Anda di halaman 1dari 52

ANESTESI SUB ARACHNOID

BLOCK PADA APENDEKTOMI


APENDISITIS AKUT

Lalu Ardyan Nugraha Saputra


Pendahuluan
Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang
sering terjadi dan membutuhkan pengobatan
operasi pada anak-anak dan dewasa di bawah
umur 50 tahun, dengan puncak kejadian pada usia
dekade kedua dan ketiga yaitu usia 10-20 tahun.
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi
daripada di negara berkembang. Kejadian ini
mungkin disebabkan akibat perubahan pola makan
di negara berkembang yang banyak mengonsumsi
makanan berserat.
Di Indonesia,Insidens apendisitis akut pada pria
berjumlah 242 sedangkan pada wanita jumlahnya
218 dari keseluruhan 460 kasus. Pada tahun 2008,
insiden apendisitis mengalami peningkatan. Hal ini
disebabkan karena peningkatan konsumsi junk
food daripada makanan berserat.
Anastesi Regional dengan
Sub-arachnoid Block
Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB)
diperkenalkan oleh August Bier (1898) pada
praktis klinis, teknik ini telah digunakan dengan luas
untuk menyediakan anestesi, terutama untuk operasi
pada daerah bawah umbilikus.
Anestesi spinal adalah pemberian obat anestetik
lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal
diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik
lokal ke dalam ruang subarachnoid. Terjadi blok
saraf yang reversibel pada radix anterior dan
posterior, radix ganglion posterior dan sebagian
medula spinalis yang akan menyebabkan hilangnya
aktivitas sensoris, motoris dan otonom
Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan
dalam tindakan, peralatan yang minimal, memiliki
efek minimal pada biokimia darah, menjaga level
optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar
selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta
membutuhkan penanganan post operatif dan
analgesia yang minimal
Anestesi regional meliputi 2 cara yaitu blok sentral
yang meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
Yang kedua adalah blok perifer seperti blok
pleksus brachialis, aksiler, anestesi regional
intravena, dan lainnya.
informed consent dari pasien, pemeriksaan fisik
(lebih diperhatikan terhadap kemungkinan kelainan
spesifik seperti kelainan tulang belakang, kondisi
pasien yang gemuk sehingga sulit identifikasi
prosesus spinosus, dan lainnya)
Pemeriksaan Laboratorium
Peralatan yag diperlukan dalam anestesi spinal ini
terdiri atas peralatan monitor seperti tekanan
darah, nadi, pulse oxymetri, EKG dan jarum spinal.
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan
pasien duduk atau posisi tidur lateral. Posisi ini
adalah yang paling sering dikerjakan.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk
jarum spinal sebesar 22 G, 23 G atau 25 G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil
27 G atau 29 G.
Pada umumnya makin tinggi dosis dan posisi injeksi,
maka level anestesi akan semakin tinggi. Oleh
karena itu pada posisi supine head down, cairan
hiperbarik akan menyebar ke arah kepala dan
cairan hipobarik menyebar ke kaudal dan
sebaliknya pada posisi head up.
Sementara pada posisi lateral, cairan spinal
hiperbarik akan berefek pada bagian yang lebih
rendah dan cairan hipobarik akan mencapai
daerah yang lebih tinggi.
Obat yang sering digunakan pada anestesi spinal
ini adalah bupivacaine hiperbarik dan tetrakain.
Toksisitas bupivacain lebih rendah dibandingkan
lidocain.
Walaupun onset kerja bupivacain lebih lama (10-
15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi
durasi kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam)
dibandingkan lidocain (1-2 jam).
Identitas Pasien
Nama : Kd.E
Usia : 16 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Talibeng kec.Sidemen
Agama : Hindu
Suku : Bali
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Pelajar
Status Pernikahan : Belum Menikah
Tanggal MRS : 13 Juli 2017
No. RM : 2029xx
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 170 cm
Anamnesis
A (Alergy): tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan,
alergi makanan, maupun asma.
M (Medication): tidak sedang menjalani pengobatan
apapun.
P (Past Medical History): tidak didapatkan riwayat
hipertensi, diabetes mellitus, mengorok saat tidur, kejang,
nyeri dada, keterbatasan aktifitas akibat sesak dan tidak
ada gangguan pada aktifitas sehari-hari. Pasien memiliki
riwayat BAB tidak lancar, frekuensi 1x dalam 3-7 hari.
Riwayat anastesi dan anastesi sebelumnya belum ada.
Operasi ini merupakan pengalaman pertama pasien
mengalami pembedahan anastesi. Merokok (-), konsumsi
minuman beralkohol (-). Keadaan psikis: kesan tenang.
L (Last Meal): pasien terakhir makan pukul 02.00
wita
E (Elicit History): pasien mengeluh nyeri perut di
tengah sejak 3 hari. Nyeri perut kemudian terasa
juga di perut bagian kanan dan kiri. Pasien
mengeluhkan perut sakit jika digunakan berjalan.
Pasien juga mengeluhkan tidak BAB sejak 5 hari
yang lalu dan demam yang dirasakan 1 minggu
yang lalu. BAK dalam batas normal.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : sakit sedang, kompos mentis, gizi
cukup
Tensi : 100/ 90 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Suhu Axiler : 36,8 C
Respirasi : 18x/menit
Berat badan : 55 kg
Mata : Konjungtiva anemis ( - ), sklera
ikterik(-)
Hidung : nafas cuping hidung ( - ), sekret ( - )
Mulut : sianosis ( - ), gigi goyah / palsu ( - )
Telinga : sekret ( - ), pendengaran baik
Leher : glandula thiroid ditengah, pembesaran limfonodi ( - ),
JVP tidak meningkat
Thorax : retraksi (-),
Pulmo I : Pengembangan paru kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : Sonor - Sonor
A: Suara dasa
vesikuler kanan = kiriSuara tambahan : wheezin
Jantung I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak melebar
A: Bunyi jantung I-II intensitas normal,
Reguler, bising (-)
Abdomen :
I : Dinding perut = dinding dada, distended (-),
darm contur (-), darm steifung (-)
P : Supel, Nyeri tekan (+) pada perut kanan
bawah (Mc Burney Sign (+),defans muskuler (-)
P : Timpani (+), NKCV (-)
A : Peristaltik (+) normal
Ekstremitas : oedem ( - ), akral dingin (-)
Planning
Tanggal dilakukan anestesi : 15 Juli 2017
Jenis anastesi : Regional Anastesia-
Subarachnoid Block
Jenis pembedahan : Appendiktomi
Persiapan Operasi

