0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
12 tayangan52 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang anestesi subarachnoid block pada pembedahan apendektomi untuk pasien perempuan berusia 16 tahun dengan diagnosis apendisitis akut. Teknik anestesi dilakukan dengan memberikan injeksi obat bius lokal ke dalam ruang subarachnoid menggunakan jarum spinal. Pembedahan berjalan lancar selama 40 menit tanpa komplikasi.
Dokumen tersebut membahas tentang anestesi subarachnoid block pada pembedahan apendektomi untuk pasien perempuan berusia 16 tahun dengan diagnosis apendisitis akut. Teknik anestesi dilakukan dengan memberikan injeksi obat bius lokal ke dalam ruang subarachnoid menggunakan jarum spinal. Pembedahan berjalan lancar selama 40 menit tanpa komplikasi.
Dokumen tersebut membahas tentang anestesi subarachnoid block pada pembedahan apendektomi untuk pasien perempuan berusia 16 tahun dengan diagnosis apendisitis akut. Teknik anestesi dilakukan dengan memberikan injeksi obat bius lokal ke dalam ruang subarachnoid menggunakan jarum spinal. Pembedahan berjalan lancar selama 40 menit tanpa komplikasi.
Pendahuluan Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan membutuhkan pengobatan operasi pada anak-anak dan dewasa di bawah umur 50 tahun, dengan puncak kejadian pada usia dekade kedua dan ketiga yaitu usia 10-20 tahun. Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat perubahan pola makan di negara berkembang yang banyak mengonsumsi makanan berserat. Di Indonesia,Insidens apendisitis akut pada pria berjumlah 242 sedangkan pada wanita jumlahnya 218 dari keseluruhan 460 kasus. Pada tahun 2008, insiden apendisitis mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena peningkatan konsumsi junk food daripada makanan berserat. Anastesi Regional dengan Sub-arachnoid Block Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh August Bier (1898) pada praktis klinis, teknik ini telah digunakan dengan luas untuk menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah umbilikus. Anestesi spinal adalah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radix anterior dan posterior, radix ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal Anestesi regional meliputi 2 cara yaitu blok sentral yang meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal. Yang kedua adalah blok perifer seperti blok pleksus brachialis, aksiler, anestesi regional intravena, dan lainnya. informed consent dari pasien, pemeriksaan fisik (lebih diperhatikan terhadap kemungkinan kelainan spesifik seperti kelainan tulang belakang, kondisi pasien yang gemuk sehingga sulit identifikasi prosesus spinosus, dan lainnya) Pemeriksaan Laboratorium Peralatan yag diperlukan dalam anestesi spinal ini terdiri atas peralatan monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetri, EKG dan jarum spinal. Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. 5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G, 23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G. Pada umumnya makin tinggi dosis dan posisi injeksi, maka level anestesi akan semakin tinggi. Oleh karena itu pada posisi supine head down, cairan hiperbarik akan menyebar ke arah kepala dan cairan hipobarik menyebar ke kaudal dan sebaliknya pada posisi head up. Sementara pada posisi lateral, cairan spinal hiperbarik akan berefek pada bagian yang lebih rendah dan cairan hipobarik akan mencapai daerah yang lebih tinggi. Obat yang sering digunakan pada anestesi spinal ini adalah bupivacaine hiperbarik dan tetrakain. Toksisitas bupivacain lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain lebih lama (10- 15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain (1-2 jam). Identitas Pasien Nama : Kd.E Usia : 16 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Talibeng kec.Sidemen Agama : Hindu Suku : Bali Kewarganegaraan : Indonesia Pekerjaan : Pelajar Status Pernikahan : Belum Menikah Tanggal MRS : 13 Juli 2017 No. RM : 2029xx Berat Badan : 55 kg Tinggi Badan : 170 cm Anamnesis A (Alergy): tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan, alergi makanan, maupun asma. M (Medication): tidak sedang menjalani pengobatan apapun. P (Past Medical History): tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes mellitus, mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, keterbatasan aktifitas akibat sesak dan tidak ada gangguan pada