Anda di halaman 1dari 21

BAB X

SILOGISME HIPOTETIS
10.1. PENGERTIAN SILOGISME HIPOTETIS
Silogisme hipotetis adalah silogisme yang
memiliki premis mayor berupa proposisi
hipotetis, sementara premis minor dan
kesimpulannya berupa proposisi kategoris.
Berdasarkan jenis-jenis proposisi
hipotetisnya, ada tiga macam silogisme
hipotetis, yaitu silogisme kondisional,
silogisme disjungtif, dan silogisme
konjungtif.
10.2. SILOGISME KONDISIONAL
Silogisme kondisional adalah silogisme yang
mempunyai premis mayor berupa proposisi
kondisional, sementara premis minor dan
kesimpulannya berupa proposisi kategoris.
Rumusan silogisme semacam ini mengingatkan
kita tentang proposisi yang menyatakan
hubungan ketergantungan atau dependensi
antara dua klausa atau anak kalimat, yaitu
antesedens dan konsekuens. Kebenaran
putusan hipotetis semacam ini terletak di
antara kalimat yang satu (antesedens) dan
kalimat yang lainnya (konsekuens).
Contoh:
Jika ada hidup, maka ada perjuangan.
Hidup ini ada.
Ada dua bentuk silogisme kondisional
yang valid, yaitu modus ponens dan
modus tollens.

10.2.1. MODUS PONENS


Modus ponens adalah silogisme yang
memiliki ketentuan sebagai berikut: jika
antesedens cocok untuk premis minor,
maka konsekuens harus cocok pula
dalam kesimpulannya. Kebenaran yang
terkandung di dalam antesedens
mempengaruhi kebenaran
konsekuensnya.
Dalam modus ponens, antesedens
memiliki persyaratan yang menentukan
atau mempengaruhi kebenaran
konsekuens. Oleh karenanya, kemunculan
antesedens selalu akan diikuti oleh
konsekuens. Dengan kata lain, pemenuhan
persyaratan yang ditawarkan oleh
antesedens menentukan terbentuknya
konsekuens.
Contoh:
Jika seseorang mengidap kanker, maka ia
sakit parah.
Mario mengidap kanker.
Pelanggaran terhadap aturan tersebut
menimbulkan sesat pikir penyingkiran
antesendens dan dapat menimbulkan
penyimpulan yang tidak relevan (ignoratio
elenchi).
Contoh yang tidak valid:
Jika seseorang mengidap AIDS, maka ia
mengidap penyakit yang sangat
menyedihkan.
Mario tidak mengidap AIDS.
Jadi, Ia tidak mengidap penyakit yang
sangat menyedihkan.
Dalam contoh di atas, jika premis minor
tidak dimunculkan, maka hal itu tidak
mempengaruhi kebenaran konsekuensnya.
Artinya, Mario bisa saja mengidap penyakit
yang sangat menyedihkan meskipun bukan
AIDS, misalnya leukimia, TBC, dan lain-lain.
Dalam kasus seperti ini, jika antesedens
salah, maka konsekuensnya belum tentu
juga salah.
10.2.2. MODUS TOLLENS
Modus tollens adalah silogisme yang memiliki
ketentuan sebagai berikut: apa yang tidak benar
di dalam konsekuens mengandaikan
ketidakbenaran dalam antesedens. Artinya, jika
konsekuens tidak sesuai dengan premis minor,
maka kesimpulannya juga tidak dapat menerima
antesedens.
Perlu dicatat di sini bahwa kebenaran
konsekuens pada prinsipnya tergantung
pada terpenuhinya persyaratan
antesedens. Artinya, jika konsekuens tidak
terbentuk, berarti persyaratan yang
terkadung di dalam antesedens
sebenarnya tidak mengandung kebenaran.
Jadi, apa yang tidak benar dalam
konsekuens mengikuti apa yang tidak
benar di dalam antesedens.
Contoh yang valid:
Jika seseorang mengidap kanker tulang, ia
dapat dinyatakan sakit keras.
Contoh yang tidak valid:
Jika seseorang menderita rabun jauh, maka
ia memerlukan kacamata.
Yuan memerlukan kacamata.
Jadi, ia menderita rabun jauh.
Dalam contoh yang kedua, Yuan
memerlukan kacamata tidak selalu dapat
diartikan bahwa ia menderita rabun jauh,
tetapi mungkin saja ia menderita rabun
dekat atau hanya memerlukan kacamata
dengan maksud hanya untuk menghias diri
saja. Jadi kebenaran konsekuens tidak
selalu mengikuti kebenaran antesedens.
Dengan kata lain, jika konsekuens benar,
maka antesedens dapat benar dan dapat
10.2.3. MODUS KONSTRUKTIF
Modus konstruktif adalah silogisme yang
memiliki ketentuan sebagai berikut: premis
minor sesuai dengan antesedens dan
kesimpulannya sesuai dengan konsekuens.
Contoh:
Jika A = B maka C = D Jika A = B, maka
CD
Padahal A = B Padahal A = B
Jadi, C = D Jadi, C D

Jika A B, maka C = D Jika A B, maka C


D
Padahal A B Padahal A B
10.2.4. MODUS DESTRUKTIF
Modus destruktif adalah silogisme yang
memiliki ketentuan sebagai berikut: premis
minor menolak konsekuens, sementara
kesimpulan menolak antesedens.