Surat persetujuan operasi dan anastesi


Puasa mulai jam 02.00 Wita
IVFD RL 1500 cc
Premedikasi: Inj. Ondancentron 4 mg iv, Inj.
Ranitidine 50 mg iv, Inj. Dexamethason 5 mg iv
Durante Operasi
Lama operasi : 10.45-11.25
Lama anastesi : 10.40-11.20
Medikasi :
Inj. Ketorolac 30 mg
Langkah Tindakan Anastesi:
Persiapan:
Menyiapkan meja operasi dan asesorisnya

Menyiapkan mesin dan alat anestesi


Menyiapkan komponen STATICS:
Scope: stetoskop, laringoskop
Tubes: ETT cuffed sized 7,0 kink fix
Airway: orotracheal airway
Tape: plester untuk fiksasi
Introducer: untuk memandu agar pipa ETT mudah
dimasukkan
Connector: penyambung antara pipa dana alat
anestesi
Suction: memastikan tidak ada kerusakan pada alat
suction
Menyiapkan obat-obat anastesia yang diperlukan.
Menyiapkan obat-obat resusitasi: adrenalin,
atropine, aminofilin, natrium bikarbonat, dan lain-
lainnya.
Menyiapkan tiang infuse, plester, dan lain-lainnya.
Memasang monitor, saturasi O2, tekanan darah,
nadi, dan EKG
Teknik Anestesi
Menyiapkan pasien di atas meja operasi dengan
posisi duduk
Menentukan tempat tusukan dari perpotongan garis
yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan
tulang punggung, yaitu L4 atau L4-L5.
Mensterilkan tempat tusukan dengan savlon
Memberikan infiltrasi local pada tempat tusukan,
yaitu dengan lidokain 2% secukupnya.
Dilakukan penyuntikan jarum spinal 27G di tempat
penusukan pada bidang medial dengan sudut 10-
30% terhadap bidang horizontal kearah cranial.
Jarum lumbal akan menembus ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum,
ligamentum flavum, lapisan durameter, dan lapisan
subarachnoid.
Stilet kemudian dicabut, sehingga cairan
serebrospinal akan keluar. Obat anastetik
(Bupivacaine 0.5% H 15 mg yang telah disiapkan
disuntikkan ke dalam ruang subarachnoid.
Tempat penyuntikkan ditutup dengan plester.
Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine
dan pasien ditanya apakah kedua tungkai
mengalami parastesi dan sulit untuk digerakkan
dan ditanyakan apa ada keluhan mual-muntah,
nyeri kepala, dan sesak.
Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign
dalam batas normal.
Monitoring
Pernafasan:O2 nasal canule, 3 lpm
Cairan Masuk:
Pre operasi : RL 500cc
Cairan Keluar::
Perdarahan: 250 cc
Laporan Anastesi Post-Operasi
Keluhan: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:
B1: airway paten, nafas spontan, RR 18x/menit, rhonki |,
wheezing |
B2: akral hangat, kering, kemerahan, N:90x/menit, TD 110/80
mmHg, S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
B3: GCS 456, pupil bulat isokor 3mm | 3mm, refleks cahaya
+|+
B4: Dalam batas normal
B5: flat, soefl, bising usus (+), luka operasi bersih.
B6: mobilitas (-), mampu menggerakkan keempat ekstremitas secara
spontan, edema =|=, sianosis =|=, anemis =|=, ikterik =|=,
CRT<2 detik.
Aldrete score: 10 pasien dapat dipindahkan ke ruangan.
Terapi Pasca Bedah:
O2 nasal canul 2 lpm
Infus RL 20 tpm
Antibiotika: sesuai TS bedah
Inj. Ranitidin 2x50 mg
Inj. Ketorolac 3x30 mg
Bila mual/muntah: kepala dimiringkan, head down, k/p di suction,
Inj. Ondansentron 4 mg
Bila kesakitan: Inj. Ketorolac 100 mg
Minum makan: bila tidak ada mual/muntah
Pembahasan
Berdasarkan history taking dengan metode AMPLE
pada kunjungan preoperative tanggal 13 Juli
2017, didapatkan bahwa tidak ada riwayat alergi
terhadap obat-obatan, alergi makanan, maupun
penyakit asma. Pasien tidak sedang menjalani
pengobatan apapun. Pasien tidak didapatkan
riwayat hipertensi, diabetes mellitus, mengorok saat
tidur, kejang, nyeri dada, keterbatasan aktifitas
akibat sesak dan tidak ada gangguan pada
aktifitas sehari-hari.
