua dokter yang menangani A.B. Susanto
yaitu dr E. J, SpBSdan dokter J. J., bersalah. Dokter E. J, SpBS dijatuhi sanksi disiplin dengan pencabutan izin praktek tiga bulan, sedangkan dokter J. J. mendapat skors dua bulan.
Analiasa Kasus Dalam kasus A.B. Susanto ini. Dr E. J, SpBS melanggar
Undang undang praktek kedokteran dengan salah
memberitahu Inform consent dengan jelas yaitu mengenai resiko yang mungkin terjadi terhadap pasien setelah dilakukan tindakan `injecting cement` dengan menyatakan bahwa tindakan tersebut tidak ada resiko . Tindakan `injecting cement` ternyata tidak dilakukan oleh Dr E. J, SpBS tetapi dilakukan oleh asistennya yaitu Dr J. J. A.B. Susanto merasa dirugikan karena setelah dilakukan tindakan `injecting cement` A.B. Susanto mengalami peradangan di tungkai kirinya akibat tindakan `injecting cement`salah sasaran sehingga mengenai sumsum tulang dan menyebabkan pasien menjadi lumpuh total.
Sesuai UU Praktik Kedokteran, Inform cosent harus
diberitahu dengan jelas kepada pasien terutama
mengenai resiko yang mungkin terjadi kepada pasien setelah dilakukannya suatu tindakan medis. Menurut Undang Undang Kedokteran penyelesaian kasus ketidakpuasan A.B. Susanto terhadap pelayanan kesehatan RS Siloam Tangerang dilakukan di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). MKDKI merupakan lembaga otonom di bawah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang berwenang menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi serta mengenakan sanksi kepada pihak yang terbukti melakukan pelanggaran.
Aspek pidana A.B Susanto menuntut dr. E. J, SpBS dan
dr. J. J. agar bertanggung jawab atas
kelumpuhan yang dia alami A.B. Susanto juga menuntut RS Siloam secara perdata dengan menuntut ganti rugi dengan total uang sebesar Rp 181.856.000.000. karena merasa telah dirugikan oleh suatu tindakan medis .
Kesimpulan Dalam Kasus A.B. Lebih kepada salah
memberitahu tenteng resiko yang mungkin
dihadapi pasien setelah dilakukan tindakan medis. Didalam kasus ini tindakan medis seharusnya dilakukan oleh Dr. E J, SpBS, bukan oleh asistennya Dr J. J. , karena yang memberikan inform consent adalah Dr E. J, SpBS , Dr J. J. bersalah karena tidak hati hati dalam melakukan suntikan sehingga salah sasaran megenai sumsum tulang yang mengakibatkan pasien menjadi lumpuh.
A.B. Susanto mencoba menuntut RS Siloam
melalui jalur hukum namun ditolak, akhirnya
mengadukan kasus ini ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) karena hal tersebut diatur dalam Undang Undang Kedokteran. Akhirnya MKDKI memutuskan untuk mejatuhkan sanksi disiplin kepada kedua dokter tersebut sesuai dengan peraturan undang undang praktek kedokteran.
Undang-undang yang
Ps. 2 Permenkes no. 585/menkes/per/IX/1989
terkait
- ayat 3 : persetujuan sebagaimana dimaksud diberikan
setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya
Ps. 4 Permenkes no. 585/menkes/per/IX/1989
- ayat 1 : informasi tentang tindakan medik harus
diberikan kepada pasien, baik diminta ataupun tidak - ayat 2 : dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter menilai informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi
Ps. 5 Permenkes no. 585/menkes/per/IX/1989
- ayat 1 : informasi yang diberikan mencakup
keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik Ps 360 KUHP
- ayat 1 : barangsiapa karena kelalaiannya
menyebabkan orang lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun
- ayat 2 : barangsiapa karena kelalaiannya
menyebabkan orang lain mendapat luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankanpekerjaan selama waktu tertentu diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidan kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi sebesar empat ribu lima ratus rupiah