mewajibkan peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian Diberlakukannya larangan ekspor produk tambang jenis tertentu dalam kondisi mentah (raw material) tahun 2014 Latar Belakang
Ekspor mineral mentah mengakibatkan tidak
adanya penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai karena bijih dan konsentrat bukan termasuk Barang Kena Pajak (BKP) Pertambangan menghadai 2 kondisi pilihan: 1. Menyesuaikan produksi tambang dengan kapasitas smelter yang tersedia 2. Menyesuaikan kapasitas smelter dengan jumlah produksi tambang (membangun smelter baru) Rumusan Masalah
Seberapa besar dampak pada kondisi Ekonomi
Indonesia apabila kebijakan pelarangan ekspor raw material diterapkan Tujuan
Menganalisis kebijakan nilai tambah berdasarkan
UU No. 4 Tahun 2009 dalam konteks pelarangan ekspor raw material dan dampaknya terhadap kondisi ekonomi Mengetahui seberapa besar dampak penerapan kebijakan tersebut terhadap kondisi ekonomi regional dengan indikator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tinjauan Pustaka
Tembaga menduduki peringkat cadangan ke-7 (4.10%)
dan peringkat ke-2 produksi (10.4%) dengan dominasi wilayah di Kabupaten Mimika dan Kabupaten Sumbawa Barat. Industri pertambangan batubara dan mineral telah berkontribusi sekitar 4-5% dari total GDP Indonesia tahun 2006-2011 (Badan Pusat Statistik) Dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) terdapat 3 kegiatan ekonomi berbasis pertambangan, yaitu bauksit, nikel, dan tembaga. Time Frame Pembentukan Kebijakan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Peningkatan Nilai Tambah Mineral Analisis dengan Tabel Input-Output (I-O)
Untuk mengetahui peranan sektor pertambangan terhadap
perekonomian harus dilihat secara menyeluruh bagaimana hubungan sektor pertambangan dengan sektor-sektor lain. Salah satu cara untuk mengetahui peranan antarsektor terhadap perekonomian adalah dengan menggunakan Model Input-Output (I-O). Tabel I-O pada dasarnya merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta keterkaitan antarsektor ekonomi dalam suatu wilayah pada suatu periode waktu tertentu. Transaksi dalam penyusunan tabel I-O harus memenuhi asumsi dasar, yaitu homogenitas, proporsionalitas, dan aditivitas. Struktur model tabel I-O
Kuadran pertama, menunjukkan arus barang dan jasa yang dihasilkan
dan digunakan oleh sektor-sektor dalam suatu perekonomian, Konsumsi barang dan jasa yang dimaksud adalah penggunaan untuk proses kembali, baik sebagai bahan baku atau bahan penolong sehingga transaksinya disebut dengan transaksi antara. Kuadran kedua, menunjukkan permintaan akhir (final demand). Permintaan akhir ini biasanya terdiri dari konsumsi rumah tangga (C), konsumsi pemerintah (G), investasi (I), dan ekspor (E). Kuadran ketiga, disebut sebagai input primer karena bukan merupakan bagian dari output suatu sektor produksi. Input primer adalah semua balas jasa faktor produksi dan meliputi upah dan gaji, surplus usaha ditambah penyusutan, dan pajak tidak langsung netto. Kuadran keempat, memperhatikan input primer yang langsung didistribusikan ke sektor-sektor permintaan akhir. Struktur model tabel I-O
SEKTOREKONOMI Permintaan Antara Permintaan
Total Akhir (PDB = Y) Output
Sektor Produksi
1 2 3
Input Sektor 1 X 11 X 12 X1j Y1 X1
Antara Produksi 2 X 21 X22 X2j Y2 X2 3 X i1 Xi2 Xij Yn Xn
Input Primer/ Nilai Tambah V1 V2 Vj
Total Input X1 X2 Xj Struktur model tabel I-O
Dari kerangka di atas dapat diperoleh koefisien
input, yang diperoleh dari perbandingan antara output sektor I yang digunakan dalam sektor j, atau xij dengan input total sektor j (Xj). Persamaan untuk mendapatkan koefisien input adalah sebagai berikut: Keterkaitan Langsung
Keterkaitan langsung ke depan/hilir (direct
forward linkage) Menunjukkan akibat suatu sektor tertentu terhadap sektor yang menggunakan sebagian output tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan tersebut digunakan persamaan berikut: Nilai dari keterkaitan langsung ke depan memiliki arti, jika: FL > 1: Sektor i mempunyai keterkaitan hilir yang tinggi dengan sektor yang lain. FL = 1: Sektor i mempunyai keterkaitan hilir yang setingkat dengan sektor lain. FL < 1: Sekor i mempunyai keterkaitan hilir yang rendah dengan sektor lain. Keterkaitan langsung ke belakang/hulu (direct backward linkage) Menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian input antara bagi sektor tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan tersebut digunakan persamaan berikut: Nilai dari keterkaitan langsung ke depan memiliki arti, jika: BL > 1: Investasi sektor j memberikan hasil di atas rata-rata sektor hulunya. BL = 1: Investasi sektor j memberikan hasil sama dengna rata-rata sektor hulunya. BL < 1: Investasi sektor j memberikan hasil di bawah rata-rata sektor hulunya. Pemodelan Ekonometrika
Ekonometri merupakan gabungan antara teori
ekonomi, matematika ekonomi, statistika ekonomi, matematika statistik, dan teknik komputasi. Model menggunakan persamaan matematis, regresi sederhana, regresi majemuk, maupun persamaan simultan sesuai dengan kondisi keterkaitan variabel yang ditinjau. PERHITUNGAN DAN PEMBANGUNAN MODEL
Menggunakan model I-O 2005 dilakukan analisis
deskriptif untuk mendapatkan parameter- parameter yang menunjukan peranan sektor pertambangan bijih. . Dalam hal ini parameter yang dihitung adalah keterkaitan hulu dan hilir. Hasil Perhitungan Parameter Keterkaitan Hulu dan Hilir Model I-O Analisis Tabel I-O
Keterkaitan hulu (Backward Linkage) menunjukkan bahwa sektor
pertambangan bijih di Indonesia belum memberikan kotribusi yang signifikan, hal ini dapat dilihat dari rata- rata nilai backward linkage yang kurang dari 1, khususnya pertambangan bijih tembaga (0,951). Angka tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertambangan bijih tembaga belum dapat berkontribusi pada pertumbuhan sektor- sektor yang lain. Keterkaitan hilir (Forward Linkage) menunjukkan bahwa sektor pertambangan bijih di Indonesia juga belum memberikan kotribusi yang signifikan, hal ini dapat dilihat dari rata- rata nilai forward linkage yang kurang dari 1, khususnya pada pertambangan bijih tembaga (0,722). Angka tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertambangan bijih tembaga belum dapat berkontribusi optimal pada sektor- sektor hilirnya. Melihat keterkaitan hulu dan hilir yang dihasilkan dari analisis I-O, dapat disimpulkan bahwa sektor pertambangan bijih tembaga dan pertambangan bijih lainnya belum menunjukkan kontribusi yang maksimal. Sehingga dapat menjadi dasar dibentuknya kebijakan hilirisasi industri pertambangan.