Pasien memiliki riwayat BAB tidak lancar, frekuensi
1x dalam 3-7 hari. Riwayat anastesi dan anastesi
sebelumnya belum ada. Operasi ini merupakan
pengalaman pertama pasien mengalami
pembedahan anastesi. Pasien tidak merokok, tidak
konsumsi minuman beralkohol. Pasien terakhir
makan pukul 22.00 dan puasa pukul 02.00 wita.
Pemeriksaan Fisik
B1 Breathing
Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak ditemukan
dan dalam batas normal.
B2 Blood
Pada blood, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak ditemukan.
Lain-lain dalam blood dalam batas normal; TD normal, perfusi baik, tidak
didapatkan kelainan anatomis dan fungsional dari sistem sirkulasi.
B3 Brain
Dalam batas normal.
B4 Bladder
Dalam batas normal
B5 Bowel
Pada bowel, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak ditemukan.
B6 Bone/Body
Dalam batas normal.
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, pasien tidak menderita
penyakit sistemik, tanpa limitasi aktivitas sehari-
hari, sehingga diklasifikasikan dengan ASA-1 -
dengan apendisitis akut.
Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke
jalan nafas selama anestesi, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah
menjalani puasa selama periode tertentu sebelum
induksi anestesi. Lama puasa pada pasien ini telah
sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif -
American Society of Anesthesiologist yakni konsumsi
cairan maksimal 2 jam preoperasi, makanan
rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan
tinggi lemak 8 jam preoperasi, dimana pasien telah
berpuasa tidak mengkonsumsi makanan jam 22.00.
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum
induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan
induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesi
Mengontrol nyeri post operasi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestesi
Mengurangi mual muntah pasca operasi
Mengurangi resiko aspirasi isi lambung
Pada pasien ini diberikan 4 jam sebelum operasi,
dengan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron
4 mg, inj. Ranitidine 5 mg, dan . Ondansetron dan
ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV
(post operatif nausea vomiting). Pemilihan
Ondancentron untuk mencegah serta mengobati
mual dan muntah yang di sebabkan oleh efek
samping kemoterapi, radioterapi atau operasi
.Terjadinya mual dan muntah disebabkan oleh
senyawa alami tubuh yang bernama serotonin
dalam tubuh akan meningkat ketika menjalani
kemoterapi, radioterapi, dan operasi.Serotonin
akan beraksi terhadap reseptor 5HT3 yang
berada di usus kecil dan otak, dan membuat rasa
mual
Ondansetron akan menghambat serotonin beraksi
pada reseptor 5HT3 sehingga membuat tidak mual
dan berhenti muntah. Pemilihan ranitidin
dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai
anti reseptor H2 sehingga dapat mengurangi
produksi asam lambung yang nantinya dapat
mengurangi risiko pnemonia aspirasi.
Pemelihan Teknik Anestesi
Pada pasien ini dilakukan regional anestesi.
Pemilihan anestesi regional sebagai teknik anestesi
pada pasien ini berdasarkan pertimbangan bahwa
pasien akan menjalani operasi appendiktomi
sehingga pasien memerlukan blockade pada regio
abdomen bawah untuk mempermudah operator
dalam melakukan operasi. Teknik ini umumnya
sederhana, cukup efektif, dan mudah digunakan.
Monitoring
Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi
oksigen pesien tidak pernah <95%, tekanan darah
pasien dalam batas normal berkisar (S: 110-120,
D: 70-80), nadi antara 60-80x/menit. RR: 18x-
20x/menit.
Kesimpulan
..........???

Anda mungkin juga menyukai