aktifitas sehari-hari. Pasien memiliki riwayat BAB tidak lancar, frekuensi 1x dalam 3-7 hari. Riwayat anastesi dan anastesi sebelumnya belum ada. Operasi ini merupakan pengalaman pertama pasien mengalami pembedahan anastesi. Merokok (-), konsumsi minuman beralkohol (-). Keadaan psikis: kesan tenang. L (Last Meal): pasien terakhir makan pukul 02.00 wita E (Elicit History): pasien mengeluh nyeri perut di tengah sejak 3 hari. Nyeri perut kemudian terasa juga di perut bagian kanan dan kiri. Pasien mengeluhkan perut sakit jika digunakan berjalan. Pasien juga mengeluhkan tidak BAB sejak 5 hari yang lalu dan demam yang dirasakan 1 minggu yang lalu. BAK dalam batas normal. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum : sakit sedang, kompos mentis, gizi cukup Tensi : 100/ 90 mmHg Nadi : 84 x/menit Suhu Axiler : 36,8 C Respirasi : 18x/menit Berat badan : 55 kg Mata : Konjungtiva anemis ( - ), sklera ikterik(-) Hidung : nafas cuping hidung ( - ), sekret ( - ) Mulut : sianosis ( - ), gigi goyah / palsu ( - ) Telinga : sekret ( - ), pendengaran baik Leher : glandula thiroid ditengah, pembesaran limfonodi ( - ), JVP tidak meningkat Thorax : retraksi (-), Pulmo I : Pengembangan paru kanan = kiri P : Fremitus raba kanan = kiri P : Sonor - Sonor A: Suara dasa vesikuler kanan = kiriSuara tambahan : wheezin Jantung I : Ictus cordis tidak tampak P : Ictus cordis tidak kuat angkat P : Batas jantung kesan tidak melebar A: Bunyi jantung I-II intensitas normal, Reguler, bising (-) Abdomen : I : Dinding perut = dinding dada, distended (-), darm contur (-), darm steifung (-) P : Supel, Nyeri tekan (+) pada perut kanan bawah (Mc Burney Sign (+),defans muskuler (-) P : Timpani (+), NKCV (-) A : Peristaltik (+) normal Ekstremitas : oedem ( - ), akral dingin (-) Planning Tanggal dilakukan anestesi : 15 Juli 2017 Jenis anastesi : Regional Anastesia- Subarachnoid Block Jenis pembedahan : Appendiktomi Persiapan Operasi
Surat persetujuan operasi dan anastesi
Puasa mulai jam 02.00 Wita IVFD RL 1500 cc Premedikasi: Inj. Ondancentron 4 mg iv, Inj. Ranitidine 50 mg iv, Inj. Dexamethason 5 mg iv Durante Operasi Lama operasi : 10.45-11.25 Lama anastesi : 10.40-11.20 Medikasi : Inj. Ketorolac 30 mg Langkah Tindakan Anastesi: Persiapan: Menyiapkan meja operasi dan asesorisnya
Menyiapkan mesin dan alat anestesi
Menyiapkan komponen STATICS: Scope: stetoskop, laringoskop Tubes: ETT cuffed sized 7,0 kink fix Airway: orotracheal airway Tape: plester untuk fiksasi Introducer: untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan Connector: penyambung antara pipa dana alat anestesi Suction: memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction Menyiapkan obat-obat anastesia yang diperlukan. Menyiapkan obat-obat resusitasi: adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat, dan lain- lainnya. Menyiapkan tiang infuse, plester, dan lain-lainnya. Memasang monitor, saturasi O2, tekanan darah, nadi, dan EKG Teknik Anestesi Menyiapkan pasien di atas meja operasi dengan posisi duduk Menentukan tempat tusukan dari perpotongan garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung, yaitu L4 atau L4-L5. Mensterilkan tempat tusukan dengan savlon Memberikan infiltrasi local pada tempat tusukan, yaitu dengan lidokain 2% secukupnya. Dilakukan penyuntikan jarum spinal 27G di tempat penusukan pada bidang medial dengan sudut 10- 30% terhadap bidang horizontal kearah cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan durameter, dan lapisan subarachnoid. Stilet kemudian dicabut, sehingga cairan serebrospinal akan keluar. Obat anastetik (Bupivacaine 0.5% H 15 mg yang telah disiapkan disuntikkan ke dalam ruang subarachnoid. Tempat penyuntikkan ditutup dengan plester. Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine dan pasien ditanya apakah kedua tungkai mengalami parastesi dan sulit untuk digerakkan dan ditanyakan apa ada keluhan mual-muntah, nyeri kepala, dan sesak. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal. Monitoring Pernafasan:O2 nasal canule, 3 lpm Cairan Masuk: Pre operasi : RL 500cc Cairan Keluar:: Perdarahan: 250 cc Laporan Anastesi Post-Operasi Keluhan: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-) Pemeriksaan fisik: B1: airway paten, nafas spontan, RR 18x/menit, rhonki |, wheezing | B2: akral hangat, kering, kemerahan, N:90x/menit, TD 110/80 mmHg, S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-) B3: GCS 456, pupil bulat isokor 3mm | 3mm, refleks cahaya +|+ B4: Dalam batas normal B5: flat, soefl, bising usus (+), luka operasi bersih. B6: mobilitas (-), mampu menggerakkan keempat ekstremitas secara spontan, edema =|=, sianosis =|=, anemis =|=, ikterik =|=, CRT<2 detik. Aldrete score: 10 pasien dapat dipindahkan ke ruangan. Terapi Pasca Bedah: O2 nasal canul 2 lpm Infus RL 20 tpm Antibiotika: sesuai TS bedah Inj. Ranitidin 2x50 mg Inj. Ketorolac 3x30 mg Bila mual/muntah: kepala dimiringkan, head down, k/p di suction, Inj. Ondansentron 4 mg Bila kesakitan: Inj. Ketorolac 100 mg Minum makan: bila tidak ada mual/muntah Pembahasan Berdasarkan history taking dengan metode AMPLE pada kunjungan preoperative tanggal 13 Juli 2017, didapatkan bahwa tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan, alergi makanan, maupun penyakit asma. Pasien tidak sedang menjalani pengobatan apapun. Pasien tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes mellitus, mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, keterbatasan aktifitas akibat sesak dan tidak ada gangguan pada aktifitas sehari-hari. Pasien memiliki riwayat BAB tidak lancar, frekuensi 1x dalam 3-7 hari. Riwayat anastesi dan anastesi sebelumnya belum ada. Operasi ini merupakan pengalaman pertama pasien mengalami pembedahan anastesi. Pasien tidak merokok, tidak konsumsi minuman beralkohol. Pasien terakhir makan pukul 22.00 dan puasa pukul 02.00 wita. Pemeriksaan Fisik B1 Breathing Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak ditemukan dan dalam batas normal. B2 Blood Pada blood, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak ditemukan. Lain-lain dalam blood dalam batas normal; TD normal, perfusi baik, tidak didapatkan kelainan anatomis dan fungsional dari sistem sirkulasi. B3 Brain Dalam batas normal. B4 Bladder Dalam batas normal B5 Bowel Pada bowel, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak ditemukan. B6 Bone/Body Dalam batas normal. Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien tidak menderita penyakit sistemik, tanpa limitasi aktivitas sehari- hari, sehingga diklasifikasikan dengan ASA-1 - dengan apendisitis akut. Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama anestesi, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah menjalani puasa selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American Society of Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi, makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan tinggi lemak 8 jam preoperasi, dimana pasien telah berpuasa tidak mengkonsumsi makanan jam 22.00. Premedikasi Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya: Meredakan kecemasan dan ketakutan Memperlancar induksi anestesi Mengontrol nyeri post operasi Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus Meminimalkan jumlah obat anestesi Mengurangi mual muntah pasca operasi Mengurangi resiko aspirasi isi lambung Pada pasien ini diberikan 4 jam sebelum operasi, dengan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron 4 mg, inj. Ranitidine 5 mg, dan . Ondansetron dan ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV (post operatif nausea vomiting). Pemilihan Ondancentron untuk mencegah serta mengobati mual dan muntah yang di sebabkan oleh efek samping kemoterapi, radioterapi atau operasi .Terjadinya mual dan muntah disebabkan oleh senyawa alami tubuh yang bernama serotonin dalam tubuh akan meningkat ketika menjalani kemoterapi, radioterapi, dan operasi.Serotonin akan beraksi terhadap reseptor 5HT3 yang berada di usus kecil dan otak, dan membuat rasa mual Ondansetron akan menghambat serotonin beraksi pada reseptor 5HT3 sehingga membuat tidak mual dan berhenti muntah. Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko pnemonia aspirasi. Pemelihan Teknik Anestesi Pada pasien ini dilakukan regional anestesi. Pemilihan anestesi regional sebagai teknik anestesi pada pasien ini berdasarkan pertimbangan bahwa pasien akan menjalani operasi appendiktomi sehingga pasien memerlukan blockade pada regio abdomen bawah untuk mempermudah operator dalam melakukan operasi. Teknik ini umumnya sederhana, cukup efektif, dan mudah digunakan. Monitoring Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pesien tidak pernah <95%, tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S: 110-120, D: 70-80), nadi antara 60-80x/menit. RR: 18x- 20x/menit. Kesimpulan ..........???