Contoh:
Jika A = B maka C = D Jika A = B,
maka C D
Padahal C D Padahal C =D
Jadi, A B Jadi, A B

Jika A B, maka C = D Jika A B,


maka C = D
Padahal C D Padahal C = D
10.3. SILOGISME DISJUNGTIF
Silogisme disjungtif adalah silogisme
yang memiliki premis mayor berupa
proposisi disjungtif, sedangkan premis
minor dan kesimpulannya berupa
proposisi kategoris.
Contoh:
Munir akan pergi kuliah atau nonton film.
Ia ternyata pergi kuliah.
Jadi, ia tidak pergi nonton film.
Dalam kasus disjungsi lengkap, yaitu
disjungsi di mana masing-masing bagian
bersifat ekslusif secara timbal balik atau
kontradiktoris satu sama lain, kita
temukan dua modus yang mungkin.
Modus ponendo tollens, yakni pilihan
yang satu ditempatkan dalam premis
minor dan menyingkirkan atau
mengingkari pilihan yang lain dalam
kesimpulan.
Contoh:
Semua napi bersifat manusiawi atau
kejam.
Ia itu selalu manusiawi.
Contoh:
Semua napi bersifat manusiawi atau
kejam.
Ia itu kejam.
Jadi, ia itu tidak manusiwi.
Modus tollendo ponens, yakni salah satu pilihan
dinegasikan dalam premis minor, sedangkan
kedua pilihan yang lainnya diafirmasi dalam
kesimpulannya.
Contoh:
Pembantu itu sopan atau kurang ajar.
Ia tidak sopan.
Jadi, ia itu kurang ajar.
Contoh lain:
Pembantu itu sopan atau kurang ajar.
Ia tidak kurang ajar.
Jadi, ia sopan.
Dalam kasus disjungsi tidak lengkap,
yaitu disjungsi di mana bagian-
bagiannya tidak bersifat ekslusif satu
sama lain atau tidak bersifat
kontradiktoris. Di sini hanya ada satu
modus yang dianggap valid, yaitu modus
ponendo tollens. Secara umum modus
ini mengikuti aturan atau hukum-hukum
perlawanan.
10.4. SILOGISME KONJUNGTIF
Silogisme konjungtif ialah silogisme yang
mempunyai premis mayor yang berbentuk
proposisi konjungtif, sementara premis minor
dan kesimpulannya berupa proposisi kategoris.
Proposisi konjungtif adalah proposisi yang
memiliki dua predikat yang bersifat kontraris,
yakni tidak mungkin sama-sama memiliki
kebenaran pada saat bersamaan.
Contoh:
Air tidak bisa dirasakan panas dan dingin pada
saat yang bersamaan.
Air ini dingin.
Jadi, air ini tidak panas.
Hanya ada satu modus yang valid dalam
silogisme konjungtif, yaitu modus ponendo
tollens, di mana pilihan terdapat pada
premis minor dan pilihan lain ada pada
kesimpulannya.
Contoh:
Kita tidak mungkin berada di Surabaya dan
Yogyakarta pada saat yang sama.
Kita berada di Yogyakarta.
Jadi, kita tidak berada di Surabaya.
Ini berarti bahwa kebenaran suatu pilihan
mengikuti ketidakbenaran pilihan yang lainnya.
Fakta bahwa kita berada di Yogyakarta berarti
tidak mungkin kita berada di Surabaya pada saat
yang sama. Dengan kata lain, mustahil kita
berada pada dua tempat sekaligus pada saat
yang sama.
Meskipun demikian, ketidakbenaran salah satu
pilihan tidak selalu diikuti oleh kebenaran pilihan
yang lainnya.
Contoh:
Kita tidak mungkin berada di Surabaya dan di
Yogyakarta pada saat yang sama.
Kita tidak berada di Surabaya.
Jadi, kita berada di Yogyakarta.
Dari contoh di atas, kesimpulannya tidak
selalu harus begitu sebab selain di
Yogyakarta masih terdapat sekian banyak
tempat lain di mana kita dimungkinkan
untuk berada pada suatu saat tertentu.

Anda mungkin juga menyukai